Anda di halaman 1dari 19

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengawasan

Kata pengawasan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal

dari kata awas yang berarti dapat melihat baik-baik, tajam penglihatan.

pengawasan diartikan penilikan dan penjagaan, pengarahan kebijakan jalannya

pemerintahan.1

Pengawasan merupakan sebuah istilah yang secara etimologis berasal dari

istilah asing, yaitu controlling. Dalam dunia manajemen pengawasan mengandung

arti suatu tindakan korektif terhadap suatu pekerjaan atau kegiatan.2

Pengawasan (controlling) merupakan suatu tindakan atau usaha yang

dilakukan untuk mengetahui kinerja atau pelaksanaan tugas yang dilaksanakan

menurut peraturan, ketentuan dan tujuan yang ingin dicapai.3 Dalam fungsi

manajemen, pengawasan (controlling) meliputi tindakan mengecek dan

membandingkan hasil yang ingin di capai dengan standar-standar yang telah

digariskan. Jika hasil yang telah dicapai tidak sesuai dengan standar-standar yang

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka).

2 Neneng Nurhasanah, Pengawasan dalam Operasional Lembaga Keuangan Syariah,


Mimbar, no. 1 (2013): hlm.13
3
Situmorang Victor M & Juhir Jusuf, 1993, Aspek Hukum Pengawasan Melekat (Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah), Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 21.

16
17

berlaku, maka perlu dilakukan tindakan-tindakan korektif untuk

memperbaikinya.4

Inu Kencana Syafiie mengutip pengertian pengawasan dari George R.

Terry dalam bukunya bahwa Controlling can be defined as the process of

determining what is to be accomplished, that is the standard, what is being

accomplished. That is the performance, evaluating the performance, and if

necessary applying corrective measure so that performance takes place according

to plans, that is conformity with the standard. Pengawasan dapat dirumuskan

sebagai proses penentuan apa yang harus dicapai yaitu standar, apa yang sedang

dilakukan yaitu pelaksanaan menilai pelaksanaan dan bila perlu melakukan

perbaikan-perbaikan sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras

dengan standar (ukuran).5

Sondang Siagian juga menyebutkan bahwa pengawasan merupakan proses

pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan organisaasi untuk menjamin agar

semua pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan

sebelumnya.6

Pengawasan juga dapat dikatan sebagai suatu bentuk pemeriksaan dan

pengontrolan terhadap suatu kegiatan yang telah direncanakan dalam waktu

tertentu sehingga diketahui kelemahan dan hambatan dalam melaksanakan suatu

kegiatan tersebut.7

4 Winardi, Asas-Asas Manajemen, 2010, Bandung: Mandar Maju, hlm 7.


5
Inu Kencana Syafiie. Ilmu Pemerintahan, 2013, Jakarta: PT Bumi Aksara, hlm 130.
6
Ibid. hlm 131.
7
Bohari, Pengawasan Keuangan Negara, 1992, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 5.
18

Adanya pengawasan dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya

penyalahgunaan, pemborosan, kebocoran dan penyelewengan dalam

pemerintahan. Pengawasan juga diartikan sebagai suatu kegiatan administrasiyang

bertujuan untuk mengevaluasi dan mengoreksi hasil pekerjaan yang telah

dilakukan.

B. Tujuan Pengawasan

Tujuan pengawasan yaitu mengamati dan membandingkan apa yang

seharusnya terjadi yang kemudian dilakukan koreksi untuk dilaporkan kepada

pemimpin atau penanggung jawab suatu kegiatan untuk diambil tindakan korektif

yang perlu. Pengawasan juga bertujuan untuk memahami apa yang keliru untuk

dilakukan perbaikan selanjutnya.8 Pengawasan dilakukan untuk mengetahui segala

sesuatu terlaksana sesuai dengan rencana, instruksi dan prinsip-prinsip yang telah

ditentukan, sehingga segala kelemahan, kesulitan dan kegagalan dalam suatu

kegiatan dapat dicegah dan diatasi.9

C. Jenis-Jenis Pengawasan

1. Pengawasan berdasarkan objek

2. Pengawasan berdasarkan waktu pelaksanaan

3. Pengawasan berdasarkan subjek

8 Ibid.
9
Victor M Situmorang dan Juhir Jusuf, Aspek Hukum Pengawasan Melekat (Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah) ,(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm.23.
19

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas pemerintahan dalam suatu

Negara adalah dengan meningkatkan sistem pengawasan. Pengawasan dapat

dilakukan secara internal, eksternal, langsung atau tidak langsung, preventif

maupun represif. Berikut jenis-jenis pengawasan dalam suatu pemerintahan:

1. Pengawasan Berdasarkan Objek.

a. Pengawsan Langsung

Pengawasan langsung merupakan pengawsan yang dilakukan secara

langsung oleh pimpinan atau pengawas di suatu tempat dengan cara mengamati,

meneliti, mengecek, memeriksa dan menerima laporan secara langsung dari

pelaksana kegiatan tersebut.

b. Pengawasan Tidak Langsung

Pengawasan secara tidak langsung ini dilakukan dengan cara menerima

laporan-laporan baik lisan maupun tulisan dari masyarakat dan sebagainya dan

mengamatinya tanpa datang ke lokasi.

2. Pengawasan Berdasarkan Waktu Pelaksanaan

a. Pengawasan secara preventif

Pengawasan ini merupakan pengawasan yang dilakukan untuk mengindari

adanya kesalahan dan permasalahan kinerja dikemudian hari. Sehingga

pengawasan dilakukan pada saat pengolahan perencanaan anggaran, tenaga,

sumber daya manusia dan hal-hal lainnya.


20

b. Pengawasan Represif

Pengawasan secara represif ini dilakukan setelah kegiatan dilaksanakan.

Hal ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah terjadi agar

tidak terulang kembali di kegiatan berikutnya.

3. Pengawasan Berdasarkan Subjek.

1. Pengawasan Internal

Pengawasan Internal merupakan pengawasana yang dilakukan antara

pengawas dan yang diawasi mempunyai hierarkis atau dalam sebuah organisasi.

Pengawasan internal ini dilakukan oleh inspektorat, baik Inspektorat Jenderal,

Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota dan BPKP.

2. Pengawasan Eksternal

Pengawasan eksternal merupakan pengawasan yang dilakukan oleh

organisasi yang berbeda. Yakni tidak dalam hierarkis atau berada di luar

organisasi yang bersangkutan10

10 Ibid, 27.
21

Jenis-jenis pengawasan juga diatur dalam Insruksi Presiden Nomor 1 tahun

1989 yang merupakan dasar pelaksanaan pengawasan aparat pengawas fungsional

terhadap pelaksanaan pemerintah umum dan pembangunan. Pengawasan-

pengawasan terdiri atas pengawasan melekat, pengawasan fungsional,

pengawasan masyarakat dan pengawasan legislatif.

1. Pengawasan Melekat

Pengawasan melekat merupakan pengawasan yang dilakukan oleh atasan

terhadap bawahannya secara terus menerus baik secara preventif maupun represif

agar pelaksanaan tugas berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku

2. Pengawasan Fungsional

Pengawasan secara fungsional ini merupakan kegiatan yang dilaksanakan

oleh perangkat fungsional baik intern pemerintah ataupun ekstern pemerintah

terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan agar sesuai

dengan rencana dan peraturan perundang-undangan. Menurut Instruksi Presiden

nomor 15 tahun 1983 pengawas fungsional terdiri dari Badan Pengawas

Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jendereal Kementrian, Aparat

Pengawasan Lembaga Pemerintah Non Kementerian atau Instansi Pemerintah

lainnya, Inspektorat wilayah propinsi, Inspektorat wilayah kabupaten/kota.

3. Pengawasan Masyarakat
22

Pengawasan masyarakat merupakan informasi yang disampaikan oleh

masyarakat baik secara lisan atau tertulis berupa aduan/keluhan, ide, saran,

ataupun gagasan yang bersifat membangun kepada aparatur pemerintah yang

menanganinya.

4. Pengawasan Legislatif

Pengawasan legislatif dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat terhadap

kebijakan pemerintah dan pelaksanaan pembangunan.

D. Prinsip-Prinsip Pengawasan

Upaya untuk mendapatkan pengawasan yang efektif, maka perlu dipenuhi

prinsip-prinsip pengawasan sebagai berikut:

1. Pengawasan berorientasi kepada tujuan organisasi.

2. Pengawasan harus bersifat objektif, jujur dan mendahulukan kepentingan

umum daripada kepentingan pribadi.

3. Pengawasan harus berorientasi terhadap kebenaran menurut peraturan

yang berlaku, berorientasi terhadap kebenaran atas prosedur yang telah

ditetapkan, dan berorientasi terhadap tujuan (manfaat) dalam pelaksanaan

pekerjaan.

4. Pengawasan harus menjamin daya dan hasil guna pekerjaan.

5. Pengawasan harus berdasarkan standar yang objektif, teliti dan tepat.


23

6. Pengawasan harus bersifat terus menerus (continue).

7. Hasil pengawasan harus dapat memberikan umpan balik (feedback)

terhadap perbaikan dan penyempurnaan dalam pelaksanaan, perencanaan,

dan kebijaksanaan untuk waktu yang akan datang.11

E. Inspektorat

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 tahun

2017 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah, Inspektorat merupakan institusi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah

(APIP) yang berwenang mengawasi pemerintahan secara internal yang terdiri dari

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal

(Itjen)/Inspektorat Utama (Ittama)/ Inspektorat yang bertanggung jawab kepada

Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND), Inspektorat

Pemerintah Propinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur dan Inspektorat

Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

Mandat utama Inspektorat Jenderal sebagai unit kerja dengan fungsi

pengawasan internal, merupakan bagian bagian penting dari pelaksanaan

reformasi birokrasi untuk meningkatkan kinerja Kementerian Dalam Negeri

khususnya untuk membangun kapasitas kelembagaan seluruh entitas unit kerja

dalam rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi yang sesuai dengan arahan

tata pemerintahan yang baik (good governance).

11 Soewarno Handayaingrat, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, 1994,


Jakarta: Haji Masagung, hlm. 73-74
24

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 64 tahun 2007

tentang Pedoman Teknis Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat Provinsi dan

Kabupaten/Kota menyebutkan bahwa Inspektorat Kabupaten/Kota merupakan

aparat pengawas fungsional yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

bupati/walikota dan secara teknis administratif mendapat pembinaan dari

sekretaris daerah kabupaten/kota yang bertugas melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota, pelaksanaan

pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan

pemerintahan desa.

Inspektorat memiliki susunan organisasi yang terdiri dari inspektur,

sekretaris, inspektur pembantu dan kelompok jabatan fungsional atau auditor.

Pihak yang berwenang dalam mengawasi pemerintahan secara internal

adalah Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP). Aparat Pengawas Internal

Pemerintah yang selanjutnya disingkat APIP adalah Inspektorat Jenderal

Kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian, Inspektorat

Provinsi, dan Inspektorat kabupaten/kota. Hal tersebut diatur dalam Bab

Ketentuan Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12

tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah

Daerah.

Pengawasan intern yang dilakukan oleh Inspektorat adalah seluruh proses

kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain

terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan


25

keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok

ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan

dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.12

Berdasarkan Peraturan Bupati Balangan No 33 Tahun 2017 tentang Tugas

Pokok, Fungsi dan Uraian Tugas Inspektorat menyatakan bahwa tugas inspektorat

adalah membantu Bupati dalam membina dan mengawasi pelaksanaan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan oleh

perangkat daerah. Inspektorat berwenang dalam mengakses informasi, sistem

informasi, catatan, dokumen, aset, personil dan tidak ada intervensi dan

pembatasan ruang lingkup dalam melaksanakan tugasnya.13

F. Dana Desa

Pasal 1 nomor 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa mendefinisikan desa sebagai kesatuan

masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur

dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang

12Permendagri No. 47 tahun 2011 tentang Kebijakan pengawasan di lingkungan


kemeterian dalam negeri dan penyelenggaraan pemerintahan daerah tahun 2012, ps 1. Hlm. 4.
13
Berdasarkan hasil wawancara dengan Inspektur Kabupaten Balangan, Ir. Karim Suadi,
Inspektur,langsung, Kantor Inspektorat Kabupaten Balangan, 18 Februari 2019.
26

diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Menurut Pasal 1 Nomor 8 Ketentuan Umum Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 47 tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyebutkan dana desa adalah dana

yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang

diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan Dan

Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai

penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan

masyarakat dan pemberdayaan masyarakat.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2014

tentang Desa disebutkan bahwa desa mempunyai sumber pendapatan berupa

pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah,dan retribusi daerah kabupaten/kota,

bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh

kabupaten/kota, alokasi anggaran dari APBN, bantuan keuangan dari APBD

provinsi dan APBD kabupaten/kota, serta hibah dan sumbangan yang tidak

mengikat dari pihak ketiga.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Repbulik Indonesia Nomor 6

Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah mengalokasikan dana desa melalui transfer

ke Kabupaten/Kota. Pengalokasian dana desa tersebut dilaksanakan berdasarkan

jumlah desa dengan memperhatikan jumlah penduduk (30%), luas wilayah (20%)
27

dan angka kemiskinan (50%). Hasil perhitungan tersebut disesuaikan dengan

memperhatikan tingkat kesulitan geografis di masing-masing desa. Pengalokasian

dana desa ini dilakukan secara merata dan berkeadilan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.

Dana desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) yang kemudian ditransfer ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD) harus berdasarkan dengan asas-asas pengelolaan keuangan daerah.

Dalam pengelolaan keuangan daerah terdapat lima asas pengelolaan keuangan

daerah, yaitu asas umum peengelolaan keuangan daerah, asas umum APBD, asas

umum penyusunan APBD, asas umum pelaksanaan APBD dan asas

penatausahaan keuangan daerah. Lima asas tersebut telah diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 berdasarkan perubahan

atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan daerah. Asas-asas tersebut ialah:

1. Asas umum pengelolaan keuangan daerah


a. Asas terintegerasi yang berarti pengelolaan keuangan daerah

dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang

diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan

peraturan daerah.
b. Asas tanggungjawab yang berarti keuangan daerah dikelola:
28

1) Secara tertib mengelola keuangan daerah yang didukung

dengan bukti administratif yang dapat

dipertanggungjawabkan.
2) Taat pada peraturan perundang-undangan dengan pedoman

yang telah ditetapkan.


3) Efektif dengan melihat dan membandingkan pengeluaran

dan hasil yang dicapai.


4) Efisien dengan memaksimalkan pencapaian dan

meminimalkan pengeluaran.
5) Ekonomis dalam menggunakan pemasukan dengan

kuantitas dan kualitas tertentu dengan angka terendah.


6) Transparan atau keterbukaan dalam pengelolaan keuangan

daerah terhadap masyarakat.


7) Bertanggung jawab dalam pengelolaan dan pengendalian

untu mencapai tujuan yang ditetapkan.


8) Keadilan yang berdasarkan keseimbangan distribusi

kewenangan dan pendanaan dan/atau keseimbangan

distribusi hak dan kewajiban dengan pertimbangan yang

objektif.
9) Kepatutan dengan melakukan tindakan atau sikap yang

wajar dan proporsional.


10) Manfaat untuk masyarakat bagi pemenuhan kebutuhan.
2. Asas umum APBD
a. Asas penganggaran harus sesuai urusan pemerintahan, kemampuan

pendapatan daerah, fungsi APBD dan penetapan APBD. APBD

disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan

dan kemampuan pendapatan daerah berpedoman kepada RKPD

dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk

tercapainya tujuan bernegara. Agar pengelolaan APBD dapat


29

berjalan dengan efektif dan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan, maka APBD memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut:


1) Fungsi otorisasi yang berarti anggaran daerah menjadi dasar

untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun

yang bersangkutan.
2) Fungsi perencanaan yang berarti anggaran daerah menjadi

pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan

pada tahun yang bersangkutan.


3) Fungsi pengawasan yang berarti anggaran daerah menjadi

pedoman unttuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan

pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan.
4) Fungsi alokasi yang berarti anggaran daerah harus

diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi

pengangguran dan pemborosan sumber daya serta

meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.


5) Fungsi distribusi yang berarti kebijakan anggaran daerah

harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.


6) Fungsi stabilisasi yang berarti anggaran pemerintah daerah

menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan

keseimbangan fundamental perekonomian daerah.


b. Asas penganggaran penerimaan yang terukur secara rasional.
c. Asas penganggaran pengeluaran secara adil dan merata tanpa

diskriminasi.
d. Asas penganggaran secara bruto, periodic dan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.
3. Asas umum penyusunan APBD
a. Asas pendanaan atas beban APBD sesuai urusan pemerintahan dan

kewenangan masing-masing. Asas ini mengandung arti bahwa


30

penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

daerah didanai oleh dan atas beban APBD, penyelenggaraan urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah

didanai dari dan atas beban APBN, penyelenggaraan urusan

pemerintahan propinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada

kabupaten/kota dan/atau desa didanai dari dan atas beban APBD

propinsi, penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota

yang penugasannya dilimpahkan kepada desa, didanai dan atas

beban APBD kabupaten/kota.


b. Asas penerimaan dan pengeluaran harus memiliki dasar hukum.
4. Asas umum pelaksanaan APBD
a. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka

pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.


b. Setiap SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau

menerima pendapatan daerah wajib melaksanakan pemungutan

dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan.


c. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai

pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-

undangan.
d. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus disetor ke rekening

kas umum daerah paling lama 1 (satu) hari kerja.


e. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas

tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja.


f. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika

untuk pengeluaran itu tidak tersedia atau tidak cukup tersedia

dalam APBD.
31

g. Pengeluaran dapat dilakukan jika dalam keadaan darura, yang

selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD dan/atau

disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.


h. Kriteria keadaan darurat ditetapkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan
i. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran

daerah untuk tujuan lain dari apa yang telah ditetapkan oleh APBD.
j. Pengeluaran belanja daerah menggunakan prinsip hemat, tidak

mewah, efektif, efesien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.
5. Asas penatausahaan keuangan daerah
a. Penggunaan anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara

penerimaan/pengeluaran dan orang atau badan yang menerima atau

menguasai uang/barang/kekayaan daerah wajib menyelenggarakan

penatausahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


b. Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen

yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan

dan/atau pengeluaran atau pelaksanaan APBD bertanggung jawab

terhadap kebenaran material dan akibat yang timbul dari

penggunaan surat bukti yang dimaksud.


G. Pengelolaan Dana Desa

Sebagaimana amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun

2014 tentang Desa, yang diatur dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b dan ayat (2)

bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah alokasi anggaran pendapatan
32

dan belanja Negara dan alokasi anggaran tersebut bersumber dari belanja pusat

dengan mengefektifkan program berbasis desa secara merata dan berkeadilan.14

Dana desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan,

pembangunan, pemberdayaan masyarakat dan kemasyarakatan. Dana desa

diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

Sebagaimana yang telah diamanatkan oleh undang-undang, penggunaan dana desa

diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat,

seperti pembangunan pelayanan dasar pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Selain itu dana desa juga digunakan untuk memberdayakan masyarakat miskin

dalam memenuhi kebutuhan primer pangan, sandang dan papan.15

Melalui Peraturan Menteri Nomor 16 Tahun 2018 yang di terbitkan oleh

Menteri Desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi disebutkan

beberapa prioritas pemanfaatan dana desa dalam Pasal 4 ayat (1), (2) dan (3).

Dalam ayat (1) Penggunaan dana desa diprioritaskan untuk membiayai

pelaksanaan program dan kegiatan di bidang pembangunan desa dan

pemberdayaan masyarakat desa. Ayat (2) menyebutkan prioritas penggunaan dana

desa sebagaimana di maksud dalam ayat (1) dapat digunakan untuk membiayai

pelaksanaan program dan kegiatan prioritas yang bersifat lintas bidang. Lintas

bidang yang dimaksud ialah bidang pembangunan desa yang tercantum pada Pasal

5 Peraturan Mentri Desa No. 16 tahun 2018 yakni pada bidang kesehatan

masyarakat, pendidikan dan kebudayaan, transportasi, ekonomi serta berbagai


14 Yusran Lapananda, Hukum Pengelolaan Keuangan Desa, 2016, Jakarta:Wahana
Semesta Intermedia, hlm. 83.
15
Ibid, hlm. 87-88.
33

bidang lainnya. Kemudian ayat (3) melanjutkan bahwa prioritas penggunaan dana

desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diharapkan dapat

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat desa berupa peningkatan

kualitas hidup, peningkatan kesejahteraan dan penanggulangan kemiskinan serta

peningkatan pelayanan publik di tingkat desa. Peraturan prioritas ini bertujuan

agar desa mampu menjalankan kewenangannya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan dan tujuan bersama.

Dana desa dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-

undangan, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan serta mengutamakan kepentingan

masyarakat setempat.

H. Pemerintahan Desa

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Pasal 1 menyebutkan pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan

Negara Kesatuan RepublikIndonesia.

Pemerintahan desa merupakan sistem pemerintahan yang dilaksanakan

oleh kepala desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) yang penyelenggaraannya

merupakan subsistem dari pemerintahan dan memiliki kewenangan untuk

mengatur serta mengurus kepentingan masyarakat.16

16 HAW Widjaja, Otonomi Desa “Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh”,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 3.
34

Permerintahan desa dipimpin oleh kepala desa yang dibantu oleh

perangkat desa. Kepala desa yang terpilih dengan suara terbanyak dari

masyarakat ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa (BPD) yang kemudian

disahkan oleh Bupati. Masa jabatan kepala desa maksimal sepuluh tahun atau dua

kali masa jabatan sejak tanggal ditetapkan.

Pemerintahan desa merupakan keseluruhan proses penyelenggaraan

kegiatan pemerintahan desa. Berdasarkan keputusan presiden, Menteri dalam

negeri juga diberikan tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk membina

penyelenggaraan pemerintahan desa. Praktek pembinaan dilakukan secara

langsung dengan menerbitkan pedoman dan petunjuk pengaturan juga

didelegasikan ke pemerintah daerah dan wilayah sesuai dengan hierarki yang ada.

Hal-hal yang bersifat koordinasi dan kebijaksanaan tingkat regional diserahkan

kepada propinsi. Sedangkan hal-hal yang bersifat pengawasan, pengendalian dan

evaluasi diserahkan kepada kabupaten/kota untuk memberikan hal-hal yang

sifatnya bimbingan dan teknis pelaksanaannya diserahkan kepada kecamatan.17

17
Rudini (Menteri Dalam Negeri), Sistem dan Mekanisme Penyelenggaraan
Pemerintahan di Daerah, 1992, Direktorat Publikasi Ditjen Pembinaan Pers Dan Grafika
Departemen Penerangan RI, hlm 40.

Anda mungkin juga menyukai