Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Kajian Empirik

Penelitian yang dilakukan oleh Deggs (2011) tentang kontekstualisasi

hambatan yang dirasakan pembelajar dewasa dalam program sarjana

mengungkapkan tiga faktor penghambat partisipasi jenjang pendidikan tinggi pada

orang dewasa, yaitu 1) Penghambat Intrapersonal (Intrapersonal Barriers), 2)

Penghambat yang Berkaitan dengan Pekerjaan dan Karir (Career and Job-Related

Barriers), dan 3) Penghambat yang Berkaitan dengan Akademis (Academic-Related

Barriers). Berdasarkan penelitian Deggs, ditemukan bahwa penghambat yang paling

umum dari adalah manajemen waktu dan keuangan sebagai penghambat

intrapersonal, beban kerja dan dukungan yang kurang dari tempat kerja sebagai

penghambat yang berkaitan dengan pekerjaan dan karir, serta ketidakmampuan

untuk menggunakan teknologi penunjang akademis penghambat yang berkaitan

dengan akademis.

Hunter-Johnson dan Smith (2015) dalam penelitiannya mengenai faktor

penghambat partisipasi pembelajar dewasa pada pendidikan tinggi menyatakan

bahwa terdapat enam faktor yang menjadi penghambat utama partisipasi jenjang

pendidikan tinggi pada orang dewasa. Faktor-faktor tersebut yaitu keuangan

(financial), keluarga (family), pekerjaan (work), manajemen waktu (time

management), psikososial (psychosocial) dan institusional (institutional). Selain itu,

demi mendukung kesuksesan menempuh pendidikan tinggi diperlukan dukungan

dari keluarga (family), secara spiritual (spiritually), teman (friend) dan tempat kerja

(work).

6
7

Penelitian mengenai hubungan antara pendidikan dan motivasi dilakukan

oleh Sucipto (2016). Sucipto (2016) meneliti tentang pengaruh investasi pendidikan

terhadap motivasi. Dalam penelitiannya Sucipto menggunakan teori motivasi dari

Maslow (1943) yang menghipotesiskan bahwa dalam diri setiap manusia terdapat

lima tingkatan kebutuhan, yaitu kebutuhan fisiologis, kebutuhan

keamanan/keselamatan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan, dan

kebutuhan akan aktualisasi diri.

O’connor (2013) dalam penelitiannya mengenai motivasi yang menentukan

partisipasi jenjang pascasarjana mengemukakan bahwa motivasi tersebut didasari

oleh keinginan untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan tersebut yaitu Kebutuhan

Pribadi (Personal Needs), Kebutuhan Profesional (Professional Needs), dan

Kebutuhan Karir (Career Needs). Kebutuhan pribadi mengacu pada pengembangan

diri yang dilakukan dengan cara menempuh pendidikan yang lebih tinggi dalam

rangka memenuhi kebutuhan pencapaian. Kebutuhan profesional meliputi

kebutuhan untuk selalu mengikuti perkembangan dan membentuk pengetahuan

profesional dalam rangka menjawab tantangan di dunia kerja. Kebutuhan karir

meliputi pada kebutuhan untuk mempertahankan pekerjaan yang dimiliki dan

kesempatan untuk mendapatkan posisi atau pekerjaan lain yang lebih baik.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Knutsen (2011) mengenai motivasi

dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi, ditemukan bahwa faktor ekstrinsik

(extrinsic motivation factors) dan intrinsik (intrinsic motivation factors) sebagai faktor

yang memotivasi orang dewasa yang bekerja untuk melanjutkan pendidikan yang

lebih tinggi. Hasil penelitian Knutsen menunjukkan bahwa meningkatkan

kesempatan kerja, memenuhi tujuan professional, membuat pekerjaan lebih aman,


8

dan meningkatkan penghasilan merupakan faktor-faktor utama dari motivasi

ekstrinik. Sedangkan, faktor-faktor utama dari motivasi instrinsik adalah memajukan

pertumbuhan pribadi, mengembangkan potensi, memenuhi tujuan pribadi, dan

memperkayakan hidup.

Rangkuman dari beberapa penelitian yang telah diuraikan diatas adalah

sebagai berikut:
9

Tabel 2.1 Mapping Penelitian Terdahulu


No Judul Penelitian Metode Hasil/Kesimpulan
1. Contextualizing the Metode Tiga faktor penghambat partisipasi jenjang pendidikan
Perceived Barriers of Kualitatif tinggi pada orang dewasa, yaitu
AdultLearners in an 1) Penghambat Intrapersonal (Intrapersonal
Accelerated Barriers)
Undergraduate Degree 2) Penghambat yang Berkaitan dengan Pekerjaan
Program dan Karir (Career and Job-Related Barriers)
(David Deggs, 2011) 3) Penghambat yang Berkaitan dengan Akademis
(Academic-Related Barriers)
2. Yes I Need Help! A Day in Metode Terdapat enam faktor yang menjadi penghambat
the Journey of Adult Kualitatif utama partisipasi jenjang pendidikan tinggi pada
Learners Pursuing Higher orang dewasa. Faktor-faktor tersebut yaitu keuangan
Education: ACaribbean (financial), keluarga (family), pekerjaan (work),
Perspective manajemen waktu (time management), psikososial
(Yvonne Hunter-Johnson& (psychosocial) dan institusional (institutional). Selain
Sharlene Smith, 2015) itu, dalam mendukung kesuksesan menempuh
pendidikan tinggi diperlukan dukungan dari keluarga,
secara spiritual, teman dan tempat kerja.
3. Analisis Pengaruh Metode Investasi pendidikan berpengaruh terhadap motivasi.
Investasi Pendidikan Wajib Kunatitatif Pendidikan dianggap memberikan banyak manfaat
Belajar 12 Tahun seperti kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja,
Terhadap Kesejahteraan efisiensi konsumsi dan tambahan penghasilan.
Ekonomi Melalui Sehingga orang tua siswa termotivasi untuk
Lingkungan Keluarga, menyekolahkan anak-anak mereka.
Motivasi, dan Rasionalitas
Orang Tua Siswa
SMA/SMK di Kabupaten
Kotabaru Kalimantan
Selatan. (Sucipto, 2016)
4. Motivations Surrounding Metode Motivasi yang menentukan partisipasi jenjang
the Pursuit of Kualitatif pascasarjana didasari oleh keinginan untuk memenuhi
Postgraduate Study kebutuhan. Kebutuhan tersebut yaitu Kebutuhan
(Claire O’Connor, 2013) Pribadi (Personal Needs), Kebutuhan Profesional
(Professional Needs), dan Kebutuhan Karir (Career
Needs).
5. Motivation to Pursue Metode Motivasi menempuh pendidikan yang lebih tinggi
Higher Education Kuantitatif dibagi menjadi dua, yaitu:
(David W. Knutsen, 2011) 1) Faktor ekstrinsik (extrinsic motivation factors)
meliputi meningkatkan kesempatan kerja,
memenuhi tujuan professional, membuat
pekerjaan lebih aman, dan meningkatkan
penghasilan.
2) Faktor intrinsik (intrinsic motivation factors)
meliputi memajukan pertumbuhan pribadi,
mengembangkan potensi, memenuhi tujuan
pribadi, dan memperkayakan hidup.
Sumber: Data diolah, 2018

1.2 Kajian Teoritik

1.2.1 Pendidikan Tinggi

Sumber daya manusia yang berkualitas adalah sumber daya manusia yang

memiliki pengetahuan, kemampuan, keterampilan dan sikap yang baik dalam


10

bekerja. Sumber daya manusia juga mempunyai peranan penting dalam

menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Pendidikan tinggi merupakan salah kunci dalam meningkatkan kualitas Sumber

Daya Manusia (SDM) suatu negara. Pritchard & Roberts (2006:56) mengemukakan

bahwa pendidikan tinggi memberikan kualifikasi tingkat yang lebih tinggi untuk

orang-orang yang berusia di atas 18 tahun. Pendidikan tinggi juga memberikan

program gelar dan ijazah nasional yang lebih tinggi. Prospects (2002) dalam Gorard

(2007:1) mendefinisikan Pendidikan tinggi sebagai semua program dengan jangka

waktu satu tahun atau lebih, yang mengarah pada kualifikasi yang diberikan oleh

institusi pendidikan tinggi atau badan penghargaan nasional yang diakui secara luas.

McMahon (2009:129-130) menyimpulkan bahwa pendidikan tinggi

memberikan banyak keuntungan pribadi dan sosial. Salah satu keuntungan pribadi

yang didapatkan mahasiswa yang mengikuti pendidikan tinggi adalah meningkatkan

kualitas kehidupan mereka. Keuntungan pribadi jangka pendek dari mengikuti

pendidikan tinggi antara lain, mendapatkan pekerjaan dengan gaji awal yang lebih

baik dan mobilitas sosial. Selain itu, secara lebih luas, mengikuti pendidikan tinggi

dapat meningkatkan rasa bahagia, meningkatkan kesehatan, mengurangi

ketidaksamarataan dan mengurangi kemiskinan. McMahon (2009:182-184) juga

menyebutkan bahwa, semakin banyak masyarakat mengikuti pendidikan tinggi,

semakin mengingkat pula tingkat pengembalian sosial yang dihitung berdasarkan

pendapatan masyarakat termasuk pajak yang dibayarkan. Selain itu, pendidikan

tinggi juga memberikan konstribusi terhadap pertumbuhan pendapatan nasional.

Lebih lanjut lagi, Pritchard & Roberts (2006:59-60) juga mengungkapkan

bahwa tujuan jangka Panjang dari mendapatkan gelar pendidikan tinggi adalah
11

untuk memperbaiki prospek kerja. Selain itu, beberapa keuntungan dari

mendapatkan gelar pendidikan tinggi, antara lain:

1) Beberapa pekerjaan, misalnya, guru, dokter, pengacara, fisioterapis,

pustakawan, insinyur, arsitek, dan perawat, memerlukan kualifikasi tingkat yang

lebih tinggi dan tidak mungkin untuk memasuki profesi tersebut tanpa kualifikasi

ini.

2) Beberapa pekerjaan, yang sebelumnya tidak membutuhkan kualifikasi gelar,

seperti keperawatan dan terapi okupasi, sekarang meminta pelamar untuk

memiliki gelar.

3) Semua program gelar, apakah khusus untuk profesi tertentu atau tidak,

memberikan para mahasiswa dengan keterampilan yang dibutuhkan, seperti

kemampuan pemecahan masalah, kerja tim, pemikiran analitis dan kreatif dan

menggunakan inisiatif.

4) Pendidikan tinggi memungkinkan untuk menjelajahi subjek yang menarik secara

lebih mendalam daripada yang mungkin pernah lakukan di masa lalu.

5) Pendidikan tinggi meningkatkan kepercayaan diri dalam kemampuan untuk

belajar akademis dan membantu seseorang merasa lebih percaya diri tentang

mendapatkan pekerjaan yang memuaskan setelah lulus.

6) Terakhir, pendidikan tinggi memberikan tantangan pribadi bagi mahasiswa.

1.2.1.1 Pendidikan Tinggi di Indonesia

Menurut Moeliodihardjo (2014),Indonesia sedang memasuki tahap ekonomi

berbasis efisiensi, sehingga penelitian dan inovasi harus mengambil peran yang

lebih menonjol dalam pendidikan tinggi. Sistem pendidikan tinggi di Indonesia sangat

dipengaruhi oleh model Amerika (Anglo Saxon) kecuali di beberapa bidang seperti
12

pendidikan medis dan kejuruan di mana beberapa bentuk model Eropa (benua)

diadopsi. Sebelum mengadopsi model Amerika di akhir tahun 70-an, sistem Belanda

lama diterapkan di Indonesia.

Menurut UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti),

Pendidikan Tinggi merupakan bagian penting dari sistem pendidikan nasional yang

memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Pendidikan Tinggi diselenggarakan oleh satuan

pendidikan perguruan tinggi yang mendidik lulusan pendidikan menengah atas, baik

Sekolah Menengah Atas (SMA) maupun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Berdasarkan UU Dikti, bentuk perguruan tinggi terdiri atas akademi komunitas,

akademi, sekolah tinggi, politeknik, institut, dan universitas. Merujuk data PD Dikti

Kemenristekdikti tahun 2015, sekolah tinggi mendominasi 54 persen dari bentuk

Perguruan Tinggi (PT) yakni berjumlah 2.439 dari total 4.482 PT. Bentuk akademi

menempati peringkat kedua dengan jumlah 1.106 atau sekitar 25 persen dari total

PT. Universitas berada pada posisi ketiga dengan jumlah 548 atau 13 persen

(Kementerian Ristek Dikti RI, 2016).

Secara hukum, fungsi lembaga pendidikan tinggi digambarkan sebagai

tridharma, yang merupakan kewajiban masing-masing lembaga untuk memberikan

pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Lebih lanjut lagi, sistem

gelar pendidikan tinggi di Indonesia diklasifikasikan menjadi empat. Di bawah

Hukum Pendidikan Tinggi, sistem gelar terdiri dari gelar sarjana (S1), magister (S2)

dan doktor (PhD, atau S3) (akademik atau terapan) dan gelar profesional (misalnya

obat). Lama studi yang ditetapkan untuk gelar sarjana adalah empat tahun, dengan

dua tahun lagi untuk gelar master dan tiga tahun lagi untuk PhD. Di sisi kejuruan,
13

ada program yang mengarah ke diploma setelah satu hingga empat tahun studi (D1-

D4). Pada prinsipnya ada jalur fleksibel antara berbagai jenis pendidikan tinggi

sesuai dengan apa yang disebut sistem multi-entry, multi-exit (OECD, 2015:187).

Pendidikan Tinggi memiliki beberapa fungsi, sebagaimana disebutkan dalam

UU No. 12 Tahun 2012 Pasal 4 bahwa pendidikan tinggi memiliki 3 (tiga) fungsi

sebagai berikut:

1) Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

2) Mengembangkan Sivitas Akademika yang inovatif, responsif, kreatif, terampil,

berdaya saing, dan kooperatif melalui pelaksanaan Tridharma, dan

3) Mengembangkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan memperhatikan dan

menerapkan nilai Humaniora.

Selain memiliki fungsi, pendidikan tinggi juga memiliki beberapa tujuan.

Seperti halnya pengertian dan fungsi pendidikan tinggi, tujuan pendidikan tinggi juga

tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yaitu pada pasal

5. Dalam UU No. 12 Tahun 2012 pasal 5 tersebut disebutkan 4 (empat) tujuan

pendidikan tinggi, yaitu sebagai berikut:

1) Berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan

bangsa.

2) Dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau

Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing

bangsa.
14

3) Dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang

memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi

kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat

manusia.

4) Terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya

Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan

mencerdaskan kehidupan bangsa.

1.2.1.2 Pendidikan Tinggi dan Pengembangan SDM

Sumber daya manusia merupakan suatu aspek yang sangat penting bagi

keberlangsungan hidup dan perkembangan organisasi. Sumber daya manusia yang

berkualitas adalah sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, kemampuan,

keterampilan dan sikap yang baik dalam bekerja. Pendidikan dan pelatihan

berupaya mengembangkan kemampuan intelektual dan kepribadian pegawai. Oleh

karena itu setiap organisasi yang ingin berkembang harus benar-benar

memperhatikan pendidikan dan pelatihan pegawai sehingga dapat berpengaruh

terhadap peningkatan kinerja pegawai.

Siagian (2003:183-185) menyatakan bahwa terdapat banyak manfaat yang

dapat dipetik melalui penyelenggaraan program pelatihan dan pengembangan,

antara lain adalah:

a. Manfaat bagi perusahaan atau instansi

1) Peningkatan produktivitas kerja organisasi sebagai keseluruhan,

2) Terwujudnya hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan antara lain

karena adanya pendelegasian wewenang, interaksi yang didasarkan pada

sikap dewasa baik secara teknik maupun intelektual, saling menghargai,


15

dan adanya kesepatan bagi bawahan untuk berpikir dan bertindak secara

inovatif,

3) Terjadinya proses pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat

karena melibatkan seluruh pegawai yang bertanggungjawab

menyelenggarakan kegiatan-kegiatan operasional dan tidak sekedar

diperintahkan oleh para manajer,

4) Meningkatkan kesempatan kerja seluruh tenaga kerja dalam organisasi

dalam komitmen organisasional yang lebih tinggi,

5) Mendorong sikap keterbukaan manajemen melalui penerapan gaya

manajerial partisipatif,

6) Memperlancar jalannya komunikasi yang efektif yang pada gilirannya

memperlancar proses perumusan kebijaksanan organisasi dan

operasionalnya.

7) Penyelesaian konflik secara fungsional yang dampaknya adalah tumbuh

suburnya rasa persatuan dan suasana kekeluargaan dikalangan anggota

organisasi.

b. Manfaat bagi para pegawai

1) Membantu pegawai membuat keputusan lebih baik,

2) Meningkatkan kemampuan para pekerja menyelesaikan berbagai masalah

yang dihadapi,

3) Terjadinya internalisasi dan operasionalisasi faktor-faktor motivasi,

4) Timbulnya dorongan dalam diri para pekerja untuk terus meningkatkan

kemampuan kerjanya,

5) Peningkatan kemampuan pegawai untuk mengatasi stres, prustasi dan

konflik yang nantinya bisa memperbesar rasa percaya pada diri sendiri,
16

6) Tersedianya informasi tentang berbagai program yang dapat dimanfaatkan

oleh para pegawai dalam rangka pertumbuhan masing-masing secara

teknik maupun intelektual,

7) Meningkatnya kepuasan kerja,

8) Semakin besarnya pengakuan atas kemampuan seseorang,

9) Semakin besarnya tekad pekerja untuk lebih mandiri,

10) Mengurangi ketakutan menghadapi tugas baru dimasa depan.

Menurut Noe dkk (2010:526), pengembangan sumber daya manusia dapat

dilakukan dengan empat pendekatan, yaitu pendidikan formal, penilaian, berbagai

pengalaman kerja, dan hubungan antar pribadi. Pritchard & Roberts (2006:10-12)

mengemukakan bahwa mengikuti pendidikan tinggi memberikan beberapa manfaat,

antara lain, 1) mendapatkan keterampilan baru; 2) mendapatkan pekerjaan; 3)

pengembangan diri dan intelektual; 4) rasa pencapaian; 5) meningkatkan rasa

percaya diri dan harga diri; 6) pembayaran (kompensasi) yang lebih baik; 7)

meningkatkan kepuasan kerja; dan 8) bertemu orang-orang baru.

1.2.1.3 Pendidikan Tinggi bagi Orang Dewasa

Banyak orang dewasa tidak memiliki kesempatan untuk belajar sebelumnya,

khususnya pada Pendidikan tinggi. Mereka mungkin berada di bawah tekanan untuk

mendapatkan pekerjaan pada usia dini atau mungkin memiliki keluarga untuk

dibiayai. Menurut Knowles dkk (2005:196-199), orang dewasa umumnya menjadi

siap untuk belajar ketika situasi kehidupan mereka menciptakan kebutuhan untuk

mengetahui. Orang dewasa umumnya lebih memilih pembelajaran yang berorientasi

pada pemecahan masalah, daripada belajar yang berpusat pada subjek. Lebih lanjut

lagi, Knowles dkk menambahkan bahwa orang dewasa cenderung lebih termotivasi
17

terhadap pembelajaran yang membantu mereka memecahkan masalah dalam

kehidupan mereka atau menghasilkan imbalan internal. Hal ini bukan berarti bahwa

imbalan eksternal (misalnya, kenaikan gaji) tidak memiliki relevansi, tetapi bahwa

kepuasan kebutuhan internal adalah motivator yang lebih kuat.

Pritchard & Roberts (2006:5-6) menyimpulkan bahwa banyak mahasiswa

dewasa mengidentifikasi tantangan pribadi sebagai faktor motivasi yang besar

dalam keputusan mereka untuk mengubah arah dan kembali belajar. Tantangan

untuk mengikuti program gelar dan mendapatkan kualifikasi dapat memberikan

dorongan signifikan bagi siapa saja yang sebelumnya kurang memiliki kepercayaan

diri. Wlodwski (1985 dalam Knowles dkk, 2005:199) berpendapat bahwa motivasi

orang dewasa untuk belajar mencakup empat faktor, yaitu: 1) Sukses. Orang

dewasa ingin menjadi pembelajar yang sukses; 2) Kemauan. Orang dewasa ingin

dapat memilih dalam pembelajaran mereka; 3) Nilai. Orang dewasa ingin belajar

sesuatu yang mereka anggap bernilai; dan 4) Kenikmatan. Orang dewasa ingin

merasakan pembelajaran itu sebagai hal yang menyenangkan.

1.2.2 Pengambat Partisipasi pada Pendidikan Tinggi

Banyak mahasiswa yang berumur mengatakan bahwa mereka berharap

mereka kuliah lebih awal dan tidak menunggu sampai nanti untuk memperoleh gelar

mereka. Kebanyakan dari mereka menghadapi hambatan, seperti kurangnya waktu

atau uang, yang menghalangi mereka untuk belajar. Pritchard & Roberts (2006:7)

mengemukakan bahwa bagi orang dewasa yang sudah bekerja kurangnya

kepercayaan diri dapat menjadi penghambat untuk belajar. Hal ini mungkin berarti

pekerjaan rutin yang telah menjadi membosankan dan yang mereka lakukan tidak

dihargai dengan baik. Sehingga, kepuasan kerja menjadi rendah dan keinginan
18

mereka untuk berubah yang dimotivasi oleh kebutuhan akan tantangan pribadi,

peningkatan kepercayaan diri, prospek pekerjaan, peningkatan gaji dan kepuasan

kerja menjadi rendah pula.

Lebih jauh lagi, Pritchard & Roberts (2006:17-23) menguraikan hambatan-

hambatan untuk berpartisipasi pada pendidikan tinggi, antara lain:

1) Kesempatan untuk belajar yang terbatas. Banyak mahasiswa dewasa yang tidak

memiliki kesempatan untuk belajar setelah usia 16 tahun. Beberapa siswa

mungkin telah meninggalkan sekolah lebih awal. Mungkin ada tekanan untuk

meninggalkan sekolah dan mendapatkan pekerjaan untuk membantu keuangan

keluarga, atau mungkin tidak ada tradisi dalam keluarga untuk masuk ke

pendidikan tinggi atau melanjutkan pendidikan di atas usia 16 tahun.

2) Pengalaman terdahulu mengenai pendidikan. Bagi sebagian orang, sekolah

bukanlah hari yang paling membahagiakan dalam hidup mereka dan orang-

orang ini kemungkinan memiliki sedikit kenangan indah pada waktu itu. Ini bisa

untuk segala macam alasan seperti bullying, masalah keluarga, kurang percaya

diri atau takut gagal secara akademis. Semua ini memengaruhi pengalaman

pendidikan seseorang dan dapat membuat orang cemas untuk kembali belajar

jika pengalaman sebelumnya diulang.

3) Keterbatasan waktu. Hanya sedikit orang yang memiliki cukup waktu untuk

melakukan semua hal yang ingin mereka lakukan. Ini terutama jika individu

tersebut bekerja, memiliki keluarga dan kehidupan sosial.

4) Keterbatasan biaya. Memilih untuk mendapatkan suatu gelar memerlukan biaya

yang tidak sedikit.

5) Usia yang sudah tidak muda lagi menyebabkan sebagian orang dewasa ragu

untuk melanjutkan Pendidikan tinggi.


19

6) Kurang percaya atas kemampuan diri. Jika seseorang tidak belajar untuk

beberapa waktu tertentu, kemungkian orang tersebut merasa tidak yakin tentang

kemampuannya untuk belajar dan khawatir tentang mengatasi secara akademis.

7) Kecemasan akan perubahan. Beberapa orang secara aktif mencari perubahan

dalam hidup mereka sementara yang lain senang untuk melanjutkan dengan apa

yang mereka ketahui dan rasa aman dalam melakukannya. Kembali belajar akan

melibatkan perubahan dan mungkin sebagian orang menganggap prospek itu

menakutkan.

8) Keterbatasan kemampuan computer. Kebanyakan orang dewasa mungkin

merasa kurang yakin tentang kemampuannya untuk menggunakan teknologi

informasi (TI).

9) Keluarga dan teman-teman. Beberapa orang mungkin menghadapi penolakan

dari keluarga dan teman-teman jika mereka tidak ikut serta dalam pengambilan

keputusan atau jika mereka merasa tidak yakin tentang implikasinya.

10) Kecemasan akan tugas esai dan ujian. Kebanyakan orang dewasa merasa

khawatir tentang menulis esai dan ujian terutama jika mereka belum

melakukannya untuk jangka waktu yang lama.

Cross (1981) dalam Findsen & Formosa (2011:123-124) menyebutkan

tipologi pengahambat partisipasi dalam pendidikan tinggi, yaitu:

1) Situasional: hambatan-hambatan ini berhubungan dengan keadaan yang dialami

oleh seseorang pada waktu tertentu seperti krisis kehidupan, kesehatan yang

buruk, harus merawat kerabat yang sakit, tidak memiliki transportasi yang

memadai, dan tidak dapat menghadiri kelas malam.

2) Kelembagaan: hambatan ini (tidak sengaja) dibuat oleh organisasi pembelajaran

yang berfungsi untuk mengecualikan kelompok tertentu. Hambatan


20

kelembagaan terus ada dan relatif mudah untuk diperbaiki jika ada kemauan

untuk melakukannya. Misalnya, lingkungan fisik yang tidak sesuai dapat diubah

dalam banyak kasus sementara biaya yang terlalu mahal terkadang dapat

dikurangi untuk warga senior.

3) Informasional: kegagalan organisasi pembelajaran untuk mengkomunikasikan

dengan benar peluang belajar yang ditawarkan. Kendala informasi kadang-

kadang dapat diperbaiki oleh pemasaran yang lebih cerdik tetapi secara aktif

melibatkan pelajar yang lebih tua dalam pengembangan program dapat

membantu dalam proses penyebaran informasi di antara rekan-rekan.

4) Psikososial: hal ini adalah keyakinan disposisional atau sikap, persepsi, nilai

yang menghambat partisipasi seseorang. Terapat banyak pesan di masyarakat

(misalnya melalui media) yang menandakan bahwa belajar di kemudian hari

mungkin tidak sesuai seperti “orang yang telah berumur akan sulit menerima

pelajaran baru”.

Hambatan-hambatan ini beroperasi untuk mengekang partisipasi sehingga

menambah kesulitan bagi seorang individu. Dalam penelitian ini, faktor-faktor

penghambat partisipasi dalam pendidikan tinggi dibagi atas dua, yaitu penghambat

intrapersonal (Intrapersonal Barriers) dan penghambat yang berkaitan dengan

pekerjaan dan karir (Career and Job-Related Barriers).

1.2.2.1 Penghambat Intrapersonal

Faktor penghambat intrapersonal merupakan penghambatan yang berkaitan

dengan individu. Deggs (2011) mengungkapkan bahwa ketidakmampuan untuk

mengatur waktu dan keterbatasan keuangan merupakan hambatan-hambatan

intrapersonal. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Hunter-Johnson dan Smith


21

(2015) yang menyatakan bahwa keuangan atau kekurangan dana adalah inhibitor

yang mempengaruhi partisipasi pada pendidikan yang lebih tinggi. Pritchard &

Roberts (2006:71) mengemukakan bahwa membiayai kuliah bukanlah hal yang

mudah. Kenyataannya adalah mengikuti program gelar akan mempengaruhi

keuangan seseorang. Banyak mahasiswa dewasa harus mengurangi jam kerja

mereka, atau berhenti bekerja sama sekali, saat mereka belajar dan ini jelas akan

berdampak pada pendapatan rumah tangga mereka. Sebagian besar mahasiswa

merasa bahwa mereka perlu melakukan kerja paruh waktu ketika mereka belajar

untuk mendapatkan gelar.

Hunter-Johnson dan Smith (2015) menyimpulkan bahwa seni

menyeimbangkan waktu adalah keterampilan yang sulit diperoleh. Sebagian besar

mahasiwa dewasa karena peran sosialnya masing-masing, keluarga dan komitmen

kerja merasa sangat sulit untuk mengatur waktu mereka sambil mengejar pendidikan

tinggi. Kurangnya manajemen waktu memiliki dampak yang signifikan terhadap

penyelesaian tugas, nilai, pertemuan proyek yang semuanya terkait langsung

dengan pendidikan tinggi. Menurut Pritchard & Roberts (2006:18), hanya sedikit

orang yang memiliki cukup waktu untuk melakukan semua hal yang ingin mereka

lakukan. Hal ini terutama jika individu tersebut bekerja, memiliki keluarga dan

kehidupan sosial. Solusi dari masalah ini adalah menggunakan waktu seefektif dan

seefisien mungkin, mempersiapkan secara menyeluruh sebelum berpartisipasi pada

program gelar tertentu, memperbaharui keterampilan belajar, dan meminta

dukungan dan bantuan dari keluarga dan teman-teman.

1.2.2.2 Penghambat yang Berkaitan dengan Pekerjaan dan Karir


22

Deggs (2011) mengungkapkan bahwa beban kerja dan dukungan yang

kurang dari tempat kerja merupakan faktor penghambat yang berkaitan dengan

pekerjaan dan karir. Menurut Hunter-Johnson dan Smith (2015) faktor pekerjaan

dapat menjadi faktor yang menghabat partisipasi seseorang untuk memperoleh

gelar. Sangat sulit untuk menyeimbangkan pekerjaan yang dijadwalkan dengan

jadwal kuliah, juga menyeimbangkan tugas kerja dengan tugas kuliah. Lebih lanjut,

dalam beberapa kasus, sulit untuk mendapatkan cuti belajar, jam kerja fleksibel atau

rotasi karyawan untuk menghadiri kuliah. Situasi ini mengakibatkan peserta tidak

hadir kuliah, mengambil beban kuliah lebih sedikit yang mengakibatkan

perpanjangan dalam program mereka masing-masing atau harus berhenti kuliah.

Oleh karena itu, demi mendukung kesuksesan menempuh pendidikan tinggi

diperlukan dukungan dari tempat kerja.

1.2.3 Motivasi

Motivasi pada dasarnya adalah kondisi mental yang mendorong

dilakukannya suatu tindakan (action atau activities) dan memberikan kekuatan yang

mengarah kepada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan ataupun mengurangi

ketidakseimbangan. Menurut Pritchard & Roberts (2006:5-7), motivasi dapat

digambarkan sebagai ambisi atau keinginan untuk melakukan sesuatu. Maslow

(1943) mengemukakan bahwa motivasi adalah dorongan kerja yang timbul pada diri

seseorang untuk memenuhi kebutuhannya. Teori ini menitikberatkan pada faktor-

faktor dalam diri seseorang, yang menggerakan, mengarahkan, mendukung, dan

menghentikan perilaku. Maslow menghipotesiskan bahwa dalam diri setiap manusia

terdapat lima tingkatan kebutuhan, yaitu:


23

1) Kebutuhan fisiologis, termasuk lapar, haus, tempat berteduh, seks, dan

kebutuhan badaniah lainnya.

2) Kebutuhan rasa aman, termasuk keamanan dan perlindungan terhadap

gangguan fisik serta emosional.

3) Kebutuhan sosial, termasuk kasih sayang, penerimaan oleh masyarakat,

keanggotaan kelompok.

4) Kebutuhan penghargaan, termasuk harga diri, kemandirian, keberhasilan, status,

pengakuan, dan perhatian.

5) Kebutuhan akan aktualisasi diri, termasuk kemampuan berkembang,

kemampuan, kemampuan mencapai sesuatu, kemampuan mencukupi diri

sendiri.

Motivasi untuk mengejar pendidikan tinggi meningkat oleh hubungan yang

lebih besar antara proses pembelajaran dan aplikasi yang dirasakan dengan

kebutuhan peserta didik (Knowles, 1990 dalam Knutsen 2011). Banyak mahasiswa

dewasa mengidentifikasi tantangan pribadi sebagai faktor motivasi yang besar

dalam keputusan mereka untuk mengubah arah dan kembali belajar. Mendapatkan

gaji yang lebih baik dan keinginan untuk mendapatkan promosi di tempat kerja

merupakan faktor yang memotivasi untuk mengikuti pendidikan tinggi. Selain itu,

belajar untuk kesenangan merupakan faktor motivasi yang tidak bisa diabaikan.

beberapa orang mungkin tidak menginginkan promosi, perubahan arah atau untuk

membuktikan diri sendiri. Mereka mungkin hanya ingin mempelajari sesuatu yang

baru.

Motivasi untuk belajar merupakan keinginan dari peserta kegiatan untuk

mempelajari isi dari program pelatihan dan pengembangan. Motivasi untuk belajar

berhubungan dengan pengetahuan yang didapatkan, perubahan perilaku, maupun


24

pemerolehan keterampilan yang didapatkan dari pelatihandan pengembangan (Noe,

2010:115-116).Findsen & Formosa (2011:120) menyimpulkan tipologi dari peserta

didik berdasarkan pendapat Houle (1961), yaitu:

1) Peserta didik yang berorientasi pada tujuan yang menggunakan pendidikan

sebagai sarana untuk mencapai beberapa tujuan lain;

2) Peserta didik yang berorientasi aktivitas yang berpartisipasi dalam pendidikan

demi kegiatan itu sendiri dan interaksi sosial;

3) Peserta didik yang berorientasi pembelajaran yang mencari pengetahuan untuk

kepentingannya sendiri.

Motivasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi

ekstrinsik. Knutsen (2011) mengemukakan bahwa dalam menempuh pendidikan

yang lebih tinggi, faktor ekstrinsik (extrinsic motivation factors) dan intrinsik (intrinsic

motivation factors) sebagai faktor yang memotivasi orang dewasa yang bekerja

untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Motivasi intrinsik dipandang sebagai

bentuk motivasi positif atau diinginkan. Sedangkan, motivasi ekstrinsik biasanya

dilihat sebagai bentuk motivasi yang kurang diinginkan atau lebih lemah (Kember,

2012:22).

1.2.3.1 Motivasi Intrinsik

Menurut Kember (2012:22), motivasi intrinsik biasanya diartikan sebagai

motivasi melalui minat dalam tugas belajar yang dilakukan. Motivasi intrinsik adalah

pengakuan dari individu atas nilai kegiatan tertentu dan bahwa kegiatan itu sendiri

memuaskan. Motivasi tersebut berasal dari kesenangan atas kegiatan itu sendiri

sehingga orang yang termotivasi secara intrinsik tidak akan memerlukan imbalan

atau insentif eksternal untuk melakukannya. Oleh karena itu, seseorang termotivasi
25

secara intrinsik terlibat dalam kegiatan mengejar pendidikan tinggi untuk tujuan

kepuasan diri dan pemenuhan diri (Kolesnick, 1978 dalam Knutsen 2011).

O’connor (2013) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa motivasi untuk

berpartisipasi dalam pendidikan tinggi didasari oleh keinginan untuk memenuhi

kebutuhan. Kebutuhan tersebut yaitu kebutuhan tersebut salah satunya adalah

Kebutuhan Pribadi (Personal Needs). Kebutuhan pribadi mengacu pada

pengembangan diri yang dilakukan dengan cara menempuh pendidikan yang lebih

tinggi dalam rangka memenuhi kebutuhan pencapaian. Knutsen (2011)

menyimpulkan bahwa faktor-faktor utama dari motivasi instrinsik adalah memajukan

pertumbuhan pribadi, mengembangkan potensi, memenuhi tujuan pribadi, dan

memperkayakan hidup. Faktor motivasi intrinsic lain juga termasuk mendapatkan

teman, mencapai potensi seseorang, meningkatkan keterampilan sosial, atau

membuat perbedaan di dunia. Pada intinya, motivasi intrinsik didorong oleh tindakan

melakukan dan bukan oleh imbalan yang dicapai secara timbal balik. Penghargaan

fisik atau fisik bukanlah motivasi yang mendasar bagi individu yang termotivasi

secara intrinsik.

1.2.3.2 Motivasi Ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik mengacu pada motivasi yang diciptakan oleh rangsangan

eksternal. Agar termotivasi secara ekstrinsik, seseorang termotivasi untuk bertindak

berdasarkan sasaran atau imbalan eksternal terhadap perilaku itu sendiri. Tujuan

atau insentif ini adalah imbalan yang berfungsi sebagai motivasi untuk mencapai

tujuan tertentu (Kolesnick, 1978 dalam Knutsen 2011). Menurut Kember (2012:22),

motivasi ekstrinsik merupakan motivasi dilihat sebagai motivasi melalui penghargaan

atau faktor eksternal terhadap tugas. Dalam pendidikan tinggi, penghargaan


26

eksternal yang paling sering disebutkan adalah: gelar yang diperoleh, pekerjaan

yang dapat ditanggungnya, atau gaji yang dihasilkan dari pekerjaan.

Definisi tesebut ini sejalan dengan pendapat Knutsen (2011) yang

menyatakan bahwa meningkatkan kesempatan kerja, memenuhi tujuan professional,

membuat pekerjaan lebih aman, dan meningkatkan penghasilan merupakan faktor-

faktor utama dari motivasi ekstrinik. Senada dengan Knutsen, O’connor (2013)

menyatakan bahwa faktor dari luar yang dapat memotivasi partisipasi dalam

pendidikan tinggi yaitu Kebutuhan Profesional (Professional Needs), dan Kebutuhan

Karir (Career Needs). Kebutuhan profesional meliputi kebutuhan untuk selalu

mengikuti perkembangan dan membentuk pengetahuan profesional dalam rangka

menjawab tantangan di dunia kerja. Sedangkan, kebutuhan karir meliputi pada

kebutuhan untuk mempertahankan pekerjaan yang dimiliki dan kesempatan untuk

mendapatkan posisi atau pekerjaan lain yang lebih baik.

Cross (1981 dalam Knutsen, 2011) menyatakan bahwa perubahan yang

cepat di pasar telah menempatkan penekanan besar pada pembelajaran karena

pekerjaan secara konsisten dihilangkan, dimodifikasi, dan pekerjaan baru yang

diciptakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi global. Karena lingkungan yang

berubah cepat, belajar dan belajar kembali akan menjadi sangat penting di masa

depan. Menurut Heelan (2001 dalam Knutsen, 2011), penting bagi pekerja untuk

melek teknologi jika mereka ingin mengejar dan maju dalam karir mereka. Karena

permintaan pekerja yang sangat terlatih terus bertambah, pekerja akan

membutuhkan pendidikan yang lebih tinggi jika mereka ingin tetap kompetitif di

tempat kerja. Faktor ekstrinsik lain yang dapat memotivasi pekerja untuk mengejar

pendidikan tinggi meliputi, peningkatan pendapatan, keamanan kerja, kondisi kerja


27

yang lebih baik, perolehan barang-barang material, atau peningkatan kemampuan

untuk menabung untuk masa pensiun.

Anda mungkin juga menyukai