Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fobia berasal dari kata Phobos, nama salah satu Dewa Yunani yang dapat menimbulkan
rasa takut. Sang Dewa digambarkan sebagai satu lukisan memakai kedok atau topeng dan
pelindung untuk menakuti lawan dalam peperangan. Kata phobia berasal dari namanya
yang diartikan dengan kekhawatiran, ketakutan, atau kepanikan. Fobia sosial (social
phobia) dalam DSM IV-R disebut juga gangguan ansietas sosial (social anxiety disorder).
Lebih situasi-situasi sosial atau perbuatan atau penampilan (performance) tatkala orang
tersebut dihadapkan atau dipertemukan dengan orang-orang yang tak dikenalnya, atau
kemungkinan untuk diperhatikan dengan cermat oleh orang lain. Individu tersebut takut
bahwa dia akan berbuat sesuatu (menunjukkan gejala ansietas) yang memalukan.1
Fobia sosial sebagai penyakit dikenal sejak tahun 1960, dan sebelumnya diagnosis fobia
sosial jarang dibuat. Gangguan ini bukan disebabkan oleh gangguan organik. Belum
banyak diketahui tentang penyebab fobia sosial, tetapi sejumlah penelitian menunjukkan
banyak komponen kompleks yang terlibat. Karakteristik temperamen seseorang seperti rasa
malu, behavioral inhibition, selfconsciousness, embarrassment dan keturunan (heredity)
merupakan faktor predisposisi terjadinya fobia sosial.2
Prevalensi fobia sosial pada kelompok eksekutif di Indonesia besarnya antara 9,6 -16%,
yang timbul sejak usia muda dan terus berlangsung sampai pada usia dewasa.Di negara
maju prevalensi fobia sosial besarnya 2-13%, dan secara bermakna mengganggu pekerjaan,
status akademik dan hubungan seseorang. Penggunaan alkohol berkorelasi dengan fobia
sosial, mereka yang menggunakan alkohol mempunyai risiko dua kali lebih besar untuk
menderita fobia sosial dibandingkan dengan mereka yang tidak menggunakan alkohol. Dan
kelompok dengan ketergantungan alkohol mempunyai risiko sembilan kali lebih besar
untuk mengalami fobia sosial.2

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui definisi fobia sosial.
1.2.2 Untuk mengetahui epidemiologi fobia sosial.
1.2.3 Untuk mengetahui etiologi fobia sosial.

1
1.2.4 Untuk mengetahui gejala fobia sosial.
1.2.5 Untuk mengetahui onset fobia sosial.
1.2.6 Untuk mengetahui kriteria diagnosis fobia sosial.
1.2.7 Untuk mengetahui penatalaksanaan fobia sosial.
1.2.8 Untuk mengetahui perjalanan penyakit dan prognosis pada penderita fobia sosial.

1.3 Manfaat
1.3.1 Dapat mengetahui definisi fobia sosial.
1.3.2 Dapat mengetahui epidemiologi fobia sosial.
1.3.3 Dapat mengetahui etiologi fobia sosial.
1.3.4 Dapat mengetahui gejala fobia sosial.
1.3.5 Dapat mengetahui onset fobia sosial.
1.3.6 Dapat mengetahui kriteria diagnosis fobia sosial.
1.3.7 Dapat mengetahui penatalaksanaan fobia sosial.
1.3.8 Dapat mengetahui perjalanan penyakit dan prognosis pada penderita fobia sosial

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Fobia adalah perasaan takut yang irasional yang menyebabkan kesadaran untuk
menghindar dari obyek ketakutan spesifik, aktivitas atau situasi. Fobia sosial, juga disebut
sebagai gangguan cemas sosial, adalah gangguan cemas yang termasuk di dalamnya
distress yang hebat terhadap situasi umum. Individu dengan fobia sosial secara khas
mengalami panik selama berhubungan sosial. Situasi ini meliputi berbicara di depan publik,
menggunakan kamar kecil atau wc umum, makan dengan orang lain atau kontak sosial
secara umum. Ketakutan pasien adalah merasa dihina atau dipermalukan oleh orang lain
atas kelakuan dirinya dan dapat mengarah menjadi kecemasan yang hebat, dengan
peningkatan detak jantung, diaforesis dan tanda lainnya dari pemunculan otonom. Gejala
fisik ini dapat disebabkan oleh cemas tambahan, yang sering mendorong ke arah respon
takut yang menguatkan kecemasan dalam situasi umum.2
Fobia sosial adalah ketakutan yang tidak beralasan atau ketakutan yang berlebihan
terhadap situasi sosial, dan interaksi dengan orang lain yang secara otomatis dapat
membawa perasaan self consciousness, judgment, evaluasi, dan perasaan inferior.3

2.2 Epidemiologi
Fobia sosial terdapat pada 3 sampai 5 persen populasi. Pria dan wanita memiliki angka
kejadian yang seimbang. Onset penyakit biasanya dimulai awal umur belasan tahun,
walaupun tidak menutup kemungkinan terjasi pada tiap tahap kehidupan. Menurut survey
yang dilakukan di Amerika sejak tahun 1994, fobia sosial adalah gangguan jiwa nomer 3
terbesar di Amerika Serikat. Prevalensi fobia sosial terlihat meningkat pada ras kulit putih,
orang yang menikah, dan individu dengan taraf pendidikan yang baik. Fobia sosial
umumnya bermanifestasi pada orang dewasa tapi biasa terdapat pada anak-anak atau
remaja.2

3
2.3 Etiologi
Sampai sekarang belum ditemukan penyebab yang pasti. Walaupun demikian,
penelitian mengenai etiologi banyak dilakukan saat ini. Ada beberapa teori yang mencoba
mengungkapkannya, antara lain:2

1. Teori psikoanalisis
Menurut Freud, fobia sosial atau hysteria-ansietas merupakan manifestasi dari
konflik Oedipal yang tidak terselesaikan. Selain adanya dorongan seksual yang kuat
untuk melakukan incest, terdapat pula rasa takut terhadap kastrasi. Hal ini
menyebabkan terjadinya konflik dan ansietas. Akibatnya, ego berusaha menggunakan
mekanisme- pertahanan represi yaitu membuang jauh dari kesadaran. Tatkala represi
tidak lagi berhasil, ego berusaha mencari mekanisme pertahanan tarnbahan.
Mekanisme pertahanan tambahan adalah displacement. Konflik seksual ditransfer dari
orang yang mencetuskan konfilk kepada sesuatu yang sepertinya tidak penting atau
objek yang tidak relevan atau situasi yang sakarang mempunyai kekuatan untuk
membangkitkan ansietas. Situasi atau obyek yang dipilih atau disimbolkan biasanya
berhubungan langsung dengan sumber konflik. Dengan Menghindari objek tersebut
pasien dapat lari dari penderitaan ansietas yang serius.2

2. Teori genetik
Faktor genetik dapat berperanan dalam fobia sosial. Analisa pedigree/silsilah
memperlihatkan silsilah pertama dari proband dengan fobia sosial tiga kali beresiko
mendapat sosial fobia dibanding kontrol. Namun, gen spesifik belum pernah diisolasi.
Perangai anak yang selalu dilarang telah dihubung-hubungkan dengan perkembangan
fobia sosial dimasa dewasa.2

3. Teori Neurotransmiter

A. Mekanisme Dopaminergik
Dari penelitian didapatkan bahwa fobia sosial berhubungan dengan gangguan
pada system dopaminergik. Kadar homovanilic acid (HVA) pada penderita fobia
sosial lebih rendah blia dibandingkan dangan penderita panik atau kontrol. Adanya
perbaikan gejala fobia sosial dengan pemberian monoamine oxidase inhibitor
(MAOI) menunjukkan bahwa kinerja dopamine terganggu pada fobia sosial. 2
4
B. Mekanisme Serotonergik
Pemberian fenilfluramin pada panderita fobia sosial menyebabkan peningkatan
kortisol sehingga diperkirakan adanya disregulasi serotonin. Walaupun demikian,
pada pemberian methchlorphenylpiperazine (MCPP), suatu serotonin agonis, tidak
ditemukan adanya perbedaan respons prolaktin antara pendarita fobia sosial dengan
kontrol normal. Begitu pula, pengukuran ikatan platelet (3H)-paroxetine, suatu
petanda untuk mangetahui aktivitas serotonin; tidak terlihat adanya perbedaan
antara fobia sosial dengan gangguan panik atau kontrol normal. 2

C. Mekanisme Noradrenergik
Penderita fobia sosial sangat sensitif terhadap perubahan kadar epinefrin sehingga
dengan cepat terjadi peningkatan denyut jantung, berkeringat dan tremor. Pada
orang normal, gejala fisik yang timbul akibat peningkatan epinefrin mereda atau
menghilang dengan cepat. Sebaliknya pada penderita fobia sosial tidak terdapat
penurunan gejala. Bangkitan gejala fisik yang meningkat semakin mengganggu
penampilan di depan umum. Pengalaman ini juga membangkitkan kecamasan pada
penampilan berikutnya sehingga mengakibatkan orang tidak berani tampil dan
menghindari panampilan selanjutnya.2

D. Pencitraan Otak
Dengan magnetic resonance imaging (MRI) terlihat adanya penurunan volume
ganglia basalis pada penderita fobia sosial. Ukuran putamen berkurang pads fobia
sosial. 2

2.4 Gejala
Normal saja untuk merasa gugup dalam beberapa situasi social. Hal tersebut terjadi bila
kita berpidato atau memberikan presentasi. Namun dalam gangguan kecemasan social, juga
disebut fobia social, interaksi sehari-hari menyebabkan kecemasan irasional, rasa takut,
kesadaran berlebihan dan malu.
Gangguan kecemasan social mempengaruhi emosi dan perilaku. Hal ini juga dapat
menyebabkan gejala fisik yang sigifikan.

5
Tanda dan gejala emosi dan perilaku kecemasan social, termasuk:1

Takut secara berlebihan ketika berinteraksi dengan orang asing

Khawatir memalukan atau memalukan diri sendiri

Menghindari melakukan sesuatu atau berbicara dengan orang karena takut


malu

Kesulitan membuat kontak mata

Kesulitan berbicara

Tanda-tanda fisik dan gejala yang menandai bahwa seseorang mengalami fobia sosial,
antara lain : 1

Palpitasi ( jantung berdebar-debar)

Banyak mengeluarkan keringat

Gemetaran

Rasa panas-dingin

Sakit kepala

Pusing

Kerongkongan terasa tersekat

Diare

Mual

Kebingungan

Otot menjadi tegang, dan

Gelisah

6
2.5 Onset
Fobia sosial biasanya dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja, biasanya pada usia
13 tahun. Diagnosis bahwa seseorang mengalami fobia sosial jika orang tersebut memiliki
gejala setidaknya selama 6 bulan. Fobia sosial tipikal bermula pada masa kanan-kanak atau
remaja dan seringkali diasosiasikan dengan riwayat rasa malu. Orang-orang dengan fobia
sosial umumnya melaporkan bahwa mereka pemalu semasa kanak-kanak (Stemberger dkk,
1995). Sekali fobia sosial tercipta, hal tersebut akan berlanjut pada perjalanan yang kronis
dan persisten sepanjang hidup. 1
Pada anak, fobia sosial tidak dapat langsung didiagnosis kecuali anak tersebut
memunculkan kecemasan yang berlebihan. Mereka mengekspresikan rasa cemasnya
tersebut dengan cara menangis, tantrum, menjadi pendiam atau menghindari situasi sosial.
Bagi individu yang berusia di bawah 18 tahun, maka diagnosis fobia sosial tidak dapat
ditegakkan kecuali gangguannya sudah terjadi selama 6 bulan (Anthony,1997).

2.6 Kriteria Diagnosis


Menurut DSM-IV

Kriteria A
Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial atau tampil
didepan orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan ia dinilai oleh orang
lain atau menjadi pusat perhatian. Ada perasaan takut bahwa ia akan berperilaku
memalukan atau menampakkan gejala cemas atau bersikap yang dapat merendahkan
dirinya. 3

Kriteria B

Apabila pasien terpapar dengan situasi sosial, hampir selalu timbul kecemasan atau
bahkan mungkin serangan panik.3

Kriteria C

Pasien menyadari bahwa ketakutannya sangat berlebihan dan tidak masuk akal.
Ketakutan tersebut tidak merupakan waham atau paranoid.3

7
Kriteria D

Pasien menghindar dari situasi sosial atau menghindar untuk tampil di depan umum
atau pasien tetap bertahan pada situasi sosial tersebut tetapi dengan perasaan sangat cemas
atau sangat menderita.3

Kriteria E

Penghindaran dan kecemasan atau penderitaan akibat ketakutan terhadap situasi sosial
atau tampil di depan umum tersebut mempengaruhi kehidupan pasien secara bermakna atau
mempengaruhi fungsi pekerjaan, aktivitas dan hubungan sosial atau secara subjektif pasien
merasa sangat menderita.3

Kriteria F

Untuk yang berusia di bawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan. 3

Kriteria G

Ketakutan atau sikap menghindar tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologik zat atau
kondisi medik umum atau gangguan mental lain (gangguan panik dengan atau tanpa
agoraphobia, gangaguan dismorfik, gangguan perkembangan prevasif, atau dengan
gangguan kepribadian skizoid). 3

Kriteria H

Bila terdapat kondisi medik umum atau gangguan mental lain, ketakutan pada kriteria
A tidak berhubungan dengannya (gagap, Parkinson, atau gangguan perilaku makan seperti
bulimia atau anoreksia nervosa) Kriteria A merupakan kunci gejala fobia sosial. Hal yang
penting pada kriteria ini yaitu adanya situasi yang dapat membangkitkan fobia yaitu situasi
yang dinilai atau diamati oleh orang lain dan juga ketakutan akan memperlihatkan
kecemasan atau bertingkah dengan cara yang memalukan.3

8
Sedangkan berdasarkan PPDGJ - III diagnosis fobia sosial ditegakkan bardasarkan
yaitu 4

Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:

a. gejala psikologis, perilaku atau otonomilk yang timbul harus merupakan


manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. anxietasnya harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside
the family circle); dan
c. menghindari situasi fobik harus atau sudah merupaken gejala yang menonjol

Bila terlalu sulit untuk membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia, hendaknya
diutamakan diagnosa agorafobia. 4

2.7 Penatalaksanaan
Suatu kombinasi pharmacotherapy dan psikoterapi pada umumnya diberikan untuk
para orang dengan fobia sosial.

1. Terapi relaksasi
Terapi ini terdiri dari belajar untuk menurunkan tegangan otot selama beristirahat,
ketika bergerak dan pada situasi-situasi yang dapat menyebabkan kecemasan. Terapi
ini dapat dijadikan sebagai pendamping terapi exposure 5

2. Medication (terapi obat)


a. Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIS): SSRIS dengan cepat menjadi first-
line pengobatan yang baku untuk fobia sosial. Paroxetine menerima pengakuan
badan Makanan Dan Administrasi Obat/Racun (FDA) untuk indikasi ini pada tahun
1999 dan SSRI yang pertama memperolehnya. Penelitian menyatakan bahwa
SSRIS juga mungkin efektif. 2
b. Benzodiazepines: Benzodiazepines mungkin efektif untuk fobia sosial, tetapi
memiliki profil keselamatan lebih sedikit. Alprazolam Dan Clonazepam telah
digunakan dengan sukses. 2
c. Buspirone: Beberapa studi menyarankan kemanjuran pada penderita fobia sosial. 2

9
d. Propranolol: Beta-Blockers telah digunakan untuk blok autonomic terhadap
tanggapan dengan fobia sosial. Pencegahan gejala seperti gemetaran peningkatan
detak jantung mendorong kearah sukses didalam menghadapi situasi sosial. 2
e. Monoamine oxidase inhibitors (MAOIS): Phenelzine telah dipertunjukkan untuk
bisa efektif didalam studi. Pembatasan yang berkenaan diet makan mengurangi
ketenaran mereka. Moclobemide, suatu MAOI lebih baru, pasti mempunyai
kemanjuran dengan fobia sosial. 2

3. Terapi Kognitif
Model terapi ini menyatakan bahwa ketika klien masuk ke dalam situasi sosial,
maka aturan pasti, asumsi, atau unconditional beliefs menjadi aktif. Melalui pendekatan
terapi perilaku rasional-emotif, Ellis menunjukkan kepada orang-orang dengan fobia
sosial bahwa kebutuhan-kebutuhan irasional untuk penerimaan sosial (sosial approval)
dan perfeksionisme menghasilkan kecemasan yang tidak perlu dalam interaksi sosial.
Terapi kognitif dari Beck berusaha untuk mengidentifikasi dan mengoreksi keyakinan-
keyakinan yang disfungsional atau terdistorsi. 1,2
Terapis kognitif membantu orang untuk mengenali cacat-cacat logis dalam
pemikiran mereka dan membantu mereka untuk memandang situasi secara rasional.
Klien diminta untuk mengumpulkan bukti-bukti untuk menguji keyakinan mereka,
yang akan membawa mereka untuk mengubah keyakinan yang ternyata tidak berdasar
pada realitas. Terapis mendorong klien dengan fobia sosial untuk menguji keyakinan
mereka bahwa mereka akan diabaikan, ditolak, atau ditertawakan oleh orang lain dalam
pertemuan-pertemuan sosial dengan menghadiri suatu pesta, memulai pembicaraan,
dan memonitor reaksi orang-orang lain. Terapis juga membantu klien mengembangkan
keterampilan sosial untuk meningkatkan efektivitas interpersonal mereka dan
mengajari mereka bagaimana cara menghadapi penolakan sosial. 1,2
Salah satu contoh teknik kognitif adalah restrukturisasi kognitif (cognitive
restructuring) atau disebut juga restrukturisasi rasional. Teknik ini merupakan suatu
proses di mana terapis membantu klien mencari pikiran-pikiran self-defeating dan
mencari alternatif rasional sehingga mereka bisa belajar menghadapi situasi-situasi
pembangkit kecemasan. 1,2

10
4. Virtual Reality Exposure
Melalui proses pemaparan terhadap suatu seri stimuli virtual yang makin bertambah
menakutkan dan hanya bila ketakutan sudah berkurang pada langkah terdahulu, orang
belajar untuk mengatasi ketakutan dengan cara yang sama dengan seandainya mereka
mengikuti program pemaparan gradual terhadap stimuli fobik dalam situasi aktual.
Keuntungan dari realitas virtual adalah bahwa hal ini memberi kesempatan pada kita
untuk mengalami situasi yang sulit atau hampir tidak mungin untuk diandalkandalam
realitas yang sesungguhnya .4
Terapis bereksperimentasi dengan terapi virtual, misalnya dalam bentuk terapi
kelompok di mana sekelompok orang yang aktualnya ada di tempat yang berbeda-beda
dapat memakai peralatan realitas virtual, dihubungkan dengan komputer-komputer
mereka pada saat yang sama, dan bertemu secara elektronik dalam suatu kantor terapi
yang simulasi.1,3

5. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT)


Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terapi kognitif-behavioral berhasil
menurunkan rasa takut individu terhadap evaluasi social.Terapi CBGT dibuat dengan
menggunakan protokol yang dikembangkan oleh Heimberg . Sebelumnya, rangkaian
terapi yang dilakukan adalah melakukan assessment independent dan self report
terhadap klien. Kemudian diikuti dengan pelatihan dalam hal restrukturisasi
keterampilan kognitif, exposure yang diulang terhadap simulasi dari situasi yang
ditakuti dalam tiap sesi, dan dihubungkan dengan homework assignments. Setelah
pelatihan tersebut dilakukan maka seluruh rangkaian assessment independent dan self
report dilakukan kembali.6

6. Terapi Pemaparan
Klien mendapatkan instruksi untuk memasuki situasi sosial yang makin penuh
stres dan untuk tetap tinggal dalam situasi tersebut sampai dorongan untuk kabur sudah
menjadi berkurang. Terapis dapat membantu membimbing mereka selama percobaan
pada pemaparan, dan secara bertahap menarik dukungan langsung sehingga klien
mampu untuk menghadapi sendiri situasi tersebut. Terapis mungkin
mengkombinasikan pemaparan dengan teknik kognitif yang membantu klien untuk
mengurangi pikiran-pikran maladaptif pembangkit kecemasan yang mungkin mereka
temui dalam situasi-situasi sosial, dengan pikiran-pikiran yang lebih sesuai.1
11
2.8 Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Fobia sosial biasanya mulai pada usia dini sehingga dapat menyebabkan gangguan
disemua bidang akademik seperti rendahnya kemampuan sekolah, menghindar dari
sekolah, dan sering putus sekolah. Pemilihan karirnya sangat terbatas dan ia sering berhenti
dari pekerjaan. Fobia sosial cenderung menjadi kronik. Bila tidak diobati depat menjadi
komorbiditas dengan gangguan lain seperti depresi, penyalahgunaan alkohol atau obat.
Pada penderita agorafobia dan fobia sosial, pemakaian alkohol sering merupakan usaha
untuk mengobati diri sendiri.2

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Fobia sosial adalah ketakutan yang tidak beralasan atau ketakutan yang berlebihan
terhadap situasi sosial, dan interaksi dengan orang lain yang secara otomatis dapat
membawa perasaan sel-consciousness, judgment, evaluasi, dan perasaan inferior. Sampai
sekarang belum ditemukan penyebab yang pasti. Walaupun demikian, penelitian mengenai
etiologi banyak dilakukan saat ini. Ada beberapa teori yang mencoba mengungkapkannya,
antara lain teori psikoanalisis, teori genetik, dan teori neurotransmiter. Tanda-tanda fisik
dan gejala yang menandai bahwa seseorang mengalami fobia sosial, antara lain palpitasi
(jantung berdebar-debar), banyak mengeluarkan keringat, gemetaran, rasa panas-dingin,
sakit kepala, pusing, kerongkongan terasa tersekat, diare, mual, kebingungan, otot menjadi
tegang, dan gelisah. Fobia sosial biasanya dimulai pada masa kanak-kanak atau remaja,
biasanya pada usia 13 tahun. Diagnosis bahwa seseorang mengalami fobia sosial jika orang
tersebut memiliki gejala setidaknya selama 6 bulan. Suatu kombinasi pharmacotherapy dan
psikoterapi pada umumnya diberikan untuk para orang dengan fobia sosial

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal Edisi Kelima. Jilid
I. Jakarta: Erlangga
2. Kaplan, Harold I, Benjamin J. Sadock, Jack A. Grebb. Gangguan Kecemasan. Kaplan
dan Sadock Sinopsis Psikiatri- Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Edisi-7.
Jilid-2. 1997. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal: 477-56.
3. American Psychiatric Association. (2000) Diagnostic and Statistic Manual of Mental
Disorders Fourth Edition Text Revision, DSM-IV-TR. Arlington, VA: American
Psychiatric Association.
4. Maslim R, Pedoman Diagnostik Gangguan Anxietas Fobik dalam Diagnosis Gangguan
Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III, Jakarta 2003
5. Anthony, M. M., 1997. Assessment and Treatment of Sosial Phobia. The Canadian
Journal of Psychiatry. Vol. 42, No. 8, p. 826-834.
6. Safren, S. A., Heimberg, R. G., & Juster, H. R. 1997. Brief Report: Clients
Expectancies and Their Relationship to Pretreatment Symptomatology and Outcome of
Cognitive-Behavioral Group Treatment for Sosial Phobia. Journal of Consulting and
Clinical Psychology. Vol. 65, No. 4, p. 694-698.

14

Anda mungkin juga menyukai