Cephalgia atau nyeri kepala merupakan suatu penyakit yang sering atau pernah dialami oleh
masyarakat. Nyeri kepala bukan merupakan suatu penyakit melainkan gejala dari suatu penyakit atau
mengindikasikan adanya penyakit organik, respon stress, vasodilatasi, ketegangan otot skeletal atau
kombinasi dari faktor-faktor ini. Tujuan penerapan ini adalah untuk mengatasi masalah keperawatan
nyeri kepala pada pasien cephalgia. Metode pada penerapan ini menggunakan desain studi kasus (case
study). Subjek yang digunakan yaitu pasien cephalgia dengan masalah keperawatan nyeri kepala. Analisa
data dilakukan menggunakan analisa deskriptif. Nyeri kepala adalah salah satu gangguan yang paling
umum dari system saraf. Diperkirakan bahwa prevalensi orang dewasa yang mengalami sakit kepala saat
ini.
Ada beberapa penyebab terjadinya nyeri kepala (cephalgia), penelitian yang telah dilakukan
mengatakan bahwa faktor penyebab nyeri kepala adalah psikologi atau emosional seseorang yang
tinggi. Relaksasi autogenik membantu individu untuk dapat mengendalikan beberapa fungsi tubuh
seperti tekanan darah, denyut jantung, dan aliran darah. Selama latihan seseorang dipandu untuk rileks
dengan situasi yang tenang, sunyi, ringan dan hangat yang menyebar keseluruh tubuh. Penelitian yang
berjudul relaksasi autogenik untuk menurunkan sakit kepala pada lansia hipertensi di daerah rawan
bencana merapi menunjukan bahwa terdapat penurunan nyeri kepala yang dilakukan 6 kali selama 3
minggu, yaitu sebanyak 2 kali per minggu dapat menurunkan nyeri kepala dengan hasil P value 0,000 (P
value <0,05), yang artinya ada perbedaan pengaruh nyeri kepala setelah dilakukan intervensi relaksasi
autogenik.
l
Kesimpulan Jurnal 2
Alzheimer merupakan penyakit neurogeneratif kronis progresif. Penyakit ini ditandai dengan
gangguan fungsi luhur seperti bahasa, kalkulasi, kapasitas belajar dan sulit mengambil keputusan. ‘Pikun’
merupakan istilah yang digunakan masyarakat untuk menggambarkan penyakit ini. Kehilangan memori
jangka pendek merupakan kekhasan dari penyakit ini yang menyebabkan penurunkan produktivitas.
Alzheimer sering terjadi pada usia > 65 tahun dan juga ditemukan pada sekitar usia 40 tahun. Kunyit
(Curcuma longa L.) merupakan tanaman yang berfungsi sebagai neuroprotektor karena dapat
menghambat Protein Tau, akivitas asetilkolinesterase dan berfungsi sebagai anti agregasi Aβ dan β
secretase inhibitor. Literature review ini bertujuan untuk menjelaskan gambaran efek neuroprotektor
pada kunyit terhadap pasien Alzheimer yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Metode yang
digunakan dalam artikel ini adalah penelusuran artikel melalui database NCBI dan Google Scholar. Tahun
penerbitan sumber pustaka adalah dari tahun 2001 sampai 2019 dengan 32 sumber pustaka.Tema
dalam artikel yang dikumpulkan yaitu terkait gambaran efek neuroprotektor kunyit terhadap pasien
Alzheimer. Hasil dari sintesa artikel yang telah ditemukan yaitu kunyit dapat mencegah penurunan
kognitif pada pasien Alzheimer.
Pemberian kunyit pada pasien alzheimer dapat menjadi salah satu alternatif penanganan bagi
pasien alzheimer untuk mencegah penurunan kognitif pada pasien. Kurkumin yaitu kandungan utama
pada kunyit mampu berperan sebagai neuroprotektor dengan mekanisme: (1) Mencegah pembentukan dan
mengurangi toksisitas oligomer Aβ 42, (2) Sebagai anti- agregasi Aβ dan menggangu stabilisasi fibril Aβ
yang belum terbentuk, (3) Melindungi sel PC-12 dan sel endotelembelical manusia dari stres oksidatif
yang diinduksi amiloid Aβ, (4) Menurunkan regulasi BACE-1 dan menurunkan ekspresi Mrna protein
prekursor Aβ dan BACE-1, (5) Memiliki efek inhibisi β secretase.
Kesimpulan Jurnal 3
Sel punca merupakan sel yang memiliki keunggulan berupa kemampuan memperbanyak diri
(proliferasi) dan berubah menjadi jenis sel yang lebih spesifik (diferensiasi). Sifat tersebut tentu sangat
bermanfaat bagi terapi pasien-pasien dengan berbagai kondisi patologis dan trauma. Dalam hal terapi
penggantian sel, sel punca memiliki keunggulan dapat mengganti sel yang hilang atau rusak, sekaligus
mengubah perilaku sel lain di sekitarnya. Perkembangan terapi sel punca pada penyakit Parkinson
cenderung lambat karena memiliki kendala terkait permasalahan yang berhubungan dengan pemilihan
pasien, keamanan, dan permasalahan etis. Sejauh ini, belum terdapat publikasi mengenai penelitian sel
punca pada penyakit Parkinson sampai dengan fase IV menurut uji klinis FDA. Penelitian saat ini baru
mencapai fase I-III dengan status sebagian masih dalam proses penelitian dan belum dipublikasikan.