Anda di halaman 1dari 2

Belakangan banyak kasus-kasus hukum di Indonesia yang kentara melibatkan

kondisi sakit ketika mulai terjadinya persidangan ataupun saat proses pelimpahan berkas di
kepolisian dan kejaksaan. Kondisi sakitnya terkadang terlihat aneh karena tiba-tiba
terjadinya tanpa ada riwayat sebelumnya. Kondisi ini terkadang menuai kecurigaan apakah
pesakitan ini berpura-pura sakit agar mendapatkan keringanan hukuman atau justru
dibebaskan dari tanggung jawab hukuman. Ada suatu kondisi seperti gangguan jiwa yang
sebenarnya bukanlah merupakan gangguan jiwa. Kondisi seperti ini seringkali
bersinggungan dengan pelayanan kesehatan jiwa, namun tidak pernah memenuhi kriteria
untuk diagnosis suatu gangguan kejiwaan. Salah satu kondisi ini yang disebut malingering
Di sinilah peran seorang psikiater forensik bersama tim dokter lainnya untuk menentukan
apakah yang diderita oleh pesakitan ini merupakan benar-benar gejala sakit atau hanya
suatu kondisi malingering.
Dalam malingering terdapat suatu perilaku yang disengaja dalam menghasilkan
gejala-gejala fisik dan psikologis palsu atau yang dibesar-besarkan, dan dimotivasi oleh
keuntungan dari luar, misalnya menghindari tugas/wajib militer, menghindari kerja,
mendapatkan kompensasi finansial, menghindari eksekusi kriminal, atau mendapatkan
obat-obatan. Selalu ada suatu upaya mendapatkan keuntungan pribadi dalam timbulnya
malingering. Dalam dunia kedokteran, seorang dokter selalu dihadapkan pada empat tipe
pasien:
1. Mereka yang memerlukan perhatian dan/atau bantuan medis;
2. Mereka yang berpikir bahwa diri mereka memerlukan perhatian dan/atau bantuan
medis;
3. Malingering;
4. Dan mereka yang secara terbuka menyatakan bahwa mereka ingin mendapatkan
dispensasi dari kerja dengan surat keterangan dokter.
Malingering lumayan susah dihadapi, karena berbohong merupakan bagian dari karakter
seseorang, dan dengan berbohong untuk mendapatkan keuntungan pribadi sudah ada sejak
zaman dahulu kala. Bahkan dalam keseharian pun kita akan sulit membedakan mana kata-
kata yang benar dan mana yang bohong pada mereka yang sudah terbiasa berbohong
secara rapi.
Dalam tulisan “Malingering” oleh David Bienenfeld, seorang profesor di bidang
psikiatri, bahwa ada hubungan antara gangguan personalitas antisosial dengan malingering.
Mereka memiliki sifat antisosial cenderung muncul malingering dalam kesehariannya. Selain
adanya tanda-tanda kelainan personalitas antisosial, perhatikan juga pasien yang datang
dengan menuntut kompensasi atas trauma, pasien yang ditemukan adanya
kesimpangsiuran antara gejala yang dikeluhkan dengan temuan objektif pada pemeriksaan,
pasien yang kurang menunjukkan kerja sama selama evaluasi dan dalam menuruti terapi
yang diresepkan. Dalam hal ini, jika tanda-tanda di atas ada, dokter bisa
menempatkan malingering sebagai salah satu yang menjadi pertimbangan. Sering kali
pemeriksaan pada pasien yang dicurigai malingering memerlukan waktu yang cukup lama,
karena bagaimana pun juga sebelum kemungkinan malingering bisa disingkirkan, maka
pemeriksaan ke arah itu akan tetap dilanjutkan. Hal ini juga bisa terjadi secara alami dalam
pemeriksaan oleh dokter, apalagi karena pasien dengan malingering sering mengeluh
sesuatu yang tidak bisa ditemukan secara objektif oleh dokter.
Pemeriksaan dalam waktu yang cukup panjang ini memiliki keuntungan dan kerugian
tersendiri. Di satu sisi, pasien dengan malingering mungkin tidak akan bisa tetap
konsentrasi dan mempertahankan kemampuannya dalam menciptakan kebohongan,
sehingga malingering semakin bisa dilihat bentuknya. Di sisi lain, pelayanan untuk pasien-
pasien lain mungkin akan terganggu, apalagi pada instalasi kesehatan yang cukup sibuk
seperti di puskesmas, di mana seorang dokter bisa jadi tidak punya cukup waktu untuk
membuktikan bahwa seorang pasien datang dengan malingering, sementara pasien-pasien
lain di luar masih memerlukan perhatian medis. Inilah mengapa malingering itu
menyusahkan, karena merugikan baik waktu maupun sumber daya kesehatan yang lainnya.
Namun tetap malingering harus ditegakkan ada atau tidaknya, jika tidak maka
kemungkinan penyakit yang sesungguhnya masih ada di sana dan itu bukanlah malingering.
Dokter tentu saja dibekali dengan senjata-senjata yang ampuh untuk
mendeteksi malingering, sepertinya misalnya pemeriksaan nistagmus optokinetik pada
pasien yang diduga berpura-pura buta, tapi dalam beberapa kasus, pengalaman dan
keahlian yang lebih diperlukan dalam menguak ada atau tidaknya malingering.

Anda mungkin juga menyukai