Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH ASFIKSI

DI

OLEH:

NAMA JELEK:ERVIKA CRISTIN TAEK

NAMA CANTIK:MAKULA

ASAL:BAUN - AMARASI BARAT

PROGRAM STUDI:D3 KEBIDANAN

NAMA PEMBIMBING:KA MUTIARA

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA KUPANG

2023
.

 Kata pengantar

Penyakit asfiksia adalah sebuah permasalahan medis yang serius dan memiliki dampak
yang signifikan pada individu yang terkena. Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk
memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang asfiksia, termasuk penyebab,
gejala, diagnosis, pengobatan, dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan.

Asfiksia dapat memengaruhi individu dari berbagai kelompok usia, mulai dari bayi yang
baru lahir hingga orang dewasa. Oleh karena itu, pengetahuan tentang kondisi ini sangat
penting bagi tenaga medis, orang tua, dan masyarakat umum.

Makalah ini disusun dengan harapan bahwa informasi yang terdapat di dalamnya dapat
menjadi sumber referensi yang berguna bagi siapa pun yang tertarik untuk memahami
penyakit asfiksia dengan lebih baik. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua sumber informasi yang telah kami gunakan dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa topik ini sangat luas, dan makalah ini hanya sebatas pengantar
singkat. Oleh karena itu, kami mendorong pembaca untuk melakukan penelitian lebih
lanjut dan berkonsultasi dengan tenaga medis yang berkualifikasi untuk informasi lebih
lanjut tentang asfiksia.
Terakhir, kami berharap bahwa makalah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam
peningkatan pemahaman dan kesadaran tentang penyakit asfiksia, serta membantu dalam
upaya pencegahan dan pengobatan yang lebih baik untuk individu yang terkena
dampaknya.

Terima kasih atas perhatian Anda.

Salam,

Ervika Cristin
●Daftar isi

Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Tujuan Makalah
C. Manfaat

Bab II. Pengertian Asfiksia


A. Definisi
B. Penyebab
C. Faktor Risiko

Bab III. Patofisiologi


A. Proses Terjadinya Asfiksia
B. Dampak pada Tubuh

Bab IV. Jenis-jenis Asfiksia


A. Asfiksia Neonatal
1. Faktor Pemicu
2. Gejala
3. Penanganan
B. Asfiksia Traumatik
1. Penyebab
2. Gejala
3. Tindakan Medis

Bab V. Diagnosis
A. Pemeriksaan laboraturium
B. Pemeriksaan Penunjang
C. Pemeriksaan fisik
Bab VI. Pengobatan
A. Tindakan Pertolongan Pertama
B. Perawatan Medis
C. Prognosis

Bab VII. Pencegahan


A. Langkah-langkah Pencegahan
B. Edukasi Masyarakat

Bab VIII. Studi Kasus


A. Kasus Asfiksia Neonatal
B. Kasus Asfiksia Traumatik

Bab IX. Kesimpulan


A. Ringkasan Temuan
B. Implikasi Klinis
C. Saran

X. Daftar Pustaka
Bab I
Pendahuluan
 Latar belakang dari penyakit asfiksi

"Latar Belakang

Asfiksia adalah suatu kondisi medis yang terkait erat dengan gangguan pernapasan
yang dapat mengancam nyawa seseorang. Penyakit ini merujuk pada situasi di
mana pasokan oksigen ke jaringan tubuh terbatas atau bahkan terhenti
sepenuhnya. Asfiksia dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, mulai dari bayi
yang baru lahir hingga orang dewasa. Namun, fokus utama pembahasan dalam
makalah ini adalah asfiksia neonatal, yang merupakan salah satu masalah serius
dalam perawatan neonatal.

Asfiksia neonatal adalah kondisi di mana bayi baru lahir mengalami kesulitan atau
kegagalan bernapas dengan baik setelah lahir. Kondisi ini dapat memiliki
konsekuensi serius, termasuk kerusakan otak permanen atau bahkan kematian jika
tidak ditangani dengan cepat dan efektif. Asfiksia neonatal adalah salah satu
penyebab utama kematian neonatal di seluruh dunia.

Pentingnya pemahaman mendalam tentang asfiksia tidak hanya terbatas pada


dunia medis, tetapi juga memiliki dampak sosial dan ekonomi yang signifikan.
Dalam konteks ini, pemahaman tentang penyebab, gejala, diagnosis, pengobatan,
serta tindakan pencegahan asfiksia sangat penting untuk meningkatkan kualitas
perawatan neonatal, mengurangi angka kematian bayi, dan memastikan bahwa
bayi yang terkena asfiksia memiliki peluang hidup yang lebih baik.

Makalah ini akan menjelaskan dengan rinci tentang asfiksia neonatal, mencakup
faktor penyebab, gejala, diagnosis, pengobatan, serta langkah-langkah pencegahan
yang dapat diambil untuk mengurangi risiko terjadinya asfiksia neonatal. Dengan
pemahaman yang lebih baik tentang topik ini, kita dapat bekerja menuju upaya
yang lebih efektif dalam menangani dan mencegah kondisi ini, serta meningkatkan
kualitas hidup bayi yang terkena asfiksia."

 Tujuan makalah

1.Faktor Penyebab Asfiksia: Jelaskan faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya asfiksia,
seperti kurangnya oksigen atau gangguan pernapasan pada bayi atau individu.

2.Gejala dan Diagnosis: Gambarkan gejala yang biasanya terkait dengan asfiksia dan bagaimana
dokter melakukan diagnosisnya, termasuk pemeriksaan fisik dan tes diagnostik.
3.Pengobatan dan Perawatan: Jelaskan berbagai metode pengobatan yang tersedia untuk
mengatasi asfiksia, mulai dari tindakan medis darurat hingga perawatan jangka panjang.

4.Komplikasi dan Dampak: Diskusikan komplikasi yang mungkin timbul akibat asfiksia dan dampak
jangka panjangnya pada perkembangan individu yang terkena.

5.Pencegahan: Bahas upaya-upaya pencegahan asfiksia, termasuk perawatan prenatal yang tepat
dan tindakan medis yang dapat diambil untuk mengurangi risiko.

6.Statistik dan Kasus Terkenal: Sertakan data statistik tentang kejadian asfiksia dan contoh-contoh
kasus terkenal yang melibatkan penyakit ini.

7.Rujukan dan Sumber Informasi: Sertakan daftar referensi dan sumber informasi yang digunakan
dalam penulisan makalah.

Tujuan utama makalah ini adalah untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang
penyakit asfiksia, baik dari segi definisi, penyebab, pengobatan, maupun pencegahan, sehingga
pembaca dapat memahami secara menyeluruh tentang masalah kesehatan ini.

 Manfaat

Manfaat Makalah Penyakit Asfiksi

Makalah tentang penyakit asfiksi dapat memberikan manfaat yang penting dalam berbagai
bidang, termasuk ilmu kedokteran, keamanan, dan pendidikan. Beberapa manfaat dari
makalah tersebut dapat mencakup:

Peningkatan pemahaman medis: Makalah tentang asfiksi dapat membantu dokter,


perawat, dan tenaga medis lainnya untuk memahami penyakit ini dengan lebih baik,
termasuk gejalanya, faktor risiko, dan pengobatannya.

Pencegahan: Informasi yang ditemukan dalam makalah ini dapat membantu dalam upaya
pencegahan asfiksi, baik itu melalui edukasi publik tentang tindakan pencegahan atau
pengembangan teknologi yang lebih baik untuk mendeteksi dan mengatasi kondisi
tersebut.

Keselamatan publik: Pengetahuan tentang asfiksi dapat digunakan dalam pelatihan


petugas keamanan, pemadam kebakaran, dan penyelamat untuk menghadapi situasi
darurat yang melibatkan orang yang mungkin terkena asfiksi.

Pendidikan: Makalah tentang asfiksi juga dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran di
institusi pendidikan, seperti sekolah medis, sekolah keperawatan, atau pelatihan
pertolongan pertama, sehingga generasi mendatang dapat lebih memahami dan
menangani asfiksi dengan baik.

Penelitian lebih lanjut: Makalah ini dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut
tentang penyebab, faktor risiko, dan terapi yang lebih efektif untuk asfiksi.Dengan
demikian, makalah tentang penyakit asfiksi dapat memberikan kontribusi yang berharga
dalam peningkatan pemahaman, pencegahan, dan penanganan kondisi ini untuk
kepentingan masyarakat dan dunia medis.

BAB II : PENGERTIAN ASFIKSIA

 Pengertian Asfiksia

Asfiksia adalah kondisi di mana pasokan oksigen ke otak dan tubuh terbatas atau terhenti
sepenuhnya. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, seperti penyumbatan saluran napas,
gangguan pernapasan, atau kekurangan oksigen dalam udara. Asfiksia dapat menyebabkan
kerusakan otak dan organ tubuh lainnya jika tidak segera diatasi. Ini dapat terjadi pada
bayi yang baru lahir atau pada orang dewasa dalam situasi tertentu.

 Penyebab Asfiksia

Penyebab Asfiksia

Karena termasuk ke dalam kategori cedera dalam tubuh, terdapat sejumlah


hal yang bisa memicu terjadinya asfiksia pada seseorang. Berikut
penjelasannya:

1. Tercekik

Faktor pemicu umum asfiksia adalah penyebab mekanik, yaitu leher tercekik.
Leher yang tercekik, baik oleh tangan atau alat pengikat lain, dapat menutup
jalur udara sehingga membuat seseorang kesulitan untuk bernapas dan
mendapatkan oksigen yang cukup.

2. Paparan Zat Kimia

Zat kimia berbahaya, seperti karbon monoksida, sianida, dan hidrogen


sulfida, yang terhirup ke dalam tubuh juga dapat menyebabkan asfiksia. Zat
kimia tersebut bisa mengganggu masuknya oksigen ke dalam darah untuk
dipompakan ke seluruh tubuh.

3. Tersedak

Tersedak oleh makanan atau benda asing dapat menyumbat tenggorokan


yang menjadi jalur masuknya udara. Bila tidak segera ditangani, kondisi ini
bisa memicu terjadinya asfiksia.

Asfiksia akibat tersedak sering dialami oleh bayi dan balita lantaran refleks
menelannya masih belum sempurna. Orang tua lanjut usia juga berisiko akan
hal ini karena refleks menelannya telah menurun.

4. Alergi Makanan atau Obat Tertentu

Alergi makanan atau obat-obatan tertentu bisa menimbulkan reaksi berupa


pembengkakan saluran napas bagian atas, sehingga berisiko mengakibatkan
asfiksia. Kondisi ini biasa disebut dengan anafilaksis.

5. Asma

Salah satu penyakit yang bisa menyebabkan asfiksia adalah asma. Asma yang
cukup parah menyebabkan saluran udara membengkak dan menyempit
sehingga jalur masuk oksigen ke dalam tubuh menjadi terbatas.

6. Kondisi Tertentu pada Bayi Baru Lahir

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, asfiksia juga dapat terjadi pada
bayi baru lahir. Ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya asfiksia
pada bayi baru lahir, yaitu:

 Ibu memiliki kadar oksigen dalam darah yang rendah.


 Ibu menderita tekanan darah rendah atau hipotensi.
 Janin tercekik tali pusar saat di dalam kandungan.
 Solusio plasenta.
https://www.siloamhospitals.com/informasi-siloam/artikel/apa-itu-
asfiksia

 Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko penyebab asfiksia neonatorum adalah faktor
antenatal yaitu primipara, demam saat hamil, hipertensi saat hamil,
anemia, perdarahan antepartum, dan riwayat kematian neonatus
sebelumnya.

BAB III : PATOFISIOLOGI

A. PROSES TERJADINYA ASFIKSIA

Faktor pemicu umum asfiksia adalah penyebab mekanik, yaitu


leher tercekik. Leher yang tercekik, baik oleh tangan atau alat
pengikat lain, dapat menutup jalur udara sehingga membuat
seseorang kesulitan untuk bernapas dan mendapatkan oksigen
yang cukup.29 Mar 2023

B. DAMPAK PADA TUBUH

Beberapa komplikasi yang dapat timbul karena kondisi asfiksia


adalah hilang kesadaran, kerusakan organ jantung dan paru-
paru, kelumpuhan otak, bahkan berujung kematian.

BAB IV :

A . ASFIKSIA NEONATANAL
1. FAKTOR PEMICU

Berdasarkan hasil analisis lima jurnal yang telah ditemukan oleh


penulis dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang menjadi
penyebab asfiksia neonatorum antara lain karena : cairan ketuban
dengan pewarnaan mekonium, BBLR (Berat Badan Lahir Rendah),
persalinan lama dan operasi caesar.
(https://ejurnal.stikespantikosala.ac.id/index.php/jik/article/download
/219/160/817#:~:text=Berdasarkan%20hasil%20analisis%20lima
%20jurnal,persalinan%20lama%20dan%20operasi%20caesar.)

2. GEJALA

Asfiksia neonatorum adalah kondisi ketika janin tidak mendapat aliran


darah atau pertukaran udara yang cukup saat sebelum, selama, atau setelah
persalinan.

Dokter Spesialis anak


spesialis

Gejala Kulit bayi pucat atau kebiruan, bibir


bayi kebiruan, otot-otot di dada
terlihat berkontraksi, denyut
jantung terlalu cepat atau terlalu
lambat, bayi lunglai dan merintih
(https://www.klikdokter.com/penyakit/masalah-kesehatan-bayi/asfiksia-
neonatorum)

3 . PENANGANAN

Bagaimana penanganan asfiksia neonatorum?


Cara Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir

Memastikan suhu bayi tetap terjaga, tidak ada sumbatan di jalan napas,
termasuk dengan melakukan pengisapan lendir dan feses pertama
(mekonium), dan melakukan stimulasi atau rangsang taktil untuk merangsang
bayi menangis.
B.AKSIFISIA TRAUMATIK

1 . PENYEBAB

Asfiksia Traumatis: Bagaimana Kerumunan Menyebabkan Kematian Massal

Rabu, 30 November 2022 dr. Suci Sasmita 399 Forensik







Kejadian kematian massal akhir-akhir ini menjadi hal yang begitu
mengerikan. Dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu pada awal oktober
2022, sebanyak 135 orang tewas berdesakan di Stadion Kanjuruhan, Malang,
kemudian pada akhir oktober pada perayaan Halloween di Itaewon, Seoul,
Korea Selatan menyebabkan kematian sebanyak 151 orang.
Hampir di semua kasus kematian karena kerumunan disebabkan oleh adanya
penekanan (kompresi). Gaya kompresi yang diterapkan pada bidang
anteroposterior membatasi kemampuan paru-paru untuk mengembang,
sehingga menyebabkan hipoksemia progresif. Jika pernapasan benar-benar
dicegah oleh gaya kompresi, kesadaran akan hilang ketika konsentrasi
oksigen dalam darah arteri mencapai 56% (nilai normal sekitar 96%-99%).
Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsentrasi tersebut sangat sulit
untuk diprediksi, tetapi kemungkinan dibutuhkan waktu sekitar 1-2 menit.
Waktu yang dibutuhkan kemungkinan besar lebih rendah di akhir rentang ini,
karena kompresi dada akan menyebabkan berkurangnya volume paru-paru.
Berdasarkan percobaan pada hewan, waktu yang dibutuhkan untuk henti
jantung terjadi setelah penghentian total pernapasan (asfiksia) adalah 4-11
menit setelah henti napas.
Definisi, Nomenklatur, dan Kejadian
Asfiksia adalah kondisi kekurangan oksigenasi jaringan yang menyebabkan
hipoksia dengan etiologi yang berbeda. Asfiksia traumatis adalah penyebab
mekanis hipoksia akibat kompresi eksternal dan trauma toraks tumpul.
Traumatic asphyxia memiliki nama lain seperti Crush Asphyxia, Sindrom
Ollivier, Sindrom Perthes menurut Sertaridou tahun 2012 dan topeng
ekimosis menurut Gulbahar tahun 2015.
Patofisiologi
Menurut Landercasper et.al dalam tulisannya pada tahun 2015, terjadinya
asfiksia traumatis secara umum dianggap adanya gaya tekan ke
daerah thoracoabdominal yang bersamaan dengan "respon ketakutan"
(napas dalam dan penutupan glotis) yang menyebabkan peningkatan
tekanan vena sentral.
Kondisi tersebut menginduksi pembalikan aliran darah vena dari jantung
melalui Vena Cava Superior (SVC) ke dalam vena innominata dan jugularis
kepala dan leher. Transmisi balik tekanan vena sentral yang meningkat ke
venula dan kapiler kepala dan leher, sementara aliran arteri dilanjutkan,
menghasilkan stasis dan ruptur kapiler, menghasilkan karakteristik petekie
tubuh bagian atas dan perdarahan subkonjungtiva.
Kurangnya petechiae di tubuh bagian bawah mungkin disebabkan oleh
obstruksi tekan Vena Cava Iinferior (IVC) di dada atau perut. Selain itu, fakta
bahwa bagian bawah tubuh dilindungi dari transmisi balik tekanan vena oleh
serangkaian katup bisa menjadi mekanisme lain, karena SVC, innominate,
dan vena jugularis tidak memiliki katup. Crush asfiksia dapat mengikuti
kompresi durasi yang lama atau sangat singkat, meskipun literatur
melaporkan periode rata-rata 2-5 menit.
Secara eksperimental, melalui oklusi intrathoracic dari SVC, perubahan
warna terus-menerus dari kepala dan leher dan selaput lendir, dengan
perdarahan retina yang bertahan selama berhari-hari dan menyerupai efek
asfiksia traumatis seperti yang diamati secara klinis. Beach dan Cobb
memeriksa bagian kulit secara mikroskopis dan secara meyakinkan
menunjukkan bahwa tidak ada ekstravasasi darah di luar pembuluh tetapi
hanya distensi. Namun, Choi et al. percaya bahwa tekanan yang berlebihan
dapat menyebabkan ekstravasasi eritrosit yang sebenarnya dari pembuluh di
mukosa konjungtiva.
Kondisi tersebut ditandai dengan perubahan warna yang muncul segera
setelah cedera, yang biasanya melibatkan kepala, leher, dan telungkup
hingga klavikula di depan dan posterior sepanjang punggung dan bahu
setinggi batas bawah otot trapezius.
Selain itu, tanda-tanda karakteristik termasuk petechiae wajah dan dada
bagian atas dan perdarahan sub-konjungtiva. Tanda-tanda neurologis akibat
edema serebral dan kehilangan penglihatan sementara akibat edema retina
telah sering dilaporkan.
Luasnya tanda dan gejala tergantung pada durasi dan keparahan kompresi
yang terpapar pada dada dan perut bagian atas. Sianosis servikofasial
ditemukan pada 95%, petekie servikofasial pada 84%, dan perdarahan
subkonjungtiva pada 91% kasus. Obstruksi vena kava superior dan fraktur
tengkorak basilar memiliki gambaran yang sangat mirip dengan gambaran
asfiksia traumatis dan harus disingkirkan.
Asfiksia Traumatis Adalah Sindrom Sistemik
Karena keragaman dan luasnya lesi yang dihasilkan oleh asfiksia traumatis
ini, banyak penulis menganggapnya sebagai sindrom sistemik. Lesi saraf
toraks, serebral, mata, pendengaran, tulang belakang, dan perifer adalah
beberapa contohnya.
Cedera Torakoabdominal Dan Jantung
Memar paru, hemo-/pneumothorax, dan flail chest adalah cedera paling
umum yang menyertai sindrom Perthes. Tanda-tanda cedera paru seperti
dispnea, takipnea, dan hemoptisis dapat diamati. Sebaliknya, cedera jantung
selama asfiksia traumatis sangat jarang. Hanya dua kasus kontusio jantung
dan satu ruptur ventrikel yang telah dilaporkan sejauh ini. EKG normal tidak
mengesampingkan cedera jantung tumpul. Konsekuensi asfiksia traumatis
yang jarang terjadi adalah infark miokard tertunda akibat memar arteri
coroner.
Manifestasi Otak
Laporan telah mendalilkan bahwa patogenesis manifestasi neurologis terkait
dengan iskemia otak atau sumsum tulang belakang sekunder akibat obstruksi
vena dan peningkatan tekanan.
Menurut Perthes, cedera neurologis pada asfiksia traumatis meliputi hipoksia
atau anoksia serebral, iskemia, hipertensi vena, kongesti pembuluh darah
serebral, pecahnya pembuluh darah kecil, perdarahan petekie, dan edema
hidrostatik.
CT scan otak biasanya normal, sedangkan pada kasus yang fatal, otopsi hanya
menunjukkan petechiae dan kongesti, menunjukkan cedera otak pada
tingkat sel. Manifestasi neurologis dari sindrom ini termasuk kehilangan
kesadaran, kebingungan yang berkepanjangan tetapi sembuh sendiri,
disorientasi, agitasi, gelisah, dan kejang.
Lesi sumsum tulang belakang
Paraparesis dan paraplegia dapat menyertai TA baik karena fraktur tulang
belakang terkait dengan kompresi sumsum tulang belakang (seperti kasus
kedua kami) atau tanpa kelainan radiologis.
Paraplegia pada tingkat T8 dalam kasus Reichart dan Martin dapat
dipostulasikan sebagai akibat iskemia sumsum tulang belakang yang
dihasilkan oleh kompresi parah yang tiba-tiba pada dada bagian bawah
dengan obstruksi vena sekunder dan anoksia lokal sekunder pada sumsum
tulang belakang dari tekanan punggung. pleksus vena intervertebralis pada
T8.
Saraf Perifer
Leech dan Cuthbert melaporkan 15 kasus asfiksia traumatis dengan 6 cedera
pleksus brakialis bersamaan setelah bencana besar Stadion Sepak Bola Ibrox
pada 2 Januari 1971. Tingginya insiden lesi pleksus brakialis dalam tragedi ini
menekankan kesulitan diagnostik yang disajikan oleh pasien yang tidak
sadarkan diri.
Penglihatan
Perubahan retina pasca-trauma dengan kehilangan penglihatan dicatat pada
tahun 1911 oleh Purtscher (retinopati Purtscher). Prognosis penglihatan
setelah asfiksia traumatis biasanya baik, dan kehilangan penglihatan
biasanya bersifat sementara jika tidak ada angiopati retina. Tapi, ada
beberapa kasus kebutaan segera atau lambat yang disebabkan oleh
perdarahan retina dan eksudat kapas di fundus, yang dikenal sebagai
angiopati retina traumatis.
Penurunan penglihatan, penglihatan kabur, perubahan papiler, atrofi saraf
optik, diplopia, dan exophthalmia adalah temuan okular yang paling sering.
Tekanan vena retrograde yang tinggi di kepala dan leher dapat dikaitkan
dengan iskemia neuronal, yang dapat menyebabkan atrofi saraf optik yang
ireversibel. Oleh karena itu, penting untuk melakukan pemeriksaan
oftalmologi dini, rutin, dan lengkap, terutama pada pasien yang diintubasi
dan kurang kooperatif .
Telinga Dan Hidung
Defisit pendengaran dapat disebabkan oleh edema tuba Eustachius, atau
hemotympanum. Westphal et al. dari Brazil melaporkan kasus asfiksia
traumatis dengan perforasi membran timpani. Epistaksis dapat terjadi karena
pecahnya kapiler .
Penatalaksanaan Asfiksia Traumatik
Diagnosis asfiksia traumatis harus mudah dibuat dengan pemeriksaan pasien
mengikuti anamnesis yang cermat. Pekerjaan diagnostik bertujuan untuk
menguraikan sejauh mana cedera terkait dan menentukan tingkat
keparahannya. Radiografi, studi pencitraan, EKG, ekokardiografi, dan CT scan
otak mungkin diperlukan.
Beberapa penulis merekomendasikan bronkoskopi dalam kasus asfiksia
traumatis apa pun untuk tujuan diagnostik dan terapeutik. Pengobatan
suportif seperti oksigenasi dan peninggian kepala hingga 30° biasanya cukup
untuk menangani pasien ini. Namun, perawatan khusus mungkin diperlukan
untuk cedera terkait.
Meskipun jarang, dokter yang secara klinis menyadari asfiksia traumatik
seharusnya tidak menghadapi kesulitan dalam membuat diagnosis asfiksia
traumatis yang benar. Asfiksia traumatik harus dipikirkan pada semua kasus
trauma tumpul pada dada dan/atau perut bagian atas yang disertai dengan
edema dan perubahan warna biru pada wajah dan leher di samping
perdarahan subkonjungtiva.
Karena lesi yang tersebar luas, asfiksia traumatis harus dipandang sebagai
sindrom sistemik. Diagnosis akurat tepat waktu dan pengobatan suportif
menyelamatkan sebagian besar pasien dengan asfiksia traumatis.
Referensi:
 James R, Gill, Kristen Landi. 2022. Traumatic Asphyxial Deaths Due

to an Unctrolled Crowd. The American Journal of Medicine and


Pathology.
 Abdulsalam Y. Taha. 2022. Traumatic asphyxia in the young: report

of two cases and literature review.Egyptian Journal of Forensic


Sciences. Departement of Thoracic and Cardiovaskcular Surgery
University of Sulaiman Iraq.
 Jerry P Nolan. 2020. Compression Asphyxia and Other

Clinicopathological Finding From the Hillsborough Stadium Disaster.


University of Wawick Coventry UK.
2 . GEJALA

Ketahui Tanda dan Gejala Asfiksia Traumatis

Asfiksia traumatis adalah kondisi yang jarang namun serius yang harus
diwaspadai oleh EMS untuk pertimbangan pengobatan.

Ross. P. Berkeley, MD, FACEP, FAAEM , Bryan E. Bledsoe, DO, FACEP,


FAEMS , Troy Markus, DO31.08.2010
Membagikan
Seorang pria berusia 43 tahun tanpa riwayat kesehatan yang signifikan
sedang bekerja di bawah Jeep-nya ketika transmisi turun ke posisi netral, dan
kendaraan terguling ke sisi kiri dadanya. Pasien terjepit, dan, pada suatu saat
selama jebakan , kehilangan kesadaran.

Roda Jeep tetap berada di dadanya selama kurang lebih dua menit hingga
orang-orang di sekitar dapat memindahkan kendaraan dari dadanya. EMS
dipanggil, dan pada saat kedatangan, penyedia layanan menemukan pasien
tidak dapat berjalan dan mengeluh nyeri dada, yang diperburuk dengan
inspirasi.

Survei utama kru menunjukkan adanya jalan napas yang paten; suara napas
sama secara bilateral dengan ekskursi dinding dada yang baik dan
pernapasan tanpa menggunakan otot bantu apa pun. Dia waspada tetapi
agak bingung, dengan Glasgow Coma Score (GCS) 13, dan denyut distal kuat
dan simetris.

Paramedis kemudian beralih ke survei sekunder. Kepalanya atraumatik dan


lehernya tidak nyeri tekan. Mereka mencatat perdarahan subkonjungtiva
yang menonjol di kedua mata. Dada terasa nyeri di sisi kiri, dengan mulai
tampak ekimosis berbentuk ban pada kulit dada anterior atas kiri namun
tidak ada ketidakstabilan dinding dada.

Perutnya juga tampak atraumatik dan tidak nyeri tekan, serta panggulnya
stabil. Ekstremitasnya biasa-biasa saja dengan denyut nadi yang sama, dan ia
menunjukkan fungsi motorik dan sensorik yang normal. Ada bukti
inkontinensia urin.

Pemeriksaan neurologis singkat telah selesai, dan tidak ada defisit fokal yang
ditemukan. Tekanan darahnya 170/101 mmHg; denyut nadi 102, dan laju
pernapasan 24. Oksimetri denyut nadi di tempat kejadian adalah 96% pada
udara ruangan. Pasien ditempatkan pada monitor jantung, yang
menunjukkan sinus takikardia tanpa ektopik.

Karena cedera yang dicurigai oleh penyedia EMS dan jarak dari
pusat trauma Tingkat I terdekat , sebuah helikopter medis
dipanggil. Sebelum kedatangan helikopter, pasien ditempatkan dalam
pembatasan gerakan tulang belakang penuh, dipasang infus dan oksigen
tambahan diberikan melalui masker non-pernapasan ulang. Dia terus
dipantau dan dinilai kembali lalu diserahkan kepada awak pesawat. Setelah
pemeriksaan mereka, dia dibawa ke University Medical Center (UMC) di Las
Vegas untuk perawatan definitif.

Setibanya di UMC, pasien segera diperiksa. Pada saat itu, ia telah


mengembangkan petechiae konfluen menyebar yang melibatkan seluruh
wajah dan lehernya, dengan sianosis kranioserviks. Perdarahan
subkonjungtiva yang terlihat oleh paramedis juga dicatat, begitu pula
petechiae pada langit-langit mulut. Terdapat bekas ban di permukaan
anterior dada kirinya, disertai nyeri tekan.

Semua temuan ini menunjuk pada diagnosis dugaan asfiksia traumatis. Tidak
ada krepitus dinding toraks atau emfisema subkutan. Pasien mengalami
ketidaknyamanan pada mata secara umum, namun tidak ada perdarahan
retina yang berarti, dan bidang penglihatannya masih utuh. Status mentalnya
telah meningkat menjadi GCS 14 pada saat kedatangannya dan kembali
normal dalam waktu satu jam.

Pasien menerima 50 mcg fentanil IV untuk nyeri. Dokter gawat darurat


melakukan penilaian terfokus di samping tempat tidur dengan pemeriksaan
sonografi untuk trauma (FAST), yang hasilnya negatif untuk cairan
intraperitoneal atau perikardial. Berdasarkan mekanisme cedera yang
signifikan dan temuan pemeriksaan fisik, pasien menjalani pencitraan CT
ekstensif di pusat trauma.

Satu-satunya temuan akut adalah patah tulang rusuk ketujuh kiri yang tidak
mengalami pergeseran, tanpa bukti adanya pneumotoraks, hemotoraks, atau
memar paru. Ekokardiografi samping tempat tidur tidak menunjukkan bukti
kontusio miokard atau hemoperikardium. Dia dirawat di ICU trauma dengan
diagnosis cedera dada yang mengakibatkan asfiksia traumatis; dia dirawat di
rumah sakit selama dua hari dan dipulangkan ke rumah dalam kondisi
membaik.

3 . TINDAKAN MEDIS
Penanganan Asfiksia

Penanganan asfiksia umumnya dilakukan berdasarkan penyebabnya. Berikut


beberapa tindakan medis yang biasa dilakukan untuk menangani asfiksia:

 Cardiopulmonary resuscitation (CPR), yaitu prosedur yang dilakukan


dengan melakukan kompresi pada dada untuk membantu
meningkatkan sirkulasi darah serta oksigen di dalam tubuh. Ini
biasanya dilakukan untuk menangani asfiksia dengan kondisi henti
jantung.
 Terapi oksigen, yaitu pemberian oksigen melalui alat bantu, seperti
ventilator, tabung hidung, atau tabung pernapasan.
 Pengobatan sesuai dengan kondisi medis jika asfiksia disebabkan oleh
asma, alergi, atau paparan zat kimia berbahaya.

Penanganan asfiksia perlu dilakukan secara tepat dan sesegera mungkin


untuk menghindari kondisi fatal, seperti penurunan kesadaran, gangguan
otak, atau bahkan kematian. Oleh karena itu, segera kunjungi Siloam
Hospitals terdekat bila Anda merasakan gejala asfiksia seperti yang telah
disebutkan di atas.
BAB V : DIAGNOSIS

• PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan Fisik Asfiksi


Pemeriksaan fisik yang harus di lakukan seorang penderita asfiksi

Pemeriksaan fisik pada seorang penderita asfiksi sangat penting untuk menilai tingkat keparahan
kondisinya. Beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam pemeriksaan fisik penderita asfiksi
meliputi:

Pemeriksaan Kesadaran: Penilaian kesadaran penderita sangat penting. Gunakan skala seperti
Glasgow Coma Scale (GCS) untuk menilai tingkat kesadaran.

Pemeriksaan Pernapasan: Periksa frekuensi, kedalaman, dan irama pernapasan penderita. Catat
tanda-tanda pernapasan yang tidak normal seperti pernapasan dangkal atau tidak teratur.

Pemeriksaan Warna Kulit: Perhatikan warna kulit penderita. Pucat, biru (sianosis), atau merah
dapat menjadi indikator penting.

Pemeriksaan Tanda-tanda Distress Respirasi: Amati tanda-tanda distres pernapasan seperti


retraksi dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, atau napas cuping hidung.

Pemeriksaan Detak Jantung: Periksa denyut nadi dan detak jantung. Ketidakreguleran detak
jantung atau denyut nadi yang lemah dapat menjadi tanda asfiksi.

Pemeriksaan Kepala dan Leher: Cek adanya tanda-tanda trauma kepala atau leher yang dapat
menyebabkan asfiksi.

Pemeriksaan Abdomen: Perhatikan abdomen untuk tanda-tanda trauma atau tanda-tanda


gangguan seperti distensi abdomen.

Pemeriksaan Ekstremitas: Periksa ekstremitas untuk tanda-tanda cedera atau fraktur.


Pemeriksaan Neurologis: Lakukan evaluasi neurologis sederhana untuk mendeteksi adanya tanda-
tanda kerusakan otak atau gangguan neurologis lainnya.

Pengukuran Suhu Tubuh: Pemeriksaan suhu tubuh dapat memberikan petunjuk tentang suatu
kondisi medis yang mendasarinya.

Pemeriksaan fisik ini harus dilakukan oleh tenaga medis yang berpengalaman dalam menangani
kasus asfiksi. Penting untuk segera mencari pertolongan medis jika ada kecurigaan terhadap asfiksi
karena ini bisa menjadi situasi darurat yang mengancam jiwa.

•PEMERIKSAAN LABORATURIUM

Pemeriksaan laboratorium untuk penderita asfiksia


Pemeriksaan laboratorium untuk penderita asfiksia dapat memberikan informasi
tambahan untuk membantu dalam diagnosis dan penanganan kondisi tersebut. Berikut
beberapa pemeriksaan laboratorium yang mungkin diperlukan:

Pemeriksaan Gas Darah Arteri (ABG - Arterial Blood Gas): Pemeriksaan ini mengukur
konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dalam darah. Hasil ABG dapat memberikan
informasi penting tentang tingkat oksigenasi dan kemampuan tubuh untuk
mengeluarkan karbon dioksida.

Pemeriksaan Elektrolit: Pemeriksaan ini dapat mengukur kadar elektrolit seperti


natrium, kalium, dan klorida dalam darah. Ketidakseimbangan elektrolit dapat terjadi
sebagai hasil dari asfiksia dan mempengaruhi fungsi tubuh.

Analisis Darah Lengkap (CBC - Complete Blood Count): Pemeriksaan ini dapat
mengidentifikasi perubahan-perubahan dalam jumlah sel darah merah, sel darah putih,
dan trombosit. Hal ini dapat membantu dalam mendeteksi infeksi atau anemia yang
mungkin terkait dengan asfiksia.
Pemeriksaan Enzim Jantung: Beberapa enzim jantung seperti troponin dan CK-MB dapat
diukur dalam darah untuk menilai kerusakan jantung yang mungkin terjadi selama
asfiksia.

Pemeriksaan Fungsi Hati dan Ginjal: Pemeriksaan fungsi hati (seperti SGOT dan SGPT)
dan ginjal (seperti kreatinin dan urea) dapat memberikan informasi tentang kerusakan
organ yang mungkin terjadi selama periode asfiksia.

Pemeriksaan Koagulasi Darah: Pemeriksaan ini dapat mengukur waktu pembekuan


darah dan dapat membantu dalam mendeteksi masalah perdarahan yang mungkin
terkait dengan asfiksia.

Pemeriksaan laboratorium ini harus dilakukan berdasarkan indikasi medis dan


hasil pemeriksaan fisik awal. Keputusan untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium harus dibuat oleh tim medis yang merawat penderita asfiksia.
Pemeriksaan tersebut dapat membantu dalam perencanaan penanganan dan
perawatan yang sesuai sesuai dengan kondisi penderita.

• PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Penunjang Asfiksi

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk penderita asfiksi atau kekurangan
oksigen dalam tubuh dapat mencakup beberapa tes dan evaluasi medis. Beberapa di
antaranya meliputi:

Analisis Gas Darah: Tes ini mengukur kadar oksigen dan karbon dioksida dalam darah
untuk menilai sejauh mana asfiksi telah memengaruhi pertukaran gas dalam tubuh.
Radiografi Dada: Foto rontgen dada dapat membantu mengidentifikasi adanya cedera
atau masalah yang terkait dengan asfiksi, seperti pneumonia atau cedera paru-paru.

Pemantauan Elektrokardiogram (EKG): EKG digunakan untuk memantau aktivitas


jantung dan mendeteksi adanya gangguan irama jantung yang mungkin timbul akibat
asfiksi.

Pemantauan Saturasi Oksigen: Alat oximeter dapat digunakan untuk memantau


tingkat saturasi oksigen dalam darah, yang berguna dalam kasus asfiksi.

Tomografi Komputer (CT) atau MRI: Pemeriksaan gambaran tubuh ini dapat
membantu dalam mendeteksi cedera otak atau masalah lain yang mungkin terjadi
akibat asfiksi.

Pemeriksaan Laboratorium: Tes darah tambahan seperti tes fungsi hati dan ginjal
dapat dilakukan untuk mengevaluasi dampak asfiksi pada organ-organ lain dalam
tubuh.

Evaluasi Neurologis: Pemeriksaan neurologis oleh dokter spesialis neurologi mungkin


diperlukan untuk menilai kerusakan otak yang mungkin terjadi akibat asfiksi.

Penting untuk diingat bahwa jenis pemeriksaan penunjang yang diperlukan


dapat bervariasi tergantung pada kondisi spesifik penderita dan tingkat
keparahan asfiksi. Diagnosis dan perawatan asfiksi harus selalu dilakukan
oleh tenaga medis yang berkualifikasi.
BAB VII : PENCEGAHAN

•PENCEGAHAN ASFIKSI PERINATAL

Pemeriksaan Penunjang Asfiksi

Asfiksi perinatal adalah kondisi kekurangan oksigen pada bayi yang terjadi selama
proses kelahiran atau segera setelah kelahiran. Pencegahan asfiksi perinatal
melibatkan langkah-langkah yang dapat diambil oleh tenaga medis dan ibu hamil
untuk mengurangi risiko terjadinya kondisi ini. Beberapa langkah pencegahan
meliputi:

Perawatan Prenatal yang Baik: Menghadiri semua janji prenatal dan mengikuti saran
dan panduan dari dokter kandungan sangat penting. Perawatan prenatal yang baik
dapat membantu mendeteksi dan mengelola kondisi medis yang mungkin
meningkatkan risiko asfiksi perinatal.

Manajemen Penyakit Kronis: Jika ibu hamil memiliki penyakit kronis seperti diabetes
atau hipertensi, mengontrolnya dengan baik sepanjang kehamilan adalah kunci.
Kontrol gula darah dan tekanan darah dapat membantu mengurangi risiko komplikasi.
Persiapan untuk Persalinan: Dokter kandungan dan tim medis harus mempersiapkan
dengan baik untuk persalinan. Ini termasuk mengevaluasi kondisi bayi dan ibu,
memantau denyut jantung bayi, dan memiliki rencana darurat jika terjadi komplikasi
selama persalinan.

Penggunaan Monitornya: Selama persalinan, pemantauan yang cermat terhadap bayi


melalui pemantauan elektronik seperti kardiotokografi (CTG) dapat membantu dalam
mendeteksi tanda-tanda awal masalah oksigenasi.

Pemberian Oksigen: Ketika diperlukan, pemberian oksigen kepada ibu selama


persalinan atau kepada bayi setelah kelahiran dapat membantu mengatasi kekurangan
oksigen.

Penanganan Cepat: Jika terjadi komplikasi selama persalinan yang dapat


menyebabkan asfiksi, langkah-langkah intervensi cepat seperti tindakan untuk
meningkatkan aliran darah ke bayi atau tindakan resusitasi harus dilakukan segera.

Rencana Persalinan yang Aman: Memiliki rencana persalinan yang aman bersama
dokter kandungan yang berkualifikasi dapat membantu mengurangi risiko asfiksi
perinatal. Ini termasuk mempertimbangkan metode persalinan yang sesuai dengan
kondisi ibu dan bayi.

Pencegahan asfiksi perinatal adalah upaya bersama antara ibu, keluarga, dan
tim medis. Penting untuk mengikuti panduan medis dan mendiskusikan
segala pertanyaan atau kekhawatiran dengan dokter kandungan untuk
memastikan persalinan yang aman dan sehat bagi bayi dan ibu.

• PENCEGAHAN ASFIKSI NON-PERINATAL

Pemeriksaan Asfiksi Non-Perinatal


Pemeriksaan asfiksi non-perinatal adalah proses evaluasi medis yang dilakukan pada
seseorang di luar periode kelahiran (perinatal) untuk menilai apakah mereka
mengalami kekurangan oksigen yang signifikan yang dapat merusak organ tubuh.
Pemeriksaan ini dapat mencakup sejumlah langkah, termasuk:

Anamnesis: Dokter akan mengumpulkan riwayat medis lengkap pasien, termasuk


riwayat penyakit, gejala yang dirasakan, serta faktor risiko yang mungkin berkontribusi
pada kekurangan oksigen.

Pemeriksaan fisik: Dokter akan melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk


mencari tanda-tanda fisik yang mungkin terkait dengan asfiksi, seperti sianosis (kulit
berwarna biru), pernafasan yang cepat atau lambat, atau gejala lainnya.

Pemeriksaan laboratorium: Tes darah dan tes lainnya mungkin dilakukan untuk
mengukur tingkat oksigen dalam darah (saturasi oksigen) dan fungsi organ tubuh
lainnya.

Pemeriksaan penunjang: Dokter dapat memesan pemeriksaan penunjang seperti


radiografi dada, CT scan, atau elektrokardiogram (EKG) untuk membantu dalam
diagnosis.

Evaluasi penyebab: Dokter akan berusaha untuk menentukan penyebab asfiksi,


apakah itu disebabkan oleh gangguan pernapasan, masalah jantung, keracunan, atau
penyebab lainnya.

Pemeriksaan asfiksi non-perinatal ini penting untuk menentukan


penyebabnya dan memberikan perawatan yang tepat sesuai dengan kondisi
individu. Jika Anda atau seseorang yang Anda kenal mengalami gejala asfiksi,
sangat penting untuk segera mencari perawatan medis profesional.
BAB VIII : KASUS TERKENAL

• KASUS KASUS YANG TERKENAL

Wapadai Asfiksia, Penyebab Tingginya Angka Kematian


Bayi di Indonesia
Hasna Fadhilah | Haibunda

Jumat, 04 Nov 2022 09:00 WIB

Bunda, sudah pernah mendengar asfiksia? Ini merupakan


salah satu penyakit yang berkaitan dengan gangguan
pernapasan dan menjadi salah satu penyebab tingginya
angka kematian pada anak.

Sejauh ini, WHO merilis data bahwa setiap tahunnya


diperkirakan ada 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu
pertama, dengan 85 persen kematian terjadi dalam 7 hari
pertama kehidupan. Pada tahun 2020, menurut laporan
UNICEF terjadi 37 kematian per 1000 kelahiran anak usia 5
tahun secara global.
Sementara di Indonesia, menurut survey dari BPS pada data
terakhir tahun 2017, angka kematian bayi berada di angka
24 kematian per 1000 kelahiran. Angka ini masih cukup
tinggi dibandingkan dengan target WHO yang menetapkan
penurunan angka kematian bayi hingga sebesar 12 kematian
per 1000 kelahiran hidup.

Salah satu penyebab tingginya kematian bayi secara global


ialah akibat komplikasi intrapartum, salah satunya afiksia
neonatorium, yang menempati urutan kedua sebesar 23,9
persen dari keseluruhan kasus. Di Asia Tenggara, asfiksia
menjadi penyebab kematian bayi tertinggi ketiga setelah
infeksi neonatal dan prematuritas.

Oleh karena itu, asfiksia pada bayi baru lahir tidak bisa
disepelekan begitu saja. Namun, masyarakat Indonesia
masih belum banyak teredukasi dengan bahaya penyakit
yang satu ini. Padahal bayi yang mengalami asfiksia harus
segera mendapatkan pertolongan medis.

•PEMBELAJARAN DARI KASUS TERSEBUT

Kasus asfiksia, yang merujuk pada kekurangan oksigen yang


mencukupi dalam tubuh, dapat memberikan beberapa
pembelajaran penting, termasuk:

Pencegahan adalah Kunci: Kasus asfiksia sering kali dapat


dicegah dengan tindakan yang tepat. Ini termasuk memastikan
bayi atau individu yang berisiko tidak terlalu terlindungi oleh
benda asing atau tertekan berlebihan. Pemahaman yang baik
tentang faktor risiko dapat membantu mencegah kasus-kasus ini.
Pelatihan Pertolongan Pertama: Mempelajari teknik pertolongan
pertama dalam situasi asfiksia sangat penting. Ini termasuk
resusitasi jantung paru (CPR) pada bayi dan anak-anak, serta
tindakan pemberian oksigen yang tepat. Semakin cepat tindakan
pertolongan pertama dilakukan, semakin besar peluang
keselamatan.

Kesadaran Akan Tanda-tanda Bahaya: Penting untuk mengenali


tanda-tanda asfiksia, seperti sesak napas, perubahan warna
kulit, atau ketidakmampuan bernapas. Kesadaran akan gejala-
gejala ini dapat memungkinkan tindakan segera.

Akses ke Perawatan Medis: Kasus asfiksia yang serius


memerlukan perawatan medis segera. Mempertahankan akses
yang cepat dan efektif ke layanan medis adalah kunci untuk
meningkatkan peluang keselamatan.

Edukasi untuk Orang Tua dan Pengasuh: Orang tua dan pengasuh
anak perlu diberikan edukasi tentang bagaimana menghindari
risiko asfiksia pada anak-anak mereka. Ini termasuk tidur bayi
yang aman, menghindari benda kecil yang dapat tertelan, dan
mengawasi anak-anak dengan baik.

Penting untuk diingat bahwa kasus asfiksia dapat terjadi


pada berbagai kelompok usia dan dalam berbagai konteks,
sehingga kesadaran dan pengetahuan yang luas dalam
masyarakat adalah kunci untuk mengurangi risiko dan
mengatasi kasus-kasus asfiksia dengan lebih baik.
BAB IX : KESIMPULAN

• RINGKASAN

Penyakit asfiksia adalah suatu kondisi medis serius yang terjadi


ketika pasokan oksigen ke tubuh terbatas atau terhenti
sepenuhnya. Hal ini dapat terjadi pada bayi yang baru lahir
(asfiksia neonatal) atau pada individu dewasa. Berikut adalah
ringkasan singkat mengenai penyakit asfiksia:

Definisi: Asfiksia adalah kondisi di mana tubuh mengalami


kekurangan oksigen yang dapat mengancam jiwa. Ini bisa terjadi
saat kelahiran pada bayi atau sebagai akibat dari berbagai
penyebab pada individu dewasa.

Penyebab: Penyebab utama asfiksia pada bayi termasuk


kelahiran prematur, komplikasi selama persalinan, tali pusat
terlilit, atau infeksi pada bayi. Pada individu dewasa,
penyebabnya bisa beragam, seperti tenggelam, penyumbatan
saluran pernapasan, atau kondisi medis yang menghambat aliran
oksigen.

Gejala: Gejala asfiksia termasuk pernafasan yang sulit atau


absen, sianosis (kulit berwarna kebiruan), penurunan kesadaran,
dan gangguan jantung. Gejala ini memerlukan perhatian medis
segera.
Diagnosis: Diagnosis biasanya didasarkan pada gejala klinis dan
pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan seperti pengukuran
kadar oksigen dalam darah (oksigenasi) dan pemindaian gambar
(seperti CT scan) mungkin diperlukan untuk menentukan
penyebab asfiksia.

Pengobatan: Penanganan asfiksia melibatkan upaya untuk


memulihkan suplai oksigen ke tubuh. Pada bayi, tindakan
resusitasi neonatal mungkin diperlukan, termasuk pemberian
oksigen, kompresi dada, dan ventilasi. Pada individu dewasa,
tindakan seperti resusitasi jantung paru, penghilangan hambatan
pernapasan, atau terapi oksigen dapat diperlukan.

Prognosis: Prognosis asfiksia sangat tergantung pada sebabnya,


berapa lama tubuh mengalami kekurangan oksigen, dan
seberapa cepat tindakan medis diberikan. Pada beberapa kasus,
asfiksia dapat menyebabkan kerusakan permanen pada organ-
organ vital atau bahkan kematian.

Pencegahan: Pencegahan asfiksia pada bayi melibatkan


perawatan prenatal yang baik, pemantauan ketat selama
persalinan, dan penanganan yang cepat jika kondisi ini terjadi.
Pada individu dewasa, pencegahan melibatkan keselamatan saat
beraktivitas di lingkungan yang berpotensi menyebabkan
asfiksia.

Asfiksia adalah kondisi yang memerlukan perhatian medis


segera. Penanganan cepat dan efektif dapat membuat
perbedaan besar dalam prognosis dan hasilnya.
• IMPLIKASI

Peningkatan Kesadaran Publik: Penyakit asfiksia adalah kondisi


serius yang dapat memengaruhi bayi baru lahir. Makalah dapat
membahas bagaimana peningkatan kesadaran publik tentang
penyebab, tanda, gejala, dan pencegahan asfiksia dapat
membantu orang tua, tenaga medis, dan masyarakat umum untuk
lebih siap dalam menghadapinya.

Peran Penting Pendidikan Kesehatan: Makalah dapat


menggarisbawahi pentingnya pendidikan kesehatan kepada ibu
hamil, keluarga, dan petugas medis tentang tindakan
pencegahan dan perawatan asfiksia. Ini dapat membantu
mengurangi insiden asfiksia dan meningkatkan keselamatan
bayi.

Teknologi Medis Terbaru: Makalah dapat mengulas teknologi


medis terbaru yang digunakan untuk mendeteksi dan mengobati
asfiksia, seperti terapi oksigen hiperbarik, penggunaan terapi
suhu tubuh rendah, dan peran penting alat medis seperti
nebulizer.

Pengembangan Perawatan Khusus: Diskusi tentang upaya


penelitian dan pengembangan terkait asfiksia, seperti
pengembangan obat-obatan atau teknik medis yang inovatif,
dapat menjadi bagian penting dari makalah untuk mengatasi
penyakit ini dengan lebih efektif di masa depan.
Perhatian pada Kualitas Perawatan Neonatal: Implikasi dari
makalah juga dapat menggarisbawahi pentingnya perawatan
neonatal yang berkualitas tinggi dalam menangani kasus
asfiksia. Hal ini mencakup pelatihan tenaga medis, peralatan
medis yang memadai, dan pemantauan yang cermat terhadap
bayi yang berisiko tinggi.

Pengaruh Sosial dan Ekonomi: Makalah dapat mengeksplorasi


dampak ekonomi dan sosial dari penyakit asfiksia pada keluarga
dan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini dapat membantu
mendorong upaya pencegahan dan penanganan yang lebih baik.

Peran Organisasi Kesehatan dan Pemerintah: Terakhir, makalah


dapat membahas peran organisasi kesehatan dan pemerintah
dalam mengembangkan pedoman, kebijakan, dan program-
program yang mendukung pencegahan serta perawatan asfiksia.

• HARAPAN KE DEPAN

Harapan ke depan terkait penyakit asfiksia adalah pengembangan terus-


menerus dalam diagnosis, pencegahan, dan pengobatan. Ini melibatkan:

Pencegahan: Upaya untuk mengedukasi ibu hamil tentang pentingnya


perawatan prenatal yang baik, serta meningkatkan akses ke perawatan
kesehatan maternal berkualitas.
Diagnosis Dini: Pengembangan teknologi diagnostik yang lebih canggih untuk
mendeteksi asfiksia pada bayi sejak dini, memungkinkan intervensi yang
lebih cepat.

Perawatan yang Lebih Baik: Terus meningkatnya penelitian untuk


mengembangkan perawatan yang lebih efektif dan inovatif bagi bayi yang
mengalami asfiksia.

Pendidikan: Meningkatkan pemahaman di kalangan tenaga medis dan


masyarakat umum tentang gejala, faktor risiko, dan tindakan yang harus
diambil dalam kasus asfiksia.

Pemberdayaan Komunitas: Melibatkan komunitas dalam upaya pencegahan


dan pemahaman asfiksia, sehingga mereka dapat mengambil tindakan yang
diperlukan.

Kolaborasi Internasional: Kerjasama global untuk berbagi pengetahuan dan


sumber daya dalam mengatasi masalah asfiksia di seluruh dunia .
Semoga dengan upaya-upaya ini, kita dapat mengurangi angka kematian dan
dampak jangka panjang yang disebabkan oleh asfiksia pada bayi.

● DAFTAR PUSTAKA
Ross. P. Berkeley, MD, FACEP, FAAEM , Bryan E. Bledsoe, DO, FACEP, FAEMS , Troy
Markus, DO31.08.2010
(https://www.klikdokter.com/penyakit/masalah-kesehatan-bayi/asfiksia-
neonatorum)
https://ejurnal.stikespantikosala.ac.id/index.php/jik/article/download/
219/160/817#:~:text=Berdasarkan%20hasil%20analisis%y
%20jurnal,persalinan%20lama%20dan%20operasi%20caesar

Anda mungkin juga menyukai