Anda di halaman 1dari 164

TEORI DAN PERENCANAAN

INSTALASI PENGOLAHAN AIR

Oleh :
Ir. Martin Darmasetiawan, MSc.
Literatur mengenai pengolahan air dalam
bahasa Indonesia sangat terbatas, diharapkan
buku ini membantu anda dalam menerapkan
metoda dan sistem perencanaan instalansi
pemgolahan air. Penyajiannya sangat praktis.
Pembahasan mengenai kondisi air baku yang
ada di Indonesia serta teori dan contoh soal
dalam perancangan unit operasi pengolahan air
disajikan secara sistematik dan mudah
dipahami.

Diterbitkan oleh :

ISBN 979-98486-1-X
TEORI DAN PERENCANAAN
INSTALANSI PENGOLAHAN AIR

Disusun oleh :
Ir. Martin Darmasetiawan, M.Sc

Diterbitkan oleh :
Ekamitra Engineering
Jakarta
Cetakan ke-1, 2004

Teori dan Perencanaan Instalansi Pengolahan Air


Disusun oleh : Ir. Martin Darmasetiawan, M.Sc
Diterbitkan oleh : Ekamitra Engineering, Jakarta
Daftar isi

Kata Pengantar
Daftar Isi

I PENDAHULUAN
I.1 Umum …………………………………. .....................................I-1
I.2 Klasifikasi Air Permukaan Di Indonesia...................................I-1
I.2.1 Air permukaan dengan kekeruhan tinggi.................................I-2
I.2.2 Air permukaan dengan kekeruhan rendah sampai sedang .....I-3
I.2.3 Air permukaan dengan kekeruhan yang sifatnya temporer .....I-3
I.2.4 Air permukaan dengan warna sedang sampai tinggi...............I-4
I.2.5 Air permukaan dengan kesadahan yang tinggi .......................I-4
I.2.6 Air permukaan dengan kekeruhan sangat rendah...................I-5
I.3 Jenis jenis Proses Pengolahan Air..........................................I-5
I.3.1 Pemisahan zat padat dari air baku secara kimiawi..................I-6
I.3.2 Pemisahan zat padat dari air baku secara gravitasi ................I-8
I.3.3 Pemisahan zat padat dari air baku dengan penyaringan.........I-9
I.3.4 Denfinfeksi untuk mencegah terjadinya kontaminasi air........I-10
I.4 Penerapan Strategi Pengolahan Air Menurut Jenis Air .........I-11
I.5 Sistematika Penulisan ..........................................................I-17

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air i


Daftar Isi

II KOAGULASI DAN FLOKULASI..............................................II-1


II.1 Umum....................................................................................II-1
II.2 Proses Koagulasi...................................................................II-2
II.2.1 Jenis bahan kimia koagulan...................................................II-2
II.2.2 Dosis pembubuhan koagulan.................................................II-4
II.2.3 Pengadukan dan kaitannya dengan penurunan konsentrasi..II-6
II.3 Mekanika Fluida Pengadukan..............................................II-10
II.4 Teknik Pengadukan .............................................................II-15
II.4.1 Umum .................................................................................II-15
II.4.2 Pengadukan Secara Hidrolis ...............................................II-16
II.4.3 Pengadukan secara mekanik...............................................II-36
II.4.4 Pengadukan Melalui Media..................................................II-42
II.4.5 Pengadukan Secara Pneumatik (dengan udara)..................II-44

III SEDIMENTASI ......................................................................III-1


III.1 Umum...................................................................................III-1
III.2 Pengendapan Diskrit ............................................................III-1
III.2.1 Umum...................................................................................III-1
III.2.2 Penyebaran Nilai Endap .......................................................III-4
III.3 Efisiensi Pengendapan .........................................................III-9
III.4 Pengedapan Flokulen (Klas 2)............................................III-10
III.5 Perencanaan Bak Pengendap ............................................III-15
III.5.1 Umum.................................................................................III-15
III.5.2 Bak Pengendap dengan Aliran Batch .................................III-15

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air ii


Daftar Isi
III.5.3 Bak pengendap dengan aliran kontinu................................III-16

IV FILTRASI ............................................................................. IV-1


IV.1 Umum.................................................................................. IV-1
IV.2 Media Filter.......................................................................... IV-2
IV.2.1 Tingkat Kebulatan (Sphericity) .......................................... IV-3
IV.2.2 Ukuran Butir dan Distribusinya .......................................... IV-4
IV.2.3 Perhitungan Persediaan (Stock) Pasir............................... IV-5
IV.3 Hidrolika Filtrasi ................................................................... IV-9
IV.3.1 Operasional....................................................................... IV-9
IV.3.2 Backwash........................................................................ IV-18
IV.4 Perancangan Filter ............................................................ IV-23

V CHLORINASI (KLORINASI) .................................................. V-1


V.1 Umum................................................................................... V-1
V.2 Chlorinasi ............................................................................. V-1
V.3 Metode Pembubuhan dengan Kaporit................................... V-5
V.3.1 Metode gravitasi ................................................................... V-5
V.3.2 Metode dosing proporsional.................................................. V-6

VI METODE PERENCANAAN PENGOLAHAN AIR BERSIH.... VI-1


VI.1 Umum ................................................................................. VI-1
VI.2 Kriteria Perencanaan ........................................................... VI-5

REFERENSI
LAMPIRAN

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air iii


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Umum

Secara umum air yang terdapat di alam yang dapat dikonsumsi oleh
manusia bersumber dari:
• air hujan
• air permukaan
• air tanah

Dari ketiga jenis sumber air di atas, yang dapat langsung di


konsumsi oleh manusia adalah air hujan dan air tanah dengan
kriteria tertentu. Sedangkan untuk air permukaan, yaitu air hujan
yang telah terendap di permukaan bumi selama beberapa lama,
tidak dapat dikonsumsi langsung karena:
• rentan terhadap penyakit yang dapat disebarkan melalui air
(water borne desease)
• dapat menyebabkan gangguan kesehatan, seperti penyakit
perut.
Hal ini secara hukum telah direfleksikan dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1990 Tanggal 6
Juni 1990 tentang Kualitas Air Golongan A, yang antara lain
menyebutkan beberapa karakteristik air permukaan, seperti tingkat
kekeruhannya tinggi dan sifat keasamannya yang rendah, jika
dikonsumsi secara langsung dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, sehingga perlu diolah terlebih dahulu sebelum
dikonsumsi oleh manusia.

1.2. Klasifikasi Air Permukaan Di Indonesia

Kontaminan utama terhadap air murni H20 adalah zat padat dengan
mineral-mineral yang terikut didalamnya. Sehingga apabila air
melalui permukaan tanah dengan tingkat organik yang tinggi, seperti
misalnya tanah gambut, maka kandungan organik akan tinggi.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I-1


BAB I : Pendahuluan

Demikian juga halnya jika air tercemar oleh limbah atau dipakai
sebagai perkembangbiakan makhluk hidup.
Secara visual, karakteristik dan metode pengolahan air umumnya
tergantung dari tingkat kekeruhannya. Klasifikasi karakteristik air
baku permukaan yang ada di Indonesia secara umum dapat
digolongkan sebagai berikut:
1. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan tinggi
2. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan rendah sampai sedang.
3. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang sifatnya temporer
4. Air permukaan dengan kandungan warna sedang sampai tinggi.
5. Air permukaan dengan kesadahan yang tinggi.
6. Air permukaan dengan kekeruhan sangat rendah.

Deskripsi lebih lanjut dari masing-masing golongan air permukaan di


atas, diuraikan dalam sub-sub bab berikut.

1.2.1. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang tinggi


Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang tinggi
merupakan air permukaan yang telah mengalir pada
permukaan tanah yang rentan terhadap erosi atau ditutupi
dengan vegetasi yang rendah kerapatannya. Sebagai contoh:
− Air irigasi dengan tingkat sedimen yang tinggi,
− Air Sungai Brantas dan Bengawan Solo di hilir pada saat
banjir atau dengan daerah aliran yang rentan terhadap
erosi tingkat vegetasi rendah.
− Air permukaan seperti Sungai Citarum di Jawa Barat,
yang umumnya telah melewati daerah aluvial (endapan
gunung api).
Air permukaan jenis ini umumnya terdapat di Pulau Jawa,
tetapi ada juga di wilayah lain seperti pada sistem aliran
sungai Walanae di Sulawesi Selatan.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I-2


BAB I : Pendahuluan

1.2.2. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang rendah


sampai sedang.
Air permukaan dengan tingkat kekeruhan rendah sampai
sedang merupakan air permukaan yang umumnya telah
stagnan di waduk atau di danau yang sedikit mengandung
gulma atau tanaman air. Air permukaan jenis ini sama seperti
air pada golongan yang pertama, hanya saja air permukaan
jenis ini telah mengalami pengendapan yang cukup lama di
suatu badan air dengan waktu tinggal yang cukup lama (lebih
dari 1 minggu). Contoh air permukaan jenis ini adalah:
− Air di Waduk Jatiluhur
− Air di Kedung Ombo
− Air di Danau Tempe
− Air di Waduk Gajahmungkur

1.2.3. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang sifatnya


temporer
Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang sifatnya
temporer merupakan air yang umumnya mengalir di atas
permukaan yang tertutup vegetasi yang cukup lebat dan
curam, sehingga pada waktu tidak turun hujan akan
dihasilkan air yang cukup jernih atau tidak keruh. Tetapi pada
waktu turun hujan, air menjadi keruh karena terjadi lonjakan
tingkat sedimen akibat erosi. Setelah terjadi hujan, debit air
akan meningkat tajam seiring dengan tingkat kekeruhannya.
Setelah selesai hujan, sekitar 2-3 jam kemudian, air kembali
ke aliran dasar base flow dan air kembali jernih. Kondisi
seperti inilah yang dinamakan kekeruhan yang sifatnya
temporer.

Air permukaan jenis ini umumnya terdapat pada air


permukaan di daerah pegunungan, dimana pada saat turun
hujan air akan mengalami kekeruhan sesaat, misalnya:
sungai-sungai di pegunungan daerah Sumatera, Sulawesi,
dan di daerah hulu atau pedalaman.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I-3


BAB I : Pendahuluan

1.2.4. Air permukaan dengan kandungan warna yang sedang


sampai tinggi.
Air permukaan dengan kandungan warna yang sedang
sampai tinggi merupakan air permukaan yang umumnya
mengalir pada daerah dengan tingkat humus atau gambut
yang tinggi, seperti di daerah rawa. Air permukaan jenis ini
umumnya mempunyai tingkat warna yang tinggi (diatas 30
PtCo), sebagai akibat dari terlarutnya zat tanin dari sisa sisa
humus di sekitarnya. Air permukaan jenis ini umumnya
bersifat asam, dengan kisaran pH antara 4 sampai dengan 7.
sebagai akibat dari proses mikroorganisme.
Sungai yang melewati area dengan tingkat humus atau
gambut yang tinggi, umumnya akan mempunyai tingkat
kekeruhan dan warna yang tinggi pula, misalnya :
− Sungai-sungai di Sumatera di pantai Timur
− Sungai-sungai di Papua di pantai Selatan
− Sungai-sungai di Pulau Kalimantan

1.2.5. Air permukaan dengan kesadahan yang tinggi.


Pada prinsipnya pengertian kesadahan adalah
terkontaminasinya air dengan unsur kation seperti Na, Ca,
Mg dsb. Di alam, kesadahan paling banyak dijumpai pada air
laut/air asin dan juga pada air tawar yang memiliki Ca dan Mg
dalam kadar yang tinggi (>200 ppm CaCO3), sehingga air
yang mengalir pada daerah batuan kapur akan mempunyai
tingkat kesadahan yang tinggi.
Kesadahan dapat dikatakan tinggi dan mulai berdampak
pada peralatan rumah tangga jika konsentrasinya di atas 100
mg/L CaCO3. Pada kesadahan di atas 300 mg/L, untuk
jangka panjang, akan berpengaruh pada manusia yang
mengkonsumsinya yaitu akan menyebabkan gangguan pada
ginjal, khususnya untuk manusia dengan ginjal yang lemah.
Ada dua jenis kesadahan yaitu kesadahan sementara dan
kesadahan tetap. Kesadahan sementara akan terendapkan di
pipa atau pada saat pemanasan air sedangkan kesadahan
tetap akan lebih permanen terdapat dalam air.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I-4


BAB I : Pendahuluan

1.2.6. Air permukaan dengan kekeruhan sangat rendah.


Air permukaan dengan kekeruhan sangat rendah dapat
dijumpai pada danau-danau yang masih belum tercemar atau
air yang baru saja keluar dari mata air. Danau-danau yang
masih belum tercemar dapat ditemui di pedalaman Sumatera,
Kalimantan dan Papua dimana kadar kekeruhannya dan
kandungan mineralnya sangat rendah. Selama vegetasi pada
daerah alirannya dapat dijaga maka kualitas air pada badan
air jenis ini dapat juga terjaga. Contohnya adalah :
− Danau Toba
− Danau Laut Tawar di Takengon
− Danau Sentani dsb.

1.3. Jenis-J enis Proses Pengolahan Air

Secara kimiawi, rumusan air baku dapat digambarkan sebagai


berikut :

H2O+X
Dimana :
X = Adalah kontaminan, yang dapat berupa:
− zat padat terlarut/suspendend solid untuk air golongan 1,2 dan 3
− Zat organik terlarut/suspendend solid untuk air golongan 4
− Ca dan Mg untuk air golongan 5

Semua jenis air di atas, perlu mengalami proses pemisahan X, untuk


dapat menjadi air yang layak dikonsumsi manusia. Proses
pemisahan dilakukan sampai X memenuhi kriteria untuk dapat
dikonsumsi. Kriteria ini telah disusun oleh Pemerintah dan dapat
dipakai sebagai patokan/acuan akhir dari suatu proses pengolahan
air (lihat tabel 1.1.).

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I-5


BAB I : Pendahuluan

Beberapa jenis proses pemisahan yang dapat dilakukan meliputi:


1. Pemisahan zat padat dari air baku secara kimiawi
2. Pemisahan zat padat dari air baku secara gravitasi
3. Pemisahan zat padat dari air baku secara penyaringan
4. Desinfeksi air untuk mencegah terjadinya kontaminasi air

1.3.1. Pemisahan zat padat dari air baku secara kimiawi


Air baku yang masih tetap keruh meski telah diendapkan
selama lebih dari satu jam atau lebih, mengindikasikan
bahwa dalam air tersebut masih terdapat koloid-koloid yang
melayang-layang, yang tidak akan mengendap. Dengan
kondisi seperti ini, efek gravitasi hanya sedikit atau hampir
tidak ada pengaruhnya terhadap proses pemisahan
kontaminan. Pemisahan kontaminan dari air baku jenis ini
lebih efektif dilakukan dengan cara kimiawi, yaitu dengan
menggunakan zat kimia.
Kriteria kualitas air yang dapat digunakan sebagai standar
atau acuan kualitas air yang aman untuk dikonsumsi adalah
standar kualitas air berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1990, seperti yang
tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 1.1 Batas Maksimum Parameter Fisika dan Kimia


menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 1990 (tentang Kualitas Air Golongan A)
Kadar
No Parameter Satuan Keterangan
Maksimum
A Fisika
1 Bau - Tdk Berbau
2 Rasa - Tdk Berasa
o o
3 Suhu C + 30 C
4 Kekeruhan NTU 5
5 Warna TCU 15
B Kimia
6 PH 6,5-8,5 Maks/minimum
7 Daya Hantar Listrik mµ/cm
8 Zat Padat mg/L 1000
9 Karbon Dioksida mg/L 0 Sebagai CO2
Bebas

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I-6


BAB I : Pendahuluan

Kadar
No Parameter Satuan Keterangan
Maksimum
10 Karbon Dioksida mg/L 0 Sebagai CO2
Agresif
11 Kesadahan mg/L 500 Sebagai CaCO3
12 Kalsium mg/L 75-200 Sebagai Ca
13 Magnesium mg/L 30-150 Sebagai Mg
14 Besi Total mg/L 0,1-1,0 Sebagai Fe
15 Mangan mg/L 0,1 Sebagai Mn
+
16 Amonium mg/L 0,0 Sebagai NH4
-
17 Nitrit mg/L 600 Sebagai NO2
18 Angka Permanganat mg/L 10,0 Sebagai KmnO4
-
19 Nitrat mg/L 10,0 Sebagai NO3
-
20 Klorida mg/L 600 Sebagai Cl
-
21 Sulfat mg/L 400 Sebagai SO4
2+
22 Kromium mg/L 0,05 Sebagai CrO6
23 Kadnium mg/L 0,005 Sebagai Cd
24 Timbal mg/L 0,1 Sebagai Pb
25 Tembaga mg/L 1,0 Sebagai Cu
Dengan menambahkan atau mencampurkan zat kimia ke
dalam air baku, maka akan terjadi proses koagulasi, yang
secara harfiah dapat diartikan sebagai proses pembekuan
atau penggumpalan. Secara kimia, koagulasi merupakan
proses destabilisasi muatan pada zat padat yang terlarut oleh
zat kimia koagulan sehingga zat padat tersebut menggumpal
dan dapat mengendap.
Pada prinsipnya zat kimia atau koagulan yang dapat dipakai
adalah semua unsur dengan kation bervalensi dua keatas,
dengan daya elektrolit yang kuat, misalnya : Fe, Al, Ba.
Yang umum dipakai adalah:
♦ Jenis Aluminium (Al) dan turunannya yaitu:
- Aluminium Sulfat atau tawas (Al3(SO4)2.18H2O) dan
- Poli Aluminium Clhoride (PAC)
♦ Jenis logam besi (Fe) yaitu :
- Fero Sulfat (Fe(SO4))
- Feri Chloride (FeCl3)
Setelah proses koagulasi akan terbentuk bintik-bintik flok
kecil, yang untuk dapat diendapkan dengan mudah perlu
dibesarkan atau dikelompokkan menjadi flok yang lebih
besar. Proses ini yang kemudian disebut sebagai proses
flokulasi.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I-7


BAB I : Pendahuluan

Penjelasan lebih lanjut mengenai proses koagulasi dan


flokulasi ini dapat dilihat pada bab berikutnya.

1.3.2. Pemisahan zat padat dari air baku secara gravitasi


Pemisahan zat padat dari air baku secara gravitasi dengan
pengendapan atau sedimentasi dapat dilakukan dengan dua
jenis proses yaitu :
• Batch atau paket tanpa mengalirnya air, dimana air
dibiarkan stagnan di suatu wadah pada jangka waktu
tertentu. Setelah air itu jernih atau kontaminan
terendapkan maka air kemudian dikeluarkan.
• Continue (kontinu), dimana air dialirkan melalui suatu
bejana atau bak dalam jangka waktu tertentu (mulai dari
air masuk sampai air keluar) sehingga memungkinkan
kontaminan yang ada di dalam air untuk mengendap.

Proses pengendapan pada suatu instalasi pengolahan air


umumnya merupakan proses yang kontinu. Hal ini
dimaksudkan agar pengolahan dapat dilakukan secara
berurutan dan kontinu pada suatu sistem aliran. Ada dua
jenis proses pengendapan yang dapat dilakukan yaitu:
• Pengendapan yang dilakukan sebelum proses koagulasi
atau biasa disebut sebagai proses prasedimentasi.
Proses prasedimentasi perlu dilakukan pada air baku
dengan tingkat sedimen yang tinggi. Dengan adanya
proses ini (yang dilakukan sebelum proses koagulasi)
maka akan terjadi pengurangan bahan kimia pada proses
koagulasi. Tetapi apabila kandungan sedimen pada air
baku tidak tinggi, misalnya untuk air jenis 2, maka proses
prasedimentasi hanya akan sedikit berpengaruh pada
proses koagulasi.
• Pengendapan yang dilakukan setelah proses koagulasi
atau biasa disebut proses sedimentasi.
Untuk mendapatkan proses sedimentasi yang baik, perlu
dibuatkan suatu reaktor atau bak sedimentasi dengan
memperhitungkan perilaku dari proses pengendapan
partikel atau flok.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I-8


BAB I : Pendahuluan

1.3.3. Pemisahan zat padat dari air baku secara penyaringan


(filtrasi).

Setelah dilakukan proses pengendapan/sedimentasi, air


diharapkan sudah jernih. Namun karena keluaran atau efluen
dari bak pengendap tetap masih mengandung partikel flok
yang belum terendapkan, maka perlu dilakukan penyaringan
dengan menggunakan suatu media penyaring. Media
penyaring yang umum dipakai adalah pasir dengan ukuran
tertentu. Ada dua jenis aliran air dalam proses penyaringan
yaitu :
• vertikal yaitu aliran air dari atas ke bawah atau sebaliknya
• horizontal yaitu air dialirkan secara horizontal

Jenis aliran yang umum dilakukan adalah jenis aliran vertikal


dari atas ke bawah, dengan pertimbangan kemudahan dalam
proses pencucian media penyaring.
Pada prinsipnya, proses yang terjadi dalam penyaringan atau
filtrasi adalah sebagai berikut :
1. Proses pengayakan, yaitu proses pemisahan partikel
yang lebih besar dari celah butir media penyaring.
2. Proses pengendapan flok atau partikel kecil diantara
butiran pasir
3. Proses flokulasi antar butir pasir
4. Proses biologis
Untuk dapat mengakomodasikan keempat proses ini, maka
kecepatan penyaringan perlu diatur dan dikendalikan
sedemikian rupa. Kecepatan penyaringan umumnya berkisar
antara 2 (L/dt)/m2 sampai 2,7 (L/dt)/m2. Penyaringan jenis ini
biasa disebut saringan pasir cepat.
Jika ruang antar butir penuh, media penyaring menjadi jenuh
dan tidak mampu meloloskan air baku lagi, sehingga media
penyaring tersebut perlu dicuci. Pencucian media penyaring
dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain:
• Penyemburan dengan udara
• Pencucian permukaan media penyaring
• Pencucian dengan aliran balik (backwash)

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I-9


BAB I : Pendahuluan

Setelah pencucian, media penyaring akan pulih kembali dan


dapat melakukan proses penyaringan kembali.

Penyaringan/filtrasi pada kecepatan yang sangat rendah


akan menghasilkan proses biologis pada permukaan media
penyaring, sehingga akan terjadi proses koagulasi secara
biologis di permukaan media yang kemudian dilanjutkan
dengan terjadinya proses flokulasi antara butir media.
Rendahnya kecepatan penyaringan akan mengakibatkan
flok-flok tersebut mengendap pada ruang antar butir dan
proses pengayakan. Secara keseluruhan, proses filtrasi
lambat ini dapat dikategorikan sebagai suatu replika dari
pengolahan lengkap yang terdiri dari:
• Koagulasi (secara biologis)
• Flokulasi
• Sedimentasi (antar butir)
• Filtrasi (pengayakan)

Filter lambat dapat digunakan sebagai pengolahan dengan


syarat kekeruhan yang masuk ke dalam media penyaring
cukup rendah (maksimum 50 mg/LSiO2). Kecepatan
penyaringan yang disyaratkan untuk filter lambat berkisar
pada 0.1-.0,3 (L/dt)/m2. Pencucian media filter lambat ini
dilakukan dengan cara membersihkan lapisan filter bagian
atas secara berkala. Hal ini dimaksudkan untuk
mengembalikan kapasitas koagulasi dari proses
mikrobiologis. Jenis penyaringan ini biasa disebut saringan
pasir lambat.

1.3.4. Desinfeksi air untuk mencegah terjadinya kontaminasi air


Setelah melalui proses filtrasi, air diharapkan sudah
memenuhi standar kualitas yang diharapkan. Untuk dapat
mempertahankan kondisi ini, terutama dari segi kontaminasi
biologis, maka selain air tersebut harus ditampung pada
reservoir yang bebas dari kontaminasi, perlu juga dilakukan
proses desinfeksi yaitu proses pembebasan air dari
kontaminasi mikrobiologis.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I - 10


BAB I : Pendahuluan

Proses desinfeksi umumnya dilakukan dengan menggunakan


larutan zat kimia reaktif, yang sifatnya dapat mengoksidasi
kontaminan mikrobiologis. Zat kimia ini dilarutkan dan
dipertahankan konsentrasinya di dalam air sehingga dapat
mencegah kontaminasi mikrobiologis. Zat kimia yang umum
dipakai sebagai desinfektan adalah :
• Kaporit Ca(OCl)2
• Natrium Hipochloride (Na(OCl))
• Gas Chlor
• Ozon
• Dan lain lain
Selain dengan menggunakan zat kimia, desinfeksi juga dapat
dilakukan dengan menggunakan radiasi dari sinar ultraviolet.
Hal ini disebabkan karena pada konsentrasi tertentu sinar
ultraviolet dapat membunuh mkroorganime yang ada dalam
air. Tetapi karena penyinarannya tidak permanen,
kemungkinan terjadinya kontaminasi dapat terjadi lagi.

1.4. Penerapan Strategi Pengolahan Air Menurut Jenis Air

Penerapan strategi pengolahan air dibedakan berdasarkan jenis dan


karakteristik air, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Strategi
pengolahan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan sistem
pengolahan lengkap dan sistem pengolahan kombinasi. Sistem
pengolahan lengkap adalah sistem pengolahan dengan
menggunakan seluruh komponen yang terdiri dari:
• pra sedimentasi
• koagulasi-flokulasi
• sedimentasi
• filtrasi dan
• desinfeksi

Sedangkan sistem pengolahan kombinasi merupakan sistem


kombinasi diantara jenis atau komponen pengolahan yang ada.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I - 11


BAB I : Pendahuluan

Strategi pengolahan untuk masing-masing jenis air berdasarkan


karakteristik jenis air yang ada, adalah sebagai berikut:

1. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang tinggi


Pada jenis air ini, pengolahan dapat dilakukan dengan alternatif
sebagai berikut :

Alternatif 1
Karena kekeruhan yang tinggi akibat besarnya kandungan
sedimen dalam air baku, maka urutan proses pengolahan yang
diusulkan adalah:
• prasedimentasi
• koagulasi-flokulasi
• sedimentasi
• filtrasi dan
• desinfeksi

Diawalinya proses pengolahan dengan prasedimentasi


menyebabkan bahan kimia yang digunakan pada proses
selanjutnya akan lebih kecil sehingga lebih ekonomis. Contoh
kasus: PDAM Surabaya, Jawa Timur.

Alternatif 2
Alternatif lain adalah pengolahan air dengan menggunakan
saringan pasir lambat. Sebelum proses penyaringan, terlebih
dahulu dilakukan proses pengendapan sampai kekeruhan
mencapai 50 mg/L SiO2. Contoh kasus IPA Kota Wates, Kulon
Progo.

2. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang rendah


sampai sedang
Pada jenis air ini, pengolahan dapat dilakukan dengan alternatif
sebagai berikut :
Alternatif 1
Dengan tingkat kekeruhan yang lebih rendah, maka proses
pengolahan dapat dilakukan cukup hanya dengan :

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I - 12


BAB I : Pendahuluan

• Koagulasi,flokulasi
• sedimentasi
• filtrasi dan
• desinfeksi

Alternatif 2
Alternatif lain adalah pengolahan air dengan menggunakan
saringan pasir lambat. Sebelum proses penyaringan, terlebih
dahulu dilakukan proses pengendapan sampai kekeruhan
mencapai 50 mg/L SiO2 . Contoh kasus : IPA Kota Purwakarta,
yang air bakunya diambil dari Waduk Jati luhur.

3. Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang sifatnya


temporer
Pada kasus pengolahan air baku dengan kekeruhan temporer
alternatif pengolahan dapat dilakukan sebagai berikut :
Alternatif 1
Alternatif pengolahan sama seperti pada air jenis pertama yaitu:
• pra sedimentasi
• koagulasi-flokulasi
• sedimentasi
• filtrasi dan
• desinfeksi

Rangkaian operasional pada jenis pengolahan ini adalah sbb.:


• Pembubuhan koagulan dilakukan pada saat kekeruhan tinggi,
yaitu setelah turun hujan.
• Pada saat tidak hujan maka tidak dilakukan pembubuhan
koagulan. Contoh kasus: pengolahan di Kutacane, Aceh
Tenggara.

Alternatif 2
Pengolahan dapat dilakukan dengan menggunakan saringan
pasir lambat (filtrasi lambat) yang didahului dengan bak
pengendap. Pada tahap akhir dilakukan proses desinfeksi.
Contoh kasus : Kecamatan Babusalam, Aceh Tenggara.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I - 13


BAB I : Pendahuluan

Alternatif 3
Pengolahan dapat dilakukan dengan menggunakan saringan
pasir cepat dan dengan reservoir yang besar dan dengan waktu
tampung antara 6 jam sampai 24 jam (tergantung lamanya air
keruh). Rangkaian operasional pada jenis pengolahan ini sbb.:
• Pada saat air tidak keruh, air diolah dengan saringan pasir
cepat bertekanan (pressure filter).
• Pada saat air keruh, filter over load dan clogging (tidak
berfungsi). Untuk pelayanan dimanfaatkan air dari reservoir.
Contoh kasus: IPA Tapaktuan, Kabupaten Aceh Selatan, dengan
sumber air: Air terjun tingkat 7.

4. Air permukaan dengan kandungan warna yang sedang


sampai tinggi.
Urutan proses pengolahan untuk air permukaan dengan tingkat
warna yang tinggi adalah :
• koagulasi-flokulasi
• sedimentasi
• filtrasi
• desinfeksi

Pada pengolahan jenis ini, lebih banyak koagulan yang dipakai


dan akan lebih baik dengan pembubuhan lumpur kaolin,
bentonite atau lumpur setempat. Pembubuhan koagulan
dimaksudkan untuk memperberat flok yang dihasilkan.

Pada jenis air berwarna, koagulasi harus dilakukan dengan


tingkat energi yang lebih tinggi, waktu flokulasi dan sedimentasi
yang lebih lama dari pada air tidak berwarna. Contoh kasus : IPA
di Pekanbaru-Riau, Jambi, Pontianak-Kalimantan barat.

5. Air permukaan dengan kesadahan yang tinggi.


Proses pengolahan untuk air permukaan dengan kesadahan
yang tinggi adalah dengan proses kapur soda, yaitu dengan
pemisahan Ca secara kimiawi untuk kemudian diendapkan di bak
pengendap.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I - 14


BAB I : Pendahuluan

Apabila kesadahan yang dominan bersifat sementara, dapat


dilakukan penyaringan dengan saringan marmer yang dilanjutkan
dengan desinfeksi. Contoh kasus: IPA Kec. Cilawu, Garut, Jawa
Barat.

6. Air permukaan dengan kekeruhan sangat rendah.


Pada kasus air permukaan dengan tingkat kekeruhan sangat
rendah, dapat dilakukan pengolahan langsung yang terdiri dari
proses filtrasi yang dilanjutkan dengan proses desinfeksi.
Sebenarnya air dari hasil pengolahan ini sudah cukup baik untuk
dikonsumsi langsung tetapi dalam rangka menjaga partikulat
yang masuk maka perlu dilakukan filtrasi, dan untuk menjaga
supaya tidak terjadi kontaminasi bakteriologis maka perlu
dilakukan desinfeksi. Contoh kasus : IPA Kota Laguboti, tepi
Danau Toba, Kabupaten Tapanuli Utara.

Matriks alternatif strategi pengolahan berdasarkan jenis air, seperti


yang telah dijelaskan dalam uraian di atas, dapat dilihat pada tabel
1.2 berikut.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I - 15


Tabel 1.2.
Jenis Pengolahan Air yang dapat diterapkan di berbagai jenis
Air Permukaan
1 2 3 4 5 6
Uraian Kekeruhan Kekeruhan Kekeruhan Berwarna Kesadahan Jernih
Tinggi Sedang temporer Tinggi
Kualitas
Kekeruhan > 50 NTU 10 - 50 NTU > 50 NTU 10 - 50 NTU 10 - 50 NTU <10 NTU
Warna < 25 PtCo < 25 PtCo < 25 PtCo > 25 PtCo < 25 PtCo < 10 PtCo
<6jam

Jenis Air Sungai Air Sungai Air Sungai Di Rawa Air Sungai Danau
Sumber Air di Jawa Waduk di lereng di lereng alam
Gunung G. Kapur
Contoh SCengkareng Kedung Kali Kali Kecil S. Kapuas Kupang Danau
Sumber Air / S Brantas Ombo Di Gunung Pontianak Toba
Jati luhur Danau
Kerinci

Proses Pra
Pengolahan sedimentasi
Alternatif 1 Koagulasi Koagulasi Koagulasi Koagulasi Koagulasi
Flokulasi Flokulasi Flokulasi Flokulasi Flokulasi
Sedimentasi Sedimentasi Sedimentasi Sedimentasi Sedimentasi
Saringan Saringan Saringan Saringan Saringan Saringan
Pasir Cepat Pasir Cepat Pasir Cepat Pasir Cepat Pasir Cepat Pasir
Cepat
Reservoir Reservoir Reservoir Reservoir Reservoir Reservoir
Dosing Dosing Dosing Dosing Dosing
Koagulan Koagulan Koagulan Koagulan Koagulan
Dosing Dosing Dosing Dosing Dosing Dosing
Desinfeksi Desinfeksi Desinfeksi Desinfeksi Desinfeksi Desinfeksi

Alternatif 2 Pra
sedimentasi
Filtrasi
Reservoir
Dosing
Koagulan
Dosing
Desinfeksi
Pra Pra Pra
sedimentasi sedimentasi sedimen
tasi

Alternatif 3 Saringan Saringan Saringan Saringan


Pasir Pasir Lambat Pasir Pasir
Lambat Lambat Lambat
Reservoir Reservoir Reservoir Reservoir
Dosing Dosing Dosing Dosing
Koagulan Koagulan Koagulan Koagulan
Dosing Dosing Dosing Dosing
Desinfeksi Desinfeksi Desinfeksi Desinfeksi

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I - 16


BAB I :Pendahuluan

1.5. Sistematika Penulisan

Untuk dapat memberi penjelasan praktis, sistematika penulisan


disusun sebagai berikut:

Bab 1 Pendahuluan

Bab 2 Koagulasi Flokulasi

Bab 3 Sedimentasi

Bab 4 Filtrasi

Bab 5 Desinfeksi

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air I - 17


BAB II
KOAGULASI DAN FLOKULASI

2.1. Umum

Koagulasi dan flokulasi merupakan awal dari suatu proses


pengolahan lengkap sekaligus merupakan aspek yang paling penting
dari suatu proses pengolahan air. Suatu pengolahan akan dikatakan
berhasil apabila pemisahan zat padat secara kimiawi berhasil, yang
ditandai dengan terbentuknya flok-flok dengan baik.

Pada prinsipnya ada dua aspek yang penting dalam proses


koagulasi flokulasi yaitu :
• Pembubuhan bahan kimia koagulan
• Pengadukan bahan kimia tersebut dengan air baku
Aplikasi dari koagulasi dan flokulasi ini dilakukan dalam dua reaktor
yang berbeda yaitu koagulator dan flokulator.

Pada proses koagulasi, zat kimia koagulan dicampur dengan air


baku selama beberapa saat hingga merata dalam suatu reaktor
koagulator. Dari pencampuran ini akan terjadi destabilisasi koloid zat
padat yang ada di air baku. Keadaan ini menyebabkan
menggumpalnya koloid-koloid tersebut menjadi koloid dengan
ukuran yang lebih besar. Proses koagulasi ini dilaksanakan dalam
satu tahap dan dalam waktu yang relatif cepat yaitu kurang dari satu
menit, sehingga koagulator disebut juga sebagai pengaduk cepat.

Dalam proses ini, koloid-koloid yang sudah kehilangan muatannya


atau terdestabilisasi, saling tarik menarik sehingga cenderung untuk
membentuk gumpalan yang lebih besar. Karena itu, air yang sudah
mengalami proses koagulasi ini kemudian dialirkan ke reaktor kedua
untuk proses penggumpalan/flokulasi.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-1


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Reaktor kedua, yang disebut flokulator, merupakan tempat dimana
flok-flok kecil yang sudah terbentuk di koagulator menjadi
membesar. Proses pembesaran ini dilakukan dengan cara
pengadukan yang secara bertahap (antara 3-6 tahap), dari kekuatan
yang besar kemudian mengecil secara bertahap. Pengadukan yang
dilakukan secara bertahap ini dimaksudkan supaya flok yang sudah
terbentuk tidak pecah kembali. Akhir dari proses ini adalah
terbentuknya flok yang cukup besar untuk dapat diendapkan dalam
sebuah bak pengendap.

2.2. Proses Koagulasi

Ada tiga faktor yang menentukan keberhasilan suatu proses


koagulasi yaitu:
• Jenis bahan kimia koagulan yang dipakai
• Dosis pembubuhan bahan kimia
• Pengadukan dari bahan kimia
Ketiga faktor ini saling berkaitan antara satu dengan lainnya.
Penentuan ketiga faktor tersebut di lapangan harus dengan
pertimbangan yang baik.

2.2.1. Jenis bahan kimia koagulan


Jenis bahan kimia koagulan yang umum dipakai yaitu:
• Koagulan garam logam
• Koagulan polimer kationik
Contoh koagulan garam logam antara lain :
• Aluminium Sulfat atau tawas (Al3(SO4)2.14H2O)
• Feri Chloride (FeCl3)
• Fero Chloride (FeCl2)
• Feri Sulfhate (Fe2(SO4) 3)

Koagulan yang umum di pakai adalah Aluminium Sulfat atau


dalam bahasa pasarnya adalah Tawas. Sedangkan Feri
Chloride dan Fero Sulfat, meskipun juga merupakan
koagulan yang baik, namun jarang dipakai di suatu instalasi
pengolahan air di Indonesia.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-2


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Contoh koagulan polimer atau koagulan sintetis yaitu :


• Poly Aluminium Chloride (PAC)
• Chitosan
• Curie flock
Koagulan yang umum dipakai adalah PAC, yang merupakan
polymerisasi dari Aluminium Chloride. Karena sifat
kelarutannya di dalam air dan tingkat pembentukan floknya
yang lebih baik, maka polimer ini sering juga dipakai sebagai
Coagulant Aid atau zat kimia tambahan untuk memperbaiki
kondisi koagulasi.

Perbedaan dari kedua jenis koagulan ini adalah pada tingkat


hidrolisa di dalam air, dimana koagulan garam logam
mengalami hidrolisa sedangkan koagulan polimer tidak.

Reaksi hidrolitik menghasilkan senyawa hidrokompleks


seperti Al(0H)2+,Fe(H20)3+3 dan Fe(OH)2+. Pengaruh pH pada
proses hidrolis sangat besar. Dan pembentukan unsur
hidrolisis sangatlah cepat, yaitu dibawah 1 detik. Setelah
terbentuk, unsur hidrolis ini yang segera mengabsorbsi
partikel koloid dan menyebabkan destabilisasi dari muatan
elektrolitnya. Hal ini mengakibatkan polimerisasi dari reaksi
hidrolisis.

Proses pengadukan cepat mempunyai peranan yang sangat


penting dalam koagulasi yang menggunakan koagulan garam
logam karena:
• Hidrolisis dan polimerisasi merupakan proses yang
sangat cepat.
• Pembubuhan koagulan dan pH yang merata sangat
penting dalam pembentukan unsur hidrolisis.
• Proses absorbsi koagulan berlangsung sangat cepat
• Apabila pengadukan yang terjadi terlambat, maka
koagulan akan terbuang, karena bereaksi terhadap air.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-3


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Sebaliknya, pada proses koagulasi yang menggunakan


koagulan jenis polimer kationik, proses pengadukan cepat
tidaklah penting karena reaksi hidrolisis tidak terjadi. Proses
absorbsi koloid yang terjadi lebih lamban karena ukuran
koagulan lebih besar. Dilihat dari sudut praktis, waktu
pengadukan untuk polimer dapat lebih panjang yaitu 2-5
detik.

Pembubuhan koagulan dalam air baku dapat dilakukan


secara tunggal atau merupakan kombinasi dari beberapa
koagulan. Penetapan jenis dan dosis optimal koagulan dapat
dilakukan dengan jar test.

2.2.2. Dosis Pembubuhan Koagulan


Dosis pembubuhan koagulan secara praktis ditentukan di
laboratorium dengan menggunakan penelitian jar test.
Prosedur jar test pada prinsipnya merupakan replika dari
proses pengolahan air dalam skala kecil dan dalam kondisi
batch. Prosedur jar test terdiri dari tahapan sebagai berikut :
• Sebelum dilakukan jar test, terlebih dahulu dilakukan
penelitian mengenai kualitas air. Parameter kualitas air
yang diamati adalah:
− pH
− kekeruhan
− warna
• Sampel air diambil sebanyak 4 atau 6 buah (sebanyak
gelas yang ada di jar test) kemudian dimasukkan ke
dalam gelas jar test.
• Masing-masing gelas kemudian diberi koagulan dengan
dosis yang berbeda. Misalnya dengan menggunakan
alum dari 10, 20, 30, dan 40 ppm.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-4


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
• Setelah pembubuhan koagulan dilakukan pengadukan
cepat dengan kecepatan pengadukan diatas 60 rpm
selama satu menit.
• Setelah diaduk selama satu menit, pengadukan
diperlambat hingga 10 rpm untuk meniru proses flokulasi.
Pada tahap ini mulai diamati proses pembesaran flok.
Pengadukan lambat ini dilakukan selama 5-10 menit,
setelah itu dihentikan untuk kemudian dilihat proses
pengendapan.
• Proses pengendapan diamati selama 5, 10, dan 20 menit.
Dari sini dapat dilihat kemampuan flok untuk mengendap.
• Setelah itu, dilakukan penyaringan/filter terhadap
supernatant (bagian yang tidak mengendap) dengan
menggunakan kertas penyaring. Kemudian dilakukan
kembali pengamatan terhadap hasil filtrat.
• Dengan menggunakan cara/prosedur yang sama,
dilakukan kembali percobaan dan pengamatan untuk
sampel air pada gelas-gelas lainnya menurut dosis
koagulan yang ditambahkan.
• Dari seluruh rangkaian percobaan dan pengamatan yang
telah dilakukan, kemudian dapat ditarik kesimpulan dosis
mana yang paling baik/optimal.

Dosis optimal, yang diperoleh dari hasil jartest, dapat dipakai


sebagai patokan atau acuan dalam membubuhkan koagulan
untuk pengolahan air. Umumnya dosis optimal yang
diperoleh dari hasil jar test menggambarkan dosis yang perlu
diterapkan dalam operasional instalasi pengolahan air
minum. Namun untuk skala operasional akan terjadi
penyimpangan, karena umumnya dosis yang perlu
dimasukkan lebih banyak dari dosis hasil jartest. Perbedaan
ini disebabkan karena ketidak-efisienan dalam pengadukan
cepat. Untuk itu, perlu dilakukan perencanaan pengadukan
cepat yang baik.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-5


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Pada tabel 2.1. dapat dilihat suatu contoh prosedur dari jar
test untuk suatu air baku.

Tabel 2.1.
Jartest : 1
Koagulan 1: Alum
Koagulan 2: Kapur Tohor 10 ppm
Parameter Satuan Air Dosis mg/L
No Yang diamati Baku 10 25 40 55
1 pH 7 6.8 6.8 6.7 6.7
2 Kekeruhan NTU 50 45 15 10 14
3 Warna TCU 25 20 13 5 2

Jartest : 2
Koagulan 1: Alum
Koagulan 2: Kapur Tohor 20 ppm

Parameter Satuan Air Dosis mg/L


No Yang diamati Baku 10 25 40 55
1 pH 7 6.8 6.8 6.7 6.7
2 Kekeruhan NTU 50 45 12 1 14
3 Warna TCU 25 20 10 2 2

2.2.3. Pengadukan dan Kaitannnya dengan penurunan


konsentrasi

Tujuan pengadukan adalah untuk menciptakan tumbukan


antar partikel yang ada dalam air baku. Dalam proses
koagulasi, pengadukan akan membantu meratakan koagulan
yang telah dibubuhkan dengan partikel-partikel koloid.
Sedangkan pada proses flokulasi, pengadukan akan
menumbukkan partikel-partikel flok yang telah terbentuk
hingga menjadi suatu gumpalan yang cukup besar untuk
diendapkan. Dengan demikian, yang menjadi fokus utama
dalam pengadukan adalah proses tumbukan.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-6


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Menurut Camp dan Stein (tahun 1945), banyaknya tumbukan


partikel yang diaduk dalam air tergantung dari :
• Besarnya gradien kecepatan (G=dV/dz)
• Diameter butir partikel yang bertumbukan (D)
• Jumlah partikel yang bertumbukan (N)

Secara matematis keterkaitan ketiga faktor di atas


digambarkan dalam persamaan sebagai berikut :

dN G × p × N1 × N 2 × (d1 + d 2 )
3
= ……………..…… … (2.1)
dt 6
Dimana :
N = jumlah tumbukan
N1= jumlah partikel dengan diameter d1
N2= jumlah partikel dengan diameter d2
D= diameter
G=Gradien kecepatan (dV/dz)
p= persentasi jumlah tumbukan
Persamaan 2.1. di atas menggambarkan tumbukan yang
terjadi per satuan waktu.

Jika partikel d1 kecil dan diameternya dapat diabaikan,


sementara partikel d2 diameternya lebih besar (hasil
penggabungan beberapa partikel), dan bagian dari partikel
yang bertumbukan dinyatakan dalam p; maka jumlah
tumbukan yang terjadi per satuan waktu adalah :

dN G × p × N1 × N 2 × d 3
≡ ……………..…………..….. (2.2)
dt 6

Apabila sebuah partikel diasumsikan berbentuk bola, maka


volume flok dari N2 partikel dapat dinyatakan dengan :
N 2πd 3
V = ………….……..………….………….……. …(2.3)
6

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-7


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Atau
V ×6
N2 = ………….……..………..……..….…………(2.4)
πd 3

Jumlah tumbukan yang terjadi berarti sama dengan jumlah


partikel N1 yang berkurang, sehingga:
dN1 dN
= ………….……..………….……….……. ……(2.5)
dt dt

Dengan demikian apabila persamaan 2.4 dan 2.2


disubstitusikan pada persamaan 2.5 maka diperoleh
rumusan:

dN 1 GxpxN1 xV
= ………….………….………….……..(2.6)
dt π
Atau dapat dinyatakan sebagai

dN 1 GxpxVxdt
= ………….……...……………….……. .(2.7)
N1 π
Bila diintegrasikan maka :
GxpxVxt
Nt −
=e π
………….……..……………..…..……. ...(2.8)
No
Dimana :
No= Jumlah partikel mula-mula
Nt = Jumlah partikel setelah waktu t

Apabila S merupakan konsentrasi koagulan di flok gr/ml dan A


adalah dosis dari koagulan (gr) maka volume koagulan adalah:

A
V = ………….……..……………..….………….……. ………..(2.9)
S
Dan

N t Ct
= ……….……..……………..….………….……. ………..(2.10)
N o Co

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-8


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Maka:

pxGxAxt

Ct = Co e sxπ
……….……..……………..….………….……. ...(2.11)

Dari persamaan ini dapat dilihat bahwa konsentrasi akhir suatu


proses flokulasi tergantung dari :
• Gradien pengadukan (G) atau kekuatan pengadukan, dimana
makin besar daya pengadukan semakin kecil konsentrasi outlet.
• Lama pengadukan (t), dimana semakin lama pengadukan
semakin kecil konsentrasi outlet
• Dosis koagulan (A), dimana semakin besar dosis outlet semakin
kecil konsentrasi outlet

Selain persamaan di atas terdapat beberapa persamaan empiris


yang menggambarkan keterkaitan antara konsentrasi setelah
pengendapan dan sebelum pengendapan yang dikaitkan pula
dengan jumlah kompartemen flokulator yaitu:

Ct T
= 1 − KxVxGx ……..……………..….………….……..……..(2.12)
Co n
Dimana:
Co= konsentrasi mula mula
Ct=konsentrasi air yang tak terflokulasi
G= Gradien hidrolis
T= waktu
n=jumlah volume bak
V= Volume flok

Berdasarkan persamaan di atas, perhitungan konsentrasi akhir


flokulator dengan n buah bak selama waktu pengadukan T dapat
diterapkan. Untuk perhitungan ini terlebih dahulu harus dicari
konstanta K, Volume flok V dengan gradien kecepatan G.

Berdasarkan contoh pada tabel 2.1. di atas dapat diperhitungkan


Konsentrasi efluen apabila flokulasi dilanjutkan pada dosis optimal.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-9


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Pembentukan flok dan penentuan jenis koagulan yang digunakan
juga dipengaruhi oleh faktor pembubuhan lumpur pada air baku.
Umumnya pada air berwarna, pembubuhan lumpur pada air baku
dapat membantu penurunan kadar warna karena lumpur mempunyai
sifat absorbsi warna. Lumpur yang dapat dipakai adalah :
- Bentonite
- Zeolite
- Kaolin
- Lumpur lokal yang terpilih
Pendaurulangan (recycle) lumpur dari bak pengendap yang
dimasukkan bersama air baku dapat menurunkan pemakaian bahan
kimia sampai 10% (pada percobaan laboratorium) dan sekitar 5-10%
di lapangan. Salah satu contoh Instalasi Pengolahan Air yang
menggunakan pendaur-ulangan lumpur adalah IPA Sungai Raya
Kabupaten Pontianak dengan kapasitas 80L/dt.

2.3. Mekanika Fluida Pengadukan

Fenomena mekanika fluida pengadukan dapat dijelaskan melalui


penjelasan Hukum Newton mengenai viskositas seperti ilustrasi yang
ditunjukkan pada gambar 2.1. Dari gambar 2.1 dapat dilihat bahwa
lempeng seluas A yang berada di atas permukaan air ditarik dengan
gaya F dan karena adanya kekentalan air maka air dibawahnya juga
ikut terseret sampai dasar air.

Plat seluas A F

Vx

dy
y

dv

Gambar 2.1.
Sebuah Plat yang ditarik dengan F pada arah x

Gambar 2.1 Ilustrasi viskositas pada Hukum Newton

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-10


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Apabila fenomena Hukum Newton mengenai viskositas di atas
diturunkan pada bidang dua dimensi, hasilnya akan menjadi sbb:
Fx dv
= τ yx = − µ x
Axz dy
Dimana:
Fx (N) = Gaya yang diterapkan pada lempeng pada arah x
Axz(m2) = Luas lempeng mendatar pada sumbu xz
τyx(N/m2) = Tegangan permukaan atau gaya per satuan luas
lempeng yang berpengaruh pada arah y yang vertikal
µ(Ndt/m2) = Viskositas dinamik pada 30oC = 0,798 x 103
vx(m/dt ) = Kecepatan air pada arah x
y(m) = Arah y vertikal
Apabila rumusan di atas dikembangkan dalam bidang tiga dimensi
(lihat gambar 2.2), dimana diperhitungkan zumbu z tegak lurus x,
maka persamaan keseimbangan gaya dapat diturunkan sbb.
 δp 
∑ Fx = 0 = p∆y∆z −  p + ∆x  p∆y∆z + τ∆y∆z − (τ + δτδ x∆y ) p∆y∆z
 δx 
…..(2.14)
Dimana p adalah tekanan yang bekerja pada kubus tiga dimensi
yang diamati dalam hal ini sama dengan F/Ayz dengan demikian
apabila kita melihat persamaan 2.13. Maka tekanan dapat
diekpresikan sebagai berikut:
δp δτ
= ……………………………………………………………..(2.15)
δy δy

τ+δτ/δx.∆x
∆z

p
P+ δp/δ
x.∆x
∆y

∆x

τ
Gambar 2.2.
Keseimbangan gaya pada sebuah volume elemental dari fluida

Gambar 2.2 Keseimbangan gaya pada bidang tiga dimensi

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-11


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Daya secara umum dapat diekspresikan sebagai

P = F × v …………………………………………………………...(2.16)

Dengan mensubstitusikan persamaan di atas dalam kesetimbangan


gaya, dapat diperoleh sebuah persamaan kesetimbangan Daya
(lihat gambar 2.3) yaitu:
 δv ∆y   δv ∆y   δ(τv) 
Pin− Pout= ∆P=v + p∆y∆z − p + ∆y∆z +τv∆x∆z −τv + ∆y∆z …
 δy 2   δy 2   δy∆y 
………………………...(2.17)

v+ δ y . ∆ y τv + δ( τ v ). ∆ y
δy δy

(v+ δ y . ∆ y ).p (p+ δ p . ∆ x ). (v+ δ y . ∆ y )


δy 2 δx δy 2

v
τv

Gambar 2.3.
Keseimbangan daya pada sebuah volume elemental dari fluida

Gambar 2.3 Kesetimbangan daya pada bidang tiga dimensi

Apabila persamaan 2.17 dikembangkan lebih jauh lagi akan menjadi:


 δp   δτ   δv 
∆P = −v ∆x∆y∆z − v ∆x∆y∆z − τ  ∆x∆y∆z ……………..(2.18)
 δx   δy   δy 
Volume suatu kubus adalah :
V = ∆x∆y∆z ………………………………………………………...(2.19)

Dengan menggabungkan persamaan 2.19 dengan persamaan 2.18,


maka diperoleh persamaan sbb.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-12


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
δv ∆P
−τ = ………………………………………….………….....(2.20)
δy ∆V

Dengan menggabungkan persamaan 2.13 dengan persamaan 2.20


maka akan didapatkan persamaan sbb.
2
 δv  ∆P
− µ   = ………………..……………………………….......(2.21)
 δy  ∆V

Bila P diterapkan dalam suatu reaktor dengan volume V dan δv/δ


δy
merupakan gradien kecepatan G, maka secara matematis persaman di
atas dapat disederhanakan sebagai berikut.
∆P P
= …………………………………….…………………….....(2.22a)
∆V V
dan
δv
= G ………………………………………………………….....(2.22b)
δy

Dengan mensubsitusi persamaan 2.22a dan 2.22b ke dalam


persamaan 2.21, maka akan diperoleh persamaan baru sbb.
P
− µG 2 = ………………………………………………...………(2.23a)
V
Atau persamaan ini dapat pula ditulis sebagai berikut.
P = − µVG 2 …………………………………………...………..…(2.23b)

P adalah Daya atau power dengan satuan N.m/dt yang dimasukkan


ke dalam air dengan volume V (m3) sebagai tenaga pengadukan
untuk mengasilkan gradien kecepatan senilai G (1/dt). Besaran G ini
juga tergantung dari nilai kekentalan dari air atau µ (Ndt/m
( 2
).

Didalam suatu perencanaan, G merupakan parameter terbentuk


tidaknya flok. Oleh sebab itu nilai G dapat diketahui dan dihasilkan
dari suatu reaktor. Sedangkan P dan V merupakan besaran yang
harus dirancang dalam rangka menghasilkan G yang baik.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-13


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Letterman dan kawan kawan, pada tahun 1973, menemukan
hubungan empiris antara G (waktu tinggal), td (waktu detensi) dan C
(konsentrasi dosis alum). Hubungan antara G, td dan C ditunjukkan
dalam persamaan berikut ini.

Gt dopt C 1, 46 = 5,9 × 10 6 ……………………………...……………..…(2.24)


Dimana :
tdopt =adalahwaktu detensi pada kondisi optimal
C =adalah konsentrasi dari alum dalam mg/L

Secara umum gradien kecepatan yang disyaratkan untuk koagulasi


dan flokulasi dapat dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2.
Nilai G dan lamanya pengadukan untuk koagulasi dan flokulasi
G(1/dt) Td (dt) G.x td
Koagulasi
- Minimum 700 40 30 000
- Maksimum 1000 20 20 000
Flokulasi 20-70 10x60-20x60 10 000 – 100 000
Flokulasi umumnya dibagi dalam 4 sampai 6 tahap tergantung dari
kebutuhan.

Nilai G dan td yang sesuai untuk diterapkan pada air yang akan
diolah dapat diperkirakan melalui simulasi jar test.
Idealnya, nilai besaran G dan td suatu instalasi pengolahan air, perlu
direncanakan dengan teliti. Namun sejak dilaksanakannya program
pembangunan massal instalasi pengolahan air, nilai G dan td diambil
sama untuk setiap daerah dan selain itu ada beberapa instalasi yang
dibangun dengan kriteria perencanaan yang sama untuk setiap jenis
air baku. Hal ini berakibat pada gagalnya sebagian instalasi dalam
mengolah air sesuai dengan debit rencananya, umumnya terjadi
pada sumber dengan air baku berwarna.

Untuk menyesuaikan kembali G dan td yang terlanjur salah ini,


biasanya dilakukan pengaturan kembali debit operasionalnya (lihat
persamaan 2.27).

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-14


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Nilai G pada sebuah instalasi dapat diatur besarannya dengan
mengatur hidrolisnya. Tetapi pengaturan nilai td sulit dilakukan
karena menyangkut rancangan volume reaktor. Untuk itu,
perencanaan td suatu instalasi pengolahan air terutama untuk
flokulasi sangatlah penting. Flokulasi yang terlalu cepat akan
menghasilkan flok yang kurang besar untuk diendapkan secara
sempurna, sedangkan flokulasi yang terlalu lama akan
menghancurkan kembali flok yang sudah jadi.

Sebagai gambaran, pada tabel 2.3 diberikan kriteria perencanaan


untuk penentuan nilai G dan td yang disesuaikan dengan klasifikasi
air bakunya yang disertai contoh instalasi Pengolahan Air (IPA) yang
sudah dibangun dan telah beroperasi dengan baik sesuai dengan air
baku yang diolah.
Tabel 2.3.Kriteria Nilai G dan Td yang dapat diterapkan atas
beberapa jenis air dengan Alum
Kriteria yang dapat diterapkan
Koagulasi Flokulasi Contoh IPA
Jenis Air G(1/dt) td(dtk) GxTd G(1/dt) td(dtk) GxTd
4- 5
1. Kekeruhan 500 60 30 000 20-70 10x60 10 10 IPA 30 L/dt
yg tinggi Cengkareng drain
*)
PIK Jakarta
4- 5
2. Kekeruhan 500- 20-60 20 000- 20-70 10- 10 10 IPA 50 L/dt Kab
rendah sd 1000 30 000 15x60 Purwakarta
sedang
4- 5
3. Air berwarna 1000 60 30 000 20-40 15- 10 10 IPA 80 L/dt Kab
20x60 S Raya Pontianak
PIK = Pantai Indah kapuk

2.4. Teknik Pengadukan

2.4.1. Umum

Pengadukan dalam pengertian mekanika fluida adalah memasukkan


daya ke dalam suatu reaktor air. Sehingga kaitan antara cara
pengadukan dan gradien hidrolis yang dihasilkan harus jelas secara
matematis. Dengan demikian, pengendalian terhadap proses
pengadukan dapat dilakukan secara tepat.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-15


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Daya untuk pengadukan dapat dibangkitkan melalui cara :
• Hidrolis
• Mekanik
• Media berlubang
• Pneumatik

2.4.2. Pengadukan Secara Hidrolis

Dalam prakteknya, pengadukan secara hidrolis adalah yang paling


sering dilakukan di Indonesia, dengan alasan sebagai berikut :
• dapat dilakukan secara gravitasi
• tidak melibatkan peralatan mekanik
• pengendalian terhadap besaran gradien hidrolis G cukup mudah.

Pada prinsipnya pengadukan secara hidrolis menggunakan efek


gravitasi, sehingga besaran yang mempengaruhi untuk dapat
dihasilkannya nilai G yang sesuai, melalui pengadukan jenis ini
adalah :
• besaran tinggi terjun untuk pengadukan cepat atau koagulasi dan
• head loss (kehilangan tekanan) atau beda tinggi permukaan
pada proses pembentukan flok (flokulasi)

Secara mekanika fluida, daya yang mempunyai satuan Watt atau


Joule per detik dapat diturunkan sebagai berikut:

P = ρghQ ……………………………………………….………….(2.25).

Dimana:
P=daya (Watt)
g=percepatan gravitasi (9.81 m/dt2)
ρ=massa jenis air (pada suhu 30oC adalah 995,7 kg/m3)
Q=debit air (m3/dt)
h=kehilangan tekanan atau beda tinggi tekanan (m)

Apabila dikaitkan dengan gradien kecepatan yang dapat dihasilkan


menurut persamaan 2.23, maka rumusan kehilangan tekanan dapat
digambarkan sebagai berikut:

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-16


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

µVG 2
h= …………………………………………….…………….(2.26).
ρgQ

Sedangkan persamaan waktu detensi yang secara hidrolis


merupakan volume reaktor dibagi dengan debit air yang mengalir
adalah sebagai berikut.
V
Td = ………….………………………………….…………….(2.27)
Q
Dimana :td= adalah waktu detensi dalam satuan detik

Dan apabila viskositas kinematik adalah viskositas dinamik dibagi


dengan massa jenis air maka akan didapat persamaan sbb.:
µ
υ= ….……………………………………………….…………….(2.28)
ρ

Dengan menggabungkan persamaan 2.27 dengan persamaan 2.28


maka akan didapatkan rumusan kehilangan tekan sbb.
υt d G 2
h= …………………………………….………………….….(2.29)
g
Atau
gh
G= …………………………………….………………….….(2.30)
υt d

Dengan perumusan di atas, maka dapat direncanakan kebutuhan


beda tinggi untuk melakukan pengadukan, baik pengadukan cepat
(koagulasi) maupun pengadukan lambat (flokulasi)

1. Pengadukan Cepat (Koagulasi)


Pengadukan cepat dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
• Terjunan
• Pengadukan dalam pipa
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengadukan cepat harus
dilakukan dalam waktu yang singkat, merata dan dengan enerji
yang dapat menghasilkan nilai G yang tepat.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-17


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
a) Pengadukan dengan terjunan
Pengadukan dengan terjunan adalah pengadukan yang
umum dipakai pada instalasi air minum dengan kapasitas>50
L/dtk. Pembubuhan dilakukan sesaat sebelum air diterjunkan,
sehingga air yang terjun sudah mengandung koagulan yang
siap diaduk. Pengadukan dilakukan setelah air terjun dengan
energi (daya) pengadukan sama dengan tinggi terjunan.
Tinggi terjunan untuk suatu pengadukan adalah tipikal untuk
semua debit, sehingga debit tidak perlu dimasukkan dalam
perhitungan. Dari persamaan 2.29 dapat diturunkan
kebutuhan ketinggian terjun untuk masing masing tingkat
gradien pengadukan G . Hubungan antara ketinggian dengan
gradien pengadukan dapat dilihat pada gambar berikut.

gambar 2.4.
Hubungan antara Ketinggian dan Gradien Pengadukan pada td tertentu

2.5
Ketinggian terjun (h = m )

2 td =30 dt
td = 60 dt
1.5
td= 90 dt
td = 120 dt
1
td = 180 dt
0.5 td 240 dt

0
100 200 300 400 500 600 700
Nilai G (1/dt)

b) Pengadukan dalam pipa


Pengadukan dalam pipa juga mengikuti prinsip di atas,
dimana h merupakan kehilangan tekanan yang terjadi pada
saat pengadukan pipa sedangkan td adalah panjang pipa
dibagi dengan kecepatan aliran.
L
td = …………………………………………………..…..(2.30)
V
Berdasarkan rumusan di atas, maka panjang pipa dengan
pengadukan dalam pipa dapat dihitung dengan persamaan
berikut ini.
Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-18
BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
ghv
L= ……………………………………………….…...(2.31)
υG 2
Dengan kehilangan tekan 0,5, maka secara grafis perumusan
2.31 dapat dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5.
Gradien Pengadukan vs Panjang Pipa pada kecepatan tertentu dan h=0,5 m

15

10
v = 1 m/dt

v = 1.5 m/dt

v = 2 m/dt

5 v = 2.5 m/dt

1000 1400 1800 2200 2600


1200 1600 2000 2400 2800
Nilai G (1/dt)

Contoh Soal 2.1:

a. Koagulasi dengan Terjunan


Diketahui:
Q= 50 L/dt
Air yang diolah adalah air sungai yang keruh
Ditanya:
Rencanakan pengadukan cepat dengan terjunan
1. Berapa volume ruang pengadukan cepat yang dibutuhkan?
2. Berapa tinggi terjunan?

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-19


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Kriteria Perencanaan :
1. Dosing Koagulan :
• Alum (Al3S04) : 25-40 ppm
• PAC : 5-15 ppm
2. Kapasitas Perencanaan : 50 L/dt = 0.05 m3/dt
3. Gradien Kecepatan : 200-1000 1/dt
4. Kondisi Aliran : NRe>10000
5. Waktu Kontak = Gxtd = 104-105
6. Mixer tipe terjunan (td = 60 detik)
Jawab :
1. Volume = debit aliran x waktu detensi
V= Q x td
V= 50x60
V= 3000 l
V= 3 m3
2. Tinggi terjunan :h
m= 0.798 x 10-3
ρ = 995.7 kg/m3
G= 500 1/dt
g= 9.81 m/dt2
υt d G 2
maka h = = 1.22 m
g
b. Koagulasi dalam Pipa
Diketahui:
Q= 10 L/dt
Air yang diolah adalah air sungai yang keruh
Diaduk dengan pipa spiral diameter 100 mm
Ditanya:
Rencanakan pengadukan cepat dalam pipa dengan spiral
Dan berapa panjang pipa?
Kriteria Perencanaan :
1. Dosing Koagulan :
• Alum (Al3S04) : 25-40 ppm
• PAC : 5-15 ppm
2. Kapasitas Perencanaan : 10 L/dt = 0.01 m3/dt
3. Gradien Kecepatan : 1000-2000 1/dt (ambil 1800 1/dt)

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-20


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
4. Kondisi Aliran : NRe>10000
5. Waktu Kontak = Gxtd = 104-105
6. Mixer tipe terjunan (td = 60 detik)
Jawab:
Panjang pipa = L
ghv
L=
υG 2
Q Q
v= = =1.27 m/det
A 1 4πD 2
υt d G 2
h= = 0.5 m
g
L = 2.4 m

2. Pengadukan Lambat (Flokulasi)


Pengadukan lambat dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
• dialirkan melalui penghalang penghalang secara horizontal
maupun vertikal
• dialirkan melalui media kerikil/pasir

Pada prinsipnya semua pengadukan secara hidrolis harus


dilakukan dengan perencanaan kehilangan tekanan yang tepat.
Kehilangan tekanan yang dihasilkan dapat di rencanakan dalam
kondisi statik maupun dinamik (dapat disesuaikan menurut
kebutuhan).

a). Pengadukan melalui penghalang secara horizontal


maupun vertikal
Pengadukan secara horizontal dapat digolongkan menjadi :
• Buffle channel horizontal
• Buffle channel vertikal
• Buffle channel vertikal yang melingkar (cyclone)
• Pengadukan melalui plat berlubang
• Pengadukan dengan pulsator

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-21


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
i). Buffle Channel (Saluran Pengaduk) Horizontal
Pengadukan dengan saluran pengaduk memanfaatkan
energi pengadukan yang berasal dari :
• Friksi pada dinding saluran pada saluran lurus
• Turbulensi pada belokan
Kehilangan tekanan sepanjang saluran dapat dihitung
dengan menggunakan rumus Manning yaitu:
A( R) 2 3 ( S )1 2
Q= ……………………………………….(2.32)
n
Dimana :
A=luas penampang saluran (m2)
R=Radius hidrolis
n=Koefisien Manning beton=0.12
S=Slope Hidrolis (h/Lt), dimana h=head loss & Lt= total
panjang saluran pengaduk untuk 1 zone.

Saluran pengadukan umumnya berbentuk persegi dengan


lebar saluran adalah B dan tinggi air dalam saluran adalah H
sedangkan radius hidrolis A adalah B.H/(B+2.H) maka
Perumusan di atas menjadi :
(BH )5 3 (h / Lt )1 2
Q= …………………………………….(2.33)
( B + 2 H )2 3 n
Maka h atau kehilangan tekanan hidrolis adalah:
 Q(B + 2 H )2 3 nLt 1 2 
2

h =   ………………………………(2.34)
 ( BH )53 

Kehilangan tekanan pada turbulensi pada saluran membelok


dapat dihitung dengan perumusan
v2
h=K …………………………………………………(2.35)
2g
Dimana
K=koefisien kontraksi (1-2)
V=kecepatan (Q/BH)

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-22


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Berdasarkan dua persamaan di atas, maka total kehilangan
tekanan untuk saluran sepanjang satu segmen Ls dengan
jumlah belokan N adalah sbb.
 Q(B + 2 H )2 3 nN 1 2 Ls 1 2
2
 NKQ 2
h =   +
 ……………(2.36)
 (BH )5 3  2 g ( BH ) 2

atau

NLsQ 2   (B + 2 H ) n  K 
23 2

h=   + …………………(2.36)
(BH )2   (BH )4 3  2 gLs 

Apabila disubstitusikan pada persamaan 2.29 dengan t =


(L.B.H)/Q maka G yang dapat dihasilkan adalah ;
12
 NgQ 3   ( B + 2 H )2 3 n  2 K 
G=   + …………..(2.37)
υ (BH )3   (BH )4 3  2 gLs 
    

Untuk menghindari endapan dalam saluran pengaduk


kecepatan air dalam saluran tidak boleh kurang dari 0,2 m/dt.
Sedangkan untuk mendapatkan hasil pengadukan yang baik
maka pengadukan dibagi dalam 4 sampai 6 zone
pengadukan dengan nilai G dari 100 1/dt pada buffle pertama
kemudian menurun sampai 30 pada zone terakhir. Untuk
lebih jelasnya, ilustrasi mengenai kondisi di atas dapat dilihat
pada gambar 2.6.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-23


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Zone 4
Zone 1 Zone 2 Zone 3

denah

potongan Gambar 2.6. Flokulator buffle horizontal

Gambar 2.6 Flokulator buffle horizontal

Pengadukan lambat atau flokulasi dengan cara ini banyak


diterapkan pada IPA yang dibangun pada tahun 1970-an.
Salah satu contohnya adalah instalasi pengolahan di Depok.

Keunggulan pengadukan dengan cara ini adalah:


• Pengendalian terhadap pengadukan mudah
• Kapasitas dapat ditingkatkan dengan mudah
Sedangkan kelemahannya adalah membutuhkan lahan yang
sangat luas.

Pembangunan instalasi dengan pendekatan metode ini tidak


lagi digunakan dengan pertimbangan luas lahan yang
dibutuhkan cukup besar.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-24


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Contoh Soal 2.2.:
Diketahui:
Q= 50 L/dt
Air yang diolah adalah air sungai yang keruh.
Setelah koagulasi dillanjutkan dengan flokulasi buffle channel 4
tahap dimana
tahap 1 G= 100, td=5x60 dt
tahap 2 G= 70, td=4x60 dt
tahap 3 G = 50, td=4x60 dt
tahap 4 G = 30, td=3x60 dt
total td=16x60 dt
V minimum=0,2 m/dt
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt
µ = 0.798x10-3
ρ = 995.7 kg/m3
υ = 0.8x10-6 (30oC)
G = 9.81 m/dt2
n = 0.012
K= 1.5 (Lihat rumus 2.35)
Ls = 5m panjang jalur
Ditanya:
tentukan dimensi buffle channel untuk koagulasi (untuk masing-
masing zone)

Jawab:
Hasil perhitungan buffle channel untuk koagulasi pada masing-
masing zone dapat dilihat pada tabel berikut.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-25


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Tabel 2.3.
Hasil Perhitungan Koagulasi dengan Buffle channel
Uraian Satuan formula Zone 1 Zone 2 Zone 3 Zone 4
H (tinggi air) m ditentukan 0.60 0.47 0.41 0.38
B (Lebar dasar buffle) m ditentukan 0.35 0.50 0.67 1.00
G (gradien kecepatan) m Rumus 72.56 55.60 41.12 23.52
2.37
h (beda tinggi muka air) m Rumus 0.13 0.06 0.03 0.01
2.29
v (Kecepatan) m/dt Q/(H.B) 0.24 0.21 0.18 0.13
td (waktu retensi) dt ditentukan 300.00 240.00 240.00 180.00
4 4 4 4 3
Gxtd total= 5.10 2.10 1.10 1.10 4.10
Lt = Ls x N m v x td 71.43 50.96 43.65 23.86
Ls m ditentukan 10 10 10 10
N (jumlah jalur) buah Lt/Ls 7 5 4 2

ii). Buffle Channel (Saluran Pengaduk) Vertikal


Pada pengadukan vertikal, titik berat pengadukan terletak
pada kontruksi celah antar buffle yang tingkat
pengadukannya diatur dengan pintu yang ada antar buffle.
Gradien kecepatan yang dihasilkan dapat dihitung dengan
perumusan 2.38.
Qh
G= ……………………………………………….……(2.38)
υHA
Dimana:
h=beda tinggi (m)
H=tinggi muka air dihilir pengatur (m)
A=luas dasar

Penampang saluran pengaduk vertikal berbentuk segi empat,


sehingga apabila pemerataan aliran tidak dilakukan dengan
baik, akan mengakibatkan dead zone terutama di sudut-sudut
kompartemen (dapat dilihat pada gambar 2.7)

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-26


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Gambar 2.7 Flokulator buffle vertikal


IPA yang menggunakan sistem ini adalah Typical IPA Paket
Maswandi yang dibangun diberbagai daerah, sebagai contoh di
Perumahan Alam Sutra Tangerang yaitu Paket IPA Maswandi 50
L/dt yang dirancang oleh Ir Maswandi. Pengolahan jenis ini
menghasilkan flok yang cukup baik karena sekat antar bak dapat di
atur bukaannya untuk mendapatkan nilai G yang tepat.

Contoh Soal 2.3.:


Diketahui:
Q= 50 L/dt
Air yang diolah adalah air sungai yang keruh. Setelah koagulasi
dillanjutkan dengan flokulasi buffle vertikal channel 6 tahap dimana:
tahap 1 G = 70, td=2x60 dt
tahap 2 G = 60, td=2x60 dt
tahap 3 G = 40, td=2x60 dt
tahap 4 G = 30, td=2x60 dt
tahap 5 G = 25, td=2x60 dt
tahap 6 G = 20, td=2x60 dt
total td=12x60 dt

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-27


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
3
Q = 50 L/dt = 0.05 m /dt
m= 0.798x10-3
r = 995.7 kg/m3
g = 9.81 m/dt2
υ = 0.8x10-6 (30oC)

Ditanya:
tentukan dimensi buffle channel untuk flokulasi (untuk masing-
masing zone)

Jawab:
Hasil perhitungan buffle channel untuk flokulasi pada masing-masing
zone dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.4.
Hasil Perhitungan Flokulasi dengan buffle vertikal
Uraian satuan formula Zone Zone Zone Zone Zone Zone
1 2 3 4 5 6
H (tinggi air) m H2=H1-h1 3.00 2.50 2.20 2.05 1.95 1.90
B=L(lebar=panjang) m ditentukan 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41 1.41
A (luas dasar) m2 ditentukan 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00
h (beda tinggi) m ditentukan 0.50 0.30 0.15 0.10 0.05 0.03
G (gradien m Rumus 72.10 61.18 46.12 39.01 28.28 20.26
kecepatan) 2.38
v (Kecepatan) m/dt Q/(H.B) 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
td (waktu retensi) dt ditentukan 120.0 120.0 120.0 120.0 120.0 120.0
4 3 3 3 3 3 3
Gxtd total= 3.10 9.10 7.10 6.10 5.10 3.10 2.10

iii). Buffle Channel (Saluran Pengaduk) Vertikal dengan


diputar (Sistem Hexagonal atau cyclone)
Jenis Pengadukan ini dikembangkan dari jenis aliran
vertikal, dimana pengadukan dilakukan dalam
kompartemen berbentuk bundar atau bersegi banyak
(enam=hexagonal).

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-28


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Pengadukan dengan cara ini memanfaatkan energi dari:


• Beda tinggi antar ruang
• Air yang berputar dalam kompartemen akan
membantu proses pembentukan flok
Putaran dapat dilakukan dengan mengatur keluaran air
didasar kompartemen dengan arah melingkar.
Gradien kecepatan pada pengadukan dihitung dengan
perumusan 2.39.
Qh
G= ………………………………………..…..(2.39)
υHD 2

Sedangkan putaran air (ω dengan satuan 1/dt) tergantung


dari gradien kecepatan dan posisi titik pengamatan
terhadap sumber. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Dengan kembali mengacu pada persamaan 2.22,
dilakukan substitusi dy=dr (karena bersifat radial),
dv
sehingga G =
dr
Bila v=ωr maka
G = d (ωr / dr ) ……………………………………..….(2.40)
atau
 dr   dω 
G = ω   + r  ………………………….…….(2.40)
 dr   dr 

Apabila = K , maka
dr
KD
ω =G− ………………………………………….(2.41)
2
dengan batasan 0< K < 2.G/D

Apabila transfer energi untuk pengadukan sempurna,


maka K mendekati 0. Sedangkan apabila semburan air
dari lubang inlet kurang kuat dan air tidak berputar maka
K mendekati 2.G/D.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-29


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Untuk mendapatkan putaran yang baik perbandingan
antara diameter (2r) dan kedalaman air (H) didalam
kompartemen adalah 1:3 sampai dengan 1:5.
Pengadukan dengan putaran dilakukan pada jenis
Instalasi Kedasih yang dirancang oleh Ir Poedjastanto
CES dimana flokulator berbentuk hexagonal. Jenis IPA
ini sangat efektif dalam menghasilkan flok. Contoh IPA ini
adalah di PDAM Cimahi dengan kapasitas 150 L/dt.
(Lihat gambar 2.8).

inlet
outlet

Gambar 2.8. Flokulasi cyclone dengan bentuk hexagonal

Gambar 2.8 Flokulasi cyclone dengan bentuk


hexagonal

Contoh 2.4. perhitungan untuk kasus diatas adalah sbb. :


Diketahui :
Q= 50 L/dt. Air yang diolah adalah air sungai yang keruh. Setelah
koagulasi dilanjutkan dengan flokulasi buffle vertikal dengan cyclone
berbentuk hexagonal 6 tahap dimana
tahap 1 G = 70, td=2x60 dt
tahap 2 G = 60, td=2x60 dt
tahap 3 G = 40, td=2x60 dt
tahap 4 G = 30, td=2x60 dt

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-30


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
tahap 5 G = 25, td=2x60 dt
tahap 6 G = 20, td=2x60 dt
total td=12x60 dt
m = 0.798x10-3
ρ = 995.7 kg/m3
g = 9.81 m/dt2
υ= 0.8x10-6 (30oC)
Ditanya:
tentukan dimensi buffle channel dengan cyclone hexagonal untuk
flokulasi (untuk masing-masing zone)
Jawab:
Hasil perhitungan buffle channel dengan cyclone hexagonal untuk
flokulasi pada masing-masing zone dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.5.
Hasil Perhitungan Flokulasi dengan cyclone hexagonal
Uraian satuan formula Zone Zone Zone Zone Zone Zone
1 2 3 4 5 6
H (tinggi air) m Ditentukan 4.10 3.62 3.27 3.11 3.02 2.97
D=(Diameter) m Ditentukan 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37 1.37
1/4πD
2
A (luas dasar) m2 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46 1.46
h (beda tinggi) m Ditentukan 0.48 0.35 0.16 0.09 0.05 0.03
G (gradien m Rumus 71 64 46 35 27 21
kecepatan) 2.38
v (Kecepatan) m/dt Q/(H.B) 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03 0.03
td (waktu retensi) dt Ditentukan 120 120 120 120 120 120
4 3 3 3 3 3 3
Gxtd total= 3.10 8.10 8.10 5.10 4.10 3.10 2.10

iv). Pengadukan melalui plat berlubang


Pengadukan melalui plat berlubang memanfaatkan
kontraksi pada waktu air melalui lubang. Kehilangan
tekanan dapat dihitung dengan persamaan 2.35. Dan
apabila jumlah lubang ada N dan diameter lubang adalah
D maka persamaan 2.35 dapat dinyatakan sebagai
berikut.
KQ 2
h= ………………………………….…..(2.42)
π
2

2 gN  D 2 
4 

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-31


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Dengan menggabungkan persamaan di atas dengan
persamaan 2.29 maka akan diperoleh perumusan sbb.
12
1  8Q 3 K 
G=   ……………………………..(2.43)
πD 2  νALNxNy 
Dimana :
A= adalah luas plat (m2)
L=jarak antar plat (m)
Nx=jumlah lubang arah horizontal
Ny=jumlah lubang arah verikal
D= Diameter lubang (m)
K=Koefisien Kontraksi 2-4
g= percepatan gravitasi (m/dt2)
Pengadukan flokulasi dengan cara ini diterapkan pada
IPA Karang Pilang Surabaya 1000 L/dt, yang dirancang
oleh Dr Sutiman; IPA Purwakarta 50 L/dt, yang dirancang
oleh Ir Tamrin; dan Paket IPA Ruhak Pala ciptaan
Ir.H.Tobing. Keunggulan pada pengadukan dengan cara
ini adalah penggunaan ruang sangat ringkas tetapi
mempunyai kelemahan yaitu sulit dilakukan pengaturan
nilai G karena sifatnya statik. Untuk lebih jelasnya,
pengadukan flokulasi dengan menggunakan plat
berlubang dapat dilihat pada gambar berikut.

4.00
3.00

Lebar dengan lubang 30x30 Gambar 2.9. Flokulator melalui media berlubang

Gambar 2.9 Flokulasi melalui media berlubang

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-32


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Contoh 2.5. perhitungan untuk kasus diatas adalah sebagai
berikut :
Diketahui :
Q= 50 L/dt
Air yang diolah adalah air sungai yang keruh
Setelah koagulasi dillanjutkan dengan flokulasi plat berlubang
dengan posisi aliran vertikal kebawah dengan 4 tahap yaitu:
tahap 1 G= 70, td=3x60 dt
tahap 2 G= 60, td=3x60 dt
tahap 3 G = 40, td=3x60 dt
tahap 4 G = 20, td=3x60 dt
total td=12x60 dt
Ditanya:
tentukan dimensi buffle channel dengan media berbutir untuk
flokulasi (untuk masing-masing zone)
Jawab:
Hasil perhitungan buffle channel dengan media berbutir untuk
flokulasi pada masing-masing zone dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.6.
Hasil Perhitungan Flokulasi dengan melalui plat berlubang
Uraian satuan formula Zone 1 Zone 2 Zone 3 Zone 4
Lebar Plat m ditentukan 4.00 4.00 4.00 4.00
Panjang Plat m ditentukan 3.00 3.00 3.00 3.00
A (Luas Plat) m2 Panjang x 12.00 12.00 18.00 30.00
lebar
L (Jarak antar Plat) m ditentukan 0.75 0.75 0.50 0.30
Diameter lubang mm ditentukan 40.00 50.00 50.00 50.00
Diameter lubang m 1/1000.D 0.04 0.05 0.05 0.05
Nx (Jumlah lubang x) ditentukan 30.00 30.00 50.00 60.00
Ny (Jumlah lubang y) ditentukan 30.00 30.00 40.00 40.00
h (beda tinggi) m Rumus 2.29 0.10 0.10 0.10 0.10
G (gradien kecepatan) m Rumus 2.43 82.82 53.00 29.03 20.53
td (waktu retensi) dt ditentukan 180 180 180 180
4 4 4 3 3
Gxtd total= 3.10 1.10 1.10 5.10 4.10

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-33


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
v). Pengadukan dalam Cone
Pengadukan dalam cone umumnya dilakukan pada jenis
sedimentasi dengan aliran vertikal (up flow), lebih
jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.10.

A=18 m 3 , D=4,7m

1m

Gambar 2.10. Flokulasi melalui sludge blanket

Gambar 2.10 Flokulator melalui sludge blanket


Berdasarkan persamaan 2.25 daya pengaduk yang
dibutuhkan adalah:
P = ρgQh12 …………………………………………(2.44)
Dimana,
h12= kehilangan tekanan dari h1 sampai h2
 ρs − ρw 
h12 =     ………………………(2.44)
  ρ (1 − ε c )(h2 − h1 ) 

Dimana,
ρs= massa jenis flok (+ 1 600 kg/m3)
ρw= massa jenis air (+ 1 000 kg/m3)
ε e= flok yang terapung/Volume cone
ε e= (v/vs)0,2
dengan:
v= kecepatan aliran vertikal ke atas (1-3 m/jam)
vs= kecepatan pengendapan flok (3-6 m/jam), maka
ε e= (1/3)0,25sampai dengan (1/2)0,25

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-34


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Sehingga gradien kecepatan yang dihasilkan adalah:
 g ( ρ s − ρ w )(h2 − h1 ) 
12

G=  ………….…………….(2.35)
 ρ w (1 − ε c )υt d 
atau,
 g ( ρ s − ρ w )v 
12

G=  ………………………………..(2.35)
 ρw(1 − ε c )υ 

Contoh soal 2.6.:


Sebuah clarifier dengan sistem cone debit rencana adalah 20 L/dt.
Tebal sludge blanket zone adalah 1 m. Penampang cone adalah
18m2. Dan diameter 4,74 m. Dengan demikian Loading rate atau
kecepatan aliran ke atas adalah 4 m/jam. Lihat gambar 2.10
Berapa Gradien kecepatan G pengadukan dalam sludge blanket ?
Diketahui :
Q = 20 L/dt = 0.02 m3/dt
m = 0.798x10-3
ρ = 995.7 kg/m3
ρs = 1200 kg/m3
g = 9.81 m/dt2
υ = 0.8 x10-6
h2-h1= 1.00 m
V = 4.00 m/jam
Vs = 12.00 m/jam
Ditanya :G
Jawab :
ε = (V/VS)0.25= 0.76
A= 18 m2
Vcone = A.(h2-h1) = 18 m3
Td = 15 menit
 g (ρ s − ρ w )v 
12

G=  = 108 1/detik


ρ
 w (1 − ε c )
υ 

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-35


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
vi). Pengadukan dengan Pulsator
Proses pengadukan dengan pulsator adalah dengan
mengakumulasikan flok pada bagian dasar dari suatu bak
pengendap. Untuk dapat memperbesar flok air yang
sudah terkoagulasi tersebut, secara berkala flok
disentakkan/dikejut dengan cara mengalirkan air baku
secara tiba-tiba di inlet. Melalui sentakan ini, flok yang
kecil tertumbuk satu sama lain kemudian menghasilkan
flok yang lebih besar. Flok yang telah membesar dan
jenuh dibuang secara kontinu ke saluran pembuang.

Flokulator jenis ini dirancang oleh De’ Gremont, yaitu


perusahaan yang mengkhususkan diri dibidang
pengolahan air. Instalasi pengolahan yang menggunakan
flokulator jenis ini biasanya memiliki debit di atas 100 L/dt,
antara lain di Jakarta, Banjarmasin, Pontianak,
Samarinda dan Balikpapan.
Namun sebagian besar proses pulsator dari instalasi yang
ada sudah tidak berfungsi, umumnya disebabkan oleh
kurangnya faktor pemeliharaan.

2.4.3. Pengadukan secara mekanik

Pengadukan dengan cara mekanik pada intinya merupakan proses


memindahkan energi mekanik untuk keperluan pengadukan.
Pengadukan dilakukan dengan menggunakan blade, baik blade yang
berbentuk menerus maupun blade yang hanya diujungnya, seperti
yang tergambar dalam gambar 2.11.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-36


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Gambar 2.11.
Koagulasi dengan motor pengaduk

Gambar 2.11 Koagulasi dengan motor pengaduk

Energi yang diberikan dapat diformulasikan sebagai berikut :


P = F × vef …………………………………………………………...(2.45)
Dimana :
F= gaya gesek dari paddle (N)
Vef=kecepatan efektif paddle bergerak (m/dt)
F = 1 2 ρCdAvef2 ………………………………..…………………...(2.46)
Dimana :
Cd=koefisien Gesek (drag coeficient)
A=luas permukaan blade
ρ=massa jenis air

Dengan mensubsitusikan persamaam 2.46 ke dalam persamaan


2.45, maka diperoleh rumusan energi yang baru yaitu:
P = 1 2 ρCdAvef3 ………………………………..…………………...(2.4)

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-37


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

vef adalah kecepatan efektif yang bekerja antara blade dengan air. vef
melaju lebih lambat dari pada vb (kecepatan blade) sebanyak k*vb.
Nilai k merupakan koefisien blade, yang nilainya disesuaikan
menurut jenis blade yang digunakan, yaitu:
- Untuk blade pada ujung tangkai; k=0,25
- Untuk blade jenis menerus; k=0-0,15
Nilai Cd adalah sebesar 1,8 sedangkan untuk luas blade
besarannya adalah 15 sampai 20% dari penampang basah air yang
diaduk.
Rumusan kecepatan efektif dari ujung pengaduk adalah sbb.:
Vef = Vb − k × Vb ……………………………………………..……...(2.48)
atau
Vef = Vb(1 − k ) ……………………………………………..…..…...(2.49)

Bila vb Dikaitkan dengan putaran blade maka


Vb = ωr ……………………………………………………………...(2.50)
dimana,
ω=putaran perdetik
r= jarak blade dari pusat pemutaran
bila diketahui n= putaran per menit, maka :
ω = n / 60 ………………………………………………..…………..(2.51)

Jika persamaan 2.50 dan 2.51 disubstitusikan pada persamaan


2.49 maka diperoleh rumusan baru kecepatan efektif dari ujung
pengaduk, yaitu:

Vef = (1 − k )
n
r ………………………………………………….....(2.52)
60
sedang rumusan Luas Blade (A) untuk lebar = dr adalah:
A = Hdr ……………………………………………………………...(2.53)
Dimana, H = tinggi blade

Jika persamaan 2.52 dan 2.53 disubsitusikan pada persamaan


2.47 maka rumusan daya yang dibutuhkan untuk menggerakan
blade adalah :

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-38


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
3
 n 
dP = 1 2 ρCdHdr  (1 − k ) r  …………………………….……...(2.54)
 60 
Atau
3
 n 
dP = 1 2 ρCdH  (1 − k )  r 3dr …………………………….…….(2.55)
 60 

Apabila r1 sampai r2 merupakan lebar blade untuk dua sisi maka


rumusan daya yang dibutuhkan menjadi :
r2
  n  3 
3

P =∫  ρCdH  (1 − k )  r dr  ….…………………………….…(2.56)

r1 
 60  
Atau
 3

 n  1 4
P =  ρCdH  (1 − k )  ( )
r2 − r14  ………………………………(2.57)
  60  4 

Untuk koagulasi biasanya blade yang dipakai menerus dengan


demikian r1=0
Dengan demikian,
  n  1 
3

P =  ρCdH  (1 − k )  r 4  …………………………………......(2.58)
  60  4 
Sehingga,
P1 3
n=
[ρCdH ((1 − k )/ 60) 1 4r ]
…………………………….….....(2.59)
3 4 13

Sedangkan untuk blade yang berada r1 dari pusat putaran sampai r2


adalah sebagai berikut :
 3

 n  1 2
P =  ρCdH  (1 − k )  ( )
r2 + r12 (r2 + r1 )∆r  ………………......(2.60)
  60  4 
Sehingga,
P1 3
n=
[ρCdH ((1 − k )/ 60) 1 4(r ]
………….….....(2.61)
3
2
2
)
+ r12 (r2 + r1 )∆r
13

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-39


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Dimana ,
∆r = (r2 − r1 )
Instalasi Pengolahan Air di Indonesia jarang sekali yang memakai
sistem mekanik dengan menggunakan blade ini untuk flokulasi,
salah satunya adalah Instalasi Sei Ladi di P Batam dengan debit 100
L/dt.

Contoh Soal 2.7.:


Soal 2.7.1
Diketahui :
Koagulasi dengan menggunakan pengadukan mekanik untuk
mengolah air baku dengan debit 50 L/dt; G=1000; dan td = 1 menit.
Ditanya :
1. Berapa daya pengadukan?
2. Berapa daya motor pengaduk yang dibutuhkan yang dibutuhkan
bila efisiensi (η) daya =0,6?
3. Berapa putaran motor yang dibutuhkan?
Jawab:
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt
µ = 0.798x10-3; ρ = 995.7 kg/m3 ; ρs = 1600 kg/m3
g = 9.81 m/dt2; υ = 0.8x10-6 m2/dt;
Td =1menit = 60 detik
Cd = 1.8; k= 0.15; G = 1000 1/dt
Volume = Qxtd = 3 m3
Kedalaman bak = 1.5 m, Luas dasar bak = Vol/kedalaman = 2 m2
4A 4× 2
Diameter (d ) = = = 1.58m
π π
Jari-jari blade (r ) = diameter/2 = 0.79 m
Lebar blade = 0.3 m
Daya Pengadukan =P= µ.V.G2
P =2.394 watt
P 2.394
Daya motor pengaduk = Pmotor = = = 3.990 watt
η 0 .6
P1 3
n=
[ρCdH ((1 − k )/ 60) 1 4r ]
= 252 rpm
3 4 13

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-40


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Soal 2.7.2:
Diketahui :
Flokulasi dengan menggunakan pengadukan mekanik untuk
mengolah air baku dengan debit adalah 50 L/dt terbagi dalam 4
tahap dengan perincian sebagai berikut:
Tahap 1 G=100 dan td = 4 menit.
Tahap 2 G=60 dan td = 4 menit.
Tahap 3 G=40 dan td = 4 menit.
Tahap 4 G=20 dan td = 4 menit.
Ditanya : Untuk masing masing tahap:
1. Berapa daya pengadukan?
2. Berapa daya motor pengaduk yang dibutuhkan bila η=0,6?
3. Berapa putaran motor yang dibutuhkan?
Jawab :
Jawab: Hasil perhitungan flokulasi secara mekanik dengan
menggunakan paddle pada masing-masing tahap adalah sbb.
Tabel 2.7. Perhitungan Flokulasi secara mekanik
Parameter Satuan Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4
td= menit 4 4 4 4
detik 240 240 240 240
Volume= Qxtd Qxtd Qxtd Qxtd
Volume= m3 12 12 12 12
Kedalam bak= M 2.5 2.5 2.5 2.5
Luas dasar= m2 4.8 4.8 4.8 4.8
Diamater bak m 2.45 2.45 2.45 2.45
Jari jari r1 m 0.8 0.8 0.8 0.8
Parameter Satuan Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4
Jari jari r2 m 1.2 1.2 1.2 1.2
lebar blade= m 1.5 1.5 1.5 1.5
G= 1/dt 100 60 40 20
2
P= µ V.G
Ppengadukan= Watt 110.4 39.744 17.664 4.416
Pmotor= Watt 184 66.24 29.44 7.36

P1 3
n=
[ρCdH ((1 − k )/ 60) 1 4r ]3 4 13

Putaran blade RPM 37 26 20 13

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-41


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Gambar 2.12.
Pengadukan lambat dengan pengaduk mekanik

Gambar 2.12 Pengadukan lambat dengan pengaduk mekanik

2.4.4. Pengadukan Melalui Media

Pengadukan media dilakukan melalui media kerikil di dalam rongga


antar butir. Dengan demikian energi pengadukan diperoleh dari
kehilangan tekanan selama melalui media tersebut. Volume
pengadukan sama dengan volume rongga yang terdapat diantara
butir. Arah aliran dari pengadukan jenis ini dapat vertikal dari bawah
ke atas atau horizontal.
Kehilangan tekanan pada aliran vertikal dari bawah ke atas dapat
dihitung dengan menggunakan rumus 2.62.

hf =
(ρ s − ρ )(1 − ε )L …………………………………………….....(2.62)
ρ
Dimana:
Hf= kehilangan tekanan (m)
ρs= massa jenis butiran media kerikil (1 600 kg/m3)
ρ = massa jenis air (1.000 kg/m3)
ε = porositas media kerikil

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-42


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Sedangkan Gradien pengadukan yang terjadi adalah sebagai
berikut:
1
 g ( ρ s − ρ )(1 − ε )L  2
G=  ……………………………………….....(2.63)
 ρωtd 
Jika L/td merupakan kecepatan aliran atau loading permukaan Q/A
atau v, maka :
1
 g ( ρ s − ρ )(1 − ε )v 
2
G=  ……………………………………….....(2.64)
 ρυ 
Atau
 ρυG 2 
v=  …………….…………………………….....(2.64)
 g (ρ s − ρ )(1 − ε ) 

Pengadukan jenis ini di Indonesia belum ada kecuali pada taraf


laboratorium.

Contoh Soal 2.8.:


Diketahui :
Flokulasi melalui media kerikil dengan porositas 0,4.
Debit rencana adalah 50 L/dt dan G pengadukan yang perlu dicapai
adalah 60 1/dt dengan td pengadukan 7 menit.
Ditanya :
1. Berapa Volume kerikil yang dibutuhkan?
2. Berapa kecepatan filtrasi?
3. Berapa luaspermukaan filter?
4. Ketebalan media ?
Jawab :
Q = 50 l/det = 0.05 m3/dt
µ = 0.920x10-3
ρ = 995.7 kg/m3; ρs= 1600 kg/m3
g = 9.81 m/dt2
υ = 0.8x10-6 m2/dt
ε = 0.4
td = 420 detik
G = 60 1/detik

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-43


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Volume air (V) = Qxtd = 5x10 x420 = 21 m3
-2

1. Volume kerikil (Vs) = V/ε = 52.5 m3


2. Kecepatan filtrasi (v) :
 ρυG 2 
v= -04
 =9.31x10 m/dt
 g ( ρ s − ρ )(1 − ε ) 
3. Luas permukaan (A)
Q 5 × 10 −2
A= = = 53.7 m2
v 9.31 × 10 − 4
4. Ketebalan media (L)
L = v × td = 9.31 × 10 −04 × 420 =0.39 m

2.4.5. Pengadukan Secara Pneumatik (dengan udara)

Pengadukan dengan udara dilakukan dengan cara melepaskan


udara di dasar bak pengaduk sehingga selagi udara melewati air
baku, udara melakukan pengadukan.
Udara yang melewati air mengalami ekspansi secara eksotermis.
Pada proses ini:
PV = kons tan ……………………………………………………..(2.66)
Dimana:
P= tekanan (N/m2)
V=Volume (m3)
Kerja yang dilakukan udara adalah:
δE = ∫ PδV + ∫ VδP ………………………………………………..(2.67)

Selama udara naik, perubahan volume kecil dan dapat diabaikan:


∫ PδV = 0 …………………………………………………………...(2.68)

Jadi energi yang bekerja adalah


P2
∫ VδP ……………………………………………………………...(2.69)
Pi

Karena P.V=p1V1=p2V2=K maka

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-44


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi
Pt Pt K P
∫ VδP = ∫ = K ln t  …………………………………...(2.70)
P0 P 0 PδP  Po 
atau
 Pt 
δE = PδV ln  …………………………………..……………...(2.71)
 Po 

Daya yang bekerja adalah Kerja/Usaha yang bekerja pada suatu


satuan waktu, yaitu:
δE
P= …………………………………..………………………....(2.72)
δt
atau
P
PδV ln t 
P=  Po  ………………………..………………………...(2.73)
δt

Udara yang dialirkan adalah


δV
Q= ………………………..……………..…………………...(2.74)
δt
Sehingga,
P
P = PoQ ln t  ………………………..……………….…………...(2.75)
 Po 
Dimana:
po= 1 atmosfir =10 336 N/m2
Qu = debit udara aerasi m3/dt
ρgH, dimana H adalah kedalaman air yang ditempuh udara
pt= po +ρ

Rumusan gradien kecepatan (G) yang dihasilkan dapat diperoleh


dengan mensubstitusi persamaan 2.73 pada persamaan 2.25, yaitu:
1
 Pt  2
 PoQ ln P 
G= o
 ………………………………………………..…..(2.76)
 µV 
 
Pengadukan dengan cara ini di Indonesia belum ada kecuali skala
laboratorium.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-45


BAB II : Koagulasi dan Flokulasi

Contoh Soal 2.9.:


Diketahui :
Flokulasi melalui aerasi.
Debit rencana adalah 50 L/dt sedang G pengadukan yang perlu
dicapai adalah 60 1/dt. Td pengadukan adalah 7 menit dan
kedalaman bak adalah 2,5 m.
Ditanya:
1. Berapa Volume bak aerasi yang dibutuhkan?
2. Debit udara dan tekanan yang dibutuhkan?
Jawab:
Q = 50 l/det = 0.05 m3/dt
µ = 0.920x10-3
ρ = 995.7 kg/m3; ρs= 1600 kg/m3
g = 9.81 m/dt2
υ = 9.24x10-7 m2/dt
td = 420 detik
G = 60 1/detik
Po= 10333 N/m3
1. Volume air (V) = Qxtd = 5x10-2x420 = 21 m3
2. Debit udara (Qu) dan tekanan (P) yang diperlukan
P = µ.V.G2 = 70 watt
P
P = PoQ ln t 
 Po 
Pt= Po +ρgH = 10333 + 995.7x 9.81x2.5 = 34.752 N/m3=3.35 atm
Q= 0.0017 m3/dt =1.7 L/dt

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air II-46


BAB III
SEDIMENTASI

3.1. Umum

Sedimentasi atau pengendapan adalah proses pemisahan partikel yang


ada di dalam air secara gravitasi. Keberadaan partikel di dalam air
dapat diukur dengan dua cara yaitu dengan melihat tingkat kekeruhan
air atau dengan mengukur langsung berat zat padat yang terlarut.
Beberapa metode dan satuan yang digunakan untuk mengukur tingkat
kekeruhan yaitu :
• Kekeruhan diukur dengan satuan mg/L SiO2 atau dengan NTU
diukur dengan turbidity meter Helige.
• Kandungan zat padat dalam air (solid) diukur dengan satuan mg/L
Cara pengukurannya dilakukan dengan mengeringkan sampel air
sehingga zat padat terpisah dan dapat diukur beratnya.

Pengendapan kandungan zat padat dalam air berdasarkan kadar solid


dan kadar partikel dapat digolongkan dalam empat jenis, yaitu:
• Pengendapan diskrit (klas 1)
• Pengendapan flokulen (klas 2)
• Pengendapan zone
• Pengendapan kompresi/tertekan
Gambaran penggolongan kandungan zat padat dalam air dapat dilihat
pada gambar 3.1
Dalam proses pengolahan air dengan sistem lengkap, pengendapan
umumnya difokuskan pada pengendapan klas 1 dan klas 2.

3.2. Pengendapan Diskrit


3.2.1. Umum

Proses pengendapan diskrit dapat diumpamakan dengan proses


pengendapan sebuah partikel berbentuk bola yang jatuh ke dalam air.
Ilustrasi proses jatuhnya partikel ditunjukkan pada gambar 3.2.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III-1


BAB III : Sedimentasi

rendah
Klas 2

Klas 1

Kadar solid
Zone

Tinggi Kompresi

Diskrit bentuk Flokulen

Gambar 3.1.
Penggolongan kadar solid dan bentuk partikel

Gambar 3.1 Penggolongan kadar solid dan bentuk partikel

Fg
Fa

Fj
Gambar 3.2.
Gaya gaya yang bekerja pada saat
sebuah benda jatuh di dalam air

Gambar 3.2 Gaya-gaya yang bekerja


pada saat partikel jatuh dalam air

Keterangan gambar :
• Fj adalah gaya jatuhnya partikel akibat gaya garvitasi yang arahnya ke bawah
• Fg adalah gaya gesekan yang bekerja pada permukaan bola yang arahnya ke atas
• Fa adalah gaya archimedes yaitu gaya ke atas yang besarnya sebanyak jumlah zat
cair yang dipindahkan.

Dari gaya-gaya yang bekerja tersebut dapat dibentuk persamaan sbb.:


ma = Fj − Fg − Fa ………………………………………………....3.1.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 2


BAB III : Sedimentasi
Dimana:
m= massa partikel
a=percepatan jatuh partikel
dan rumusan dari masing-masing gaya Fj, Fg, dan Fa adalah sbb.:
Fj = mg = ρ sVg …………………………………………….……...3.1.
1
Fg = c d Av 2 ρ w …………………………………. ……….……....3.2.
2
Fa = ρ wVg ……………………………………………….………....3.3.
Dimana :
m = massa partikel
g = percepatan gravitasi
ρs = massa jenis partikel
ρw = massa jenis air
V = volume partikel
A = luas permukaan bola
cd = Koefisien gesekan (Drag Coeficient)

Pada saat terjadi keseimbangan, percepatan (a) =0 sehingga,


Fj = Fg + Fa …………………………………………………..…...3.4.
Bila partikel dianggap bola, maka berlaku:
1
V = πD 3 …………………………………………………..…..…...3.5.
6
dan
1
A = πD 2 …………………………………………………..…..…...3.6.
4
Dengan mensubstitusi persamaan-persamaan di atas maka dapat
dihitung kecepatan pengendapan dengan rumusan sbb.:
1
 4 g ( ρ s − ρ w )D  2
v=  ……………………………………..…..….3.7.
3
 d c ρ w 

Nilai cd tidak selalu konstan melainkan bergantung dari bilangan


Reynold, yaitu bilangan yang menggambarkan turbulensi air di sekitar
partikel. Bilangan Reynold itu sendiri tergantung dari diameter
kecepatan dan viskositas kinematik atau secara matematis dapat ditulis
seperti pada persamaan 3.8 berikut.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 3


BAB III : Sedimentasi
vD
Re = …………………………………………………..…..….…....3.8.
µ
Dimana µ adalah viskositas kinematik cairan yang sangat tergantung
pada suhu. Pendekatan formulasi Cd berdasarkan nilai bilangan
Reynold dapat dilihat pada persamaan-persamaan berikut.
24
Cd = , untuk Re < 1 …………………………………..…..…...…..3.9.
Re
24
Cd = 1
, untuk1 < Re < 50 …………………………..…..…....….3.10.
Re 3
4,7
Cd = 1
, untuk 50 < Re < 1620 ..……………………..…..…...….3.11.
3
Re
Cd = 0.4, untuk Re > 1620 …………………………………..…..…..3.12.

Dengan mensubtitusi persamaan 3.9, 3.10, 3.11, 3.12 ke persamaan


3.7. maka diperoleh rumusan kecepatan berdasarkan nilai bilangan
Reynold yaitu:
1 g (ρ s − ρ w ) 2
v= D , untuk Re < 1 ….……………………………...3.9.
18 µ ρw
1 g 0.8 ( ρ s − ρ w )
0.8

v= D 1.4 , untuk1 < Re < 50 ….………….……..3.10.


10 µ 0.6 ρw
1 g 0.6 ( ρ s − ρ w )
0.6

v= D 0.8 , untuk 50 < Re < 1620 …..………..…3.11.


23 µ 0.2 ρw
1 0.5 ( ρ s − ρ w )
0.5

v= g D 0.5 , untuk Re > 1620 ….……………….3.12.


1.83 ρw

3.2.2. Penyebaran Nilai Endap

Adanya variasi dalam ukuran, bentuk dan massa jenis partikel dalam air
menyebabkan masing-masing partikel mempunyai kecepatan endap
yang berbeda. Jadi sebenarnya kecepatan nilai endap dapat dihitung,
jika volume berat dan bentuk dari masing masing partikel suspensi
diketahui.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 4


BAB III : Sedimentasi
Perhitungan nilai endap ini diharapkan dapat menggambarkan sifat
endap partikel dalam air. Sehingga berdasarkan sifat-sifat inilah dapat
direncanakan suatu bak pengendap yang dapat mengendapkan
sebagian partikel dalam air. Misal suatu air baku mempunyai distribusi
kecepatan pengendapan seperti pada tabel 3.1. dan gambar 3.3

Tabel 3.1 Distribusi Kecepatan Partikel Dalam Air

Kecepatan pengendapan Jumlah partikel


%
-3
0 - 0.069 10 m/dt 0.0
-3
0.069 - 0.093 10 m/dt 0.5
-3
0.093 - 0.139 10 m/dt 2.4
-3
0.139 - 0.185 10 m/dt 4.8
-3
0.185 - 0.231 10 m/dt 9.6
-3
0.231 - 0.278 10 m/dt 16.3
-3
0.278 - 0.324 10 m/dt 16.3
-3
0.324 - 0.37 10 m/dt 14.4
-3
0.37 - 0.416 10 m/dt 12.0
-3
0.416 - 0.462 10 m/dt 9.6
-3
0.462 - 0.508 10 m/dt 7.2
-3
0.508 - 0.556 10 m/dt 4.8
-3
0.556 - 10 m/dt 2.4
100

Gambar 3.3.
Distribusi Kecepatan Partikel

20

15
prosen partikel

10
Partikel yg
tdk mengendap
5
Partikel yg mengendap

0
0.069 0.093 0.139 0.185 0.231 0.278 0.324 0.37 0.416 0.462 0.508 0.556

kecepatan pengendapan x001 m/dt

dist partikel Partikel yg mengendap

Gambar 3.3 Distribusi Kecepatan Partikel

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 5


BAB III : Sedimentasi
Air dengan komposisi seperti di atas diendapkan dalam suatu tabung
dengan ketinggian air 1 m. Dalam 3600 detik dapat dipastikan bahwa
partikel dengan kecepatan 1/3600 m/dt (0,278x10-3 m/dt) sudah
mengendap. Dengan kata lain yang sudah pasti mengendap adalah
16,3%+14,4%+12%+9.6%+7.2%+4.8%+2.4%=66.6% dari zat padat
yang ada.

Sedangkan partikel dengan kecepatan pengedapan dibawah 0,278 x


103 m/dt, hanya sebagian saja yang mengendap. Bagian yang
mengendap adalah partikel dengan posisi sedemikian rupa, yang
berada pada posisi dibawah 1 m, sehingga setelah waktu pengendapan
3600 detik, partikel ini sudah berada di bawah tabung. Sedangkan
bagian partikel yang tidak mengendap adalah partikel pada posisi
sedemikian rupa, yang berada pada posisi dibawah 1 m, sehingga
setelah waktu pengendapan 3600 detik partikel ini masih ada di atas
dasar tabung. Banyaknya partikel yang mengendap dengan kecepatan
pengendapan di bawah 0,278 x 10-3 m/dt dapat dirinci menurut tabel
3.2.
Tabel 3.2
Perhitungan Jumlah Partikel Yang Mengendap Dalam Air
-3
Kecepatan pengendapan 10 Partikel Partikel
Distribusi Kec. Rata-Rata Kec dg yg ada Terendap
Pengendapan Kec. t=3600dt %Terendap (%) (%)
0 - 0.069 0.035 0.278 12 0.0 0.0
0.069 - 0.093 0.081 0.278 29 0.5 0.1
0.093 - 0.139 0.116 0.278 42 2.4 1.0
0.139 - 0.185 0.162 0.278 58 4.8 2.8
0.185 - 0.231 0.208 0.278 75 9.6 7.2
0.231 - 0.278 0.255 0.278 92 16.3 14.9
Partikel yg sebagian mengendap Total 33.4 26.0
0.278 - 0.324 0.301 0.278 100 16.3 16.3
0.324 - 0.37 0.347 0.278 100 14.4 14.4
0.37 - 0.416 0.393 0.278 100 12.0 12.0
0.416 - 0.462 0.439 0.278 100 9.6 9.6
0.462 - 0.508 0.485 0.278 100 7.2 7.2
0.508 - 0.556 0.532 0.278 100 4.8 4.8
0.556 - 0.278 0.278 100 2.4 2.4
Partikel yang mengendap semua Total 66.6 66.6

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 6


BAB III : Sedimentasi

Merupakan suatu hal yang tidak mungkin untuk mendapatkan distribusi


kecepatan seperti di atas secara langsung. Karena itu pendekatan yang
digunakan adalah dengan cara laboratorium, yaitu dengan terlebih
dahulu mencari besar persentasi partikel yang mengendap secara
kumulatif.

Peralatan laboratorium yang digunakan untuk mencari nilai endap


adalah alat berbentuk tabung silinder yang terbuat dari plastik tembus
pandang dengan diameter 0,15-0,3 m dan tinggi 2 m, seperti yang
terlihat pada gambar 3.4.
Sebelum digunakan, tabung silinder tersebut dimasukkan ke dalam
lubang air yang lebih besar untuk menjaga temperatur agar tetap
konstan. Mula mula tabung diisi air baku yang keruh, kemudian diaduk
sampai merata. Setelah tenang, baru percobaan dapat dimulai.

Sampel air diambil pada kedalaman 1 m, selama selang waktu tertentu.


Dan data yang diperoleh dapat dilihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3
Hasil Percobaan Perhitungan Distribusi Partikel dalam Air
(H=1.00 m)
t (detik)
No Uraian 0 1800 3600 5400 7200 10800 14400
-3
1 Kecepatan (h/t) Vo (10 ) 0.556 0.278 0.185 0.139 0.093 0.069
2 Konsentrasi (C ) mg/L Co=70 68.3 23.4 5.4 2.0 0.3 0.0
3 C/Co Dist (%) 100 97.6 33.5 7.7 2.9 0.5 0.0
Komulatif
4 Distribusi (%) 2.4 64.1 25.8 4.8 2.4 0.5
frekuensi

Kesimpulan yang dapat diambil dari tabel di atas yaitu:


1. Baris 1 dan 2 adalah data dari sampel air yang diambil pada
kedalaman 1 m (h=1m). Pada t = 0, konsentrasi zat padat adalah 70
mg/L sedang pada t = 1800 detik, konsentrasinya 68,3 mg/L.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 7


BAB III : Sedimentasi
2. Baris ke 1 adalah kecepatan pengendapan, yaitu tinggi air dibagi
dengan waktu pengamatan atau waktu pengendapan. Sebagai
contoh, pada t = 1800 detik, maka kecepatan pengendapannya
adalah : (h/t) = 1/1800 = 0,566 x 10-3m/dt.

3. Baris 2 adalah konsentrasi partikel dalam air dengan kecepatan


pengendapan lebih kecil dari kecepatan pada baris 1. Sebagai
contoh, konsentrasi partikel sebesar 68,3 mg/L memiliki kecepatan
pengendapan 0,566 x 10-3m/dt, yang notabene kecepatannya lebih
kecil dari konsentrasi awal, demikian seterusnya.

4. Karena konsentrasi menggambarkan jumlah berat partikel per


satuan volume maka baris 3 menggambarkan prosen berat partikel
dibandingkan dengan berat partikel pada t = 0 detik.

5. Baris 4 menggambarkan penyebaran (distribusi) partikel dalam


berbagai kecepatan pengendapan. Sebagai contoh jumlah partikel
yang memiliki kecepatan pengendapan 0.185-0.278 x 10-3 m/dt
sekitar 20%.
Berdasarkan percobaan di atas, distribusi kecepatan pengendapan
partikel yang ada di dalam air dapat diperkirakan. Gambaran distribusi
pengendapan partikel dalam air dapat dilihat pada gambar 3.4.

Gambar 3.4. Perhitungan Pengedapan Partikel


100%
1-p*

H
P*

Area dg luas yg sama


Vo
p*

Kec x 10-3 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

Gambar 3.4 Distribusi Kecepatan Pengendapan Partikel dalam Air

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 8


BAB III : Sedimentasi
Keterangan gambar 3.4:
1. (Vt.dp)=p* Dimana p* adalah titik pada sumbu p dengan daerah diarsir sebelah kiri
sama dengan sebelah kanan.
2. Yang terendap langsung r=1-p*
3. Yang terendap sebagian adalah p*/V
4. Maka total yang terendapkan adalah (1-p*)+p*/V

Apabila air tersebut diendapkan selama waktu T sehingga partikel


dengan kecepatan di atas Vo terendap semua (Vo adalah ketinggian
tabung (H) dibagi dengan waktu endap T atau Vo=H/T), maka jumlah
partikel yang terendap adalah :

(
R = 1 − p* + ) ∑ Vtdp
Vo
….………………………………………………3.13.

Hal ini juga digambarkan pada gambar 3.4 (keterangan :r adalah fungsi
p(V) %).

3.3. Efisiensi Pengendapan

Efisiensi pengendapan adalah jumlah konsentrasi zat padat yang


terendap di dalam suatu proses pengendapan dibagi dengan jumlah
konsentrasi zat padat yang masuk, atau bentuk rumusannya adalah
sbb.:
C2
η= ……………………………………………….………………..3.14.
C1
Dimana :
C1 = konsentrasi influen atau air yang masuk ke dalam bak pengendap;
C2 = konsentrasi yang diendapkan

C3 = C1 − C2 ……………………………………………..…………….3.15.
Atau
C2 = C1 − C3 ……………………………………………..…………….3.15
Dimana :
C3 = konsentrasi efluen/air yang keluar dari bak pengendap

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 9


BAB III : Sedimentasi
Dengan mensubstitusikan persaman 3.15 dalam persamaan 3.14 maka
diperoleh rumusan efisiensi pengendapan sbb.:
C1 − C3
η= ……………………………………………..……………..…3.16
C1
Atau
C3
η = 1− ……………………………………………..………..………..3.17
C1

Contoh Soal 3.1:


Suatu bak pengendap mempunyai konsentrasi kekeruhan air yang
masuk (influen) C1 = 80 mg/L SiO2 dan efluen C3 = 8 mg/L SiO2
Berapa efisiensi pengendapan ?
C3 8 9
η = 1− = 1− = = 90%
C1 80 10

3.4. Pengedapan Flokulen (Klas 2)

Beberapa asumsi yang digunakan untuk mempelajari teori


pengandapan flokulen antara lain :
1. Partikel flokulen yang diendapkan tidak berbentuk bulat tetapi
berbentuk tidak beraturan, yang disebabkan oleh pengaruh
penggabungan beberapa partikel selama masa flokulasi.
2. Selama mengendap flok mengalami penggabungan, sehingga
semakin lama semakin besar. Hal ini mengakibatkan berat flok
semakin lama semakin berat dan flok semakin cepat mengendap.

Distribusi kecepatan flok mengendap dapat dilihat pada gambar 3.5

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 10


BAB III : Sedimentasi

Kec
Pengendapan
V

Waktu pengendapan t
Gambar 3.5.
Kecepatan Pengedapan Flok terhadap waktu

Gambar 3.5 Kecepatan pengendapan flok terhadap waktu

Efisiensi penyisihan dari pengendapan klas 2 dapat dihitung melalui


sebuah percobaan tabung (seperti digambarkan pada gambar 3.6).
Tabung ini terbuat dari kaca tembus pandang berbentuk silinder dengan
diameter 0,3 m dan tinggi 2,00 m. Pada beberapa kedalaman z1 sampai
z5, contoh air dapat diambil melalui selang yang dihubungkan ke tabung.

z1 C(1,t 1) C(5,t2 ) C(5,t 3) C(5,t 4 )

C(2,t1 ) C(5,t ) C(5,t 3) C(5,t 4)


z2 2

H C(3,t1 ) C(5,t2 ) C(5,t 3) C(5,t 4)


z3

C(4,t 1) C(5,t2 ) C(5,t 3) C(5,t4 )


z4

C(5,t1 ) C(5,t 2) C(5,t3 ) C(5,t 4 )


z5
Gambar 3.6 t1 t2 t3 t4
Pengendapan flokulen W aktu (detik)

Gambar 3.6 Metode perhitungan penyisihan pengendapan Flokulen

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 11


BAB III : Sedimentasi

Sampel air kemudian diambil dari masing masing kedalaman selama


selang waktu tertentu (t1 sampai dengan t4). Kemudian konsentrasi zat
padat dalam masing masing sampel C(z,t) diplot dalam grafik seperti
pada gambar 3.7. Garis yang ada dalam grafik menggambarkan
isokonsentrasi kekeruhan.

Total pengendapan yang terjadi setelah waktu t adalah :


Konsentrasi partikel yang ada di dasar tabung setelah waktu t
ditambah dengan partikel yang terkandung diatas dasar tabung.

90 20 12 8 3

25 17 15 5
70

30 20 17 8
50
32 23 18 10
30
35 25 20 15
10
2400
1800 3600 5400 7200
Waktu (detik )
Gambar3.7.
Kurva iso-konsentrasi

Gambar 3.7 Kurva isokonsentrasi

Berdasarkan gambar 3.6, konsentrasi partikel yang ada di dasar tabung


adalah C(5,t). Sedangkan konsentrasi partikel yang terendap di atas
dasar tabung adalah :
• Untuk ketinggian antara z5 dan z4 = (V5+V4).(C(5,t)-C(4,t)
2.V5
• Untuk ketinggian antara z4 dan z3 = (V4+V3).(C(4,t)-C(3,t)
2.V4
• Untuk ketinggian antara z3 dan z2 = (V3+V2).(C(3,t)-C(2,t)
2.V3
• Untuk ketinggian antara z2 dan z1 = (V2+V1).(C(2,t)-C(1,t)
2.V2

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 12


BAB III : Sedimentasi
• Untuk ketinggian antara z1 dan z0 = (V1+V0).(C(1,t)-C(0,t)
2.V1
Dimana: V = kecepatan pengendapan
z
V =
t
Berdasarkan formulasi di atas, maka konsentrasi partikel pada
ketinggian z5 dan z4 adalah sbb.:
(z 5 + z 4 ) / t ( ( ) ( ))
C 4 −5 = C 5, t − C 4, t …………………………..……….3.18.
2 z5 / t
Atau
(z 5 + z 4 ) ( ( ) ( ))
C 4 −5 = C 5, t − C 4, t ….…..…………………..….……….3.18.
2 z5
Maka total pengendapan yang terjadi adalah:
(z5 + z4 ) (z4 + z3) (z3 + z2 )
Ctotal = C(5,t) + (C(5,t) −C(4,t)) + (C(4,t) −C(3,t)) + (C(3,t) −C(2,t))
2z5 2z5 2z5
(z2 + z1) (z1 + z0 )
+ (C(2,t) −C(1,t)) + (C(1,t) −C(0,t))
2z5 2z5
Contoh soal 3.2.:
Percobaan pengendapan partikel flok adalah sebagai berikut :
Suatu air baku dengan konsentrasi 40 mg/L dimasukkan ke dalam
tabung percobaan setinggi 1 m dan dialirkan melalui kran pengamatan
dengan ketinggian sebagai berikut:
• Z1=0,1 m
• Z2=0,3 m
• Z3=0,5 m
• Z4=0,7 m
• Z5=0,9 m

Waktu pengambilan sampel adalah 1800, 3600, 5400, dan 7200 detik.
Konsentrasi yang diambil dari masing masing kedalaman dalam waktu
tersebut di atas, terinci dalam tabel 3.4 berikut.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 13


BAB III : Sedimentasi

Tabel 3.4.Data Pengamatan Konsentrasi C(z,t)


Satuan dalam mg/L SiO2 (Lihat gambar 3.7)
1800 3600 5400 7200
Z1 20 12 8 3
Z2 25 17 15 5
Z3 30 20 17 8
Z4 32 23 18 10
Z5 35 25 20 15

Ditanya:
1. Berapa total konsentrasi yang terendapkan pada waktu 3600 detik
2. Berapa total konsentrasi yang terendapkan pada waktu 2400 detik

Jawab:
1. Total konsentrasi yang terendapkan pada t =3600 detik adalah:

C 3600 = 25 +
(0,9 + 0,7) (25 − 23) + (0,7 + 0,5) (23 − 20) + (0,5 + 0,3) (20 − 17 )
2.0,9 2.0,9 2.0,9

+ (17 − 12) +
(0,1 + 0) (12 − 0)
2.0,9
C 3600 = 25 + 1,78 + 2 + 1,33 + 1,11 + 0,66 = 31,88mg / l

2. Sehubungan t=2400 tidak diamati secara langsung, maka konsentrasi


pada waktu tersebut dicari dengan menggunakan grafik pada
gambar 3.7, sehingga diperoleh :

C 2400 = 30 +
(0,9 + 0,7) (30 − 28) + (0,7 + 0,5) (28 − 25) + (0,5 + 0,3) (25 − 20)
2.0,9 2.0,9 2.0,9

+ (20 − 17 ) +
(0,1 + 0) (17 − 0)
2.0,9
C 2400 = 30 + 1,78 + 2 + 2,22 + 0,67 + 0,94 = 37,61mg / l

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 14


BAB III : Sedimentasi
3.5. Perencanaan Bak Pengendap

3.5.1. Umum

Secara umum, beberapa hal yang perlu direncanakan dalam


sistem bak sedimentasi adalah:
1. Perencanaan Bidang pengendapan
2. Perencanaan inlet dan outlet
3. Perencanaan ruang lumpur

Untuk perencanaan bidang pengendapan, ada dua jenis bak


pengendap yang dikenal yaitu :
1. Bak pengendap dengan aliran batch
2. Bak pengendap dengan aliran kontinu meliputi:
a. Bak pengendap dengan aliran horizontal
b. Bak dengan plat settler
c. Bak pengendap dengan aliran ke atas

Beberapa parameter penting yang perlu diperhatikan dalam


perencanaan bak pengendap adalah waktu pengendapan dan
karakteristik aliran, yang ditunjukkan dalam bilangan Reynold
dan bilangan Fraude.

3.5.2. Bak Pengendap dengan Aliran Batch

Pengendapan dengan aliran batch dapat digambarkan melalui


ilustrasi air baku yang keruh atau hasil flokulasi yang
dimasukkan ke dalam sebuah bak, kemudian didiamkan selama
waktu t. Setelah waktu t, partikel zat padat yang ada di dalamnya
terendapkan tanpa terjadi pengurangan air dari dalam atau
penambahan dari luar bak.

Jika Vo adalah kecepatan pengendapan air baku dari bak


pengendap, dengan besaran yaitu:
H
Vo = ………………………………………………….………(3.20)
t

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 15


BAB III : Sedimentasi
Dimana :
H= ketinggian bak pengendap
t= waktu pengendapan

Efisiensi pengendapan tergantung dari jenis dan klasifikasi


pengendapan. Sebagai contoh, air baku dengan partikel diskrit
akan mengendap sesuai dengan perumusan pengendapan
diskrit yang telah dibahas pada bagian sebelumnya, demikian
juga dengan air baku yang mengandung partikel yang bersifat
flokulen.

Dalam prakteknya, bak pengendap jenis batch tidak/jarang


diimplementasikan. Hanya dalam kondisi tertentu seperti
keadaan darurat, metode ini sering dilakukan, misalnya untuk
membantu proses penjernihan air di kawasan pengungsian.
Proses penjernihan yang dilakukan adalah sebagai berikut: air
baku dimasukkan ke dalam tong 200 L dan dibubuhkan
koagulan secukupnya. Kemudian campuran air baku dan
koagulan tersebut diaduk hingga merata selama sekitar 5 menit
lalu didiamkan selama sekitar setengah jam. Untuk menghindari
kontaminasi secara bakteriologis, maka air dibubuhi desinfektan
terlebih dahulu, baru kemudian dapat dikonsumsi.

3.5.3. Bak pengendap dengan aliran kontinu


Bak pengendap dengan aliran kontinu, terdiri dari komponen
sbb.:
1. Zone inlet
2. Zone bidang pengendapan
3. Zone outlet dan
4. Zone penampungan lumpur

Gambaran denah dan potongan bak pengendap dapat dilihat


pada gambar 3.8.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 16


BAB III : Sedimentasi

Q B Q


Zone
Zone
L
bidang pengendapan
Zone
inlet outlet
DENAH

Q Vo Q
H
Vs
Zone Penampung Lumpur

POTONGAN

Gambar 3.8.
Bak Pengendap

Gambar 3.8 Denah dan Potongan Bak Pengendap

Untuk mendapatkan pengendapan yang ideal (seperti pada


gambar 3.8), kondisi aliran harus memenuhi kriteria sbb. :

1. Zone inlet
Pada zone inlet, air yang masuk diasumsikan langsung
merata pada potongan melitang/penampang bak pengendap
dan dengan tingkat kandungan SS (Suspended Solid) yang
homogen. Ketidak-merataan pada zone inlet ini dapat
menghasilkan turbulensi yang nantinya dapat meruntuhkan
atau menghancurkan flok yang telah terbentuk di flokulator.
Untuk menghindarkan turbulensi ini, aliran air harus
mempunyai kecepatan aliran yang tidak melebihi 0,3 m/detik
serta digiring secara stream line masuk dalam bidang
pengendapan.

Zone inlet juga dapat berupa pipa lateral berlubang yang


mengarah ke bawah (lihat gambar 3.9) sehingga air yang
keluar dapat dibagi merata sepanjang bidang pengendapan.
Hal ini banyak dilakukan pada pengendapan dengan plat
miring.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 17


BAB III : Sedimentasi

Gutter Outlet Pipa Inlet

Pipa Inlet

Gambar 3.9
Potongan Memanjang bak sedimentasi

Gambar 3.9 Potongan memanjang bak sedimentasi

Diameter lubang pada pipa inlet dihitung berdasarkan


persamaan sbb.:
Vo 2
h= ….……………………………………………..…..3.21.
2g
Dimana :
h = Kehilangan tekanan pada saat keluar dari lubang 0,1
sampai 1 cm
Vo= Kecepatan air pada saat melalui lubang

Apabila debit per lubang Qo= Vo .π/4.D2 dan Qo= Q/N,


dimana Q adalah debit total dan N jumlah lubang, maka :
1
 2
4Q
D=  .……………………………………...3.22.
 Nπ (2 gh ) 12 
 

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 18


BAB III : Sedimentasi
Contoh Soal 3.3.
Diketahui :
Sebuah Bak Pengendap dengan Plate Settler mempunyai
inlet dibawah plat berupa pipa berlubang di tiga sisi seperti
pada gambar 3.9. Debit rencana sebuah bak adalah 50 L/dt
jumlah pipa inlet adalah 3 buah kecepatan aliran dalam pipa
adalah 0,3 m/dt dengan kehilangan tekanan pada lubang
adalah 0.5 cm.
Ditanya :
• Berapa diameter pipa inlet?
• Berapa diameter lubang dan jumlah lubang?
Jawab:
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt = 180 m3/jam
v = 0.3 m/dt
Jumlah Pipa = 3 buah
Debit Per pipa = 50/3 L/dt = 17 L/dt
Luas Penampang Pipa = 0.0556 m2
• Diameter (D)
1
 2
 4Q  = 0.26 m =260 mm
D=
 Nπ (2 gh ) 12 
 
• Diameter dan jumlah lubang
Panjang = 5 m
Jumlah lubang per sisi = 24 buah
Jumlah lubang per pipa = 72 buah
Jumlah lubang total (N) = 216 buah
Jarak lubang = 20.0 cm
Kapasitas per lubang = 0.2 l/dt
h diatas lubang = 0.5 cm
diameter lubang = 0.031 m = 31 mm = 1 ¼ inci

2. Zone bidang pengendapan


Pada zone bidang pengendap, flok yang telah terbentuk
diharapkan dapat mengendap. Secara ideal bidang
pengendapan ini harus memenuhi asumsi, yaitu aliran harus
merata (mempunyai kecepatan yang sama) di seluruh

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 19


BAB III : Sedimentasi
potongan melintang dan mempunyai kecepatan yang harus
sama di sepanjang bidang pengendapan.
Ada tiga jenis bidang pengendap yaitu :
a. Bak pengendap dengan aliran horizontal
b. Bak dengan plat settler aliran miring
c. Bak pengendap dengan aliran ke atas

Asumsi umum yang digunakan dalam teori pengendapan


adalah sebagai berikut :
• partikel flok yang mengendap tidak dipengaruhi oleh
kecepatan aliran.
• kecepatan pengendapan flok merata diseluruh bidang
pengendapan.
• partikel flok yang sudah mengendap tidak terangkat lagi.

Uniformitas dan turbulensi aliran pada bidang pengendap


sangat mempengaruhi kecepatan pengendapan. Oleh sebab
itu, bilangan fraude yang menggambarkan tingkat uniformitas
aliran dan turbulensi aliran yang digambarkan oleh bilangan
Reynold harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Bilangan Fraude Fr>10-5
- Bilangan Reynold Re<500
Rumusan Bilangan Fraude adalah sbb.:
Vo 2
Fr = ….………………………………………………..3.23.
gR
Sedang rumusan untuk bilangan Reynold adalah sbb.: :
VoR
Re = ….……………………………………………….3.24.
υ
Dimana :
Vo = kecepatan horizontal
R = Radius atau jari-jari hidrolik
υ = viskositas kinematik

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 20


BAB III : Sedimentasi
Kedua kriteria di atas merupakan kriteria yang utama dalam
mendesain suatu bak pengendap, disamping teknis
pemerataan aliran dengan mengatur zone inlet dan
outletnya.

Penjelasan lebih lanjut dari sistem pengendapan dalam


berbagai jenis bidang pengendapan adalah sebagai berikut :
a. Bak pengendap dengan aliran horizontal
Bak pengendap dengan aliran horizontal mengalirkan air
dari satu sisi bak ke satu sisi bak lain secara horizontal.
Tingkat pengendapan sangat tergantung dari kecepatan
aliran yaitu debit dibagi dengan luas penampang
melintangnya. Atau rumusan persamannya adalah sbb:
Q
Vo = ….…………………………………..…………3.25.
Ac
Dimana:
Q = adalah debit aliran dalam m3/detik
Ac= adalah penampang melintang dalam m2
Apabila penampang melintang berbentuk persegi
panjang dengan lebar B (m) dan panjang L (m) maka
Ac=B.L.
Dengan demikian,
Q
Vo = ………………………………….…………….3.26.
BL

Dari gambar 3.8. dapat dilihat bahwa kecepatan


pengendapan sebanding dengan kecepatan horizontal
sedang tinggi bak sebanding dengan panjang bak. Atau
secara matematis dinyatakan:
So H
= ….………………..………………….………..3.27.
Vo L
Apabila persamaan 3.26 disubsitusikan pada persamaan
3.27 maka diperoleh persamaan sbb.:
Q
So = ….……………………………………………3.28.
BL

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 21


BAB III : Sedimentasi
B x L adalah luas permukaan bak pengendap atau As.
Umumnya parameter ini disebut juga beban permukaan
atau surface loading yang menggambarkan tingkat beban
kapasitas terhadap luas permukaan. Satuan beban
permukaan atau surface loading yang digunakan adalah
(L/dt)/m2 atau juga m/jam.
Kriteria beban permukaan atau loading rate yang
digunakan untuk bak pengendap dengan aliran horizontal
adalah : 0,27 – 0,55 (L/dt)/m2 atau 1-2 m/jam. Untuk air
yang menghasilkan flok ringan, dapat diterapkan loading
rate yang rendah. Namun sebaliknya, jika flok yang
dihasilkan cukup besar dan berat dapat digunakan
loading rate yang tinggi.

Parameter lain yang penting dalam menentukan


keberhasilan pengendapan adalah waktu tinggal dalam
bak pengendap. Secara hidrolis, waktu tinggal
merupakan volume bak dibagi dengan debit rencananya,
atau dalam persamaan matematis dinyatakan sbb.:
Vol
td = ….……………………………………………..3.29.
Q
Untuk bak pengendap horizontal, waktu pengendapan
adalah 1-2 jam. Pada dasarnya bak pengendap dengan
waktu pengendapan yang panjang adalah yang paling
baik, namun jika tidak didukung faktor hidrolis lainnya
seperti lamineritas; uniformitas aliran; serta loading rate
yang sesuai pengendapan, maka pengendapan dapat
gagal.

Contoh Soal 3.4.:

Debit rencana adalah 50 L/dt. Flok yang terbentuk


direncanakan akan diendapkan dalam sebuah bak
pengendap dengan kriteria sbb.:
• Loading rate = 2 m/jam, dengan td antara 1-2 m/jam
• Kedalaman bak minimal adalah 2,5 m dan maksimal
adalah 3,0 m.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 22


BAB III : Sedimentasi
Ditanya:
1. Berapa luas permukaan bak (panjang dan lebar)?
2. Berapa Volume bak yang dibutuhkan?
3. Bagaimana bilangan Fraude dan Reynoldnya?
Jawab :
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt = 180 m3/jam
m = 0.798x10-3m2/dt
g = 9.81 kg/m3
u= 8.01 x 10-07 m/dt2
td= 1 jam
Loading rate = 2 m/jam = 0.56(L/dt)/m2
H=3m
1. Luas permukaan bak
As = Q/Loading rate = 180/2 = 90 m2

2. Volume bak yang diperlukan (V)


Panjang : lebar = 5 : 1, Panjang (L) = 5 x Lebar (B)
As = BxL = B x 5B = 5B2 = 90, B = 4.2 m
B = 4.2 m, L= 5B = 5 x 4.2 = 21.2 m
V = B x L x H = 4.2 m x 21.2 m x 3 m = 270 m3
Waktu detensi yang diperlukan (td)
td = V/Q = 270/180 = 1,5 jam

3. Bilangan Reynold (NRe)dan Bilangan Fraude (NFr)


Vhorisontal = Vo = Q/(BH) = 180/(4.2x3) = 0.0039 m/detik
R = ( BH/ (B+2H)) = ( 4.2x3 / ( 4.2 +2x3 ) = 1.24 m
NFr = Vo 2/g R = (0.00392) / (9.81 x 1.24) = 1.26 x 10-7
( NFr tidak memenuhi kriteria karena nilai NFr< 10 -5)
NRe= V oR/ υ = (0.0039 x 1.24) / 8.01E-07 = 6094
(NRe tidak memenuhi kriteria karena nilai NRe > 500)

Karena Kriteria Bilangan Fraude dan Bilangan Reynold-


nya tidak memenuhi, maka bak perlu diberi sekat secara
memanjang sehingga lebar bak dibagi 20 dengan lebar
masing masing 0,21 m; sehingga perhitungan menjadi
sbb.:

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 23


BAB III : Sedimentasi
Jumlah bak/kanal = 20 bak
Luas permukaan per bak (As bak) =
As bak = Q bak/Loading rate
Qbak = 50/20 = 2.5 l/detik = 2.5x10-3 m3/detik
= 9 m3/jam
As bak = Q bak/Loading rate = 9/2 = 4.5 m2
Volume bak = B x L x H = 0.21 x 21.2 x 3 = 13.36 m3
td = V/Q = 13.36/9 =1,5 jam
Vo= Q/BH =2.5x10-3/(0.21x3) = 0.0039 m/detik
R = ( BH/ (B+2H)) = ( 0.21x3 / (0.21 +2x3 ) = 0.10 m
NFr = Vo 2/g R = (0.00392) / (9.81 x 0.10) = 1.55 x 10-5
( NFr memenuhi kriteria karena nilai NFr > 10-5)
NRe= V oR/ υ = (0.0039 x 0.10) / 8.01E-07) = 487
(NRe memenuhi kriteria karena nilai NRe < 500)

Dengan demikian bentuk bak yang baik untuk


pengendapan adalah sebagai berikut :
• Panjang = 21.2 m
• Lebar = 4.2 m
• Tinggi = 3 m
• Jumlah jalur = 20 buah atau 19 sekat
• Jarak antar sekat = 0.22 m

Pengolahan yang telah dibangun dengan model ini


adalah IPA Paket Baja buatan BV. Boma Stok dengan
kapasitas 2 L/dt sampai 10 L/dt dan IPA beton di Kota
Batu Raja, Sumatera Selatan dengan kapasitas 100 L/dt.

Permasalahan utama dalam membuat IPA jenis ini


adalah kesulitan membuat sekat-sekat antar bak.
Sehingga demi konstruksi, nilai lamineritas (Bilangan
Fraude) banyak dikorbankan. Selain itu, apabila semua
kriteria harus dipenuhi maka waktu detensi yang
diperlukan menjadi besar sekali sehingga volume bak
menjadi besar sekali.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 24


BAB III : Sedimentasi
b. Bak dengan plat settler aliran miring
Seiring dengan perkembangan waktu, bak pengendap
dengan aliran horizontal tidak lagi dibuat karena
dianggap terlalu boros dan sebagai gantinya dibuat bak
pengendap aliran miring menggunakan plat pengendap
miring (Plate settler). Pengendapan dengan plate settler
dapat mengendapkan dengan baik dalam waktu detensi
rencana ½ jam.
Seperti telah ditunjukkan pada bak pengendap horizontal,
penyekatan bak secara vertikal memanjang akan
meningkatkan uniformitas dan lamineritas dari aliran atau
dengan kata lain dapat meningkatkan bilangan Fraude
dan menurunkan bilangan Reynold. Namun disisi lain,
dengan semakin menyempitnya celah, maka secara
teknis akan semakin sulit untuk dapat meratakan aliran
antar celah, termasuk juga mengumpulkan lumpur
endapan floknya. Untuk mengatasi kesulitan ini, dibuatlah
bak aliran ke atas dengan penyekatan plat, seperti yang
ditunjukkan pada gambar 3.10.

Asumsi yang digunakan dalam pengembangan teori


pengendapan adalah sebagai berikut:
Diasumsikan sebuah partikel dengan kecepatan Vs
sedang memasuki ujung plate dengan kecepatan Vo.
Lebar celah plat adalah w dan tinggi plat adalah H
sedangkan plat diletakkan miring dengan sudut α. Jarak
vertikal yang ditempuh oleh partikel setelah hanyut dari
titik A dan kemudian terendap dititik B adalah H’.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 25


BAB III : Sedimentasi

L2

H’
L w
α
B
L1
Vo H
w
α
A
Vs Gambar 3.10
Asumsi Pengendapan pada
Plate Settler Aliran Miring

Gambar 3.10 Pengendapan pada Plate settler

Dari gambar 3.10 di atas besaran H’ dapat ditentukan


yaitu w/cosα. Dan waktu yang dibutuhkan oleh partikel
untuk menempuh H’ tersebut adalah :
H'
td = ….……………………………………….…….3.30.
Vo
Atau
w
td = ….………………………………………..3.31.
cos αVo
Apabila dilihat dari bidang yang miring, rumusan waktu
tempuh adalah
L'
td = ….……………………………………….……..3.32.
Vs
Atau
L1 + L2
td = ….………………………………………..3.33.
Vs
Dimana,
H
L1 = ….…………………………………………..3.34.
sin α
w
L2 = ….……………………..……………..3.35.
cos α sin α

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 26


BAB III : Sedimentasi
Dengan demikian kecepatan miring dibagi dengan
kecepatan pengendapan adalah :
Vo 1 H
= + …………………………….……...3.36.
Vs sin α wtgα
Hubungan kecepatan vertikal atau surface loading
terhadap kecepatan miring adalah :
Q
= Vo sin α ….………………………..………….…..3.37.
Ac
Jika persamaan 3.36 disubstitusikan dalam persamaan
3.37 maka :
Q   H 
= Vs 1 + cos α    ….…………..……………….3.38.
Ac   w 
Radius hidrolis R adalah :
 Bw 
R =   ….……………..………………….…..3.39.
 2(B + w) 
Apabila B>>w maka
w
R= ….……………..…….…..………………….…...3.40.
2
Dengan menggunakan persamaan 3.36, 3.38 dan 3.39
yang disubstitusikan dalam persamaan 3.25, maka
diperoleh rumusan bilangan Fraude yang terjadi yaitu:
(Q Ac )2
Fr = ….……………………...3.41.
sin 2 αg (Bw (2(B + w)))
Apabila B>>w maka
2(Q Ac )
2

Fr = ….……………………..……….…3.42.
sin 2 α × g × w

Dengan menggunakan persamaan 3.34 dan 3.37 yang


disubstitusikan dalam persamaan 3.24, maka diperoleh
rumusan bilangan Reynold yang terjadi yaitu:
(Q Ac )(Bw 2(B + w))
Re = …………………………..3.43.
sin α .υ
Jika B>>w maka,

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 27


BAB III : Sedimentasi
(Q Ac )w
Re = ………….……………….……………..3.44.
2 sin αυ

Berdasarkan persamaan 3.36 di atas terlihat bahwa


pengaruh H dan w sangat tinggi, dimana jika
perbandingan H/w semakin besar maka kapasitas
pengendapan juga akan semakin besar dan semakin
datar kemiringan plat (α semakin kecil) maka kapasitas
pengendapan juga semakin besar. Namun perlu
diperhatikan, bahwa pengaruh H dan w terhadap
kapasitas pengendapan juga tidak terlepas dari kriteria
bilangan Fraude dan bilangan Reynold yang disyaratkan.
Umumnya waktu detensi untuk pengendapan jenis ini
direncanakan sekitar ½ - 1 jam.
Pengendapan dengan menggunakan plate settler
merupakan jenis bak pengendap yang paling banyak
dijumpai di Indonesia. Dimensi plat umumnya adalah
sebagai berikuttinggi plat (H) = 1.00 m dengan w= 0,05 m
dan sudut α adalah 60o. Sedangkan loading rate (Q/Ac)
yang efektif dipakai adalah antara 4 m/jam sampai 8
m/jam, umumnya dipakai 6 m/jam. Untuk air berwarna
dipakai 4 m/jam (IPA di S Raya, Kab Pontianak 100 L/dt)
dan untuk air permukaan di P Jawa dapat dipakai sampai
8 m/jam (IPA Depok, Kab Bogor, 175 L/dt).

Contoh Soal 3.5 :


Diketahui :
Debit rencana adalah 50 L/detik. Flok yang terbentuk
diharapkan akan terendapkan dalam sebuah bak
pengendap dengan kriteria sebagai berikut :
• kecepatan pengendapan flok (Vs) : 0.5 m/jam
• td antara 0,5-1 m/jam
• kedalaman bak : (2,5 m -3,5 m).
• Jarak antar plat (w) adalah 5 cm.
Ditanya:
• Berapa luas permukaan bak (panjang dan lebar)?

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 28


BAB III : Sedimentasi
• Berapa Volume bak yang dibutuhkan?
• Bagaimana bilangan Fraude dan Reynoldnya?
Jawab :
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt = 180 m3/jam
µ = 0.798x10-3m2/dt
α = 60o
g = 9.81 kg/m3
υ = 1.33 x 10-05 m/dt2
td = 1 jam
Vs= 0.5 m/jam
w = 0.05 m
Hplat = 1 m
1. Luas permukaan bak
Vo=Q/A atau Q/A = Vs x (1+cosα(Η/ω)
Ac = 32.73 m2
2. Volume bak yang diperlukan (V)
Jika Lebar (B)=5m maka Panjang (L)=32.73/5=6.5 m
Asumsi H = 3m maka,
Volume bak = (5 x 6.5 x 3)m3 = 97.5 m3
Waktu detensi = Volume bak/debit = V/Q =97.5/180
td = 0.54 jam
3. Bilangan Reynold (NRe)dan Bilangan Fraude (NFr)
Karena B>>w maka R = w/2 = 0.05/2 =0.025 m
NFr = 2(Q/A)2/sin2αgw = 2(5.10-2/32.73)2/ sin260 (9.81 x 0.05)
NFr= 1.27x 10-5
( NFr memenuhi kriteria karena nilai NFr> 10 -5)
NRe=((Q/A)xw)/(2sinαυ)=((5.10-2/32.73)x0.05)/(2xsin60x1.33x10-5)
NRe= 3.31
(NRe memenuhi kriteria karena nilai NRe < 500)

c. Bak Pengendap Aliran Ke Atas


Rumusan kecepatan pengendapan dari bak pengendap
vertikal adalah:
Q
Vo = ……………………………………………….. 3.45
A
Dimana : A = luas permukaan bidang pengendapan

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 29


BAB III : Sedimentasi
Karena aliran vertikal ke atas maka flok yang mempunyai
kecepatan pengendapan lebih besar dari kecepatan ke
atas Vo akan mengendap. Sehingga efisiensi
pengendapan merupakan jumlah semua flok yang
mempunyai kecepatan pengendapan yang lebih besar
dari Vo.

Karena aliran ke atas mengandung flok, maka akan


terjadi flokulasi diantara flok-flok yang bertumbukan. Dan
dengan memberatnya flok, maka sebagian flok akan
mengendap, sementara sebagian lagi akan mengapung
membentuk suatu lapisan flok zone yang lazim disebut
sebagai sludge blanket.
Sludge blanket, pada ketebalan tertentu, akan berada
dalam suatu kesetimbangan. Untuk mengatur ketebalan,
maka setelah sludge blanket terbentuk secara kontinu,
harus dilakukan pembuangan flok yang telah
mengendap. Ketebalan sludge blanket ini sangat
bergantung pada aklimatisasi pembentukan blanket yang
umumnya mempunyai ketebalan 1 sampai 2 m.
Jumlah air yang harus dibuang untuk mendapatkan
sludge blanket yang stabil adalah sekitar 5 sampai 10%
dari air yang diolah. Sehingga apabila debit rencana
adalah 10 L/dt maka debit air baku yang dipakai adalah
10/(100%-10%) atau sekitar 11 L/dt.
Loading dari bak pengendap jenis ini adalah sekitar 2-4
m/jam, tergantung dari suhu dan berat flok. Untuk
meningkatkan loading pengendapan dapat dilakukan
penambahan plat settler sehingga dapat mencapai 6
m/jam.

Pengendapan jenis ini sangat rentan terhadap perubahan


suhu sehingga kapasitas pada malam hari dan siang hari
sangat jauh berbeda.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 30


BAB III : Sedimentasi
3. Zone Outlet
Zone outlet harus dirancang sedemikian rupa agar air yang
keluar dari bak pengendap dapat ditampung secara merata,
sehingga tidak mengganggu aliran dalam zone
pengendapan. Diharapkan setelah proses pengendapan, air
mempunyai kekeruhan < 5 NTU atau hanya mengandung
flok-flok kecil yang belum mengendap. Oleh sebab itu,
rancangan zone outlet lebih ditekankan pada aspek
hydroliknya, karenai kriteria kecepatan dalam sistem outlet
tidak terlalu penting.
Beberapa bentuk zone outlet antara lain:
a. Weir datar memanjang
b. Weir berbentuk V.
c. Pipa berlubang yang menjulur pada bak pengendap
Sedangkan saluran pembawa direncanakan dengan
kecepatan antara 0,5-1 m/detik.

a. Weir datar memanjang


Air yang sudah jernih di lewatkan melalui ambang yang
lebarnya dirancang untuk mengalirkan air dengan debit
tertentu dengan ketinggian air diatas ambang lebih kecil
dari 5 cm. Konstruksi ambang harus dibangun
sedemikian rupa, agar air dapat mengalir merata di
sepanjang ambang, sehingga air dalam bak pengendap
akan mengalir secara merata pula.
Hubungan antara lebar ambang, tinggi air di atas
ambang, dengan debit aliran adalah sebagai berikut :
2
Q= CdBw2h1.5 …………………………….………..3.46.
3
Dimana :
Q = debit rencana (m3/dt)
B = Lebar ambang (m)
Cd= Koefisien gesek =0,6
H = Tinggi air diatas ambang (m)
w = lebar bak (m)

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 31


BAB III : Sedimentasi
Contoh Soal 3.7:
Diketahui :
Sebuah Bak Pengendap aliran horizontal mempunyai
outlet pada ujung bak berupa saluran pelimpah datar di
dua sisi seperti pada gambar 3.11. Debit rencana
sebuah bak adalah 50 L/dt. Kriteria perencanaan outlet
adalah sebagai berikut:
• Jumlah pelimpah adalah 2 buah
• Kecepatan aliran dalam saluran adalah 0,8 m/dt
• Ketinggian air pada ambang pelimpah adalah 2,5 cm.
Ditanya :
Berapa lebar ambang pelimpah dan dimensi saluran
pembawa?
Jawab :
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt = 180 m3/jam
h = 2.5 cm
Cd = 0.6
Lebar bak = 2 m
v saluran = 0.8 m/detik
Lebar ambang pelimpah :
2
Q= CdBw2h1.5
3
2
0.05 = x0.6 xBx 2 x 2 x0.0251.5
3
B = 7.9 m

Dimensi saluran pembawa :


Q 5 × 10 −2
Ac = =
V 8 ×10 −1
Ac = 0.0625 m2
Ac = Lebar x Tinggi
Lebar = 0.3 m
Tinggi = 0.21 m

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 32


BAB III : Sedimentasi
Rancangan outlet dapat dilihat pada gambar 3.11

Saluran pembawa
B=4,20 m

20 cm 30 cm

30 cm

Penampang saluran
Pembawa
Gambar 3.11
Zone Outlet

Gambar 3.11 Zone outlet

b. Weir bergerigi berbentuk V.


Weir berbentuk bergerigi dengan bentuk V dengan sudut
α dibuat berdasarkan fakta tentang adanya kesulitan
dalam upaya meratakan aliran pada weir yang berbentuk
datar. Diasumsikan bahwa kecepatan air yang jatuh
melalui 1 buah V Notch adalah:
v = (2gh ) ………………….………………..…………3.47.
12

Dimana : h = ketinggian air di atas dasar V Notch.


Debit air yang mengalir pada satu segmen dh pada
ketinggian h adalah.
dQ1 = vdA …………………………..…………………..3.48.
Dimana : dA adalah L.dh dan L adalah fungsi dari h dan
sudut V Notch α dengan hubungan:
α 
L = 2 tan  h ……………………..…………………..3.49.
2
Dengan mensubstitusikan persamaan 3.47 dan 3.49
pada persamaan 3.48, maka akan diperoleh rumusan
debit air sbb:

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 33


BAB III : Sedimentasi

α 
dQ1 = (2 gh ) 2 tan  hdh ……………………..……3.50.
12

2
Dengan demikian
α 
Q1 = ∫ Cd .dQ =∫ ohCd (2 gh ) 2 tan  hdh ………..…3.51.
12

2
α 
5
Cd (2 g ) 2 tan  h 2 ………………………....3.52.
2
Q1 =
12

3 2

Untuk weir jenis ini, nilai Cd yang diambil adalah 0,6. Dan
apabila Q total adalah N.QI, dimana N adalah jumlah V
notch; maka N=Q/QI. Berdasarkan kondisi ini maka
rumusan jumlah V Notch adalah:
Q
N= ………………..……...3.53.
α 
5
Cd (2 g ) 2 tan  h 2
2 12

3 2
Sedangkan rumusan untuk mencari ketinggian air pada V
Notch, dapat digunakan persamaan 3.54.
2
 Q 5
 
h= N  …………………...…….3.54.
 2 Cd (2 g )1 2 2 tan  α  
 3  
 2 

Contoh Soal 3.8.


Diketahui :
Sebuah Bak Pengendap dengan plate settler
mempunyai outlet di atas plat berupa saluran bergerigi di
dua sisi seperti pada gambar 3.12. Debit rencana
sebuah bak adalah 50 L/dt. Kriteria perencanaan outlet
adalah sebagai berikut:
• Jumlah saluran adalah 2 buah
• Kecepatan aliran dalam saluran adalah 0,8 m/dt
• Ketinggian air pada V Notch adalah 3 cm dan sudut V
Notch adalah 90o
Ditanya :
Berapa jumlah V Notch yang dibutuhkan?

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 34


BAB III : Sedimentasi
Jawab :
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt = 180 m3/jam
h = 3 cm
g = 9.81 m/dt2
Cd = 0.6
α = 90o
v saluran = 0.8 m/detik
• Lebar dan jumlah V notch
Q
N= = 90 buah
α 
5
Cd (2 g ) x 2 tan  h 2
2 1

3 2
Tinggi efektif V notch = (2-4) x h
Tinggi efektif V notch = 3h = 3 x 3cm = 9 cm
Lebar 1 V notch = 3h = 3 x 3cm = 9 cm
• Dimensi saluran pembawa
Ac = Q/V = (5 x 10-2)/0.8 = 0.0625 m2
Ac = Lebar x Tinggi
Lebar = 0.3 m
Tinggi = 0.21 m

h dh h dh
α

Gambar 3.12.
Pelimpah dengan gerigi V Notch

Gambar 3.12
Pelimpah dengan gerigi V notch

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 35


BAB III : Sedimentasi

c. Pipa berlubang yang menjulur pada bak pengendap


Selain menggunakan V notch, zone outlet dapat juga
menggunakan pipa berlubang. Pipa berlubang yang
dimaksud adalah pipa yang memiliki lubang di atas pipa
dengan jarak yang disesuaikan dengan perhitungan.
Tinggi air di atas ambang lubang adalah sekitar 1-2 cm
dengan diamater dihitung dengan perumusan pada
persamaan 3.22.

Contoh Soal 3.9.:


Diketahui :
Sebuah Bak Pengendap dengan plate settler mempunyai
outlet di atas plat berupa pipa berlubang seperti pada
gambar 3.12. Debit rencana sebuah bak adalah 50 L/dt.
Kriteria perencanaan outlet adalah sebagai berikut:
• Jumlah pipa adalah 2 buah
• Kecepatan aliran dalam pipa adalah 0,6 m/dt
• Ketinggian air di atas pipa adalah 2 cm
Ditanya :
Berapa diameter lubang yang dibutuhkan.
Jawab :
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt = 180 m3/jam
Q per pipa = 25 l/det
h = 3 cm
g = 9.8 m/dt2
v saluran = 0.6 m/detik
Luas penampang pipa :
Ac = Q/v = 2.5x10-3/0.6 = 0.0417 m2
Diameter pipa :
Ac = ¼xπxd2
d = 200 mm
panjang = 5m
jumlah lubang per sisi = 32 buah
jumlah lubang per pipa = 97 buah
jumlah lubang total = 194 buah

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 36


BAB III : Sedimentasi
jarak lubang = 15 cm
kapasitas per lubang = 0.3 l/detik
h di atas lubang = 0.5 cm
diameter lubang = 0.01 m = 10 mm

4. Zone Penampung Lumpur


Bagian penting lainnya dalam sistem pengendapan adalah
penampung lumpur. Lumpur yang dihasilkan oleh bak
pengendap berasal dari hasil endapan flok pada dasar bak
pengendap. Banyaknya lumpur sangat ditentukan oleh
tingkat kekeruhan air baku atau secara teknis tergantung
dari kandungan Suspended Solid (zat padat terlarut yang
berhasil diendapkan). Konsentrasi zat padat dalam lumpur
berkisar antara 1–5% berat. Hal ini tergantung dari
kekentalan lumpur itu sendiri. Dengan demikian perhitungan
keseimbangan massa dalam perhitungan volume lumpur
sangatlah penting.

Massa solid yang terendapkan per satuan waktu adalah :


m2 = m1 − m3 ….…………………………………………...3.55.
Atau
m2 = (c1 − c3 )Q ….………………………………………...3.56.
Dimana : Q = volume air per satuan waktu.

Jika konsentrasi lumpur adalah Cv, maka Volume lumpur


adalah massa lumpur dibagi dengan konsentrasi lumpur dan
massa jenis lumpur( ρL) atau dalam bentuk rumusan :
m2
Vl = ….……………………………………….……..3.57.
Cv ρ L
Dengan
ρ L = ρ A + C v ( ρ s − ρ A ) ….………….……………….…..3.58.
Dimana : ρA = massa jenis air yang pada t=27oC (996 kg/m3)
ρS = massa jenis lumpur (2600 kg/m3).

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 37


BAB III : Sedimentasi
Dengan mensubstitusikan persamaan 3.56 dan 3.58 pada
persamaan 3.57 maka diperoleh rumusan baru volume
lumpur adalah:
(c1 − c3 )Q
VL = ………………………….…..3.59.
(ρ A + C v (ρ s − ρ A ))C v
Karena (c1 – c3) = η.c
η. 1 maka
ηC1Q
VL = ………………………….…....3.60.
(ρ A + Cv (ρ s − ρ A ))Cv
Dari persamaan di atas dapat disimpulkan bahwa volume
lumpur yang terbentuk bergantung pada volume air yang
diolah per satuan waktu (Q), efisiensi pengendapan bak
pengendap (η), konsentrasi kekeruhan pada air baku (C),
serta tergantung pula dari kekentalan lumpur itu sendiri.

Contoh Soal 3.10


Diketahui :
Sebuah bak pengendap dengan plate settler mempunyai
bak penampung lumpur seperti pada gambar 3.9. Debit
rencana sebuah adalah 50 L/dt. Kriteria perencanaan bak
pengendap adalah sebagai berikut:
• Jumlah kompartemen lumpur = 2 buah
• Periode pengurasan 1 hari
• Konsentrasi zat padat pada air baku 80 mg/L = 80 g/m3.
• Konsentrasi lumpur = 5%.
Ditanya :
Berapa volume kompartemen lumpur yang dibutuhkan total?
Jawab :
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt = 180 m3/jam = 4320 m3/hari
Cv = 5%
g = 9.8 m/dt2
ρS= 2600 kg/m3
ρA= 996 kg/m3
ρL = 1076 kg/m3
C1= 80 mg/L = 80 g/m3 = 0.08 kg/m3
η = 95%

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 38


BAB III : Sedimentasi
ηC1Q
VL =
(ρ A + C v (ρ s − ρ a ))C v
VL = 13 m3

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air III- 39


Teori dan Perencanaan Pengolahan Air
III-40
BAB IV
Filtrasi

4.1. Umum

Air yang telah melewati proses sedimentasi diharapkan sudah


mempunyai kekeruhan kecil atau memiliki kandungan zat padat
maksimum 10 mg/L. Untuk menurunkan sisa kekeruhan yang masih ada
dalam air maka perlu dilakukan proses filtrasi atau penyaringan.

Proses penyaringan atau filtrasi adalah mengalirkan air hasil sedimentasi


atau air baku yang telah memenuhi syarat kekeruhan (< 10 mg/L zat
padat) melalui media pasir.

Proses yang terjadi selama penyaringan adalah :


• Pengayakan (straining)
• Flokulasi antar butir
• Sedimentasi antar butir dan
• Proses mikrobiologis

Ada dua jenis filtrasi atau penyaringan, ditinjau dari segi desain
kecepatan filtrasi yaitu :
• Saringan pasir cepat
• Saringan pasir lambat

Sedangkan jika dilihat dari segi desain operasionalnya, saringan pasir


dapat digolongkan atas tiga jenis, yaitu:
• Saringan dengan aliran air konstan (constant rate) dan ketinggian
permukaan air yang tidak konstan atau naik (increasing head).
• Saringan dengan aliran air tidak konstan, yaitu dengan kapasitas
menurun (declining rate), dan permukaan air yang konstan (constant
head).
• Saringan dengan dengan aliran air yang tidak konstan, yaitu dengan
kapasitas yang menurun (declining rate), dan ketinggian muka air
yang tidak konstan pula, yaitu dengan ketinggian muka air yang
meningkat (increasing head).

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 1


BAB IV : Filtrasi

Filter yang telah dipakai beberapa saat apabila tidak dibersihkan, dapat
menjadi tersumbat. Untuk menghindari terjadinya penyumbatan,
dilakukan pembersihan dengan cara:
• Pencucian dengan udara
• Pencucian dengan air yaitu:
a. Pencucian permukaan filter dengan penyemprotan
b. Pencucian dengan aliran balik (backwash)

Sedangkan tenaga untuk pencucian dapat dilakukan dengan beberapa


cara, antara lain:
• Memompa air yang ada di reservoir penampung ke dasar filter.
• Menggelontor air yang ada di reservoir atas (elevated tank) secara
gravitasi ke dasar filter.
• Menggelontor air dari satu filter ke filter lainnya yang sudah jenuh.
(sistem inter-filter)

Beberapa hal yang perlu dipahami dalam mendesain proses filtrasi


adalah:
1. Media filter
2. Hidrolika Filtrasi
3. Perancangan filter

4.2. Media Filter

Media filter yang umum digunakan di Indonesia adalah pasir kwarsa.


Untuk menjamin ketahanan pasir kwarsa yang digunakan, kriteria yang
harus dipenuhi pasir kwarsa tersebut adalah memiliki kadar silika (SiO2)
96%. Pasir dengan kualitas yang demikian banyak terdapat di Pulau
Bangka, yang juga sering disebut sebagai pasir Bangka. Beberapa hal
yang mempengaruhi perhitungan hidrolis media filter adalah:
• Tingkat kebulatan (spherecity)
• Ukuran butir dan distribusi ukuran partikel
• Perhitungan persediaan (stok) pasir
Uraian dari masing-masing faktor di atas, dijelaskan dalam sub-sub bab
berikut.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 2


BAB IV : Filtrasi

4.2.1. Tingkat Kebulatan (Sphericity)


Penentuan porositas dari suatu media filter merupakan suatu
faktor yang sangat penting untuk mendapatkan hasil perhitungan
filtrasi yang baik. Tingkat porositas dari suatu media filter
ditentukan oleh diameter dan bentuk dari partikel media itu sendiri.
Semakin tidak bulat bentuk suatu partikel, semakin besar tingkat
porositasnya. Sebaliknya, semakin bulat bentuk suatu partikel,
porositasnya semakin kecil.
Secara matematis, tingkat kebulatan (spherecity) dari sutu partikel
digambarkan sebagai berikut:

Luas perm bola Vol bola


Ψ= ………………………..4.1.
Luas perm partikel Vol partikel

Jika diasumsikan V bola = V partikel maka, volume suatu bola


(Vs) adalah πd3/6 dan luas area dari bola (As) adalah πd2; dimana
d adalah diameter bola.
Jika luas permukaan dan volume dari suatu bentuk partikel yang
tidak beraturan adalah Ap dan Vp, maka rumusan tingkat
kebulatan (Ψ) adalah:
6πd 2V p
Ψ= ……………………………..……………………..4.2.
πd 3 Ap
Karena bola memiliki luas permukaan yang paling optimal dan
bola sempurna itu tidak ada, maka maka nilai Ψ selalu lebih kecil
dari pada satu (Ψ<1). Kebulatan atau sphericity juga sering
dinyatakan dengan S=Ap/Vp.
Klasifikasi dari media dan tingkat porositasnya dapat dilihat pada
tabel 4.1.

Tabel 4.1. Tingkat Kebulatan dikaitkan dengan Porositas


Deskripsi Sphericity (Ψ) Porositas (e)
Bulat sempurna 1.00 0.38
Bulat 0.98 0.38
Gompal 0.94 0.39
Tajam/Bergerigi 0.81 0.40
Bersudut sudut 0.78 0.43
Remuk 0.70 0.48

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 3


BAB IV : Filtrasi

4.2.2. Ukuran Butir dan Distribusinya


Ukuran dan distribusi ukuran butir pasir yang baru diambil dari
suatu tambang pasir mempunyai ukuran yang bervariasi. Ukuran
ini dapat dianalisa menurut analisis ayakan yang mempunyai
lubang lubang standar seperti terlihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi ukuran butir menurut hasil analisis ayakan


Nomor Ayakan Ukuran Bukaan Nomor Ayakan UkuranBukaan
Mesh/inch Lubang Mesh/inch Lubang
(no) (mm) (no) (mm)
200 0.074 30 0.59
140 0.105 25 0.71
100 0.149 20 0.84
80 0.178 18 1.00
70 0.210 16 1.19
60 0.249 14 1.41
50 0.297 12 1.68
45 0.350 8 2.36
40 0.419 6 3.36
35 0.500 4 4.76

Untuk mendapatkan gambaran distribusi dari butiran pasir baku


maka prosen komulatif dari butiran yang lewat melalui ayakan
diplot dalam grafik log-normal. Rata-rata ukuran butir diwakili oleh
diameter ayakan yang telah meloloskan 50% dari total pasir baku.
Ukuran yang menggambarkan karakteristik pasir adalah :
 Ukuran efektif size (ES) dari butiran pasir didefinisikan sebagai
ukuran ayakan yang telah meloloskan 10% dari total butir yang
ada atau P10
 Koefisien keseragaman (Uniformity Coefficient) adalah ukuran
yang telah meloloskan 60% dibagi ukuran yang telah
meloloskan 10% dari total bahan baku pasir atau P60/P10.

Nilai 10% ini dipakai pertama kali oleh Hazen tahun 1892. Asumsi
yang digunakan dalam nilai 10% adalah bahwa kehilangan
tekanan hidrolis dianggap tidak berpengaruh banyak terhadap
variasi ukuran diameter butir, sepanjang ukuran yang meloloskan
10% dari baku pasir tidak berubah. Sedangkan Uniformity
Coefficient menggambarkan keadaan diameter butiran 50% di
atas diameter yang meloloskan 10%.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 4


BAB IV : Filtrasi
Butiran pada d10, d60 dan d90 yang digunakan dalam beberapa
persamaan menggambarkan karakteristik filter. Diameter ini
menggambarkan diameter pada persentase komulatif 10%, 60%,
dan 90%.

Suatu pasir baku sebelum digunakan sebagai suatu media filter


harus memenuhi kriteria ES dan UC. Misalnya nilai ES dan UC
yang disyaratkan untuk digunakan dalam media filter harus
memenuhi kriteria sebagai berikut: ES = 0,4 mm dan UC = 1,5.
berdasarkan ketentuan ini maka pasir baku dengan ukuran diluar
kriteria harus disortir sehingga memenuhi ukuran ini.
Sebagai gambaran mengenai jenis media yang sering dipakai
untuk saringan dan karakteristiknya dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Karakteristik Pasir


Material Bentuk Kadar Spheri Berat Porositas ES
silika city Jenis (mm)
Pasir Bangka Bulat 98% 0,92 2,65 0,42 0,4-1,0
Pasir kuarsa lainnya Bersudut 85% 0,85 2,65 0,45 0,4-1,0
AntrasitBukitAsam Remuk - 0,60 1,4-1,7 0,60 0,4-1,4
Antrasit (Import Aus) Bersudut - 0,72 1,4-1,7 0,55 0,4-1,4
Kerikil (gravel) Bulat 85% 2,65 0,5 1,0-5,0
Plastik Sesuai dengan permintaan

4.2.3. Perhitungan Persediaan (Stock) Pasir

Karena umumnya pasir yang ada di pasaran tidak memenuhi


kriteria maka perlu dilakukan pensortiran pasir. Pasir dengan UC
dibawah 1,3 biasanya tidak dapat dicapai sedangkan nilai 1,5
umumnya dapat dicapai.
Dalam suatu stock pasir terdapat porsi pasir yang dapat dipakai
(Puse), porsi pasir yang terlalu halus (Pf) dan porsi pasir yang
terlalu kasar (Pc). Atau dengan persamaan matematis dapat
digambarkan sebagai berikut:

Pusc + Pf + PC = 100% …………………… …………....…….(4.3.)

Semua pasir yang terdapat antara klasifikasi pasir yang dapat


dipakai adalah antara d10 dan d60. atau

d 60 = UCxd 10 …………………………………………………(4.4)

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 5


BAB IV : Filtrasi
Untuk stock pasir, pasir dengan ukuran Pst10 dan Pst60 memiliki
persentase stock yang lebih kecil dibanding pasir dengan ukuran
P10 dan P60. Sekitar 50% dari pasir yang berada antara P10 dan
P60 merupakan pasir yang memenuhi syarat. Total pasir yang
dapat dipakai adalah :
Puse = 2(Pst 60 − Pst10 ) …………………………………………(4.5)
10% dari pasir yang dapat dipakai dapat berada dibawah ukuran
P10. Stok pasir untuk ukuran yang lebih kecil dari ukuran P10
adalah pasir yang perlu dikeluarkan sedangkan yang lebih besar
adalah yang perlu dipertahankan. Prosentase stock pasir yang
dapat digunakan untuk pasir yang berada dibawah ukuran P10
hanya 10% dari Puse.
Dengan demikian prosentase stock yang terlalu halus adalah:

Pf = Pst10 − 10% Puse ……………………………………….…(4.6)

Atau bila persamaan 4.5  4.6 maka diperoleh persamaan:

Pf = Pst10 − 0.2( Pst 60 − Pst10 ) …………………………………(4.7)


Prosentase pasir yang terlalu kasar dapat diturunkan dari
persamaan 4.3.

Pc = 100% − Puse − Pf ………………………………………..(4.8.)

Atau

Pc = 100% − 2( Pst 60 − Pst10 ) − Pst10 + 0.2( Pst 60 − Pst10 ) ……..(4.9.)

Pc = 100% − Pst10 + 1.8( Pst 60 − Pst10 ) ………………………..(4.10)

Untuk mendapatkan pasir yang diinginkan maka pasir yang terlalu


besar (Pc) perlu dibuang.

Media yang terlalu kasar dapat diambil melalui pengayakan


sedangkan yang terlalu kecil dapat dilakukan dengan mengalirkan
air dari bawah ke atas, sehingga pasir dengan kecepatan
pengendapan lebih besar dari kecepatan aliran ke atas akan
tertinggal (lihat persamaan 4.10).
 4 g ( ρ − ρ w )D 
12

v= x x s  …………………….…………...(4.10).
 3 cd ρw 
Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 6
BAB IV : Filtrasi
Contoh Soal 4.1.
Diketahui :
Sebuah contoh pasir digambarkan dalam grafik seperti pada
gambar 4.1. dan tabel 4.3. Spesifikasi pasir yang diinginkan
adalah ES (d10) adalah 0,05 cm dan UC adalah 1,4.
Ditanya: d60; stok pasir yang dapat dipakai; stok pasir yang terlalu
kecil; stok pasir yang terlalu besar;
Jawab:
1. Ukuran d60 berdasarkan persamaan 4.4.
d60 = UC.d10 = 1,4.0,05 cm
d60 = 0,07 cm
2. Stock pasir yang dapat dipakai adalah:
Puse = 2.( 60% - 30%) = 60%
3. Prosentase pasir yang terlalu kecil adalah:
Pf = Pst10 – 10%. Puse = 30% – 10%. 60%
Pf = 24%
Dengan demikian pasir yang harus dikeluarkan adalah pasir
dengan ukuran yang lolos 24% atau lebih kecil dari ukuran
0,044 cm.
4. Ukuran pasir yang terlalu kasar (besar) yang harus
dikeluarkan adalah :
Pc = 100%- 60%- 24%
Pc = 16%
Dengan demikian pasir yang harus dikeluarkan adalah pasir
yang ukuran lolos 100%-16%=84% atau dengan ukuran lebih
besar dari 0,85 cm.

Distribusi ukuran stock pasir dan distribusi kumulatif partikel


setelah pemisahan dapat dilihat pada tabel 4.3 dan gambar 4.1.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 7


BAB IV : Filtrasi

Tabel 4.3 Distribusi ukuran stok pasir setelah pemisahan

ES= 0.31  ES= 0.5


UC= 2.32  UC= 1.4
Pasir Stock
Pasir Baku Pasir telah di pilah
Ukuran Prosen Distribusi Prosen Distribusi
Celah Komulatif butir Komulatif Butir
Mm % % % %
0.149 0.2 0.2
0.178 1.0 0.8
0.210 3.0 2
0.249 5.1 2.1
0.297 8.9 3.8
0.306 10.0 1.1
0.350 15.0 5
0.419 22.0 7 0 0
0.500 30.0 8 10 10
0.590 40.0 10 30 20
0.710 60.0 20 60 30
0.840 72.0 12 75 15
1.000 85.0 13 95 20
1.190 92.0 7 100 5
1.410 97.0 5
1.680 99.0 2
Total 100 100

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 8


BAB IV : Filtrasi

Gambar 4.1. Dis tribusi komulatif partikel

100

80

60
% Komulatif

pasir stoc k
pasir tlh dipilah
40

20

0
0 .1 1 10
Ukuran butir (cm)

Gambar 4.1 Distribusi kumulatif partikel

4.3. Hidrolika Filtrasi

Hidrolika filtrasi merupakan suatu pemahaman yang berkaitan dengan


beban aliran, tekanan aliran, karakteristik dan ukuran media filter pada
saat operasional dan backwash. Termasuk didalamnya karakteristik
hidrolik seperti pada perlengkapan pendukung seperti perpipaan nozzle
dan sebagainya.

4.3.1. Operasional
Secara umum kondisi hidrolis yang perlu diketahui pada saat
operasional adalah kehilangan tekanan (headloss) pada :
• media filter
• under drain
• perpipaan

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 9


BAB IV : Filtrasi

1. Headloss pada media filter

Apabila diasumsikan suatu filter ideal dengan aliran dan head


yang konstan, maka tekanan air pada dinding media dapat
digambarkan sebagai garis miring dengan sudut kemiringan
45o (seperti pada gambar 4.2).
Pada saat filtrasi dimulai media filter masih bersih, dimana
rongga yang ada masih kosong atau belum terisi zat padat
yang tersaring. Saat air mulai dialirkan secara konstan, terjadi
kehilangan tekanan sebesar ho pada media filter.

Gambar 4.2.
Head= Kehilangan tekanan pada filter dari
konstan mulai Filtrasi sampai Jenuh

ho
.ho=kehilangan tekanan pada saat mulai filtrasi
air .h1=kehilangan tekanan pada saat t=1
h3
.h2=kehilangan tekanan pada saat t=2
.h3=kehilangan tekanan pada saat filter jenuh
.hneg=kehilangan tekanan negatif
pada kedalaman dimana terakumulasi
zat padat terbanyak

∆L=20cm
hnegatif media
pasir
tebal=L
Tinggi ambang
Oh3 hf3 hfo
β=ctg((L-ho)/L)α=45
o
Q=
Konstan h1 ho
h3 h2

Gambar 4.2 Kehilangan tekan pada filter

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 10


BAB IV : Filtrasi

Setelah filter beroperasi beberapa saat maka kehilangan


tekanan semakin lama semakin besar dengan kehilangan
tekanan yang paling besar pada kedalaman kurang lebih 20 cm
dibawah pemukaan filter.

Pada saat filter jenuh, kehilangan tekanan sampai dasar filter


(maksimal pada kedalaman 20 cm) adalah negatif. Pada
kondisi jenuh ini filter dapat mengalami clogging atau macet.
Untuk dapat mengaktifkan kembali, filter harus dicuci atau
dengan cara backwash (pengaliran berbalik).

Yang menjadi patokan dalam memperkirakan ketinggian muka


air awal adalah head loss minimal yang terjadi pada awal
operasional filtrasi (ho). Sementara yang dijadikan sebagai
patokan beda tinggi pelimpah dari muka air di atas filter adalah
kehilangan tekanan pada akhir filtrasi (h3).

Secara grafis, dengan berpatokan pada kemiringan hf3 yang


sama dengan hfo sedemikian rupa sehingga menghasilkan hneg
=20 cm, kehilangan tekan pada akhir filtrasi (h3) dapat dicari.
Panjang h3 menunjukkan kehilangan tekan pada filter pada
saat sebelum filter macet. Sedang Oh3 merupakan tinggi
ambang optimal untuk mendapatkan operasional filter yang
maksimal.

Secara matematis, tinggi ambang dinyatakan dalam


persamaan sebagai berikut :

Oh3 = (L − ho )(1 − hneg L ) − ∆L ………………….…….....(4.11).


Dimana
hneg = tekanan negatif pada kedalaman ∆L dari atas filter.
∆L = ketebalan efektif dimana terjadi akumulasi zat padat
pada filter (0,2 sampai 0,3 m).

Tinggi ambang dalam persamaan di atas tidak termasuk


perhitungan headloss yang terjadi di sepanjang under drain dan
perpipaan outlet.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 11


BAB IV : Filtrasi

Persamaan klasik mengenai penelaahan hidrolika, pertama kali


dikemukakan oleh Carman (1937), untuk mendeskripsikan
kehilangan tekanan melalui media perpori. Rumusan mengenai
kehilangan tekan ini berawal dari persamaan Darcy-Weisbach
yang menggambarkan hubungan antara aliran dan tekanan air
pada saluran tertutup, yang secara matematis dapat
digambarkan sebagai berikut :
Lv 2
ho = f ………………………………..……………...(4.12).
D2 g
Dimana:
ho = head loss (m)
L = jarak tempuh (ketebalan media) (m)
f = Faktor kekasaran (-)
D = Diameter pipa (m)
v = Kecepatan aliran (m/dt)

Pada persamaan ini diasumsikan bahwa aliran adalah laminer,


hal ini adalah untuk menyesuaikan dengan karakteristik media
filter yang porus. Untuk mempermudah perhitungan, diameter
pipa diasumsikan sama dengan radius hidrolis ( R )

luas area
R=
perimeter basah
Dan untuk bidang bulat
πD 2 D
R= = ……………………………………………...(4.13).
4πD 4

Apabila persamaan 3.12  3.11 maka


Lv 2
ho = f …………………………………..……………..(4.14).
8 gR

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 12


BAB IV : Filtrasi

Pada media filter yang mengikuti asumsi di atas, radius


hidroliknya dapat diasumsikan sebagai berikut :

luas area vol rongga yang dapat dialiri


R= = .(4.15)
perimeter basah permukaan basah partikel

Apabila diketahui :
 V = volume media filter
 Vv = volume rongga
 VTp = volume partikel total = N.Vp; dimana N jumlah partikel
dan Vp adalah volume per satu partikel.
 ATp adalah luas permukaan partikel total = N.Ap; dimana N
jumlah partikel dan Ap adalah luas permukaan per satu
partikel.
 e adalah tingkat porositas dari media yang didefinisikan
sebagai :
Vol rongga NxVv
e= =
Vol filter V
Atau
Vol partikel NxV p
1− e = =
Vol filter V
Maka dengan menggunakan pengertian di atas, rumusan
volume media filter dan volume rongga adalah sebagai berikut:
NxV p
V= …………………………………………………..(4.16).
1− e
Dan
exNxV p
Vv = ………………………………………………..(4.17).
1− e

Dengan mengacu pada persamaan 4.16 dan 4.17 yang


kemudian disubstitusikan dalam persamaan 4.15, diperoleh
rumusan radius hidrolik yaitu :
exNxV p 1 − e exV p
R= = …………………………….(4.18).
N . Ap 1 − exA p

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 13


BAB IV : Filtrasi
Jika : Vp = π/6 d dan Ap = π d , Maka untuk butir yang bulat
3 2

sempurna Vp/Ap = d/6 dan apabila tidak bulat sempurna


Vp/Ap= ψ.d/6
Dengan mensubstitusikan persamaan 4.18 dalam persamaan
4.14 maka diperoleh rumusan kehilangan tekan sbb.:

ho 3 (1 − e)v 2
= fx x ……………………………………….(4.19).
L 4 e.g.d .Ψ

Dimana : v adalah kecepatan adalah kecepatan rata rata aliran


yang melalui rongga. Jika kecepatan rata-rata aliran ini
dikaitkan dengan besaran media filter yaitu :

Q
vs = ………………………………………………..…....(4.20).
As

Dimana : Q = debit aliran dalam 1 bidang filter (m3/dt)


As = luas permukaan bidang filter (m2)

Dan,

v s = e.v ………………………………………………….…..(4.21).

maka dengan mensubstitusikan persamaan 4.20 dan 4.21


dalam persamaan 4.19, diperoleh rumusan kehilangan tekan
sbb.:

ho (1 − e) v s2
= ff x 3 …………………………………....(4.22).
L e Ψ.g.d
Dalam persamaan di atas, ff adalah faktor gesekan yang
merupakan fungsi dari bilangan Reynold. Berdasarkan
percobaan laboratorium yang dilakukan Ergun (1957),
diperoleh rumusan faktor gesekan (ff) sbb.:

(1 − e)
f f = 150 x + k ……………………..………..……...(4.23).
N Re
Dimana nilai k = 1.75 dan rumusan untuk bilangan Reynold
yaitu :
ρv s Ψ
N Re =
µ

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 14


BAB IV : Filtrasi
Persamaan 4.22 di atas berlaku untuk media dengan butir
seragam, yaitu d cm. Apabila media terdiri dari berbagai
diameter, maka perlu diperhitungkan terlebih dahulu komposisi
dari diameter media tersebut dengan melakukan test
pengayakan (sieve analysis). Dengan demikian head loss (hi)
dari sekumpulan pasir dengan diameter (di) yang jumlahnya
xi% dari total pasir adalah:
(1 − e) v s2 x
ho = LΣF f i x i ………………..………..….....(4.24).
e Ψ. g
3
di

2. Headloss pada Underdrain


Headloss atau kehilangan tekanan pada under drain sangat
tergantung pada jenis underdrain yang dipakai. Ada beberapa
tipe under drain, antara lain:
• Plat dengan nozzle
• Teepee dengan lubang disamping
• Pipa lateral pada manifold
Beberapa tipe underdrain dapat dilihat pada gambar 4.3.

Gambar 4.3 Beberapa tipe underdrain filter

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 15


BAB IV : Filtrasi
Tetapi pada semua jenis underdrain diberlakukan asumsi
besaran head loss pada lubang yang sama, dengan mengikuti
persamaan sbb.:
v2
hu = k …………………………………………………...(4.25).
2g
Dimana : K adalah koefisien head loss yang tergantung pada
jenis underdrain. Misalnya untuk nozzle K=1-3; sedang untuk
lubang pada teepee atau pada pipa lateral K= 1- 2. Kecepatan
aliran sewaktu filtrasi melewati lubang adalah 0,2 m/dt atau
sekitar ¼ kecepatan pada saat backwash,
Dengan demikian headloss pada lubang underdrain dengan
kecepatan 0,3 m/dt dan K=2 adalah sekitar 1 cm.

3. Head loss perpipaan


Head loss juga tergantung pada diameter pipa, panjang pipa
dan kecepatan aliran pada pipa atau secara matematika
mengikuti persamaan 4.12. Kecepatan aliran direncanakan
sekitar ¼ kecepatan pada saat backwash atau sekitar 0,2
sampai 0,3 m/dt. Dengan demikian headloss per m pada
perpipaan underdrain dengan kecepatan 0,3 m/dt pada pipa
100 mm dan K=0,1 adalah sekitar 0,5 cm.

Contoh soal 4.2.


Diketahui :
Sebuah filter pasir cepat mempunyai komposisi pasir setelah
dipilah seperti pada tabel 4.3. Kemudian pasir tersebut di
gunakan sebagai media penyaring pasir dengan ketebalan 0,6
m. ∆L adalah 0,2m dan hneg=0,2m, diasumsikan headloss
underdrain dan perpipaan sebelum masuk reservoir adalah 10
cm. Debit filter 50 L/dt dan luas permukaan filter 12 m2.

Ditanya :
Berapa ketinggian muka air di dalam reservoir penampung
maksimum terhadap permukaan filter supaya menghasilkan
debit operasional filter yang optimal. (lihat gambar 4.2).

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 16


BAB IV : Filtrasi
Jawab :
Q = 50 L/dt = 0.05 m3/dt = 180 m3/jam
ψ = 0.8
g = 9.1 kg/m3
µ = 0.798 x 10-03 m2/det
ρw= 997 kg/m3
A = 12 m2
v = 0.005 m/det
ε = 0.38
L = 0.6 m
Hneg = 0.2 m
∆L = 0.2 m
Tabel 4.4. Perhitungan Headloss Filter
Ukuran Prosen Distribusi
Celah Komulatif butir (xi) Re fi fi.xi/di
Mm % %
0.350 - - - - -
0.419 0 0 0.87 108.34 0
0.500 10 10 1.04 91.07 1821.
0.590 30 20 1.23 77.45 2625.
0.710 60 30 1.48 64.65 2731.
0.840 75 15 1.75 54.92 980.
1.000 95 20 2.08 46.41 928.
1.190 100 5 2.48 39.28 165.
1.410 - - - - -
1.680 - - - - -
Total 100 9252.

(1 − e) v 2
x
• ho = LΣF f i x i
s

e Ψ. g
3
di
ho = 0.035 m = 3.5 cm

• Tinggi ambang dari dasar filter :


Oh = (L − ho )(1 − hneg L ) − ∆L
Oh= 0,19 m
Tinggi muka reservoir dari dasar filter = 0.19 - 0,10 = 0,09 m
Tinggi muka air reservoir dari permukaan filter= 0.60-0,09=0,51m

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 17


BAB IV : Filtrasi
4.3.2. Backwash

Backwash atau aliran balik merupakan metode pencucian atau


pembersihan filter yang mengalami clogging. Ada dua cara
pencucian balik yaitu:
• Secara gravitasi, air yang digunakan untuk backwash dengan
cara gravitasi ini berasal dari :
 Air yang telah ditampung di reservoir yang tinggi (elevated
reservoir atau menara air)
 Air yang berasal dari filter sebelahnya (interfilter)
• Dengan menggunakan pompa, air yang digunakan untuk
backwash dengan menggunakan pompa ini, berasal dari
reservoir penampung kemudian dipompakan dengan arah
terbalik filtrasi.
Parameter penting yang perlu diketahui pada semua jenis
backwash adalah kehilangan tekanannya pada:
• media filter
• under drain
• perpipaan

1. Headloss (Kehilangan Tekanan) pada Media Filter


Pada saat backwash, filter terekspansi sehingga rongga yang
ada didalamnya juga terekspansi. Untuk mendapatkan
backwash yang baik, gaya gesek harus sama dengan berat
efektif dari filter yang terekspansi. Berat efektif dari suatu
medium filter per satuan volume adalah sebagai berikut :
Berat efektif media
= ( ρ s − ρ ) g (1 − ee ) ………………...(4.26)
Vol media
Dimana:
ee = porositas pada saat ekspansi
ρs = kerapatan spesifik dari media pasir.

Jika unsur gaya gesek dimasukkan pada bidang filter maka:


FD
= ( ρ s − ρ ) g (1 − ee ) ………………………….…...(4.27)
As xLe

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 18


BAB IV : Filtrasi
Atau,

FD
= Le ( ρ s − ρ ) g (1 − ee ) ……………………………...(4.28).
As
Dimana :
FD = Gaya gesek
As. = luas permukaan filter
Le = ketebalan filter
Apabila
FD
= ρghL e ……………………………………………...(4.29)
As
Maka,
ρghL e = Le ( ρ s − ρ )g (1 − ee ) …………………………...(4.30)
Karena berat partikel pada waktu terekspansi sama dengan
berat partikel sebelum terekspansi maka:
L ( ρ s − ρ )g (1 − e ) = Le ( ρ s − ρ )g (1 − ee ) ……….……..(4.31)
Dengan demikian:
Le ( ρ s − ρ )g (1 − ee )
hLe = ………………….…….……..(4.32)
ρ
Atau,
L(ρ s − ρ )g (1 − e )
hLe = ………………….…….………..(4.33)
ρ
Tinggi ekspansi adalah:
Le
=
(1 − e ) ……………………….…….…….………...(4.34)
L (1 − ee )
Atau,

Le = L
(1 − e ) ……………………….…….…….……....(4.34)
(1 − ee )
Untuk media filter dengan diameter butiran bervariasi berlaku
:
Xi
Le = L(1 − e )Σ ……………….…….…….……....(4.34)
(1 − ee )

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 19


BAB IV : Filtrasi
ee menurut Richardson Zaki (1954) merupakan fungsi dari
kecepatan backwash, yaitu:
n
V 
E e =  s  …………………………….…….…….……....(4.35)
 Vl 
Dimana:
Vs = kecepatan backwash
Vi = kecepatan pengendapan partikel dengan formulasi sbb:
 4 g ( ρ − ρ w )D 
12

vl =  x x s 
 3 cd ρw 
n = 0,22 untuk pasir atau 0,4-0,5 (Amirharajah, 1978) untuk
pasir dalam media filter

2. Headloss pada Underdrain


Headloss atau kehilangan tekanan pada underdrain sangat
tergantung pada jenis underdrain yang dipakai. Beberapa jeis
underdrain antara lain:
• Plat dengan nozzle
• Teepee dengan lubang disamping
• Pipa lateral pada manifold

Sama dengan keadaan operasional, pada semua jenis


underdrain diasumsikan head loss yang berlaku pada lubang
mengikuti persamaan 4.25. Pada persamaan tersebut, K
merupakan koefisien head loss yang tergantung pada jenis
underdrain. Misalnya untuk nozzle nilai K=1-3, sedangkan
untuk lubang pada teepee atau pada pipa lateral K= 1- 2.
Kecepatan aliran sewaktu filtrasi melewati lubang adalah 0,8
m/dt, sehingga headloss pada lubang underdrain dengan
kecepatan 0,8 m/dt dan K=2 adalah sekitar 6 cm.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 20


BAB IV : Filtrasi
3. Head loss pada perpipaan
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, head loss
tergantung pada diameter pipa, panjang pipa dan kecepatan
aliran pada pipa atau secara matematika mengikuti
persamaan 4.12. Kecepatan aliran direncanakan sekitar 0,8
sampai 1 m/dt. Dengan demikian headloss per m pada
perpipaan underdrain dengan kecepatan 0,8 m/dt pada pipa
100 mm dan K=0,1 adalah sekitar 3,3 cm.

Contoh soal 4.2.


Diketahui :
Sebuah filter pasir cepat mempunyai komposisi pasir setelah
dipilah seperti pada tabel 4.3. Kemudian pasir tersebut di
gunakan sebagai media penyaring pasir dengan ketebalan 0,6 m
Diasumsikan headloss underdrain adalah 30 cm dan perpipaan
sebelum masuk reservoir adalah 100 cm. Debit filter 50 L/dt dan
luas permukaan filter 10 m2 dengan debit backwash 75 L/dt.
Ditanya :
Berapa headloss backwash yang dibutuhkan?
Jawab :
Qf = 50 L/dt = 0.05 m3/dt = 180 m3/jam
Qbw= 75 L/dt = 0.075 m3/dt = 270 m3/jam =6.480 m3/hari
ψ = 0.8
g = 9.1 kg/m3
µ = 0.798 x 10-03 m2/det
ρw= 997 kg/m3
ρs= 2600 kg/m3
A = 12 m2
v = 0.0063 m/det
ε = 0.38
L = 0.6 m

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 21


BAB IV : Filtrasi

Tabel 4.5 Perhitungan Ekspansi filter


Ukuran Prosen Distribusi
Celah Komulatif Butir Xi Re Cd Vi e Xi/(1-e)
1/3
Mm % % 24/RE m/dt ekspansi
0.350
0.419 0 0 2.62 17.41 0.02249 0.53 0.0000
0.500 10 10 3.12 16.42 0.02531 0.50 0.1988
0.590 30 20 3.69 15.54 0.02826 0.47 0.3776
0.710 60 30 4.44 14.61 0.03197 0.44 0.5378
0.840 75 15 5.25 13.81 0.03576 0.42 0.2577
1.000 95 20 6.25 13.03 0.04017 0.39 0.3303
1.190 100 5 7.43 12.30 0.04511 0.37 0.0796
1.410
Total 100 1.7818

Berdasarkan hasil perhitungan di atas, dapat ditentukan tinggi


ekspansi yaitu :

Le = L(1 − e )Σ
Xi
(1 − ee )
Le = 0.66 m = 66.28 cm
Dengan menggunakan hasil tinggi ekspansi di atas, dapat
ditentukan sebagai berikut:
(1 − e) v s2 x
ho = LΣ F f i i
e 3
Ψ.g di
HL = 0.60 m
Head total yang dibutuhkan untuk back wash adalah 0,6 m + 0,30
m = 0,9 m.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 22


BAB IV : Filtrasi

Muka air reservoir


backwash

Reservoir
hf backwash

Muka air filter hud


backwash hpipa

Media filter

Under drain
/nozzle
Perpipaan
.hf= headloss media filter
.hud= headloss under drain
Gambar 4.4.
hpipa= headloss pd perpipaan
Headloss pada Backwash

Gambar 4.4 Headloss pada Backwash

4.4 Perancangan Filter

Ada dua jenis filter yang dikenal yaitu:


• Filter Cepat
• Filter Lambat

Filter cepat tediri dari filter bertekanan dan filter terbuka. Pada filter cepat,
titik berat proses ada pada proses pengayakan (straining). Loading
(kecepatan filtrasi) adalah berkisar antara 7-10 m/jam sedangkan untuk
filter bertekanan dapat mencapai 15 – 20 m/jam. Ilustrasi mengenai filter
cepat ini dapat dilihat pada gambar 4.5 dan 4.6).

Kriteria kualitas air yang dimasukkan ke filter adalah dengan kekeruhan


dibawah 5 NTU. Sehingga air baku dengan kekeruhan dibawah 5 NTU
dapat disaring langsung tanpa melalui proses koagulasi-flokulasi-
sedimentasi.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 23


BAB IV : Filtrasi

gambar 4.5
Filter bertekanan

Gambar 4.5 Filter bertekanan

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 24


BAB IV : Filtrasi

Gambar 4.6
Filter gravitasi

Gambar 4.6 Filter Gravitasi

Sedangkan pada filter lambat atau saringan pasir lambat didominasi oleh
proses mikrobiologis yang ada di permukaan filter sampai kedalaman 5
cm. Dengan adanya proses ini diharapkan terjadi flokulasi antar butir.
Loading rate dari filter jenis ini adalah 0,1- 0,3 m/jam. Dibandingkan
dengan loading pada filter cepat yang mencapai 10 kali lipatnya
menyebabkan filter lambat memakan atau membutuhkan tempat yang
besar sekali. Sebagai perbandingan, 1 L/dt memerlukan luas lahan 10
sampai 30 m2. Karena besarnya luas lahan yang dibutuhkan maka filter
jenis ini jarang sekali dipakai.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 25


BAB IV : Filtrasi

Kekeruhan yang dapat diolah oleh jenis filter ini adalah dibawah 10 NTU.
Sedangkan pencuciannya dilakukan dengan cara mengeruk bagian atas
filter secara berkala 1-2 bulan sekali. Pengolahan air dengan filter jenis ini
sangat kecil biaya operasionalnya karena tidak memerlukan koagulan
untuk koagulasinya.

Hal yang penting dalam perencanaan filter adalah perencanaan sistem


inlet dan outlet dari filter. Perencanaan sistem outlet dan inlet dari filter ini
harus dapat memudahkan pengoperasian dan harus mempunyai
keandalan teknik yang baik. Kriteria perencanaan saringan pasir/filter
yang digunakan berdasarkan jenisnya adalah sebagai berikut:

1. Saringan pasir cepat


Kriteria perencanaan yang digunakan untuk saringan pasir cepat
disajikan pada tabel 4.6.

Tabel 4.6 Kriteria perencanaan saringan pasir cepat

No Deskripsi Kriteria
0,5
1. Perhitungan Jumlah Filter N=1,2.Q , dimana :
N=jumlah filter (N minimal 2).
6 3
Q=Debit rencana (10 .m /hari)
2. Head loss Operasi 2,7 – 4,5 m
3. Kecepatan operasional 7 – 10 m/jam
4. Kecepatan backwash 20 – 30 m/jam
5. Pencucian dengan udara 24 – 36 m/jam
6. Head loss back wash dengan Head = 10 m
pompa
2
7. Luas setiap filter 25 – 100 m .
8. Lebar filter 3–6m
9. Lebar : Panjang 1:2 sampai 1:4
10. Ketinggian air diatas filter 2 –2,4 m
11. Ketebalan filter 0,5-0,7 m
12. Lapisan penyangga (kerikil) 0,3-0,45 m (4 lapis)
13. Ketinggian freeboard > 0,2 m
14. Ketinggian bak filter 3,2 - 6 m rata rata 4,5 m
15. Pasir filter:
Effective Size (ES) 0,4-0,8 mm
Uniformity Coeficient <2 , kurang lebih 1,5
16. Kerikil Filter (optional bila
tidak pakai nozzle)
Paling atas (lapis 1) 0,4 – 0,6 mm dengan kedalaman 5cm
Lapis 2 1,5 - 2,0 mm dengan kedalaman 5cm
Lapis 3 5 – 8 mm dengan kedalaman 5 cm
Paling bawah (Lapis 4) 15 – 25 mm dengan kedalaman 5 cm

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 26


BAB IV : Filtrasi
No Deskripsi Kriteria
17. Under drain Underdrain dapat terbuat dari:
pipa lateral PVC/GI
plat berlubang
Plat bernozzle
18. Pengatur ketinggian air di Tinggi weir harus 0,2 m di atas
filter menggunakan weir atau permukaan filter
V notch.

2. Saringan pasir cepat atau filter tipe self backwash


Kriteria perencanaan untuk saringan pasir cepat tipe self backwash
dapat dilihat pada tabel 4.7

Tabel 4.7 Kriteria perencanaan filter cepat tipe self backwash


No. Deskripsi Kriteria
0,5
1. Perkiraan Jumlah Filter N=1,2.Q dimana :
N=jumlah filter (N
minimal 4).
Q=Debit rencana
6
(10 .m3/hari)
2. Head loss Operasi 2,7 – 4,5 m
3. Kecepatan operasional 7 – 10 m/jam
4. Kecepatan backwash 18 – 25 m/jam
5. Pencucian dengan 24 – 36 m/jam
udara
6. Head loss back wash Head = 3 - 5 m
dengan pompa
2
7. Luas setiap filter 25 – 80 m
8. Lebar filter 3–6m
9. Lebar : Panjang 1:2 sampai 1:4
10. Ketinggian air diatas 3–4m
filter
11. Ketebalan filter 0,3-0,6 m
12. Ketinggian freeboard > 0,2 m
13. Ketinggian bak filter 4,5 – 7,5 m rata rata 5 m
14. Pasir filter:
Effective Size (ES) 0,4-0,8 mm
Uniformity Coeficient <2 , kurang lebih 1,5
15. Under drain Underdrain dapat terbuat
(untuk menghemat head dari :
backwash pemakaian plat berlubang
kerikil dihindari) Plat bernozzle
16. Pengatur ketinggian air Tinggi weir harus 0,2 m
di filter menggunakan diatas permukaan filter
weir atau V notch.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 27


BAB IV : Filtrasi

3. Saringan pasir cepat bertekanan (pressure filter)


Kriteria perencanaan yang digunakan untuk saringan pasir/filter cepat
bertekanan (pressure filter) dapat dilihat pada tabel 4.7.

Tabel 4.7 Kriteria perencanaan filter cepat bertekanan


No Deskripsi Kriteria
0,5
1. Perkiraan Jumlah Filter N=1,2.Q dimana :
N=jumlah filter
(N minimal 2).
Q=Debit rencana
6 3
(10 .m /hari)
2. Head loss Operasi 15 – 20 m
3. Kecepatan operasional 15 – 20 m/jam
4. Kecepatan backwash 30 – 40 m/jam
5. Head loss back wash dengan Head = 15 – 20 m
pompa
2
6. Luas setiap filter 1,2 – 30 m .
7. Diameter filter 1–6m
8. Ketebalan filter 0,6-0,9 m
9. Ketinggian bak filter 2,4 - 5 m
10. Pasir filter:
Effective Size (ES) 0,4-0,8 mm
Uniformity Coeficient < 2, kurang lebih 1,5
11. Under drain Underdrain dapat terbuat
(untuk menghemat head dari :
backwash pemakaian kerikil plat berlubang
dihindari) Plat bernozzle

4. Saringan pasir lambat


Kriteria perencanaan yang digunakan untuk saringan pasir lambat
dapat dilihat pada tabel 4.8.

Tabel 4.8 Kriteria perencanaan saringan pasir lambat


No Deskripsi Kriteria
0,5
1 Perkiraan Jumlah Filter N=0,25.Q d imana :
N=jumlah filter (N lebih
besar dari 2).
3
Q=Debit rencana (m /jam)
2. Luas setiap filter Lebih kecil dari 3000 m2
dengan luas masing
2
masing filter 100-200 m .
3. Kecepatan filtrasi 0,1-0,3 m/jam
4. Ketebalan filter 1-1,5 m
5. Lapisan penyangga (kerikil) 0,3-0,45 m (4 lapis)
6. Ketinggian air diatas media filter 1-1,5
7. Ketinggian freeboard > 0,2 m

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 28


BAB IV : Filtrasi
No Deskripsi Kriteria
8. Ketinggian bak filter 2,5-4 m rata rata 3,2m
9. Pasir filter:
Effective Size (ES) 0,15-0,35 mm
Uniformity Coeficient < 3, kurang lebih 2
10. Kerikil Filter
Paling atas (lapis 1) 0,4 - 0,6 mm dengan kedalaman
Lapis 2 10cm
Lapis 3 1,5 - 2,0 mm dengan kedalaman
Paling bawah (Lapis 4) 10cm
5 – 8 mm dengan kedalaman
10cm
15 – 25 mm dengan kedalaman
10cm
11. Under drain Underdrain dapat terbuat
dari :
pipa lateral PVC
plat berlubang
Plat bernozzle
12. Pengatur ketinggian air di filter Tinggi weir harus 0,2 m di
menggunakan weir atau V notch. atas permukaan filter

13. Pencucian filter Dilakukan dengan


menggaruk bagian atas
filter sampai kedalaman 5
cm

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air IV- 29


BAB V
Chlorinasi (Klorinasi)

5.1. Umum

Setelah melalui proses filtrasi, pada prinsipnya air sudah memenuhi


standard kualitas. Namun untuk menghindari kontaminasi air dari
mikroorganisme perlu dilakukan desinfeksi.

Beberapa metode desinfeksi antara lain dengan metode chlorinasi, ozon


atau dengan UV(Ultra Violet). Metode yang umumnya dilakukan adalah
metode chlorinasi, sedang sistem ozon dan UV jarang dilakukan,
khususnya pada skala besar.
Chlorine, selain digunakan sebagai desinfektan juga dapat digunakan
untuk mengendalikan keberadaan mikroorganisme dan sebagai
oksidan. Sebagai oksidan, Chlorine berfungsi untuk :
• mengoksidasi Fe dan Mn
• menghilangkan rasa yang tidak enak di air
• menghilangkan warna di air
• menghilangkan amonia nitrogen.
Berdasarkan fungsi di atas, maka untuk kondisi tertentu chlorinasi juga
dapat di bubuhkan sebelum proses pengolahan atau disebut juga
dengan proses pre chlorinasi. Sedangkan untuk keperluan desinfeksi,
pembubuhan chlorine yang dilakukan di reservoir dikenal sebagai
proses post chlorinasi.

5.2. Chlorinasi

Chlor adalah zat kimia dasar pembentuk chlorine yang digunakan dalam
proses chlorinasi. Secara fisik Chlor bewarna hijau kekuning-kuningan,
bersifat beracun dan memiliki berat yang lebih besar dibanding air.
Dalam bentuk cair, sejumlah Chlor dapat menguap menjadi gas dengan
volume 450 kali lebih besar dari volume cairnya.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air V- 1


BAB V : Klorinasi

Beberapa sifat Chlor lainnya antara lain :


• Chlor sangat bersifat oksidan dan dapat beroksidasi hampir dengan
setiap unsur atau senyawa.
• Uap Chlor amat korosif, dengan demikian semua bagian dari
penampung atau pipa penyalur harus terbuat dari alloy (besi
campuran/tahan korosi) atau non metal. Uap chlor sangat bahaya
apabila terisap dapat mengiritasi saluran pernafasan.

Salah satu senyawa Chlor yang umum digunakan sebagai desinfektan


adalah Calcium hypochlorite atau kaporit (Ca(OCl)2) dan Sodium
hypochlorite (NaOCl). Calcium hypochlorite atau kaporit (Ca(OCl)2 di
pasaran tersedia dalam bentuk butiran, bubuk atau tablet umumnya
mengandung 70% Chlor. Sedangkan Sodium hypochlorite (NaOCl) di
pasaran umumnya berbentuk cair dengan konsentrasi Chlor 5 sampai
15 persen. Selain dalam bentuk padat dan cair, Chlor juga tersedia
dalam bentuk gas. Chlor dalam bentuk gas ini umumnya digunakan
untuk keperluan chlorinasi pada PDAM besar. Sedangkan untuk PDAM
yang kecil, umumnya menggunakan bubuk chlor yang kemudian
dicampur dengan air sebelum dibubuhkan.

Chlor apabila dicampur dengan air akan membentuk asam hipoklorit


(HOCl), yang dapat terionisasi menjadi ion hipoklorit. Terionisasinya
asam hipoklorit (HOCl) menjadi ion hipoklorit (OCl-) ini hanya dapat
terjadi pada kondisi basa atau pH diatas 8. Sedangkan dalam kondisi
asam (pH<7) asam hipoklorit tidak akan terionisasi. Reaksi kimia dari
proses ionisasi HOCl menjadi ion hipoklorit dapat dilihat pada
persamaan 5.1.
pH>8
Cl2+H2O  HCl+HOCl H++ OCl- ………………….(5.1)
pH<7
Hipoklorit yang ditambahkan dalam air akan menyangga ion hipoklorit,
seperti yang ditunjukkan pada reaksi berikut.

Ca(OCl)2+H2O  Ca++ + 2OCl- + H2O ………………………….(5.2)

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air V- 2


BAB V : Klorinasi

Chlor yang terdapat dalam air dalam bentuk asam hipoklorit dan ion
hipoklorit didefinisikan sebagai chlor bebas dalam air.
Chlor didalam air bereaksi dengan amonia membentuk chloramines,
seperti yang ditunjukkan pada reaksi berikut.

HOCl+NH3  H2O + NH2Cl (monochloramine)………………...(5.3)

HOCl+NH2Cl  H2O + NHCl2 (dichloramine) ………………….(5.4)

HOCl+NHCl  H2O + NCl3 (trichloramine) ……………….…….(5.5)

Produk dari reaksi di atas sangat tergantung dari pH, suhu waktu dan
perbandingan kandungan chlor awal terhadap amonia. Monochloramine
dan dichloramine terbentuk pada pH antara 4,5 dan 8,5. Pada pH di
atas 8,5 umumnya hanya terbentuk monochloramine, tetapi pada pH
dibawah 4,4 terbentuk trichloramine. Penggabungan antara chlor yang
ada dalam air dengan Nitrogen Amonia atau Nitrogen Organik
didefinisikan sebagai penggabungan dari Chlor tersedia.

Apabila Chlor dimasukkan ke dalam air yang mengandung amonia,


residu akan membentuk kurva seperti pada gambar 5.1. Garis lurus
pada grafik itu menggambarkan penambahan chlor. Kurva yang
melengkung menggambarkan sisa chlor yang ada dalam air setelah
direaksikan selama ± 20 menit. Pembubuhan Chlor dikurangi dengan
sisa chlor yang terdapat dalam air disebut daya pengikat chlor.

Dari grafik terlihat bahwa titik yang menghasilkan sisa chlor yang paling
kecil merupakan titik yang mempunyai daya pengikat chlor paling tinggi.
Grafik pembubuhan chlor ini berguna untuk mendapatkan dosis chlor
yang paling optimal.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air V- 3


BAB V : Klorinasi

an
hk
bu
bu
di
Residual Chlor

yg
or
hl
C
is
os
Daya Pengikat

D
Chlor

Residual bebas

Dosis Chlor
Gambar 5.1.
Grafik Pembubuhan Chlor

Gambar 5.1 Grafik pembubuhan Chlor

Contoh Soal 5.1


Diketahui :
Sebuah pengolahan air dengan debit rencana 50 L/dt. Setelah diadakan
test pemakaian Chlor maka didapat bahwa daya pengikatan chlor 0,5
mg/L.dengan sisa chlor 0,2 mg/L.
Ditanya :
Berapa kebutuhan Kaporit dengan kadar 60% yang perlu diadakan
dalam waktu 1 bulan.
Jawab :
Q = 50 l/det = 4320 m3/hari = 129.600 m3/bulan.
Dosis Chlor yang dibutuhkan = sisa chlor + daya ikat chlor = 0.2+0.5
Dosis Chlor yang dibutuhkan = 0.7 mg/L = 0.0007 kg/m3
Kebutuhan Chlor per bulan = 129.600 m3/bulan x 0.0007 kg/m3
Kebutuhan Chlor per bulan = 90.72 kg
Kebutuhan kaporit per bulan = 90.72 kg/60%
Kebutuhan kaporit per bulan = 151.2 kg

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air V- 4


BAB V : Klorinasi

5.3. Metode Pembubuhan dengan Kaporit

Proses desinfeksi air dengan metode klorinasi diawali dengan


penyiapan larutan kaporit pada konsentrasi tertentu serta penetapan
dosis klor yang tepat. Beberapa metode pembubuhan kaporit yang
dapat diterapkan untuk mendapatkan pembubuhan yang cukup tepat
secara kontinu serta tidak membutuhkan tenaga listrik antara lain:
• Metode gravitasi tanpa atau dengan kotak pengatur tinggi
pembubuhan yang konstan
• Metode otomatis dengan pembubuhan yang sebanding dengan
debit yang dibubuhkan
Kedua metode ini sudah diterapkan di Indonesia dengan hasil yang
cukup memuaskan.

5.3.1. Metode gravitasi

Ilustrasi pembubuhan kaporit dengan metode gravitasi dapat


dilihat pada gambar 5.2.

Bak 1

Bak 2

Penguras

Gambar 5.2.
Pembubuhan klor secara gravitasi

Gambar 5.2 Pembubuhan chlor secara gravitasi

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air V- 5


BAB V : Klorinasi

Berdasarkan gambar 5.2, prinsip pembubuhan kaporit dengan


metode gravitasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
• Dalam bak pertama, larutan kaporit disiapkan dan dibiarkan
sekurang-kurangnya 2 jam atau lebih.
• Larutan kaporit disalurkan ke bak kedua (yang letak
dasarnya lebih rendah dari dasar bak pertama) melalui pipa
penghubung dengan katup pengatur, yang diletakkan lebih
tinggi dari dasar bak.

5.3.2. Metode Dosing Proporsional

Ilustrasi pembubuhan chlor dengan metode dosing proporsial


dapat dilihat pada gambar 5.3.

Membran Karet

Regulator

Gambar 5.3.
Pembubuhan Kaporit Proporsional

Gambar 5.3 Pembubuhan kaporit dengan metode dosing


proporsional

Dalam metode ini, larutan klor yang sudah disiapkan


dimasukkan ke dalam suatu tabung yang letaknya di bawah
membran karet.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air V- 6


BAB V : Klorinasi

Bagian atas dari tabung dihubungkan dengan pipa air yang


belum dibubuhkan sedangkan pada bagian bawah tabung
(outlet) dihubungkan dengan air yang akan dibubuhkan.
Perbedaan tekanan antara bagian hulu dan hilir akan
mendorong membran untuk memasukkan larutan kaporit ke
dalam air.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air V- 7


BAB VI
METODA PERENCANAAN
PENGOLAHAN AIR BERSIH

6.1. Umum

Definisi perencanaan yang dimaksud dalam Metode Perencanaan


Pengolahan Air Bersih meliputi :

1. Perencanaan unit-unit operasi.


Perencanaan unit operasi yang dimaksud meliputi :
• perencanaan dimensi/ukuran masing-masing unit pengolahan,
• perencanaan perpipaan dan saluran air
• perencanaan operasional dari sistem pengolahan air

2. Perencanaan konstruksi bangunan pengolahan air beserta tata


letaknya. Yang dimaksud dengan perencanaan konstruksi bangunan
pengolahan air adalah realisasi perencanaan unit operasional
pengolahan air dalam bentuk bangunan fisiknya. Misalnya
pengolahan air akan dibangun dengan bahan beton, maka bentuk
dan konstruksinya disesuaikan dengan karakteristik bahan
bangunannya. Demikian juga apabila bangunan pengolahan
dibangun dari bahan lain, seperti baja ataupun fiber-glass. Untuk
mendukung perencanaan ini, pengukuran lokasi perencanaan dan
penyelidikan tanah perlu dilakukan dengan baik. Dalam
perencanaan bangunan pengolahan juga perlu di perhitungkan
aspek tata letak. Untuk itu pemetaan/pengukuran lokasi harus
dilakukan dengan baik yaitu dengan skala sebaik mungkin,
umumnya dilakukan dengan skala 1:100 atau 1:200.

3. Perencanaan mekanikal dan elektrikal dari pengolahan air.


Sistem elektrikal dan mekanikal merupakan salah satu aspek
penting yang menunjang sistem pengolahan. Perencanaan sistem
mekanikal dan elektrikal terdiri dari :

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 1


BAB VI : Metoda Perencanaan
• Sumber daya, yang meliputi penyambungan daya PLN dan
perencanaan generator set.
• Perencanaan motor pengaduk (koagulasi dan flokulasi)
• Perencanaan sistem pemompaan untuk berbagai keperluan
seperti transfer air antar unit, keperluan backwash, dan
pembubuhan bahan kimia.
• Perencanaan sistem kontrol dan pengkabelan, yang meliputi
perencanaan panel listrik dan perencanaan kabal penghantar
arus listrik.
4. Perencanaan sistem penanganan limbah dari pengolahan.

Selain perencanaan dari unit atau fungsi utama, suatu pengolahan air
juga perlu dilengkapi dengan perencanaan bangunan penunjang
seperti:
• Rumah Genset
• Ruang Pembubuh Bahan Kimia
• Gudang Kimia
• Ruang Panel dan Ruang Kontrol
• Rumah jaga dan kantor

Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa inti dari perencanaan


pengolahan air adalah perencanaan dari unit unit operasinya. Oleh
sebab itu perencanaan unit operasi suatu pengolahan air harus
dilakukan dengan seksama dan dilakukan oleh seorang yang
mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang cukup. Sedangkan
perencanaan pada bidang lainnya, bersifat sebagai pendukung dari
perencanaan unit unit operasi tersebut.

Ditinjau dari sudut keahlian, perencanaan suatu pengolahan air


merupakan suatu kegiatan yang memadukan beberapa disiplin ilmu dan
keprofesian yang terdiri dari :

• Teknik Penyehatan/Teknik Lingkungan atau Teknik Kimia, untuk


perencanaan unit unit operasinya.
• Teknik Sipil, untuk perencanaan konstruksi dan struktur bangunan.
• Teknik Arsitektur, untuk perencanaan site plan dan landscape
bangunan.
Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 2
BAB VI : Metoda Perencanaan
• Teknik Listrik dan Mesin, untuk perencanaan sistem mekanikal dan
elektrikal.
• Geodetic Surveyor, untuk kegiatan pengukuran.

Keseluruhan disiplin ilmu atau keprofesian di atas disatukan dan diatur


secara struktural dalam suatu organisasi. Contoh struktur organisasi
perencanaan pengolahan air dapat dilihat pada gambar 6.1.

Team Leader/
Teknik Lingkungan

Civil Engineer

Mekanikal- Arsitek/
Elektrikal Civil Engineer

Tenaga Pendukung:
•Draftman
•Surveyor
•dll
Gambar 6.1.
Struktur Organisasi Pelaksanaan
Perencanaan Instalasi Pengolahan Air

Gambar 6.1 Struktur organisasi pelaksanaan perencanaan


instalasi pengolahan air

Berdasarkan struktur organisasi yang ada, perencana dengan latar


belakang yang berbeda ini akan tergabung dalam suatu team yang
dipimpin oleh seorang team leader dengan latar belakang Teknik
Penyehatan atau Teknik Lingkungan. Tetapi pada pelaksanaannya,
tidak tertutup kemungkinan bahwa team leader akan berasal dari disiplin
ilmu yang lain seperti Teknik Sipil, Teknik Arsitektur, dan disiplin ilmu
lainnya, yang ditunjang dengan pengetahuan dan pengalaman yang
cukup dibidang perencanaan unit-unit operasi.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 3


BAB VI : Metoda Perencanaan
Secara sederhana tahapan perencanaan suatu pengolahan air dapat
diurutkan sebagai berikut :
• Penetapan debit rencana.
• Penelitian kualitas air di laboratorium, yang bertujuan untuk
memperoleh parameter-parameter yang berkaitan dengan
pengolahan air.
• Penentuan kriteria perencanaan unit-unit pengolahan air
Penentuan parameter unit unit pengolahan dapat dilakukan dalam
pilot plant yaitu model pengolahan air skala kecil.
• Perencanaan unit-unit pengolahan
• Perencanaan struktur bangunan
• Perencanaan layout dan site plan dari pengolahan air.
• Perencanaan sistem mekanikal dan elektrikal.

Secara diagramatis, tahapan perencanaan di atas dapat dilihat pada


gambar 6.2.

Debit?
Perencanaan
Kualitas Landscape &
Air Baku? Bangunan
Penunjang

Perencanaan
Dimensi Unit-unit Perencanaan
Pengolahan Air Struktur

Perencanaan
Gambar 6.2. Mekanikal &
Tahapan Perencanaan Pengolahan Air Elektrikal

Gambar 6.2 Tahapan perencanaan pengolahan air

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 4


6.2. Kriteria Perencanaan

Kriteria perencanaan disesuaikan dengan kualitas air yang ada pada air
baku. Untuk air baku yang berasal dari sumber air permukaan, seperti
telah dibahas pada bab sebelumnya, terdiri dari :
• Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang tinggi
• Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang rendah sampai
sedang
• Air permukaan dengan tingkat kekeruhan yang sifatnya temporer
• Air permukaan dengan kandungan warna yang sedang sampai
tinggi.
• Air permukaan dengan kekeruhan sangat rendah.

Masing masing jenis air ini diolah melalui unit-unit pengolahan dengan
kriteria tertentu. Adapun jenis dan parameter operasional utama dari
unit-unit pengolahan tersebut meliputi :

1. Prasedimentasi
Parameter operasional dari unit prasedimentasi yang menjadi
kriteria utama untuk kegiatan perencanaan antara lain:
• Lamanya pengendapan atau waktu detensi (td)
• Loading Rate atau beban permukaan (m/jam)

2. Koagulasi
Parameter operasional dari unit koagulasi yang menjadi kriteria
utama untuk perencanaan antara lain:
• Dosis Bahan Kimia Koagulan (C)
• Gradien pengadukan (G)
• Lamanya pengadukan atau waktu detensi (td)
• Bilangan Reynold (Nre)

3. Flokulasi
Parameter operasional dari unit flokulasi yang menjadi kriteria utama
untuk perencanaan antara lain:
• Gradien pengadukan (G)
• Lamanya pengadukan atau waktu detensi (td)
• Bilangan Reynold (Nre)

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 5


BAB VI : Metoda Perencanaan
4. Sedimentasi
Parameter operasional dari unit sedimentasi yang menjadi kriteria
utama perencanaan antara lain:
• Lamanya pengendapan atau waktu detensi (td)
• Loading Rate atau beban permukaan (m/jam)
• Bilangan Reynold (Nre)
• Bilangan Fraude (Fr)

5. Filtrasi
Parameter operasional dari unit filtrasi yang menjadi kriteria utama
perencanaan antara lain:
• Kriteria butiran media penyaring
• Loading Rate atau beban permukaan (m/jam)
• Head atau tekanan filtrasi (m)

6. Desinfeksi
Parameter operasional dari kegiatan desinfeksi yang menjadi kriteria
dalam perencanaan pengolahan air adalah:
• Dosis bahan kimia desinfektan (C)
• Lamanya kontak atau waktu detensi (td)
Rangkaian proses pengolahan secara diagramatis dapat dilihat seperti
pada gambar 6.3.

Gambar 6.3 Rangkaian proses dalam perencanaan pengolahan air

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 6


BAB VI : Metoda Perencanaan

Sedangkan jenis dan kriteria umum perencanaan dari masing-masing


unit dalam perencanaan pengolahan air secara matriks dapat dilihat
seperti pada tabel 6.1.
Tabel 6.1.Kriteria Perencanaan untuk Pengolahan Air
Klasifikasi Air dan kriteria pererencanaan
No Uraian Kekeruhan Kekeruhan Kekeruhan Berwarna Kekeruhan
tinggi sedang temporer rendah/
jernih
A Parameter
1 Kualitas > 100 NTU 10 - 50 > 50 NTU 10 - 50
NTU <6 jam NTU
2 Kekeruhan > 50 NTU < 25 PtCo < 10 > 25 PtCo < 10 NTU>6
NTU>6 jam jam
3 Warna < 25 PtCo < 25 PtCo < 25 PtCo

B Unit Pengolahan
1 Prasedimentasi
- Surface Loading 2-12 m/jam 2-12 m/jam
- Waktu detensi (1-3) jam (1-3) jam
- Kedalaman Bak (1-3) m (1-3) m
- Kondisi Aliran NRe<2000 NRe<2000
2 Koagulasi
- Dosing Koagulan
- Alum (Al3S04) 25-40 ppm 25-40 ppm 25-40 ppm 25-40 ppm
- PAC 5-10 ppm 5-10 ppm 5-10 ppm 5-10 ppm
- Kapasitas Perencanaan Qmaks harian Qmaks harian Qmaks harian
- Gradien Kecepatan 200-1000 (1/dt) 400-1000 (1/dt) 1000-
2000(1/dt)
- Kondisi Aliran Nre>10000 Nre>10000 NRe>10000
- Waktu Kontak Gxtd 10^4-10^6 10^4-10^6 10^4-10^6
- Mixer type impeler
- td = (1-3) menit (1-3) menit (1-3) menit
- G= 250-1000 (1/dt) 250-1000 (1/dt) 500-2000 (1/dt)
- Mixer type Statik
- td = <1 menit <1 menit <1 menit
3 3 3
- G= (2-30)10 1/dt) (2-30)10 1/dt) (4-30)10 1/dt))
3 Flokulasi
- Kap. Perencanaan Qmaks harian Qmaks harian Qmaks harian
- Gradien Kecepatan 10-100 ( 1 /dt) 10-100 ( 1 /dt) 10-100 (1/dt)
- Kondisi Aliran NRe>10000 NRe>10000 NRe>10000
- Waktu Kontak td 8 - 12 menit 8 - 12 menit 10 - 15 menit
4 Bak Sedimentasi
- Kap. Perencanaan Qmaks harian Qmaks harian Qmaks harian
- Surface Loading (Plate ) 4-5 m/jam 5-8 m/jam 4-5 m/jam
- Surface Loading (Plain ) 0,5-1 m/jam 1-3 m/jam 0,5-1 m/jam
- Waktu detensi (Plate) (0,5-1) jam (0,25-1) jam (0,5-1) jam

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 7


BAB VI : Metoda Perencanaan
Klasifikasi Air dan kriteria pererencanaan
No Uraian Kekeruhan Kekeruhan Kekeruhan Berwarna Kekeruhan
tinggi sedang temporer rendah/
jernih
- Waktu detensi (Plain) (1-2) jam (1-2) jam (1-2) jam
- Kondisi Aliran NRe<500, NRe<500, NRe<500,
5 5 5
NFr>10 NFr>10 NFr>10
- Kedalaman Bak (2-5) m (2-5) m (2-5) m
5 Filter (Declining rate)
- Kap. Perencanaan Qmaks harian Qmaks harian Qmaks harian Qmaks harian Qmaks harian
- Media Penyaring Pasir Kwarsa Pasir Kwarsa Pasir Kwarsa Pasir Kwarsa Pasir Kwarsa
- Efective Size (ES) (0,4 - 1,0) mm (0,4 - 1,0) mm (0,4 - 1,0) mm (0,4 - 1,0) mm (0,4 - 1,0) mm
- Uniformity Coef (UC) 1,3-1,7 1,3-1,7 1,3-1,7 1,3-1,7 1,3-1,7
- Ketebalan 0,3 - 0,6 m 0,3 - 0,6 m 0,3 - 0,6 m 0,3 - 0,6 m 0,3 - 0,6 m
- Media penyokong Kerikil Kerikil Kerikil Kerikil Kerikil
- Efective Size (ES) (0,4 - 1,0) mm (0,4 - 1,0) mm (0,4 - 1,0) mm (0,4 - 1,0) mm (0,4 - 1,0) mm
- Ketebalan (0,3 - 0,5) m (0,3 - 0,5) m (0,3 - 0,5) m (0,3 - 0,5) m (0,3 - 0,5) m
- Tinggi tekan filtrasi 0,5 - 4 m 0,5 - 4 m 0,5 - 4 m 0,5 - 4 m 0,5 - 4 m
- Surface Loading (7 - 12) m/jam (7 - 12) m/jam (5 - 10) m/jam (7 - 12) m/jam (7 - 12) m/jam
- Pencucian Air (15 - 25) m/jam (15 - 25) m/jam (15 - 25) m/jam (15 - 25) m/jam (15 - 25) m/jam
- Lama Pencucian Air (3 - 5 ) menit (3 - 5 ) menit (3 - 5 ) menit (3 - 5 ) menit (3 - 5 ) menit
- Ekspansi pencucian (20 - 50) % (20 - 50) % (20 - 50) % (20 - 50) % (20 - 50) %
- Periode Pencucian (12 -72) jam (12 -72) jam (12 -72) jam (12 -72) jam (12 -72) jam
- Pencucian Udara (5 -10 ) menit (5 -10 ) menit (5 -10 ) menit (5 -10 ) menit (5 -10 ) menit
6 Reservoir
- Waktu detensi (jam) 4 jam 4 jam 4 - 6 jam 4 jam 4 jam
- Dosing Desinfeksi Chlor 0,5 - 1 ppm 0,5 - 1 ppm 0,5 - 1 ppm 0,5 - 1 ppm 0,5 - 1 ppm

Contoh Perencanaan Pengolahan

Diketahui :
Akan direncanakan sebuah pengolahan air untuk dapat mengolah air
dengan kekeruhan sampai 400 NTU dan warna sampai 50 PtCo. Debit
pengolahan adalah 25 L/dt.
Ditanya :
Hitung dimensi unit unit pengolahan air.
Jawab :
Debit air adalah 25 L/dt atau 90 m3/jam.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 8


BAB VI : Metoda Perencanaan
Kriteria perencanaan untuk debit 25 l/detik dapat dilihat pada tabel 6.2
Tabel 6.2. Kriteria Perencanaan Pengolahan Air 25 L/dt
No Uraian Kiteria
1 Prasedimentasi Kekeruhan tinggi >50 mg/L SiO2
1.1. Surface Loading 2-12 m/jam
1.2. Waktu detensi (1-3) jam
1.3. Kedalaman Bak (1-3) m
-5
1.4. Kondisi Aliran NRe<2000 dan NFr>10
2 Koagulasi
2.1. Kapasitas Perencanaan Q maks harian
-1
2.2. Gradien Kecepatan 400-1000 (10 /dt)
2.3. Kondisi Aliran NRe>10000
4 6
2.4. Waktu Kontak G x td 10 -10
2.5. Mixer tipe impeler
- td = (1-3) menit
-1
-G= 250-1000 (10 /dt)
2.6. Mixer type Statik
- td = <1 menit
-1
-G= 2000-30000 (10 /dt)
3 Flokulasi
3.1. Kapasitas Perencanaan Qmaks harian
-1
3.2. Gradien Kecepatan 10-100 (10 /dt)
3.3. Kondisi Aliran NRe>10000
3.4. Waktu Kontak (td) 8 - 12 menit
4 Bak Sedimentasi
4.1. Kapasitas Perencanaan Qmaks harian
4.2. Surface Loading(Plate ) 4-8 m/jam
4.3. Surface Loading(Plain ) 0,5-3 m/jam
4.4. Waktu detensi (Plate) (0,5-1) jam
4.5. Waktu detensi (Plain) (1-2) jam
-5
4.6. Kondisi Aliran NRe<500 dan NFr>10
4.7. Kedalaman Bak (2-5) m
5 Filter (Declining rate)
5.1. Kapasitas Perencanaan Qmaks harian
5.2. Media Penyaring Pasir Kwarsa
Efective Size (ES) (0,4 - 1,0) mm
Uniformity Coeficient (UC) 1,3-1,7
Ketebalan 0,3 - 0,6 m
5.3. Media penyokong Kerikil
- Efective Size (ES) (0,4 - 1,0) mm
- Ketebalan 0,2 - 0,5 m
5.4. Tinggi tekan filtrasi 0,5 - 4 m
5.5. Surface Loading (7 - 12) m/jam
5.6. Pencucian Air (15 - 25) m/jam
- Lama Pencucian Air (3 - 5 ) menit
- Ekspansi pencucian (20 - 50) %
- Periode Pencucian (12 -72) jam
5.7. Pencucian Udara (5 -10 ) menit

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 9


BAB VI : Metoda Perencanaan
Unit pengolahan air yang direncanakan meliputi :
1. Prasedimentasi
2. Koagulasi
3. Flokulasi
4. Sedimentasi
5. Filtrasi
6. Desinfeksi
Konstruksi unit pengolahan air ini direncanakan dibuat dari beton.
Sedangkan untuk sistem pencucian filter direncanakan menggunakan
sistem self- backwash.
Perencanaan untuk masing-masing unit pengolahan adalah sbb. :
1. Perencanaan unit pra sedimentasi
Dengan mengacu pada kriteria perencanaan untuk unit
prasedimentasi, seperti yang tertera dalam tabel 6.2, maka
perhitungan dan perencanaan dimensi unit prasedimentasi dapat
dilihat pada tabel 6.3.
Tabel 6.3.
Perencanaan dan perhitungan dimensi unit prasedimentasi
Kriteria/
No Uraian Satuan Ket
perhitungan
A Kriteria perencanaaan
1 Surface Loading m/jam 10
2 Waktu detensi (td) jam 0.5
3 Kedalaman Bak m 5
4 Kondisi Aliran :
- Bilangan Reynold (Nre) 2000
-05
- Bilangan Fraude (NFr) 1x10
2
5 Gravitasi (g) m/dt 9.8
3
B Perhitungan volume bak m 45
2
1 Luas Pemukaan m 9
2 Lebar m 3.5
3 Panjang m 2.57
4 Check Loading m/jam 10
-03
m/dt 3x10
5 Check NRe
Jari jari hidrolik (R ) m 1.04
2 -6
υ m /dt 0.8.10
Nre < 2000 2.56 OK!
-5 -3
6 Check NFr >10 1.98x10 OK!

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 10


BAB VI : Metoda Perencanaan
Kriteria/
No Uraian Satuan Ket
perhitungan
C Dimensi Bak Prased
1 Panjang m 2.6
2 Lebar m 3.5
3 Tinggi m 5.0

2. Perencanaan unit koagulasi


Koagulasi direncanakan menggunakan sistem terjunan, yang
perencanaan dan perhitungan dimensi penampung dan tinggi
terjunan dapat dilihat pada tabel 6.4.
Tabel 6.4.
Perencanaan dan perhitungan dimensi unit koagulasi
No Uraian Satuan Perhitungan
A Kriteria Perencanaan
1 Waktu detensi menit 0.70
2 Gradien Hidrolik 1/dt 500
2 -6
3υ M /dt 0.8x10
2
4 Gravitasi M/dt 9.8
B Dimensi Bak
3
1 Volume Bak m 1.05
2 Tinggi terjun m 0.86
3 Panjang 0.6
4 Lebar 3.5
5 Tinggi 0.5

Dengan mengacu pada kriteria perencanaan untuk unit koagulasi,


seperti yang tertera dalam tabel 6.2, maka perhitungan dan
perencanaan dimensi unit koagulasi dapat dilihat pada tabel 6.4.

3. Perencanaan unit flokulasi


Flokulasi direncanakan menggunakan pengaliran melalui media
berbutir dengan aliran ke atas. Dengan mengacu pada kriteria
perencanaan untuk unit flokulasi, seperti yang tertera dalam tabel
6.2, maka perhitungan dan perencanaan tebal media dan diameter
butir dapat dilihat pada tabel 6.5 dan tabel 6.6.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 11


BAB VI : Metoda Perencanaan
Tabel 6.5.
Perencanaan dan perhitungan tebal media, diameter butir dan
dimensi dari unit flokulasi dengan sistem up flow media
Uraian Satuan Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3
Waktu detensi (td) detik 315 175 105
Grad. Kecepatan (G) 1/det 131 33 19
G x td 41.265 5.775 1.995
Dimensi
Panjang m 1 1.5 1.5
Kedalaman m 2.25 1 0.5
Lebar m 3.5 3.5 3.5
3
Volume m 12 12 12
2
Luas dasar m 3.5 5.25 5.25
Diamater bak m 2.45 2.45 2.45
Diameter d1 mm 25 25 25
Diameter d2 mm 37.5 37.5 37.5
Tinggi pasir m 0.2 0.2 0.2
Asumsi
Panjang bawah m 1
Panjang atas m 1.5
Lebar m 3.5
Tinggi m 3.75

Tabel 6.6.
Perencanaan dan perhitungan pengadukan
No Uraian Satuan Besaran
1. Waktu detensi Menit 10
2. Gradien Hidrolik 1/detik G
-Tahap 1 Detik 131
-Tahap 2 Detik 33
-Tahap 3 Detik 19
Total Detik
3. Diameter (d) M 0.4
4. Porositas (e) 0.4
3
5. Massa jenis air (ρa) ton/m 2.8
3
6. Massa jenis butir (ρs) ton/m 1
Tingkat porositas (ψ) 1.4
7. Slope hidrolis (∆H/L) 2.2
8. Tinggi pasir M 0.2
Headloss M 0.44

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 12


4. Perencanaan unit sedimentasi
Sedimentasi direncanakan menggunakan plate settler aliran miring
atau menggunakan pipa-pipa yang disusun miring dengan
kemiringan 60o. Dengan mengacu pada kriteria perencanaan untuk
unit sedimentasi, seperti yang tertera dalam tabel 6.2, maka
perhitungan dan perencanaan bidang pengendapan, zona inlet dan
zona outlet dapat dilihat pada tabel 6.7.
Tabel 6.7.
Perencanaan dan perhitungan unit sedimentasi
No Uraian Satuan Nilai
1. Waktu detensi menit 45
2 -6
2. Viscositas (υ) m /dt 0.8x10
2
3. Gravitasi m/dt 9.8
4. Loading m/jam 5.0
Plate Settler
2
1. Luas Permukaan m 18
2. Lebar m 3.5
3. Panjang m 5.1
4. tinggi efektif m 3.8
5. diameter pipa d= mm 37.5
6. Radius hidrolis=d= m 0.0375
7. Check NRe < 500 65
-5
8. Check NFr > 10^ -5 8.610
9. Kemiringan pipa derajat 60
10. tinggi plate m 1.0
Pipa Penghantar outlet
1. v= m/dt 0.5
2. Jumlah Pipa = buah 2
3. panjang = m 5
4. jumlah lubang = buah 24
5. diameter pipa = mm 300
6. jarak lubang= cm 20.0
7. kap. per lubang= l/dt 1.0
8. h diatas lubang = cm 1.0
9. diameter lubang= cm 7.0

5. Perencanaan Unit Filtrasi


Filtrasi direncanakan menggunakan media pasir kuarsa.
Perencanaan dan perhitungan dari beberapa parameter yang
diperlukan dalam perencanaan filtrasi yaitu luas filter, head loss
awal, head loss backwash, under drain, dapat dilihat pada tabel 6.8.

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 13


BAB VI
Metoda Perencanaan
Tabel 6.8.
Perencanaan dan perhitungan unit filtrasi
No Uraian Satuan Nilai
1 Loading m/jam 7.0
2 Backwash (self backwash)
2
3 Gravitasi m/dt 9.8
Rencana Pengadukan
Plate Settler
2
1 Luas Permukaan m 13
2 Jumlah Filter 4
3 Lebar total m 3.1
4 Lebar 1 filter m 0.8
5 Panjang m 1.1
6 tinggi pasir m 0.3
7 tinggi kerikil m 0.2
8 tinggi nozzle m 0.15
Kapasitas nozzle l/dt 1.00
diameter nozzle mm 18.75
jarak antara nozzle cm 26
jumlah nozzle buah 150
Head loss nozzle m 1.00
9 head loss pipa m 0.5
10 Head loss back wash
e 0.4
3
ρs ton/m 2.8
3
ρair ton/m 1
ψ 1.4
11. panjang m
hl/L 2.20
hl 1.43
1.43
2.145
11 Tinggi total backwash m 4.3

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 14


Gambar 6.3. Denah Perencanaan Bangunan Pengolah Air 25 l/detik

Teori dan Perencanaan Pengolahan Air VI - 15


Kata Pengantar

Hingga saat ini, literatur mengenai pengolahan air dalam


bahasa Indonesia masih sangat terbatas. Oleh sebab itu,
penulis dalam hal ini mencoba merangkum teori-teori
mengenai pengolahan air, dari beberapa sumber yang umum
digunakan sebagai referensi untuk merencanakan instalasi
pengolahan air. Selain itu, buku lini juga diperkaya dengan
pengalaman penulis pada bidang pengolahan air permukaan
di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam buku ini, Penulis membagi pembahasan mengenai
perencanaan pengolahan air dalam tiga bagian yaitu :
 Pembahasan mengenai kondisi air baku yang ada di
beberapa daerah di Indonesia.
 Pembahasan mengenai teori pengolahan dari masing-
masing unit operasi.
 Contoh soal dalam perancangan unit operasi pengolahan
air.
Penulis berharap buku ini dapat bermanfaat bagi para
mahasiswa maupun praktisi dalam menerapkan metoda dan
sistem perencanaan instalasi pengolahan air.
Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu mulai dari
penyusunan hingga terbitnya buku ini.
Di akhir kata, Penulis menyadari bahwa muatan buku ini
masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan
masukan terhadap buku ini sangat diharapkan. Terima kasih.

Jakarta, Maret 2004.

Ir. Martin Darmasetiawan, M.Sc.


Referensi

Harjoko, Richardus, Ir., MSc. Catatan Kuliah Bangunan Pengolahan


Air Minum Tahun 1983, Teknik Penyehatan,ITB.

Sulistyoweni, Ir., MSc & Ir Martin Darmasetiawan. Diktat Kuliah


Bangunan Pengolahan Air Minum Tahun 1987, Teknik Sipil
Universitas Indonesia.

Rich, Linvil G. Unit Operastions of Sanitary Engineering. New York :


John Wiley & Sons, Inc., 1961.

Fair, G M; J.C. Geyer & D.A. Okun. Water and Wastewater


Engineering. New York : John Wiley & Sons, Inc., 1991.

Susumu, Kawamura..Integrated Design of Water Treatment Facilities.


New York : John Wiley & Sons, Inc., 1991.

L, Ronal & Droste. Theory and Practice of Water and Wastewater


Treatment. New York : John Wiley & Sons, Inc., 1997.

Hammer, Mark J. Water and Wastewater Technology. New York : John


Wiley & Sons, Inc., 1986.

Huisman. Sedimentation , Filtration Trough Solid Bed. TH. Delf, 1988. Comment:
Riwayat Hidup

Martin Darmasetiawan lahir di Jakarta


tahun 1960. Menamatkan SD Tarakanita
Jakarta, Tahun 1972; kemudian SMP
Pangudiluhur II Jogyakarta, Tahun 1975;
dan SMAN VII Bandung, Tahun 1979.
Pada Tahun 1985, lulus dari S1 Teknik
Lingkungan ITB dan Tahun 1995 lulus
S2 Fakultas Pasca Sarjana UI Jurusan
Manajemen, Konsentrasi Manajemen
Keuangan.

Pengalaman Mengajar:
Penulis pernah mengajar di Teknik Sipil UI dan ISTN dari tahun
1987 sampai dengan tahun 1990 untuk mata kuliah Perencanaan
Pengolahan Air Bersih dan Perencanaan Sistem Distribusi Air
Bersih. Kemudian tahun 1995 sampai tahun 1996 mengajar di
Fakultas Ekonomi Trisakti untuk mata Kuliah Teknik Proyeksi
Bisnis. Dan hingga sekarang Penulis aktif mengajar di Institut
Teknologi Aditiawarman Bandung untuk mata kuliah Ekonomi
Lingkungan.

Pengalaman Profesional:
• Dari Tahun 1985 sampai Tahun 1987 Penulis bekerja di PT.
Firtasari Cendekia sebagai asisten Perencana,
• Dari Tahun 1987 sampai Tahun 1990 di PT. Infratama Yakti
sebagai Perencana.
• Dari Tahun 1991 sampai Tahun 1994 di PT. Perencana Djaja
sebagai Team Leader.
• Dari Tahun 1994 sampai sekarang di PT. Ekamitra Sugitama
sebagai Direktur Utama.

Sebagai seorang professional, Penulis mengkonsentrasikan diri di


bidang Infrastruktur Kota seperti Sistem Penyediaan Air Bersih,
Sistem Air Limbah dan Drainase serta telah mengerjakan proyek di
berbagai daerah di Indonesia sebagai konsultan.

Instalasi pengolahan Air (IPA) yang pertama kali dirancangnya


adalah IPA di Pantai Indah Kapuk pada tahun 1992 dan sejak itu
aktif merencanakan IPA di berbagai tempat di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai