Anda di halaman 1dari 8

Fobia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Fobia adalah rasa ketakutan yang berlebihan pada sesuatu hal atau fenomena. Fobia bisa dikatakan dapat menghambat kehidupan orang yang
mengidapnya. Bagi sebagian orang, perasaan takut seorang pengidap Fobia sulit dimengerti. Itu sebabnya, pengidap tersebut sering dijadikan
bulan bulanan oleh teman sekitarnya. Ada perbedaan "bahasa" antara pengamat fobia dengan seorang pengidap fobia. Pengamat fobia
menggunakan bahasa logika sementara seorang pengidap fobia biasanya menggunakan bahasa rasa. Bagi pengamat dirasa lucu jika seseorang
berbadan besar, takut dengan hewan kecil seperti kecoak atau tikus. Sementara dibayangan mental seorang pengidap fobia subjek tersebut
menjadi benda yang sangat besar, berwarna, sangat menjijikkan ataupun menakutkan.

Dalam keadaan normal setiap orang memiliki kemampuan mengendalikan rasa takut. Akan tetapi bila seseorang terpapar terus menerus
dengan subjek Fobia, hal tersebut berpotensi menyebabkan terjadinya fiksasi. Fiksasi adalah suatu keadaan dimana mental seseorang menjadi
terkunci, yang disebabkan oleh ketidak-mampuan orang yang bersangkutan dalam mengendalikan perasaan takutnya. Penyebab lain terjadinya
fiksasi dapat pula disebabkan oleh suatu keadaan yang sangat ekstrim seperti trauma bom, terjebak lift dan sebagainya.

Seseorang yang pertumbuhan mentalnya mengalami fiksasi akan memiliki kesulitan emosi (mental blocks) dikemudian harinya. Hal tersebut
dikarenakan orang tersebut tidak memiliki saluran pelepasan emosi (katarsis) yang tepat. Setiap kali orang tersebut berinteraksi dengan sumber
Fobia secara otomatis akan merasa cemas dan agar "nyaman" maka cara yang paling mudah dan cepat adalah dengan cara "mundur
kembali"/regresi kepada keadaan fiksasi. Kecemasan yang tidak diatasi seawal mungkin berpotensi menimbulkan akumulasi emosi negatif yang
secara terus menerus ditekan kembali ke bawah sadar (represi). Pola respon negatif tersebut dapat berkembang terhadap subjek subjek fobia
lainnya dan intensitasnya semakin meningkat. Walaupun terlihat sepele, “pola” respon tersebut akan dipakai terus menerus untuk merespon
masalah lainnya. Itu sebabnya seseorang penderita fobia menjadi semakin rentan dan semakin tidak produktif. Fobia merupakan salah satu dari
jenis jenis hambatan sukses lainnya.

Beberapa istilah sehubungan dengan fobia :

 afrophobia — ketakutan akan orang Afrika atau budaya Afrika.


 agoraphobia - takut pada lapangan
 antlophobia — takut akan banjir.
 bibliophobia - takut pada buku
 caucasophobia — ketakutan akan orang dari ras kaukasus.
 cenophobia — takut akan ruangan yang kosong.
 dendrophobia - takut pada pohon
 ecclesophobia - takut pada gereja
 felinophobia - takut akan kucing
 genuphobia - takut akan lutut
 hydrophobia — ketakutan akan air.
 hyperphobia - takut akan ketinggian
 iatrophobia - takut akan dokter
 japanophobia - ketakutan akan orang jepang
 lyghopobia - ketakutan akan kegelapan
 necrophobia - takut akan kematian
 panophobia - takut akan segalanya
 photophobia — ketakutan akan cahaya.
 rhanidaphobia - takut pada katak
 schlionophobia - takut pada sekolah
 uranophobia - ketakutan akan surga
 venustraphobia - takut pada perempuan yang cantik
 xanthophobia - ketakutan pada warna kuning

Kalo takut sama binatang buas, itu sih wajar. Tapi takut sama badut dan mebel antik?

Wah, itu sih udah termasuk phobia. Lho, apa bedanya?

PHOBIA is…

Secara umum, phobia adalah rasa ketakutan kuat (berlebihan) terhadap suatu benda, situasi, atau kejadian, yang ditandai dengan keinginan
untuk ngejauhin sesuatu yang ditakuti itu.

Bedanya sama rasa takut biasa adalah, hal yang ditakuti sebenarnya nggak menyeramkan untuk sebagain besar orang. Contohnya Rachel Green
dalam serial Friends. Tokoh yang di perankan Jennifer Anniston ini ceritanya selalu ngejauhin ayunan karena waktu kecil, rambutnya pernah
nyangkut di rantai pegangannya.

Kalo udah parah, penderitanya bisa terserang panik saat ngeliat hal yang dia takutin. Sesak nafas, deg-degan, keringat dingin, gemetaran,
bahkan sampe nggak bisa menggerakkan badannya.

Jenis phobia pun macam-macam, ada yang takut ketinggian, takut gelap, takut naik lift, takut naik pesawat terbang, dll. Untuk dua kasus
terakhir di atas, ada seorang ibu yang menderitanya sekaligus. Ketika suaminya dirawat di rumah sakit, tepatnya di lantai 9, si ibu pun nggak
bisa jenguk karena nggak berani naik lift. Ia juga masih menunda kepergiannya untuk menunaikan ibadah Haji karena nggak berani naik
pesawat terbang! 

Johnny Depp dan P. Diddy juga ternyata menderita coulrophobia alias takut sama badut. Sedangkan mantan suami Angelina Jolie, Billy Bob
Thornton takut sama mebel antik! Aneh kan?! Karena sifatnya yang nggak rasional itu, dunia medis menganggap phobia sebagai gangguan
psikologis. Dan penelitian memang membuktikan bahwa phobia termasuk salah satu bentuk gangguan kejiwaan yang paling sering ditemui di
masyarakat dan merupakan gangguan psikologis terbesar ketiga setelah depresi dan kecanduan alkohol.

PHOBIA IS CAUSED BY… 

Sama kayak jenisnya, ternyata penyebab phobia juga macem-macem. Analisa yang pertama karena adanya faktor biologis di dalam tubuh,
seperti meningkatnya aliran darah dan metabolisme di otak. Bisa juga karena ada sesuatu yang nggak normal di struktur otak. Tapi kebanyakan
psikolog setuju, phobia lebih sering disebabkan oleh kejadian traumatis kayak yang dialami Rachel Green tadi. Kabarnya nih, beberapa hari
setelah bom bali meledak para korbannya yang selamat, jadi phobia sama api dan suara keras. Kejadian traumatis, seperti inilah yang jadi
penyebab phobia paling umum. Masih ada penyebab lainnya yang dianalisa oleh psikolog, yaitu phobia juga bisa terjadi karena budaya. Seperti
di Jepang, Cina dan Korea, masyarakatnya takut banget sama angka 4 (tetraphobia) sedangkan di Italia takut sama angka 17 yang dianggapnya
angka sial! Memang nggak rasional, tapi bener-bener terjadi!

ELIMINATE YOUR PHOBIA

Woody Allen, actok dan sutradara Hollywood yang juga ngisi suara di film animasi “Antz”, rela nyetir mobil bermil-mil lebih jauh untuk nyari
jalan alternatif supaya nggak lewat terowongan. Masalahnya dia seorang claustrophobic alias takut ruang sempit atau ruang tertutup. Kalau
udah mengganggu aktivitas penderitanya seperti Woody Allen dan ibu yang takut naik lift dan pesawat terbang tadi, berarti udah saatnya
phobia itu disembuhin! Saat ini, para psikolog dan psikiater udah punya banyak metode untuk menyembuhkan phobia. Mulai dari berbagai
jenis terapi, hipnotis, obat-obatan, sampai melibatkan alat-alat berteknologi canggih. Seserdehana apa pun, jangan anggap remeh phobia.
Karena nggak cuma bakal nganggu aktivitas dan kehidupan sosial kamu, tapi phobia juga bisa membahayakan jantung kamu! Soalnya serangan
jantung dan stroke bisa dating karena cemas berlebihan dan jantung yang berdebar-debar terlalu sering.

CERITA SEPUTAR PHOBIA

 R.Kelly, Whoopi Goldberg dan Dalai Lama, termasuk kategori selebrities with Aviophobia, yaitu phobia terbang.
 Kim Basinger, Rose McGowan dan si bintang Home Alone, Macaulay Culkin adalah penderita Agoraphobia, yaitu takut sama tempat
umum dan keramaian. Aneh juga ya, ada seleb yang phobianya kayak gitu?
 Penyanyi dan pencipta lagu, John Meyer punya 14 track di albumnya “Room for Squares”. Padahal track ke 13 nggak ada suara apa-
apa alias hening selama 0,2 detik dan nggak ada title-nya di cover album. Kemungkinan besar, John Meyer pengidap
triskaidekaphobia, takut sama angka 13!
 Masih tentang triskadeikaphobia. Adolf Hitler juga penderitanya. Pesawat temput NAZI yang tadinya bernomer seri He-112 diganti
menjadi He-100 untuk menghindari adanya seri He-113. And, do you notice, nggak ada mobil yang bernomer 13 di arena Formula 1
(F1). Mobil nomer 13 dihilangkan setelah ada dua pembalap meninggal memakai nomer tersebut.

Trauma
Written by Evi Sukmaningrum, Psi., MSi.   

Trauma berasal dari bahasa Yunani yang berarti luka (Cerney, dalam Pickett, 1998). Kata trauma digunakan untuk menggambarkan kejadian
atau situasi yang dialami oleh korban. Kejadian atau pengalaman traumatik akan dihayati secara berbeda-beda antara individu yang satu
dengan lainnya, sehingga setiap orang akan memiliki reaksi yang berbeda pula pada saat menghadapi kejadian yang traumatik.  Pengalaman
traumatik adalah suatu kejadian yang dialami atau disaksikan oleh individu, yang mengancam keselamatan dirinya (Lonergan, 1999). Oleh
sebab itu, merupakan suatu hal yang wajar ketika seseorang mengalami shock baik secara fisik maupun emosional sebagai suatu reaksi stres
atas kejadian traumatik tersebut. Kadangkala efek aftershock ini baru terjadi setelah beberapa jam, hari, atau bahkan berminggu-minggu.
Respon individual yang terjadi umumnya adalah perasaan takut, tidak berdaya, atau merasa ngeri. Gejala dan simtom yang muncul tergantung
pada seberapa parah kejadian tersebut. Demikian pula cara individu menghadapi krisis tersebut akan tergantung pula pada pengalaman dan
sejarah masa lalu mereka.

Menurut Stamm (1999), stres traumatik merupakan suatu reaksi yang alamiah terhadap peristiwa yang mengandung kekerasan (seperti
kekerasan kelompok, pemerkosaan, kecelakaan, dan bencana alam) atau kondisi dalam kehidupan yang mengerikan (seperti kemiskinan,
deprivasi, dll). Kondisi tersebut disebut juga dengan stres pasca traumatik (atau Post Traumatic Stress Disorder/ PTSD). Menurut Pickett (1998),
ada dua bentuk simtom yang dialami oleh individu yaitu : (1) adanya ingatan terus menerus tentang kejadian atau peristiwa tersebut, dan (2)
mengalami mati rasa atau berkurangnya respon individu terhadap lingkungannya. Kondisi tersebut selanjutnya akan mempengaruhi fungsi
adaptif individu dengan lingkungannya. Seringkali, peristiwa yang traumatik akan sangat menyakitkan sehingga bantuan dari para ahli akan
diperlukan dalam mengatasi trauma yang dialami.

Daftar bacaan:
Lonergan, B.A. (1999). The Development of Trauma Therapist : A Qualitative Studi of the Therapist’s Perspectives and Experiences. Colorado :
Counselling Psychology.
Pickett,G.Y. (1998). Therapist in Distress : An Integrative Look at Burnout, Secondary Traumatic Stress and Vicarious Traumatization.
Dissertation. University of Missouri-St. Louis.
Stamm, B.H. (1999). Secondary Traumatic Stress. Self Care Issues for Clinicians, Researchers & Educators. MD : Sidran Press.
Secondary
Traumatic Stress
Written by Evi Sukmaningrum, Psi., MSi.   

Pengertian Secondary Traumatic Stress


Bidang traumatologi (studi mengenai individu yang mengalami trauma) telah mencapai perkembangan yang pesat di akhir dekade ini (Figley,
1995). Salah satu kontribusinya adalah meningkatnya kesadaran bahwa seseorang akan mengalami dampak psikologis yang berat ketika
mengalami kejadian yang traumatik. Oleh sebab itu, pada tahun 1980, American Psychiatric Association mempublikasikan adanya diagnosis
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (Third Edition) (DSM-III). Diagnosis ini melihat
simtom-simtom yang umumnya dialami oleh individu-individu yang mengalami trauma sebagai gangguan psikiatris. PTSD merepresentasikan
betapa berbahayanya pengaruh biopsikososial dari pengalaman traumatis.

Konsep PTSD mendorong penelitian-penelitian di bidang traumatologi. Dari ratusan penelitian dilaporkan bahwa ternyata individu yang
tergolong mengalami trauma bukan hanya korban trauma itu sendiri (victims) tapi juga mencakup mereka yang terkena trauma secara tidak
langsung (Pickett, 1998). Atau dengan kata lain, individu dapat mengalami trauma tanpa harus secara fisik berhadapan dengan peristiwa
traumatik atau mendapatkan ancaman bahaya secara langsung. Selain itu, hanya dengan mendengar tentang kejadian traumatik itupun dapat
berpotensi untuk membawa kondisi traumatik. Tidak hanya keluarga dari seseorang yang mengalami trauma yang rentan terhadap trauma
sekunder, tetapi juga para pekerja kesehatan mental dan orang-orang lain yang ingin menolong korban (Figley, 1995).

Charles R.Figley dan B.Hudnall Stamm (Stamm, 1999), yang bekerja menangani klien yang trauma pada sebuah Trauma Center, menyadari
adanya suatu efek negatif yang dialami oleh para  konselor. Efek ini justru muncul karena upaya seorang konselor dalam memberikan perhatian
dan berempati kepada klien serta dorongan yang kuat untuk membantu klien. Menurut Figley dan Stamm (dalam Stamm, 1999), seorang
konselor trauma bisa ikut mengalami beberapa simtom yang serupa dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang dimiliki oleh klien
mereka. Figley (dalam Richardson, 2001) mendefinisikan situasi ini dengan Secondary Traumatic Stress (selanjutnya disebut STS), yaitu suatu
hal yang terjadi secara natural, merupakan suatu konsekuensi tingkah laku dan emosi sebagai akibat dari pengetahuan mengenai suatu
peristiwa trauma yang dialami oleh significant other. Istilah ‘sekunder’ mengacu pada kenyataan bahwa trauma itu dialami oleh orang lain,
tetapi kemudian ikut dialami oleh pihak yang mengamati, memberikan bantuan, atau mendengarkan kisahnya (Sidabutar, 2003). Figley (1995)
juga menyebut kondisi tersebut sebagai “reaksi secondary catastrophic stress”, yang berarti bahwa empati terhadap pengalaman orang lain
menghasilkan ketegangan emosional (seperti kesedihan, kemarahan, dll). Hal ini merupakan “harga” dari memberikan perhatian, kepedulian,
dan pertolongan pada individu yang mengalami trauma.

Fenomena tentang STS juga diasosiasikan dengan “cost of caring” terhadap  penderitaan emosional orang lain (Figley dalam Rudolph, Stamm,
danStamm, 1997). Adanya suatu perasaan simpati yang mendalam dan kesedihan terhadap orang lain yang menderita, disertai dengan
keinginan yang kuat untuk meringankan penderitaan mereka dan menghilangkan faktor penyebabnya menyebabkan seseorang mudah untuk
mengalami STS (Joinson, dalam Stamm, 1999).

Berdasarkan definisi di atas, maka STS merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gangguan atau rasa sakit psikologis yang
berkembang pada para profesional kesehatan mental yang bekerja dengan klien yang mengalami trauma (Chrestman dalam Stamm, 1999).
Meskipun STS merupakan suatu konsekuensi yang alamiah akibat seseorang mendampingi orang lain yang mengalami trauma, namun tentu
saja konsekuensi ini dapat menimbulkan stres yang sangat berat. 

Dampak  Secondary Traumatic Stress


Para peneliti telah membandingkan efek trauma klien pada pekerja kesehatan mental dengan simtom-simtom PTSD (Conrad dan Perry dalam
Hesse, 2002). Mereka sependapat bahwa bekerja dengan klien yang mengalami trauma memiliki efek yang tak dapat dielakkan, mengganggu,
dan jangka panjang pada terapis, dan bahwa reaksi ini mungkin saja terjadi tanpa memandang suku, jenis kelamin, usia, dan tingkat keahlian
atau profesional seseorang (Edelwichdan Brodsky, dalam Hesse, 2002). Beberapa peneliti yakin bahwa STS  dihasilkan dari proses pemaparan
dari pengalaman traumatik yang dialami oleh orang lain. Figley dan Stamm  (Stamm, 1999) melihat bahwa pengalaman bekerja dengan klien
yang mengalami trauma dapat mengubah diri seorang konselor atau terapis menjadi lebih baik atau buruk. Dengan demikian, peristiwa dan
pengalaman traumatis klien juga mempengaruhi kehidupan pribadi konselor.

Menurut Beaton dan Murphy (dalam Cornille, 1999), individu yang mengalami STS umumnya menunjukkan simtom-simtom yang sama dengan
PTSD, antara lain :

 Adanya gangguan tidur


 Kemarahan
 Ketakutan yang intense
 Gangguan memory
 Sensitif
 Cemas
 Menekan emosi tertentu
 Mimpi buruk
 Kehilangan kontrol
 Depresi
 Tendensi untuk bunuh diri

Selanjutnya, efek dari STS itu sendiri akan mengganggu fungsi profesional individu. Yassen (dalam Richardson, 2001) menguraikan dampak STS
terhadap fungsi profesional individu sebagaimana yang dapat dilihat melalui tabel berikut ini.

Dampak STS terhadap profesionalitas individu

Moral Interpersonal Tingkahlaku


Tampilan kerja
Penurunan kualitas dan kuantitas Kurang percaya diri Menghindar dari rekan kerja Sering tidak masuk kerja
kerja
Tidak sabar
Kurang motivasi
Kehilangan minat Lelah
Penurunan kualitas relasi
Menghindari tugas
Rasa tidak puas Mudah marah
Sulit berkomunikasi
Banyak melakukan kesalahan
Sikap negatif Tidak bertanggungjawab
Mudah konflik dengan rekan kerja
Standar kerja yang sempurna
Apati Terlalu banyak bekerja

Obsesi terhadap detail


Menjaga jarak Sering berganti-ganti pekerjaan

Merasa hampa
(Yassen, dalam Richardson 2001)
Vicarious
Trauma

Written by Evi Sukmaningrum, Psi., MSi.   

Pengertian Vicarious Trauma

Istilah ‘vicarious trauma’ pertama kali dikemukakan oleh McCann dan Pearlman (1990) untuk mendeskripsikan dampak pekerjaan yang
berhubungan dengan penanganan trauma bagi seorang terapis. Konsep ini juga digunakan untuk menggambarkan efek trauma klien pada
kehidupan terapis. Vicarious trauma (selanjutnya disebut dengan VT) didasari oleh Constructivist Self Development Theory (CSDT). Hipotesis
teori ini adalah bahwa manusia memiliki kemampuan yang disebut dengan sumber daya ego, untuk mendukung dan memperkuat stabilitas,
persepsi diri dan pandangan mengenai dunia dan dirinya sendiri. Apabila individu menghadapi  kejadian traumatis maka pandangannya
mengenai dunia akan berubah (Janoff-Bulman dalam Pickett, 1998). Penjelasan tersebut berkaitan dengan kondisi yang dialami oleh para
penyedia jasa kemanusiaan atau pekerja kesehatan mental yang seringkali menangani  para korban trauma. Kejadian-kejadian traumatis yang
dialami korban membuat si terapis menjadi tersadarkan akan kengerian yang terjadi di dunia, dan hal ini membuatnya semakin menyadari
kelemahan dan kerentanan hidup mereka sendiri (McCann dan Pearlman;  Pearlman dan Saakvitne, dalam Pickett, 1998).

Berdasarkan  perspektif teori ini, maka McCann dan Pearlman (dalam Stamm,1999) mendefinisikan VT sebagai :

“the transformation in the inner experience of the therapist that comes about as a result of emphatic engagement with client’s trauma material
(hal.31).

Berdasarkan definisi di atas, maka VT merupakan hasil transformasi suatu pengalaman dalam diri individu yang disebabkan oleh keterlibatan
empatik seorang terapis dengan materi trauma klien. Pearlman dan Saakvitne (dalam Lonergan, 1999) lebih jauh mengungkapkan bahwa VT
merupakan suatu proses dan hasil dari dampak kumulatif terapi trauma dengan beberapa klien. Dengan demikian VT  bukanlah akibat dari
sebuah kejadian statis atau hasil menangani satu orang klien saja. Premis dasar dari VT adalah bahwa terdapat perubahan besar yang
mengambil bagian dalam aspek-aspek psikologis terapis. Perubahan ini meliputi perubahan identitas dan sudut pandang, seperti halnya
kemampuan mereka untuk memelihara perasaan yang positif terhadap diri dan orang lain dan untuk mengontrol perasaan bermakna. Skema
kognitifpun relatif terganggu, yang meliputi keyakinan tentang rasa aman, harga diri, kepercayaan, ketergantungan, kontrol, dan intimacy.

Ada dua faktor utama yang memberikan kontribusi terjadinya VT, yaitu (a) aspek khusus dan kontekstual terapi itu sendiri, seperti jenis klien,
lingkungan sosial dan iklim pekerjaan, dan (b) karakteristik dan daya tahan yang dimiliki terapis, serta cara terapis bekerja. Faktor eksternal dari
materi trauma berperan juga dalam perkembangan VT (Pearlman dan Saakvitne, dalam Steed dan Downing, 1998). Ketidakmampuan klien
untuk berfungsi sosial, termasuk di dalamnya sifat terlalu menuntut, menentang, curiga, atau memusuhi terapis, dapat menambah sebuah
dimensi dari hubungan interpersonal yang dapat mengurangi kepercayaan diri terapis atau kemampuan empati dirinya dengan klien. Selain
aspek sosial, faktor pekerjaan dan organisasi berpotensi untuk meningkatkan kecenderungan seseorang mengalami VT. Tuntutan pekerjaan
yang memakan waktu, kasus-kasus yang terlalu banyak, tekanan untuk mengambil tanggung jawab lebih, rencana bisnis dan kurangnya
pendanaan sehingga mempengaruhi pelayanan merupakan faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko VT (Pearlman dan Maclan dalam
Picket, 1998). Selain faktor-faktor tersebut, terapis yang menganggap pekerjaan sebagai faktor penting dalam identifikasi diri mereka akan
lebih mungkin terkena VT dibandingkan dengan terapis yang memandang pekerjaan dengan kaca mata yang lebih realistis.

Constructivist Self Developmental Theory : Penjelasan mengenai terjadinya Vicarious Trauma

CSDT menyatakan bahwa individu membangun suatu realitas personal dan membentuk harga diri mereka melalui skema atau sudut pandang
kognitif dan keyakinan tentang dunianya (Pickett, 1998). Dinamika VT lebih dilihat sebagai suatu model perkembangan dan konstruktivis,
dimana makna dan hubungan merupakan bagian integral dari pengalaman manusia. Oleh sebab itu, dibutuhkan usaha-usaha lanjut untuk
memahami pengalaman para terapis atau cara mereka mengambil makna melalui pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian, akan
memudahkan kita untuk memahami perkembangan terjadinya VT, faktor-faktor resiko yang terkait serta bentuk intervensi yang tepat, dengan
cara melakukan pemahaman terhadap pengalaman terapis atau cara mereka memaknakan pengalamannya (Mc.Cann  Pearlmann, dalam
Lonergan, 1999).

Individu mengkonstruksi realitas personal yang berkembang melalui struktur kognitif yang kompleks, yang disebut dengan “skema”. Skema ini
meliputi sejumlah keyakinan (beliefs), asumsi, dan harapan tentang diri dan dunia serta membantu individu untuk memaknai keduanya.
McCann dan Pearlman (dalam Hesse, 2002) membuat hipotesis bahwa pengalaman traumatik dapat menyebabkan gangguan yang serius pada
beberapa aspek dalam skema seseorang, dan bahwa bekerja dengan klien yang mengalami trauma juga dapat memberikan efek yang sama
pada terapis. Skema belief, asumsi, dan harapan yang terganggu atau mengalami perubahan pada terapis akan berbeda satu sama lain, dan hal
itu tergantung pada dua faktor, yaitu: aspek kerja (lingkungan) dan aspek intrinsik pada individu. Aspek kerja meliputi jenis klien, faktor
organisasi, dan isu sosial budaya. Aspek intrinsik, meliputi kepribadian, pengalaman masa lalu, lingkungan individu saat ini, dan tingkat
profesional.

Ada lima skema utama yang diidentifikasikan mengalami gangguan atau perubahan apabila terapis terlibat dalam materi trauma dan trauma
dari klien (Pearlman dan Saakvitne, dalam Pickett, 1998). Kelima skema ini adalah: rasa aman, percaya, harga diri, keintiman dan kontrol.

 Rasa Aman
 Rasa Percaya
 Kontrol
 Harga Diri
 Keintiman

Rasa Aman

Rasa aman (safety)

Rasa aman ternyata merupakan kebutuhan psikologis yang paling rentan terhadap materi trauma. Ketika kebutuhan ini dipengaruhi oleh
informasi mengenai kejadian traumatis, terapis mulai waswas akan keselamatan dirinya dan orang-orang yang dicintainya. Keselamatan diri
dan orang-orang yang dicintainya menjadi prioritas utama dari seseorang yang telah terganggu rasa amannya. Tingkah laku yang sering
dijumpai pada keadaan ini adalah kecemasan dan pemeriksaan keamanan yang berlebihan, menghindari kerumunan, dan meningkatnya kritik
terhadap diri sendiri.

Rasa Percaya

Rasa percaya (trust)

Pendamping yang bekerja dengan klien yang mengalami trauma juga belajar tentang kejahatan, pengkhianatan, kekerasan atau kekejaman
yang dilakukan seseorang atau masyarakat terhadap kliennya. Hal ini dapat mempengaruhi rasa percaya pada seorang pendamping sehingga
pada akhirnya membuat mereka sinis, curiga terhadap orang lain dan sulit untuk mempercayai orang lain. Hal ini dapat mempengaruhi
kehidupan personal terapis karena sangat mungkin bila mereka memandang orang lain seperti teman, pasangan, dan keluarga dengan rasa
tidak percaya. VT mengganggu kemampuan terapis untuk merasa aman dan terlindungi dalam berhubungan dengan orang lain.

Kontrol

Kontrol (control)

Skema ini diperkirakan mulai terganggu ketika terapis teridentifikasikan dengan hilangnya kontrol si klien pada saat kejadian traumatis terjadi.
Gangguan skema kontrol seringkali dikaitkan dengan perasaan kurang mampu mengendalikan perilaku dirinya sendiri, merasa dipengaruhi oleh
orang lain, dan mempertanyakan kemampuan membawa perubahan bagi kehidupannya sendiri. Gangguan dalam skema kontrol memperjelas
rapuhnya keyakinan akan dunia yang adil dan kemampuan mengontrol dunia, menunjukkan betapa tidak teraturnya berbagai aspek dalam
kehidupan. Sejalan dengan rasa takut yang dialami, pada akhirnya muncul perasaan tidak berdaya ketika membantu kliennya dan merasa
bahwa seharusnya ia memiliki kontrol terhadap kesembuhan klien. Ketika ia menyadari bahwa ia tidak punya kekuatan dan kontrol akan hal
itu, maka dapat menyebabkan frustrasi dan perasaan semakin tidak berdaya.

Harga Diri

Harga diri (esteem)

Ketika terapis mengalami gangguan dalam skema harga dirinya, mereka mengembangkan pandangan yang negatif mengenai diri mereka
sebagai profesional, dengan mulai mempertanyakan kemampuan dirinya sebagai seorang teman, pasangan, atau manusia. Penilaian dan
penghargaan terhadap orang lain juga dapat terganggu, sehingga terapis yang mengalami VT cenderung untuk memandang orang lain
(termasuk kliennya) secara negatif. Generalisasi yang negatif ini dapat berakibat kurang baiknya hubungan antara dirinya dengan orang lain,
sehingga semakin mengganggu identitas diri dan profesionalnya.

Keintiman

Keintiman (intimacy)

Dalam menjalani pekerjaannya dengan klien yang mengalami trauma, kemajuan yang terjadi pada klien seringkali berjalan sangat lambat dan
terapis dapat merasa bahwa ia lebih banyak melakukan hal yang buruk dan berbahaya. Usaha pendamping untuk menjaga diri mereka dari
efek trauma yang dialami klien, memungkinkan mereka untuk menarik diri dari klien yang dipersepsikan sebagai sumber kekecewaan dan sakit.
Penarikan diri tersebut dapat menurunkan empati dalam relasi terapeutik. Upaya untuk menghambat penderitaan yang terkait dengan materi
trauma juga dapat mengurangi kemampuan si terapis untuk mengalami emosi positif seperti cinta, keceriaan, dan menikmati aktifitas yang
kreatif dan menyenangkan. Penarikan diri si terapis juga akan membawa dampak pada kehidupan pribadinya karena ia mulai memandang
keluarga dan teman-temannya sebagai hal yang kurang penting. Ia mungkin menghindari keluarga, pasangan, maupun teman-temannya,
sehingga akan semakin mengurangi tingkat dukungan bagi dirinya. Selain itu, hilangnya keyakinan pada rasa kemanusiaan akan menyebabkan
terapis menjadi sinis terhadap orang lain dan mempengaruhi relasi mereka dengan keluarga, teman, atau orang-orang terdekat.

VT akan membawa dampak yang sangat besar bagi para profesional yang mengalaminya. Misalnya, kurangnya kemampuan untuk memulihkan
kliennya (Pearlman dan Saakvitne dalam Stamm, 1999). Pada saat mereka merasa gagal untuk membantu kliennya, maka secara tidak langsung
dapat berpotensi untuk menurunkan keyakinan akan kemampuan mereka sebagai profesional dan mengganggu identitas profesionalnya.
Stres
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Langsung ke: navigasi, cari

Stres adalah suatu kondisi atau keadaan tubuh yang terganggu karena tekanan psikologis. Biasanya stres dikaitkan bukan karena penyakit fisik
tetapi lebih mengenai kejiwaan. Akan tetapi karena pengaruh stres tersebut maka penyakit fisik bisa muncul akibat lemahnya dan rendahnya
daya tahan tubuh pada saat tersebut.

Banyak hal yang bisa memicu stres muncul seperti rasa khawatir, perasaan kesal, kecapekan, frustasi, perasaan tertekan, kesedihan, pekerjaan
yang berlebihan, Pre Menstrual Syndrome (PMS), terlalu fokus pada suatu hal, perasaan bingung, berduka cita dan juga rasa takut. Biasanya hal
ini dapat diatasi dengan mengadakan konsultasi kepada psikiater atau beristirahat total.

Apr 19, '07 3:13 AM


MANAJEMEN STRES
for everyone

"Stres” merupakan suatu istilah yang sangat sering kita dengar diucapkan oleh banyak orang bahkan kita sendiri mungkin sering
mengucapkannya. Kata ”stres” umumnya digunakan agar orang lain ”memaklumi” keadaan kita sehingga kita bisa mendapat suatu
”dispensasi” dari orang lain ! Berdasarkan keadaan tersebut maka ”stres” mengandung suatu pengertian yang ”negative” sehingga perlu kita
”usir” dari hidup kita ! Tujuannya adalah : agar hidup kita lebih ”produktif” dan lebih berguna bagi orang lain.
 

Kemalasan yang luar biasa pada saat kita b angun pagi, langkah lunglai pada setiap langkah menuju kantor, perasaan
malas untuk memulai atau menyelesaikan suatu pekerjaan, muka muram dan malas bertemu / berbicara dengan orang lain (apalagi dengan
atasan !!!) ...... merupakan sebagian dari tanda-tanda ”STRES”.
 
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan ”stres” ????????
 
”Stres” adalah suatu keadaan dimana ”mental” kita lelah (kelelahan mental) – Jadi bukan hanya hanya phisik yang bisa lelah !!!
 
”Stres” dapat menyerang semua orang tanpa kecuali , pada awalnya memang bukan gangguan kesehatan yang berbahaya namun bila tidak
segera disikapi (tetapi tetap diikuti, dinikmati dan didiamkan saja), dampaknya dapat melebihi ”virus” penyakit yang paling berbahaya
sekalipun dan tidak jarang dapat ”mematikan” !!!!...... Wah ... betapa bahayanya ”stres” sehingga perlu kita ”manajemeni” dengan baik agar
stres berat tidak datang kepada kita !
 
BAGAIMANA PROSES TERJADINYA STRES ?
 
1. Seorang yang dilanda ”stres”, tubuhnya akan memanfaatkan zat gizi ekstra dibandingkan dengan ketika seorang dalam kondisi
normal.
2. Tanpa disadari cadangan energi yang tersimpan di dalam tubuh dapat terkuras habis dan pada saat ini terjadi yang disebut
”kelelahan mental” atau ”stres”.
3. Tahap selanjutnya adalah berat badan turun drastis (kurus ! – pada umumnya) atau ”over weight”  (kasus khusus karena makan
terus tdk peduli lagi pada efek negative makanan)
4. Efek yang umum terjadi adalah  energy habis, stamina terkuras dan daya tahan tubuh melemah sehingga penyakit dengan mudah
masuk ke dalam tubuh kita !! *)
5. Akibat yang lebih parah adalah  stres dapat mempengaruhi ”kejernihan” pola berpikir seseorang .. karena otak sudah tidak
mempunyai cukup energy untuk bekerja normal (bayangkan hp yang low bat – sering error). Dalam keadaan ini orang dapat
mengalami perasaan mulai dari resah, gelisah, cemas, perasaan takut sampai pada ”frustasi berat” / ”putus asa”
 
*) penyakit akan lebih mudah masuk bila mana orang tersebut sudah mempunyai ”bakat” menderita penyakit misalnya maag, migren atau
hypertensi. Stres dapat memicu / merangsang munculnya semua penyakit. Dalam keadaan stres, sel-sel radikal bebas yang tadinya ”tidur
tenang” jadi terangsang untuk tumbuh dan berkembang biak. Tidak heran jika orang yang menderita stres terlihat lebih tua dari umur
sebenarnya. Hal ini terjadi karena salah satu efek negatif radikal bebas adalah mempercepat proses penuaan dini. Pecahnya radikal bebas
juga dapat memicu pertumbuhan sel-sel kanker sehingga mempercepat penyakit menuju stadium lanjut. SANGAT MENGERIKAN
BUKAN ? ? ?    
 
MANAJEMEN STRES
 
Melihat begitu mengerikannya akibat dari stres, maka kita perlu melakukan ”manajemen” stres. Istilah manajemen dalam ilmu ekonomi
dapat diartikan sebagai melakukan suatu tindakan melalui tahapan : planing, organizing, actuating dan controling (POAC). Dikaitkan dengan
stres, maka kita perlu melakukan POAC ini dengan cermat dalam kehidupan kita mulai dari pola makan, pola tidur, pola kegiatan/aktifitas,
pola pikir dan sebagainya. Pada intinya dalam menjalankan aktifitas kehidupan, kita harus dapat ”memanage” segala sesuatunya dengan
baik. (lawannya adalah ”biarkanlah hidup mengalir seperti air”)
 
Melalui berbagai penelitian medis maupun non medis, pengamatan dan pengalaman maka lakukanlah hal-hal sebagai berikut agar ”STRES”
(berat) jauh dari kehidupan kita :
 
1. Jaga selalu kondisi tubuh dan perkuatlah !! dengan cara mengkonsumsi makanan dan minuman sehat (4 sehat 5 sempurna) secara
disiplin (konstan makan pada jam yang sama). Tambahkan dengan asupan multivitamin dan mineral yang cukup.

 
2. Tidur dan istirahat yang cukup. Tidur merupakan salah satu terapi untuk mengurangi kemarahan dan kesedihan karena tidur
memberikan kesempatan otak untuk rilex.
 
3. Lakukan Olah Raga teratur. Gerak tubuh akan merangsang keluarnya zat ”endorphine” yaitu zat yang dapat membuat tubuh merasa
nyaman selain zat tersebut juga dikenal sebagai anti rasa sakit pada tubuh. Itulah sebabnya mereka yang berolah raga teratur
umumnya tampak lebih fit dan bahagia.
 
4. Selalu berpikir positif karena tindakan atau perasaan negative pasti berasal dari pikiran negative. Sebaliknya tindakan positive pasti
berasal dari pikiran positive ! --- ini penting !!! --- tidak ada orang yang berhasil dalam hidupnya kalau selalu berpikiran negative
pada diri sendiri maupun kepada orang lain !
 

5. Lakukan HOBBY (atau hal-hal menyenangkan positif menurut kita) karena hobby dapat membuat kita
rilex dan melupakan ”sejenak” rutinitas atau masalah yang ada misalnya olah raga, mendengarkan musik, masak, jahit, ngutak
ngutik mobil/motor /sepeda dll.
 
6.Jangan terpaku pada ”rutinitas”, berani berubah, tidak malu dan ragu. Hal sederhana yang dapat dilakukan adalah mulai dari menata
ulang meja kerja, ruang tidur, rumah, menempuh route yang berbeda ke kantor, sekali waktu makan siang/malam di mall
sekaligus cuci mata, creambath di salon, pijat reflexi, berendam di air hangat dll yang   merupakan salah satu cara untuk
memperlancar aliran darah dan meredakan ketegangan. Selain itu bila ada rejeki lebih kita  perlu juga melakukan penggantian
barang-barang lama kita misalnya mengganti hp dengan model baru, ganti velg racing / tambah accesories pada kendaraan kita
atau sedikit merubah penampilan kita dengan sepatu baru, model rambut dll (secara phsikologi hal ini membawa ”semangat”
baru)
 
7.Murah senyum, tertawa lepas, bersenandung /  bernyanyi dan bersosialisasi dengan teman / lingkungan (perlu teman curhat, tidak
memendam masalah sendiri). Kegiatan semacam ini dapat merangsang endorphine dan serotonin dalam tubuh sehingga otak
lebih tenang.
 
8. Yang terakhir tetapi merupakan hal terpenting adalah Beribadah dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa tidak pada masa sulit saja,
berbuat baik kepada semua orang, bersyukur terhadap setiap hasil usaha kita, baik yang berhasil maupun yang tidak berhasil,
mensyukuri rejeki dll.
 
Bila 8 hal tersebut dilakukan, Insya Allah stres akan jauh dari kehidupan kita ! Kita akan lebih semangat dalam melakukan setiap aktifitas
dan keberhasilan menunggu kita !

 
 
 
Tulisan ini didapat dan diolah dari berbagai sumber  ! Mudah-mudahan berguna bagi yang membacanya !
 
Salam,
Miko S Poetro

Gejala & Penyebab Stress

Stress adalah reaksi tubuh terhadap situasi yang tampak berbahaya atau sulit. Stres membuat tubuh untuk memproduksi hormone adrenaline
yang berfungsi untuk mempertahankan diri. Stres merupakan bagian dari kehidupan manusia. Stres yang ringan berguna dan dapat memacu
seseorang untuk berpikir dan berusaha lebih berpikir dan berusaha lebih cepat dan keras sehingga dapat menjawab tantangan hidup sehari-
hari. Stres ringan bisa merangsang dan memberikan rasa lebih bergairah dalam kehidupan yang biasanya membosankan dan rutin. Tetapi
stress yang terlalu banyak dan berkelanjutan, bila tidak ditanggulangi, akan berbahaya bagi kesehatan.

Gejala-gejala

 Menjadi mudah tersinggung dan marah terhadap teman, keluarga dan kolega.
 Bertindak secara agresif dan defensif
 Merasa selalu lelah.
 Sukar konsentrasi atau menjadi pelupa.
 Palpitasi atau jantung berdebar-debar.
 Otot-otot tegang.
 Sakit kepala, perut dan diare.
Komplikasi

 Tekanan darah tinggi dan serangan jantung.


 Sakit mental, hysteria.
 Gangguan makan seperti hilang nafsu makan atau terlalu banyak makan.
 Tidak bisa tidur (insomnia).
 Migren/kepala pusing.
 Sakit maag.
 Serangan asma yang tambah berat.
 Ruam kulit.

Penyebab

 Kejadian hidup sehari-hari baik gembira dan sedih seperti:


- Menikah/mempunyai anak.
- Mulai tempat kerja baru/pindah rumah/emigrasi.
- Kehilangan orang yang dicintai baik karena meninggal atau cerai.
- Masalah hubungan pribadi.

 Pelajaran sekolah maupun pekerjaan yang membutuhkan jadwal waktu yang ketat, dan atau bekerja dengan atasan yang keras dan
kurang pengertian.
 Tidak sehat.
 Lingkungan seperti terlalu ramai, terlalu banyak orang atau terlalu panas dalam rumah atau tempat kerja.
 Masalah keuangan seperti hutang dan pengeluaran di luar kemampuan.
 Kurang percaya diri, pemalu
 Terlalu ambisi dan bercita-cita terlalu tinggi.
 Perasaan negatif seperti rasa bersalah dan tidak tahu cara pemecahannya, frustasi.
 Tidak dapat bergaul, kurang dukungan kawan.
 Membuat keputusan masalah yang bisa merubah jalan hidupnya atau dipaksa untuk merubah nilai-nilai/prinsip hidup pribadi. Yang
dapat anda lakukan

Bagaimana mencegah stress ?

 Lihat/ukur kemampuan sendiri. Belajar untuk menerima apa adanya dan mencintai diri sendiri.
 Temukan penyebab perasaan negatif dan belajar untuk menanggulanginya. Jangan memperberat masalah dan coba untuk sekali-
kali mengalah terhadap orang lain meskipun mungkin anda di pihak yang benar.
 Rencanakan perubahan-perubahan besar dalam kehidupan anda dalam jangka lama dan beri waktu secukupnya bagi diri anda
untuk menyesuaikan dari perubahan satu ke yang lainnya.
 Rencanakan waktu anda dengan baik. Buat daftar yang harus dikerjakan sesuai prioritas.
 Buat keputusan dengan hati-hati. Pertimbangkan dengan masak-masak segi baik atau buruk sebelum memutuskan sesuatu.
 Biarkan orang lain ikut memikirkan masalah anda. Ceritakan kepada pasangan hidup, teman, supervisor atau pemimpin agama.
Mereka mungkin bisa membantu meletakkan masalah anda sesuai dengan proporsinya dan menawarkan cara-cara pemecahan
yang berguna.
 Bangun suatu sistim pendorong yang baik dengan cara banyak berteman dan mempunyai keluarga yang bahagia. Mereka akan
selalu bersama anda dalam setiap kesulitan.Jaga kesehatan, makan dengan baik, tidur cukup dan latihan olahraga secara teratur.
 Rencanakan waktu untuk rekreasi.
 Tehnik relaksasi seperti napas dalam, meditasi atau pijatan mungkin bisa membantu menghilangkan stress.

Anda mungkin juga menyukai