Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

“GANGGUAN ANXIETAS FOBIK”

Pembimbing :
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ

Disusun oleh :
Nida Shofiyya Amalina G4A017052

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2019
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

1
“GANGGUAN ANXIETAS FOBIK”

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Disusun oleh :
Nida Shofiyya Amalina G4A017033

Disetujui
Pada tanggal, Juni 2019

Pembimbing,

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ


NIP. 19570919 198312 2 001

I. PENDAHULUAN

Gangguan anxietas fobik merupakan ketakutan yang menetap, hebat dan


irasional terhadap suatu objek, aktivitas atau situasi spesifik yang menimbulkan
suatu keinginan mendesak untuk menghindari objek, aktivitas atau situasi yang
ditakuti. Gangguan anxietas fobik ditandai dengan adanya anxietas yang dicetuskan

2
oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar individu itu sendiri) yang
sebenarnya pada saat kejadian ini tidak membahayakan. Sebagai akibatnya, objek
atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan perasaan terancam yang
termasuk ke dalam anxietas fobik adalah agorafobia, fobia sosial, dan fobia khas
(terisolasi) (Saddock, 2007).
Gangguan anxietas fobik menyerang 2% dari populasi di Indonesia dengan
rasio perempuan dibandingkan laki-laki 2:1. Fobia didefinisikan sebagai ketakutan
irasional yang menghasilkan penghindaran sadar, aktivitas situasi subjek ditakuti.
Orang yang terkena biasanya mengakui bahwa reaksi yang berlebihan. Menurut
Manual American Psychiatric Association Diagnostik dan Statistik Gangguan
Mental, Edisi Kelima (DSM-V), gangguan fobia dapat dibagi menjadi 3 jenis: fobia
sosial, fobia khas, dan agorafobia. Fobia sosial adalah rasa takut, kuat bertahan dari
situasi interpersonal yang malu dapat terjadi. Fobia khas adalah suatu ketakutan,
luar biasa bertahan dari suatu obyek atau situasi. Agorafobia didefinisikan sebagai
takut sendirian di tempat umum (misalnya, supermarket), khususnya tempat dimana
jalan keluar yang cepat akan sulit dilalui dalam serangan panik, setidaknya 75%
dari pasien dengan gangguan panik juga mengalami pengalaman agorafobia (Kay,
2006). Keparahan dapat berkisar dari ringan sampai parah dan tidak mengganggu
dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan untuk bekerja, bepergian, atau
berinteraksi dengan orang lain (Pridmore, 2008).
Dalam referat ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai gangguan anxietas fobik,
mencakup agorafobia, fobia sosial, serta fobia khas.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. GANGGUAN ANXIETAS FOBIK


Anxietas pada kelompok gangguan anxietas fobik dicetuskan hanya,
atau secara predominan, oleh adanya situasi atau objek tertentu yang jelas
(di luar individu itu sendiri), yang sebenarnya secara umum tidak

3
berbahaya, yang mengakibatkan situasi atau objek tersebut secara khusus
dihindari atau dihadapi dengan perasaan terancam. Gejala yang muncul
dapat berupa palpitasi, perasaan mau pingsan, dan sering kali disertai
dengan perasasaan takut mati, takut kehilangan kendali, atau takut menjadi
gila. Anxietas tersebut tidak berkurang meskipun ia mengetahui bahwa
orang lain tidak menganggap situasi yang dihadapi tersebut berbahaya atau
mengancam.
Objek atau situasi yang mencetuskan anxietas fobik adalah dari luar
individu, sehingga perasaan takut yang berkaitan dengan adanya penyakit
(nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk badan (dismorfobia)
dimasukkan ke dalam klasifikasi F45.2 (gangguan hipokondrik). Anxietas
fobik seringkali ada bersamaan dengan depresi. Apabila didapatkan episode
depresif dan anxietas fobik, maka diagnosisnya tergantung dari mana yang
jelas timbul lebih dahulu dan yang mana yang lebih dominan pada saat
pemeriksaan. Apabila kriteria untuk gangguan depresif terpenuhi sebelum
gejala fobik pertama kali timbul, maka diagnosis gangguan depresif harus
diutamakan. Dalam klasifikasi ini, suatu serangan panik (F41.0) yang terjadi
pada kondisi fobik yang sudah ada, dianggap sebagai petunjuk akan
beratnya keadaan fobia, maka diagnosis fobia harus diutamakan. Gangguan
panik hanya didiagnosis apabila tidak ada salah satu fobia yang termasuk
dalam katergori F40.-.

B. AGORAFOBIA
1. Definisi
Agorafobia didefinisikan sebagai ketakutan berada sendirian di
ruang terbuka, tempat yang ramai, serta tempat yang membuatnya
kesulitan untuk menyingkir ke tempat aman (biasanya rumahnya).
Keselamatan biasanya didefinisikan saat di rumah dan dengan demikian
banyak agorafobia menjadi tawanan di dalam rumah mereka masing-
masing dan hanya dapat ditinggalkan jika ditemani oleh pendamping
yang terpercaya (APA, 2013).
2. Epidemiologi

4
Agorafobia dapat berkembang pada setiap usia dengan usia rata-rata
onsetnya adalah kira-kira 17 tahun. Setiap tahun kira-kira 1,7% orang
dewasa dan anak-anak didiagnosis sebagai agorafobia. Perempuan dua
kali lebih banyak menderita agorafobia daripada laki-laki. Agorafobia
mungkin muncul pada anak-anak namun puncaknya pada remaja akhir
dan dewasa muda. Pada penelitian yang dilakukan di lingkungan
psikiatrik dilaporkan sebanyak 75% pasien yang terkena agorafobia juga
menderita gangguan panik. Hasil yang berbeda ditemukan pada
lingkungan masyarakat yaitu 50% dari pasien yang menderita
agorafobia tidak menderita gangguan panik. Perbedaan hasil penelitian
dan rentang prevalensi yang lebar diperkirakan karena kriteria
diagnostik yang bervariasi dan metode penilaian yang berbeda (APA,
2013).
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi untuk agorafobia belum diketahui secara pasti, tapi
patogenesisnya berhubungan dengan faktor-faktor biologis, genetik dan
psikososial. Keberhasilan farmakoterapi dalam mengobati agorafobia
dan penelitian lain yang menunjukkan adanya disfungsi dopaminergik
pada fobia sosial mendukung adanya faktor biologis. Agorafobia
diperkirakan dipicu oleh gangguan panik. Data penelitian
menyimpulkan bahwa gangguan panik memiliki komponen genetik
yang jelas, juga menyatakan bahwa gangguan panik dengan agorafobia
adalah bentuk parah dari gangguan panik, dan lebih mungkin diturunkan
(APA, 2013).
Dari faktor psikososial, penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak
tertentu yang ada predisposisi konstitusional terhadap fobia, memiliki
temperamen inhibisi perilaku terhadap yang tidak dikenal dengan stres
lingkungan yang kronis akan mencetuskan timbulnya fobia. Misalnya
perpisahan dengan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga dapat
mengaktifkan diatesis laten pada anak-anak yang kemudian akan
menjadi gejala yang nyata. Objek fobik merupakan simbolisasi dari
sesuatu yang berhubungan dengan konflik (APA, 2013).

5
Faktor risiko dari munculnya agorafobia antara lain sebagai berikut
(APA, 2013).
a. Temperamen
Penghambatan perilaku dan disposisi neurotik (seperti afektivitas
negatif/neurotism dan sensitivitas kecemasan) dekat hubungannya
dengan agorafobia namun relevan dengan sebagian besar gangguan
cemas (gangguan fobik, gangguan panik, gangguan cemas
menyeluruh). Sensitivitas kecemasan (disposisi untuk mempecayai
gejala kecemasan adalah berbahaya) juga merupakan karakteristik
individu dengan agorafobia.
b. Lingkungan
Pengalaman negatif pada saat anak-anak (perpisahan, kematian
orangtua) dan pengalaman stres lainnya, seperti diserang atau
diculik, berhubungan dengan onset agorafobia. Oleh karena itu,
individu dengan agorafobia mendeskripsikan keluarganya dan
perilaku anak-anaknya dikarakteristikan dengan kehangatan yang
berkurang dan peningkatan overprotektif.
c. Genetik
Faktor keturunan untuk agorafobia yaitu 61%. Dari bermacam-
macam fobia, agorafobia merupakan yang paling kuat dan memiliki
hubungan yang spesifik dengan faktor genetik yang dapat terpapar
agorafobia.
4. Penegakkan Diagnosis
Kriteria diagnosis agorafobia yang tercantum pada Diagnostic and
Statistical Manual Mental Disorders (DSM) V adalah sebagai berikut
(APA, 2013).
a. Ketakutan atau kecemasan yang ditandai oleh dua (atau lebih) dari
lima situasi berikut.
1) Menggunakan transportasi umum (mis. Mobil, bus, kereta api,
kapal, pesawat terbang).
2) Berada di ruang terbuka (mis. Tempat parkir, pasar, jembatan).
3) Berada di tempat tertutup (mis. Toko, teater, bioskop).

6
4) Berdiri dalam barisan atau berada di tengah orang banyak.
5) Berada di luar rumah sendirian.
b. Individu takut atau menghindari situasi ini karena pikiran-pikiran
dimana kemungkinan sulit meloloskan diri (atau merasa malu) atau
di mana mungkin tidak terdapat pertolongan jika mendapatkan
serangan panik atau gejala mirip panik yang tidak diharapkan atau
disebabkan oleh situasi (misalnya, takut jatuh pada orang tua; takut
inkontinensia).
c. Situasi agorafobia hampir selalu memicu rasa takut atau kecemasan.
d. Situasi agorafobia secara aktif dihindari, membutuhkan kehadiran
pendamping, atau mengalami rasa takut atau kecemasan yang intens.
e. Ketakutan atau kecemasan tidak sebanding dengan bahaya
sebenarnya yang ditimbulkan oleh situasi tersebut.
f. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran bersifat persisten,
biasanya berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
g. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan tekanan
atau gangguan signifikan secara klinis pada sosial, pekerjaan, atau
bidang fungsi penting lainnya.
h. Jika terdapat kondisi medis lain (mis., Penyakit radang usus,
penyakit Parkinson), ketakutan, kecemasan, atau penghindaran jelas
berlebihan.
i. Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari
gangguan mental lainnya, seperti ketakutan, kecemasan, dan
penghindaran terhadap situasi seperti fobia spesifik; objek atau
situasi yang berkaitan dengan obsesi (seperti pada gangguan obsesif-
kompulsif); ingatan atas suatu trauma (seperti pada gangguan stres
pasca trauma); pemisahan dari rumah atau kasih sayang seseorang
(seperti pada gangguan kecemasan pemisahan); atau pada situasi
sosial (seperti pada gangguan kecemasan sosial).
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa Edisi
ke III (PPDGJ-III), diagnosis pasti agorafobia harus memenuhi semua
kriteria dengan adanya gejala ansietas yang terbatas pada kondisi yang

7
spesifik yang harus dihindari oleh penderita. Semua kriteria dibawah ini
harus dipenuhi untuk diagnosis pasti.
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder
dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam
hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: banyak
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, dan
bepergian sendiri; dan
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang
menonjol (penderita menjadi house-bound).
Ada atau tidaknya gangguan panik (F41.0) pada agorafobia pada
banyak keadaan dapat dinyatakan dengan penggunaan karakter kelima,
yaitu F40.00 tanpa gangguan panik dan F40.01 dengan gangguan panik.
5. Diagnosis Banding
Apabila semua kriteria diagnosis agorafobia dan gangguan lainnya
masing-masing terpenuhi, maka kedua diagnosis tersebut harus
dicantumkan, kecuali apabila rasa takut, anxietas, atau kecenderungan
menghindar dari agorafobia menyebabkan gangguan lain tersebut.
Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat gangguan
panik adalah semua gangguan medis yang dapat menyebabkan
kecemasan atau depresi. Diagnosis banding psikiatrik adalah gangguan
depresif berat, skizofrenia, gangguan kepribadian paranoid, serta
gangguan kepribadian menghindar, di mana pasien tidak ingin keluar
rumah dan gangguan kepribadian dependen karena pasien harus selalu
ditemani setiap keluar rumah (APA, 2013).
6. Tatalaksana
Sebagian besar pasien mengalami perbaikan dramatik pada gejala
gangguan panik dan agorafobia dengan menjalani terapi. Dua terapi
yang paling efektif adalah farmakoterapi dan terapi kognitif–perilaku.
Terapi keluarga dan kelompok mungkin membantu pasien yang
menderita dan keluarganya untuk menyesuaikan dengan kenyataan

8
bahwa pasien menderita gangguan dan dengan kesulitan psikososial
yang telah dicetuskan oleh gangguan.
a. Farmakoterapi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengobati gejala panik
yang muncul pada agorafobia. Semua obat golongan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) efektif untuk gejala panik.
Paroksetin memiliki efek sedatif dan cenderung membuat pasien
tenang sehingga menimbulkan kepatuhan yang lebih besar serta
putus minum obat yang lebih sedikit. Jika efek sedasi paroksetin
tidak dapat ditoleransi, maka dapat diganti dengan fluoxetin. Obat
lain yang biasa digunakan adalah dari golongan Benzodiazepin
karena memiliki awitan kerja untuk gejala panik yang paling cepat,
sering dalam minggu pertama, dan dapat digunakan untuk periode
waktu yang lama tanpa timbul toleransi terhadap antipanik.
b. Terapi Perilaku dan Kognitif
Terapi lain yang dilakukan selain farmakoterapi adalah terapi
perilaku dan kognitif. Fokus dari terapi kognitif adalah instruksi
mengenai keyakinan salah pasien dan informasi mengenai serangan
panik.
1) Aplikasi relaksasi
Tujuan aplikasi relaksasi (contohnya pelatihan relaksasi
Herbert Benson) adalah memberikan pasien rasa kendali
mengenai tingkat ansietas dan relaksasi.
2) Terapi keluarga
Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agorafobia juga
mungkin telah dipengaruhi oleh gangguan anggota keluarga.
Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi dan dukungan
sering bermanfaat.
3) Psikoterapi berorientasi tilikan
Psikoterapi berorientasi tilikan dapat memberi keuntungan di
dalam terapi gangguan panik dan agorafobia. Terapi berfokus
membantu pasien mengerti ansietas yang tidak disadari yang

9
telah dihipotesiskan, simbolisme situasi yang dihindari,
kebutuhan untuk menekan impuls, dan keuntungan sekunder
gejala tersebut. Suatu resolusi konflik pada masa bayi dini dan
oedipus dihipotesiskan berhubungan dengan resolusi stres saat
ini.
4) Psikoterapi kombinasi dengan farmakoterapi
Walaupun farmakoterapi efektif menghilangkan gejala
primer gangguan panik dan agorafobia, psikoterapi dapat
dibutuhkan untuk menterapi gejala sekunder. Intervensi
psikoterapeutik membantu pasien menghadapi rasa takut keluar
rumah. Di samping itu, beberapa pasien akan menolak obat
karena mereka yakin bahwa obat akan menstigmatisasi mereka
sebagai orang sakit jiwa sehingga intervensi terapeutik
dibutuhkan untuk membantu mereka mengerti dan
menghilangkan resistensi mereka terhadap farmakoterapi

C. FOBIA SOSIAL
1. Definisi
Fobia sosial merupakan salah satu jenis gangguan cemas dengan
gelaja utama adanya perasaan takut diperhatikan orang lain dalam
kelompok yang relatif kecil (berlawanan dengan orang banyak) yang
menjurus kepada penghindaran terhadap situasi sosial.
2. Epidemiologi
Prevalensi fobia sosial pada kelompok eksekutif di Indonesia
besarnya antara 9,6 -16%, yang timbul sejak usia muda dan terus
berlangsung sampai pada usia dewasa. Di negara maju prevalensi fobia
sosial besarnya 2-13%, dan secara bermakna mengganggu pekerjaan,
status akademik dan hubungan seseorang.
Terdapat kecenderungan kenaikan angka prevalensi fobia sosial,
seiring dengan perubahan perilaku (gaya hidup) masyarakat. Fobia
sosial timbul sejak masa kecil, 40% di antaranya di bawah 10 tahun,
sisanya di bawah usia 20 tahun. Penggunaan alkohol berkorelasi dengan

10
fobia sosial, mereka yang menggunakan alkohol mempunyai risiko dua
kali lebih besar untuk menderita fobia sosial dibandingkan dengan
mereka yang tidak menggunakan alkohol. Dan kelompok dengan
ketergantungan alkohol mempunyai risiko sembilan kali lebih besar
untuk mengalami fobia sosial (APA, 2013).
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Belum banyak diketahui tentang penyebab fobia sosial, tetapi
sejumlah penelitian menunjukkan banyak komponen kompleks yang
terlibat. Karakteristik temperamen seseorang seperti rasa malu,
behavioral inhibition, selfconsciousness, embarrassment dan keturunan
(heredity) merupakan faktor predisposisi terjadinya fobia sosial.
Faktor risiko dari munculnya agorafobia antara lain sebagai berikut
(APA, 2013).
a. Temperamen
Kepribadian dasar yang menjadi faktor predisposisi individu
untuk terkena fobia sosial antara lain perilaku inhibisi dan rasa takut
terhadap penilaian negatif.
b. Lingkungan
Perlakuan buruk selama masa kecil dan adanya kesulitan
psikososial merupakan faktor risiko dari fobia sosial,
c. Genetik
Kepribadian yang menjadi faktor predisposisi individu terhadap
fobia sosial dipengaruhi secara kuat oleh faktor genetik. Pengaruh
genetik merupakan subjek interaksi dari gen dengan lingkungan,
dimana anak dengan perilaku inhibisi lebih rentan terhadap
pengaruh lingkungan, seperti contoh dari orang tua yang memiliki
anxietas terhadap sosial. Fobia sosial juga bersifat diturunkan.
Adanya saudara kandung dengan fobia sosial memberikan risiko
terkena fobia sosial sebesar dua hingga enam kali lebih besar.
4. Diagnosis
Kriteria diagnosis fobia sosial menurut DSM V (300.23) adalah
sebagai berikut.

11
a. Adanya ketakutan atau kecemasan yang bermakna terhadap satu
atau lebih situasi sosial dimana individu terlihat oleh pengamatan
orang lain. Contohnya termasuk interaksi sosial (melakukan
percakapan, bertemu orang asing), merasa diamati (makan dan
minum), dan tampil di depan orang lain (memberi pidato).
b. Individu merasa takut melakukan sesuatu jika menunjukkan gejala
kecemasan akan ditanggapi negatif (akan dipermalukan, menuju
pada penolakan atau penyerangan orang lain).
c. Situasi sosial hampir selalu memancing ketakutan atau kecemasan.
d. Situasi sosial dihindari atau diatasi dengan ketakutan atau
kecemasan yang tinggi.
e. Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan ancaman
sebenarnya yang ditimbulkan situasi sosial dan pada konteks kultur
sosial.
f. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut,
biasanya berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
g. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-
gangguan klinis yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan,
atau bidang penting lainnya.
h. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut tidak termasuk
kedalam efek psikologis karena subtansi (penyalahgunaan obat-
obatan, pengobatan) atau kondisi medis lainnya.
i. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tidak lebih baik dijelaskan
oleh gejala dari gangguan mental lainnya, atau gangguan spektrum
autisme.
j. Jika kondisi medis lainnya (penyakit parkinson, obesitas, cacat dari
luka bakar atau cidera) ada, maka ketakutan, kecemasan, atau
penghindaran jelas tidak berhubunagan atau muncul berlebihan.
Menurut PPDGJ-III, kriteria diagnosis fobia sosial adalah sebagai
berikut.

12
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder
dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial
tertentu (outside family circle); dan
c. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang
menonjol.
Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia,
hendaknya diutamakan diagnosis agorafobia (F40.0).
5. Tatalaksana
Dalam hal penatalaksanaan kasus-kasus fobia sosial ada 5 hal yang
perlu dijelaskan kepada pasien, yaitu sebagai berikut.
a. Fobia sosial merupakan kondisi medik yang sudah banyak diteliti
dan memberikan respons baik dengan terapi yang sesuai
b. Fobia sosial merupakan gangguan anxietas. Obat secara langsung
dapat mengurangi anxietas.
c. Adanya perasaan akan ditolak atau dikritik dapat dimodifikasi
dengan farmakoterapi.
d. Jelaskan bahwa terapi obat tidak menimbulkan ketergantungan.
e. Harus dijelaskan bahwa fobia sosial merupakan kondisi kronik,
sehingga dibutuhkan pengobatan jangka lama.

D. FOBIA KHAS
1. Definisi
Fobia khas adalah fobia yang terbatas pada situasi yang sangat
spesifik pada benda atau situasi tertentu (disebut juga stimulus fobia)
yang secara aktif dihindari oleh penderita. Fobia khas merupakan fobia
yang lebih sering dibandingkan dengan fobia sosial. Fobia khas adalah
ketakutan yang sangat kuat dan tidak berdasarkan akal terhadap benda
atau situasi tertentu. Dalam fobia khas ada beberapa tipe yaitu tipe
binatang, tipe lingkungan alam, tipe darah, tipe situasional dan tipe lain
(APA, 2013).

13
2. Epidemiologi
Prevalensi fobia khas berkisar antara 7%-9%. Prevalensi di negara-
negara Eropa serupa dengan di Amerika Serikat (sekitar 6%), dan
didapatkan secara umum lebih rendah di negara-negara Asia Afrika, dan
Amerika Latin (2%-4%). Prevalensinya pada anak-anak adalah sekitar
5% dan pada usia 13-17 tahun sekitar 16%. Angka prevalensi
didapatkan lebih rendah pada individu dengan usia lebih tua (sekitar
3%-5%). Wanita lebih banyak terkena fobia khas dibandingkan pria,
dengan rasio 2:1, walaupun rasio tersebut berbeda-beda untuk masing-
masing stimuli, dimana stimuli fobia spesifik binatang, lingkungan, dan
situasional lebih banyak dialami oleh wanita, sedangkan fobia darah,
injeksi, dan cedera dialami secara rata oleh pria maupun wanita.
3. Etiologi dan Faktor Risiko
Pada umumnya penyebab fobia tidak diketahui pasti. Berbagai
kemungkinan penyebab fobia juga dikemukakn dalam paradigma
psikoanalisis, behavioral, kognitif dan biologis. Para ahli menduga fobia
berkembang dari pengalaman tidak menyenangkan di masa kanak-kanak
yang berhubungan dengan sesuatu yang menakutkan. Pengalaman ini
lalu tersimpan dalam memori dan ketika ada faktor pencetusnya
ketakutan itu akan muncul kembali. Fobia juga bisa terjadi karena
seseorang mengasosiasikan suatu benda dengan hal lain. Itulah sebabnya
benda-benda kecil yang tidak berbahaya bisa jadi sumber ke-takutan
luar biasa bagi seorang penderita fobia.

Faktor risiko yang dari fobia khas antara lain sebagai berikut (APA,
2013).
a. Tempramen
Faktor risiko tempramen untuk fobia khas antara lain pengaruh
negatif atau perilaku inhibisi, yang juga merupakan faktor risiko dari
gangguan cemas lainnya.

14
b. Lingkungan
Faktor risiko lingkungan untuk fobia khas antara lain
overprotektivitas orang tua, perceraian atau kehilangan orang tua,
kekerasan fisik atau seksual, yang juga merupakan faktor risiko dari
gangguan cemas lainnya. Kejadian negatif atau traumatik di masa
lalu dengan objek atau situasi tertentu terkadang dapat mendahului
perkembangan fobia khas.
c. Genetik
Terdapat kemungkinan adanya kerentanan genetik terhadap
fobia khas (misalnya seorang individu dengan saudara kandung yang
memiliki fobia khas tipe binatang akan memiliki risiko signifikan
untuk memiliki fobia khas yang serupa dibandingkan dengan jenis
fobia lainnya).
4. Diagnosis
Kriteria diagnosis fobia khas menurut DSM V (300.29) adalah
sebagai berikut.
a. Adanya ketakutan atau kecemasan berlebih terhadap suatu objek
atau situasi tertentu (terbang, ketinggian, binatang, jarum suntik,
darah).
b. Objek atau situasi fobia hampir selalu memancing ketakutan atau
kecemasan tiba-tiba.
c. Objek atau situasi fobia secara aktif dihindari atau diatasi dengan
ketakutan atau kecemasan yang kuat.
d. Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan bahaya
sebenarnya yang ditimbulkan oleh objek atau situasi tertentu dan
pada konteks kultur sosial.
e. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut,
biasanya berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
f. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan gangguan-
gangguan klinis yang signifikan pada kehidupan sosial, pekerjaan,
atau bidang penting lainnya.

15
g. Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari
gangguan mental lainnya, seperti ketakutan, kecemasan, dan
penghindaran terhadap situasi dibantu dengan gejala seperti panik
atau gejala ketidakmampuan lainnya (seperti pada agorafobia); objek
atau situasi yang berkaitan dengan obsesi (seperti pada gangguan
obsesif-kompulsif); ingatan atas suatu trauma (seperti pada
gangguan stres pasca trauma); pemisahan dari rumah atau kasih
sayang seseorang (seperti pada gangguan kecemasan pemisahan);
atau pada situasi sosial (seperti pada gangguan kecemasan sosial).
Kriteria diagnosis fobia khas menurut PPDGJ III (F40.2) adalah
sebagai berikut.
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus
merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder
dari gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. Anxietas hanya terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu
(highly specific situations); dan
c. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya
Pada fobia khas ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak
seperti halnya agorafobia dan fobia sosial yang sering coexist dengan
depresi.
5. Tatalaksana
a. Terapi rasional emotif tingkah laku
Terapi rasional emotif tingkah laku adalah terapi yang berusaha
menghilangkan cara berfikir pasien yang tidak logis dan irasional,
dan menggantinya dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan
cara menyerang, menentang, mempertanyakan dan membahas
keyakinan-keyakinan irasional pasien. Tujuan utama dari terapi
rasional emotif tingkah laku adalah membantu klien memahami
kepercayaan irrasionalnya, dengan mendebatkannya dan selanjutnya
merubahnya dengan pemikiran yang lebih positif dan rasional.
Menurut Edelstein (2010) terapi rasional emotif tingkah laku
membantu seseorang untuk dapat lebih percaya diri dan

16
mengeliminasi atau menghilangkan masalah pemikiran yang
mengganggu (irasional).
b. Psikoterapi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara terapi
kognitif-perilaku dengan farmakoterapi bemanfaat untuk kelainan
ini. Kombinasi farmakoterapi dan tetapi kognitif perilaku dapat
mempercepat efek atau kerja obat, dan efek terapi dapat bertahan
lama walaupun obat telah dihentikan.
c. Farmakoterapi
Farmakoterapi yang dapat diberikan yaitu obat-obatan golongan
monoamine oxidase inhibitors (MAOI). Phenelzine merupakan suatu
MAOI yang efektif untuk fobia. Suatu penelitian yang dilakukan
untuk melihat efektifitas phenelzine menunjukkan bahwa 64%
penderita fobia sosial mendapatkan perbaikan yang jelas dengan
phenelzine. Obat-obatan lain yang dapat digunakan adalah obat
golongan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) seperti
fluoxetine, fluvoxamine, dan sertraline, serta obat-obatan golongan
benzodiazepine.

III. PENUTUP

Gangguan anxietas fobik merupakan rasa takut yang dicetuskan hanya, atau
secara predominan, oleh adanya situasi atau objek tertentu yang jelas (di luar

17
individu itu sendiri), yang sebenarnya secara umum tidak berbahaya, yang
mengakibatkan situasi atau objek tersebut secara khusus dihindari atau dihadapi
dengan perasaan terancam. Menurut Manual American Psychiatric Association
Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Kelima (DSM-V), gangguan
fobia dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu agorafobia, fobia sosial, dan fobia
khas. Agorafobia didefinisikan sebagai ketakutan berada sendirian di tempat-
tempat publik. Fobia sosial merupakan salah satu jenis gangguan cemas dengan
gelaja utama adanya perasaan takut pada individu terhadap situasi sosial yang
membuat individu tersebut terlihat oleh pengamatan orang lain dan disertai
dengan keinginan untuk menghindar. Fobia khas adalah fobia yang terbatas
pada situasi yang sangat spesifik pada benda atau situasi tertentu (disebut juga
stimulus fobia) yang secara aktif dihindari oleh penderita.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic And Statistical Manual of


Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washinton DC: American Psychiatric
Publishing. Washinton DC.

18
Kay J, Tasman A. 2006. Essential of Psychiatry. England: Wiley.
Pridmore S. 2008. Psychiatry: Fear and Anxiety. Tasmania: University of
Tasmania..
Saddock BJ, Saddock VA. 2007. Kaplan Saddock’s Synopsis of Psychiatry :
Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry 10th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.
Shiloh R, Stryjer R, Weizman A, Nutt D. 2006. Atlas of Psychatry
Pharmacotherapy 2nd ed. Taylor & Francis.

19

Anda mungkin juga menyukai