Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH PENALARAN DEDUKTIF DAN PENALARAN INDUKTIF

1. Latar Belakang Masalah

Manusia memiliki penalaran dimana tak terlepas dari pengguna bahasa. Penalaran cenderung sering
terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Penalaran juga sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu
masalah. Dalam menyelesaikan masalah tersebut, manusia harus menggunakan penalarannya dengan
baik, agar bisa diselesaikan secara baik.

Dalam penalaran terdapat proposisi, yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis
(antesedens) dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence). Terdapat dua metode
penalaran yang bisa digunakan, yaitu penalaran deduktif dan penalaran induktif.
Kami menyadari bahwa pembahasan mengenai penalaran ini sangatlah penting , terlebih dalam hal
komunikasi. Biasanya apabila kita ingin mendaftar di suatu Universitas atau melamar pekerjaan, pasti
ada tes IQ yang mencakup tes penalaran juga. Berikut kami akan membahas tentang penalaran deduktif
dan induktif.

2. Rumusan Masalah
a) Apakah yang dimaksud penalaran?
b) Apa makna dari penalaran deduktif?
c) Apa makna dari penalaran induktif?

3. Tujuan Penulisan
a) Mengetahui maksud dari penalaran.
b) Mengetahui makna dari penalaran deduktif.
c) Mengetahui makna dari penalaran induktif.

4. Pembahasan
4.1 PENGERTIAN PENALARAN
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang
menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan
terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau
dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui.
4.2 DEFINISI PENALARAN DEDUKTIF
Penalaran deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang
kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru
yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional,
instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus
memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan.
Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk
memahami suatu gejala.
4.3 KARAKTERISTIK
Berikut ini adalah ciri-ciri dari Paragraf deduktif yaitu :
Ide pokok atau kalimat utamanya terletak di awal paragraf dan selanjutnya di ikuti oleh kalimat-kalimat
penjelas sebagai pendukung kalimat utama.
Faktor-faktor penalaran deduktif :
1.Terdapat pada kalimat utama
2.Penjelasannya berupa hal-hal yang umum
3.Kebenarannya jelas dan nyata
Contoh :
Sebuah sistem generalisasi.
Laptop adalah barang eletronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi, DVD Player adalah
barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi,
Generalisasi : semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.

4.4 BENTUK-BENTUK PENALARAN DEDUKTIF


Deduksi ialah proses pemikiran yang berpijak pada pengetahuan yang lebih umum untuk menyimpulkan
pengetahuan yang lebih khusus.
Bentuk standar dari penalaran deduktif adalah silogisme, yaitu proses penalaran di mana dari dua
proposisi (sebagai premis) ditarik suatu proposisi baru (berupa konklusi)
Bentuk silogisme
• Silogisme kategoris: terdiri dari proposisi-proposisi kategoris.
• Silogisme hipotesis: salah satu proposisinya berupa proposisi hipotesis.
Misalnya:
Premis 1 : Bila hujan, maka jalanan basah
Premis 2 : Sekarang hujan
Konklusi : Maka jalanan basah.
Bandingkan dengan jalan pikiran berikut:
Premis 1 : Bila hujan, maka jalanan basah
Premis 2 : Sekarang jalanan basah
Konklusi : Maka hujan.
Silogisme Standar
Silogisme kategoris standar = proses logis yang terdiri dari tiga proposisi kategoris.
Proposisi 1 dan 2 adalah premis
Proposisi 3 adalah konklusi
Contoh:
“Semua pahlawan adalah orang berjasa
Kartini adalah pahlawan
Jadi: Kartini adalah orang berjasa”.
Kesimpulan hanya dicapai dengan bantuan proposisi dua
Jumlah term-nya ada tiga, yakni: pahlawan, orang berjasa dan Kartini.
Masing-masing term digunakan dua kali.
Sebagai S, “Kartini” digunakan 2 kali (sekali di premis dan sekali di konklusi)
Sebagai P, “orang berjasa” digunakan 2 kali (sekali di premis dan sekali di konklusi)
Term “pahlawan”, terdapat 2 kali di premis, tapi tidak terdapat di konklusi.
Term ini disebut term tengah (M, singkatan dari terminus medius). Dengan bantuan term tengah inilah
konklusi ditemukan (sedangkan term tengah sendiri hilang dalam konklusi).
Term predikat dalam kesimpulan disebut term mayor, maka premis yang mengandung term mayor
disebut premis mayor (proposisi universal), yang diletakkan sebagai premis pertama.
Term subyek dalam kesimpulan disebut term minor, maka premis yang mengandung term minor disebut
premis minor (proposisi partikular), yang diletakkan sebagai premis kedua.
Term mayor akan menjadi term predikat dalam kesimpulan; sedangkan term minor akan menjadi term
subyek dalam kesimpulan
Dengan demikian, kesimpulan dalam sebuah silogisme adalah atau “S = P” atau “S ¹ P”. Kesimpulan itu
merupakan hasil perbandingan premis mayor(yang mengandung P) dengan premis minor (yang
mengandung S) dengan perantaraan term menengah (M).
Karena M = P; sedang S = M; maka S = P
Premis mayor M = P M = term antara
Premis minor S = M P = term mayor
Kesimpulan S = P S = term minor
Hukum-hukum Silogisme
a. Prinsip-prinsip Silogisme kategoris mengenai term:
1. Jumlah term tidak boleh kurang atau lebih dari tiga
2. Term menengah tidak boleh terdapat dalam kesimpulan
3. Term subyek dan term predikat dalam kesimpulan tidak boleh lebih luas daripada dalam premis.
4. Luas term menengah sekurang-kurangnya satu kali universal.
b. Prinsip-prinsip silogisme kategoris mengenai proposisi.
1. Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan harus afirmatif juga.
2. Kedua premis tidak boleh sama-sama negatif.
3. Jika salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif juga (mengikuti proposisi yang paling lemah)
4. Salah satu premis harus universal, tidak boleh keduanya pertikular.
Bentuk Silogisme Menyimpang
Dalam praktek penalaran tidak semua silogisme menggunakan bentuk standar, bahkan lebih banyak
menggunakan bentuk yang menyimpang. Bentuk penyimpangan ini ada bermacam-macam. Dalam
logika, bentuk-bentuk menyimpang itu harus dikembalikan dalam bentuk standar.
Contoh:
“Mereka yang akan dipecat semuanya adalah orang yang bekerja tidak disiplin. Kamu kan bekerja penuh
disiplin. Tak usah takut akan dipecat”.
Bentuk standar:
“Semua orang yang bekerja disiplin bukanlah orang yang akan dipecat.
Kamu adalah orang yang bekerja disiplin.
Kamu bukanlah orang yang akan dipecat”.
4.5 DEFINISI PENALARAN INDUKTIF
Penalaran induktif merupakan prosedur yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil
pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum.
Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan
dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan
dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala.
Induksi pada pengertian tradisional dipisahkan secara rigid dari deduksi untuk menunjuk pada suatu
metode saintifik yang berupaya tiba pada konklusi melalui bukti-bukti (evidences) partikular mengenai
dunia. Dalam sains, akumulasi bukti-bukti (evidences) bermakna derajat tertentu terhadap sokongan
munculnya hipotesis, kalau bukan konklusi.
Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal
khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis
yang belum diteliti.
Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap
gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan
melakukan generalisasi.

4.6 BENTUK-BENTUK PENALARAN INDUKTIF

Di dalam penalaran induktif terdapat tiga bentuk penalaran induktif, yaitu generalisasi, analogi dan
hubungan kausal.

A. Generalisasi adalah proses penalaran yang bertolak dari fenomena individual menuju kesimpulan
umum.
Contohnya :
• Luna Maya adalah bintang film, dan ia berparas cantik.
• Revalina. S. Temat adalah bintang film, dan ia berparas cantik.
Generalisasi: Semua bintang film berparas cantik.
Pernyataan “semua bintang film berparas cantik” hanya memiliki kebenaran probabilitas karena belum
pernah diselidiki kebenarannya.
Contoh kesalahannya:
Bella juga bintang iklan, tetapi tidak berparas cantik.
Macam-macam generalisasi :
• Generalisasi sempurna
Generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki.
Contoh: sensus penduduk
• Generalisasi tidak sempurna
Generalisasi dimana kesimpulan diambil dari sebagian fenomena yang diselidiki diterapkan juga untuk
semua fenomena yang belum diselidiki.
Contoh: Hampir seluruh pria dewasa di Indonesia senang memakai celana pantaloon. Prosedur
pengujian generalisasi tidak sempurna.
Generalisasi yang tidak sempurna juga dapat menghasilkan kebenaran apabila melalui prosedur
pengujian yang benar. Prosedur pengujian atas generalisasi tersebut adalah:
Jumlah sampel yang diteliti terwakili.
Sampel harus bervariasi.
Mempertimbangkan hal-hal yang menyimpang dari fenomena umum/ tidak umum.

B. Analogi
Cara penarikan penalaran dengan membandingkan dua hal yang mempunyai sifat yang sama.
Analogi mempunyai 4 fungsi,antara lain :
Membandingkan beberapa orang yang memiliki sifat kesamaan
Meramalkan kesamaan
Menyingkapkan kekeliruan
Klasifikasi
Contoh analogi : Demikian pula dengan manusia yang tidak berilmu dan tidak berperasaan, ia akan
sombong dan garang. Oleh karena itu, kita sebagai manusia apabila diberi kepandaian dan kelebihan,
bersikaplah seperti padi yang selalu merunduk.

C. Hubungan Kausal
Penalaran yang diperoleh dari gejala-gejala yang saling berhubungan.
Macam hubungan kausal :
a) Sebab- akibat.
Hujan turun di daerah itu mengakibatkan timbulnya banjir.
b) Akibat – Sebab.
Bobi tidak lulus dalam ujian kali ini disebabkan dia tidak belajar dengan baik.
c) Akibat – Akibat.
Ibu mendapatkan jalanan di depan rumah becek, sehingga ibu beranggapan jemuran di rumah basah.
Contoh Kausal : Kemarau tahun ini cukup panjang. Sebelumnya, pohon-pohon di hutan sebagi penyerap
air banyak yang ditebang. Di samping itu, irigasi di desa ini tidak lancar. Ditambah lagi dengan harga
pupuk yang semakin mahal dan kurangnya pengetahuan para petani dalam menggarap lahan
pertaniannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan panen di desa ini selalu gagal.
5. Kesimpulan
Penalaran menggunakan simbol berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran
konklusi dari premis. Dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi
merupakan hasil dari rangkaian pengertian.
Pada proses induksi atau penalaran induktif akan didapatkan suatu pernyataan baru yang bersifat umum
(general) yang melebihi kasus-kasus khususnya (knowledge expanding), dan inilah yang diidentifikasi
sebagai suatu kelebihan dari induksi jika dibandingkan dengan deduksi.
Hal ini pulalah yang menjadi kelemahan deduksi. Pada penalaran deduktif, kesimpulannya tidak pernah
melebihi premisnya. Inilah yang ditengarai menjadi kekurangan deduksi.
Alternatif dari penalaran deduktif adalah penalaran induktif. Perbedaan dasar di antara keduanya dapat
disimpulkan dari dinamika deduktif tengan progresi secara logis dari bukti-bukti umum kepada
kebenaran atau kesimpulan yang khusus; sementara dengan induksi, dinamika logisnya justru
sebaliknya.

Penalaran induktif dimulai dengan pengamatan khusus yang diyakini sebagai model yang menunjukkan
suatu kebenaran atau prinsip yang dianggap dapat berlaku secara umum.

Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal
khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis
yang belum diteliti

6. Daftar Pustaka
http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran
http://arief021091.wordpress.com/2011/10/27/arti-penalaran-definisi-penalaran-dan-hakikat-
penalaran/
http://ykrespati.wordpress.com/2011/10/27/macam-macam-penalaran/
http://fadjarp3g.files.wordpress.com/2008/06/07-deduksi_limas_.pdf
http://ferrylaks.wordpress.com/2011/10/27/macam-macam-penalaran/
http://herditosandi.wordpress.com/2009/01/03/problem-deduksi-dan-induksi/
http://nopi-dayat.blogspot.com/2010/03/penalaran-deduktif.html
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2012/03/penalaran-deduktif-59/
http://anggitata.wordpress.com/2011/03/11/penalaran-deduktif/
http://ami26chan.wordpress.com/2011/02/19/penalaran-induktif/
http://abdoez.multiply.com/journal/item/239?&show_interstitial=1& u=%2Fjournal%2Fitem
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Penalaran&action=edit
http://zainal-muttaqin.blogspot.com/2010/03/penalaran-induktif.html

Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera(pengamatan empirik) yang
menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan
terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau
dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses
inilah yang disebut menalar.

Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, teori atau putusan lain yang berlaku umum untuk
suatu hal ataupun gejala. Berdasarkan atas prinsip umum tersebut ditarik kesimpulan tentang sesuatu
yang khusus yang merupakan abgian dari hal atau gejala diatas. Dengan kata lain, penalaran deduktif
bergerak dari sesuatu yang umum kepada yang khusus.
Pengertian Penalaran Deduktif

Penalaran Deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang
kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru
yang bersifat lebih khusus.

Penalaran deduktif adalah metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal
yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.

Metode ini diawali dari pembentukan

· Teori, hipotesis,

· Definisi operasional,

· Instrumen dan

· Operasionalisasi.

Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori
tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian dilapangan. Dengan demikian konteks
penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakankata kunci untuk memahami suatu gejala.

Penalaran deduktif didasarkan atas prinsip, hukum, teori atau putusan lain yang berlaku umum untuk
suatu hal ataupun gejala. Berdasarkan atas prinsip umum tersebut ditarik kesimpulan tentang sesuatu
yang khusus yang merupakan abgian dari hal atau gejala diatas. Dengan kata lain, penalaran deduktif
bergerak dari sesuatu yang umum kepada yang khusus.

Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan
hasil kesimpulannya disebut denganconsequence (konklusi).

Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu
untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus.

Contoh:
Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan
(khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup
konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.

Pengertian Premis Mayor dan Premis Minor

Premis mayor adalah pernyataan umum, sementara premis minor artinya pernyataan khusus. Proses itu
dikenal dengan istilah silogisme. Silogisme merupakan proses penalaran di mana dari dua proposisi
(sebagai premis) ditarik suatu proposisi baru (berupa konklusi).

Misalnya : "Semua orang akhirnya akan mati" (premis mayor).

Hasan adalah orang (premis minor).

Oleh karena itu, "Hasan akhirnya juga akan mati" (kesimpulan).

Jadi, berfikir deduktif adalah berfikir dari yang umum ke yang khusus.

Dari yang abstrak ke yang konkrit. Dari teori ke fakta-fakta.

Jenis Penalaran Deduktif

Jenis penalaran deduktif yang menarik kesimpulan secara tidak langsung yaitu:

1. Silogisme Kategorial :

Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi. Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan
kesimpulan yang kategoris. Konditional hipotesis yaitu : bila premis minornya membenarkan anteseden,
simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya Menolak anteseden, simpulannya juga menolak
konsekuen. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan
premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.

Contoh :

Premis Mayor : Tidak ada manusia yang abadi

Premis Minor : Socrates adalah manusia

Kesimpulan : Socrates tidak abadi

Hukum-hukum Silogisme Katagorik


Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus parti¬kular juga, seperti:

Semua yang halal dimakan menyehatkan

Sebagian makanan tidak menyehatkan,

Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan

(Kesimpulan tidak boleh: Semua makanan tidak halaldimakan).

Kaedah- kaedah dalam silogisme kategorial adalah :

1. Silogisme harus terdiri atas tiga term yaitu : term mayor, term minor, term penengah.

2. Silogisme terdiri atas tiga proposisi yaitu premis mayor, premis minor, dan kesimpulan

3. Dua premis yang negatif tidak dapat menghasilkan simpulan.

4. Bila salah satu premisnya negatif, simpulan pasti negative.

5. Dari premis yang positif, akan dihasilkan simpulan yang positif.

6. Dari dua premis yang khusus tidak dapat ditarik satu simpulan.

7. Bila premisnya khusus, simpulan akan bersifat khusus.

8. Dari premis mayor khusus dan premis minor negatif tidak dapat ditarik satu simpulan.

2. Silogisme Hipotesis :

Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis. Menurut Parera (1991:
131) Silogisme hipotesis terdiri atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Akan tetapi premis
mayor bersifat hipotesis atau pengadaian dengan jika … konklusi tertentu itu terjadi, maka kondisi yang
lain akan menyusul terjadi. Premis minor menyatakan kondisi pertama terjadi atau tidak terjadi.

Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotesis:

1. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:

Jika hujan, saya naik becak.

Sekarang hujan.

Jadi saya naik becak.


2. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:

Bila hujan, bumi akan basah.

Sekarang bumi telah basah.

Jadi hujan telah turun.

3. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:

Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka

kegelisahan akan timbul. Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa, Jadi kegelisahan tidak
akan timbul. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya,

seperti:

Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah. Jadi
mahasiswa tidak turun ke jalanan.

Kaedah- kaedah Silogisme Hipotesis

• Mengambil konklusi dari silogisme hipotesis jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik.
Tetapi yang penting di sini adalah menentukan kebenaran konklusinya bila premis-premisnya
merupakan pernyataan yang benar.

Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, jadwal hukum silogisme hipotetik
adalah:

1) Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.

2) Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)

3) Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)

4) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana

Contoh :

a) Premis Mayor: Jika tidak turun hujan, maka panen akan gagal

Premis Minor: Hujan tidak turun


Konklusi : Sebab itu panen akan gagal.

b) Premis Mayor : Jika tidak ada air, manusia akan kehausan.

Premis Minor : Air tidak ada.

Kesimpulan : Manusia akan kehausan.

3. Silogisme Akternatif :

Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila
premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain.
Proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu alternatifnya.
Konklusi tergantung dari premis minornya.

Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti sempit dan silogisme disyungtif dalam arti
luas. Silogisme disyungtif dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif kontradiktif, seperti:

la lulus atau tidak lulus.

Ternyata ia lulus

Jadi, la bukan tidak lulus

Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:

Xsa di rumah atau di pasar.

Ternyata tidak di rumah.

Jadi, di pasar

Silogisme disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe yaitu:

1. Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain.

2. Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari alternatif yang lain.

Kaedah-kaedah silogisme alternatif :

1. Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur
penyimpulannya valid

2. Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran koi adalah sebagai berikut:

a. Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar)
Contoh :

Rizki menjadi guru atau pelaut.

la adalah guru.

Jadi bukan pelaut

Rizki menjadi guru atau pelaut.

la adalah pelaut.

Jadi bukan guru

b. Bila premis minor mengingkari salah satu a konklusinya tidak sah (salah)

Contoh :

Penjahat itu lari ke Surabaya atau ke Yogya.

Ternyata tidak lari ke Yogya.

Jadi ia lari ke Surabaya. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).

Rifki menjadi guru atau pelaut.

Ternyata ia bukan pelaut.

Jadi ia guru. (Bisa jadi ia seorang pedagang)

Contoh :

Premis Mayor : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.

Premis Minor : Nenek Sumi berada di Bandung.

Kesimpulan : Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.

4. Entimen :

Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun tulisan. Yang
dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan.

Entimen atau Enthymeme berasal dari bahasa Yunani “en” artinya di dalam dan “thymos” artinya pikiran
adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk
menimbulkan keyakinan dalam sebuah entimem, penghilangan bagian dari argumen karena
diasumsikan dalam penggunaan yang lebih luas, istilah "enthymeme" kadang-kadang digunakan untuk
menjelaskan argumen yang tidak lengkap dari bentuk selain silogisme.

Menurut Aristoteles yang ditulis dalam Retorika, sebuah "retorik silogisme" adalah bertujuan untuk
pembujukan yang berdasarkan kemungkinan komunikan berpendapat sedangkan teknik bertujuan
untuk pada demonstrasi. Kata lainnya, entimem merupakan silogisme yang diperpendek.

Contoh :

Rumus Entimen:

PU : Semua A = B : Pegawai yang baik tidak pernah datang terlambat.

PK : Nyoman pegawai yang baik.

S : Nyoman tidak pernah datang terlambat

Entimen : Nyoman tidak pernah datang terlambat karena ia pegawai yang baik

Beberapa ciri utama dari penalaran deduktif, yaitu :

1. Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti benar

2. Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam premis.

LOGIKA (Arti, Sejarah, Obyek, Pembagian, dan


Manfaat Mempelajarinya)
November 4, 2008 at 9:51 pm 3 comments
Oleh : Bahauddin
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Dalam khazanah peradaban Islam persolan bahasa dan logika muncul ketika terjadi perdebatan tentang kata dan
makna antara Abu sa’id al-Syirafi (893-950 M) dengan Abu Bisyr Matta (870-940 M). menurut sl-Syirafi yang ahli
bahasa, kata muncul lebih dahulu daripada makna, dan setiap bahasa lebih merupakan cerminan dari budaya
masyarakat masing-masing. Sebaliknya, menurut Abu Bisyr Matta, makna ada lebih dahulu disbanding kata, begitu
pula logika muncul lebih dahulu daripada bahasa. Makna dan logiika inilah yang menentukan kata dan bahasa,
bukan sebaliknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dapat berinteraksi secara aktif dan melakukan transformasi dengan
sesamanya tak lain karena ia memiliki akal untuk berfikir. Al-Qur’an yang merupakan sumber autentik dan absolut,
yang tak diragukan lagi kebenaranya sangat menghargai peranan akal ini. Bahkan, pertanyaan yang berupa seruan
“untuk selalu berfikir” bagi seseorang sangat banyak sekali dijumpai dalam berbagai ayat, di antaranya : Al-Baqarah:
44, 76, Ali Imran: 65, Al-An’am: 32, Al-A’raf: 169, Hud: 51, Yusuf: 109, Al-Anbiya’: 67, Al-Mukminun: 80, Al-Qashash:
60, Shaffat: 138 (Lihat. Fathurrahman, pada sub kalimat “afalaa ta’qilun”).
Akal merupakan suatu sarana super canggih, dikaruniai Tuhan kepada manusia, tidak kepada makhluk lainnya.
Dengan akal manusia dapat mengetahui sesuatu yang belum diketahuinya. Atau memahami lebih mendalam lagi
sesuatu yang telah diketahuinya, baik tentang dirinya maupun hakikat alam dan rahasia yang terkandung di
dalamnya. Manusia karena akalnya menjadi makhluk unik yang senantiasa terdorong untuk berfikir sepanjang
hayatnya sesuai dengan kemampuan befikir yang dimilikinya.
Ketika manusia itu masih diberi kehidupan, dan hidup dalam keadaan normal, selama itu pula aktivitas berfikir tidak
akan terlepas darinya. Manusia termasuk anda selalu berambisi untuk mencari kebenaran dengan jalan berpikir.
Pada saat itulah ilmu logika berperan penting dalam mencari suatu kebenaran.

Rene Descartes, seorang tokoh rasionalisme berkata: “Aku berfikir, karena itu aku ada”. Bahkan dalam teori
pensyariatan hukun Islam, teori logika — yang jelas menggunakan nalar—, sama sekali tak dapat “melepaskan diri”
dari apa yang kita sebut sebagai logika tadi. Begitu pula ahlu al-ra’yu (logika/mantiq) dan ahlu al-qiyas (analogi)
memandang syariat itu sebagai pengertian yang masuk akal dan dipandangnya sebagai asal yang universal yang
diisyaratkan oleh Al-Qur’an al-Karim. (Lihat tarikh at-Tasyri’, hlm. 366)
Dalam teori ijtihad, Imam Syafi’ie, ketika memahami al-Qur’an maupun Sunnah ada istilah dilalah ghairu mandhum
(penunjukan kalimat terhadap makna dengan menggunakan lafdh yang tidak sharih) yang tentunya dibutuhkan
analisis ‘berfikir tepat’ dalam memahaminya.(Lih. Modifikasi Hukum Islam, hlm. 35).
Contoh di atas sengaja penulis paparakan, sekali lagi, tak lain hanyalah untuk menekankan bahwa signifikansi akal
teramat krusial sebagai langkah untuk memperoleh kredibilitas dan akuntabilitas dalam memecahkan dan membuat
kesimpulan pada setiap persoalan kehidupan.
Akan tetapi, hasil pemikiran manusia, meskipun dengan menggunakan akal tidak selalu benar. Hasil pemikirannya,
kadang-kadang salah meskipun ia telah bersungguh-sungguh berupaya mencari yang benar. Kesalahan itu bisa saja
terjadi tanpa unsur kesengajaan. Jika hal itu memang terjadi, maka ia telah mendapat pengetahuan yang salah
meskipun ia yakin akan kebenarannya.
Oleh karena itu, supaya manusia aman dari kekeliruan berfikir dan selamat dari mendapat kesimpulan yang salah,
maka disusunlah kaidah-kaidah berfikir atau metodologi berfikir ilmiah yang kita kenal ilmu logika atau manthiq.
Bahkan, Syeh Abdurrahman al-Akkhdari dalam Al-Mandhumah Sullam al-Munawraq mengatakan bahwa peran ilmu
mantiq atau logika seperti halnya “nahwi li allisan” (grammar dalam pegucapan).
Maka setidaknya, itulah yang menjadi latar belakang penulisan makalah ini, meskipun di dalamnya hanya
menyinggung sebagaian kecil dari ilmu logika itu sendiri, seperti arti, obyek, bagian, dan manfaatnya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian di atas, penulis dapat memberikan rumusan masalah dalam makalah ini menjadi beberapa topik, yakni:
1.apakah pengertian logika itu?
2.bagaimana sejarah munculnya ilmu logika?
3.apa saja obyek dan pembagian logika?
4.mengapa logika penting untuk dipelajari?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian Logika
Kata logika menurut kamus berarti cabang ilmu pengetahuan yang mengamati tentang prinsip-prinsip pemikiran
deduktif dan induktif. Kata logika menurut istilahnya berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti
ketepatan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu haruslah mempunyai pengertian yang jelas tentang
penalaran, penalaran adalah suatu bentuk pemikirann yang meliputi tiga unsur, yaitu konsep pernyataan dan
penalaran.
Logika adalah bahasa Latin berasala dari kata “logos” yang berarti perkataan atau sabda. Istilah lain digunakan
sebagai gantinya adalah “mantiq”, kata Arab yang diambil dari kata kerja “nathaqa” yang berarati berkata atau
berucap. Dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar ungkapan serupa: ‘alasannya tidak logis’, ‘argumentasi
logis’, ‘kabar itu tidak logis’. Yang dimaksud dengan logis adalah masuk akal, dan tidak logis adalah sebaliknya.
Dalam buku Logicand Language of Education mantiq disebut sebagai “penyelidikan tentang dasar-dasar dan
metode-metode berfikir benar, sedangkan dalam kamus Munjid disebut sebagai hukum yang memelihara hati nurani
dari kersalahan dalam berfikir. Sedangkan Irving. M. Copi menyatakan, “logika adalah ilmu yang mempelajari metode
dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaran yang salah.”
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa perkataan logika adalah berasal dari kata sifat “logike” (bahasa Yunani)
yang berhubungan dengan kata benda logos, yang artinya pikiran atau kata sebagai pernyataan dari pikiran itu. Hal
ini menunjukkan adanya hubungan yang erat antara pikiran dan kata yang merupakan pernyataannya dalam bahasa.
Jadi logika adalah ilmu yang mempelajari pikiran yang dinyatakan dalam bahasa.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ilmu mantiq atau logika adalah ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat
membimbing manusia ke arah berfikir secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar
dari berfikir secara keliru yang menghasilkan kseimpulan salah. Hal ini tentunya, disebabakan bahwa dalam berfikir,
manusia tidak selalu benar serta acapkali terjerumus dalam sikap skeptis dan terjebak dalam kesalahan berfikir
dengan tanpa terasa. Bahkan akal satu-satunya bentuk yang indah, karena akal paling penting dalam pandangan
Islam. Oleh karena itu, Allah swt selalu memuji orang-orang yang berakal sebagaimana firman-Nya dalm surat al-
Baqarah ayat 164 dan surat Ar-Ra’d ayat 3-4.
Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik tentang struktur proposisi dan syarat-syarat
umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode yang mengesampingkan isi atau bahan
proposisi dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
Dengan demikian, maka tak heran jika Al-Farabi menjuluki ilmu logika atau mantiq ini dengan dasar ilmu-ilmu (raisul
uluum), Ibnu sina menjulukinya sebagai khadim al-uluum, dan sebagian yang lain menjulukinya sebagai ilmu akal.
B.Sejarah Munculnya Ilmu Logika
Nama logika pertama kali muncul pada Filsuf Cicero (abad ke-1 sebelum Masehi) tetapi dalam arti “seni berdebat”.
Alexander Aphrodisias (sekitar permulaan abad ke-3 sesudah Masehi) adalah orang pertama yang mempergunakan
kata ‘logika’ dalam arti ilmu yang menyelidiki lurus tidaknya pemikiran kita.
Yunani adalah negeri asal ilmu mantiq atau logika karena banyak penduduknya yang mendapat karunia otak cerdas.
Negeri Yunani, terutama Athena diakui menjadi sumber berbagai ilmu. Socrates, Plato, Aristoteles dan banyak yang
lainnya adalah tokoh-tokoh ilmiah kelas super dunia yang tidak ada ilmuwan nasional dan internasional tidak
mengenalnya sampai sekarang dan akan datang. Tetapi, khusus untuk logika atau ilmu mantiq Aristoteleslah yang
menjadi guru utamanya.
Akan tetapi, meski Aristoteles terkenal sebagai “Bapak Logika”, itu tidak berarti bahwa sebelum dia tidak ada logika.
Segala orang ilmiah dan ahli filosofi sebelum Aristoteles menggunakan logika sebaik-baiknya. Dalam literatur lain,
disebutkan bahwa Aristoteleslah orang yang pertama kali meletakkan ilmu logika, yang sebelumnya memang tidak
pernah ada ilmu tentang logika tersebut. Maka tak heran jika ia dijuluki sebagai “Muallim Awwal” (Guru pertama).
Bahkan Filosof Besar Immanuel Kant mengatakan 21 abad kemudian, bahwa sejak Aristoteles logika tidak maju
selangkah pun dan tidak pula dapat mundur.
Sepintas, ada beragam pendapat tentang siapa peletak pertama ilmu logika ini. Akan tetapi jika ditelisik lebih
mendalam, maka akan tampak suatu benang merah bahwa sebelum Aristoteles memang ada logika, akan tetapi ilmu
logika sebagai ilmu yang sistematis dan tersusun resmi baru muncul sejak Aristoteles, dan memang dialah yang
pertama akali membentangkan cara berfikir yang teratur dalam suatu sistem.
Kecerdasan penduduk Yunani itulah barangkali yang telah menyebabkan antara lain, lahirnya kelompok Safshathah.
Kelompk ini dengan ketangkasan debat yang mereka miliki menghujat dan malah merusak sistem sosial, agama dan
moral dengan cara mengungkap pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sebagai benar, tetapi membuat
penyesatan-penyesatan pemikiran nilai dan moral.
Di antara pernyataan-pernyataan mereka adalah:
Kebaikan adalah apa yang Anda pandang baik
Keburukan adalah apa yang anda pandang buruk
Apa yang diyakini benar oleh seseorang, itulah yang benar buat dia
Apa yang diyakini salah oleh seseorang, itulah yang salah buat dia
Aristoteles (384 –322 SM.) berusaha mengalahkan mereka secara ilmiah dengan pernyataan-pernyataan logis yang
brilian. Pernyataan itu ia peroleh melalui diskusi dengan murid-muridnya. Karya Aristoteles itu sangat dikagumi pada
masanya dan masa sesudahnya sehingga logika dipelajari di setiap perguruan. Plato (427-347 SM.), Murid Socrates
hanya menambahnya sedikit. Immanuel Kant (1724-1804 M) pemikir terbesar bangsa Jerman menyatakan bahwa
logika yang diciptakan Aristoteles itu tidak bisa ditambah lagi walau sedikit karena sudah cukup sempurna.
Logika formal merupakan hasil ciptaan Aristoteles yang dirintis oleh retorika kaum Shofis dan dialektika yang umum
digunakan untuk menimbang-nimbang pada masa hidup Plato. Inti pokok logika Aristoteles ialah ajarannya mengenai
penalaran dan pembuktian. Baginya, penalaran pertama-tama merupakan silogisme yang di dalamnya berdasar dua
buah tanggapan orang menyimpulkan tanggapan ketiga. Untuk dapat secara lurus melakukan penyimpulan ini perlu
diketahui mengenai hakikat tanggapan, ada tanggapan singular dan tanggapan particular.
Akan tetapi Konsili Nicae (325 M), menyatakan menutup pusat-pusat pelajaran filsafat Grik di Athena, Antiokia dan
Roma. Pelajar logika juga dilarang kecuali bab-bab tertentu saja yang dipandang tidak merusak akidah kristiani. Hal
ini merupakan pukulan mematikan bagi filsafat Yunani dan sekaligus logika. Sejak masa itu sampai hampir seribu
tahun lamanya alam pemikiran di Barat menjadi padam, sehingga dikenal dengan zaman Drak Ages (zaman gelap).
Pada abad ke-7 Masehi berkembanglah agama islam di jazirah Arab dan pada abad ke-8, agama ini telah dipeluk
secara meluas ke Barat sampai perbatasan Perancis sampai Thian Shan. Dizaman kekuasaan khalifah Abbasiyyah
sedemikian banyaknya karya-karya ilmiah Yunani dan lainnya diterjemahkan ke dalam bahasa, sehingga ada suatu
masa dalam sejarah islam yang dijuluki dengan Abad Terjemahan. Logika karya Aristoteles juga diterjemahkan dan
diberi nama Ilmu Mantiq.
Di antara ulama dan cendikiawan muslim yang terkenal mendalami, menerjemah dan mengarang di bidang ilmu
Mantiq adalah Abdullah bin Muqaffa’, ya’kub Ishaq Al-Kindi, Abu Nasr Al-farabi, Ibnu Sina, Abu Hamid Al-Gahzali,
Ibnu Rusyd, Al-Qurthubi dan banyak lagi yang lain. Al-Farabi, pada zaman kebangkitan Eropa dari abad gelapnya
malah dijuluki dengan Guru Kedua Logika.
Kemudian menyusullah zaman kemunduran dibidang mantiq atau logika karena dianggap terlalu memuja akal. Di
antara ulama-ulama besar islam seperti Muhyiddin An-Nawawi, Ibnu Shalah, Taqiyuddin ibnu Taimiyah, Syadzuddin
at-Taftsajani malah mengharamkan mempelajari ilmu mantiq. Namun komunitas ulama dan cendikiawan Muslim
membolehkan bahkan menganjurkan untuk mempelajarinya sebagai penyempurna dalam menginterpretasikan hadits
dan al-Qur’an.
C.Obyek Kajian Logika
Oleh karena yang berfikir itu manusia maka harus dikatakan bahwa lapangan penyelidikan logika ialah manusia itu
sendiri. Tetapi manusia ini disoroti dari sudut tertentu, yakni budinya. Begitu pula berfikir adalah obyek material
logika. Berfikir di sini adalah kegiatan pikiran, akal budi manusia. Dengan berfikir manusia mengolah, mengerjakan
pengetahuan yang telah diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya ini terjadi dengan
mempertimbangkan, menguraikan, membandingkan serta menghubungkan pengertian yang satu dengan pengertian
yang lainnya.
Jika dilihat dari obyeknya, dikenal sebagai logika formal (Manthiq As-Shuari) dan logika material (al-Manthiq al-
maddi). Pemikiran yang benar dapat dibedakan menjadi dua bentuk yang berbeda secara radikal, yakni cara berfikir
dari umum ke khusus dan cara berfikir dari khusus ke umum. Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan
dalam logika formal yang mempelajari dasar-dasar persesuaian (tidak adanya pertentangan) dalam pemikiran
dengan mempergunakan hukum-hukum, rumus-rumus, patokan-patokan berfikir benar. Cara berfikir induktif
dipergunakan dalam logika material, yakni menilai hasil pekerjaan logika formal dan menguji benar tidaknya dengan
kenyataan empiris. Logika formal disebut juga logika minor. Logika material disebut logika mayor.
D.Pembagian logika
Sistematisasi logika dapat diklsaifikasikan menjadi beberapa bagian, tergantung dari mana kita meninjaunya.
Pertama, dari segi obyeknya. Pada bagian ini logika dapat dibedakan menjadi dua, (1) logika formal atau mantiq as-
shuwari, (2) logika material atau mantiq al-maddi. Hal ini sudah dijelaskan pada sub “Obyek Logika”.
Kedua, dari segi kualitasnya. Disini Mantiq/logika dapat dibedakan menjadi Naturalis (Mantiq al-Fithri), yaitu
kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan manusia. Akal manusia yang normal dapat berjalan dan bekerja
secara spontan sesuai hokum-hukum logika dasar. Bagaimanapun rendahnya intelegensi seseorang ia dapat
membedakan bahwa sesuatu itu adalah berbeda dengan sesuatu yang lain, dan bahwa dua kenyataan yang
bertentangan adalah tidak sama.
Tetapi dalam mengahadapi permasalahan yang rumit dan dalam berfikir, manusia banyak dipengaruhi oleh
kecendrungan pribadi disamping bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas mengakibatkan tidak mungkin
terhindar dari kesalahan. Nah, untuk mengatsai kenyataan yang tidak bisa ditanggulangi oleh Mnatiq al-Fitri, manusia
menyusun hokum-hukum patokan-patokan , rumus-rumus berfikir lurus. Logika inilah yang disebut dengan Logika
Artifisialis atau Logika Ilmiah (Mantiq As-Suri) yang bertugas membantu Mantiq Al-Fitri. Mantiq ini memperhalus,
mempertajam, serta menunjukkan jalan pemikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti,, efisien, mudah dan aman.
Ketiga, dari segi metodenya, mantiq/logika dapat dibedakan atas Logika Tradisional (Mantiq al-Qadim) dan Logika
Modern (Mantiq al-Hadits). Logika tradisional adalah logika Aristoteles, dan logika para Logikus yang lebih kemudian,
tetapi masih mengikuti system Logika Aristoteles. Sedangkan Logika Modern tumbuh dan berkembang mulai pada
abad XIII. Mulai abad ini ditemukan sistem baru, metode baru yang berlainan dengan sisitem Logika Aristoeteles.
Saatnya dimulai sejak Raymundus Lullus menemukan metode baru logika yang disebut Ars magna.
Adapun Logika menurut The Liang Gie (1980) terbagi menjadi lima bagian:
1.Logika makna luas dan logika makna sempit
Dalam arti sempit istilah tersebut dipakai searti dengan deduktif atau logika formal. Sedangkan dalam arti yang lebih
luas pemakaiannya mencakup kesimpulan-kesimpulan dari berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem penjelasan
di susun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan mengenai logika itu sendiri.
2.Logika Deduktif dan Induktif
Logika deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas pelajaran yang bersifat deduktif, yakni suatu
penalaran yang menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul
menurut bentuknya saja. Logika induktif merupakan suatu ragam logika yang mempelajari asas-asas penalaran yang
betul dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi.
3.Logika Formal dan Material
Logika formal adalah mempelajari asas aturan atau hukum-hukum berfikir yang harus ditaati agar orang dapat berfikir
dengan benar mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung pekerjaan akal serta menilai hasil-hasil
logika formal dan mengujinya dengan kenyataan praktis sesungguhnya. Logika material mempelajari sumber-sumber
dan asalnya pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan dan akhirnya merumuskan metode ilmu pengetahuan itu.
Dan sekarang, logika formal adalah ilmu yang mengandung kumpulan kaidah cara berfikir untuk mencapai
kebenaran.
4.Logika Murni dan Terapan
Logika murni adalah merupakan suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan logika yang berlaku umum pada
semua segi dan bagian dari pernyataan-pernyataan dengan tanpa mempersoalkan arti khusus dalam suatu cabang
ilmu dari sitilah yang dipakai dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah pengetahuan logika yang
diterapkan dalam setiap cabang ilmu bidang-bidang filsafat dan juga dalam pembicaraan yang menggunakan bahasa
sehari-hari.
5.Logika Falsafati dan Matematik
Logika falsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian logika yang masih berhubungan sangat erat
dengan pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban dengan etika atau logika arti dengan metafisika.
Adapun logika matematik serta bentuk lambang yang khusus dan cermat untuk menghindarkan makna ganda atau
kekaburan yang terdapat dalam bahasa biasa.
E.Manfaat Logika (Ilmu Mantiq)
Di antara manfaat ilmu mantiq atau logika ialah:
a.membuat daya fikir akal tidak saja menjadi lebih tajam tetapi juga lebih menjadi berkembang melalui latihan-latihan
berfikir dan menganalisis serta mengungkap permasalahan secara ilmiah.
b.membuat seseorang menjadi mampu meletakkan sesuatu pada tempatnya dan mengerjakan sesuatu pada
waktunya.
c.membuat seseorang mampu membedakan— ini merupakan manfaat yang paling asasi ilmu mantiq atau logika —
antara pikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan urut pikir yang salah
yang dengan sendirinya akan menampilkan kesimpulan yang salah.
F.Analisis Pembahasan
Dari berbagai uraian di atas maka dapatlah ditarik “benang merah” bahwa para pemikir muslim sepaakat bahwa
kekuatan akal atau rasionalisme sangat diperlukan dalm kajian-kajian keagamaan. Namun, sampai sejauh mana
kemampuan rasio bisa diikuti dan dipakai, inilah yang menjadi persoalan. Sebagian menyatakan bahwa rasio mesti
ditempatkan di bawah wahyu, sebaliknya sebagian yang lain menganggap bahwa rasio saja telah cukup untuk
membimbing manusia dalam mengenal kebenaran dan Tuhan, wahyu hanya diperlukan sebagai justifikasi penemuan
akal.
Bertolak dari berbagai pendapat para pemikir muslim tersebut, ada beberapa catatan yang perlu disampaikan dalam
analisis ini, yakni tentang cacat dan kelemahan dari penalaran logika yang di dalamnya menggunakan prinsip
silogisme. Artinya, meskipun kekuatan nalar burhani ini sangat diperlukan dalam kajian keislaman, ternyata banyak
mengandung kelemahan-kelemahan.
1.Prinsip silogisme burhani yang diambil dari Aristoteles yang lebih mengutamakan sesuatu yang rasional dan
kebenaran yang empiris, secara tidak langsung berarti telah membatasi keberagaman serta keluasan realitas.
Kenyataannya, realitas tidak hanya pada apa yang konkret, yang tertangkap indera, tetapi ada juga realitas yang di
luar itu, seperti jiwa dan konsep mental. Artinya, di sini ada kebenaran-kebenaran lain yang tidak bisa didekati
dengan silogisme, seperti dikatakan Suhrawardi.
2.Silogisme tidak bisa menjelaskan atau menyimpulkan eksisitensi empiris di luar pikiran seperti soal warna, rasa,
bau atau bayangan. Artinya, tidak semua keadaan atau objek diungkap lewat silogisme sebagimana kritik yang
disampaikan Suhrawrdi dan Leibniz (1646-1716 M). (Lorens Bagus, 1996 : 87)
3.Prinsip logika burhani yang menyatkan bahwa atribut sesuatu harus didefinisikan oleh atribut yang lain akan
menggiring pada proses tanpa akhir, ad infinitum. Itu berarti tidak akan ada absurditas yang bisa diketahui. Logika
burhani, dengan prinsip silogisme-nya, seperti dikritik Suhrwardi, sebenarnya tidak memberikan apa-apa, tidak
menghasilkan pengetahuan baru.
4.Sejalan dengan no. 3, dengan prinsip bahwa kesimpulan yang khusus harus dideduksikan dari pernyataan yang
umum, maka apa yang disebut kesimpulan sebenarnya telah tercantum secara implicit pada pernyataan umu yang
disebut premis mayor; jika belum ada, maka sia-sialah usaha silogisme tersebut karena sesuatu yang tidak ada tidak
akan melahirkan sesuatu yang baru. Ini termasuk kritik yang dilontarkan Bacon (1561-1626 M) dan John Stuart Mill
(1806-1873 M) pada logika Aristoteles yang dipakai burhani. (Verhaak, 1997 : 137- 145; Bernard Delfgaaw, 1992 :
108)
5.Silogisme ternyata telah cenderung mengiring penganutnya pad cara berfikir hitam putih, benar salah,
sebagaimana yang terjadi dalam model pikiran teologi (ilmu kalam) yang memang banyak menggunakan logika ini.
Akibatnya, pemikiran teologi menjadi sangat keras dan mudah menimbulkan konflik, karena tidak mengenal
keebenaran pada pihak lain. Kebanaran hanya ada di pihaknya sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan, di antaranya adalah:
a.Logika dapat diartikan sebagai ilmu tentang kaidah-kaidah yang dapat membimbing manusia ke arah berfikir
secara benar yang menghasilkan kesimpulan yang benar sehingga ia terhindar dari berfikir secara keliru yang
menghasilkan kseimpulan salah. Atau sederhananya, ilmu ini bisa disebut pula sebagai studi sistematik tentang
struktur proposisi dan syarat-syarat umum mengenai penalaran yang shahih dengan menggunakan metode yang
mengesampingkan isi atau bahan proposisi dan hanya membahas bentuk logisnya saja.
b.Dalam sejarahnya logika muncul secara resmi dan tersusun pada saat Aristoteles melakukan reaksi terhadap
paham Shopis yang telah membuat kekaburan dalam masyarakat dengan pemikirannya yang sesat.
c.Obyek logika dapat dibedakan menjadi logika formal (Manthiq As-Shuari) dan logika material (al-Manthiq al-maddi).
Cara pertama disebut berfikir deduktif dipergunakan dalam logika formal. Cara berfikir induktif dipergunakan dalam
logika material. Logika formal disebut juga logika minor dan material disebut juga logika mayor.
Sedangan pembagian logika dapat dikelompokkan menjadi (a) logika makna luas dan logika makna sempit, (b) logika
deduktif dan induktif, (c) logika formal dan logika material, (d) logika murni dan terapan, (e) logika falsafati dan logika
matematik.
d.Manfaat yang paling asasi mempelajari ilmu logika adalah untuk membuat seseorang mampu membedakan antara
berpikir yang benar dan oleh karenanya akan menghasilkan kesimpulan nyang benar dan terhindar dari kesimpulan
yang salah.
e.Logika burhani (prinsip silogisme) ternyata juga memiliki banyak cacat dan kelemahan sebagaimana pada sub bab
“Analisis Pembahasan”. Itulah barangkali yang menyebabakan sebagian para pemikir muslim mengklaim haram
untuk mempelajari ilmu mantiq.
B. Saran dan Harapan
Dengan membaca makalah ini penulis berharap semoga kita dapat berfikir tepat dan benar sehingga terhindar dari
kesimpulan yang salah dan kabur. Setidaknya dengan makalah ini, ada semacam pencerahan intelektual dan
menyuguhkan motivasi yang intrinsik untuk segera mempelajari ilmu logika sehingga kita dapat meminimalisasi
kesalahan dalam berfikir.
Tentunya, dalam makalah ini akan ditemukan kelemahan-kelemahan atau bahkan kekeliruan. Dengan itu, penulis
sangat berharap adanya masukan dari pembaca dan kritik konstruktif sebagai upaya pembangunan mental guna
penyelesaian pada makalah-makalah selanjutnya. Dan, hal itu penulis harapkan dengan kerendahan hati dan
ketulusan jiwa.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahdhari, Abdurrahman, Mandhumah Sullam al- Munawraq fi Ilmi al-Manthiq, Dar Hifdh Assalafiyah, t.tp.
Aziz, Muhammad Ali, Logika, Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel, 1993
Bagus, Lorens, Kanus Filsafat, Jakarta, Gramedia, 1996
Baihaqi, AK, Ilmu Mantiq Teknik dasar Berfikir Logik, Jakarta, Dar Ulum Press, cet-2, 2001
Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1992, cet-1
Dahlan, Mohammad dkk., Kamus Induk Ilmiah, Surabaya, Target Press, 2003
Mohammad Hata, Alam Pikiran Yunani, Jakarta, UI-Press, cet-3, 1986
Mundiri, Logika, Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2001
Nur Ibrahimi, Mohammad, Ilmul Mantiq, Surabaya, Sa’ad Bin Nashir Nubhan, t.th.
Poejawijatna, Logika Filsafat Berfikir, Jakarta, PT. Rineka Cipta, cet-7, 1992
Syeh Hadi, Naqd al_Araa’ al-Manthiqiyyah wa Hilli Musykilatihaa, t.tp. t.th.
Soekadijo, Logika Dasar, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1991
A. Khudari Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, Jakarta, Bumi Aksara, cet-1, 2005
Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta, Gramedia, 1997
Zaini Dahlan dkk., Filsafat Hukum Islam, Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, 1987
Zuhri, Muhammad, Tarjamah Tarikh Tasyri’, Semarang, Darul Ihya’, 1980
Silogisme dan Generalisasi (Kajian Tugas Makalah)

38 Votes

2.1. Logika
Kata logika berasal dari kata logos dalam bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran. Secara bahasa logika berarti
ilmu berkata atau ilmu berfikir benar. Kebenaran adalah syarat dari tindakan untuk mencapai tujuannya bagi laku
perbuatan untuk menunjukan nilai. Logika menuntun pandangan lurus dalam praktek berfikir menuju kebenaran dan
menghindarkan budi menempuh jalan yang salah dalam berfikir. Logika merupakan studi dari salah satu
pengungkapan kebenaran dan dipakai untuk membedakan argumen yang masuk akal, serta berbagai bentuk
argumentasi. Logika dalam kajiannya pada problem formal dan spesifik tentang keteraturan penalaran. Logika
berurusan dengan pengetahuan yang bersifat formal apriori. Pengetahuan yang bersifat apriori adalah pengetahuan
kebenarannya abstain dari pengalaman melainkan hanya berdasarkan definisi. Dalam logika sangat terkait dengan
matematika.

Hukum dalam logika tidak termasuk pengamatan empiris, dan fungsi argumen logis untuk mengantarkan kita
kepada kesimpulan yang tidak dapat diperoleh dari sekedar pengamatan. Kita membuat kesimpulan dikarenakan ada
hubungan logis antara satu proposisi atau premis lebih dengan proposisi yang lain, kesimpulannya kurang lebih
berbentuk bahwa yang kedua pasti benar jika yang pertama benar. Kemudian jika kita mengetahui yang pertama,
kita dapat meyatakan yang kedua berdasarkan yang pertama.

Cara berpikir secara logis terbagi dua, yaitu : induktif dan deduktif
Induktif merupakan suatu cara berpikir di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus
yang bersifat individual.
Deduktif adalah suatu cara berpikir di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat
khusus.

2.2. Silogisme
Silogisme adalah suatu proses penarikan kesimpulan secara deduktif. Silogisme disusun dari dua proposisi
(pernyataan) dan sebuah konklusi (kesimpulan).
Silogisme terdiri dari ; Silogisme Katagorik, Silogisme Hipotetik dan Silogisme Disyungtif.
a. Silogisme Katagorik
Silogisme Katagorik adalah silogisme yang semua proposisinya merupakan katagorik. Proposisi yang mendukung
silogisme disebut dengan premis yang kemudian dapat dibedakan dengan premis mayor (premis yang termnya
menjadi predikat), dan premis minor ( premis yang termnya menjadi subjek). Yang menghubungkan diantara kedua
premis tersebut adalah term penengah (middle term).

Contoh :
Semua Tanaman membutuhkan air (premis mayor)
……………….M……………..P
Akasia adalah Tanaman (premis minor)
….S……………………..M
Akasia membutuhkan air (konklusi)
….S……………..P
(S = Subjek, P = Predikat, dan M = Middle term)
- Hukum-hukum Silogisme Katagorik
Apabila dalam satu premis partikular, kesimpulan harus parti¬kular juga, seperti:
Semua yang halal dimakan menyehatkan
Sebagian makanan tidak menyehatkan,
Jadi Sebagian makanan tidak halal dimakan
(Kesimpulan tidak boleh: Semua makanan tidak halal
dimakan).
Apabila salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif juga, seperti:

Semua korupsi tidak disenangi.


Sebagian pejabat adalah korupsi, jadi
Sebagian pejabat tidak disenangi.
(Kesimpulan tidak boleh: Sebagian pejabat disenangi)

Dari dua premis yang sama-sama partikular tidak sah diambil kesimpulan.
Beberapa politikus tidak jujur.
Banyak cendekiawan adalah politikus, jadi:
Banyak cendekiawan tidak jujur.
Jadi: Beberapa pedagang adalah kikir. Kesimpulan yang diturunkan

dari premis partikular tidak pernah menghasilkan kebenaran yang pasti, oleh karena itu kesimpulan seperti:
Sebagian besar pelaut dapat menganyam tali secara bai
Hasan adalah pelaut, jadi:
Kemungkinan besar Hasan dapat menganyam tali secara baik
adalah tidak sah.
Sembilan puluh persen pedagang pasar Johar juju Kumar adalah pedagang pasar Johar, jadi: Sembilan puluh persen
Kumar adalah jujur
1) Dari dua premis yang sama-sama negatit, lidak men kesimpulan apa pun, karena tidak ada mata rantai ya
hubungkan kedua proposisi premisnya. Kesimpul diambil bila sedikitnya salah satu premisnya positif. Kesimpulan
yang ditarik dari dua premis negatif adalah tidak sah.

Kerbau bukan bunga mawar.


Kucing bukan bunga mawar.
….. (Tidak ada kesimpulan) Tidak satu pun drama yang baik mudah dipertunjukk Tidak satu pun drama
Shakespeare mudah dipertunju Jadi: Semua drama Shakespeare adalah baik. (Kesimpulan tidak sah)

2) Paling tidak salah satu dari term penengah haru: (mencakup). Dari dua premis yang term penengahnya tidak ten
menghasilkan kesimpulan yang salah, seperti:

Semua ikan berdarah dingin.


Binatang ini berdarah dingin
Jadi: Binatang ini adalah ikan.
(Padahal bisa juga binatang melata)

3) Term-predikat dalam kesimpulan harus konsisten dengan term redikat yang ada pada premisnya. Bila tidak,
kesimpulan lenjadi salah, seperti

Kerbau adalah binatang.


Kambing bukan kerbau.
Jadi: Kambing bukan binatang.
(‘Binatang’ pada konklusi merupakan term negatif sedang-
kan pada premis adalah positif)

4) Term penengah harus bermakna sama, baik dalam premis layor maupun premis minor. Bila term penengah
bermakna mda kesimpulan menjadi lain, seperti:

Bulan itu bersinar di langit.


Januari adalah bulan.
Jadi: Januari bersinar di langit.
(Bulan pada premis minor adalah nama dari ukuran waktu
yang panjangnya 31 hari, sedangkan pada premis mayor
berarti planet yang mengelilingi bumi).

5) Silogisme harus terdiri tiga term, yaitu term subjek, preidkat, dan term menengah ( middle term ), begitu juga jika
terdiri dari dua atau lebih dari tiga term tidak bisa diturunkan komklsinya.

- Absah dan Benar


Dalam membicarakan silogisme mengenal dua istilah yaitu absah dan benar.
Absah (valid) berkaitan dengan prosedur penyimpi apakah pengambilan konklusi sesuai dengan patokan atau tidak.
Dikatakan valid apabila sesuai dengan patokan di atas dan dan tidak valid bila sebaliknya.
Benar berkaitan dengan proposisi dalam silogisme itu, 2 didukung atau sesuai dengan fakta atau tidak. Bila sesuai
fakta, proposisi itu benar, bila tidak ia salah.
Keabsahan dan kebenaran dalam silogisme merupakan satuan yang tidak bisa dipisahkan, untuk mendapatkan yang
sah dan benar. Hanya konklusi dari premis yang benar prosedur yang sah konklusi itu dapat diakui. Mengapa
demikian Karena bisa terjadi: dari premis salah dan prosedur valid menghasilkan konklusi yang benar, demikian
juga dari premis salah dan prosedur invalid dihasilkan konklusi benar.

Variasi-variasinya adalah sebagai berikut:


1. Prosedur valid, premis salah dan konklusi benar.
Semua yang baik itu haram. (salah)
Semua yang memabukkan itu baik. (salah)
Jadi: Semua yang memabukkan itu haram. (benar)

2. Prosedur invalid (tak sah) premis benar konklusi salah


Plato adalah filosof. (benar)
Aristoteles bukan Plato. (benar)
Jadi: Aristoteles bukan filosof (salah)

3. Prosedur invalid, premis salah konklusi benar.


Sebagian politikus adalah tetumbuhan. (salah)
Sebagian manusia adalah tetumbuhan. (salah)
Jadi: Sebagian manusia adalah politikus (benar)

4. Prosedur valid premis salah dan konklusi salah.


Semua yang keras tidak berguna. (salah)
Adonan roti adalah keras. (salah)
Jadi: Adonan roti tidak berguna (salah)

b. Silogisme Hipotetik
Silogisme Hipotetik adalah argumen yang premis mayornya berupa proposisi hipotetik, sedangkan premis minornya
adalah proposisi katagorik.
Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotetik:

1. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:


Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.

2. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:


Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.
3. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka
kegelisahan akan timbul.
Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa,
Jadi kegelisahan tidak akan timbul.

4. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:


Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah.
Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.

Hukum-hukum Silogisme Hipotetik


Mengambil konklusi dari silogisme hipotetik jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang
penting di sini dalah menentukan ‘kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.

Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen .engan B, jadwal hukum silogisme hipotetik adalah:
1) Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2) Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3) Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana.

Kebenaran hukum di atas menjadi jelas dengan penyelidikan


berikut:

Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi


Nah, peperangan terjadi.
Jadi harga bahan makanan membubung tinggi.( benar = terlaksana)
Benar karena mempunyai hubungan yang diakui kebenarannya
Bila terjadi peperangan harga bahan makanan membubung tinggi
Nah, peperangan terjadi.

Jadi harga bahan makanan tidak membubung tinggi (tidak sah = salah)
Tidak sah karena kenaikan harga bahan makanan bisa disebabkan oleh sebab atau faktor lain.

c. Silogisme Disyungtif
Silogisme Disyungtif adalah silogisme yang premis mayornya keputusan disyungtif sedangkan premis minornya
kategorik yang mengakui atau mengingkari salah satu alternatif yang disebut oleh premis mayor.
Seperti pada silogisme hipotetik istilah premis mayor dan premis minor adalah secara analog bukan yang
semestinya.

Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti


sempit dan silogisme disyungtif dalam arti luas. Silogisme disyungtif
dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif kontradiktif,
seperti:
la lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus, jadi
la bukan tidak lulus.

Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:

Hasan di rumah atau di pasar.


Ternyata tidak di rumah.
Jadi di pasar.

Silogisme disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe yaitu:
1) Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain, seperti:

la berada di luar atau di dalam.


Ternyata tidak berada di luar.
Jadi ia berada di dalam.
Ia berada di luar atau di dalam.
temyata tidak berada di dalam.
Jadi ia berada di luar.

2) Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari alternatif yang lain, seperti:

Budi di masjid atau di sekolah.


la berada di masjid.
Jadi ia tidak berada di sekolah.
Budi di masjid atau di sekolah.
la berada di sekolah.
Jadi ia tidak berada di masjid.

Hukum-hukum Silogisme Disyungtif

1. Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya
valid, seperti :
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata berbaju putih.
Jadi ia bukan tidak berbaju putih.
Hasan berbaju putih atau tidak putih.
Ternyata ia tidak berbaju putih.
Jadi ia berbaju non-putih.

2. Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran koi adalah sebagai berikut:
a. Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar), seperti:
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah guru.
Jadi bukan pelaut
Budi menjadi guru atau pelaut.
la adalah pelaut.
Jadi bukan guru
b. Bila premis minor mengingkari salah satu a konklusinya tidak sah (salah), seperti:
Penjahat itu lari ke Solo atau ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Jadi ia lari ke Solo. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).
Budi menjadi guru atau pelaut.
Ternyata ia bukan pelaut.
Jadi ia guru. (Bisa j’adi ia seorang pedagang).

2.3. Generalisasi
Generalisasi adalah suatu proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual (khusus) menuju
kesimpulan umum yang mengikat selutuh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki.

Macam-macam Generalisasi :
(1) Generalisasi sempurna adalah generalisasi di mana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan
diselidiki.
Misalnya setelah kita memperhatikan jumlah hari pada setiap bulan tahun Masehi kemudian disimpulkan bahwa:
Semua bulan Masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31.
Dalam penyim¬pulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita
tinggalkan.
Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan amat kuat
dan tidak dapat diserang. Tetapi tentu saja tidak praktis dan
tidak ekonomis.

(2) Generalisasi tidak sempurna yaitu generalisasi berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan kesimpulan
yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Misalnya setelah kita menyelidiki sebagian bangsa Indonesia bahwa mereka adalah manusia yang suka bergotong-
royong, kemu¬dian kita simpulkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka bergotong-royong, maka
penyimpulan ini adalah generalisasi tidak sempurna.

PEMBAHASAN DAN REALITA

3.1. Pendekatan Deduktif dan Induktif dalam Model Pembelajaran


Pendekatan Deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum kekeadaan khusus sebagai
pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh
khusus atau penerapan aturan. prinsip umum itu kedalam keadaan khusus. Langkah-langkah yang dapat digunakan
dalam pendekatan deduktif dalam pembelajaran adalah: (1) memilih konsep, prinsip. aturan yang akan disajikan
dengan pendekatan deduktif; (2) menyajikan aturan, prinsip yang bersifat umum lengkap dengan definisi dan
buktinya; (3) disajikan contoh-contoh khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus itu
dengan aturan. prinsip umum; dan (4) disajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan bahwa
keadaan khusus itu merupakan gambaran dari keadaar umum.

Sedangkan berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan silogisme terdiri dari tiga preposisi
statement yang terdiri dari “premise” yaitu dasar penarikan kesimpulan sebagai pernyataan akhir yang mengandung
suatu kebenaran. Berpikir deduktif prosesnya berlangsung dan yang umum menuju ke yang khusus. Dalam berpikir
deduktif ini orang bertolak dan suatu teori prinsip, ataupun kesimpulan yang dianggapnya benar dan sudah bersifat
umum Dari situ diterapkan kepada fenomena-fenomena yang khusus. dan mengambi kesimpulan khusus yang
berlaku bagi fenomena tersebut.
Pendekatan Induktif pada awalnya dikemukakan oleh filosof Inggri Francis Bacon (1561) yang menghendaki agar
penarikan kesimpulan didasarkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin, sistem ini dipandang sebagai
sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya
bersifat mempercayai begitu saja tanpa diteliti secara rasional. Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir
yang berlangsung dari khusus menuju ke yang umum. Orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai
fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena.

Tepat atau tidaknya kesimpulan atau cara berpikir yang diambil secara induktif ini menurut Purwanto (2002:47)
bergantung pada representatif atau tidaknya sampel yang diambil mewakili fenomena keseluruhan. Makin besar
jumlah sampel yang diambil berarti makin representatif dan makin besar pula taraf dapat dipercaya (validitas) dari
kesimpulan itu, dan sebaliknya. Taraf validitas kebenaran kesimpulan itu masih ditentukan pula oleh obyektivitas
dari si pengamat dan homogenitas dari fenomena-fenomena yang diselidiki. Dalam konteks pembelajaran
pendekatan Induktif adalah pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan sejumlah keadaan khusus
kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan.
Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan yang
akan disajikan dengan pendekatan induktif; (2) menyajikan contoh-contoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu
yang memungkinkan siswa memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh-contoh itu; (3)
disajikan bukti-bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu; dan (4)
disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah yang terdahulu. Pada
tingkat ini menurut Syamsudin Makmun (2003:228) siswa belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep atau
pengertian dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif. deduktif, analisis, sintesis. asosiasi.
diferensiasi, komparasi, dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat kesimpulan (kongklusi) tertentu yang
mungkin selanjutnya dapat dipandang sebagai “rule” (prinsip. dalil, aturan. hukum, kaidah. dan sebagainya).

Pendekatan yang tidak bersifat demokratis ialah pendekatan deduktif yang agak lebih banyak mengandung sifat
otoriter. Dalam kegiatan pembelajaran ini guru dalam mengajar tidak memberikan siswa kesempatan sepenuhnya
menemukan. membuktikan sendiri prinsip, hukum dan sebagainya tentang bahan belajar yang harus ditelaah.
Kondisi yang diisyaratkan kemungkinan tercapainya proses belajar seperti ini, Gagne menyarankan: (1) siswa
diberitahukan tentang bentuk “performance” yang diharapkan jikak yang bersangkutan telah mengalami proses
belajar; (2) siswa diberik; sejumlah pertanyaan yang merangsang pengingatannya (recall) terhads konsep-konsep
yang telah dipelajari dan dimilikinya untuk mengungkap ke perbendaharaan pengetahuannya; (3) siswa diberikan
beberapa kata-kata kunci (kode) yang menyatakan ke arah pembentukan rule tertentu yang diharapkan (4) diberikan
kesempatan kepada siswa mengekspressikan dan menyatakan ru tersbut dengan kata-kata sendiri; dan (5) siswa
diberikan kesempatan selanjutnya untuk membuat rumusan rule tersebut dalam bentuk-benti statement formal
bersifat optional sukarela.
3.2. Realita Silogisme dan Generalisasi dalam Penelitian Guru
Beberapa contoh pendekatan silogisme dan genelisasi dalam penelitian yang dilakukan guru :
Guru berpikir bahwa minat siswa berpengaruh pada tingginya prestasi belajar. Oleh karena itu, guru melakukan
penelitian yang judulnya “Korelasi antara Minat dengan Prestasi Belajar” atau “Pengaruh Minat terhadap Prestasi
Belajar”. Dalam contoh ini mungkin guru merasa telah melakukan suatu tindakan karena sudah menyusun angket
minat dan membuka dokumen daftar nilai. Apa hasilnya? Setelah angket disebarkan kepada siswa, kemudian
diperoleh data dan diolah dengan statistik maka guru akan memperoleh informasi berupa indeks korelasi. Guru puas,
tetapi prestasi belajar siswa tidak terpengaruh apa-apa, jadi tetap saja tidak naik.

Ditinjau dari sisi guru, sama sekali profesinya tidak meningkat. Dalam peristiwa ini guru hanya menyusun angket
minat dan menganalisis nilai yang ada pada dokumen. Apanya yang meningkat? Tidak ada!
Contoh lain yang banyak dilakukan oleh guru, tetapi sangat tidak tepat adalah penelitian untuk mengetahui pengaruh
latar belakang pendidikan orang tua dengan prestasi belajar siswa. Dalam hal ini guru juga tidak melakukan apa-apa,
bahkan berpikir kurang tepat. Guru berprasangka, jika pendidikan orang tua siswa tinggi, pasti dapat memberikan
bimbingan kepada anaknya dalam belajar sehingga prestasi anak-anak tinggi. Hasil dari penelitian ini justru ada
bahayanya. Jika prestasi siswa yang orang tuanya berpendidikan tinggi lebih baik dari siswa yang orang tuanya
berpendidikan rendah, saran peneliti harus berbunyi: “Orang tua sebaiknya berpendidikan tinggi agar prestasi
anaknya baik”.

Jika hasilnya berbalik, saran yang diberikan harus berbunyi: “Sebaiknya orang tua siswa tidak usah berpendidikan
tinggi karena dikhawatirkan prestasi anaknya menjadi tidak baik”.
Contoh ketiga ; guru mempunyai permasalahan tentang aktifitas belajar siswa, penguasaan materi pembelajaran
dengan sarana belajar, sehingga guru melakukan penelitian dengan menggunakan model pembelajaran tutor sebaya,
setelah melakukan penelitian dapat dikatakan ada peningkatan siswa menjadi aktif, penyempaian materi menjadi
menyenangkan karena temannya menjadi tutor atau pemberi materi pelajaran.

Dari contoh di atas dapat dijabarkan sebagai berikut :


1. Pada contoh pertama : penelitian yang dilakukan guru salah atau tidak sah karena tidak menggunakan pendekatan
silogime yang benar, yaitu :
Pengaruh Minat terhadap Prestasi Belajar
angket disebarkan kepada siswa
prestasi belajar siswa tidak berubah

2. Contoh kedua :
Pendidikan orang tua siswa tinggi
Pendidikan orang tua siswa tinggi
….. tidak terjadi kesimpulan

3. Contoh ketiga :
Jika menggunakan metode yang sesuai dan kreatif maka Siswa aktif dan belajar menyenangkan
Penggunaan variasi metode pembelajaran di lakasanakan
Maka siswa menjadi aktif
Pada contoh ketiga ini menggunakan penddekatan silogisme hipotetik, yaitu jika A terlaksana maka B terlaksana
DAFTAR PUSTAKA
Mundiri, Logika, Jakarta : Rajawali Pers, 1994.
Nasution, Hakim, Andi, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta :
Pustaka Sinar Harapan, 2005
Arikunto, Suharsimi, dkk. Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta : PT Bumi
Aksara, 2006.

http://www.unhas.ac.id/~rhiza/mystudents/filsafat-
iptek/Bab%209%20Yunus%20dan%20Halidin.ppt

http://www.halimsani.wordpress.com/2007/09/18/apakah-filsafat-itu-sebuah-
pengantar-kealam-filsafat/

http://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat

Asal Mula Logika & Metode penalaran


0 Comments

Pada pertemuan sebelumnya telah dikemukakan


pengertian logika, pengertian hukum dan terminologi hukum terhadap bahasa yang terkait erat
dengan logika hukum yaitu law of reasoning, legal reasoning, law and logic. Pada pertemuan kali ini
adalah mengkaji asal mula logika atau dimana pertama kali ilmu penalaran itu ada dan dinyatakan
sebagai metode dalam cabang filsafat.
Ada tiga cabang atau aspek dari filsafat sebagai induk ilmu yang mengutamakan pada pencarian
kebenaran yakni
1. Ontologi (hakikat ilmu) yang mempelajari tentang “ada”. Ada ini dibagi dalam tiga bagian yakni ada
dalam pikiran disebut dengan idealisme (rasionalisme); ada dalam pengalaman disebut empirisme;
dan ada dalam kemungkinan disebut irasionalime/ nihilisme.
2. Epistemologi yang mempelajari tentang metode, dan terbagi atas dua yakni metode deduktif (logika
deduktif/ umum-khusus) dan metode/ logika induktif: khusus-umum.
3. 3. Aksiologi berbicara tentang etika dan estetika. Cabang filsafat inilah yang digunakan kelak
sebagai kerangka awal sehingga lahir aliran-aliran pemikiran dalam ilmu hukum seperti aliran hukum
alam (natural law), positivisme hukum, mazhab sejarah (history), aliran realisme, dan mazhab
hukum kritis (critical legal movement).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa logika merupakan salah satu cabang filsafat yang
digunakan untuk melakukan penalaran. Penalaran sendiri dapat diartikan analisis terhadap preposisi
yang ada dan telah diakui kebenarannya untuk melahirkan preposisi yang baru. Sedangkan premis
atau preposisi adalah pernyataan-pernyatan atau peristiwa yang telah terjadi. Kemudian dari hasil
penalaran akan melahirkan konklusi atau kesimpulan yang diperoleh dari beberapa pernyataan.

Dari uraian singkat asal mula logika. Jelaslah logika ini terbagi dua yakni logika deduktif dan logika
induktif.

Logika deduktif adalah suatu bentuk atau metode penalaran yang konklusinya lebih sempit dari
premisnya

Contoh:

Premis mayor: Barang siapa mencuri akan dihukum (A-B-C)

Premis minor: Doni mencuri (A1-B)

Konklusi: Doni akan dihukum (A1- C)

Dari contoh yang dikemukakan di atas menunjukan bahwa ketika ada suatu kejahatan, maka yang
pertama kali dilakukan oleh kepolisian sebagai penyelidik, pekerjaan pertama yang dilakukan adalah
membuka KUHP, kemudian membuat BAP dan menyatakan seorang sebagai tersangka. Atau dengan
bahasa sederhana krakter logika deduktif merupakan karakter negara yang menggunakan sistem
hukum civil law. Oleh karena sumber hukum yang utama adalah perundang-undangan. Kalaupun
digunakan yurisprudensi, hanya sebagai pendukung dalam memberikan konklusi itu.

http://www.negarahukum.com/hukum/asal-mula-logika-metode-penalaran.html

Anda mungkin juga menyukai