Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Suku jambu-jambuan atau Myrtaceae merupakan kelompok besar tumbuh-
tumbuhan yang anggotanya banyak dikenal dan dimanfaatkan manusia.
Myrtaceae atau suku jambu-jambuan termasuk tumbuhan dikotil dan tergabung
dalam ordo atau bangsa Myrtales. Estimasi terbaru menyebutkan bahwa
Myrtaceae memiliki lebih dari 5.650 jenis dari 130-150 marga. Suku ini memiliki
distribusi yang luas baik di daerah tropis maupun subtropis dan umum terdapat di
banyak hotspot keanekaragaman hayati dunia. Salah satu anggotanya adalah
Syzygium polyanthum (Wight) Walpers, atau yang lebih dikenal dengan nama
salam (Anonim, 2010 dalam Hartini, 2011).
Di Indonesia, salam banyak ditemukan tumbuh secara liar di hutan-hutan
atau sengaja ditanam di kebun-kebun dan pekarangan rumah terutama untuk
dipetik daunnya, biasannya digunakan sebagai rempah penyedap masakan.
Saat ini, salam masih di tanam secara vegetatif yaitu dengan cara dicangkok
maupun di tanam melalui biji. Pada umumnya, biji salam yang baru di ambil
harus langsung ditanam, hal tersebut dikarenakan biji salam termasuk ke dalam
benih rekalsitran. Benih rekalsitran adalah benih yang cepat rusak (Viabilitas
menurun) apabila diturunkan kadar airnya dan tidak tahan disimpan pada suhu
rendah dan kelembaban rendah. Penurunan kadar air pada biji tipe ini akan
berakibat penurunan viabilitas biji hingga kematian.
Pengeringan pada biji salam dapat menyebabkan kadar air pada biji
menurun, hal tersebut menyebabkan menurunnya kualitas biji salam. Karena
kadar air merupakan faktor yang paling mempengaruhi kemunduran benih.
Kemunduran benih meningkat sejalan dengan meningkatnya kadar air benih,
kadar air benih sangat mempengaruhi daya kecambah dan kualitas bibit yang pada
akhirnya akan mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan tanaman dilapangan.
Suhu, kelembaban dan lama penyimpanan sangat besar pengaruhnya terhadap
perubahan kadar air benih. Oleh karena itu sejak dipanen, selama perjalanan dan

1
dalam penyimpanan hingga penaburan perlu diketahui dengan pasti kadar air
optimum yang seharusnya dipertahankan untuk setiap jenis tanaman agar
viabilitas benih tidak hilang (Samuel dkk, 2010).
Dilaporkan bahwa biji salam mudah tumbuh namun cepat menurun
perkecambahannya dalam beberapa hari. (Foragri, 2012). Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian variasi kadar air biji salam terhadap fisiologi
perkecambahnnya.

1.2 Rumusan masalah


Biji salam cepat mengalami penurunan daya kecambah dan belum tersedia
informasi mengenai kadar air yang tepat untuk mempertahankan viabilitasnya.

1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penurunan kadar air biji salam
menggunakan silica gel dan pengaruh variasi kadar air terhadap
perkecambahannya.

1.4 Manfaat
Tersedianya informasi mengenai fisiologi perkecambahan biji salam pada
kadar air yang berbeda sehingga diketahui tipe bijinya yang berguna sebagai dasar
penyimpanan biji yang bermanfaat untuk pelestarian benih.

1.5 Tujuan PKL


PKL merupakan salah satu matakuliah dalam kurikulum program sarjana di
UNIPA yang harus terpenuhi dan bertujuan untuk :
1. Memperkenalkan mahasiswa terhadap dunia kerja
2. Memberi keterampilan dan pengalaman kerja
3. Meningkatkan kompetisi dan daya saing

Adapun tujuan dari program kerja selama PKL di LIPI adalah dapat
mengetahui berbagai penelitian dan pekeejaan yang ada pada bidang
Zoologi,bidang Botani dan bidang Mikrobiologi. Selama di bidang Botani,

2
penelitian yang kami kerjakan adalah Studi Variasi Kadar Air Biji Salam
(Syzygium polyanthum (Wight.) Walpers) Terhadap Fisiologi Perkecambahannya.
Penelitian tersebut kami kerjakan di Laboratorium Fisiologi Makropropagasi dan
Konservasi Benih, Bidang Botani, Cibinong Science Center

1.6 Manfaat PKL


Manfaat dari kegiatan PKL bagi mahasiswa adalah memberikan
keterampilan tentang cara mengetahui Studi Variasi Kadar Air Biji Salam
(Syzygium polyanthum (Wight.) Walpers) Terhadap Fisiologi Perkecambahannya.
Serta memberikan keterampilan dalam bekerja dilaboratorium, serta sebagai
sarana bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat di bangku
kuliah ke dalam penelitian ilmiah yang sesungguhnya di laboratorium.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Salam (Syzygium polyanthum(Wight) Walpers)

Klasifikasi Salam menurut Plantamor (2014) sebagai berikut :


Kerajaan : Plantae
Sub kerajaan : Tracheobionta
Super divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub kelas : Rosidae
Bangsa : Myrtales
Suku : Myrtaceae
Marga : Syzygium
Jenis : Syzygium polyanthum (Wight.) Walpers

Di Indonesia, Syzygium polyanthum (Wight.) Walpers memiliki sinonim


Eugenia polyantha Wight dan Eugenia lucidula Miq yang lebih dikenal dengan
nama “salam”, sementara jenis ini dikenal dengan beberapa nama daerah seperti
gowok (Sunda), manting (Jawa), kastolam (Kangean); meselangan, ubar serai
(Melayu), (Hartini, 2011).
Dalam studinya, (Hartini, 2011) melaporkan bahwa salam merupakan pohon
yang tingginya dapat mencapai 25 m, berbatang bulat, permukaan batang licin,
bertajuk rimbun dan berakar tunggang. Daunnya tunggal, terletak saling
berhadapan, panjang tangkai daun 0,5-1 cm. Helaian daun berbentuk lonjong
sampai elips atau bundar telur sungsang, ujung meruncing, pangkal runcing, tepi
rata, pertulangan menyirip, permukaan atas licin berwarna hijau tua, permukaan
bawah berwarna hijau muda, panjang 5-15 cm, lebar 3-8 cm, jika diremas berbau
wangi. Bunga majemuk, tersusun dalam bentuk malai yang keluar dari ujung
ranting, berwarna putih, baunya wangi. Buahnya buah buni, bulat, diameter 8-9

4
mm, buah muda berwarna hijau, setelah masak menjadi merah gelap, rasanya
manis agak sepat. Biji bulat, diameter sekitar 1 cm, berwarna coklat.
Daun salam digunakan terutama sebagai rempah pewangi masakan di sejumlah
negeri di Asia Tenggara, baik untuk masakan daging, ikan, sayur mayur, maupun
nasi. Daun ini dicampurkan dalam keadaan utuh, kering ataupun segar, dan turut
dimasak hingga makanan tersebut matang. Rempah ini memberikan aroma herba
yang khas namun tidak keras. Di pasar dan di dapur, salam kerap dipasangkan
dengan laos alias lengkuas. Kayunya berwarna coklat jingga kemerahan dan
berkualitas menengah. Kayu yang tergolong ke dalam kayu kelat (nama
perdagangan) ini dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan dan perabot rumah
tangga. Kulit batangnya mengandung tanin, kerap dimanfaatkan sebagai ubar
(untuk mewarnai dan mengawetkan) jala, bahan anyaman dari bambu dan lain-
lain. Kulit batang dan daun salam biasa digunakan sebagai bahan ramuan
tradisional untuk menyembuhkan sakit perut. Buah salam juga dapat dimakan,
rasanya manis sepat.
Secara tradisional, daun salam digunakan sebagai obat sakit perut. Daun salam
juga dapat digunakan untuk menghentikan buang air besar yang berlebihan.
Pohon salam bisa juga dimanfaatkan untuk mengatasi asam urat, stroke, kolesterol
tinggi, tekanan darah tinggi (Hipertensi), melancarkan peredaran darah, radang
lambung/maag (gastritis), diare, gatal-gatal, kencing manis (Diabetes mellitus),
dan lain-lain. Penggunaan daun salam sebagai obat di atas disebabkan oleh
kandungannya yakni pada daun salam kering terdapat sekitar 0,17% minyak
esensial, dengan komponen penting eugenol dan metil kavikol di dalamnya.
Ekstrak etanol dari daun menunjukkan efek anti jamur dan anti bakteri,
sedangkan ekstrak metanolnya merupakan anti cacing, khususnya pada
nematoda kayu pinus Bursa phelenchus xylophilus. Kandungan kimia yang
dikandung tumbuhan ini adalah minyak atsiri, tannin, dan flavonoida.

2.2 Kadar Air Biji


Penentuan kadar air benih dari suatu kelompok benih sangat penting untuk
dilakukan. Karena laju kemunduran suatu benih dipengaruhi pula oleh kadar
airnya (Sutopo, 1985). Pada benih-benih tertentu, kadar air perlu diketahui untuk

5
memulai proses perkecambahan. Karena tidak semua benih dapat memenuhi
kadar air yang ditetapkan untuk memulai proses perkecambahan. Ada beberapa
tipe-tipe biji berdasarkan tingkat kadar air yang baik untuk memulai proses
perkecambahan. Pada biji tipe ortodok, memiliki kemampuan berkecambah yang
baik meskipun kadar airnya rendah 5-10%. Tipe benih rekalsitran adalah biji
yang memiliki kadar air tinggi , umumnya di atas 40%, kadar air di bawah itu
akan menurunkan viabilitas perkecambahan biji. Sehingga benih rekalsitran tidak
dapat disimpan lama pada kondisi kadar air yang tinggi.
Menurut (Kamil, 1982) ada beberapa metoda yang digunakan untuk
mengukur kadar air biji diantaranya dengan memakai:
1. Bermacam-macam alat pengukur kadar air biji otomatis atau setengah
otomatis, seperti Universal Moisture Taster, Burrow Moisture Recorder,
Burrows Model 700, Digital Moisture Computer dan lain-lain.
2. Metoda tungku
Dengan cara ini, contoh biji (biji basah) baru dipanen dikeringkan di
dalam tungku (oven) listrik pada suhu 105˚-110˚ C selama 24 jam terus-
menerus. Sesudah biji tadi didinginkan di dalam eksikator kemudian
ditimbang lagi (didapat berat kering). Kadar air (KA) biji dihitung
menurut rumus :
a. Kadar air biji = (Berat basah – Berat kering)/(Berat basah) x 100%.
Berat kering ini disebut KA berdasarkan berat basah (wet weight
basis) biasa dipakai pada industri (biji, daging, dan lain-lain).
b. Kadar air biji = (Berat basah – Berat kering)/(Berat kering) x 100%.
Berat kering ini disebut KA berdasarkan berat kering (Dry Weight
Basis) biasa dipakai unuk penelitian ilmiah (scientific research).

2.3 Berat Kering


Tinggi rendahnya nilai berat kering ini tergantung dari banyak atau
sedikitnya bahan kering, yaitu karbohidrat, protein, dan lemak yang terdapat
dalam biji, seperti pada endosperm dan cotyledon. (Kamil, 1982), menyatakan
setelah fertilisasi, mula-mula berat kering ini naik perlahan-lahan, semakin lama
semakin cepat, dan mencapai maksimum pada matang fisiologis. Setelah tercapai

6
matang fisiologis, berat kering maksimum ini hanya dipengaruhi oleh keadaan,
terutama oleh kelembaban udara. Selama beberapa hari berat kering ini
berfluktuasi sesuai dengan kering basahnya udara. Kemudian kalau belum juga
dipanen, berat kering ini akan turun sebesar 15-25%. Turunnya (hilang) berat
kering ini disebabkan oleh karena masih terjadi perombakan zat makanan
cadangan pada endosperm atau kotiledon dan transfer zat makanan kepada
jaringan tersebut telah dihentikan. Oleh sebab itu disarankan agar panenan
dilakukan pada waktu berat kering maksimum segera setelah matang fisiologis
tercapai.

2.4 Perkecambahan Biji


Perkecambahan adalah proses terbentuknya kecambah. Kecambah sendiri
didefinisikan sebagai tumbuhan kecil yang baru muncul dari biji dan hidupnya
masih tergantung pada persediaan makanan yang terdapat dalam biji
(Tjitrosoepomo, 1999 dalam Mudiana 2007). Kecambah tersebut akan tumbuh
dan berkembang menjadi semai/anakan/ seedling, yang pada tahap selanjutnya
akan tumbuh menjadi tumbuhan dewasa.
Ada dua faktor yang mempengaruhi perkecambahan benih, yang dapat berasal
dari dalam (faktor internal) dan dari luar (faktor eksternal)
- Faktor internal yang mempengaruhi perkecambahan benih antara lain adalah
tingkat kemasakan benih, ukuran benih, kadar air dan dormansi.
- Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi perkecambahan benih antara
lain: air, suhu, oksigen, cahaya dan media.
Dua faktor penting yang mempengaruhi penyerapan air oleh benih adalah sifat
dari benih itu sendiri terutama pada kulit pelindungnya dan jumlah air yang
tersedia pada medium sekitarnya. Banyaknya air yang diperlukan tergantung dari
jenis benih, tapi umumnya tidak melampaui dua atau tiga kali berat keringnya.
Secara fisiologi, proses perkecambahan benih meliputi beberapa tahap,
tahap pertama dimulai dengan penyerapan air oleh benih (imbibisi), melunaknya
kulit benih dan hidrasi dari protoplasma. Tahap kedua dimulai dengan kegiatan-
kegiatan sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi benih, tahap ketiga
merupakan tahap di mana terjadi penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat,

7
lemak dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan ditranslokasikan ke
titik-titik tumbuh. Tahap keempat adalah asimilasi dari bahan-bahan yang telah
diuraikan tadi di daerah meristematik untuk menghasilkan energi bagi kegiatan
pembentukan komponen dan pertumbuhan sel-sel baru. Tahap kelima adalah
pertumbuhan dari kecamabah melalui proses pembelahan, pembesaran dan
pembagian sel-sel pada titik-titik tumbuh. Sementara daun belum dapat berfungsi
sebagai organ untuk fotosintesa maka pertumbuhan kecambah sangat tergantung
pada persediaan makanan yang ada dalam biji (Sutopo, 1985).

2.5 Tipe perkecambahan


Dalam bukunya, (Kamil, 1982) menjelaskan bahwa, berdasarkan kepada
letak cotyledon terhadap permukaan tanah, maka dapat dibedakan dua tipe bibit
yaitu (1) type epigeal dan (2) type hypogeal:
1) Type Epigeal
Bibit type epygeal adalah bibit di mana cotyledonnya terangkat di atas
permukaan tanah sewaktu pertumbuhannya. Terangkatnya cotyledon ini ke
atas permukaan tanah disebabkan oleh pertumbuhan dan perpanjangan
hypocotyl sedangkan ujung arah kebawah sudah tertambat ke tanah dengan
akar-akar lateral. Hypocotyl membengkok dan bergeser ke arah permukaan
tanah, kemudian menembus dengan merekahnya, lalu muncul dipermukaan
tanah.
2) Type Hypogeal
Bibit type hypogeal ialah bibit dimana cotyledonnya tetap tinggal di bawah
permukaan tanah (di dalam tanah) sewaktu pertumbuhannya. Pada bibit type
hypogeal, hypocotyl tidak atau hanya sedikit memanjang, sehingga
cotyledon tidak terangkat ke atas tanah.

2.6 Pengeringan Menggunakan Silica gel


Silica gel adalah mineral alami yang dimurnikan dan diolah menjadi salah
satu bentuk butiran atau manik-manik. Silica gel digunakan sebagai pengering, ia
memiliki ukuran pori rata-rata 2,4 nanometer dan memiliki afinitas (memiliki link
kekerabatan) yang kuat untuk molekul air. Silicagel merupakan suatu bentuk dari

8
silica yang dihasilkan melalui penggumpalan sol natrium silikat (NaSiO2). Sol
mirip agar – agar ini dapat didehidrasi sehingga berubah menjadi padatan atau
butiran mirip kaca yang bersifat tidak elastis. Sifat ini menjadikan silicagel
dimanfaatkan sebagai zat penyerap, pengering dan penopang katalis. Garam –
garam kobalt dapat diabsorpsi oleh gel ini. Silica gel yang siap untuk digunakan
berwarna biru. Unit ini mempunyai indikator khusus, ketika silica gel telah
menyerap banyak kelembapan, ia akan berubah warnanya menjadi pink(merah
muda). Ketika ia berubah menjadi warna pink(merah muda), ia tidak bisa lagi
menyerap kelembapan. Ia harus meregenerasi, hal ini dapat dilakukan dengan
memanaskannya di dalam oven sampai warnanya berubah menjadi biru dan
kembali bisa digunakan.

9
BAB III

KEADAAN UMUM

3.1 Sekilas Tentang LIPI


Pusat Penelitian Biologi merupakan salah satu Pusat Penelitian di bawah
koordinasi Kedeputian Bidang Pengetahuan Hayati, Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), selain Pusat Penelitian Bioteknologi dan Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya Bogor.
Pusat Penelitian Biologi semula dikenal dengan nama lembaga Biologi
Nasional (LBN), LBN yang dibentuk pada tahun 1982, pada awalnya adalah
merupakan bagian dari Lembaga Pusat Penyelidikan Alam (LPPA) yang berada
dibawah naungan Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI). Seiring dengan
perubahan waktu dan kondisi di Indonesia, MIPI berubah menjadi LIPI (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia). Kemudian pada tahun 1986, Lembaga Biologi
Nasional beruba menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi dan sejak
tahun 2000 diubah menjadi Pusat Penelitian Biologi.

3.2 Visi dan Misi


3.2.1 Visi
• Menjadi pusat acuan terpercaya bidang pemberdayaan dan konservasi asset
keanekaragaman hayati Indonesia.
3.2.2 Misi
• Menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam memberdayakan dan
melestarikan asset keanekaragaman hayati Indonesia agar menjadi
pendorong utama dalam pembangunan berkelanjutan bangsa vane berwajah
kemanusiaan.
• Ikut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa melalui tersedianya
peneliti yang professional, teknis yang handal dan staf pendukung peneliti
yang mumpuni serta prasarana dan sarana yang terakreditasi sehingga
mampu menjadi center of exelence dalam bidang konservasi dan
pengungkapan potensi sumber daya hayati Indonesia.

10
• Memperkuat kerjasama dan membentuk jaringan diantara pemangku
kepentingan yang bergerak dalam isu keanekaragaman hayati, ekosistem
dan lingkungan agar masyarakat Indonesia menjadi peduli, berdaya,
mandiri, cerdas dalam meamanfaatkan dan melestarikan keanekaragaman
hayati.
• Meningkatkan peran serta masyarakat dan sektor swasta serta mendorong
otonomi daerah dalam menggali dan memanfaatkan potensi sumber daya
alamnya secara optimum, lebih adil dan berkelanjutan melalui pengelolaan
yang bertanggungjawab dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

3.3 Tugas Pokok dan Fungsi


3.3.1 Tugas
Pusat Penelitian Biologi mempunyai tugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan kebijakan, penyusun pedoman, pemberian bimbingan teknis,
penyusunan rencana dan program pelaksanaan penelitian bidang biologi,
serta evaluasi dan penyusunan laporan.
3.3.2 Fungsi
Pusat Penelitian Biologi mempunyai fungsi :
• Penyiapan bahan perumusan kebijakan penelitian bidang biologi;
• Penyusunan pedoman, pembinaan dan pemberian bimbingan teknis
penelitian bidang biologi;
• Penyusunan rencana, program dan pelaksanaan penelitian bidang biologi;
• Pelayanan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi bidang biologi;
• Evaluasi dan penyusunan laporan penelitian bidang biologi;
• Pelaksanaan urusan tata usaha.
Selain tugas pokok dan fungsi tersebut, berdasarkan Surat Keputusan
kepala LIPI No. 1973/2002, Pusat Penelitian Biologi-LIPI ditunjuk sebagai
pelaksana harian otoritas keilmuan (Scientific Authory) dalam rangka
konservasi tumbuhan dan satwa liar serta dalam rangka pelaksanaan CITES
(Conservation on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna
and Flora) di Indonesia, tugasnya adalah melaksanakan tugas-tugas harian yang

11
berikatan dengan kewenangan LIPI sebagai Otoritas Keilmuan berdasarkan
Peraturan Pemerintah No.7 dan 8 Tahun 1999, yang tugasnya antara lain:
- Memonitor izin perdagangan dan realisasi perdagangan, serta memberikan
rekomendasi kepada Otoritas Pengelola tentang pembatasan pemberian izin
perdagangan tumbuhan dan satwa karena bedasarkan evaluasi secara
biologis pembatasan seperti itu perlu dilakukan (PP No.8 Th. 1999 Pasal
66);
- Bertindak sebagai pihak yang independen memberikan rekomendasi
terhadap konservasi internasional di bidang konservasi tumbuhan dan satwa
(PP No. 8 Th. 1999 pasal 66);
- Memberikan pertimbangan kepada Otoritas Pengelola mengenai perubahan
dari jenis tumbuhan dan satwa (PP No.8 Th 1999 pasal 66);
- Memberikan pertimbangan kepada Otoritas Pengelola mengenai perubahan
dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi
dan sebaliknya (PP. No.7 pasal 5);
- Memberikan saran mengenai metoda standar pemantauan terhadap populasi
tumbuhan (penjelasan PP No. 7 Th. 1999 pasal 11);
- Memberikan rekomendasi mengenai pengkajian, penelitian dan
pengembangan terhadap jenis tumbuhan dan satwa liar Indonesia yang
dilakukan di luar negri (PP. N. 8 Th. 1999 Pasal 6 ayat 2);
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Pusat penelitian Biologi
membawahi satu bagian Tata Usaha dan emat Bidang yaitu Bidang Botani,
(Herbarium Bogoriense, Treub dsb), Zoologi (Museum Zoologicum
Bogoriense), Mikrobiologi dan Bidang Sarana dan pengelolaan Koleksi.

3.4 Bidang Botani


Bidang botani lahir sebagai akumulasi kegiatan riset di Herbarium
Bogoriense yang dirintis sejak tahun 1841 oleh J. Reinwart dan aktivitas riset di
Laboratorium Treub yang berdiri sejak tahun 1884 oleh Meichior Treub.
Bidang Botani mengemban tugas utama dalam riset kenekaragaman hayati
tumbuhan tropika Indonesia dengan perhatian khusus pada upaya memperkuat

12
riset dasar yang berorientasi pada pembangunan berkelanjutan berwajah
kemanusiaan.
3.4.1 Kelompok Penelitian Fisiologi Tumbuhan
Melakukan penelitian fisiologi perbanyakan, fisiologi pasca panen dan
fisiologi stress. Penelitian fisiologi perbanyakan diutamakan pada jenis-jenis
tanaman hias. Tanaman obat-obatan, pisang dan tumbihan langka secara in-vitro.
Penelitian biologi pasca panen diarahkan pada konservasi biji, pengujian
kemasakan buah, tingkat ketuaan panen buah, kualitas kematangan buah, tingkat
ketuaan panen buah dan pengaruh suhu terhadap perkecambahan.
1. Ruang Lingkup Penelitian
Laboratorium Makropropagasi dan Konservasi Benih merupakan salah
satu bagian dari kelompok Penelitian Fisiologi Konservasi Bidang Botani,
Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
2. Tujuan Kegiatan
a. Pencapaian keilmuan perbenihan;
b. Berperan dalam pelestaria tumbuhan Indonesia dari kepunahan
melalui pengembangan pembibitan, regenerasi sumber benih dan
penyimpanan meterial propagasi;
c. Mengembangkan tekologi makropropagasi;
d. Membangun pemahaman tentang fungsi benih dan kegunaannya;
e. Membangun standarisasi benih menuju industri biji;
3. Kegiatan penelitian
a. Mempelajari fisiologi biji yang meliputi daya hidup biji, dormansi biji,
kandungan kimia biji, kadar air biji, perkecambahan biji, pertumbuhan
bibit, seed production dan harbest time.
b. Mempelajari morfologi, anatomi, sifat-sifat biji-bijian dari tumbuhan
Indonesia, pola dan tipe perkecambahan.
c. Mempelajari perbanyaka n secara vegetatif (steak, umbi, tunas, stolon,
corm, okulasi, grafting, layering) pada tumbuhan endemik, langka dan
tumbuhan berpotensi lainnya.
d. Mempelajari biologi penyimpanan biji dan bahan propagasi lainnya.

13
e. Mempelajari pertumbuhan jenis-jenis tumbuhan yang berbiji
rekalsitran, langka, endemik dan tumbuhan berpotensi lainnya sebagai
sumber biji.
f. Mempelajari ekologi biji dan pemencaran bjii.
4. Peralatan laboratorium
Peralatan yang tersedia di Laboratorium Fisiologi makropropagasi dan
Konservasi Benih meliputi alat pengukur kadar air, konduktifitas ion suhu
optimal, pengeringan, penyimpanan dan perkecambahan.
5. Fasilitas Lain
1. Rumah kaca
2. Lahan penelitian/kebun percobaan
3. Rumah Paranet
4. Ruang Annex untuk persiapan penelitian
6. Pelayanan Masyarakat
Laboratorium Fisiologi Makropropagasi dan Konservasi juga akan
melayani masyarakat sesuai dengan fasilitas yang tersedia meliputi:
1. Bimbingan bagi para mahasiswa yang mempelajari perbenihan.
2. Menyediakan bibit yang berkualitas untuk penghijauan, penedug jalan,
tanaman hias, bibit buah-buahan dan benih-benih yang dihasilkan dari
kegiatan lapang.
3. Pelayanan kegiatan konservasi tumbuhan dan lingkungan.

3.5 Struktur Kelembagaan LIPI


Pusat Penelitian Biologi LIPI berada di bawah kedeputian Bidang Ilmu
Pengetahuan Hayati LIPI. Pusat Penelitian Biologi LIPI terdiri dari unit strukural
dan fungsional. Unit struktural bagian Tata Usaha yang terdiri dari Sub bagian
Keuangan, Sub bagian Umum serta Sub bagian Kerjasama dan Jasa. Unit
fungsional terdiri dari bidang Botani, bidang Zoologi, bidang Mikrobiologi serta
bidang Sarana dan Pengelolaan Koleksi.

14
BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi Perbanyakan Makro
(Macropropagation) dan Konservasi Benih, Cibinong Science Center, Bidang
Botani, Pusat Penelitian Biologi, LIPI mulai tanggal 28 Januari sampai 07
Februari 2014.

2.2 Alat dan Bahan


 Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, jangka
sorong/kaliper, pinset, Konduktometer CG 855, Kamera (Nikon
Coolpix S330), Timbangan AnalitikAND GR200, Botol benih ukuran
90 ml, Gelas ukur 50 ml, Oven ISUZU K-300, Saringan, kain flanel
hitam (untuk alas foto), baki, sendok, alat tulis menulis, cutter, laptop,
loop, penggarisdan jam tangan.
 Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah salam yang
dikuliti (kemudian diambil bijinya) diperoleh dari Kebun belakang
koperasi, Pusat Penelitian Biologi, LIPI, Bogor. Aquadest, Tisu, kasa,
plastic kedap udara Alumunium voil, dan Silica gel.

2.3 Metode
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode deskriptif
dengan pengujian secara laboratoris. Pengujian secara laboratoris meliputi
pengamatan morfologi buah dan biji, pengukuran kebocoran ion, dan variasi
penurunan kadar air setelah dan sebelum diperlakukan dengan silica gel.

2.4 Variabel pengamatan


Variabelpengamatan yang akan diamati yaitu pengamatan morfologi buah
dan biji meliputi (warna kulit biji, ukuran biji (diameter), dan letak embrio),
Kebocoran ion sebelum dan setelah diperlakukan dengan silica gel (masing-
masing perlakuan diulang 3 kali ulangan, setiap ulangan 20 biji), Kadar air biji
15
sebelum dan setelah diperlakukan dengan silica gel (masing-masing perlakuan
diulang 3 kali ulangan, setiap ulangan 4 gram), Persentase perkecambahan,
kecepatan berkecambah, nilai perkecambahan, dan tipe perkecambahan.

2.5 Prosedur Penelitian


2.5.1 Persiapan awal
a. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan di Laboratorium
Macropropagasi.
b. Pengambilan sampel buah salam dilakukan pada pagi hari pukul 08.00-
10.05 WIB pada tanggal 28 Januari 2014. Sampel buah salam diambil
dari pohonnya kemudian di bawa ke laboratorium macropropagasi
untuk di amati morfologi buah dan bijinya kemudian sisanya dikuliti
untuk keperluan yang lain (penetapan kadar air, kebocoran ion dan uji
perkacambahan).

2.6 Pengamatan morfologi buah dan biji


Pengamatan morfologi buah salam meliputi; warna, tekstur, bentuk dan
ukuran diameter buah. Sedangkan pengamatan morfologi biji salam meliputi;
warna, tekstur, bentuk, ukuran diameter biji dan letak embrio.

2.7 Penetapan Kadar air


Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan oven, sampel biji
salam yang telah dikering-anginkan timbang masing-masing 4 gram untuk setiap
perlakuan (berat basah). Sampel biji salam dimasukkan kedalam cawan petri
terbuka dan dimasukkan kedalam oven dengan suhu 60˚C sampai diperoleh berat
kering yang konstan. Setelah di dapatkan hasil yang konstan, masukkan kedalam
rumus(Kamil, 1982) :
KA = (Berat basah – Berat kering)/(Berat basah) x 100%.

16
2.8 Pengeringan biji
Untuk menurunkan kadar air biji digunakan silica gel dengan berat yang berbeda
Penggunaan silica (1:3)
Biji yang telah dicuci bersih dan dikering-anginkan di timbang dan
masukkan kedalam kantong plastik kedap udara. Silica gel ditimbang dengan
berat 1/3 dari berat biji yaitu dengan perbandingan1 bagian silicandan 3 bagian
biji, (1:3), kemudian silica gel dibungkus menggunakan kain kasa. Selanjutnya
silica dimasukkan kedalam kantong plastik yang berisi biji selama 24 jam.

Penggunaan silica (1:1)


Biji yang telah dicuci bersih dan dikering-anginkan di timbang dan
masukkan kedalam kantong plastic kedap udara. Silica gel ditimbang berdasarkan
berat biji dengan ukuran/skala perbandingan 1 bagian biji dan 1 bagian biji (1:1)
kemudian silica gel dibungkus menggunakan kain kasa. Selanjutnya silica
dimasukkan kedalam kantong plastik yang berisi biji selama 24 jam.

2.9 Pengukuran Kebocoran Ion


Kebocoran ion, diukur dengan cara merendam biji ke dalam air bebas ion
dengan perbandingan 50 cc/ 20 biji selama 24 jam pada suhu ruang. Air rendaman
yang mengandung ion dari biji diukur dengan alat Konduktometer CG 855 dengan
satuan µScm-1(Hadson, 1983 dalam Utami, 2007).
Menggunakan rumus (Agusta dkk, 2014):
Perhitungan konduktifitas: (S – A) x B x K
W
Keterangan:
S : Hasil pengukuran sampel
A : Hasil pengukuran air bebas ion sampel
B : Skala bereich yang ditunjukkan (20/200/2000 µS/cm)
K : Konstanta (0,91 cm-1)
W : Berat Sampel (gr)

17
2.10 Uji Viabilitas
Uji Viabilitas dilakukan dengan mengecambahkan biji :
Biji di pilih sebanyak 450 buah untuk 3 perlakuan, setiap perlakuan, diulang
3 kali dan setiap ulangan @50 biji. Biji dikecambahkan didalam petridish yang
dilapisi dengan tisu yang telah dibasahin menggunakan aquades. Untuk
menghitung persentase perkecambahan jumlah biji yang berkecambah dicatat
setiap hari secara kumulatif sampai hari ke-7.

Persentase perkecambahan
Persentase perkecambahan menunjukkan jumlah kecambah normal yang
dapat dihasilkan oleh benih murni pada kondisi lingkungan tertentu dalam jangka
waktu yang telah ditetapkan. Persentase perkecamahan dihitung setelah hari ke-7
dan dapat dihitung menggunakan rumus (Sutopo, 1985) :
(%) perkecambahan = Jumlah kecambah normal yang dihasilkan x 100%
Jumlah contoh benih yang diuji

Kecepatan Perkecambahan
Untuk menghitung kecepatan berkecambah, biji yang ditanam untuk
berkecambah, dapat dihitung dengan menghitung jumlah hari yang diperlukan
untuk munculnya radikula maupun plumula (Sutopo, 1985). Kecepatan
berkecambah berhubungan dengan ciri vigoritas dari suatu benih (Suhaeti,1988;
Sutopo 1998). Vigoritas benih adalah kemampuan benih untuk berkecambah pada
kondisi lingkungan yang kurang optimal, benih yang cepat berkecambah berarti
mempunyai vigor yang tinggi.
Rumus kecepatan berkecambah (Sutopo, 1985) :

Keterangan:
N = jumlah benih yang berkecambah pada satuan waktu tertentu
T = menunjukkan jumlah waktu antara awal pengujian sampai dengan akhir dari
interval tertentu suatu pengamatan.
Nilai perkecambahan dihitung pada akhir pengamatan 7 hari setelah
dikecambahkan dengan rumus Gzabator (Hartman et all., 1990).
18
GV = PV x MDG

keterangan:
GV = Germination Value/ Nilai perkecambahan
PV = Peak Value/ titik dimana pertambahan jumlah biji yang berkecambah paling
banyak dibagi dengan jumlah hari untuk mencapai perkecambahan tersebut.
MDG = Mean Daily Germination/ persentase perkecambahan terakhir dibagi
jumlah hari untuk mencapai perkecambahan akhir.

2.11 Analisis Data


Percobaan dilakukan dengan mengunakan Rancangan Acak Lengkap yang
dianalisis secara statistik menggunakan uji Duncans One way ANOVA dengan
taraf nyata 5% yang disajikan kedalam bentuk tabel, dan kurva sigmoid terdiri
dari perbandingan penggunaan silica gel, kadar air, kebocoran ion, pengamatan
persen kecambah, kecepatan perkecambahan dan nilai perkecambahan.

19
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi- anatomi buah dan biji S. polyanthum

Gambar 5.1 Morfologi buah Gambar 5.2 Irisan melintang biji


S. polianthum S. polianthum

Untuk dapat mengetahui tingkat kematangan fisiologis biji S. polyanthum


dapat dilihat pada warna buah yang sudah masak. Warna buah salam yang
matang akan berwarna merah sampai merah-kehitaman dan pada warna tersebut
buah salam sudah dapat dipanen. Biji yang dipanen pada saat masak fisiologi akan
mempunyai viabilitas dan vigor yang tinggi bila dibandingkan dengan biji yang
dipanen dini atau kelewat masak.

Tabel 5.3 Pengaruh perlakuan terhadap kadar air, kebocoran ion, persentase
perkecambahan, kecepatan perkecambahan dan nilai perkecambahan
pada biji salam (Syzygium polyanthum)

Persentase
Kebocoran Perkecamba Kecepatan Nilai
Perlakuan KA (%) Ion han Perkecambahan Perkecamba
(µScm-1) (%) (rata-rata hari) -han

Kontrol 54,25 b 759,80 ab 99,33 c 3,49 a 266,89 c


Silica : biji
46,22 a 391,33 a 5,08 b 75,50 b
(1:3) 68,67 b
Silica : biji 43,35 a 1126,03 b 41,33 a 5,52 b 25,52 a
(1:1)

Keterangan :
 Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada setiap kolom berarti tidak
berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
20
Kadar Air
Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa penggunaan silica (1:3) maupun
(3:1) dapat menurunkan kadar air secara nyata (Tabel 5.3). Pengeringan benih
salam menggunakan silika selama 24 jam dengan perbandingan (1:3)
menyebabkan menurunnya kadar air 8,03% dari kontrol atau kadar air benih awal,
yaitu dari kadar air 54,25% menjadi 46,22%, sedangkan dengan penggunaan silica
(1:1) selama 24 jam terjadi penurunan kadar air sebesar 10,90% dari kontrol atau
kadar air awal yaitu dari 54,25% menjadi 43,35%. Penurunan kadar air dengan
silica (1:1) lebih tinggi disebabkan jumlah silica yang lebih banyak sehingga
mampu menyerap air didalam biji lebih besar.
Dari hasil perhitungan rata-rata kadar air setelah dan sebelum diperlakukan
dengan silica menunjukkan bahwa, biji salam memiliki kadar air lebih dari 40%.
Jenis biji yang memiliki kadar air di atas 40%, termasuk kedalam jenis biji
rekalsitran. Jenis biji ini, jika di simpan dengan kandungan air yang rendah akan
cepat mengalami kemunduran viabilitas.

Kebocoran Ion Biji


Dari hasil perhitungan kebocoran ion, didapatkan hasil secara berturut-turut
yaitu 759,80ab; 391,33a; dan 1126,03b. Pada hasil perhitungan terlihat perbedaan
bahwa, pengeringan menggunakan silica (1:3) berbeda nyata dengan pengeringan
menggunakan silica (1:1). Hal tersebut dikarenakan, kebocoran ion akibat
pengeringan telah diketahui karena adannya kerusakan membran plasma, yakni
struktur protein yang berperan sebagai pengatur permaebilitas, mengalami
denaturasi (Copeland, 1976; Elis et al., 1985 dalam Utami, 2007). Makin tinggi
konsentrasi kebocoran ion, makin jelas indikasi terjadinya kerusakan biji yang
dapat mengakibatkan daya kecambah menurun.

Persentase perkecambahan
Persentase perkecambahan biji salam di tinjau dari segi perlakuan,
menunjukkan perbedaan nyata (Tabel 5.3). Secara berturut-turut yaitu 99,33%
(kontrol), 68,67% (perlakuan silica 1:3) dan 41,33 % (perlakun silica 1:1)

21
Pada perlakuan menggunakan perbandingan silica (1:1) mempunyai persentase
perkecambahan yang rendah yaitu 41,33 % dibandingkan dengan perlakuan yang
lain. Hal ini disebabkan penyimpanan menggunakan silica gel dengan
perbandigan (1:1) dapat menurunkan kadar air yang menyebabkan menurunnya
viabilitas perkecambahan biji salam.
Selain itu, biji salam merupakan tipe benih rekalsitran, tipe ini diketahui
memiliki keterbatasan yaitu cepat menurunnya viabilitas benih sejalan dengan
menurunnya kadar air dan kecepatan kerusakan sel akibat pengeringan dan
temperatur rendah. Sehingga, untuk mendapatkan perkecambahan biji salam yang
baik, sebaiknya biji salam pada saat di panen langsung disemai.

Kecepatan perkecambahan
Biji Salam mulai berkecambah pada hari ke 2 sampai hari ke 4 sejak di
kecambahkan. Penentuan perkecambahan dilakukan dengan menghitung jumlah
hari yang diperlukan untuk munculnya radikel. Dari hasil pengamatan selama 7
hari dapat diketahui bahwa dari perlakuan penyimpanan dengan kadar silica:biji
(1:1) yaitu 5,52 hari. Penyimpanan menggunakan silica dengan perbandingan
(1:1) memerlukan waktu yang lama untuk berkecambah hal ini sangat berbeda
nyata dengan kontrol yang hanya memerlukan waktu 3,49 hari untuk
berkecambah. Nilai kecepatan perkecambahan ini dapat dilihat pada (Tabel 5.3).

Nilai Perkecambahan
Nilai perkecambahan ditetapkan pada akhir pengamatan (7 hari setelah
dikecambahkan) ditampilkan pada pada Tabel 5.3 Berdasarkan analisis secara
statistik menggunakan uji Duncans taraf 5%, nilai perkecambahan biji salam.
menunjukkan perbedaan nyata antara perlakuan , yaitu 266,90c (pada kontrol);
75,50b (perlakuan silica:biji =1:3); dan 52,52a (perlakuan silica:biji= 1:1). Nilai
perkecambahan tertinggi adalah pada kontrol 266,90c berbeda nyata dengan 2
perlakuan silica lainnya. Nilai perkecambahan merupakan kombinasi antara
persentase perkecambahan dan kecepatan berkecambah. Dari Tabel 5.3 dapat
dilihat bahwa pada kontrol memiliki persentase perkecambahan paling tinggi dan
paling cepat berkecambah dibandingkan 2 perlakuan lainnya. Dengan demikian
pada kontrol menghasilkan nilai perkecmbahan paling tinggi. Hal tersebut dapat
22
dibuktikan dengan presentase perkecambahan hariannya yang dapat dilihat pada
kurva sigmoid (Gambar 5.4).

Gambar 5.4 Kurva rata-rata perkecambahan harian biji salam

Tipe Perkecambahan

Gambar 5.4 Terangkatnya cotyledon ke atas permukaan

Menurut (Adjie dkk, 2009), konservasi flora Indonesia dalam mengatasi


dampak pemanasan global memberikan wacana mengenai jenis-jenis tanaman
yang sering di tanam menurut daya tumbuhnya, menyebutkan bahwa suku

23
Myrtaceae, khususnya genus Syzygium mempunyai tipe perkecambahan epigeal,
bibit dengan type epygeal adalah bibit di mana cotyledonnya terangkat di atas
permukaan tanah sewaktu pertumbuhannya. Terangkatnya cotyledon ini ke atas
permukaan tanah disebabkan oleh pertumbuhan dan perpanjangan hypocotyl
sedangkan ujung arah kebawah sudah tertambat ke tanah dengan akar-akar lateral.
Hypocotyl membengkok dan bergeser ke arah permukaan tanah, kemudian
menembus dengan merekahnya, lalu muncul dipermukaan tanah.
Hal ini dibuktikan pada (gambar 5.4) dengan penanaman benih salam
selama 2 minggu, tampak cotyledonnya mulai terangkat di atas permukaan.

24
BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian yang telah dilakukan dapat


diambil kesimpulan bahwa :

1. Kadar air dapat mempengaruhi perkecambahan biji salam, perkecambahan


menurun seiring dengan menurunnya kadar air.
2. Persentase perkecambahan biji salam semua perlakuan menunjukkan
perbedaan yang nyata, hasil yang paling baik yaitu sebesar 99,33% dengan
kadar air benih 68,67% dan yang paling kecil adalah dengan perlakuan
pengeringan menggunakan silica gel (1:1) yaitu sebesar 41,33% dengan
kadar air 43,35%.
3. Biji salam termasuk kedalam tipe perkecambahan epigeal dengan
terangkatnya cotyledon di atas permukaaan tanah dan tipe benih
rekalsitran. Benih rekalsitran adalah benih yang cepat rusak apabila
diturunkan kadar airnya. Penurunan kadar air pada biji tipe ini akan
berakibat menurunkan viabilitasnya.

6.2 Saran
1. Dalam penentuan kadar air, seharusnya digunakan suhu yang tinggi 105˚C
agar biji cepat turun kadar airnya dan tidak diperlukan waktu yang lama.
2. Sebelum ditanam dalam media, seharusnya biji direndam kedalam larutan
fungisida dithane M 45 2% agar biji tidak di tumbuhi jamur saat ditanam.
3. Dalam penyimpanan biji menggunakan silica gel, seharusnya dilakukan
didalam eksikator agar tidak mengganti silica gel dalam beberapa jam
kedepan.

25
DAFTAR PUSTAKA

Adjie. B, Darnaedi. D, Sutrisno, J.R. Witono, P.K. Sutara, E. Kriswiyanti, T.


Triyono, I.B.K. Arinasa. 2009. Konservasi Flora Indonesia dalam
Mengatasi Pemanasan Global. Prosiding Kebun Raya Eka Karya. Bali:
Penerbit LIPI Press.

Agusta. A, J.S. Rahajo, Y.S. Poerba, T. Handayani, N. Hidayati, K. Kramadibrata,


Sunaryo, M. Widiyono, S. Sundari, R. Susanti. 2014. Standar
Operasional Alat Laboratorium Bidang Botani. Bogor. Pusat penelitian
Biologi- LIPI. Hal 33-34.
Foragri, 2012. Budidaya Salam .http://www.agropustaka.com/2012/04/budidaya-
tanaman-salam.html (diakses 8 Feb 2014)

Hartmann, H. T, D.E. Kester dan F.T. Davies. 1990. Plant Propagation. Principles
and Practices. 5 th edition. Prentice – Hall Inc, New Jersey, 647 p.

Hartini, S. 2011. Jenis-Jenis Myrtaceae (Jambu-Jambuan) Berdaun Wangi Koleksi


Kebun Raya Bogor. Prosiding Seminar Nasional Hari Lingkungan Hidup
2011. Hal 30-35.

Kamil, J. 1982. Teknologi Benih 1. Bandung: Penerbit Angkasa.

Mudiana, D. 2007. Perkecamabahan Syzygium cumini (L.) Skeels. Jurnal


Biodiversitas 8 (1): Hal. 39-42.

Plantamor. 2014. Syzygium polyanthum. http://www.plantamor.com/species


/syzygium-polyanthum ( Diakses 05 Januari 2014 )

Samuel, S.L. Purwaningsih, N. Kendarini. 2010. Pengaruh Kadar Air Terhadap


Penurunan Mutu Fisiologis Benih Kedelai (Glycine max (L)Merill)
Varietas Geplak Kuning Selama Dalam Penyimpanan.

Setyowati, N. & N.W. Utami. 2008. Pengaruh tingkat ketuaan buah, perlakuan
perendaman dengan air dan larutan GA3 terhadap perkecambahan Brucea
javanica (L.) Merr. BIODIVERSITAS 9(1): 13-16.

Suhaeti, T. 1988. Metode Pengujian dan Perawatan Mutu Benih. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hutan dan Proyek Pendidikan dan Latihan Dalam
Rangka Peng-Indonesiaan Tenaga Kerja Pengusahaan Hutan, Bogor, 32h.
Sutopo, L. 1985. Teknologi Benih. Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.

Sutopo, L. 1998. Teknologi Benih. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya,


Malang.

26
Utami, N. W. dan H. Sutarno, 2007. Suhu Kardinal Perkecambahan Biji
Brucacea javanica(L.) Merr. dan Respon Fisiologi Pengeringan Bijinya.
BIODIVERSITAS Journal of Biological Diversity. Vol 8 (2) : Hal.140-
143.

27

Anda mungkin juga menyukai