Anda di halaman 1dari 5

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Nama : Joy Elvin Giovanni


NIM : 1403620083
Kelas : Pendidikan Sejarah A
Mata Kuliah : Sejarah Intelektual
Tugas : Ujian Akhir Semester (UAS)

1) “… bahwa ilmu sosial maupun kebudayaan merupakan unsur penting dalam strategi
rekayasa sosial yang dijalankan pada era Orde Baru.”
2) “ Ilmu-ilmu sosial dianggap tidak mungkin bersikap netral terhadap suatu masyarakat
yang hendak dijelaskannya”
3) “Mengapa ada pemikiran sosial yang tidak signifikan (bermakna, penting) secara
intelektual tetapi ternyata sangat signifikan secara sosial”
4) Mengapa perlu adanya suatu kritik kebudayaan sehingga kebudayaan perlu untuk dikritik,
terkait adanya nilai-nilai positif dan negatif yang dapat disalahgunakan. Beri contoh!

Jawaban!

1) Pada era Orde Baru di Indonesia, ilmu sosial dan kebudayaan memainkan peran penting
dalam strategi rekayasa sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah Orde Baru
mengadopsi pendekatan yang melibatkan ilmu sosial dan kebudayaan untuk
mengendalikan dan mengarahkan masyarakat. Pemerintah menggunakan ilmu sosial,
seperti sosiologi dan antropologi, untuk memahami struktur sosial dan kehidupan
masyarakat. Dengan pemahaman ini, pemerintah dapat merencanakan program-program
yang dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Misalnya, program-program
pembangunan infrastruktur dan pengembangan ekonomi yang dirancang untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial.
Selain itu, pemerintah juga menggunakan kebudayaan sebagai alat dalam rekayasa sosial.
Kebudayaan dianggap sebagai sarana untuk menyatukan masyarakat, memperkuat
identitas nasional, dan memperkuat kekuasaan pemerintah. Pemerintah Orde Baru
mempromosikan konsep "Pancasila" sebagai ideologi negara yang harus dipegang oleh
seluruh warga negara. Hal ini dilakukan melalui pendidikan nasional, media massa, dan
program-program kebudayaan yang mengedepankan nilai-nilai Pancasila.
Namun, strategi rekayasa sosial pada era Orde Baru juga sering dikritik karena adanya
pembatasan kebebasan berpendapat dan otoritarianisme dalam pengendalian masyarakat.
Pemerintah Orde Baru dikenal karena pengawasan yang ketat terhadap media dan kegiatan
politik, serta penindasan terhadap oposisi politik dan gerakan masyarakat sipil. Penting
untuk dicatat bahwa pendapat mengenai era Orde Baru dan strategi rekayasa sosial yang
dilakukan bisa beragam. Beberapa orang mungkin melihatnya sebagai upaya untuk
memajukan negara, sementara yang lain mengkritik pembatasan kebebasan dan
otoritarianisme yang melekat dalam pendekatan tersebut.
Salah satu referensi yang dapat digunakan adalah buku "The Politics of Culture in
Indonesia" (Politik Kebudayaan di Indonesia) yang ditulis oleh Jennifer Lindsay. Buku ini
membahas tentang interaksi antara kekuasaan politik dan kebudayaan dalam konteks
Indonesia, termasuk pada era Orde Baru. Penulis menganalisis bagaimana pemerintah Orde
Baru menggunakan kebudayaan sebagai alat dalam strategi rekayasa sosial untuk
memperkuat kekuasaannya. Buku ini memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang
peran ilmu sosial dan kebudayaan dalam konteks tersebut.

2) Menurut saya benar, bahwa dalam dunia ilmu sosial, terdapat pemahaman yang luas bahwa
ilmu-ilmu sosial tidak mungkin sepenuhnya netral ketika mempelajari dan menjelaskan
suatu masyarakat. Ilmu sosial melibatkan pengamatan, analisis, dan interpretasi tentang
manusia, masyarakat, dan interaksi sosial. Beberapa alasan mengapa ilmu-ilmu sosial
dianggap tidak mungkin bersikap netral adalah sebagai berikut:
1. Konteks dan Kepentingan: Setiap penelitian ilmu sosial dilakukan dalam suatu
konteks tertentu, dan peneliti memiliki kepentingan yang mendasari penelitian
mereka. Kepentingan ini bisa berupa keinginan untuk memahami, mengubah, atau
memperbaiki masyarakat yang diteliti. Kepentingan ini dapat mempengaruhi cara
penelitian dilakukan, pertanyaan penelitian yang diajukan, serta interpretasi dan
presentasi data.
2. Konstruksi Sosial Pengetahuan: Pengetahuan dalam ilmu sosial bukanlah entitas
yang objektif, tetapi hasil dari proses konstruksi sosial.
3. Bias dan Perspektif: Peneliti sosial tidak mungkin bebas dari bias dan perspektif
yang membentuk pandangan mereka tentang dunia. Latar belakang pribadi, sosial,
budaya, dan pendidikan peneliti dapat mempengaruhi cara mereka memandang dan
memahami fenomena sosial.
4. Etika dan Tanggung Jawab Sosial: Ilmu sosial seringkali memiliki implikasi etis
dan tanggung jawab sosial yang harus dipertimbangkan. Peneliti seringkali
berhadapan dengan pertanyaan etis terkait privasi, kerahasiaan, dan kesejahteraan
partisipan penelitian. Mereka juga harus mempertimbangkan dampak sosial dan
implikasi kebijakan dari temuan penelitian mereka.
Namun, meskipun ilmu sosial tidak dapat sepenuhnya netral, para peneliti berusaha untuk
meminimalkan bias dan subjektivitas sebanyak mungkin melalui pendekatan ilmiah yang
objektif, metode penelitian yang ketat, dan analisis kritis. Selain itu, adanya prinsip
transparansi, replikabilitas, dan pemikiran kritis dalam komunitas ilmu sosial
memungkinkan penelitian yang lebih akurat dan objektif. Penting untuk diingat bahwa
ketidaknetralan ilmu sosial juga dapat menghasilkan berbagai perspektif yang beragam,
memperkaya pemahaman kita tentang masyarakat dan fenomena sosial yang kompleks.

3) Pemikiran sosial yang tidak signifikat secara intelektual dapat muncul karena berbagai
faktor, termasuk perbedaan nilai, kepercayaan, dan prioritas individua tau kelompok
tertentu. Adanya perbedaan nilai dan prioritas, Pemikiran sosial yang mungkin tidak
signifikan secara intelektual bagi sebagian orang mungkin berasal dari perbedaan dalam
hal apa yang dianggap penting atau bermakna. Misalnya, hal-hal yang mungkin dianggap
sebagai "gossip" atau informasi sehari-hari yang tidak relevan oleh beberapa orang, dapat
menjadi signifikan bagi orang lain karena membantu mereka membangun hubungan sosial
atau memenuhi kebutuhan emosional. onteks sosial dan budaya memiliki peran penting
dalam menentukan makna dan signifikansi suatu pemikiran sosial. Pemikiran atau ide yang
mungkin tampak tidak signifikan secara intelektual dalam satu budaya atau masyarakat
tertentu, bisa sangat penting dalam konteks budaya atau masyarakat lain. Nilai, norma, dan
tradisi yang berbeda dalam berbagai kelompok sosial dapat membentuk persepsi tentang
apa yang dianggap signifikan secara sosial. Dalam konteks tertentu, pemikiran sosial yang
tampak tidak signifikan secara intelektual dapat menjadi signifikan karena mereka
mencerminkan atau memberikan tanggapan terhadap masalah atau keadaan sosial yang
spesifik. Masyarakat yang mengalami ketidakadilan, ketegangan sosial, atau perubahan
drastis dapat mencari pemahaman dan solusi dalam gagasan yang mungkin tidak memiliki
dasar intelektual yang kuat.

4) Kritik terhadap kebudayaan penting karena membantu mengidentifikasi dan memahami


nilai-nilai positif dan negatif yang ada dalam suatu kebudayaan serta potensi
penyalahgunaan yang mungkin terjadi. Berikut ini beberapa alasan mengapa kritik
kebudayaan perlu dilakukan:
1. Memahami Kebutuhan Perubahan: Melalui kritik kebudayaan, kita dapat
mengidentifikasi aspek-aspek kebudayaan yang mungkin perlu diperbaiki atau
diubah untuk memenuhi kebutuhan sosial, moral, atau etis yang berkembang. Kritik
membantu kita memahami apakah nilai-nilai atau praktik kebudayaan yang ada
masih relevan atau membutuhkan penyesuaian dengan tuntutan zaman.
2. Menghindari Penyalahgunaan: Kebudayaan dapat disalahgunakan atau
dimanipulasi untuk mencapai tujuan yang tidak etis atau merugikan. Kritik
kebudayaan membantu kita mengenali potensi penyalahgunaan dan mengekspos
praktik-praktik yang merugikan atau yang tidak sejalan dengan nilai-nilai
kemanusiaan, keadilan, atau kesetaraan.
3. Mempromosikan Pertumbuhan dan Perubahan: Kritik kebudayaan dapat
merangsang pertumbuhan dan perubahan dalam suatu kebudayaan. Dengan
mengidentifikasi kelemahan atau masalah dalam nilai-nilai atau praktik
kebudayaan, kita dapat mendorong diskusi, refleksi, dan pembaruan yang dapat
membawa perubahan positif dalam kehidupan sosial dan budaya.
4. Membangun Kesadaran Kritis: Kritik kebudayaan memainkan peran penting
dalam membangun kesadaran kritis di dalam masyarakat. Hal ini melibatkan
kemampuan individu untuk melihat kebudayaan mereka dengan objektivitas,
menggali lebih dalam, dan mengajukan pertanyaan kritis terhadap praktik dan
nilai-nilai yang ada. Kesadaran kritis memungkinkan kita untuk lebih aktif dalam
membentuk kebudayaan kita sendiri dan berkontribusi pada perubahan yang
positif.
Contoh konkret kritik kebudayaan adalah dalam hal norma-norma patriarki yang masih
ada dalam banyak kebudayaan di seluruh dunia. Kritik terhadap norma-norma ini
membantu mengidentifikasi ketimpangan gender, diskriminasi, dan penindasan yang
mungkin terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kritik ini memotivasi gerakan feminis dan
upaya untuk memperjuangkan kesetaraan gender, mengubah pandangan dan praktik yang
merugikan perempuan, serta mempromosikan perubahan sosial yang lebih inklusif dan
adil. Penting untuk diingat bahwa kritik kebudayaan bukan berarti menolak atau
mengabaikan nilai-nilai dan praktik yang positif dalam kebudayaan. Sebaliknya, kritik
kebudayaan memungkinkan kita untuk lebih memahami kompleksitas kebudayaan kita
dan bekerja menuju perbaikan yang lebih baik sesuai dengan perkembangan zaman dan
tuntutan sosial.
Referensi : Fraser, N. (1997). Justice Interruptus: Critical Reflections on the
"Postsocialist" Condition. New York: Routledge. (Halaman 32-33)

Anda mungkin juga menyukai