Anda di halaman 1dari 11

Keperawatan Jiwa

LAPORAN PENDAHULUAN FOBIA

DISUSUN OLEH

SULPIANAH

NIM : 14420201061

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS XI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2020
1. Definisi Fobia
Para Psikopatolog mengartikan bahwa Fobia sebagai penolakan yang mengganggu yang
diperantarai rasa takut yang tidak proporsional dengan bahaya yang dikandung oleh objek
atau situasi tertentu oleh si penderita sebagai situasi yang tidak berdasar. Tipe fobia dibagi
menjadi 2 yaitu:
a. Fobia Spesifik
Fobia Spesifik adalah ketakutan yang beralasan yang disebabkan oleh kehadiran
atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. DSM-IV-TR membagi fobia
berdasarkan sumber ketakutannya: Darah, cedera, dan penyuntikan situasi (pesawat
terbang, lift, ruang tertutup), bianatang, dan lingkungan alami (ketinggian, air).
Hal yang ditakuti pada fobia juga dapat bervariasi dalam berbagai budaya. Sebagai
contoh, di Cina, Pa-leng adalah ketakutan pada dingin di mana seseorang mengalami
kekhawatiran bahwa hilangnya panas tubuh dapat menyebabkan nyawa terancam.
Ketakutan ini tampaknya berkaitan dengan filosofi Cina tentang yin dan yang, yin
merujuk pada aspek-aspek kehidupan berupa pencairan energi yang dingin dan
berangin. Contoh lain dapat dilihat pada orang yang menderita fobia lingkungan alami,
orang tersebut takut pada ketinggian sehingga hal-hal yang berhubungan dengan
ketinggian membuatnya cemas.
b. Fobia Sosial
Fobia Sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan
dengan keberadaan orang lain. Fobia ini dapat sangat merusak, sedemikian parah
sehingga angka bunuh diri pada orang-orang yang menderita fobia ininlebih tinggi
dibanding pada mereka yang menderita gangguan anxietas lainnya.
Individu yang bersifat fobia sosial biasanya menghindari situasi di mana ia
mungkin dinilai dan menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berprilaku memalukan.
Ketakutan yang ditunjukkan dengan keringat berlebihan atau memerahnya wajah
merupakan hal jamak. Berbicara atau melakukan sesuatu di depan, makan di tempat
umum, menggunakan tolet umum, atau hampir semua aktivitas lain yang dilakukan di
tempat yang terdapat orang lain dapat menimbulkan kecemasan eksterm, bahkan
serangan panik besar-besaran. Orang-orang yang menderita fobia sosial sering kali
bekerja dalam pekerjaan atau profesi yang jauh lebih di bawah kemampumerean atau
kecerdasan mereka karena sensitivitas sosial eksterm yang mereka alami jauh melebihi
apa yang kita pikirkan tentang rasa malu, sangat merugika n secara emosional. lebih
baik mengerjakan pekerjaan bergaji rendah daripada setiap hari berhadapan dengan
orang lain dalam pekerjaan yang lebih berharga.
2. Etiologi Fobia
Berbagai kemungkinan penyebab Fobia juga dikemukakan oleh para pendukung
paradigma Psikoanalisis, Behavioral, Kognitif, dan Biologis.
a. Teori Psikoanalisis
Freud adalah orang pertama yang mencoba menjelaskan secara sistematis perilaku
fobik. Menurut Freud, fobia merupakan pertahanan terhadap kecemasan yang
disebabkan oleh impuls-impuls id yang ditekan kecemasan yang dialihkan dari impuls
id yang ditakuti dan dipindahkan ke suaetu objek atau situasi yang memiliki koneksi
simbolik dengannya.
Berdasarkan teori fobia lain dari psikoanalisis yang diajukan oleh Arieti (1979),
sesuatu yang ditekan merupakan masalah interpersonal tertentu di masa kecil dan
bukan suatu impuls id. Arieti berteori bahwa pada masa anak-anak , orang-orang yang
menderita fobia pada awalnya menjalani periode tanpa dosa dimana mereka
mempercayai orang lain di sekitar mereka untuk melindungi mereka dari bahaya.
Kemudian mereka menjadi takut bahwa orang dewasa, terutama orang tua, tidak dapat
diandalkan. Mereka tidak dapat hidup denganketiadaan rasa percaya tersebut atau rasa
takut kepada orang lain. Untukdapat mempercayai orang lain, secara tidak sadar
mereka mengubah rasa takut kepada orang lain tersebut menjadi rasa takut terhadap
objek atau situasi yang tidak menyenangkan. Fobia muncul ke permukaan ketika pada
masa dewasa seseorang mengalami beberapa bentuk stres. Sebagaimana sebagian
besar teori berdasarkan psikoanalisis, bukti-bukti yang mendukung pandangan ini
sebagian besar terbatas pada kesimpulan yang ditarik dari laporan-laporan kasus klinis.
b. Teori Behavioral
Teori behavioral berfokus pada pembelajaran sebagai cara berkembangnya fobia.
Beberapa tipe yang mungkin berperan sebagai berikut:
1). Avoidance Conditioning
Penjelasan utama behavioral tentang fobia adalah reaksi semacam itu
merupakan respons avoidance yang dipelajari. Formulasi Avoidance conditioning,
dilandasi oleh teori dua faktor yang diajukan oleh Mowrer (1947) dan menyatkan
bahwa fobia berkembang dari dua rangkaian pembelajaran yang saling berkaitan.
a) Melalui Clasical Conditioning seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu
stimulus netral (CS) jika suatu stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian
yang secara intrinsik menyakitkan atau menakutkan (UCS).
b) Seseorang dapat belajar mengurangi rasa takut yang dikondisikan tersebut
dengan melarikan diri dari atau menghindari CS. Jenis pembelajaran yang
kedua ini diasumsikan sebagai Operant Conditioning, respon dipertahankan
oleh konsekuensi mengurangi ketakuatan yang menguatkan.
2). Modeling
Selain belajar untuk takut terhadap sesuatu sebagai akibat dari pengalaman
yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat dipelajari dengan meniru
reaksi orng lain. Dengan demikian, beberapa fobia terjadi melalui proses
modeling bukan melalui pengalaman yang tidak menyenangkan terhadap objek
atau situasi yang ditakuti. Berbagai macam perilaku termasuk respon-respons
emosional, dapat dipelajari dengan menyaksikan suatu model. Pembelajaran
tentang rasa takut dengan mengamati orang lain secara umum disebut sebagai
Vicarious Learning.
c. Teori Kognitif
Sudut pandang kognitif terhadap kecemasan secara umum dan fobia secara
khusus berfokus pada bagaimana pikiran dapat membuat fobia menetap.
Kecemasan dikaitkan dengan kemungkinan yang lebih besar untuk menanggapi
stimuli negatif, menginterpretasi situasi yang tidak jelas sebagai informasi yang
mengancam dan mempercayai bahwa kejadian negatif memiliki kemungkinan
lebih besar untuk terjadi di masa depan. Isu utama dalam teori ini adalah apakah
kognisi tersebut menyebabkan kecemasan atau apakah kecemasan yang
menyebabkan kognisi tersebut.
Berbagai studi terhadap orang-orang yang mengalamai kecemasan sosial
setelah meneliti faktor-faktor kognitif yang berkaitan dengan fobia sosial. Orang-
orang yang mengalami fobia sosial lebih khawatir terhadap penilaian orang lain
dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki kecemasan sosial, lebih
memperhatikan citra mereka yang ia tunjukkan kepada orang lain dan cenderung
melihat diri mereka secara negatif walaupun mereka tampil dengan baik dalam
suatu interaksi sosial.
Teori kognitif mengenai fobia juga relevan untuk berbagai fitur lain dalam
gangguan ini, rasa takut yang menetap dan fakta bahwa ketakutan tersebut
sesungguhnya tampak irasional bagi mereka yang mengalaminya. Fenomena ini
dapat terjadi karena rasa takut yang terjadi melalui proses-proses otomatis yang
terjadi pada awal kehidupan dan tidak disadari. Setelah proses awal tersebut,
stimulus dihindari sehingga tidak diproses cukup lengkap dan yang dapat
menghilangkan rasa takut tersebut.
3. Terapi Fobia
Terapi fobia dapat dilakukan melalui pendekatan Psikoanalisis, pendekatan
Behavioral, pendekatan Kognitif, dan pendekatan Biologis.
a. Pendekatan Psikoanalisis
Sama halnya teori psikoanalisis yang memiliki banyak variasi, demikian pula
dengan terapi psikoanalisis terhadap fobia yang berusaha mengungkap konflik-konflik
yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan eksterm dan karakteristik
pengindaran dalam gangguan ini. karena fobia dianggap sebagai simtom dari konflik-
konflik yang ada dibaliknya, fobia biasanya tidak secara langsung ditangani. Memang,
upaya langsung untuk mengurangi penghindaran fobik dikontradikasikan karena fobia
diasumsikan melindungi orang yang bersangkutan dari berbagai konflik yang ditekan
yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Dalam berbagai kombinasianalisis menggunakan berbagai teknik yang
dikembangkan dalam tradisi psikoanalisis untuk membantu mengangkat represi.
Dalam asosiasi bebas anlis mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang
disebutkan pasien terkait dengan setiap rujukan mengenai fobia. Analis juga brupaya
menemukan berbagai petunjuk terhadap penyebab fobia yang ditekan dalam isi mimpi
yang tampak jelas.
Analisis ego kontemporer kurang memfokuskan pada riwayat insight dan lebih
fokus untuk mendorong pasien untuk menghadapi fobia. Walaupun demikian, mereka
juga menganggap fobia sebagai masalah dari yang terjadi pada masa lalu. Alexander
dan French, dalam buku klasiknya Psichoanalytic Therapy (1946), menulis tentang
“pengalaman emosional korektif” dalam terapi, yang mereka maksudkan sebagai
situasi di mana pasien menghadapi sesuatu yang amat sangat ditakutinya. Mereka
mengamati bahwa “ freud sendiri menyimpulkan bahwa dalam penanganan beberapa
kasus, contohnya fobia, akan tiba waktunya analisis harus mendorong pasien untuk
melakukan berbagai aktivitas yang dihindarinya dimasa lalu”.
b. Pendekatan Behavioral
Desentisisai semantik merupakan terapi behavioral utama yang pertama kali
digunakan secara luas untuk menangani fobia (Wolpe, 1958). Individu yang menderita
fobia membayangkan serangkaian situasi yang semakin menakutkan sementara berada
dalam kondsi relaksasi mendalam. Bukti-bukti klinis damn eksperimental ini
mengindikasikan bahwa teknik ini efektif untuk menghapuskan, atau minimal
mengurangu fobia( Barlow, Raffa, & Cohen, 2002).
Banyak terpis perilaku yang telah menyadari pentingnya pemaparan dengan
situasi fobik dalam kehidupan nyata. Kadangkala selam periode di mana pasien
didesentisasi dalam imajinasi dan kadangkala sebagai pengganti
Pada saat yang sama penting untuk dicatat bahwa desentisasi dalam imajinasi
secara khusus sesuai bila tidak dimungkinkan atau tidak praktis untuk orang yang
memaparkan orang yang sangat ketakutan secara langsung pada sesuatu yang mereka
takuti. Contohnya, jika seorang terapis ingin memberikan pemaparan bertingkat
dengan figur otoritas dalam hidup pasien, misalnya dengan ayah pasien yang sudah
meninggal, maka akan beemanfaat untuk dapat menggunakan pemaparan dengan
pemcitraan sebagai “pengganti” hal nyata dan untuk mengetahui bahwa, berdasarkan
penelitian terkendali dalam prosedur original dari Wolpe, pemaparan terhadap situasi
imajiner menghasilkan reduksi kecemasan yang signifikan.
Flooding merupakan teknik terapeutik di mana klien di mana klien dipaparkan
sebagai sumber fobia dalam insensitas penuh. Rasa todak nyaman eksterm menjadi
bagian tak terhindarkan dalam prosedur ini sehingga belum lama ini cenderung
menahan terapis untuk menggunakan teknik ini, kecuali mungkin sebagai jalan
terakhir bila pemaparan semakin bertingkat tidak membuahkan hasil. Dalam
pembahasan mengenai terapi untuk gangguan obsesif compulsif dan gangguan stres
pasca trauma, kita akan melihat penggunaan teknik flooding lebih luas.
Modeling juga merupak teknik lain yang menggunakan pemaparan terhadap
berbagai situasi yang ditakuti. Dalam terapi modeling, klien yang ketakutan melihat
orang lalin yang berinteraksi dengan objek melalui film atau secara langsung fobik
tanpa rasa takut, contohnya memegang ular yang tidak terbiasa atau mengusap-usap
anjing yang jinak. Menunjukkan pada orang-orang yang mengalami kecemasan sosial
bagaimana mereka dapat berinteraksi dengan orang Lain secara lebih baik merupakan
bagian tak terpisah dalam pelatihan keterampilan sosial. Bagi pasien yang mengalami
gangguan sosial, terjadi karena tidak tahu bagaimana harus berperilaku dalam berbagai
situasi sosial.
Banyak terapis perilaku memberika perhatian pada rasa takut dan penghindaran
dengan menggunakan teknik seperti desentisasi untuk mengurangi rasa takut den
pembentukan operant untuk mendorong pendekatan. Dalam tahap awal penanganan,
ketika rasa takut dan penhindaran sangat besar, terapis berkonsentrasi mengurangi rasa
takut melalui pelatihan relaksasi dan pemaparan bertingkat terhadap situasi fobik.
Seiring dengan berjalannya terapi, penghindaran lebih menjadi isu dibanding rasa
takut. Seseorang yang menderita fobia seringkali menempatkan dirinya pada posisi di
mana orang lain mengakomodasikan ketidakmampuannya sehingga malah
memperkuat fobia yang diderita orang tersebut (para psikoanalisa menyebut fenomena
ini sebagai secondary gain). Sejalan dengan berkurangnya kecemasan si penderita ia
akan mampu mendekati sesuatu yang sebelumnya sangat menakutkan baginya.
Perilaku terbuka ini dapat dikuatkan secara positif dan penghindaran tidak didorong
oleh keluarga dan teman-teman serta terapis.

c. Pendekatan Kognitif
Terapi Kognitif bagi penderita fobia spesifik dipandang dengan skeptis karena
karakteristik utama penentu fobia: rasa takut yang diakui oleh penderitanya sebagai
rasa takut yang berlebihan atau tidak beralasan. Jika penderita mengakui bahwa ia
mengalami ketakutan kepada sesuatu yang tidak berbahaya. apa yang dapat dilakukan
terapis untuk mengubah pemikiran si penderita? memang, tidak ada bukti yang
menunjukkan bahwa hanya dengan menhapuskan keyakinan irasioanal tanpa
pemaparan situasi dengan situasi yang ditakuti akan mengurangi penghindaran fobik.
Secara kontras, berkaitan dengan fobia sosial metode kognitif semacamitu
kadangkala dikombinasikan dengan pelatihan keterampilan sosial. Orang-orang yang
menderita fobia sosial dapat memperoleh manfaat strategi penanganan.Orang-orang
yang menderita fobia sosial dapat mengacu pada Beck dan Ellis, yaitu metreka
mungkin dipersuasi oleh terapis untuk menilai reaksi orang lain terhadap mereka
secara lebih akurat(kernyitaan wajah guru saya mungkin tidak berarti bahwa dia tidak
setuju dengan saya, namun lebih menunjukkan sesuatu yang sedang dipikirkannya
yang tidak berkaitan sama sekali dengan saya) dan untuk tidak terlalu tergantung pada
persetujuan orang lain untuk mempertahankan perasaan bahwa diri kita
bermakna( hanya karena saya dikritik bukan berarti saya adalah orang tanpa entitas
yang bermakna). Dengan pengakuan dalam tahun-tahun terakhir bahwa orang yang
menderita fobia sosial, pada dasarnya memiliki cukup keterampilan sosial namun
terhambat oleh pikiran-pikiran yang menghancurkan diri sendiri, pendekatan kognitif
semakin dititikberatkan. Bila dikombinasikan dengan pemaparan dengan situasi yang
ditakuti, terutama dalam konteks terapi kelompok, pendekatan kognitif terbukti lebih
efektif dibanding berbagai terapi yang lain(Turk dkk, 2001).

d. Pendekatan Kognitif
Semua terapi behavioral dan kognitif bagi fobia memiliki tema yang berulang,
sebutlah bahwa pasien yang perlu mulai menghadapi sesuatu yang diyakininya terlalu
menakutkan, terlalu mengerikan untuk dihadapi. Walaupun psikoanalis percaya bahwa
rasa takut berasal dari masa lalu yang terpendam sehingga menunda konfrontasi
langsung, pada akhirnya mereka juga mendorong pasien untuk menghadapinya. Freud
menyatakan, “sesorang hampir tidak dapat mengatasi fobia jika ia menunggu sampai
pasien membiarkan analis memengaruhinya untuk untuk menghadapinya. Seseorang
akan berhasil jika dapat membuat mereka mengatasinya sendiri dan berupaya berjuang
untuk menghadapi kecemasan mereka. Dengan demikian, semua terapi tersebut
mencerminkan bentuk kebijaksanaan yang tidak lekang oleh waktu, yaitu yang
menyatakan bahwa kita harus menghadapi ketakutan kita.
e. Pendekatan Biologis
Obat-obatan yang mengurangi keemasan disebut sebagai sedatif, tranquilizer, atau
anxiolytic( akhiran lytic berasal dari bahasa Yunani yang berarti melonggarkan atau
melelehkan). Barbiturate adalah kategori obat-obatan utama yang pertama kali
digunakan untuk menangani gangguan anxiety, namun karena kategori obat-obatan
tersebut menyebabkan ketergantungan dan beresiko tinggi mematikan bila overdosis,
pada tahun 1950 obat-obatan tersebut diganti dengan dua kelompok obat-obatan lain,
propanediol (Miltown) dan benzodiazepine (valium dan xanax). Jenis yang kedua
dewasa ini digunakan secara luas dan sebagaimana akan kita lihat nanti , memberikan
manfaat bagi penderita gangguan anxietas. Namun demikian, jenis tersebut tidak
banyak digunakan bagia fobia spesifik. Terlebih lagi, walaupun reasiko mematikan
dalam kondisi overdosis tidak sebesar barbiturate, benzodiazepine mennyebabkan
ketergantungan fisik dan sidrom putus zat dari yang parah (Schweizer dkk., 1990).
Dalam tahun-tahun terkhir obat-obatan yang pada awalnya dikembangkan untuk
menangani depresi (antidepresan) menjadi populer untuk menangani banyak gangguan
anxietas, termasuk fobia. Salah satu kelompok obat-obatan tersebut, menghambat
manoamine oxidase (MAO), menunjukkan hasil yang lebih baik dalam satu studi
untuk menangani fobia sosial dibanding benzodiazepine (Gelernter dkk., 1991), dalam
studi lain sama efektifnya dengan terapi perilaku kognitif dalam pengamatan setelah
terapi selama 12 minggu (Heimberg dkk., 1998). Namun, penghambat MAO, seperti
phenelzine (Nardil), dapat menyebabkan peningkatan berat badan, insomnia, disfungsi
seksual, dan hipertensi. Penghambat pengembalian serotonia selektif yang baru-baru
ini tersedia(SSRI), seperti fluoxetine (prozac), pada awalnya juga dikembangkan untuk
menangani depresi. obat-obatan jenis ini juga menunjukkan hasil yang menjanjikan
untuk mengurangi fobia spesifik dan sosial dalam berbagaistudi double blind
(Benjamin dkk., 2000; Van Ameringen dkk., 2001).
Namun demikian, masalah kunci dalam menangani fobia dan gangguan anxietas
lainnya menggunakan obat-obatan adalah pemberian obat-obatan mungkin sulit
dihentikan, dan kekambuhan umum terjadi jika pasien berhenti menggunakannya
(Herbert, 1995).
Masalah Keperawatan Data yang Perlu Dikaji

Ansietas DS:

1. Pasien menganggap dirinya mudah gelisah dan


tidak berdaya

2. Pasien mengatakan takut dan cemas

DO:

1. Pasien terlihat panik dan ketkutan


DAFTAR PUSTAKA

Nevid, Jeffrey S. 2013. Psikologi Abnormal. Jakarta :Erlangga

Feist & Feist.2010.Teori Kepribadian, Edisi 7.Jakarta:Salemba Humanika

Kaplan,Harold I. 2017. Sinopsis Psikiatri. Jakarta : Binarupa Aksara

Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 5. Jakarta : EGC. 2018

Tim Direktorat Keswa. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Bandung : RSJP
Bandung. 2010

Anda mungkin juga menyukai