Anda di halaman 1dari 5

A.

Tujuan Mempelajari Etika Profesi Hukum


Setiap subjek hukum wajib tunduk pada hukum, suatu ketaatan etika
profesi yang sangat tinggi bagi para penyandang profesi hukum. Penyandang
profesi hukum yang berani melanggar etika profesinya tidak saja melukai rasa
keadilan individu dan masyarakat, melainkan juga mencederai sistem hukum
negaranya secara keseluruhan.
Tujuan mempelajari etika tersebut adalah untuk mendapatkan konsep
mengenai penilaian baik buruk manusia sesuai dengan norma-norma yang
berlaku. Pengertian baik yaitu segala perbuatan yang baik, sedangkan
pengertian buruk yaitu segala perbuatan yang tercela.1
Profesi hukum memiliki peran sebagai pion yang harus menggiring
agar tujuan hukum tersebut dapat tercapai sebagaimana mestinya. Dalam
keberadaanya, setiap code of conduct atau proffesional ethics dari setiap
profesi di dalamnya juga meliputi profesi hukum, memiliki kewajiban-
kewajiban untuk dirinya sendiri, yakni:
1. Kewajiban bagi diri sendiri
2. Kewajiban bagi umum
3. Kewajiban bagi yang di layani
4. Kewajiban bagi profesinya
Sebagaimana pendapat Ignatius Ridwan Widyadharma, dalam
menjalankan profesinya seorang professional harus memiliki kemampuan atas
kesadaran etis (ethical sensibility), kemampuan berfikir etis (ethical
reasioning), bertindak etis (ethical conduct), dan memimpin secara etis
(ethical leardership).2
B. Tujuan dan Fungsi Mempelajari Etika Hukum di Bangku
Perkuliahan
Tujuan mempelajari etika profesi hukum di bangku perkuliah
khususnya bagi mahasiswa fakultas hukum adalah agar setelah mereka lulus
dan menjalankan profesi hukumnya, baik sebagai jaksa, hakim, advokat, dll.
Mereka dapat menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan etika, sehingga hukum
dapat benar-benar di tegakan dengan adil di indonesia.3
Fungsi mempelajari etika itu sendiri untuk dijadikaan pedoman dalam
melakukan tingkah laku, menjadi batasan-batasan atas suatu perbuatan yang
fungsinya adalah menciptakan suatu ketentraman bagi para individu selaku
unsur terkecil dalam masyarakat.4

1
Serlika Aprita, Etika Profesi Hukum, PT. Refika Aditama, (Palembang, 2019),
hlm.9
2
Ibid, hlm 20
3
Mardani, Etika Profesi Hukum, (Rajawali Pers, 2020), hlm 151-152
4
Serlika Aprita, Etika Profesi Hukum, PT. Refika Aditama, (Palembang, 2019), hlm
11
C. Hubungan Etika Dengan Agama, Moral dan Filsafat
a. Hubungan Etika dengan Agama
Agama adalah kebiasaan atau tingkah laku manusia yang didasarkan
pada jalan peraturan atau hukum Tuhan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dengan demikian, relasi antara etika dengan agama sangat erat kaitannya
yakni adanya saling isi mengisi dan tunjang menunjang antara satu dengan
yang lainnya. Keduanya terdapat persamaan dasar, yakni sama-sama
menyelidiki dan menentukan ukuran baik dan buruk dengan melihat pada
amal perbuatan manusia. Etika mengajarkan nilai baik dan buruk kepada
manusia berdasarkan akal pikiran dan hati nurani. Sedangkan agama
mengajarkan nilai baik dan buruk kepada manusia berdasarkan wahyu (kitab
suci) yang kebenarannya absolut (mutlak) dan dapat diuji dengan akal
pikiran.
Berbicara masalah etika dan agama tidak terlepas dari masalah
kehidupan manusia itu sendiri. Olehnya itu, etika dan agama menjadi suatu
kebutuhan hidup yang memiliki fungsi. Kedua fungsi tersebut tetap berlaku
dan dibutuhkan dalam kehidupan sosial. Etika mendukung keberadaan
agama, dimana etika sanggup membantu manusia dalam menggunakan akal
pikiran untuk memecahkan masalah. Etika mendasarkan diri pada
argumentasi rasional sedangkan agama mendasarkan pada wahyu Tuhan.
Dalam agama ada etika dan sebaliknya. Agama merupakan salah satu norma
dalam etika. Berdasarkan kedua fungsi tersebut di atas, manusia dapat
meningkatkan dan mengembangkan dirinya menjadi manusia yang memiliki
yang peradaban yang tinggi5
b. Hubungan Etika Moral
Moral dan etika ini memang tidak dapat dipisahkan, karena dari
artinya sendiri memiliki pengertian yang sama, yaitu adat kebiasaan. Pada
dasarnya moral ini ditentukan oleh etika. Moral merupakan pengertian
tentang mana hal yang baik dan mana hal yang tidak baik. Sedangkan etika
itu sendiri adalah tingkah laku yang dilakukan oleh manusia berdasarkan hal-
hal yang sesuai dengan moral tadi. Etika juga diartikan sebagai filsafat bidang
moral yang mengatur bagaimana manusia harus bertindak. Etika dan moral
ini memberi petunjuk tentang bagaimana cara hidup dengan baik. Dimana
petunjuk ini biasanya bersumber dari agama dan kebudayaan tertentu.
Etika merupakan pengetahuan moral dan susila, falsafah hidup,
kekuatan moral, sistem nilai, kesepakatan, serta himpunan hal-hal yang
diwajibkan, larangan untuk suatu kelompok/masyarakat dan bukan
merupakan hukum atau undang-undang. Dan hal ini menegaskan bahwa
moral merupakan bagian dari etik, dan etika merupakan ilmu tentang moral
5
Muhammad Mufid, Etika dan Filsafat Komunikasi, Ed. I (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2009), h.180.
sedangkan moral satu kesatuan nilai yang dipakai manusia sebagai dasar
prilakunnya.
c. Hubungan Etika dengan Filsafat
Etika mempunyai keterkaitan yang sangat erat dari filsafat. Karena
secara umum etika merupakan bagian dari pembahasan filsafat, bahkan
merupakan salah satu cabang dari filsafat. Berbicara tentang filsafat, pertama-
tama yang harus di bedakan adalah bahwa filsafat tidak selalu diartikan
sebagai ilmu. Filsafat juga dapat berarti pandanagan hidup. Sebagai ilmu,
filsafat merupakan proses yang harus bergulir dan tidak pernah mengenak
kata selesai. Sebaliknya filsafat sebagai pandangan hidup merupakan suatu
produk (nilai-nilai atau sistem nilai) yang diyakini kebenarannya dan dapat
dijadikan pedoman berperilaku oleh suatu individu atau masyarakat. Etika
sering juga dikatakan sebagai pemikiran filosofis tentang apa yang dianggap
baik atau buruk dalam perilaku manusia yang mengandung suatu tanggung
jawab.
Filsafat adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang berfungsi sebagai
interpretasi tentang hidup manusia. Etika merupakan bagian dari filsafat,
yaitu filsafat moral. Filsafat moral adalah cabang dari filsafat tentang
tindakan manusia. Kesimpulannya yaitu suatu ilmu yang mempelajari
perbuatan baik dan buruk manusia berdasarkan kehendak dalam mengambil
keputusan yang mendasari hubungan antar sesama manusia.6
D. Objek-Objek Kajian Etika
Kajian etika adalah moralitas manusia. Sebelumnya telah disinggung
pula, bahwa satuan dari moralitas itu adalah moral. Moral sendiri merupakan
salah satu norma sosial (social norms), atau meminjam istilah Hens Kelsen,
moral adalah regulation of internal behavior. Jika moral merupakan suatu
norma, maka dapat dipastikan moral mengandung nilai-nilai karena norma
adalah konkretisasi dari nilai. Setiap tingkah laku atau perbuatan manusia
yang pasti berkaitan dengan norma atau nilai etis yang berlaku di masyarakat,
sehingga dapat dikatakan bahwasannya tingkah laku manusia itu, baik yang
dapat diamati secara langsung maupun tidak, dapat dijadikan sebagai bahan
tinjauan, tempat penilaian terhadap norma yang berlaku di masyarakat.
Perbuatan menjadi obyek ketika etika mencoba atau menerapkan teori nilai.
Perpaduan antara nilai dengan perbuatan sebagai pelaksanaannya
menghasilkan sesuatu yang disebut moral atau kesusilaan. Perbuatan yang
dapat dihubungkan dengan nilai etis adalah:
1. Perbuatan oleh diri sendiri baik dalam keadaan sadar maupun tidak.
2. Perbuatan oleh pengaruh orang lain bisa berupa saran, anjuran,
nasehat, tekanan, paksaan, peringatan, ataupun ancaman7

6
Serlika Aprita, Etika Profesi Hukum, (Palembang), PT Refika Aditama, 2019, hlm.15
7
Ibid, Hlm.15
E. Profesi, Profesi Hukum, Kode Etik Profesi Hukum
a. Profesi
Profesi merupakan suatu pekerjaan tetap dalam kurun waktu yang
lama dengan didasarkan pada keahlihan khusus yang didapatkan dari hasil
pendidikan tertentu sesuai dengan profesi yang ditekuni, dalam menekuni
pekerjaan tersebut dilakukan dengan penuh tanggung jawab yang tujuannya
adalah untuk mendapatkan penghasilan. Orang yang melakukan profesi
disebut sebagai seorang professional.
Dalam menjalankan profesi maka seseorang harus memiliki sikap
profesionalisme di mana kepentingan pribadi harus dikesampingkan dan
mendahulukan kepentingan masyarakat yang membutuhkan. Dalam hal ini
maka selain tidak terlepas dari tujuan seseorang melakukan suatu profesi
yakni untuk mendapatkan penghasilan namun tidak boleh mengesampingkan
tujuan pengabdian diri terhadap masyarakat.
Seseorang dikatakan sudah professional apabila dalam mendapatkan
keilmuan mengenai keprofesionalannya tersebut didapatkan pada suatu
pendidikan khusus, melalui ujian-ujian dan telah mendapatkan izin berprofesi
sesuai dengan bidang tertentu sehingga dianggap layak untuk menjalankan
profesi tersebut.

b. Profesi Hukum
Profesi hukum merupakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara
professional dan berkaitan dengan hukum. Di mana dalam mendapatkan izin
untuk menjalankan profesi hukum haruslah menempuh pendidikan khusus
sesuai dengan jurusan atau konsentrasi profesi hukum yang diminati, karena
dalam profesi hukum sendiri terdapat beberapa macam pekerjaan. Misalnya
pengacara, seseorang dapat menjalankan profesi hukum sebagai seorang
pengacara apabila telah menempuh Pendidikan Khusus Profesi Advokat
(PKPA) diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
tentang Advokat, telah lulus Ujian Profesi Advokat (UPA) yang
diselenggarakan oleh organisasi advokat dalam hal ini adalah Peradi
(Perhimpunan Advokat Indonesia), tahap berikutnya yakni melaksanakan
kegiatan magang di kantor advokat minimal dua tahun secara berturut-turut
terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) huruf g UU Advokat, dan dalam Pasal 4 ayat
(1),(2), dan (3) UU advokat syarat terakhir adalah melakukan sumpah
advokat di Pengadilan Tinggi Negeri di wilayah domisili hukumnya dengan
usia minimal 25 tahun (Pasal 3 ayat (1) huruf d UU Advokat). Persayaratan di
sini harus terpenuhi semua apabila hendak menjalankan profesi di bidang
hukum sebagai seorang pengacara atau advokat. Contoh lain profesi hukum
adalah dalam bidang Kehakiman, Kejaksaan dan lain sebagainya.8

c. Kode Etik Profesi Hukum


Etika profesi hukum khusus ditujukan kepada profesi yang bergelut di
bidang hukum, utamanya Polisi, Jaksa, Hakim, Advokat dan Notaris untuk
menjaga dan mencegah terjadinya perbuatan menyimpang yang merugikan
8
Serlika Aprita, Etika Profesi Hukum, (Palembang), PT Refika Aditama, 2019, hlm.19
citra dan kehormatan profesi serta para pengguna profesi hukum tersebut.
Etika profesi hukum adalah akhlak yang mengatur kewajiban para anggota
profesi hukum (hakim, Jaksa, advokat dan notaris, dll) untuk berperilaku
yang dapat disetujui oleh orang-orang yang adil (that merit the approval of
just men). Profesi hukum yang bekerja berdasar hukum sebagai legalisasi
kekuasaannya, memiliki kekuasaan dan kewenangan yang dibenarkan untuk
bersikap dan berperilaku tertentu menurut hukum. Memiliki kewenangan
sebagai penghubung antara dua pihak yang bertikai, menjadi jembatan antara
pihakpihak tersebut dengan masyarakat, menimbang beragam kepentingan,
norma, dan nilai yang ada di dalam masyarakat.
Dewi Themis 9sebagai simbol keadilan digambarkan sebagai sosok
bersenjatakan pedang di satu tangan dan dacin (timbangan) di tangan lainnya.
Dacin melambangkan keadilan, sementara pedang melambangkan ketegasan
dalam menegakan kebenaran. Mata sang dewipun senantiasa tertutup,
menunjukkan sikapnya untuk tidak pilih kasih dalam mengambil keputusan.
Etika profesi hukum menuntut pengembannya memiliki rasa kepekaan
atas nilai keadilan dan kebenaran serta mewujudkan kepastian hukum bagi
pencapaian dan pemeliharaan ketertiban, keteraturan, kedamaian, dan
kesejahteraan masyarakat. Selain itu, berkewajiban selalu mengusahakan
dengan penuh kesadaran yang bermoral untuk mengetahui segala aturan
hukum yang dapat dipertanggung jawabkan.
Pengemban profesi hukum mutlak menjalankan profesi terhormat
tersebut dengan memiliki dan menjalankan dengan teguh tiga hal mendasar,
yaitu: Independen, Imparsial, dan Kompeten. Independen atau independensi
adalah salah satu etika profesi dalam menjalankan profesi. Independensi
secara harfiah dapat diartikan 'bebas', 'merdeka' atau 'berdiri sendiri.
Independensi adalah proteksi yang berbasis pada kepercayaan
terhadap manusia penyandang kewenangan kekuasaan kehakiman yang harus
dilindungi dari kemungkinan intervensi oleh siapapun darimanapun agar
dapat menjalankan kekuasaannya dengan baik dan benar.

9
Themis berarti hukum alam. Dewi Themis berasal dari mitologi Yunani yang
meyakini bahwa Themis adalah salah seorang Titan wanita yang memiliki hubungan dekat
dengan Zeus. Ia memiliki Anak Horai dan Astraia dari Zeus. Ia juga ada di Delos untuk
menyaksikan kelahiran Apollo. Ia adalah tubuh dari aturan, hukum, dan adat (baca
Wikepedia)

Anda mungkin juga menyukai