Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH TERAPI PHOBIA

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Praktikum Konseling dan
Terapi Dosen Pengampu: Dr. Dian Siti Nurjanah, S.Psi.I., M.Ag.

Disusun oleh :
Muhammad Maulana Firdaus : 1201040100

N Sania Oktaviani : 1201040106

Nabila Kamalia : 1201040019

Nadhira Putri Azzahra : 1201040110

Nunung Novia Ramadini : 1201040118

Nur Neila Purnamasari : 1201040119

Nurul Aeni : 1201040122

PROGRAM STUDI TASAWUF


PSIKOTERAPI FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai jadwal. Makalah ini siap memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Praktikum Konseling dan Terapi yang dibimbing oleh Dosen Dr.
Dian Siti Nurjanah, S.PsiI, M.Ag di UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Berikut kami hadirkan makalah dengan judul “Terapi Phobia”, yang menurut kami dapat
memberikan manfaat yang luar biasa bagi kita untuk melihat lebih dalam lagi tentang Terapi
Phobia.
Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
telah menyisihkan upaya untuk membantu pencipta dalam menyelesaikan makalah ini, antara
lain:
1. Ibu Dr. Dian Siti Nurjanah, S.PsiI, M.Ag selaku pengajar di mata kuliah tersebut.
2. Dua wali yang secara konsisten menginspirasi baik secara etis maupun fisik.
3. Sahabat atas partisipasinya dalam penyusunan makalah ini
Melalui kata pengantar ini, pada awalnya penulis mohon maaf dan mohon pengertiannya
dengan asumsi substansi makalah ini kurang dan ada karya yang kami buat yang salah.
Demikian makalah ini kami persembahkan dengan rasa syukur yang luar biasa dan
semoga Allah SWT meridhoi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Bandung, 01 Juli 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Fobia (gangguan kecemasan) (bahasa Inggris: Phobia) adalah rasa takut berlebih yang di
derita seseorang karena suatu alasan. Seperti spongebob yang menderita nyctophobia atau
ketakutan terhadap gelap yang di karenakan spongebob takut jika ada monster yang muncul dari
kegelapan. Banyak orang yang mengidap fobia menjadi korban perundungan di lingkungan
sekitarnya. Faktor utama terjadinya ini dikarenakan mereka yang merundung tidak mengetahui
kondisi mental seseorang yang mengidap fobia atau perundungan di lakukan secara terus
menerus yang menyebab kan mental korban yang awalnya baik baik saja menjadi hancur dan
menjadi phobia sosial (ansos) dan pelaku perundungan beranggapan bahwa itu adalah hal yang
sepele.
Pada keadaan normal, setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut.
Akan tetapi bila seseorang terpapar terus-menerus dengan phobia nya, hal tersebut berpotensi
menyebabkan terjadi fiksasi. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi
terkunci, karena ketidakmampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan
takutnya. Penyebab lain fiksasi adalah kejadian yang sangat ekstrim seperti trauma bom,
terjebak lift, korban pelecehan seksual dan sebagainya.
Seseorang yang pertumbuhan mentalnya mengalami fiksasi akan memiliki
kesulitan emosi (mental blocks) di kemudian hari karena tidak adanya saluran pelepasan emosi
(katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut berinteraksi dengan sumber fobia, secara
otomatis ia akan merasa cemas. Agar orang tersebut kembali "nyaman" maka cara paling mudah
adalah dengan "mundur kembali" atau regresi kepada keadaan fiksasi. Kecemasan yang tidak
diatasi seawal mungkin berpotensi menimbulkan akumulasi emosi negatif yang secara terus-
menerus ditekan ke alam bawah sadar (represi). Pola respons negatif tersebut dapat berkembang
terhadap subjek fobia lainnya dan intensitasnya semakin meningkat. Walaupun terlihat sepele,
“pola” respon tersebut akan dipakai terus-menerus untuk menangani masalah lainnya. Itu
sebabnya seorang penderita fobia semakin rentan dan semakin tidak produktif. Oleh karena itu,
penderita fobia tidak bisa dipandang sebelah mata (diremehkan).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Phobia ?
2. Bagaimana ciri-ciri Phobia ?
3. Apa saja jenis-jenis Phobia ?
4. Apa saja faktor penyebab Phobia ?
5. Bagaimana terapi untuk permasalahan Phobia?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Phobia
2. Untuk mengetahui ciri-ciri Phobia
3. Untuk mengetahui Jenis-jenis Phobia
4. Untuk mengetahui factor penyebab Phobia
5. Untuk mengetahui terapi untuk permasalahan Phobia
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Phobia
Secara Bahasa, pengertian phobia adalah ketakutan yang ekstrem atau tidak wajar
terhadap suatu objek, situasi, atau keadaan tertentu. Phobia berasal dari bahasa Yunani
"phobos" yang berarti ketakutan atau rasa takut yang hebat. Istilah ini digunakan untuk
menggambarkan kondisi klinis di mana seseorang mengalami ketakutan yang berlebihan,
tidak proporsional, dan sulit dikendalikan terhadap sesuatu yang sebenarnya tidak
berbahaya.
Secara istilah, phobia atau fobia adalah jenis gangguan kecemasan yang ditandai
dengan ketakutan yang intens dan persisten terhadap objek atau situasi tertentu. Phobia
dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang dan menyebabkan gangguan yang
signifikan dalam fungsi sosial, pribadi, dan pekerjaan. Orang dengan phobia sering
menghindari objek atau situasi yang menyebabkan ketakutan mereka, atau mereka bisa
menghadapinya dengan rasa takut yang sangat kuat dan cemas yang luar biasa.1
B. Ciri-ciri Phobia
Berikut adalah beberapa ciri-ciri phobia:
1. Ketakutan yang berlebihan: Seseorang dengan phobia memiliki ketakutan yang
berlebihan terhadap objek atau situasi tertentu. Ketakutan ini melebihi reaksi yang normal
dan proporsional terhadap ancaman yang sebenarnya.
2. Reaksi yang tak terkendali: Ketika terpapar dengan objek atau situasi yang menjadi
fobianya, seseorang dengan phobia akan mengalami reaksi yang tak terkendali seperti
serangan panik, keringat dingin, jantung berdebar-debar, sesak napas, gemetar, atau mual.
3. Penghindaran: Seseorang dengan phobia cenderung menghindari objek atau situasi
yang menyebabkan ketakutan mereka. Mereka mungkin mengatur kehidupan sehari-hari
mereka untuk menghindari konfrontasi dengan fobia mereka, bahkan jika itu berarti
mengorbankan kegiatan sosial atau kesempatan.
4. Kecemasan yang berkelanjutan: Phobia menyebabkan kecemasan yang berkelanjutan
dan mengganggu. Seseorang dengan phobia mungkin selalu merasa tegang, khawatir, dan
takut akan kemungkinan terpapar dengan objek atau situasi yang menjadi fobianya.
5. Kesulitan mengendalikan ketakutan: Orang dengan phobia biasanya kesulitan
mengendalikan ketakutan mereka. Mereka menyadari bahwa ketakutan mereka mungkin

1
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.
tidak masuk akal atau berlebihan, tetapi sulit untuk mengatasi reaksi emosional mereka
terhadap fobia tersebut.2
C. Jenis-jenis Phobia
Berikut adalah beberapa jenis phobia yang umum:
1. Acrophobia: Ketakutan yang berlebihan dan tidak wajar terhadap ketinggian. Orang
yang menderita acrophobia cenderung mengalami rasa cemas dan takut yang berlebihan
saat berada di tempat-tempat yang tinggi atau saat mereka dihadapkan pada situasi yang
melibatkan ketinggian, seperti berjalan di atas jembatan, naik elevator tinggi, atau melihat
pemandangan dari lantai tinggi.
Gejala: Orang yang menderita acrophobia dapat mengalami berbagai gejala fisik dan
psikologis saat mereka berada di tempat yang tinggi atau saat mereka menghadapi situasi
yang melibatkan ketinggian. Gejala yang umum termasuk ketegangan otot, jantung
berdebar, sesak napas, keringat berlebihan, gemetar, mual, pusing, dan perasaan panik
atau kehilangan kontrol.
Penyebab: Penyebab acrophobia tidak diketahui secara pasti, tetapi faktor-faktor
berikut ini dapat berperan dalam perkembangan fobia ini:
a. Pengalaman traumatik: Pengalaman buruk atau traumatik yang melibatkan ketinggian,
seperti jatuh dari tempat yang tinggi atau menyaksikan orang lain mengalami
kecelakaan serupa, dapat memicu perkembangan acrophobia.
b. Belajar melalui pengalaman: Pengalaman negatif atau pengamatan orang lain yang
takut pada ketinggian dapat mempengaruhi seseorang untuk mengembangkan
ketakutan yang sama.
c. Faktor genetik dan lingkungan: Faktor-faktor genetik dan lingkungan juga dapat
memainkan peran dalam munculnya acrophobia. Jika anggota keluarga memiliki
riwayat fobia atau gangguan kecemasan lainnya, individu tersebut mungkin memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengembangkan acrophobia.
Dampak Acrophobia dapat memiliki dampak negatif pada kehidupan sehari-hari
seseorang. Orang dengan acrophobia sering menghindari situasi atau tempat yang
melibatkan ketinggian, yang dapat membatasi aktivitas mereka. Mereka mungkin tidak
dapat bepergian ke daerah pegunungan, menikmati pemandangan dari tempat yang tinggi,
atau bahkan bekerja di gedung-gedung tinggi. Ketakutan yang berlebihan juga dapat
mengganggu kehidupan sosial dan emosional seseorang.
2. Arachnophobia: Ketakutan yang ekstrem atau rasa takut yang berlebihan terhadap
laba-laba. Istilah ini berasal dari kata "arachnid" yang berarti "laba-laba" dalam bahasa
Inggris dan "phobia" yang berarti "ketakutan yang tidak rasional". Arachnophobia adalah
salah satu fobia spesifik yang umum dijumpai dan mempengaruhi banyak orang di seluruh
dunia.
Seseorang yang menderita arachnophobia biasanya mengalami gejala yang kuat ketika
mereka melihat, berpikir, atau bahkan mendengar tentang laba-laba. Gejala-gejala ini dapat
mencakup perasaan cemas yang intens, kepanikan, keringat berlebih, jantung berdebar,
sesak napas, gemetar, mual, dan bahkan reaksi fisik seperti berteriak atau lari menjauhi
laba-laba.

Fobia ini dapat dimulai dari pengalaman traumatik yang melibatkan laba-laba di masa
lalu, seperti digigit atau terkejut oleh laba-laba. Namun, dalam beberapa kasus,
arachnophobia juga dapat terjadi tanpa adanya pengalaman traumatik yang jelas. Beberapa
teori juga mengatakan bahwa ketakutan ini mungkin memiliki akar evolusioner, di mana
ketakutan akan laba-laba diwariskan dari nenek moyang kita sebagai bentuk perlindungan
dari binatang berbisa.
Arachnophobia dapat memiliki dampak negatif yang signifikan pada kehidupan sehari-
hari seseorang. Orang yang menderita arachnophobia sering kali menghindari situasi atau
tempat-tempat yang berpotensi memiliki laba-laba, seperti ruangan berantakan, ruang
bawah tanah, dan area terbuka seperti taman atau kebun. Mereka juga mungkin mengalami
kesulitan tidur atau gangguan tidur karena ketakutan akan kemunculan laba-laba dalam
mimpi.
Pengobatan arachnophobia dapat melibatkan pendekatan kognitif-perilaku yang
meliputi terapi perilaku, terapi kognitif, dan teknik relaksasi. Terapi perilaku dapat
melibatkan pemaparan bertahap pada laba-laba atau gambar-gambar laba-laba untuk
membantu mengurangi kecemasan dan ketakutan yang berlebihan. Terapi kognitif
membantu individu mengidentifikasi dan mengubah pola pikir yang tidak realistis atau
berlebihan tentang laba-laba. Selain itu, teknik relaksasi seperti pernapasan dalam,
meditasi, atau yoga juga dapat digunakan untuk mengurangi tingkat kecemasan.
3. Trypophobia: Ketakutan atau perasaan tidak nyaman yang sangat kuat terhadap pola-
pola berlubang atau pola-pola berulang yang terkait dengan objek-objek seperti sarang
lebah, spons, lubang-lubang pada daging, atau biji-bijian yang berkelompok. Meskipun
bukan merupakan gangguan yang diakui secara resmi dalam Manual Diagnostik dan
Statistik Gangguan Mental (DSM-5), trypophobia masih dianggap sebagai fenomena
psikologis yang cukup umum.
Bagi mereka yang menderita trypophobia, melihat atau bahkan memikirkan tentang
gambar-gambar atau objek-objek dengan pola berlubang dapat memicu respons
emosional yang kuat. Gejala yang mungkin muncul termasuk rasa takut, kejijikan,
perasaan gatal, keringat dingin, gemetar, detak jantung yang cepat, mual, atau bahkan
serangan panik. Beberapa orang juga melaporkan sensasi kulit yang teriritasi atau ingin
menghindari benda-benda dengan pola berlubang.
Penyebab pasti trypophobia masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian
mendukung teori bahwa respon ini dapat dihubungkan dengan pengolahan visual dan
perhatian manusia terhadap pola-pola yang berulang secara evolusioner. Pola berlubang
yang muncul pada beberapa hewan beracun, seperti ular berbisa atau laba-laba beracun,
mungkin telah menjadi sinyal bahaya bagi manusia di masa lalu. Oleh karena itu, respon
emosional negatif terhadap pola berlubang mungkin merupakan bentuk warisan
evolusioner yang melindungi kita dari bahaya. Tidak ada pengobatan khusus untuk
trypophobia, tetapi beberapa pendekatan dapat membantu mengelola ketakutan atau
ketidaknyamanan yang terkait. Terapi perilaku kognitif (CBT) dapat membantu individu
mengenali dan mengubah pola pikir yang tidak sehat terkait trypophobia. Teknik
relaksasi seperti pernapasan dalam, meditasi, atau visualisasi juga dapat membantu
mengurangi kecemasan. Terapi paparan terkontrol secara bertahap juga dapat digunakan
untuk membantu individu beradaptasi dengan respons emosional mereka terhadap pola
berlubang.
4. Nyctophobia: adalah gangguan kecemasan spesifik yang ditandai dengan ketakutan
yang tidak proporsional terhadap kegelapan atau situasi dengan pencahayaan yang
rendah. Orang yang menderita nyctophobia dapat mengalami gejala seperti kecemasan
intens, peningkatan detak jantung, sesak napas, keringat berlebihan, gemetar, atau
serangan panik saat berada dalam situasi yang kurang pencahayaan. Nyctophobia dapat
mempengaruhi kehidupan sehari-hari seseorang, termasuk kemampuan tidur, kegiatan
sosial, atau perjalanan malam hari.3
Penyebab nyctophobia dapat bervariasi dari individu ke individu. Beberapa faktor
yang mungkin berperan dalam perkembangan nyctophobia meliputi:
1. Pengalaman traumatis terkait kegelapan pada masa kecil, seperti terjebak dalam
keadaan gelap atau mengalami kejadian menakutkan di tempat yang gelap.
2. Faktor genetik atau faktor keturunan yang mempengaruhi kerentanan terhadap
gangguan kecemasan.
3. Kondisi medis atau gangguan kesehatan mental lainnya seperti gangguan kecemasan
umum atau gangguan panik.
Diagnosis nyctophobia didasarkan pada gejala yang dialami oleh individu dan
penilaian oleh profesional kesehatan mental, seperti psikolog atau psikiater.
1. Terapi kognitif perilaku (CBT) sering digunakan dalam pengobatan nyctophobia.
Terapi ini melibatkan pengidentifikasian pikiran negatif yang terkait dengan
kegelapan dan menggantinya dengan pikiran yang lebih realistis dan positif.
2. Terapi pemaparan dapat membantu individu menghadapi ketakutannya secara bertahap
dengan secara terkontrol dan bertahap terpapar pada situasi kegelapan atau
pencahayaan rendah.
3. Penggunaan obat-obatan seperti obat penenang atau antidepresan dapat
direkomendasikan dalam beberapa kasus yang lebih parah.
Strategi Mengatasi Nyctophobia diantaranya; Mengembangkan rutinitas tidur yang
baik dan nyaman dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur di tempat yang
gelap. Dan Menjaga pencahayaan yang cukup di rumah atau tempat kerja dapat
membantu mengurangi rasa takut terhadap kegelapan.
D. Faktor penyebab phobia
Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan phobia:
1. Faktor Genetik: Beberapa penelitian menunjukkan bahwa faktor genetik dapat
berperan dalam kemungkinan seseorang mengembangkan phobia. Studi pada
saudara kembar
2
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.
3
Mayo Clinic. (2021). Phobias. Diakses pada 27 Mei 2023, dari
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/phobias/symptoms-causes/syc-20376927
identik menunjukkan tingkat kesamaan yang lebih tinggi dalam mengembangkan phobia
dibandingkan saudara kembar fraternal. Namun, mekanisme genetik spesifik yang terkait
dengan phobia masih belum sepenuhnya dipahami.4
2. Pengalaman Traumatis: Pengalaman traumatis, terutama pada masa kanak-kanak,
dapat menjadi pemicu phobia. Jika seseorang mengalami kejadian yang mengancam atau
menakutkan terkait dengan objek atau situasi tertentu, hal itu dapat menyebabkan
ketakutan berlebihan dan phobia terkait.5
3. Pembelajaran dan Asosiasi: Phobia juga dapat berkembang melalui pembelajaran dan
asosiasi. Jika seseorang mengalami peristiwa yang menakutkan atau memiliki
pengalaman negatif yang terkait dengan objek atau situasi tertentu, mereka dapat
mengasosiasikan ketakutan tersebut dengan objek atau situasi tersebut secara
keseluruhan.6
4. Faktor Lingkungan: Faktor lingkungan, seperti pengaruh dari keluarga, teman, atau
budaya, juga dapat berperan dalam perkembangan phobia. Misalnya, jika seseorang
tumbuh dalam lingkungan di mana mereka sering diberitahu bahwa suatu objek atau
situasi tertentu sangat berbahaya atau menakutkan, mereka mungkin lebih rentan untuk
mengembangkan phobia terhadap objek atau situasi tersebut.7
E. Terapi untuk permasalahan phobia
Terapi untuk mengatasi phobia atau ketakutan yang berlebihan dapat melibatkan
beberapa pendekatan yang berbeda. Beberapa terapi yang umum digunakan termasuk:
1. Terapi perilaku kognitif (Cognitive-Behavioral Therapy/CBT): Terapi ini fokus pada
mengubah pola pikir dan perilaku yang tidak sehat terkait dengan phobia. CBT
mengajarkan keterampilan pengelolaan kecemasan, pemikiran rasional, dan menghadapi
ketakutan secara bertahap melalui teknik seperti desensitisasi sistematis dan pemindaian
lingkungan.8
2. Terapi pemaparan (Exposure Therapy): Terapi ini melibatkan paparan bertahap
terhadap situasi atau objek yang memicu phobia dalam lingkungan yang aman.
Tujuannya adalah

4
Muris, P., & Loxton, H. (2005). The self-report questionnaire of spider phobia: A preliminary
psychometric evaluation. Journal of Behavior Therapy and Experimental Psychiatry, 36(3), 161-
181.
5
Ollendick, T. H. (2013). The Oxford Handbook of Anxiety and Related Disorders. Oxford
University Press.
6
Davey, G. C. L. (2006). A Short Introduction to Clinical Psychology. SAGE Publications Ltd.
7
Öst, L.-G., & Cederlund, R. (2016). Specific phobia in adults: A review. Annals of Translational
Medicine, 4(7), 136.
8
Craske, M. G., & Barlow, D. H. (2008). Mastery of your anxiety and panic: Therapist guide (4th
ed.). Oxford University Press.
untuk mengurangi kecemasan secara bertahap melalui pengalaman langsung dengan
phobia yang ditargetkan.9
3. Terapi psikodinamik: Terapi ini bertujuan untuk menggali asal mula phobia dalam
pikiran bawah sadar dan hubungan masa lalu. Melalui pengungkapan emosi dan
pemahaman lebih dalam tentang dinamika internal, individu dapat mengatasi phobia
mereka.10
4. Terapi farmakologis: Beberapa obat-obatan tertentu, seperti selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRI), dapat digunakan untuk mengurangi gejala kecemasan yang
terkait dengan phobia. Namun, terapi obat-obatan biasanya digunakan dalam kombinasi
dengan terapi non-farmakologis.11
5. Terapi EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing): EMDR adalah
pendekatan terapi yang dikembangkan khusus untuk mengobati trauma, termasuk phobia
yang disebabkan oleh pengalaman traumatis. Terapi ini melibatkan gerakan mata yang
diarahkan dengan sengaja sambil mempertahankan perhatian pada pengalaman trauma.
EMDR telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala phobia dan mengubah respons
emosional yang terkait dengan phobia.12
7. Desensitisasi Sistematik (Systematic Desensitization): Terapi ini melibatkan
pembentukan hierarki kecemasan dan eksposisi bertahap terhadap objek atau situasi yang
menimbulkan phobia. Klien dipaparkan secara terkontrol dengan objek atau situasi yang
memicu kecemasan mereka, sambil belajar teknik relaksasi untuk mengurangi respons
kecemasan yang berlebihan.13
8. Terapi Kecemasan Sosial (Social Anxiety Therapy): Terapi ini secara khusus
digunakan untuk mengatasi phobia sosial, yaitu ketakutan yang berlebihan terhadap
situasi sosial atau penilaian orang lain. Terapi ini dapat melibatkan latihan keterampilan
sosial, restrukturisasi pikiran negatif, dan eksposur terkontrol terhadap situasi sosial.14

9
Antony, M. M., & McCabe, R. E. (2012). The nature and treatment of anxiety disorders. In D. McKay &
E.
A. Storch (Eds.), Handbook of child and adolescent anxiety disorders (pp. 39-55). Springer.
10
Leichsenring, F., & Leibing, E. (2007). Psychodynamic psychotherapy: A systematic review of
techniques, indications, and empirical evidence. Psychology and Psychotherapy: Theory, Research and
Practice, 80(2), 217-228.
11
Bandelow, B., & Michaelis, S. (2015). Epidemiology of anxiety disorders in the 21st century. Dialogues
in Clinical Neuroscience, 17(3), 327-335.
12
Shapiro, F. (2001). Eye movement desensitization and reprocessing: basic principles, protocols, and
procedures.
13
- Wolpe, J. (1958). Psychotherapy by reciprocal inhibition. Stanford University Press.
14
Hope, D. A., & Heimberg, R. G. (1993). Social phobia and social anxiety. Guilford Press.
Analisis Kasus

 Konselor : Muhammad Maulana Firdaus

1. Identifikasi Klien
Nama: Nendi Chudori
Tempat, tanggal lahir: Tanggerang, 31 oktober 2000
Status/Pekerjaan: Mahasiswa
Alamat: Jl. Bhakti 3, Cibiru Hilir
2. Identifikasi Masalah
Gambaran masalah: memiliki masalah Arachnophobia
Deskripsi keadaan klien: dari tampilan fisik klien memiliki keadaan baik baik saja tetapi
dalam psikisnya klien mengalami berkeringat, gemetar, sesak di dada atau peningkatan
detak jantung ketika melihat laba - laba dan segala hal yang berkaitan dengan laba - laba.
Sesi terapi
Nama: Nendi Chudori
Tempat: Kosan
Tanggal: 30 Mei 2023
Deskripsi kegiatan: Terapi phobia menggunakan metode desentralisasi sistematis
Hasil terapi: klien mengalami ketakutan terhadap laba - laba berada di skala 9 tetapi
sejalannya dengan terapi desentralisasi sistematis yang di terapkan dan mendapatkan hasil
terapi yang menurun menjadi 6 skala dalam ketakutan nya. Meskipun turun sedikit tetapi
membuat klien lumayan mengobati.
Dokumentasi

 Konselor : N Sania Oktaviani


1. Identifikasi Klien
Nama: Syafhara Dewi Yuliani
Tempat, tanggal lahir: Tasikmalaya, 01 Juli 2001
Status/Pekerjaan: Mahasiswa
Alamat: gang kujang sebelah UIN Sunan Gunung Djati Bandung
2. Identifikasi Masalah
Gambaran masalah: memiliki phobia terhadap kucing
Deskripsi keadaan klien: dari tampilan fisik klien memiliki keadaan baik baik saja tetapi
dalam psikisnya klien merasa cemas dan sesak ketika membayangkan kucing, terkadang
mengingat nya saja selalu sesak dan cemas
Sesi terapi
Nama: Syafhara Dewi Yuliani
Tempat: kostan
Tanggal: 26 Mei 2023
Deskripsi kegiatan: Terapi phobia menggunakan terapi Seft
Hasil terapi: klien mengalami ketakutan terhadap kucing berada di skala 8.5 tetapi
sejalannya dengan terapi Seft yang di terapkan dan mendapatkan hasil terapi yang
menurun menjadi 7 skala dalam ketakutan nya. Meskipun turun sedikit tetapi membuat
klien lumayan mengobati
Dokumentasi

 Konselor : Nabila Kamalia


1. Identifikasi Klien
Nama: Fadilah nur kamila
Tempat, tanggal lahir: Bogor, 28 Juni 2003
Status/Pekerjaan: Mahasiswa
Alamat: Bogor
2. Identifikasi Masalah
Gambaran masalah: memiliki phobia Hemophobia
Deskripsi keadaan klien: dari tampilan fisik klien memiliki keadaan baik baik saja tetapi
dalam psikisnya klien merasa geli dan jijik pada darah bahkan darah haidnya
Sesi terapi
Nama: Fadilah nur kamila
Tempat: Pesantren Daar Al-Quds
Tanggal: 5 Juni 2023
Deskripsi kegiatan: Terapi phobia menggunakan terapi Seft
Hasil terapi: klien mengalami ketakutan terhadap darah berada di skala 5 tetapi sejalannya
dengan terapi Seft yang di terapkan dan mendapatkan hasil terapi yang menurun menjadi
skala 4 dalam ketakutan nya. Meskipun tidak mengalami perubahan yang signifikan, klien
merasa sangat terbantu karena phobia nya sedikit berkurang.
Dokumentasi

 Konselor : Nadhira Putri Azzahra


1. Identifikasi Klien
Nama: Taufik Rahman Hakim
Tempat, tanggal lahir: Bandung, 27 Desember 2001
Status/Pekerjaan: Mahasiswa
Alamat: Rancaekek
2. Identifikasi Masalah
Gambaran masalah: memiliki phobia trypophobia
Deskripsi keadaan klien: dari tampilan fisik klien memiliki keadaan baik baik saja tetapi
dalam psikisnya klien merasa geli dan jijik sehingga merasa ingin muntah
Sesi terapi
Nama: Taufik Rahman Hakim
Tempat: Rumah
Tanggal: 30 Mei 2023
Deskripsi kegiatan: Terapi phobia menggunakan terapi Seft
Hasil terapi: klien mengalami ketakutan terhadap bolong - bolong berada di skala 7 tetapi
sejalannya dengan terapi Seft yang di terapkan dan mendapatkan hasil terapi yang
menurun menjadi 5 skala dalam ketakutan nya. Meskipun turun sedikit tetapi membuat
klien lumayan mengobati.
Dokumentasi
 Konselor : Nunung Novia Ramadini

1. Identifikasi Klien
Nama: Ny Rd. Juati
Tempat, tanggal lahir: Bandung, 04 Mei 1970
Status/Pekerjaan: IRT
Alamat: Manjah beureum rt 2 rw 3
2. Identifikasi Masalah
Gambaran masalah: memiliki phobia terhadap buah kesemek
Deskripsi keadaan klien: dari tampilan fisik klien memiliki keadaan baik baik saja tetapi
dalam psikisnya klien merasa cemas dan keringat dingin ketika melihat, membayangkan
bahkan mendengar nama buah kesemek
Sesi terapi
Nama: Ny Rd juati
Tempat: kostan
Tanggal: 27 Mei 2023
Deskripsi kegiatan: Terapi phobia menggunakan terapi Seft
Hasil terapi: klien mengalami ketakutan atau phobia terhadap buah kesemek berada di
skala 8.5 tetapi sejalannya dengan terapi Seft yang di terapkan dan mendapatkan hasil terapi
yang menurun menjadi 7 skala dalam ketakutan nya. Meskipun skalanya turun sedikit tetapi
klien merasakan ketenangan dari sebelumnya.
Dokumentasi

 Konselor: Nur Neila Purnamasari

1. Identifikasi Klien
Nama: NSM
Tempat, tanggal lahir: Bandung, 14 September 2002
Status/Pekerjaan: Mahasiswa
Alamat: Jl. Veteran Blok D 082 Rt06 Rw06, Cipageran, Cimahi Utara, Kota Cimahi
2. Identifikasi Masalah
Gambaran Masalah: Klien ketakutan terhadap kegelapan, yang dikenal sebagai
nyctophobia. Klien pernah mengalami kejadian dimasa lalunya yaitu klien pernah
dikerjain sama seseorang ditempat kegelapan. Sehingga Klien merasa tidak nyaman dan
gelisah ketika tidur lampunya dimatikan. Kemudian klien mengalami ketakutan ketika
berpergian dimalam hari dan selalu ingin menghindar dari tempat yang gelap, sehingga
sering marah tanpa alasan yang jelas ketika berada ditempat yang gelap. Maka, klien
mengalami dadanya terasa sesak dan nyeri.
Deskripsi Keadaan Klien Sebelum Terapi: Klien merasa dadanya terasa sesak dan nyeri,
ketika di tempat kegelapan, maka dari itu konselor langsung menindaklanjuti
menggunakan terapi seft.
Sesi Terapi
Nama : NSM
Tempat : Cipadung
Tanggal : 25-Juni-2023
Deskripsi Kegiatan: Konselor mengenali penyebabnya terlebih dahulu seperta apa dan
kejadian dimasa lalunya bagaimana.. Lalu, gejala yang muncul, seperti klien mengalami
dada terasa sesak dan nyeri. Kemudian, konselor menanyakan efek dari takut kegelapan
itu apa. Setelah mengetahui itu semua konselor menggunakan terapi SEFT kepada klien
yang takut pada kegelapan.
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh klien, terapis memustuskan untuk
menggunakan terapi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique).
 Set Up
Diawal terapis meminta klien untuk rileks, memejamkan mata sambil mengatur penapasan
sebanyak tiga kali, dan mengucapkan bismillah, lalu terapis meminta klien untuk membuka
kembali matanya.
 Tune In
Setelah itu terapis meminta klien agar duduk dengan rileks, lalu terapis meminta klien
untuk menekan pelan dada bagian atas sambil mengucapkan (Ya Allah, walaupun dada saya
terasa sesak kalau saya berada ditempat gelap, saya takut ya allah, saya terima ya allah dan saya
pasrahkan kesembuhan fisik saya kepadamu ya allah, saya ikhlas, saya pasrah ya allah 3x) di
dalam hati.
Terapis meminta klien untuk berserah diri dan ikhlas atas segala ketentuan Allah terhadap
dirinya, terapis juga meminta klien untuk merasakan rasa sakitnya dan fokus pada rasa sakit
tersebut. Setelah itu terapis meminta klien untuk mengatur kembali napasnya sebanyak tiga
kali, dan duduk dengan rileks kembali.
 Tapping
Masuk pada proses selanjutnya yaitu tapping, pada tahap ini terapis meminta klien untuk
mengetuk-ngetuk ringan bagian tubuh tertentu sebanyak 5-7 kali, sambil terus melalukan tune
in (mengucapkan Ya allah, saya ikhlas, saya pasrah pada-Mu ya Allah), adapun titik-titik
tapping tersebut yaitu:
1) top of head (bagian atas kepala)
2) end of eyebrow (titik permulaan alis mata)
3) side of eye (titik permulaan alis mata)
4) under eye (2 cm di bawah mata)
5) under nose (di bawah hidung)
6) chin (antara dagu dan bagian bawah bibir)
7) collarbone (pada ujung tempat bertemu tulang dada dan tulang rusuk pertama)
8) under arm (untuk laki-laki terletak di bawah ketiak sejajar dengan putting susu dan wanita
terletak di perbatasan antara tulang dada dan bagian bawah payudara)
Setelah tapping dilakukan, terapis meminta klien untuk kembali mengatur pernapasan dan
mengucapkan Alhamdulillah di akhir proses terapi.
Sesudah atau Hasil Terapi: Menurut klien, setelah ia melalukan terapi SEFT, Klien sudah
merasa sedikit lebih baik dari pada sebelumnya. Klien sudah berani berada dalam tempat gelap
meskipun dalam jangka waktu sebentar.

Dokumentasi

 Konselor: Nurul Aeni


Tehnik Terapi Yang Digunakan Pada Klien Phobia
 Konseling
 Mind Healing Tehnik
Identitas Klien
Nama Inisial : SNA
Umur : 20 th
Status/Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Bandung
Identifikasi Masalah
Jennis Phobia : Akrophobia (Phobia Ketinggian)
Indikator Klien : Skala 6 pada Akrophobia sebelum di terapi
Skala 3 /2 setelah diterapi
Deskripsi Permasalalahan
Ternyata klien mempunyai trauma semasa di bangku SD. Yang menjadi factor utamanya klien
terjatuh dari tangga sehingga mengalami ketakutan jika sedang dalam posisi ketinggian apalagi
ketika melihat tangga yang sangat curam menurutnya hingga klien masih merasakan takutnya di
usia sedewasa ini dikarenakan factor utamnya dia pernah terjatuh dalam ketinggian yang
berposisisi saat menaiki tangga.
Sebelum Terapi
Ketika klien di ajak ke tempat yang tinggi (rooftop) klien mengalami perasaan yang sangat tidak
nyaman seperti gelisah, takut, jantung berdebar, dan keringat dingin, sampai kaki gemetar juga
merasakan lemas di lutut atau kaki ketika diajak ke rooftop dan melihat ke bawah.
Selain itu klien berimajinasi jatuh seperti “kalau saya jatuh di ketinggian ini pasti mengerikan
sekali, bagaimana kalua jatuh kebawah? Gmna kalua banyak luka fatal? Atau cedera serius
sampai pada patah atau remuknya tulang dalam tubuh”
Sedang Terapi
Klien merasakan tenang dan aman yang tadinya tidak karuan perasaannya karena sudah melihat
sekitar di atas rooftop.
Dikarenakan saya menggunakan metode MHT dengan mengajak klien untuk membayaangkan
bahwa di ketinggian seperti kita memenangkan juara kontestan atau sedang disoraki banyak orang
karena bangga agar merasa dirinya nyaman dan percaya diri klien terbangun Kembali tidak merasa
takut juga menetral kan yang jantungnya berdebar Kembali normal.
Selain itu saya mengajak ke tempat pegunungan dimana tujuannya agar klien semakin rileks juga
nyaman Kembali.
Ketika proses terapi klien mengatakan seperti ada aliran yang mengalir dengan membawa energi
pada area kaki terutama pada area lutut yang tadinya lemas.

Konseling

Tahap Terapi

Sesudah Terapi
Klien menyatakan setelah diterapi lebih ke merasakan ngantuk dan seperti perasaan ringan
Kembali juga pikiran merasa tenang.. karena kebetulan klien sedang ada dalam permasalahan
mungkin ini membantu klien bersikap tenang untuk menghadapi masalah nantinya
Juga klien mengatakan sebelum diterapi dia merasakan ketidaknyamanan dikaki karena efek lemas
setelah melihat kebawah di rooftop, tetapi setelah di terapi klien merasakan normal Kembali dan
merasa enak juga nyaman seperti biasanya

Catatan
Terdapat penurunan skala ketakutan terhadap klien Akhrophobia ini, namun MHT ini hanya bisa
menenangkan Kembali dan menetralkan Kembali ketika dia dalam keadaan sedang takut saja,
untuk menyembuhkan phobia itu perlu beberapa kali dan beberapa metode terapi untuk
memaksimalkan klien ke proses penyembuhan, karena terapi itu tidak hanya sekali saja melainkan
berulang kali untuk memantau perkembangan klien juga sampai ke tahap sembuh..
Namun ketika sudah dilakukan terapi klien, saya mencoba mengajak Kembali untuk melihat
kebawah dalam posisi di ketinggian loteng juga rootop paling atas dari sebelumnya. Dia berani
karena saya tekankan kalimat afirmasi positif meski jantung dia Kembali berdebar tetapi dia berani
berjalan juga melihat kebawah tanpa lemas seperti sebelumnya, sambil berjalan dia juga sambil
melantunkan lirik (bernyanyi) ketika berjalan dan melihat sekitar di rooftop agar tidak terlalu
cemas.

Link video full


https://drive.google.com/drive/folders/1pCyt8ih6buKajCguPb1yDzjIyp87mozj?
usp=sharing
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Terapi fobia merupakan pendekatan yang efektif dalam membantu individu mengatasi fobia
mereka. Dengan mengidentifikasi penyebab, mengubah pola pikir, melakukan desensitisasi,
menggunakan teknik relaksasi, dan melibatkan dukungan profesional, individu dapat mengurangi
dampak negatif fobia dan meningkatkan kualitas hidup mereka.
Terapi ini efektif dalam mengatasi fobia dengan mengidentifikasi penyebab, mengubah pola
pikir, melakukan desensitisasi, dan menggunakan teknik relaksasi. Terapi fobia membutuhkan
kerja sama antara terapis dan individu untuk mencapai hasil yang optimal dan meningkatkan
kualitas hidup.
DAFTAR PUSTAKA
1 American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.
1 American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing.
1 Mayo Clinic. (2021). Phobias. Diakses pada 27 Mei 2023,
dari https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/phobias/symptoms-
causes/syc-20376927
1 Muris, P., & Loxton, H. (2005). The self-report questionnaire of spider phobia: A
preliminary psychometric evaluation. Journal of Behavior Therapy and
Experimental Psychiatry, 36(3), 161-181.
1 Ollendick, T. H. (2013). The Oxford Handbook of Anxiety and Related Disorders.
Oxford University Press.
1 Davey, G. C. L. (2006). A Short Introduction to Clinical Psychology. SAGE Publications
Ltd.
1 Öst, L.-G., & Cederlund, R. (2016). Specific phobia in adults: A review. Annals of
Translational Medicine, 4(7), 136.
1 Craske, M. G., & Barlow, D. H. (2008). Mastery of your anxiety and panic: Therapist
guide (4th ed.). Oxford University Press.
1 Antony, M. M., & McCabe, R. E. (2012). The nature and treatment of anxiety disorders.
In D. McKay & E. A. Storch (Eds.), Handbook of child and adolescent anxiety
disorders (pp. 39- 55). Springer.
1 Leichsenring, F., & Leibing, E. (2007). Psychodynamic psychotherapy: A systematic
review of techniques, indications, and empirical evidence. Psychology and
Psychotherapy: Theory, Research and Practice, 80(2), 217-228.
1 Bandelow, B., & Michaelis, S. (2015). Epidemiology of anxiety disorders in the 21st
century.
Dialogues in Clinical Neuroscience, 17(3), 327-335.
1 Shapiro, F. (2001). Eye movement desensitization and reprocessing: basic principles,
protocols, and procedures.
1 - Wolpe, J. (1958). Psychotherapy by reciprocal inhibition. Stanford University Press.
1 Hope, D. A., & Heimberg, R. G. (1993). Social phobia and social anxiety. Guilford
Press.

Anda mungkin juga menyukai