Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap dan

berlebihan terhadap suatu objek spesifik, keadaan atau situasi. Berasal dari

bahasa Yunani, yaitu Fobos yang berarti ketakutan (Elvira, 2010).

Penderita akan mengalami ketegangan parah karena adanya atau

diperkirakan akan adanya situasi fobik. Namun demikian, reaksi fobik

menyebabkan suatu gangguan pada kemampuan seseorang untuk berfungsi di

dalam kehidupannya (Kaplan, 2010).

Fobia merupakan suatu gangguan jiwa, yang merupakan salah satu

tipe dari ansietas, dibedakan dalam tiga jenis berdasarkan jenis objek atau

situasi ketakutan, yaitu Agrofobia, Fobia Spesifik atau Fobia Khas dan Fobia

Sosial (Elvira, 2010).

Fobia spesifik atau fobia khas adalah adanya rasa takut yang kuat dan

menetap akan suatu objek atau situasi. Penderita fobia khas dapat

mengantisipasi bahaya, seperti digigit anjing, atau dapat menjadi panik saat

berpikir akan kehilangan kendali, contohnya jika penderita takut berada di

dalam lift, mereka juga dapat khawatir akan pingsan setelah pintu lift tertutup

(Sadock, 2004).

Studi Epidemiologis menujukkan bahwa fobia adalah salah satu

gangguan jiwa yang lazim di Amerika Serikat. Sekitar 5 hingga 10 persen

dari populasi diperkirakan mengalami fobia yang dapat mengganggu kegiatan

1
sehari-hari. Fobia spesifik atau khas lebih lazim ditemukan daripada fobia

sosial dan agrofobia. Usia puncak awitan terjadinya fobia spesifik adalah

pada usia 5-9 tahun. Namun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada

usia yang lebih tua (Sadock, 2004). Tingginya angka kejadian fobia spesifik

atau fobia khas dibandingkan dengan jenis fobia lain dan usia puncak awitan

yang dini menunjukkan perlunya lebih banyak informasi mengenai fobia khas

agar angka kejadiannya dapat diturunkan. Oleh karena itu, penulis menulis

referat dengan judul fobia khas.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa definisi dari fobia khas?

2. Apa etiologi dari fobia khas?

3. Bagaimana epidemiologi dari fobia khas?

4. Bagaimana patofisiologi terjadinya fobia khas?

5. Apa saja gejala pada fobia khas?

6. Bagaimana cara penegakan diagnosis pada fobia khas?

7. Bagaimana terapi pada fobia khas?

8. Apa komplikasi dari fobia khas?

9. Bagaimana prognosis dari fobia khas?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memberikan informasi

mengenai fobia spesifik atau fobia khas.

2
D. MANFAAT PENULISAN

Manfaat penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan

pembaca mengenai fobia khas sehingga angka kejadian fobia khas dapat

diturunkan dan penderita fobia khas mendapatkan pengobatan yang paling

tepat.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Fobia adalah suatu ketakutan irasional yang jelas, menetap dan berlebihan

terhadap suatu objek spesifik, keadaan atau situasi. Berasal dari bahasa

Yunani, yaitu Fobos yang berarti ketakutan. Fobia spesifik adalah istilah

umum untuk semua jenis gangguan kecemasan yang jumlah untuk yang tidak

masuk akal atau ketakutan irasional yang berkaitan dengan pajanan terhadap

objek atau situasi tertentu. Akibatnya, orang-orang yang terpengaruh secara

aktif cenderung menghindari kontak langsung dengan objek atau situasi dan,

dalam kasus yang parah, penyebutan atau penggambaran dari mereka (Elvira,

2014).

B. Epidemiologi

Fobia sering terjadi pada masyarakat umum. Survei epidemiologi terbaru

memperkirakan angka kejadian dalam setahun dan prevalensi seumur hidup,

berturut-turut : fobia spesifik 5,5% dan 11,3%; fobia sosial 4,5% dan 13,3%;

serta agorafobia 2,3% dan 6,7%. Wanita memiliki kemungkinan 1,5-2 kali

lebih besar dibandingkan laki-laki (Elvira, 2014).

Fobia spesifik lebih sering terjadi dibandingkan fobia sosial. Fobia spesifik

adalah gangguan mental yang paling sering pada wanita dan nomor dua

tersering pada laki-laki, setelah gangguan berhububungan dengan zat.

Prevelensi enam bulan fobia spesifik adalah kira-kira 5 sampai 10 per 1000

orang. Rasio wanita dibandingkan dengan laki-laki adalah 2 berbanding 1.

4
Onset usia puncak untuk tipe lingkungan alami dan tipe darah, injeksi, dan

cedera adalah rentang 5 sampai 9 tahun, walaupun onset terjadi pada usia

puncak untuk tipe situasional adalah lebih tinggi, dalam pertengahan usia 20-

an, yang dekat dengan usia onset untuk agorafobia. Objek dan situasi yang

ditakuti pada fobia spesifik (dituliskan dalam frekuensi menurun) adalah

binatang, badai, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian (Smoller, 2008)

(Carr, 2001).

C. Etiologi

Fobia spesifik dapat timbul akibat pemasangan objek atau situasi spesifik

dengan rasa takut dan panik. Umumnya, kecenderungan nonspesifik untuk

mengalami rasa takut atau ansietas membentuk latar belakang; ketika suatu

peristiwa khusus ( contohnya menyetir) digabungkan dengan pengalaman

emosional (contohnya kecelakaan), orang tersebut rentan mengasosiasikan

secara emosional permanen antara mengendarai mobil dan rasa takut atau

ansietas. Pengalaman emosional itu sendiri dapat bersifat responsive terhadap

kejadian eksternal, seperti kecelakaan lalu lintas atau kejadian internal, yang

paling lazim adalah serangan panic. Mekanisme hubungan lain antara objek

fobik dan emosi fobik adalah meniru model, di sini seseorang mengamati

reaksi pada orang lain (contohnya orang tua) dan transfer informasi, di sini

seseorang diajari atau diperingatkan akan bahaya objek spesifik ( contohnya

ular berbisa.

Fobia spesifik dapat juga disebabkan oleh genetik yang cenderung

diturunkan di dalam keluarga. Jenis cedera-darah-suntikan terutama memiliki

kecenderungan familial yang tinggi. Studi melaporkan bahwa dua pertiga

5
sampai tiga perempat proband yang terkena sedikitnya memiliki kerabat

derajat pertama yang memiliki fobia spesifik dengan tipe sama, tetapi studi

kembar dan adopsi yang penting belum dilakukan untuk menyingkirkan

peranan transmisi nongenetik yang bermakna pada fobia spesifik (Elvira,

2014).

D. Patofisiologi

Tinjauan Neuroanatomi.

1. Amygdala : terlibat dengan pengolahan rangsangan emosional yang

menonjol

2. Medial prefrontal cortex (korteks anterior termasuk cingulate, korteks

subcallosal dan gyrus frontal medial) : terlibat dalam mempengaruhi

modulasi

3. Hippocampus : terlibat dalam pengkodean memori

Menurut teori modeling, fobia dapat dipelajari dari meniru reaksi orang

lain. Dalam membentuk perilakunya, seorang anak akan lebih cenderung

untuk meniru apa yang dilakukan oleh orang tuanya. Menurut teori

behavioral, yaitu melalui classical conditioning yang mengatakan bahwa

seorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral, jika stimulus

tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara intrinsik meyakitkan atau

menakutkan dapat membuat seseorang berpikiran negatif terhadap hal

tersebut (Davidson, 2006).

E. Gejala klinis Fobia

6
Beberapa gejala yang muncul apabila seseorang memiliki fobia yaitu:

1. Rasa pusing.

2. Merasa tidak berada di alam kenyataan.

3. Takut akan objek tertentu. Rasa takut yang dialami oleh penderita fobia

akan hilang secara otomatis dengan cara menghindari objek yang

ditakutinya.

4. Jantung berdebar kencang.

5. Kesulitan mengatur napas.

6. Dada terasa sakit.

7. Wajah memerah dan berkeringat secara berlebihan.

8. Gemetar.

9. Mulut terasa kering.

10. Otot menegang.

11. Rasa ingin muntah.

12. Peningkatan rasa cemas.

13. Berpikir secara tidak realistis, takut dan membayangkan sesuatu bakal

terjadi.

Sedangkan berdasarkan DSM-IV-TR gejala dari fobia adalah

1. Ketakutan yang berlebihan, tidak beralasan, dan menetap yang dipicu oleh

objek atau situasi:

2. Keterpaparan dengan pemicu menyebabkan kecemasan intens;

3. Orang tersebut menyadari ketakutannya tidak realistis;

4. Objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan kecemasan

intens (Maslim, 2013)

7
F. Penegakan Diagnosis

Karena suatu tinjauan pada literature manyatakan bahwa fobia spesifikasi

adalah berhubungan denagan onset usia, rasio jenis kelamin, riwayat

keluarga, dan respons fisiologis yang bervariasi, DSM-IV memasukkan tipe

fobia spesifik yang terpisah tipe binatang, tipe lingkungan alami (sebagai

contoh, badai), tipe darah, injeksi, cedera, tipe situasional (sebagai contoh,

mobil), dan tipe lain (untuk fobia spesifikasi yang tidak masuk kedalam

keempat tipe sebelumnya). Data pendahuluan menyatakan bahwa tipe

lingkungan alami adalah paling sering pada anak-anak yang berusia kurang

dari 10 tahun dan tipe situasional sering pada awal usia 20 tahunan

(Elvira,2014).

Kriteria diagnostik untuk fobia spesifik adalah:

a. Rasa takut yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak

keberhasilan ditunjukkan oleh adanya atau antisipasi suatu objek atau

situasi tertentu (misalnya, naik pesawat terbang , ketinggian, binatang,

mendapatkan suntikan, melihat darah).

b. Paparan terhadap stimulus fobik hampir selalu mencetuskan respons

kecemasan yang segera, yang dapat berupa serangan panik situasional

atau dipresdiposisikan oleh situasi. Catatan : pada anak-anak,

kecemasan dapat diekspresikan oleh menangis, tantrum, dan

membeku.

c. Orang menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak

beralasan. Catatan : pada anak-anak, ciri ini mungkin tidak ada.

8
d. Situasi fobik dihindari, atau jika tidak dapat dihindari, dihadapi

dengan kecenasan atau distres yang kuat.

e. Penghindaran, antisipasi kecemasan, atau distres dalam situasi yang

ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas normal orang, fungsi

pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas sosial atau hubungan dengan

orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas karena menderita

fobia.

f. Pada individu yang berusia di bawah 18 tahun, durasi sekurangnya

adalah 6 bulan.

g. Kecemasan, serangan panik, atau penghindaran fobik berhubungan

dengan objek atau situasi spesifik adalah tidak lebih baik diterangkan

oleh gangguan mental lain, seperti gangguan obsesif-kompulsif

(misalnya takut kepada kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang

kontaminasi), gangguan stress pasca tarumatik (misalnya,

menghindari stimuli yang berhubungan dengan stressor yang berat),

gangguan cemas perpisahan (misalnya, menghindari sekolah), fobia

sosial (misalnya, menghindari situasi social karena takut merasa

malu), gangguan panic dengan agorafobia tanpa riwayat gangguan

panic.

Sebutkan tipe yaitu tipe darah, injeksi, cedera dibedakan dari tipe

lainnya dimana bradikardia dan hipotensi sering kali menyusul

takikardia awal yang sering terjadi pada semua fobia. Fobia spesifik

tipe darah, injeksi, cedera kemungkinan mengenai banyak anggota dan

generasi dari suatu keluarga. Satu tipe fobia spesifik yang telah

9
dilaporkan baru-baru ini adalah fobia ruang, dimana pasien takut akan

terjatuh jika disekitarnya tidak ada penopang, seperti dinding atau

sebuah kursi. Beberapa data menyatakan bahwa pasien yang terkena

mungkin memiliki fungsi yang abnormal pada hemisfer kanan,

kemungkinan menyebabkan gangguan visual spasial (penglihatan

ruang) (Elvira,2014).

G. Tatalaksana Fobia

Terapi yang paling sering digunakan digunakan untuk fobia spesifik

adalah terapi pemaparan (exposure therapy), suatu tipe terapi perlaku yang

asalnya didahului oleh Joseph Wolpe. Ahli terapi mendesensitisasi pasien,

dengan menggunakan pemaparan stimulus fobik yang serial, betahap, dan

dipacu diri sendiri. Ahli terapi mengajari pasien tentang bebagai teknik untuk

menghadapi kecemasan, termasuk relaksasi, kontrol pernafasan, dan

pendekatan kognitif terhadap gangguan. Pendekatan kognitif adalah termasuk

mendorong kenyataan bahwa situasi tersebut pada dasarnya adalah aman.

Aspek kunci dari terapi perilaku yang berhasil adalah (1) komitmen pasien

terhadap pengobatan, (2) masalah dan tujuan yang diidentifikasikan dengan

jelas, dan (3) strategi alternatif yang tersedia untuk mengatasi perasaan

pasien. Pada situasi spesifik fobia darah, injeksi, dan cedera, beberapa ahli

terapi menganjurkan bahwa pasien mengencangkan tubuhnya selama

pemaparan untuk membantu menghindari kemungkinan pingsan akibat reaksi

vasovagal terhadap stimulasi fobik. Beberapa laporan awal menyatakan

bahwa antagonis beta adrenergik dapat berguna dalam pengobatan fobia

10
spesifik. Jika fobia spesifik adalah disertai dengan serangan panik,

farmakotrapi atau psikoterapi yang diarahkan pada serangan panik mungkin

juga bermanfaat (Kaplan,H. et al, 2010).

Secara umum terapi fobia meliputi:

1. Terapi psikologik

a. Terapi Perilaku merupakan terapi yang efektif. Seperti terapi

desensitisasi yang sering dilakukan, terapi pemaparan (exposure),

imaginal exposure, participent modelling, guided mastery, imaginal

flooding.

b. Psikoterapi bersifat tilikan

c. Terapi lain seperti hypnotherapy, psikoterapi suportif, terapi keluarga

bila diperlukan.

2. Farmakoterapi

Obat-obatan yang dipakai untuk tatalaksana fobia adalah : SSRI

(Serotonin Selective Re-Uptake Inhibitor), khususnya untuk fobia sosial

umum merupakan pilihan utama. Benzodiazepine, Venlafaxine,

Buspirone, MAOI, antagonis b-adrenergik reseptor dapat diberikan satu

jam sebelum terpapar dengan stimulus fobia, misalnya jika individual

hendak bicara di depan umum.

Terapi terhadap fobia spesifik yang terutama adalah terapi perilaku

yaitu terapi pemaparan (Exposure Therapy), yaitu desensitisasi pasien

dengan pemaparan stimulus fobik secara bertahap. Juga diajarkan untuk

menghadapi kecemasandengan teknik relaksasi, mengontrol pernafasan

dan pendekatan kognitif. Penggunaan anti ansietas yaitu untuk terapi

11
jangka pendek. Pengobatan fobia sosial terbatas, dapat menggunakan beta

blocker seperti propanolol, anti ansietas dan antidepressant (Elvira, 2014)

Penambahan kortisol pada terapi paparan, di subyek dengan fobia

laba-laba, telah dilaporkan menyebabkan penurunan yang lebih besar

dalam ketakutan laba-laba dibandingkan dengan placebo. Kortisol oral

berulang 1 jam sebelum terpapar ke foto laba-laba menyebabkan

pengurangan progresif stimulus menimbulkan ketakutan dan efeknya

dipertahankan dua hari setelah dosis terakhir kortisol menunjukkan bahwa

kortisol memfasilitasi kepunahan ketakutan fobia. Namun efek

menguntungkannya tidak segera ditangani setelah pengobatan (Singh J et

al2016).

3. Desensitasi

Desensitisasi sistematik (DS) merupakan terapi perilaku yang pertama

kali digunakan secara luas untuk menangani fobia. Individu yang

menderita fobia membayangkan serangkaian situasi yang semakin

menakutkan sementara berada dalam kondisi relaksasi mendalam. Bukti-

bukti dan eksperimen mengindikasikan bahwa teknik ini efektif untuk

menghapuskan atau minimal mengurangi fobia .Desensitisasi sistematik

suatu teknik terapi perilaku untuk menghilangkan respon cemas ini

didasarkan pada prinsip counterconditioning dan reciprocal inhibition

(hambatan timbal balik) yang menyatakan bahwa jika suatu penghambat

respon cemas dapat diciptakan pada saat hadirnya stimulus yang

menimbulkan cemas, maka penghambat ini akan memperlemah ikatan

antara stimulus dengan kecemasan. Caranya dengan menghadapkan secara

12
bertahap klien yang sedang dalam keadaan rileks kepada situasi atau

obyek yang menyebabkan ia cemas .

Dzikir merupakan suatu perbuatan mengingat, menyebut, mengerti,

menjaga dalam bentuk ucapan-ucapan lisan, gerakan hati atau gerakan

anggota badan yang mengandung arti pujian, rasa syukur dan do’a dengan

cara-cara yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, untuk memperoleh

ketentraman batin, atau mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, dan

agar memperoleh keselamatan serta terhindar dari siksa Allah. Abu

Hurairah Radhiyallahu Anhu berkata, ”Rasulullah Shallallahu Alaihi wa

Sallam bersabda, ”mengucapkan ”Subhanallah”, ”Alhamdulillah”, ”Laa

ilaha Illallah”, dan ”Allahu Akbar” lebih aku sukai dari semua yang

terkena sinar matahari”.

Manfaat dan faedah dari dzikir sangat banyak tercantum dalam Al –

Quran salah satunya adalah Surat Ar Ra’ad ayat 28 : “(yaitu) orang-orang

yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah.

Ingatlah hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.

Sebagian orang yang mengalami fobia spesifik mempunyai solusi

untuk mengatasi fobianya, salah satunya dengan banyak berdzikir dan

berdoa. Berserah diri kepada sang pencipta melalui doa memang

merupakan salah satu cara terbaik untk mengatasi fobia terbang. Melalui

berdzikir dan membaca doa, bathin dan psikologis akan menjadi lebih

tenang karena persoalan hidup dan mati adalah sepenuhnya urusan sang

pencipta.

13
Desensitisasi sistematik dengan dzikir tasbih yang diberikan

berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan simtom kecemasan pada

gangguan fobia spesifik. Intervensi akan lebih maksimal jika subjek terus

melatih diri, menerapkan teknik-teknik yang sudah dipraktikkan agar

subjek lebih mampu mengontrol perilaku kecemasan ketika menghadapi

situasi yang tidak nyaman terutama pada saat berhadapan dengan objek

fobia (Azmarani, 2015).

H. Komplikasi

Komplikasi yang dapat dialami penderita berupa gangguan cemas

dalam bentuk yang lain. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah depresi

dan pola hidup kurang baik seperti ketergantungan alkohol dan obat-obatan.

Perlu terapi yang sesuai agar penderita terhindar dari komplikasi tersebut

(Baihaqi, 2007).

I. Prognosis

Belum banyak diketahui prognosis mengenai fobia khas karena fobia

khas relatif baru diketahui sebagai salah satu gangguan mental yang penting

(Baihaqi, 2007). Psikoterapi yang lebih spesifik dan farmakoterapi

mempengaruhi prognosis dari fobia khas. Menurut National Institute of

Mental Health, 75 % orang dengan fobia khas dapat mengatasi ketakutannya

dengan terapi kognitif perilaku. Prognosis pada setiap penderita dapat

berbeda sesuai dengan seberapa besar gangguan fobia tersebut mempengaruhi

fungsi hidupnya seperti pada pekerjaan, pendidikan ataupun hubungan sosial

dengan orang sekitar (Donald, 2013).

14
15
BAB III

KESIMPULAN

1. Fobia spesifik adalah istilah umum untuk semua jenis gangguan

kecemasan yang jumlah untuk yang tidak masuk akal atau ketakutan

irasional yang berkaitan dengan pajanan terhadap objek atau situasi

tertentu.

2. Etiologi fobia spesifik dapat timbul akibat pemasangan objek atau situasi

spesifik dengan rasa takut dan panik. Fobia spesifik dapat juga disebabkan

oleh genetik yang cenderung diturunkan di dalam keluarga.

3. Kriteria diagnosis untuk fobia spesifik sesuai dengan DSM IV.

4. Terapi pada fobia spesifik dibagi menjadi terapi psikologik dan

farmakoterapi. Terapi psikologik yang dapat diberikan adalah terapi

pemaparan (exposure therapy), terapi kognitif, terapi relaksasi,

hypnotherapy. Terapi farmakoterapi yang dapat diberikan adalah SSRI,

Benzodiazepine, Venlafaxine, Buspirone, MAOI, dan dapat juga diberikan

cortisol. Selain itu terdapat terapi perilaku desensitasi sistemik.

16
DAFTAR PUSTAKA

Azmarina, Rani. (2015) Desensitisasi Sistemik Dengan Dzikir Tasbih Untuk

Menrunkan Simtom Kecemasan Pada Gangguan Fobia Spesifik.

HUMANITAS Vol. 12 No. 2 . 90-104

Baihaqi, Sunardi, Euis H., dkk. (2007) Psikiatri. Bandung: Refika Aditama.

Carr A. (2001) Abnormal Psychology: Psychology Focus. East Sussex.

Psychology Press.

Davidson, G.C., Neale J.M., Kring A.M. (2006) Psikologi Abnormal (edisi ke-9).

Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Donald W., Nancy C. (2013) Specific Phobia and Social Phobia. In: Introductory

textbook of psychiatry. 6th ed. American Psychiatry Publishing. UK.

Elvira S. D., Hadisukanto G. (2014) Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kaplan H. I., Sadock B. J., Grebb J. A. (2010) Sinopsis Psikiatri. Jilid II.

Tangerang: Binarupa Aksara.

Maslim, Rusdi. (2013) Diagnosis Gangguan Jiwa, PPDGJ III. Jakarta: PT Nuh

Jaya.

Sadock B. J., Sadock V. A. (2010) Buku Ajar Psikiatri Klinis. 2nd ed. Jakarta:

EGC.

17
Smoller JW, Sheidley BK, Tsuang MI. (2008) Anxiety Disorder and Social

Phobia: A Population Based Twin Study. USA: American Psychiatry

Publishing Inc; p150-6.

Singh J et al. (2016). Treatment options for the specific phobias. International

Journal of Basic & Clinical Pharmacology | May-June 2016 | Vol 5 | Issue

3.

18

Anda mungkin juga menyukai