Anda di halaman 1dari 4

Definisi Zionisme

Zionisme berasal dari kata Zion atau Sion yang dimana pada masa awal sejarah Yahudi berartikan
sinonim dari perkataan Yerussalem. Zion merupakan pelafalan dalam Bahasa inggris, dalam Bahasa
latin disebut dengan sion, dan Bahasa ibraninya adalah tsyon. Arti dari kata ini yakni, “bukit” yaitu
bukit suci Jerussalem yang digunakan sebagai symbol dari konsel “teokrasi Yahudi”. Zion sendiri
dapat diartikan sebagai “bukit yang tinggi”, yakni tempat berdirinya bukit suci yang didirikan oleh
Nabi Sulaiman. Selain itu, Zion juga dijuluki sebagai kota Jerussalem yakni “kota rahasia”, kota Allah
atau tempat tinggal Yahweh (Hermawati, 2005).

Secara etimologi banyak pendapat yang berbeda-beda tentang makna Zionisme. Diantaranya adalah
pendapat Muhammad al-Hasan yang mengatakan bahwa nama Zionisme merupakan sebuah gerakan
politik Yahudi rasis yang namanya diambil dari Gunung Zion, selatan Yerussalem dan bertujuan
untuk mengembalikan kejayaan Israel dengan mendirikan negara Yahudi di Palestina (Hasan,
hal.351). sedangkan menurut Alwi ‘Abd al-Halim mengatakan bahwa Zionisme merupakan suatu
gerakan Yahudi yang mengusahakan dengan segala cara untuk memilihkan kerajaan Bani Israel, dan
membangun haikal Sulaiman di atas reruntuhan Masjid al-Aqsha. Kemudian ingin menguasai dunia
dan kekuasaannya ada di Yerussalem tepatnya d tangan Raja orang Yahudi, yakni Mesias yang
diharapkan kedatangannya dengan syarat dia dari keturunan Daud (Alwi, hal. 286).

Ideologi Zionisme

Zionis memperoleh kaidah-kaidah pemikirannya dari kitab Talmud (kitab suci yang telah dirusak dan
dirubah oleh orang-orang Yahudi) dan Protocols of Zion (rumusan-rumusan pemikiran, tujuan dan
gerakan zionis). Pada Tahun 1901, pendeta gereja orthodox yang berasal dari Rusia bernama Prof.
Sergey Nilus berhasil menerjemahkan

Protocols of Zion yang merupakan dokumen rahasia yang ditemukan oleh seorang wanita
Fremassonory yang berkhianat (Baharun, 1979). Terdapat delapan ideology, diantaranya ialah :

1. Hendaklah dipahami bahwa golongan manusia yang mempunyai tabiat jahat, lebih banyak
jumlahnya dari bagian manusia yang mempunyai tabiat yang mulia. Jika begitu, maka cara
terbaik untuk menuasai dunia ialah dengan merampas kekuasaan dan ancaman, bukan dengan
perundingan akademik.
2. Apabila kekuatan masyarakat sudah tidak lagi seimbang, maka kekuatan kita akan menjadi
lebih tegus dari pada kekuatan-kekuatan lain, sebab kekuatan itu akan tetap tersembunyi,
sehingga detik-detik terakhir, di mana tidak aka nada kekuatan apapun yang dapat menyaingi
atau menghancurkannya.
3. Media surat kabar adlaah satu-satunya kekuatan bear yang melalui jalan ini, kita dapat
memimpin dunia. media surat abar dapat menyajkan keinginan-keinginan yang segar untuk
rakyat jelata, menyebarkan pengaduan-pengaduan orang yang kecewa, dan akan
menimbulkan perasaan bosan pada diri orang-orang pengacau. Kini media surat kabar telah
berada ditangan kita, dan berkat jasa media surat kabar, kita telah memperoleh pengaruh,
menimbun emas tanpa sepasang matapun dari masyarakat luas dapat meilahtnya.
4. Sesungguhnya manusia akan lebih mudah ditundukan dengan bencana kemiskinan dari pada
ditundukan oleh undang-undang perhambaan yang terjadi di dunia. dari perhambaan, ada juga
seseorang yang dapat memerdekakan dirinya dengan suatu cara, tetapi tidak akan
memungkinkan sesuatupun yang dapat memerdekakan mereka dari bahaya kemiskinan.
5. Kita telah berhasil menaburkan benih-benih perpecahan antara perseorangan, sebagaimana
kita telah berhasil menaburkannya antara imat-umat di dunia, dan kita telah meneyabrkan
fanatisme sekitar agama dan kiblat selama 20 abad. Oleh karena itu, tidak aka nada
kemungknan lagi bagi orang-orang perseorangan dapat bersatu padu dan tidak pula antar
umat akan bertemu.
6. Agar kita berhasil merusak industry kaum-kaum asing, kita akan menambah gaji kaum-kaum
buruh, akan tetapi pada saat yang bersamaan kita akan menaikan harga barang-barang pokok
untuk menutup kembali kenaikan gaji-gaji tadi. Dengan demikian, kita akan dapat merusak
industry itu untuk mencelakakan kaum buruh.
7. Apabila kita telah mempunyai kedudukan yang kuat, dan ita pun telah menjadi tuan-tuan
diatas bumi ini, maka kita tidak akan membenarkan agam-agam selain agama kita berdiri
tegak, dan dengan demikian kita telah menghapuskan semua kepercayaan agama-agama lain,
dan ketika itu juga para ahli falsafah kita akan dapat mengungapkan semua keburukan-
keburukan agama sing.
8. Kita akan mencela kehormatan para ahli agama bangsa asing supaya kita berhasil
memburukan terhadap putusan-putusannya, dan dalam masa yang tidak lama lagi hanya
dalam beberapa tahun saja agama kristem akan mengaami kemerosotan ketngkat yang paling
rendah, kemudian akan berturut-turut akan menyusul agama-agam lainnya, dan raja Israel
akan menjadi “pope” kepada alam. (Khalil, 2021).

Semua isi dari ideology diatas menunjukan ambisi Zionis untuk menguasai dunia dan sudah
terpatri dalam pikiran dan hati mereka.

Zionisme sebagai sebuah gerakan keagamaan dan sebagai gerakan politik

Zionisme seringkali dilihat oleh masyarakat sebagai agama yang dijalankan oleh orang-orang
kebatinan Yahudi. Hal ini mempunyai hubungat yang kuat dengan masalah harapan kejuru selamatan
yang sangat besar, yang dianut oleh Yudaisme. Karena menurut keyakinan mereka, yang mereka
pertahankan dengan gigih dan kuat, dengan kehadirannya Sang Juru Selamat, pada akhir zaman, maka
kerjaan Tuhan, ke tempat mana akan dipanggil “semua keluarga ini” (Garaudy, 1985, Hal 19).
Zionisme sebagai sebuah gerakan keagamaan ini telah memunculkan suatu tradisi berziarah kaum
Yahudi ke “Tanah Suci, bahkan sampai membawa mereka kepada pembentukan kelompok-kelompok
masyarakat spiritual. Pada abad ke-19, para pengikut “Pecinta Zion” dengan segala kemampuan yang
mereka miliki berusaha untuk mewujudkan tujuan mereka, menciptakan di Negeri Zion tersebut
sebuah pusat kegiatan spiritual, dari mana kemudian agama serta kebudayaan yahudi akan dapat
menyebar ke seluruh penjuru dunia. (Garaudy, 1985, Hal 20).

Selama berdirinya zionisme sebagai sebuah gerakan keagamaan ini, mereka sama sekali tidak pernah
mendapatkan penolakan dan perlawanan ataupun ditentang oleh orang-orang islam, yang memang
menganggap dan merasa mereka sendiri sebagai termasuk ke dalam keturunan dan agama Nabi
Ibrahim a.s. Zionisme spiritual ini, yang sama sekali tidak mengenal sesuatu program politik apapun
juga untuk menciptakan sesuatu negara dan dengan berbuat demikian kemudian menguasai palestina,
tidak pernah mengakibatkan terjadinya pertentangan ataupun perselisihan di antara kelompok-
kelompok masyarakat Yahudi serta penduduk bangsa Arab, tidak perduli apakah mereka itu pemeluk
agama islam ataukah pengikut agama Kristen (Garaudy, 1985, Hal 20).

Zionisme sebagai sebuah gerakan politik dimulai dengan Theodor Herzl (1860-1904) yang dimana
telah menyusun doktrin Zionisme tersebut semenjak Tahun 1882 dan selanjutnya. Hal ini mulai
dilakukan di Wina, pada Tahun 1896, ia memberikan doktrin itu dengan bentuk sistematis yang
terdapat dalam bukunya berjudul “Negara Yahudi” (Der Judenstaat) dan secara konkrit kemudian
menerapkannya pada kongres Zionis sedunia pertama, yang diselenggarakan di Basel pada Tahun
1897.

Sebagai sebuah gerakan keagamaan, Herzl dalam pandangan-pandangan yang dikemukakannya,


bersikap mengingkari agama secara radikal serta bahkan menentang pula, dengan keras semua orang
yang merumuskan yudaisme sebagai sebuah agama. Dari sudut pandangan Zionisme , sebagai sebuah
gerakan politik, diatas segala-galanya “Orang-orang Yahudi tersebut” merupakan “Sebuah bangsa”
(Garaudy, 1985, Hal 21).

Yang menjadi fokus pertama Herzl adalah bukan menyangkut masalah keagamaan, namun justru
masalah-masalah yang bersifat politik dan telah menyajikan persoalan “Zionisme” tersebut dengan
cara baru yang radikal. Sebagai akibatnya, terdapat pengaruh yang di timbulkan oleh peristiwa
Dreyfus tesebut pada dirinya, dan iapun menarik kesimpulan-kesimpulan berikut ini :

1. Orang Yahudi, dimanapun juga mereka berada di permukaan bumi ini, dinegara manapun
juga mereka itu bertempat tinggal, akan tetap saja merupakan sebuah “bangsa” yang tunggal
2. Mereka selamanya dan di mana saja pun selalu menjadi korban pengejaran
3. Mereka sama sekali tidak dapa diasimilasikan oleh negara –negara dimana mereka telah
bertempat tinggal sekian lamanya
Herzl memilih Palestina untuk menjadi tempat yang dimana seluruh bangsa Yahudi itu selanjutnya
akan ditempatkan. Ia memanfaatkan kecenderungan keinginan yang hidup kuat di kalangan para
anggota dan pengikut “Pecinta Zion”, dan sekaligus memperkuat pergerakan yang diciptakannya itu
dengan menyalurkan ke dalamnya dukungan sebuah tradisi keagamaan, yang pada hakikatnya ia
sendiri juga tidak mempercayainya.

Untuk bisa menerapkan kebijakan politik yang dianutnya, dalam penrnyataan Balfour yang lahir pada
Tahun 1917 berisikan tentang dukungan Pemerintah Inggris atas “sebuah rumah nasional bagi orang-
orang Yahudi” di Palestina, dengan ketentuan bahwa tindakan yang demikian itu tidak akan sampai
merusak ataupun merugikan segala kepentingan penduduk asli yang telah bermukim sebelumnya di
daerah tersebut. Namun sementara itu, para pemimpin Zionisme, sebagai sebuah gerakan politik,
mengekploatir pernyataan ini sebagai sebuah petanda diterimanya pemikiran pembentukan “sebuah
negara Yahudi” dari yang sebelumnya merupakan wilayah Palestina. Dimana kemudian penduduk asli
daerah itu harus dilenyapkan seluruhnya demi kepentingan kedaulatan negara Zionis, yang daerah
kekuasannya akan meliputi seluruh wilayah yang sekarang bernama Palestina (Garaudy, 1985,
Hal.25)

Daftar Pustaka

Hermawati, Sejarah Agama dan Bangsa Yahudi, edisi I (Cet.I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), hal. 84

Hasan, Al-Madhāhib Wa Al-Afkār Al-Mu‟āṣirah Fī Al-Taṣawwur Al-Islāmī, Hal.351.

Alwi ‘Abd al-Halim, Al-Ghazw Al-Fikrī Wa Al-Tayyārāt Al-Ma‟ādiyyah Li Al-Islām (Riyadl: Idārah
al-Thaqāfah wa al-Nashr bi al-Jāmi‘ah, n.d.), Hal. 486.

Muhammad Baharun, Isu Zionisme Internasional (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1979), Hal.4

M. Khalil Muslih, Ideologi Zionisme Dalam Timbangan Teologi Islam (Ponorogo: Tajdid, 2021), Hal.
281

R. Garaudy, Zionis Sebuah Gerakan Keagamaan & Politik (Jakarta; Gema Insani Press, 1985) Hal.
19-25

Anda mungkin juga menyukai