Anda di halaman 1dari 27

MAKNA BUNGE SUMBU PADA PAKAIAN ADAT PENGANTIN

SUKU ALAS DI KABUPATEN ACEH TENGGARA

Proposal Skripsi

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan


memenuhi syarat-syarat guna memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:
FIQRI
Nim. 1906101010015

JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2023
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian..............................................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian............................................................................................................4
1.5 Definisi Oprasional...........................................................................................................4
BAB II KAJIAN PUSTAKA..................................................................................................6
2.1 Makna Bunge Sumbu.....................................................................................................6
2.1.1 Makna........................................................................................................................6
2.1.2 Bunge Sumbu.............................................................................................................7
2.2 Teori Simbolik.................................................................................................................8
2.2.1 Teori Konvergensi Simbolik......................................................................................8
2.2.2 Teori Interpretatif Simbolik.......................................................................................9
2.2.3 Teori Interaksionalisme SImbolik..............................................................................9
2.3 Pakaian Adat Pernikahan............................................................................................13
2.3.1 Pakaian Adat............................................................................................................13
2.3.2 Pernikahan...............................................................................................................14
2.3.3 Pakaian Adat Pernikahan.........................................................................................14
2.4 Kerangka Pemikiran....................................................................................................15
BAB III METODELIGI PENELITIAN.............................................................................17
3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian.....................................................................................17
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian.........................................................................................17
3.3 Sumber Data (Subjek Penelitian)...................................................................................17
3.4 Instrumen Penelitian.......................................................................................................18
3.5 Teknik Pengumpulan Data..............................................................................................19
3.6 Teknik Analisis Data.......................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kabupaten Aceh Tenggara yang terkenal dengan nama Kutacane sebagai

Ibukota Kabupatennya yang meupakan daratan tinggi dengan perbatasan antara

Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara (Azhar, 2008: 9). Suku Alas

merupakan salah satu suku yang berdomisili di Aceh Tenggara. Penduduk Aceh

Tenggara terdiri dari beberapa suku seperti suku Alas, Gayo, Aceh, Minang, Jawa dan

Batak. Bahasa Alas mirip dengan bahasa Batak (Karo, Tapanuli dan pak- pak).

Sebutan populer untuk daerah Aceh Tenggara di sebut “Tanoh Alas” kata “Alas”

bermakna “Tikar”. Hal tersebut berkaitan dengan wilayah Aceh Tenggara yang

keadaan wilayahnya terhampar seperti tikar (Badruzzaman, 2015: 103).

Provinsi Aceh memiliki 13 suku yang mendalami wilayahnya seperti Suku

Aceh, Suku Tamiang, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Kluet, Suku Julu, Suku Pakpak,

Suku Aneuk Jamee, Suku Sigulai, Suku Lekon, Suku Devayan, Suku Haloban, dan

Suku Nias. Dari ke 13 suku yang ada di Aceh suku Aceh merupakan kelompok

terbesar yang ada di provinsi Aceh. Dari daerah wilayah pesisir, salah satunya yang

ada di daerah barat dan selatan, mereka telah berbaur dengan orang-orang dari suku

yang lain. Hal ini terbukti dalam penggunaan bahasanya penerpan corak ragam hiasan

dan kebiasaan-kebiasaan adat lainnya. Suku Alas merupakan kelompok minoritas

yang mendalami budaya dan bahasa yang mereka gunakan berbeda satu dengan

lainnya akan tetapi masih tetap masih berkaitan.

1
2

Hal tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia adalah

kebudayaan karena kebudayaan merupakan keseluruhan yang komplek yang

mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian yang di dapat oleh manusia sebagai

anggota masyarakat. Pada upacara pesta pernikahan memiliki ciri khas tersendiri di

setiap daerahnya, tergantung pada kondisi serta kebudayaan yang dimiliki seperti

pada kawasan Aceh Tenggara pada suku Alas banyak menggunakan motif flora

seperti Bunge Empat, Bunge waluh, Bunge sumbu dengan menggunakan motif

lainnya seperti Putekh tali, Embun bekhangkat, Smeut Beriring, Papan Catukh, Gajah

Numpak, Tupay Mekhindu, Jekhjak Pantemkan, dan gellombang anak. Adat dan

istiadat suku Alas sangatlah unik pada saat upacara tradisional yaitu pada upacara

perkawinan yang merupakan salah satu budaya dalam masyarakat yang memiliki

peranan penting dalam mengatur kehidupan masyarakat pendukungnya. Kesenian ini

biasa disenandungkan pada acara-acara adat seperti tepung tawar, penyambutan, dan

perkawinan, serta motif ragam hias dikombinasikan menjadi sebuah motif ragam hias

yang indah sehingga di sulam pada pakaian adat suku Alas di Aceh Tenggara.

Sebuku adalah ratapan atau tangisan yang dilakukan oleh seorang mempelai

wanita pada upacara perkawinan yang mengandung unsur nasehat atau petuah yang

lahir dari perasaan pelaku (Kamaril, 2002). Namun ada sedikit perbedaanya baik dari

segi pelaku maupun tata cara proses pelaksanaanya. Pada sebuku ratapan yang

dilakukan oleh pengantin perempuan dilakukan pada saat setelah akad nikah sebelum

masuknya waktu shubuh dan sebelum akad nikah dan sebuku juga dilakukan pada

ayah pengantin perempuan.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis sangat tertarik meneliti Makna

Bunge Sumbu Pada Pakaian Adat Pengantin Suku Alas di Gampong Lawe Sumur
3

Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara selain itu pemerintah juga harus

mempromosikan budaya ini sebagai bentuk budaya khas suku Alas yang dimana

ketidaktahuan masyarakat Aceh dan generasi muda tentang suku Alas yang membuat

harga tradisi nenek moyang tidak mendapat apresiasi yang baik di masa sekarang.

Oleh karena itu hal tersebut menjadi alasan bagi penulis untuk melakukan penelitian

ini yang berjudul Makna Bunge Sumbu Pada Pakaian Adat Pengantin Suku Alas

di Gampong Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang sudah penulis paparkan, maka didapatkan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Apa makna bunge sumbu pada pakaian adat pengantin suku Alas di Gampong

Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara?

2. Bagaimana bunge sumbu diimplementasikan dalam pakaian adat pengantin

suku Alas di Gampong Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh

Tenggara?

1.3 Tujuan Penelitian

Terkait dengan rumusan masalah yang diuraikan peneliyi maka tujuan dari

penelitian ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui apa makna bunge sumbu pada pakaian adat pengantin suku

Alas di Gampong Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh

Tenggara.

2. Untuk mengetahui bagaimana bunge sumbu diimplementasikan dalam pakaian

adat pengantin suku Alas di Gampong Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur

Kabupaten Aceh Tenggara.


4

1.4 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Penulis berharap penelitian ini bermanfaat untuk menjadi rujukan dalam

penelitian yang berkaitan dengan makna bune sumbu pada pakaian adat

pernikahan suku alas.

b. Manfaat Praktis

1) Bagi pihak tokoh adat, penelitian ini menjadi bahan evaluasi terkait upaya

yang sudah dilakukan tokoh-tokoh adat terkait sejarah pakaian Bunge

Sumbu di aceh Tenggar sehingga dapat mengambil kebijakan-kebijakan

selanjutnya.

2) Bagi pihak masyarakat, kajian ini menjadi bahan informasi tentang

pentingnya makna pakaian pernikahan Bunge Sumbu di Aceh Tenggara.

3) Bagi peneliti lain sebagai referensi untuk melaksanakan penelitian lebih

lanjut terkait Makna Bunge Sumbu Pada Pakaian Adat Pernikahan Suku

Alas Di Aceh Tenggara.

1.5 Definisi Oprasional

Untuk menghindari kesalahan dalam penelitian, peneliti menguraikan kata

operasional yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Makna.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2016), makna adalah

maksud yang terkandung dalam suatu bentuk bahasa oleh seorang penutur atau

penulis. Menurut Ferdinand de Saussure yang dikutip oleh Abdul Chaer, makna
5

adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terkandung dalam suatu tanda

linguistik (Chaer, 1994).

2. Bunge Sumbu

Bunge sumbu adalah salah satu elemen yang khas dalam pakaian adat

pengantin suku Alas. Secara harfiah, "bunge" berarti "sumbu" atau "tali" dalam

bahasa Alas. Bunge sumbu merujuk pada tali yang digunakan untuk mengikat atau

menjahit bagian-bagian pakaian adat pengantin suku Alas, terutama pada bagian

dada dan lengan.

Bunge sumbu umumnya terbuat dari bahan yang kuat dan elastis, seperti

benang atau tali sutra. Biasanya, bunge sumbu dihiasi dengan hiasan-hiasan

berupa manik-manik, payet, atau hiasan kain yang disematkan pada tali tersebut.

Bentuk, warna, dan pola hiasan pada bunge sumbu dapat bervariasi tergantung

pada kekhasan dan tradisi suku Alas di Gampong Lawe Sumur.

3. Pakaian Adat Pernikahan

Pakaian adat pernikahan adalah semua kelengkapan yang dipakai pada upacara

pernikahan selain itu pakain adat pernikahan juga digunnakan pada acara adat,

dengan adanya pakaian adat akan menunjukkan etnis (suku) suatu masyarakat dan

menunjukkan identitas suatu daerah dan memiliki ciri khas tertentu.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Makna Bunge Sumbu

2.1.1 Makna

Persoalan makna telah menarik perhatian filosof, ahli bahasa,

psikolog,sosiolog, dan antropolog, sejak 200 tahun lalu. Setiap usaha untuk

memberikan jawaban apa arti makna secara langsung telah gagal (Fisher, 1986).

Upaya untuk menjelaskan makna misalnya terlihat dari terbitnya dua buku Meaning

of Meaning dan Understanding, tapi isinya menurut fisher, lebih sedikit dari apa yang

ditawarkan judulnya. Uraian panjang lebar yang diberikan sering membingungkan

dari pada menjelaskan, Masalah makna memang persoalan yang pelik, seperti dikutip

Fisher, merumuskan tiga macam makna:

1) Makna refensi, yakni makna suatu istilah mengenai objek,pikiran,ide, atau

konsep yang ditujukan oleh istilah itu. Misalnya, istilah kendaraan merunjuk

pada mobil,motor,sepeda,bahkan kuda artinya sesuatu yang dapat ditumpangi

dan membawa penumpangnya pada jarak tertentu.

2) Makna yang menunjukkan arti suatu istilah sejauh dihubungkan dengan

konsep- konsep lainnya. Misalnya istilah phlogistonyang dicontohkan Fisher,

kata itu dulu digunakan untuk menjelaskan proses pembakaran suatu benda

bias jika adaphlogiston. Tapi sejak ditemukannya istilah oksigen,

phlogistontidak digunakan lagi untuk menjelaskan proses pembakaran.

3) Makna intensional, yakni arti suatu istilah atau lambang tergantung pada apa

yang di maksudkan oleh pemakai dengan arti lambang itu. Makna inilah yang

melahirkan makna individual dari segi ini, maka tak akan ada dua buah

6
7

makna yang dimaksudkan identik walaupun makna-makna itu boleh saja

amat mirip. Ini merupakan makna yang disebabkan oleh tindakan mental

individu tanpa di pengaruhi oleh orang lain.

Dari ketiga corak makna tersebut, yang menarik adalah proses pemaknaan.

Kapankah makna itu muncul? Fisher menyatakan bahwa makna muncul ketika

sebuah sign yang mengacu pada suatu objek, dipakai oleh pengguna sign. Saat itulah

terjadi proses pembentukan makna didalam bentuk hubungan segitiga. Seorang ahli

yang menyusun teori segitiga adalah Charles S. Pierce. Menurutnya sebuah sign yang

mengacu pada sesuatu diluar dirinya, yaitu objek yang akan mempunyai pengaruh

pada [ikiran pemakainya karens adanya hubungan timbal balik antara ketiga elemen

tersebut. Hasil hubungan timbal balik antara ketiga elemen tersebut. Hasil hubungan

timbal balik itulah yang menghasilkan makna suatu objek, dan di lambangkan oleh

pemakainya dengan suatu simbol antara lain kata-kata, gambar atau isyarat.

2.1.2 Bunge Sumbu

Simbol bunge sumbu (juga dikenal sebagai bunga sumbu) adalah salah satu

simbol yang sering digunakan dalam hiasan kepala adat Aceh Tenggara, sebuah

wilayah di Provinsi Aceh, Indonesia. Makna simbol ini berkaitan dengan budaya dan

tradisi masyarakat Aceh Tenggara.

Bunge sumbu adalah sejenis bunga dengan bentuk unik yang tumbuh di daerah

tersebut. Bunga ini memiliki batang yang panjang dan tipis dengan berbagai dahan

kecil yang menjulang keluar di sampingnya, menyerupai sumbu atau sumbu mesiu.

Karena keunikan bentuknya, bunga ini sering dijadikan simbol dalam seni dan hiasan

tradisional.
8

Makna simbol bunge sumbu dalam hiasan kepala adat Aceh Tenggara bisa

memiliki beberapa interpretasi. Salah satu makna yang mungkin adalah bahwa bunga

sumbu melambangkan kekuatan dan keberanian. Bentuknya yang panjang dan tipis

menunjukkan keluwesan dan ketahanan dalam menghadapi berbagai tantangan.

Selain itu, dahan-dahan kecil yang menjulang keluar mungkin melambangkan

pertumbuhan, kemakmuran, dan kehidupan yang berkelanjutan.

Simbol bunge sumbu juga bisa memiliki makna spiritual atau simbolik yang terkait

dengan keyakinan dan kepercayaan lokal. Dalam budaya Aceh Tenggara, banyak

simbol dan motif yang digunakan dalam hiasan kepala atau pakaian tradisional

memiliki hubungan dengan kepercayaan tradisional, agama, atau mitologi setempat.

Namun, penting untuk dicatat bahwa interpretasi dan makna simbol ini dapat

bervariasi antara individu atau kelompok masyarakat.

Penting untuk menghormati dan menghargai warisan budaya serta tradisi

suatu daerah. Jika Anda ingin mendapatkan informasi yang lebih akurat tentang

makna dan simbolisme spesifik bunge sumbu dalam hiasan kepala adat Aceh

Tenggara, disarankan untuk berbicara dengan ahli budaya atau tokoh masyarakat

setempat yang memiliki pengetahuan mendalam tentang tradisi dan simbolisme

tersebut.

2.2 Teori Simbolik

2.2.1 Teori Konvergensi Simbolik

Theory of Symbolic Convergence terinspirasi dari penelitian Robert Bales

tentang komunikasi kelompok. Ernest Bormann kemudian mereplikasi ide ini

menjadi tindakan retoris publik yang lebih besar, bukan hanya pertukaran kecil

(Olufowote, 2017). Konvergensi adalah cara di mana dunia simbolik pribadi dari dua
9

atau lebih individu bertemu, mendekati, atau bertepatan satu sama lain. Sementara

itu, konsep simbolik itu sendiri mengacu pada kecenderungan manusia untuk

menafsirkan dan menanamkan makna ke dalam berbagai tanda, tanda, pengalaman

bahkan aktivitas manusia.

Teori fusi semiotik menyatukan lapangan dengan melihat komunikasi

sebagai logika kreatif dan diskursif. Teori konvergensi simbolik mengakui bahwa

komunikasi secara kreatif membangun realitas, tetapi juga dibatasi olehnya. Teori

konvergensi simbolik juga dapat berfungsi sebagai kekuatan pemersatu, karena dapat

menerima analisis spesifik dari makna yang dibatasi secara kontekstual dan

fenomena komunikasi yang lebih luas yang melampaui ruang dan waktu, atau

pendekatan retoris (Olufowote, 2017).

2.2.2 Teori Interpretatif Simbolik

Teori interpretasi simbolik Geertz dapat digunakan untuk menganalisis secara

langsung kajian budaya dalam masyarakat atau kajian budaya dalam karya sastra.

Geertz juga menunjukkan bahwa budaya adalah sistem tanda dan dengan demikian

proses budaya harus dipahami, diterjemahkan dan diinterpretasikan. Oleh karena itu,

makna budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat harus dimaknai dengan

cara yang dapat dipahami (Sudikan, 2007).

Perspektif interpretatif seringkali melibatkan gagasan tentang tanda, terutama

setelah Geertz mengembangkan metode interpretatif versinya sendiri. Pertama,

pendekatan ini dikenal sebagai antropologi semiotik, yang karena fokusnya berbeda,

disebut sinonim dengan interpretasi semiotik (Sudikan, 2007).

2.2.3 Teori Interaksionalisme SImbolik


10

Paradigma untuk memahami masyarakat melalui interaksi sosial disebut

paradigma interaksionis simbolik, berbeda dengan paradigma fungsi-struktural dan

paradigma konflik sosial berorientasi makro (berkaitan dengan pola skala besar yang

mencirikan masyarakat secara keseluruhan). - Paradigma interaksionis lebih tertarik

mempelajari pola-pola interaksi sosial dalam situasi tertentu, menurut paradigma

interaksionis simbolik, masyarakat merupakan produk dari interaksi sehari-hari yang

terjadi antar individu (Eko A. Meinarno, 2011).

George Herbert Mead adalah seorang tokoh filosofis Amerika di bidang

sosiologi dan psikologi yang mengembangkan gagasan teori interaksionisme

simbolik. Dia percaya bahwa diri dan perilaku manusia dapat dibentuk oleh

lingkungan. Dunia memberikan pengalaman sosial, dan pengalaman sosial ini adalah

semacam simbol, yang memiliki arti tertentu yang dapat dipahami oleh manusia.

Tingkah laku manusia bersumber dari makna simbol-simbol yang pada akhirnya

membentuk diri manusia.

Kemudian Harbert Blumer memperluas pemikiran Mead, menurut tiga inti

interaksionisme simbolik, yang pertama adalah manusia bertindak atas sesuatu

menurut makna yang dimilikinya, dan yang kedua makna itu dibentuk,

dipertukarkan, dan dipertahankan melalui interaksi sosial. Ketiga, makna ditegakkan

atau diubah melalui proses interpretasi (penafsiran individu dalam setiap situasi)

(Eko A. Meinarno, 2011).

Fokusnya adalah pada proses interaksi, yaitu tindakan sosial yang dirinci

melalui orientasi timbal balik langsung.Penelitian proses ini secara khusus

didasarkan pada konsep interaksi yang menekankan karakter simbolik dari tindakan

sosial.Modus analisis dasar adalah bahwa dalam hubungan sosial seperti itu, tindakan
11

tidak hanya ketentuan tertentu yang diterjemahkan menjadi tindakan yang

diinginkan, tetapi juga tindakan yang secara bersamaan atau bertahap mengusulkan

dan membentuk definisi hubungan sosial (Anthony Giddens, 2015).

Menurut (Ritzer, 2011) dalam bukunya yang berjudul Sociological Theory

mengatakan bahwa ada 7 prinsip asas Teori Interaksionisme, yaitu:

1) Manusia tidak sama dengan binatang karena manusia memiliki kemampuan

berpikir

2) Kemampuan berpikir seseorang terbentuk dalam interaksi sosial

3) Dalam interaksi sosial, seseorang mempelajari simbol dan mengaktifkan

makna mereka menggunakan kemampuan untuk berpikir tentang apa yang

mereka miliki.

4) Simbol dan makna memungkinkan orang untuk bertindak dan

berkomunikasi.

5) Orang mencoba mengubah simbol dan makna berdasarkan interpretasi

mereka untuk situasi.

6) Seseorang dapat meramalkan efek dari tindakan, membuat penilaian baik

dan buruk dan menentukan tindakan yang tepat.

7) Hubungan aksi dan interaksi membentuk kelompok-kelompok dalam

masyarakat.

Dalam buku Sociological Theory (Ritzer, 2011) juga menjelaskan pendapat

Stryker, yang dimana Stryker juga mengembangkan orientasinya dalam delapan

prinsip umum, yaitu:

1) Tindakna manusia bergantung pada dunia yang dinamai dan di klasifikasikan

dimana nama dan klasifikasi memiliki arti bagi para pelaku. Orang belajar
12

melalui interaksi dengan orang lain bagikmana mengklasifikasikan dunia,

serta bagaimana mereka diharapkan berperilaku terhadapnya

2) Yang terpentig untuk dipelajari adalah simbol yang digujnakan untuk

menunjukkan posisi sosial.

3) Pentingnya struktur sosial yang lebih besar, meskipun cenderung seperti para

interaksionis simbolik lainnya, untuk memahaminya dalam kerangka pola

perilaku yang terorganisir.

4) Dalam bertindak, orang tidak hanya menyebut satu sama lain tetapi juga diri

mereka sendiri; yaitu, mereka menerapkan sebutan posisi untuk diri mereka

sendiri. Penunjukan diri ini menjadi bagian dari diri, harapan yang

terinternalisasi sehubungan dengan perilaku mereka sendiri.

5) Saat berinteraksi, orang mendefinisikan situasi dengan menerapkan nama

padanya, pada peserta lain, pada diri mereka sendiri. Definisi ini kemudian

digunakna oleh para aktor untuk mengatur perilaku mereka.

6) Perilaku sosial tidak ditentukan oleh makna sosial, meskipun dibatasi. Orang

tidak hanya mengambil peran, sebaliknya, mereka memngambil orientasi

yang aktif dan kreatif terhadap peran mereka.

7) Struktur sosial juga membatasi sejauh mana peran “dibuat” daripada hanya

“diambil”. Beberapa struktur mengizinkan lebih bayak kreativitas daripada

yang lain.

8) Kemungkinan pembuatan peran memungkinkan terjadiya berbagai

perubahan sosial. Perubahan dapat terjadi dalam definisi sosial, dalam nama,

simbol dan klasifikasi dan kemungkinan interaksi. Efek kumulatif dari

perubahan ini dapat berupa perubahan dalam struktur sosial yang lebih besar.
13

2.3 Pakaian Adat Pernikahan

2.3.1 Pakaian Adat

Menurut Gamrina S, dkk (2017, 13). Pakaian adat merupakan suatu pakaian

yang digunakan masyarakat di suatu daerah tertentu saat melakukan acara, kelahiran,

ritual, penyambutan tamu, pagelaran seni budaya. Pakaian adat juga dijadikan simbol

kebudayaan dari suatu daerah.

Dari pakaian adat juga masyarakat dapat menunjukkan nama daerah yang

merupakan asal dari pakaian adat tersebut. Setiap daerah yang berada di Indonesia

memiliki pakaian adat yang berbeda-beda. Pakaian adat tersebut biasanya digunakan

dalam kegiatan memperingati hari besar seperti kelahiran, pernikahan, kematian,

serta hari-hari besar keagamaan. Sebagai simbol, pakaian adat memang dijadikan

penanda dalam suatu kegiatan.

Pakaian adat (Nasarudin AS, 2018.6) merupakan suatu pakaian yang

digunakan masyarakat di suatu daerah tertentu saat melakukan acara, kelahiran,

ritual, penyambutan tamu, pagelaran seni budaya. Pakaian adat juga dijadikan simbol

kebudayaan dari suatu daerah. Dari pakaian adat juga masyarakat dapat menunjukkan

nama daerah yang merupakan asal dari pakaian adat tersebut. Setiap daerah yang

berada di Indonesia memiliki pakaian adat yang berbeda-beda. Menurut (Zakaria

Ahmad, 1986.84) pakaian adat tersebut biasanya digunakan dalam kegiatan

memperingati hari besar seperti kelahiran, pernikahan, kematian, serta hari-hari besar
14

keagamaan. Sebagai simbol, pakaian adat memang dijadikan penanda dalam suatu

kegiatan.

2.3.2 Pernikahan

Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu (‫)النكاح‬, adapula yang mengatakan

perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan zawaj (Kamal

Mukhtar, 1974.79). Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah perkawinan. Dewasa

ini kerap kali dibedakan antara pernikahan dan perkawinan, akan tetapi pada

prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik akar katanya

saja. Menurut (Sudarsono, 1997.62) Perkawinan adalah Sebuah ungkapan tentang

akad yang sangat jelas dan terangkum atas rukunrukun dan syarat-syarat. Para ulama

fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali) pada

umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada Akad yang membawa kebolehan

(bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan

(diawali dalam akad) lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua

kata tersebut (Abdurrahman, 1986.212).

Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah

pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dari beberapa terminologi yang

telah dikemukakan nampak jelas sekali terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi.

Hal ini dilukiskan dalam Firman Allah:


15

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.

2.3.3 Pakaian Adat Pernikahan

Pakaian adat merupakan suatu pakaian yang digunakan masyarakat di suatu

daerah tertentu saat melakukan acara, kelahiran, ritual, penyambutan tamu, pagelaran

seni budaya. Pakaian adat juga dijadikan simbol kebudayaan dari suatu daerah. Dari

pakaian adat juga masyarakat dapat menunjukkan nama daerah yang merupakan asal

dari pakaian adat tersebut. Setiap daerah yang berada di Indonesia memiliki pakaian

adat yang berbeda-beda. Pakaian adat tersebut biasanya digunakan dalam kegiatan

memperingati hari besar seperti kelahiran, pernikahan, kematian, serta hari-hari besar

keagamaan. Sebagai simbol, pakaian adat memang dijadikan penanda dalam suatu

kegiatan. Menurut (Nasruddin AS, 2018.8) Pakaian yang digunakan pada acara

perkawinan adalah adat tradisional pada suatu daerah dan bearti pakaian yang sudah

menjadi tradisi pada sebuah suku tersebut. Pakaian adat yang digunakan mengandung

suatu nilai atau pesan-pesan yang ingin dicapai oleh si pengantin, baik yang masih

digunakan maupun yang tidak digunakan lagi.

Pakaian adat tradisional sekarang jugamasih digunakan, untuk membedakan

bagaimana perbandingan satu pakaian adat dengan pakaian adat yang lain. Tidak

mungkin waktu acara perkawinan pengantin hanya menggunakan satu baju saja,

tetapi dari mereka ada yang pakai dua baju atau lebih dan itu menurut permintaan

konsumen dan menurut keadaan ekonominya. Pakaian pengantin di Aceh khususnya

di Kabupaten Aceh Tenggara merupakan salah satu warisan budaya yang harus

dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakat di Gampong tersebut.


16

2.4 Kerangka Pemikiran

Hiasan Bunge Sumbu Pada Pakaian


Adat Pernikahan Suku Alat

Makna bunge sumbu pada pakaian Bagaimana bunge sumbu


adat pengantin suku Alas diimplementasikan dalam pakaian adat
pengantin suku Alas
17

Dari kerangka di atas, peneliti ingin melihat apa makna bunge sumbu pada

pakaian adat pengantin suku Alas di Gampong Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur

Kabupaten Aceh Tenggara, dan bagaimana bunge sumbu diimplementasikan dalam

pakaian adat pengantin suku Alas di Gampong Lawe Sumur Kecamatan Lawe Sumur

Kabupaten Aceh Tenggara. Dengan cara bertaya langsung kepada beberapa subjek

yang terdapat serta terkait dengan penelitian ini.


BAB III
METODELIGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan yang telah ditetapkan, maka

pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Menurut Maleong (2011: 6). Penelitian kualitatif adalah upaya untuk menyajikan

dunia sosial, dan perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, persepsi,

dan persoalan tentang manusia yang diteliti. Senada dengan itu Maleong (2011:8)

sendiri mengemukakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain.

Sedangkan jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, yaitu sebagai

prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau

melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan

lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana

adanya (Narwawi, 2013:67).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Berdasarkan hasil observasi lapangan, peneliti memilih Gampong Lawe

Sumur Kecamatan Lawe Sumur Kabupaten Aceh Tenggara sebagai lokasi penelitian

yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu satu bulan setengah, dimulai sejak

keluarnya surat izin penelitian.

3.3 Sumber Data (Subjek Penelitian)

Sumber data yang digunakan dalam penelitian terdiri atas dua bagian yaitu

data primer dan data sekunder.

18
19

3.3.1 Sumber Data Primer

Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari sumber data pertama di

lokasi penelitian atau objek penelitian (Bugin, 2011: 132). Adapun sumber primer

dalam penelitian ini hasil wawancara dengan informan, hasil observasi dan

dokumentasi berupa pakaian pernikahan bunge sumbu suku Alas Aceh Tenggara.

3.3.2 Sumber Data Skunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber

sekunder dari data yang kita butuhkan (Bugin, 2011: 132).Yang termasuk dalam

sumber sekunder berupa buku-buku, majalah, artikel, skripsi, dan jurnal serta sumber

tertulis lainnya yang memiliki relevansi dengan objek kajian ini.

Yang menjadi sumber data ditetapkan berdasarkan teknik purposive sampling.

Teknik purposive sampling merupakan teknik pengumpulan data dengan berdasarkan

pertimbangan atau ciri-ciri tertentu (Sugion, 2016). Adapun yang menjadi informan

dalam penelitian ini terdiri dari Tokoh adat 1 orang, Masyakarat 4 orang.

3.4 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian kualitatif, alat penelitiannya adalah peneliti itu sendiri.

Peneliti bertindak langsung sebagai alat dan merencanakan pelaksanaan pengumpulan

data dengan mengajukan pertanyaan. Instrumen selain orang antara lain pedoman

wawancara, pedoman observasi, dan lain-lain. Menurut Gulo (Thalha Alhamdi dan

Budur Anufia, 2019:1). Alat penelitian adalah panduan tertulis untuk wawancara atau

observasi yang disiapkan untuk memperoleh informasi. Alat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah alat fasilitasi wawancara.

Esterberg mendefinisikan wawancara dalam buku Sugiyono Metode

Penelitian Pendidikan (Metode Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D) (2013: 59):


20

“Wawancara adalah pertemuan di mana dua orang bertukar informasi dan gagasan

melalui proses tanya jawab, sehingga wawancara Kelahiran.” Atau dapat

mengonstruksi makna dalam diskusi-diskusi tertentu”.

Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa

wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui pertanyaan lisan dan pertanyaan

tatap muka dengan responden. Untuk wawancara, peneliti menggunakan wawancara

terstruktur, yaitu peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan pedoman

wawancara yang sistematis dan terstruktur lengkap.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Data dikumpulkan untuk digunakan dalam penelitian ini dengan

pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer adalah informasi atau data yang

ditentukan langsung dari sumber subjek penelitian. Data sekunder mengacu pada

data yang dihasilkan oleh lembaga terkait penelitian tertentu (Tokoh adat dan

masyarakat yang ada di Gampong Lawe Sumur, Kecamatan Lawe Sumur, Kabupaten

Aceh Tenggara).

Adapun langkah-langkah memperoleh data primer atau sekunder dengan

menggunakan teknik wawancara dalam penelitian ini, Pujastawa (2016:04)

mendefinisikan teknik wawancara sebagai pendekatan sistematis untuk memperoleh

informasi tentang objek atau peristiwa masa lalu, sekarang, dan yang akan datang

dalam bentuk verbal. pertanyaan. Teknik wawancara juga ada dua, yaitu: (1)

wawancara terencana dan (2) wawancara santai.

Berdasarkan topik yang telah direncanakan sebelumnya, wawancara

terencana dilakukan untuk mendapatkan materi yang informatif. Untuk melakukan

wawancara terencana jenis ini, pewawancara terlebih dahulu menyiapkan panduan


21

wawancara dan mengidentifikasi sumber atau informan yang relevan. Narasumber

yang dimaksud adalah pihak yang diyakini memiliki pengetahuan dan pengalaman

yang relevan dengan topik yang telah diidentifikasi, sedangkan dalam wawancara

biasa pewawancara cenderung tidak mempersiapkan hal tersebut mengingat objek

atau kejadian yang terjadi merupakan hal yang kebetulan atau tidak direncanakan.

Dalam penelitian ini peneliti membuat wawancara lebih terstruktur dengan membuat

pedoman wawancara terlebih dahulu, sehingga narasumber diwawancarai secara

langsung.

3.6 Teknik Analisis Data

Dalam sebagian besar penelitian kualitatif, keharusan menggunakan

pemikiran induktif berarti peneliti harus terjun jauh ke dalam lapangan, bekerja keras

untuk memperoleh atau mendapatkan data, yang harus berdasarkan fakta, kemudian

dibuat atau diproduksi dalam bentuk catatan, dimana catatan-catatan ini kemudian

dapat diambil dan digunakan sebagai kesimpulan (Sudjana dan Ibrahim, 2001). Ada

beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu:

1. Tahap Reduksi Data.

Tahap reduksi data adalah untuk memeriksa keakuratan atau penerapan data

yang sebelumnya diperoleh melalui sumber, dan kemudian mereduksi data mentah

menjadi deskripsi. Pada tahap ini juga dapat diartikan sebagai fokus pada

pengambilan atau pemulihan data untuk hal-hal yang penting dan utama.

2. Tahap Penyajian Data (Display)

Tahap penyajian data (presentation) adalah proses dimana peneliti

menggambarkan informasi atau data ke dalam teks naratif, yang kemudian


22

dirangkum dalam bentuk diagram untuk menggambarkan proses perubahan

budaya.

3. Tahap Kesimpulan (Verifikasi Data)

Tahap kesimpulan (verifikasi data) yaitu dengan melakukan uji kredibilitas

data atau informasi yang telah diperoleh. Serta fokus kepada abstraksi data atau

informasi yang tertuang didalam bagan.


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Zakaria, (2001). Pakaian Adat Tradisional Daerah Provinsi Daerah


Istimewa Aceh. Banda Aceh : Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya.

Agus Budi Wibowo, (2002). Adat dan Upacara Perkawinan Pada Suku Bangsa Alas.
Banda Aceh: Nilai Tradisional.

Alhaid, Thalha dan Budur Anufia. (2019). Indtumen Pengumpulan Data. (Skripsi
Sekolah Tinggi Agama Islam), Sorong.

Al-Jaziri, Abdurrahman. (1986). Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. Beirut: Dar al-
Fikr

Alwi, (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan Pertama Edisi III.
Jakarta: Balai Pusaka

Anthony Giddens, J. H. (2015). Social Theory Today. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Azhar Munthasir, (2008). Adat Pekawinan Etnis Alas. Cetakan pertama. Banda
Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata

Badruzzaman Ismali, (2015). Romantika Warna-warni Adat Perkawinan Etnis-Etnis


Aceh. Banda Aceh: Majelis Adat Aceh.

Basrowi & Suwandi, (2010). Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.

Bugin, Burhan, (2011). Penelitian Kualitatif, KomunikasiEkonomi, Kebijakan


Publikdan Ilmu Sosial lainnya, Jakarta: Putra Grafika.

Chaer, A. (1994). Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.


Eko A. Meinarno, B. W. (2011). Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat.
Jakarta: Salemba Humanika.
Hadi, Y Sumandiyo, (2005). Isosiologi Tari. Yogyakarta : Media Abadi.

Hasjmy. A, (2000). Pedoman Umum Adat Aceh. Banda Aceh: Lembaga Adat dan
Kebudayaan Aceh

23
24

Karmila Mila, (2010). Ragam Kain Tradisional Nusantara. Jakarta : Bee Media
Indonesia.

Kamal, Mukhtar. 1974. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan
Bintang

Kamaril Cut, (2002). Pendidikan Seni Rupa/ Kerajianan Tangan. Jakarta: Pusat
Penelitian Universitas Terbuka Departemen Pendidikan Nasional.

Koentjaraningrat, (2011). Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:Gramedia

Moleong Laxy, (2011). Metedologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda


Karya.

Narwawi, Hadari. (2013). Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: GajahMada


University Press.

Nasarudin AS. (2018). Pergeseran Budaya Masyarakat Perlak Asan: Studi Kasus
tentag Pakaian Adat. Jurnal Abadiya 20(1). 1-22.

Olufowote, J. O. (2017). Symbolic Convergence Theory.


Pujaastawa. (2016). Teknik Wawancara dan Observasi untuk Pengumpulan Bahan
Informasi. Bali.

Ritzer, G. (2011). Sociological Theory. New York: McGraw-Hill.

Rusdi Sufi, (2008). Sejarag dan Adat Istiadat Masyarakat Alas Di Aceh Tenggara.
Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan NAD.

Sagala, Gamrina. Dkk. (2017). Perancangan Aplikasi Pembelajaran Pakaian Adat


Asli Indonesia Berbasis Multimedia dan Web Menerapkan Metode Computer
Assisted Instruction (CAI). Jurnal Riset Komputer 4(4). 12-15.

Sattu Alang, Muh. Anwar, dan M. Hum. (2007). Hakkar Jaya, Pengantar ilmu
Komunikasi. Makassar:CV.Berkah Utami.
Sudarsono. 1997. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipt

Sudikan, S. Y. (2007). Antropologi Sastra.


Sudjana, Nana dan Ibrahim. (2001). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung:
Sinar Baru Algesindo.
25

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


dan R&D). Bandung: Alfabeta
Sugiyono. (2016). Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

Suhersono Hery, (2006). Desain Bordir Motif Batik. Jakarta: PT Gramedia Utama.

Wulandari Ari, (2011). Batik Nusantara Makna Filosofis, Cara pembuatan dan
Industri Batik. Yogyakarta : Andi.

Anda mungkin juga menyukai