Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

IDENTIFIKASI KASUS CHEMICAL HAZARD DAN BIOLOGICAL HAZARD

Dosen Pengampu :

Tofan Agung Eka Prasetya, S.Kep.,M.KKK., Ph.D

Oleh :

Elma Dwi Aprilia

NIM : 432221111

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

FAKULTAS VOKASI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

SURABAYA 2022
1. Tragedi Stadion Kanjuruhan (chemical hazard)
a) Identifikasi dan Antisipasi
Tragedi Stadion Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 di Stadion
Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur setelah pertandingan sepak bola antara Arema FC
dengan Persebaya adalah tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh gas air mata dan
penumpukan massa yang kekurangan oksigen. Tragedi ini menelan ratusan korban
dan bahkan di antaranya adalah pekerja (polisi), balita, remaja, orang dewasa, dan
juga perempuan. Penembakan gas air mata yang dilakukan polisi ke arah tribun
supporter menyebabkan supporter panik menghindari gas air mata dan semuanya
berlomba-lomba menuju pintu keluar hingga terjadi penumpukan massa yang
berujung pada berkurangnya oksigen.Tragedi Stadion Kanjuruhan termasuk chemical
hazard karena kandungan dalam gas air mata berupa ω-chloroacetophenone, atau
CN, dan o-chlorobenzylidenemalononitrile, atau CS yang paling umum digunakan.

CN adalah komponen utama dari agen aerosol Mace dan banyak digunakan dalam
pengendalian kerusuhan. Ini mempengaruhi mata. CS memiliki efek iritasi yang lebih
kuat, menyebabkan sensasi terbakar di saluran pernapasan dan kulit. Antisipasi yang
tepat menurut saya berdasarkan pengamatan adalah dengan memajukan jam
pertandingan dari yang awalnya malam hari menjadi siang hari atau sore hari.
Dikarenakan adanya rivalitas dari kedua kubu, yaitu Arema dan Persebaya yang
sudah tidak asing lagi bagi masyarakat. Dengan memajukan jam pertandingan dan
selesai saat sore hari, meskipun tidak ada jaminan akan lebih kondusif, tetapi jika
terjadi kerusuhan maka penanganannya akan lebih terstruktur dan efektif karena pada
sore hari pencahayaan masih terang, berbeda jika dengan malam hari yang gelap,
ditambah faktor kelelahan aparat keamanan yang juga bisa mempengaruhi ketepatan
dalam mengambil langkah untuk mengkondisikan lapangan.
b) Evaluasi
Evaluasi bagi aparat keamanan untuk berpikir lebih jauh sebelum mengambil langkah
tindakan yang sekiranya semakin memperburuk suasana, seperti mempelajari dan
SOP yang benar dan jelas saat mengkondisikan supporter. Begitu pula evaluasi bagi
pemerintah daerah yang memiliki klub sepakbola untuk memberikan training kepada
supporter bagaimana cara mendukung tim sepakbola tanpa mendahulukan ego dan
rivalitas, dan berlapang dada saat mengalami kekalahan.
c) Pengendalian
 Eliminasi: Menghilangkan sumber bahaya berupa gas air mata. Tidak
menggunakan gas air mata untuk mengkondisikan massa supporter karena stadion
sepakbola tidak seperti tempat terbuka, stadion sepakbola merupakan tempat yang
tertutup dengan akses entry-exit yang terbatas, akibatnya, jika ada tembakan gas air
mata maka akan langsung terkena supporter dan juga menimbulkan kepanikan
massa.
 Substitusi: Mengganti gas air mata menggunakan water cannon. Water cannon
yang hanya berisi air dengan volume tertentu dan tidak mengandung zat berbahaya
cukup efektif untuk membubarkan kerusuhan supporter.
 Rekayasa mesin: Menciptakan filter di alat yang digunakan untuk menembakkan
gas air mata yang bisa diganti sesuai kerusuhan, mendeteksi apakah kerusuhan
tersebut terjadi di tempat terbuka atau tertutup. Tujuannya agar gas yang
ditembakkan sesuai pada tempatnya.
 Administratif: Penjagaan bagian ticketing dengan ketat sehingga penjualan tiket
tidak melebihi kapasitas stadion untuk bisa menampung penonton demi
mengantisipasi terjadinya pembludakan massa dan kericuhan.
 PPE: Mengenakan masker untuk melindungi pernapasan, kaca mata untuk
melindungi mata, pasta gigi untuk mengatasi perih akibat gas air mata.
2. COVID-19 di Perkantoran (biological hazard)
a) Identifikasi dan Antisipasi
Kasus COVID-19 di perkantoran merupakan biological hazard karena biological
hazards dapat menyebabkan tiga efek kesehatan yang luas pada tubuh seperti infeksi,
alergi, dan peracunan. COVID-19 sendiri termasuk ke dalam infeksi, yaitu dapat
berupa organisme apapun yang mampu menyebabkan penyakit. Salah satunya yaitu
termasuk infeksi severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2)
yang bisa menyebabkan gangguan ringan pada sistem pernapasan, infeksi paru-paru,
hingga kematian. Kasus biological hazard yang satu ini merupakan kasus dengan
fatalitas yang tinggi karena virus mudah menyebar ke tubuh manusia satu dengan
yang lainnya. Struktur COVID-19 yang sangat padat memungkinkan virus ini
menempel lebih kuat pada reseptor ACE2 (Angiotensin Converting Enzyme 2)
manusia. Efeknya yaitu virus ini dapat menginfeksi manusia dan mampu menyebar
lebih cepat disbanding virus corona yang menyebabkan SARS. Maka dari itu perlu
antisipasi berupa pemberlakuan karantina wilayah dan menerapkan work from home
(WFH) atau bekerja dari rumah sehingga mengurangi penyebaran virus corona dan
kepadatan aktifitas berkerumun yang dapat menyebabkan virus mudah menular ke
satu sama lain. Pemberlakuan karantina wilayah merujuk dari Undang-Undang No. 6
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
b) Evaluasi
 PP No. 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja,
 Permennakertrans No. 03/Men/1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja
 Surat Edaran Kementrian Kesehatan No. PK.02.01/B.VI/839/2020 Himbauan
tentang Upaya Pencegahan Penularan COVID-19 di Tempat Kerja
 Surat Edaran Kementrian Kesehatan RI Nomor Hk.02.01/MENKES/202/2020
tentang Protokol Isolasi Diri Sendiri dalam Penanganan Coronavirus Disease
(COVID-19)
c) Pengendalian
 Eliminasi: Dalam kasus ini sumber bahayanya adalah pekerja yang terdeteksi
positif COVID-19, maka pengendalian secara eliminasi dengan cara menetapkan
peraturan isolasi mandiri bagi pekerja yang terpapar virus COVID-19 selama 7-14
hari dan tetap menerapkan protokol kesehatan saat di rumah maupun saat sudah
sembuh.
 Substitusi: Bisa diterapkan dengan mengganti mekanisme kerja dari system work
from office berubah menjadi work from home dengan tetap memperhatikan
kesehatan pekerja pada saat bekerja dari rumah dan tetap menerapkan protokol
kesehatan.
 Rekayasa mesin: Menggunakan filter udara portabel atau melakukan modifikasi
flow udara indoor untuk menurunkan risiko penyebaran COVID-19 di ruang
tertutup.
 Administratif: Membuat gugus tugas P2 COVID-19 di tempat kerja, dan membuat
kebijakan kerja terkait pencegahan dan penanggulangan COVID-19 di tempat
kerja.
 PPE: Selalu mengenakan masker ketika keluar rumah dan face shield dengan
tujuan melindungi mata dan wajah dari percikan cairan ataupun droplet.
3. Pekerja Terkena Gigitan Ular (biological hazard)
a) Identifikasi dan Antisipasi
Kasus pekerja terkena gigitan ular dapat ditemui pada petani yang bekerja di sawah.
Karena Indonesia adalah negara beriklim tropis sehingga masyarakatnya sebagian
besar bekerja di bidang pertanian, hal tersebut menjadi faktor potensi tingginya kasus
gigitan ular di Indonesia. Gigitan ular menjadi masalah keselamatan kerja yang serius
di Asia Tenggara terutama di Indonesia. Bisa ular membuat mengganggu fungsi
sistem pernapasan, mengganggu fungsi ginjal, serta merusak jaringan lokal yang
menyebabkan terjadinya disabilitas permanen. Menurut WHO, orang mengalami
gigitan ular setiap tahunnya mencapai 5,4 juta, dan 2,7 juta diantaranya merupakan
gigitan ular berbisa. Sekitar 81.000 hingga 138.000 orang bahkan meninggal dunia
setiap tahun akibat gigitan ular. Pekerja terkena gigitan ular merupakan biological
hazard karena bahaya biologi salah satunya dapat timbul dari lingkungan pekerjaan
yang berada di alam terbuka seperti sawah, beberapa sumber bahaya biologi yang
mengancam keselamatan pekerja berasal dari organisme hidup seperti binatang yang
secara tidak sengaja maupun sengaja kontak dengan pekerja.
Antisipasi bisa dilakukan dengan mengenakan safety shoes pada saat di area sawah
dan sekitarnya. Karena safety shoes adalah salah satu elemen paling penting untuk
melindungi diri di tempat kerja. Penggunaan safety shoes yang tepat dapat
mengurangi atau bahkan menghindarkan kaki terkena gigitan ular karena kaki
terlindungi oleh safety shoes.
b) Evaluasi
 Permenakertrans No. Per. 15/Men/VIII/2008 tentang P3K di Tempat Kerja
 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor : PER.03/MEN/1998
tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan
c) Pengendalian
 Eliminasi: Pada kasus ini sumber bahaya yaitu ular tidak bisa dihilangkan karena
ular merupakan organisme hidup yang keberadaannya sangat penting untuk
keseimbangan rantai makanan.
 Administratif: Pelatihan dan sosialisasi kepada pekerja tentang pertolongan
pertama ketika terkena gigitan ular
 PPE: Mengenakan safety shoes dengan benar dan membawa tongkat untuk
perlindungan diri saat terancam oleh sumber bahaya (ular)
4. Pekerja Tambang terkena Penyakit Asma (chemical hazard)
a) Identifikasi dan Antisipasi
Area pertambangan banyak menimbulkan masalah kesehatan salah satunya berkenaan
dengan debu yang berterbangan. Debu di area tambang mengandung bahan kimiawi
yang dapat mengakibatkan timbulnya gangguan pada saluran pernapasan. Penyakit
tersebut menyerang pekerja apabila pekerja yang berada di lokasi pertambangan,
menghirup debu secara terus menerus. Tentu ada berbagai faktor yang berpengaruh
sehingga penyakit tersebut berdampak pada pekerja, antara lain faktor debu yang
meliputi ukuran partikel, konsentrasi, bentuk, sifat kimiawi, daya larut, serta lama
paparan. Salah satu penyakit paru akibat kerja yang paling sering dialami adalah
penyakit asma karena pajanan hazard atau bahaya di tempat kerja.

Asma merupakan penyakit gangguan saluran pernapasan dan hiperaktifitas bronkus.


Penyakit ini ditandai dengan sesak akibat peradangan dan penyempitan pada saluran
napas. Berbagai komplikasi yang muncul karena asma yaitu perubahan struktur
saluran pernapasan karena asma dalam jangka panjang menyebabkah dinding saluran
pernapasan menebal dan menyempit, komplikasi saluran pernapasan, bahkan
gangguan tidur. Perlu dilakukan antisipasi dengan cara mengenakan alat proteksi
pernapasan yang dapat menurunkan penyakit asma akibat kerja 10% - 20%
b) Evaluasi
 Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor : 555.K/26/M.PE/1995
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pertambangan Umum
 UU No 1 Tahun 1970 pasal 9 ayat 1, “Pengurus diwajibkan menunjukkan dan
menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang:
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat
kerjanya;
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat
kerjanya;
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya”
 Permenaker No.5 Tahun 2018, nilai ambang batas (NAB) atau threshold limit
value (TLV) adalah standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai
kadar/intensitas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat
diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan,
dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam
seminggu.
 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit
Akibat Kerja
c) Pengendalian
 Eliminasi: Berhenti menggunakan mesin tidak ramah lingkungan yang
menghasilkan debu sangat banyak dan mengakibatkan pekerja terganggu.
 Substitusi: Mengganti bahan baku padat yang menimbulkan debu menjadi bahan
baku cair atau basah.
 Rekayasa mesin: Menggunakan alat penangkap hazard seperti siklon, bag filter,
eletro precipitator untuk hazard kesehatan berbentuk partikel.
 Administratif: Kontrol administrasi untuk mengurangi pekerja yang terpajan di
tempat kerja dengan rotasi pekerjaan dan cuti, memberlakukan kriteria fit to work
dalam penempatan pekerja di lingkungan yang mengandung hazard kesehatan
tertentu, dengan melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum penempatan,
memonitor kondisi kesehatan secara berkala.
 PPE: Mengenakan masker atau respirator sesuai spesifikasi yang ditentukan pada
saat berada di lingkungan kerja, safety helmet, safety shoes, dan sarung tangan.
Daftar Pustaka

Kurniawidjaja, L. M., Keselamatan, D., & UIDepok, K. (2010). Program perlindungan kesehatan
respirasi di tempat kerja manajemen risiko penyakit paru akibat kerja. Jurnal Respirologi
Indonesia, 30(4), 217-29.

Sari, A. G. (2020). Kebijakan pemberlakuan karantina wilayah sebagai antisipasi penyebaran


corona virus ditinjau dari undang-undang no. 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan
kesehatan. Transparansi Hukum, 3(2).

Utami, N. R. (2021). DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA TERBARU ASMA AKIBAT


KERJA. Jurnal Medika Hutama, 2(03 April), 990-1001.

Wati, N. M. N., Lestari, N. K. Y., Jayanti, D. M. A. D., & Sudarma, N. (2020). Optimalisasi
penggunaan Alat Perlindungan Diri (APD) pada masyarakat dalam rangka mencegah
penularan virus COVID-19. Jurnal Empathy Pengabdian kepada Masyarakat, 1(1), 1-8.

World Health Organization. Factsheet of snakebite envenoming [internet]. Geneva:

Word Health Organization. 2019. Tersedia dari: https://www.who.int/en/news-room/fact-


sheets/detail/snakebite-envenoming.

Anda mungkin juga menyukai