“PSIKOLOGI ABNORMAL”
Oleh :
Reny Rochmana Pramundari 1511411126
Eka Nur Rahmawati 1511415074
A. LATAR BELAKANG
A. DEFINISI
Kata fobia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata ‘phobos’
yang berarti takut. Konsep takut yang dimaksudkan dalam fobia adalah
kecemasan dan agitasi sebagai respon terhadap suatu ancaman. Menurut
Freud, kecemasan neurotik adalah rasa cemas akibat bahaya yang tidak
diketahui. Rollo May mendefinisikan kecemasan neurotik sebagai “reaksi
yang tidak tepat atas suatu ancaman, meliputi represi dan bentuk-bentuk
lain dari konflik intrapsikis, yang dikelola oleh bermacam bentuk
pemblokiran aktivitas dan kesadaran. Jasper (1923) mengungkapkan
bahwa fobia adalah rasa takut yang sangat dan tidak dapat diatasi terhadap
suatu keadaan dan tugas biasa. Ross (1937) mengemukakan fobia adalah
rasa takut yang khas yang disadari oleh penderita sebagai suatu hal yang
tidak masuk akal, namun tidak dapat mengatasinya. Errera (1962)
mengemukakan fobia adalah rasa takut yang selalu ada terhadap suatu
benda yang dalam keadaan biasa tidak menimbulkan rasa takut.
Ketakutan pada gangguan fobia merupakan rasa takut yang tidak
sebanding dengan ancamannya. Phobia juga didefinisikan sebagai
kecemasan neurotik yang tidak rasional terhadap sesuatu atau situasi yang
sebenarnya tidak menakutkan namun menyebabkan seseorang untuk
menghindarinya karena dianggap sesuatu atau situasi tersebut dapat
mengancam hidupnya. Phobia juga menyebabkan tekanan secara fisik dan
psikologis dan dapat berdampak pada kemampuan seseorang untuk dapat
beraktifitas secara normal.
Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan
mengendalikan rasa takut. Namun bila seseorang terpapar atau berinteraksi
terus menerus dengan subjek fobia, maka hal tersebut berpotensi
menyebabkan terjadinya fiksasi. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana
mental seseorang menjadi terkunci, yang disebabkan oleh
ketidakmampuan orang tersebut dalam mengendalikan perasaan takutnya.
Penyebab lain terjadinya fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan
yang sangat ekstrem seperti trauma. Jika seseorang yang pertumbuhan
mentalnya mengalami fiksasi, maka ia akan memiliki kesulitan emosi
(mental blocks). Hal tersebut dikarenakan orang tersebut tidak memiliki
saluran pelepasan emosi (katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut
berinteraksi dengan sumber fobia, maka secara otomatis akan merasa
cemas/panik.
Selain gejala psikologi berupa rasa takut, fobia juga bisa
berdampak kepada kondisi fisik. Beberapa contoh gejala fisik yang timbul
akibat fobia, antara lain:
Disorientasi atau bingung
Pusing dan sakit kepala
Mual
Dada terasa sesak dan nyeri
Sesak napas
Detak jantung meningkat
Tubuh gemetar dan berkeringat
Telinga berdengung
Sensasi ingin selalu buang air kecil
Mulut terasa kering
2. Paradigma Behavioral
Teori behavioral mempunyai beberapa pikiran mengenai terjadinya
fobia melalui :
Avoidance conditioning, dimana pada etiologi ini formulasinya dilandasi
oleh teori dua faktor yang dikemukakan oleh Mowrer (1947) dan
menyatakan bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran
yang saling berkaitan.
Melalui classical conditioning, seseorang dapat belajar untuk takut pada
suatu stimulus netral (CS), jika stimulus tersebut dipasangkan dengan
kejadian yang secara intrinstik menyakitkan atau menakutkan(UCS).
Seorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut
dengan melarikan diri dari atau menghindari CS
Modeling, beberapa fobia dapat terjadi melalui modeling,dimana
seseorang mengalami fobia atau rasa takut terhadap sesuatu sebagai akibat
pengalaman yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat
dipelajari dengan meniru reaksi orang lain (modeling).
Pembelajaran yang dipersiapkan (prepared learning), pada penelitian Di
Nardo menunjukkan bahwa setelah pengalaman traumatis dengan seekor
anjing, mereka yang memiliki ketakutan yang menetap terhadap anjing
merasa cemas akan mengalami kejadian yang sama pada masa depan.
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa fobia bisa terjadi karena adanya
pembelajaran pada masa lalu.
3. Paradigma Kognitif
Dimana fobia atau ketakutan berlebih itu terjadi atas dasar
bagaimana proses berpikir manusia dapat berperan sebagai diathesis dan
pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap
4. Paradigma Biologis
Pada paradigma ini etiologi dari fobia itu sendiridibedakan atas :
Sistem saraf otonom, dimana ketika seseorangmengalami ketakutan, seperti
ketakutan saat tampildidepan orang banyak, kebanyakan dari merekaberkeringat dan
berwajah memerah. Ini disebabkanoleh aktivitas saraf otonom. Hanya saja
aktivitassaraf otonom itu terjadi secara berlebihan sehinggamenyebabkan
fobia itu sendiri.
Faktor genetik, faktor ini menunjukkan bahwa setiaporang tua
yang mengalami ketakutan pada sesuatuatau fobia, maka tidak menutup
kemungkinan untukanaknya memiliki kecendrungan fobia yang sama
Peristiwa traumatis
Ada beberapa contoh peristiwa yang dapat menyebabkan seseorang
mengalami trauma hingga pada akhirnya memicu munculnya fobia,
misalnya pengalaman diserang binatang atau serangga, pengalaman
terjebak di dalam sebuah ruangan tertutup atau lift, pengalaman berada di
tengah-tengah tawuran atau kerusuhan massa, pengalaman dimusuhi, atau
mendapat penolakan dari orang lain.
Temperamen yang tinggi
Seseorang yang berkepribadian terlalu sensitif, selalu berpikiran negatif,
dan sangat pemalu akan lebih rentan mengalami fobia.
Memiliki orang tua penderita fobia
Disinyalir bahwa fobia merupakan kondisi yang dapat diwarisi. Apabila
terdapat anggota keluarga yang memiliki fobia terhadap situasi atau pun
objek tertentu, maka risiko Anda terkena fobia juga tinggi.
D. TIPE FOBIA
1. Fobia Spesifik
Fobia spesifik adalah ketakutan yang berlebihan dan persisten
terhadap objek atau situasi spesifik. Orang yang mengalami ketakutan dan
reaksi fisiologis yang meninggi bila bertemu dengan objek fobia, maka
akan menimbulkan dorongan kuat untuk menghindari stimulus yang
ditakutkan. Untuk sampai pada taraf gangguan psikologis, fobia harus
secara signifikan mempengaruhi gaya hidup atau berfungsinya seseorang
atau menyebabkan distres yang signifikan.
Fobia spesifik sering kali bermula pada masa kanak-kanak. Banyak
anak yang mengembangkan ketakutan terhadap objek atau situasi spesifik,
tetapi hal ini akan berlalu. Meskipun demikian, beberapa diantaranya
masih tetap berlanjut mengembangkan fobia kronis yang signifikan secara
klinis.
Fobia spesifik adalah salah satu gangguan psikologis yang paling
umum, mengenai sekitar 7% sampai 11% dari populasi umum pada suatu
saat dalam hidup mereka (APA, 2000). Fobia spesifik cenderung untuk
berlangsung terus selama bertahun-tahun atau selama beberapa dekade,
kecuali apabila ditangani dengan sukses. Perempuan mempunyai
kemungkinan dua kali lipat dibandingkan dengan laki-laki, karena adanya
faktor budaya yang mensosialisasikan perempuan untuk tergantung kepada
laki-laki.
Terapi yang sering digunakan unutk menangani fobia spesifik
adalah terapi pemaparan (exposure therapy), suatu tipe terapi perilaku
dengan mendesensitisasi klilen menggunakan pemaparan stimulus fobik
yang serial, bertahap, dan dipacu diri sendiri. Ahli terapi mengajari pasien
tentang berbagai teknik untuk menghadapi kecemasan termasuk
relaksasi,kontrol pernafasan, dan pendekatan kognitif terhadap gangguan.
Aspek kunci dari terapi pperilaku berhasil adalah (1) komitmen pasien
terhadap pengobatan, (2) masalah dan tujuan yang diidentifikasikan
dengan jelas,(3) streategi alternatif yang tersedia untuk mengatasi perasaan
pasien.
2. Fobia Sosial
Fobia sosial merupakan ketakutan yang intens terhadap situasi
sosial sehingga mereka mungkin sama sekali menghindarinya atau
menghadapinya tetapi dengan distres yang sangat besar. Fobia sosial yang
mendasar adalah ketakutan yang berlebihan terhadap evaluasi negatif dari
orang lain. Orang-orang dengan fobia sosial takut untuk mengatakan atau
melakukan sesuatu yang memalukan atau yang membuat dirinya merasa
hina. Mereka cenderung untuk sangat kritis terhadap kemampuan sosial
merekan dan terbawa dalam mengevaluasi performa mereka sendiri ketika
berinteraksi dengan orang lain. Beberapa bahkan mengalami serangan
panik yang parah dalam situasi sosial.
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk fobia sosial telah dimodifikasi
dari kriteria diagnostik DSM-III R. Karena fobia sosial dapat disertai
dengan serangan panik, kriteria B dan F DSM-IV telah ditulis ulang untuk
menekankan dan untuk mendorong penggunaan pertimbangan klinis
dalam membuat diganosis akhir. DSM IV menambahkan satu tipe fobia
sosial, tipe umum yang dapat digunakan untuk meramalkan perjalanan
penyakit, diagnosis, dan respon pengobatan.
Pengobatan fobia sosial menggunakanpsikoterapi dan
farmakoterapi, dan berbagai pendekatan adalah diindikasikan untuk tipe
umum dan situasi kinerja.
3. Agrofobia
Pasien Agrofobia secara kaku menghindari situasi dimana akan
sulit untuk mendapatkan bantuan. Mereka lebih suka disertai oleh seorang
teman atau anggota keluarga di tempat-tempat tertentu, seperti jalanan
yang sibuk, toko yang padat, ruangan yang tertutup dan kendaraan yang
tertutup. Klien mungkin memeksa bahwa mereka harus ditemani tiap kali
mereka keluar rumah. Perilaku tersebut dapat menyebabkan pertengkaran
dalam perkawinan, yang dapat keliru di diagnosis sebagai masalah primer.
Klien yang menderita secara parah mungkin akan menolak keluar dari
rumah. Khususnya sebelum didiagnosis yang benar dibuat, pasien
mungkin ketakutan mereka akan gila.
Sebagian besar kasus agrofobia disebabkan oleh gangguan panik.
Jika gangguan panik diobati, agrofobia sering kali membaik dengan
berjalannya waktu. Untuk mendapatkan reduksi agrofobia yang cepat dan
lengkap, terapi perilaku kadang-kadang diperlukan. Agrofobia tanpa
riwayat gangguan panik sering kali menyebabkan ketidakberdayaan dan
kronis. Gangguan depresif dan ketergantungan alkohol sering kali
mengkomplikasi perjalanan agrofobia.
Dua terapi paling efektif adalah farmakoterapi dan terapi kognitif-
perilaku. Farmakoterapi adalah terapi dengan menggunakan obat trisikik
dan terasiklik, inhibitor monoamin oksidase (MAOI), inhibitor ambilan
kembali spesifik serotonin (SSRI) dan benzodiazepine. Terapi keluarga
dan kelompok mungkin membantu pasien yang menderita dan keluarganya
untu menyesuaikan dengan kenyataan bahwa klien menderita gangguan
dan dengan kesulitan psikososial yang telah dicetuskan oleh gangguan.
E. PENANGANAN
1. Pendekatan Psikodinamika
Kecemasan mereflreksikan energi yang diletakkan kepada konflik-konflik
tak sadar dan usaha ego untuk membiarkan tetap terepresi. Berdasarkan
psikoanalisis tradisional,ego dapat lebih memberi perhatian kepada tugas-
tugas yang lebih kreatif dan memberi peningkatan. Terapis spikodinamika
yang lebih modern lebih menjajaki sumber fobia yang berasal dari keadaan
hubungan sekarang ini daripada hubungan masa lalu dan mendorong klien
untuk mengembangkan tingkah laku yang lebih adaptif.lagkah yang dapa
dilakukan untuk mengurangi fobia yaitu dengan hipnoterapi.
2. Pendekatan Humanistik
Kecemasan dan ketakutan yang kita alami berasal dari represi sosial diri
kita yang sesungguhnya.halini terjadi bila ketidakselarasan antara inner
self seseoranng dengan yang sesungguhnya dan kedok sosialnya mengarah
ke taraf kesadaran. Orang merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan
terjadi, tetapi tidak mampu untuk menyatakan apa itu karena bagian dari
dirinya yang tidak diakui tidak secara langsung diekspresikan dalam
kesadaran. Terapis humanistik membantu orang untuk memahami dan
mengekspresikan bakat-bakat individual merekaserta perasaan perasaan
mereka yang sesungguhnya.
3. Pendekatan Biologis
Berbagai variasi obat-obatan digunakan untuk mengobati gangguan-
gangguan kecemasan. Obat penenang dengan potensi tinggi alprazolam
(xanax) yang termasuk dalamgolongan benzodiazepine juga membantu
dalam mengobati gangguan panik,fobia sosial, dan gangguan kecemasan
menyeluruh. Obat antidepresan juga dapat membantu mgenobati
gangguan-gangguan kecemasan lainnya termasuk agrofobia yang
menyertai gangguan panik,fobia sosial,PTSD, dan lain lain.
Masalah potensial dengan terapi obat adalah pasiaen kemungkinan
menganggap perbaikan klinis yang terjadi disebabkan oleh obat dan bukan
karena sumber daya mereka sendiri. Obat-obatan itu juga tidak membawa
kesembuhan total.
4. Pendekatan Belajar
a. Flooding: bentuk dari terapi pemaparan dimana subjek dihadapkan
kepada stimuli pembangkit kecemasan tingkat tinggi baik melalui
imajinasi atau situasi aktual. Hal tersebut dilakukan karena
kepercayaan adalah representasi dari respon terkondisi darisuatu
stimuli fobik dan akan punah bila individutersebut tinggal di situasi
fobik tersebut untuk waktu yang cukup lama dantidak terjadi
konsekuensi yang merugikan.
b. Desensitisasi Sistematis
Desensitisasi Sistematis adalah yang digunakan untuk mengurangi
rasa takut secara progresif mengatasi stimuli yang semakim
mengganggu sementara mereka tetap rileks. 10-20 stimuli diatur
dalam urutan hierarki yang disebut hierarki stimulus takut (fear
stimuly hierarchy) diurutkan berdasarkan kemampuan stimuli
tersebut menimbulkan kecemasan.
c. Pemaparan Gradual
Dalam pemaparan gradual, klien dihadapkan pada dihadapkan pada
suatu stimulus takut dalam situasi aktual , sering kali bersama
dengan seorang terapis atau pendamping yang berperan supportif
pemaparan gradual sering kali dikombinasikan dengan teknik-
teknik kognitif yang berfokus pada membantu klien mengganti
pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinan pembangkit kecemasan
dengan alternatif lain yang rasional dan menenangkan.
Aksis V : GAF = 53
BAB III
A. SIMPULAN
Fobia adalah rasa takut yang sangat dan tidak dapat diatasi terhadap suatu
keadaan ataupun pada suatu obyek tertentu. Rasa takut yang khas yang disadari
oleh penderita sebagai suatu hal yang tidak masuk akal, namun tidak dapat
mengatasinya. Faktor-faktor penyebab fobia antara lain, pengalaman yang
membuat traumatis, kejadian ekstrim dan orang tau yang menderita fobia. Fobia
dapat diatasi dengan berbagai pendekatan, yaitu pendekatan psikodinamika,
pendekatan humanistik, pendekatan biologis, pendekatan behavior, terapi prilaku
kognitif, terapi virtual fobia, terapi kognitif behavior.
B. SARAN