Anda di halaman 1dari 28

EKSPLORASI CENDAWAN ANTAGONIS FILOSFER PADA

PEMBIBITAN KELAPA SAWIT di LAHAN BASAH dan


LAHAN KERING DALAM MENGHAMBAT PERKEMBANGAN
PATOGEN Curvularia sp.

Oleh
Novizal Kharisma

NIM : E1A212060

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2016
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman

perkebunan penghasil minyak nabati yang digunakan untuk industri pangan,

kosmetik dan diolah menjadi biodiesel. Tanaman ini menjadi salah satu komoditas

unggulan yang sedang berkembang (Lubis, 1992). Menurunnya produksi tanaman

kelapa sawit diakibatkan adanya serangan hama dan penyakit pada Tanaman

Belum Menghasilkan (TBM) dan tanaman produktif. Menurut Tjahjadi (2005),

pertumbuhan dan perkembangan tanaman dari sejak benih, pembibitan,

penanaman, hingga gudang penyimpanan selalu tidak luput dari gangguan hama,

patogen, gulma atau karena faktor lingkungan.

Penyakit bercak daun merupakan penyakit yang umum menyerang bibit

kelapa sawit. Beberapa jamur yang dapat diisolasi dari tanaman bergejala bercak

daun antara lain Curvularia sp.,Cercospora sp., Botryodiplodia sp., dan

Rhizoctonia sp. Bibit yang terinfeksi penyakit bercak daun akan menunjukkan

gejala bercak-bercak berwarna coklat seperti nekrosis (Semangun, 2000). Pada

tanaman kelapa dan kelapa sawit, cendawan Curvularia sp. ini merupakan

penyebab penyakit utama yang menyerang pada stadium pembibitan yang sering

disebut dengan penyakit bercak daun Curvularia sp. Penyakit bercak daun yang

disebabkan oleh Curvularia sp. Dipembibitan kelapa sawit dapat mencapai 38%

(Solehudin, et al., 2012).

Praktik pengendalian penyakit bercak daun yang paling sering dilakukan

ialah sanitasi daun terinfeksi dan aplikasi fungisida dengan bahan aktif mancozeb
2

dengan interval 7–10 hari (Utomo, 1987). Aplikasi fungisida dengan bahan aktif

mancozeb dalam waktu yang sangat lama akan menyebabkan resistensi Curvularia

terhadap fungisida ini (Susanto et all. 2013). Pengaruh negatif ini dapat dihindari

dengan menggunakan agensia hayati yang lebih ramah lingkungan yang dikenal

sebagai pengendalian hayati, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan

terhadap bahan kimia

Proses pengendalian hayati berjalan dengan lambat tetapi dapat

berlangsung dalam periode yang cukup panjang, relatif murah dan tidak

berbahaya bagi kehidupan. Salah satu agen pengendali hayati adalah mikroba

antagonis. Mikroba ini berinteraksi dengan tanaman menghasilkan asosiasi yang

menguntungkan dan diakui sebagai organisme yang mengaktifkan sistem

kekebalan tubuh tanaman dan membentuk hubungan mutualisik yang erat (Saenz,

et al., 2012).

Mikroba antagonis bisa terdapat di dalam tanaman sebagai endofit, di

perakaran tanaman (rhizosfer) maupun di bagian atas tanah (filosfer) sebagai

efifit.Menurut Soesanto (2008), pengendalian hayati yang selama ini diterapkan

untuk mengendalikan penyakit tanaman biasanya ditujukan untuk patogen tular

tanah, namun untuk patogen di atas tanah (filosfer) masih belum banyak

dilakukan. Adanya ekologi yang berbeda antara rhizosfer dan filosfer diduga

berpengaruh besar terhadap pengendalian hayati didedaunan.

Perbedaan ekologi antara rhizosfer dan filosfer memberikan asumsi bahwa

penggunaan agens antagonis rhizosfer yang selama ini banyak digunakan dalam

pengendalian hayati akan sulit mengendalikan penyakit yang berada di filosfer.


3

Oleh karena itu dilakuksn eksplorasi agens antagonis filosfer dengan harapan

bahwa agens antagonis yang asli berasal dari filosfer tanaman yang di teliti

diharapkan mampu bersaing dengan patogen filosfer ditanaman tersebut, tanpa

harus menggunakan agens antagonis rhizosfer yang harus beradaptasi lagi dengan

ekologi di filosfer.

Curvularia sp hidup pada suhu berkisar 25-300C sehingga pada lahan

basah dan kering patogen ini dapat menyebabkan terjadinya penyakit bercak

coklat. Akan tetapi perbedaan iklim di lahan basah dan lahan kering yang berbeda

membuat perkembangan patogen ini juga berbeda sehingga dilakukan penelitian

untuk mengetahui respon Curvularia sp terhadap agens antagonis yang berasal

dari lahan basah dan lahan kering, dengan tujuan dapat dikendalikannya penyakit

bercak daun akibat Curvularia sp.

Perumusan Masalah

Bagaimana efektivitas cendawan antagonis filosfer pembibitan kelapa

sawit di lahan basah dan kering dalam menghambat perkembangan patogen

Curvularia sp.

Tujuan Penelitian

Untuk mengeksplorasi cendawan antagonis filosfer pada pembibitan

kelapa sawit yang dapat menghambat pertumbuhan patogen Curvularia sp.

Hipotesa Penelitian

Adanya perbedaan hasil uji daya hambat cendawan antagonis filosfer dari

perlakuan yang diberikan pada hasil eksplorasi pembibitan kelapa sawit dilahan
4

kering dan lahan basah dalam mengendalikan penyakit bercak daun Curvularia sp

secara in vitro.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan sebagai bahan acuan untuk pengembangan

penelitian selanjutnya dalam mengendalikan penyakit bercak daunCurvularia sp.

di pembibitan kelapa sawit


TINJAUAN PUSTAKA

Morfologi Kelapa Sawit

Kelapa sawit berbentuk pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Akar

serabut tanaman kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga

terdapat beberapa akar napas yang tumbuh mengarah ke samping atas untuk

mendapatkan tambahan aerasi. Seperti jenis tnaman lainnya, daunnya resusun

majemuk menyirip. Daun berwarna hijau tua dan pelepah berwarna sedikit lebih

muda. Penampilannya agak mirip dengan tanaman salak, hanya saja dengan duri

yang tidak terlalu keras dan tajam. Batang tanaman diselimuti bekas pelepah

hingga umur 12 tahun. Setelah umurnya 12 tahun pelepah yang mengering akan

terlepas sehingga penampilan menjadi mirip dengan kelapa (Wikipedia, 2012).

Akar

Akar tanaman kelapa sawit berfungsi sebagai penyerap unsur hara dalam

tanah dan respirasi tanaman. Selain itu, sebagai penyangga berdirinya tanaman

sehingga mampu menyokong tegaknya tanaman pada ketinggian yang mencapai

puluhan meter hingga tanaman berumur 25 tahun. Akar tanaman kelapa sawit

tidak berbuku, ujungnya runcing dan berwarna putih atau kekuningan.

Tanaman kelapa sawit berakar serabut. Perakarannya sangat kuat karena

tumbuh ke bawah dan ke samping membentuk akar primer, sekunder, tertier dan

kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan kuarter

yang banyak mengandung zat hara. Di samping itu, tumbuh pula akar nafas yang

muncul di atas permukaan atau di dalam air tanah. Penyebaran akar terkonsentrasi

pada tanah lapisan atas.


6

Batang

Kelapa sawit merupakan tanaman monokotil, yaitu batangnya tidak

mempunyai kambium dan umumnya tidak bercabang. Batang berfungsi sebagai

penyangga tajuk serta menyimpan dan mengangkut bahan makanan. Batang

kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter 20-75 cm. Tanaman yang masih

muda, batangnya tidak terlihat karena tertutup oleh pelepah daun. Pertambahan

tinggi batang terlihat jelas setelah tanaman berumur 4 tahun. Tinggi batang

bertambah 25-45 cm/tahun. Jika kondisi lingkungan sesuai, pertambahan tinggi

batang dapat mencapai 100cm/tahun. Tinggi maksimum yang ditanam

diperkebunan antara 15-18 m, sedangkan yang di alam mencapai 30 m.

Pertumbuhan batang tergantung pada jenis tanaman, kesuburan lahan dan iklim

setempat.

Daun

Daun kelapa sawit mirip kelapa yaitu membentuk susunan daun majemuk,

bersirip genap dan bertulang sejajar. Daun muda yang masih kuncup berwarna

kuning pucat. Pada tanah yang subur, daun cepat membuka sehingga makin

efektif melakukan fungsinya sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis dan

respirasi. Daun kelapa sawit yang sehat dan segar berwarna hijau tua.

Kondisi Impor Kelapa Sawit Indonesia dan Kalimantan Selatan

Kondisi Impor Kelapa Sawit Indonesia

Pengembangan agribisnis kelapa sawit merupakan salah satu langkah yang

sangat diperlukan sebagai kegiatan pembangunan subsector perkebunan dalam


7

rangka revitalisasi sektor pertanian. Perkembangan pada berbagai subsistem yang

sangat pesat pada agribisnis kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit saat ini telah

berkembang tidak hanya diusahakan oleh perusahaan negara, tetapi juga

perkebunan rakyat dan swasta. Pada tahun 2003, luas areal perkebunan rakyat

mencapai 1.827 ribu ha (34,9%), perkebunan negara seluas 645 ribu ha (12,3%)

dan perkebunan besar swasta seluas 2.765 ribu ha (52,8%). Ditinjau dari bentuk

pengusahaannya, Perkebunan Rayat (PR) memberi andil produksi CPO sebesar

3.645 ribu ton (37,12%), Perkebunan Besar Negara (PBN) sebesar 1.543 ribu ton

(15,7%) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebesar 4.627 ribu ton (47,13%).

Produksi CPO juga menyebar dengan perbandingan 75,55% Sumatera; 21,45%

Kalimantan; 2% Sulawesi; dan 1% wilayah lainnya. Produksi tersebut dicapai

pada tingkat produktivitas perkebunan rakyat sekitar 3,73 ton CPO/ha,

perkebunan negara 3,14ton CPO/ha dan perkebunan swasta 3,58 ton CPO/ha

(Juliannoor, 2010)

Pengembangan agribisnis kelapa sawit ke depam juga didukung secara

handal oleh enam produsen benih dengan kapasitas 124 juta per tahun. Pusat

Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), PT. Socfin, PT. Lonsum, PT. Dami Mas, PT.

Tunggal Yunus, dan PT. Bina Sawit Makmur masing-masing mempunyai

kapasitas 35 juta, 25 juta, 15 juta, 12 juta, 12 juta dan 25 juta. Permasalahan benih

palsu diyakini dapat teratasi melalui langkah-langkah sistematis dan strategis yang

telah disepakati secara nasional.Impor benih kelapa sawit harus dilakukan secara

hati-hati terutama dengan pertimbangan penyebaran penyakit. Dalam hal industri

pengolahan, industry pengolahan CPO telah berkembang dengan pesat. Saat ini
8

jumlah unit pengolahan di seluruh Indonesia mencapai 320 unit dengan kapasitas

olah 13,520 ton TBS per jam. Sedangkan industry pengolahan produk

turunannya, kecuali minyak goreng, masih belum berkembang, dan kapasitas

terpasang baru sekitar 11 juta ton. Industry oleokimia Indonesia sampai tahun

2000 baru memproduksi oleokimia 10,8% dari produksi kimia (Juliannoor, 2010).

Kondisi impor kelapa sawit Kalimantan Selatan

Kelapa sawit di Kalimantan memiliki prospek yang sangat baik.Nilai

Ekspor maupun impor kelapa sawit di Kalimantan Selatan terbilang cukup tinggi.

Nilai impor Kalimantan Selatan pada bulan September 2012 mencapai US$407,11

juta atau naik 63,75% dibanding nilai impor bulan Agustus 2012 yang mencapai

US$248,62 juta. Kenaikan nilai impor yang besar inin terutama dikarenakan

kenaikan nilai impor dari kelompok bahan bakar mineral (HS 27) sebesar

US$159,03 juta dibanding bulan Agustus 2012. Dibandingkan dengan nilai impor

bulan September 2011 terjadi kenaikan sebesar 90,67% yang saat itu nilainya

mencapai US$213,52 juta. Secara kumulatif, nilai impor Kalimantan Selatan

bulan Januari-September 2012 mencapai US$2,32 miliar (Badan Pusat Statistik,

2012).

Nilai impor Kalimantan Selatan terbesar pada bulan September 2012

adalah impor dari Malaysia dengan nilai US$163,29 juta dengan kenaikan

249,46% dibandingkan impor dari Negara ini pada bulan Agustus 2012 yang

mencapaiUS$46,73 juta. Berada diurutan kedua sebagai pemasok barang impor

Kalimantan Selatan adalah Korea Selatan dengan nilai mencapai US$82,86 juta
9

atau naik 6,16%. Sedangkan Singapore berada diurutan ketiga dengan nilai impor

US$57,82 juta dengan kenaikan sebesar 1,32%. Disamping itu nilai

impormengalami kenaikan cukup besar adalah impor dari Amerika Serikat sebesar

US$21,05 juta atau naik US$15,39 juta (272,27%) (Badan Pusat Statistik, 2012).

Filosfer

Istilah filosfer pertama kali diperkenalkan serempak oleh Last pada tahun

1955 dan Ruinen tahun 1956, yang menyebutkan bahwa adanya flora tak parasit

yang sangat berkembang di dekat akar hidup rizosfer, telah lama dikenal, tetapi

pengenalan flora dipermukaan daun adalah baru. Sporobolomyces , Tilletiopsis,

dan Bullera mendiami lingkungan ini, yaitu filosfer. Pengamatan ini menyarankan

keberadaan organisme khas yang terkondisi pada sekitar permukaan daun, dan

disebut secara analog dengan rizosfer, sebagai filosfer (Soesanto, 2008).

Tumbuhan didiami oleh mikroba baik di bagian bawah maupun atas tanah.

Filosfer terdiri atas bagian aerial tumbuhan yang didominasi oleh daun. Bagian

atas tumbuhan secara normal dikolonisasi bermacam bakteri (termasuk

aktinomiset), khamir, dan cendawan. Sedikit jenis mikrob yang dapat diisolasi

dari jaringan tumbuhan tersebut, namun banyak diantaranya berasal dari

permukaan tumbuhan sehat. Habitat aerial yang dikolonisasi oleh mikrob ini

disebut filosfer dan tempat melekatnya mikrob disebut epifit. Beberapa penelitian

mengkaji kolonisasi pada tunas dan bunga, tetapi penelitian mikrob filosfer

difokuskan pada daun yang merupakan struktur aerial dominan pada tumbuhan

(Andrews dan Harris 2000).


10

Mikro iklim pada filosfer sangat beragam dan berfluktuasi dibandingkan

pada rizosfer. Semua ruas permukaan daun merupakan suatu lapisan pembatas

udara yang mudah rusak yang ketebalannya tidak lebih dari beberapa milimeter.

Oleh karena itu, filoplan merupakan lingkungan yang dinamis dengan peubah

lingkungan tak berdaur ataupun tak berdaur. Termasuk di dalamnya adalah suhu,

kelembaban relatif, embun, hujan, dan penyinaran matahari. Akan tetapi,

keragaman mendasar dapat terjadi dalam kisaran waktu dan ruang, bahkan pada

skala yang sesuai bagi mikroba (Soesanto, 2008)..

Penyakit-penyakit di Pembibitan Kelapa Sawit

Ada beberapa macam penyakit di pembibitan kelapa sawit, penyakit di

daun muda dan penyakit bercak daun yang sangat sering dijumpai di pembibitan.

Penyakit daun bibit muda yang sering disebut juga dengan antraknos bibit adalah

nama kolektif dari beberapa penyakit pada daun bibit muda , yang paling sedikit

disebabkan oleh tiga macam jamur, penyakit terutama tumbuh pada bibit muda

sampai berumur 3 bulan di prapembibitan ( Pre-Nursery ), atau bibit yang baru

saja di pindahkan ke pembibitan utama (main-Nursery). Botryodiplodia,

Melanconium, dan Glomorella adalah patogen-patogen yang sering menyerang

daun bibit muda (Semangun, 1989).

Penyakit-penyakit yang termasuk ke dalam bercak daun adalah yang

disebabkan oleh jamur-jamur patogenik dari genera Curvularia, Cochiobolus,

Dreschkera, Pestalotiopsis, dan Helminthosporum. Kelompok penyakit yang

disebabkan oleh beberapa macam jamur ini umum terdapat di pembibitan utama
11

(Main-Nursery) di berbagai negara penanam kelapa sawit. Salah satu contoh

penyakit bercak daun yang paling terkenal adalah bercak daun yang diakibatkan

oleh Curvularia (Semangun, 1989).

Curvularia sp

Cendawan Curvularia yang dalam bentuk teleomorfnya adalah

Cochliobolus sp. merupakan patogen bagi berbagai tanaman di daerah tropik dan

subtropik. Curvularia yang terdiri atas Sembilan spesies mampu menginfeksi

berbagai tanaman (Watanabe, 2002). Curvularia mempunyai kisaran inang yang

sangat luas dan dapat ditemukan di berbagai belahan dunia. Cendawan ini juga

berperan sebagai penyebab penyakit pada manusia, yakni penyakit keratitis

(endophthalmitis) pada mata setelah terjadi trauma pada mata (Alex et al. 2013).

Curvularia merupakan salah satu cendawan yang menyerang suku

Araceae (Yulianty 2005). Curvularia biasa ditemukan pada bibit kelapa.

Curvularia yang menyerang asparagus adalah Curvularia lunata (85%),

C.pallescens (32%), C. eragrostidis (18%), dan C. barchyspora (11.5%) (Salleh et

al. 1996). Salah satu patogen terbawa benih kakao hibrida ialah C. geniculata

(Baharudin et al.2012) serta C. lunata dapat menyebabkan penyakit bercak daun

pada berbagai kultivar bibit pisang dengan intensitas penyakit sampai1–32%

(Soesanto et al. 2012). Di Timur Tengah, Curvularia juga menyerang buah kurma

(Atia 2011).
12

Morfologi

Dalam jurnal penelitian setya budi et all. 2014. Curvularia sp yang

memiliki ciri miselium berwarna putih kecoklatan dan pada bagian awal peletakan

miselium berwarna putih pada media biakan, konidiofor berwarna cokelat gelap,

sederhana, tegak, berdinding tebal. Bagian samping konidia terlihat jernih.

Konidia silendris, berwarna cokelat gelap, memiliki 4 sel, 2 sel pada bagian

tengah besar dengan hilum basal, sporanya besar sehingga sangat terlihat jelas

bentuk-bentuknya. Klamidospora berbentuk bulat telur, berwarna pucat sampai

coklat gelap. Watanabe (2002), ukuran klamidospora sebesar 90-142,5x 142,5x5-

10μm, konidia berukuran 21,3-28,8x7,3-8,8μm dan klamidospora10-11,3 μm.

Gejala Serangan

Menurut Turner (1981), Curvularia mula-mula menyerang daun pupus

yang belum membuka atau dua daun termuda yang sudah membuka. Gejala

pertama adalah adanya bercak bulat kecil berwarna kuning tembus cahaya, yang

dapat dilihat di kedua permukaan daun. Bercak membesar, bentuknya tetap bulat,

warnanya sedikit demi sedikit berubah menjadi cokelat muda, dan pusat bercak

tampak mengendap (melekuk). Warna bercak menjadi cokelat tua, dan pada

umumnya dikelilingi oleh halo jingga kekuningan.

Pada infeksi yang berat daun yang paling tua mengering, mengeriting, dan

menjadi rapuh. Namun pada daun yang mengering ini bercak-bercak Curvularia

tetap terlihat jelas sebagai berkas cokelat tua di atas jaringan yang berwarna

cokelat pucat. Penyakit ini dapat sangat menghambat pertumbuhan bibit,

meskipun tidak mematikannya.


13

Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi


Pertumbuhan Cendawan

Pada perkembangan cendawan, faktor yang mempengaruhi adalah nutrisi

makanan, daya tahan hidup (survival), suhu, kelembaban, derajat kemasaman

(pH), dan cahaya.

1. Nutrisi makanan

Kebutuhan cendawan akan karbohidrat lebih besar dari pada nutrisi lainnya,

akan tetapi sumber nitrogen juga harus dipenuhi. Spora dalam

perkecambahannya, berkembang menjadi tabung kecambah, dengan

memanfaatkan suplai cadangan protein, karbohidrat dan lemak yang sudah ada

dari awal. Pada umumnya cendawan mampu untuk merombak karbohidrat dan

bahan-bahan organik lainnya dengan reaksi enzimatis sehingga membuatnya

lebih mudah untuk asimilasi (Butler &Jones, 1995 dalam Pratomo, 2012).

2. Suhu

Suhu sangat penting dalam menentukan jumlah dan tingkat pertumbuhan.

Peningkatan temperatur mempunyai efek yang umum dalam meningkatkan

aktifitas enzim dan aktifitas kimia (Moore-Landecker, 1972). Dua hal yang

umum berlaku mengenai pengaruh suhu, yaitu (1) kisaran suhu untuk

kemungkinan terjadinya sporulasi lebih sempit dibandingkan dengan kisaran

untuk pertumbuhan, dan (2) suhu optimum untuk pertumbuhan satu macam

spora mungkin berlainan dari suhu optimum untuk produksi bentuk spora yang

lain serta untuk pertumbuhan satu jenis cendawan (Hadi, 1989 dalam Pratomo,

2012).
14

3. Kelembaban

Cendawan memerlukan tingkat kelembaban relatif tinggi. Walaupun banyak

dari tingkatan cendawan yang lebih tinggi mampu berkembang dalam

ketidakhadiran air bebas, kelembaban yang relatif tinggi juga diperlukan.

Pertumbuhan maksimum untuk kebanyakan cendawan terjadi pada kelembaban

relatif 95-100 % dan pertumbuhan menurun atau terhambat pada kelembaban

80-85 %. Beberapa cendawan akan tumbuh pada kelembaban relatif ≤65%

(Moore-Landecker, 1972 dalam Pratomo, 2012).

4. Oksigen

Sebagian besar jenis cendawan adalah aerobik, sedang sebagian yang lain

adalah anaerobik. Cendawan aerobik tidak akan dapat berkembang bila tidak

tersedia cukup oksigen. Sporulasi dapat tertekan apabila kekurangan oksigen

atau mungkin juga terlalu banyak CO2 (Hadi, 1989 dalam Pratomo, 2012).

5. Derajat kemasaman

Kebanyakan cendawan tumbuh optimal bila substrat sedikit masam antara pH 5

dan pH 6. Akan tetapi cendawan masih mampu tumbuh dengan 8 baik pada

selang yang lebih luas, dari sekitar pH 3 sampai pH 8. (Barnett dan Hunter,

1998 dalam Pratomo, 2012).

Lahan Basah dan Lahan Kering

Konvensi Ramsar 1971 menakrifkan lahan basah yang penting

secara internasional sebagai berikut (Dugan, 1990 dalam Notohadiprawiro,

1997) Lahan basah adalah wilayah rawa, lahan gambut, dan air, baik alami
15

maupun buatan, bersifat tetap atau sementara, berair ladung atau mengalir yang

bersifat tawar, payau, atau asin, mencakup wilayah air marin yang didalamnya

pada waktu surut tidak lebih daripada enam meter.

Konvensi Ramsar memilahkan lahan basah berdasarkan ciri biologi dan

fisik dasar menjadi 30 kategori lahan basah alami dan 9 kategori lahan basah

buatan. Ketigapuluh kategori lahan basah alami dipilahkan lebih lanjut menjadi 13

kategori berair asin dan 17 kategori berair tawar. Lahan basah buatan mencakup

waduk, lahan sawah, jejaring irigasi, dan lahan akuakultur (perkolaman tawar dan

tambak). Untuk meringkus tinjauan, penggolongan lahan basah alami boleh

menjadi 7 satuan bentang lahan (landscape) yang seluruhnya merupakan

komponen penting bagi penetapan kerangka perencanaan konservasi lahan basah.

Ketujuh satuan bentanglahan tersebut adalah estuari, pantai terbuka, dataran

banjir, rawa air tawar, danau, lahan gambut, dan hutan rawa (Dugan, 1990 dalam

Notohadiprawiro, 1997).

Lahan kering didefinisikan secara umum dalam hal iklim sebagai

tanahdengan curah hujan terbatas. Ditandai dengan rendahnya curah hujan yang

berkisar antara 100-600 mm/tahun, tidak menentu dan sangat tidak konsisten. Ciri

utama dari kekeringan adalah rendahnya persediaan antara curah hujan tahunan

dan evapotranspirasi. Curah hujan yang rendah, tidak dapat diandalkan dan

terkonsentrasi selama musim hujan yang pendek, dengan waktu yang

tersisacenderung relatif kering. Suhu tinggi selama musim hujan menyebabkan

sebagian besar curah hujan yang akan hilang dalam penguapan (Muku, 2002).
16

Keadaan Astronomis Bajuin dan Marabahan

Kecamatan Bajuin merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Tanah

Laut dengan batas batas : sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Tambang

Ulang, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Batu Ampar, sebelah barat

berbatasan dengan Kecamatan Takisung dan sebelah selatan berbatasan dengan

Kecamatan Panyipatan (BPS, 2016).

Letak astronomisnya antara 114o78’ - 114o96’ Bujur Timur dan 3o58’ -

3o83’ Lintang Selatan. Luas wilayah Kecamatan Bajuin sebesar 196,30 km2, atau

sebesar 5,4 persen dari total luas Tanah Laut dengan ketinggian 25 meter di atas

permukaan laut. Dari segi wilayah administrasi, Kecamatan Bajuin memiliki 9

desa. Desa yang luas daerahnya paling besar yaitu desa Tanjung dengan luas

80,00 km2 dan desa yang paling kecil yaitu desa Kunyit dengan luas 4,00 km2.

Suhu udara di suatu tempat dapat ditentukan oleh tinggi rendahnya tempat

tersebut terhadap permukaan laut dan jaraknya dari pantai. Suhu udara rata-rata di

Bajuin berkisar 28,5oC. Sedangkan kelembaban udara rata-rata berkisar sampai

dengan 79,7 persen (BPS, 2016).

Curah hujan di suatu tempat dapat dipengaruhi oleh keadaan iklim,

keadaan geografi, dan pertemuan arus udara. Pada tahun 2015, curah hujan di

Kecamatan Bajuin rata-rata tercatat 199,6 mm dan hari hujan sebanyak 12 hari

setiap bulan (BPS, 2016).


17

Kecamatan Marabahan terletak dijantung Kabupaten Barito Kuala dimana

di kecamatan ini juga terletak ibukota kabupaten Barito Kuala yaitu Marabahan.

Letak kecamatan Marabahan secara astronomis adalah pada 02 o 50’50’’ –

03o18’0’’ lintang selatan dan pada 114 o40’50’’ – 114o40’0’’ bujur timur.

Sedangkan secara geografis berbatasan dengan Kecamatan Cerbon di sebelah

selatan, Kecamatan Tabukan di sebelah utara, Kecamatan Bakumpai di sebelah

timur, dan Kecamatan Barambai di sebelah barat (BPS, 2016).

Jika dilihat secara astronomis, Kecamatan marabahan berada di wilayah

dengan curah hujan cukup. Dimana selama tahun 2015 rata-rata curah hujan 183,4

mm yang terjadi pada rata-rata 10 hari hujan. Bulan dengan curah hujan tertinggi

adalah bulan Januari yaitu 615,1 mm dengan jumlah hari hujan selama 26 hari.

Sedangkan curah hujan terendah ada di bulan September yaitu 0 mm di mana

tidak ada hujan sama sekali pada bulan itu (BPS, 2016).
BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat

Bahan

Bibit kelapa sawit yang bergejala penyakit bercak daun Curvularia sp

sebagai sumber penyakit yang akan di uji daya hambat secara in vitro

Bibit kelapa sawit yang sehat diantara tanaman yang sakit yang akan di

isolasi bagian pangkal batang sampai dengan daun untuk mencari agens antagonis

yang dapat di uji daya hambata in vitro dalam mengendalikan/menekan penyakit

bercak daun Curvularia sp.

Media PDA sebagai media tumbuh agens antagonis dan patogen

Curvularia sp

Alkohol sebagai bahan pensteril dan menciptakan lingkungan aseptik.

Kertas saring sebagai penyaring air ketika isolasi pathogen.

Alat

Laminar air flow sebagai tempat mengisolasi tanaman sakit dan tanaman

sehat.

Cawan petri sebagai tempat menumbuhkan hasil isolasi yang didapat

dimana sudah ada media di dalamnya sebagai media tumbuh.

Gunting sebagai alat memotong daun yang akan di isolasi.

Pinset sebagai alat penjepit pada saat isolasi.

Spidol sebagai alat untuk menulis.

Penggaris untuk mengukur hasil uji daya hambat.


19

Lampu Bunsen untuk mensterilkan alat yang digunakan pada saat isolasi

maupun pemurnian.

Aluminium foil sebagai penutup tempat media diolah.

Cling warp sebagai alat pembungkus cawan petri dan mulut botol tempat

media.

Sprayer sebagai alat semprot.

Cock borer untuk memindahkan isolate dari satu cawan ke cawan yang

lain.

Jarum ent berfungsi sebagai pemindah cendawan dari satu petri ke petri

lain

Tabung reaksi sebagai wadah untuk mengisolasi agens antagonis dari daun

Shaker sebagai alat untuk menghomogenkan isolasi daun di tabung reaksi

Oven berfungsi untuk mensterilisasi alat kaca

Metode Penelitian

Uji in vitro agens antagonis dalam mengendalikan penyakit bercak

Curvularia sp adalah menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dua

faktor,faktor yang dicobakan adalah :

1. Faktor S adalah suhu dengan 3 perlakuan :

S1 = 200 C

S2 = 300 C

S3 = 400 C
20

2. Faktor P adalah pH dengan 3 perlakuan :

P1 = pH 4

P2 = pH 5

P3 = pH 6

Kombinasi dari perlakuan suhu dan pH dapat dilihat ditabel berikut ini :

Tabel1. Kombinasi perlakuan suhu dan pH.


Faktor P
Faktor S
P1 P2 P3

S1 S1P1 S1P2 S1P3


S2 S2P1 S2P2 S2P3
S3 S3P1 S3P2 S3P3

Jadi, ada 9 macam perlakuan dengan ulangan sebanyak 3 ulangan sehingga

jumlah semua total percobaan adalah 27 satuan percobaan. Hasil dari pengamatan

akan diuji homogenitasnya dengan uji barlet, jika tidak homogen maka dilakukan

transformasi. Apabila data homogen akan dilanjutkan dengan uji Anova.

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fitopatologi dan Rumah Kaca

Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat Banjarbaru. Penelitian

direncanakan akan dilaksanakan pada bulan Januari-Februari 2017.


21

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dengan melalui enam tahapan, dengan urutan

sebagai berikut :

1. Eksplorasi agens antagonis filosfer

Eksplorasi agens antagonis dilakukan dengan survey lapangan di dua tempat

Yaitu lahan basah di Marabahan dan Lahan Kering di Pelaihari. Di setiap

tempat diambil tiga sampel tanaman sehat diantara tanaman yang terserang

penyakit bercak daun. Sampel diambil dari pembibitan kelapa sawit

perusahaan. Dalam pengambilan sampel, disetiap tempat juga diambil data

primer yaitu suhu di pembibitan dan juga data sekunder sebagai pendukung ,

meliputi data curah hujan ( 5 tahun ), kelembaban serta suhu di tempat

pengambilan sampel

2. Isolasi agens antagonis dan pathogen

a. Isolasi agens antagonis

Isolasi agens antagonis dilakukan dengan mengambil bagian daun dari

sampel yang didapat. Bagian daun dipotong kecil-kecil lalu di masukkan

dalam tabung reaksi yang berisi air steril lalu di shaker selama 15 menit

lalu dituang dalam media PDA untuk di kembangbiakkan.

b. Isolasi pathogen

Isolasi pathogen dilakukan dengan cara memotong bagian daun yang

mencakup bagian yang bergejala dan bagian yang sehat lalu di celupkan
22

ke dalam alcohol 70% dan dibilas dengan cara mencelupkan ke dalam air

steril 3x berturut-turut kemudian di letakkan di kertas saring steril agar

semua sisa air bilasan terserap oleh kertas saring. Selanjutnya potongan

daun di masukkan ke dalam cawan petri untuk proses perkembangbiakkan

pathogen.

3. Pemurnian

Pemurnian agens antagonisdilakukan setelah 5 hari isolasi dilakukan.

Pemurnian bertujuan untuk menghasilkan isolate murni yang akan digunakan

pada proses selanjutnya. Langkah awal pemurnian adalah mengamati

cendawan yang berbeda warna Selanjutnya cendawan yang berbeda warna di

ambil satu persatu dan dipisahkan di media PDA yang lain untuk

dikembangbiakkan lagi.

Pemurnian isolate pathogen juga dilakukan setelah 5 hari isolasi

dilakukan. Pemurnian pathogen sama halnya dengan pemurnian antagonis,

yaitu mengambil cendawan yang memiliki warna putih kecoklatan.

4. Seleksi untuk uji daya hambat

Seleksi dilakukan dengan cara mengamati agens antagonis pada saat

pemurniaan. Factor yang diamati adalah kecepatan tumbuh dan ketebalan hifa.

Dalam waktu satu minggu diamati kedua factor tersebut, selanjutnya diambil

masing-masing 5 isolate pemurnian pada tiap kabupaten yang menunjukkan

hasil tertinggi. Sehingga diperoleh 15 isolat untuk uji daya hambat.


23

5. Perbanyakan isolate murni

Perbanyakan isolate murni dilakukan untuk persediaan selama penelitian

berlangsung. Isolate yang di perbanyak adalah hasil seleksi untuk uji daya

hambat.

6. Uji daya hambat

Pengujian dilakukan dengan metode biakan ganda (dual culture), yaitu

dengan cara menumbuhkan patogen Curvularia sp.dan cendawan

antagonisdalam satu cawan petri berukuran diameter 9 cm yang berisi

media PDA, dimana diameter cawan akan dibagi mejadi 3 bagian masing-

masing 3 cm (Gambar. 1). Pada umur 7 hari setelah dimurnikan patogen dan

cendawan antagonis diambil menggunakan cockborer ukuran 4 mm, tiap

isolate diletakkan sesuai garis yang telah dibuat. Kemudian diinkubasi pada

suhu ruang. Selanjutnya diamati setiap hari pertumbuhan tiap isolat sampai

hari ke 7 setelah inkubasi. Persentase hambatan diukur dan dihitung dengan

menggunakan rumus:

P = (R1-R2) X 100%
R2

Keterangan :

P = Persentase hambatan

R1 = Jari-jari koloni patogen yang tumbuh kearah berlawanan dengan isolat

antagonis

R2 = Jari-jari koloni patogen yang tumbuh mendekati isolat antagonis


24

Selanjutnya hasil dari uji daya hambat, diambil1isolat pada tiap kabupaten

dengan daya hambat tertinggi berdasarkan hasil persentase yang didapat

P R2 A
3cm 3cm 3cm

R1

Gambar 1. Cara meletakkan dan menghitung pertumbuhan Patogen dan cendawan


antagonis.

Keterangan :

P = patogen

A = Agens antagonis
DAFTAR PUSTAKA

Alex D, Li D, Calderone R, Peters SM. 2013. Identification of Curvularia


lunata by polymerase chain reaction in case of fungal endophthalmitis.
Med Mycol Case Report. 2:137–140. DOI:
http://dx.doi.org/10.1016/j.mmcr.2013.07.001.

Andrews JH, Harris RF. 2000.The ecology and biogeography of


microorganisms on plant surfaces. Ann Rev Phytopathol. 38:145-180.

Atia MMM. 2011. Efficiency of physical treatments and essential oils in


controlling fungi associated with some stored date palm fruits. Aust J
Basic Appl Sci. 5(6):1572–1580.

Badan Pusat Statistik. 2012. Perkembangan Ekspor dan Impor Kalimantan


Selatan. Berita Resmi Statistik. BPS Kalimantan Selatan.

Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Daerah Kecamatan Marabahan 2016.


Berita resmi statistik. BPS Kalimantan Selatan

Badan Pusat Statistik. 2016. Statistik Daerah Kecamatan Bajuin 2016. Bajuin
dalam angka. BPS Kalimantan Selatan

Baharudin, Purwantara A, Ilyas S, Suhartanto MR. 2012. Isolasi dan identifikasi


cendawan terbawa benih kakao hibrida. J Littri. 18(1):40–46.

Escalante M, Damas D, Márquez D, Gelvez W, Chacón H, Díaz A, Moreno B.


2010. Diagnosis and evaluation of pestalotiopsis, and insect vectors, in an
oil palm plantation at the South of Maracaibo Lake, Venezuela. Bioagro.
22(3):211–216.

Gabriel, B.P.dan Riyanto. 1989. Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sor. Taksnomi


Patologi, Produksi, dan Aplikasinya. Proyek Pengembangan Perlindungan
Tanaman Perkebunan, Departemen Pertanian, Jakarta.

Hidayat, T. N, Sitikhotimah dan Murkalina.Uji Antagonis Trichoderma sp.T 4


Terhadap Jamur yang Diisolasi dari Daun Bergejala BercakPada Bibit
Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.). Protobiont. J. 4 (3) : 8-13.

Juliannor, R. 2010. Kondisi Industri Agribisnis Kelapa Sawit.


http://informasi-kelapasawit.blogspot.com/2012/10/kondisi-industri-
agribisnis-kelapa-sawit.html. Diakses pada tanggal 20 Mei 2016

Lubis , AU, 1992, Kelapa Sawit (Elais gueneensisJacq.) di Indonesia, Pusat


Penelitian Perean Marihat Pematang Siantar, Sumatera Utara.
26

Muku, O.M. 2002. Pengaruh Jarak Tanam Antar Barisan dan Macam Pupuk
OrganikTerhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Bawang Merah
(Allium ascalonicumL.) di Lahan Kering. Tesis. Universitas Udayana
Denpasar.

Notohadiprawiro, T. 1997. Pemberdayaan Lahan Basah Pantai Timur Sumatera


yang Berwawasan Lingkungan Menyongsong Abad ke-21. Seminar
Nasional tanggal 22 Desember 1997. Fakultas Pertanian Universitas
Jambi. Jambi.

Pratomo R. 2006. Pengaruh Macam, Ph, dan Penggoyangan Media Terhadap


Pertumbuhan Cendawan Rhizoctonia sp. Skripsi Institut Pertanian Bogor
.
Setya Budi I, Hadie J. Pengendalian Penyakit Kelapa Sawit Fase Pre-Nursery
Dengan Konsorsium Mikroba Endofit Dari Lahan Basah. Prosiding
Seminar Nasional PFI Komda Joglosemar 2014

Salleh B, Safinat A, Julia L, Teo CH. 1996. Brown spot caused by Curvularia
spp., a new disease of asparagus.Biotropia. 9:26–37.

Semangun, H., 2000. Penyakit – Penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia.


Gadjah Mada University -Press, Yogyakarta, hal 11-30.

Soesanto L, Mugiastuti E, Ahmad F, Witjaksono. 2012. Diagnosis lima penyakit


utama karena jamur pada 100 kultivar bibit pisang. J HPT Tropika.
12(1):36–45.

Solehuddin. D, Suswanto. I, Supriyanto. 2012. Status Penyakit Bercak


Coklatpada Pembibitan Kelapa Sawit di Kabupaten Sanggau.J.
Perkebunan & Lahan Tropika, Vol. 2, No. 1 Juni

Sáenz-Mata, J and Jiménez-Bremont, J.F. 2012.HR4 Gene Is Induced in the


Arabidopsis-Trichoderma atrovirideBeneficial Interaction. Int. J. Mol. Sci.
13: 9110-9128. doi:10.3390/ijms13079110

Susanto, A, Eko Prasetyo, A. 2013. Respons Curvularia lunata Penyebab


Penyakit Bercak Daun Kelapa Sawit terhadap Berbagai Fungisida.
Fitopatologi Indonesia. J. 9(6) : 165-172

Tjahajadi, N. 2005. Hama dan Penyakit Tanaman. Penerbit Kanisius (Anggota


IKAPI), Yogyakarta

Turner, P. D. 1981. Oil Palm Diseases and Disorders. Oxford Univ. press, Kuala
Lumpur, 280 p.
Utomo C. 1987. Penyakit daun pada bibitan kelapa sawit di Sumatera Utara. Bul
Perkebunan. 18(2):83–88

Watanabe T. 2002. Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi.Ed ke-2. Londong
(BR): CRC Pr.
27

Wikipedia. 2012. http://Morfologikelapasawit.html. Diaksespada tanggal 5 juni


2016

Yulianty. 2005. Keanekaragaman jenis-jenis jamur pada daun suku Araceae


yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. J Sains Tek. 11(2):89–92.

Anda mungkin juga menyukai