Anda di halaman 1dari 6

Skenario 1

Apakah Ny. S boleh hamil?

Ny. S usia 30 tahun dibawa ke IGD Puskesmas oleh keluarga dengan keluhan kejang.
Menurut orangtua pasien, kejang kelonjotan berulang seluruh tubuh yang terjadi secara tiba
tiba sejak 1 hari SMRS, hari ini kejang sebanyak 3 kali, lama kejang sekitar 2-3 menit, saat
kejang mata melihat ke atas, kelopak mata berkedip- kedip, keluar air liur berbusa dari mulut
pasien. Saat kejang pasien tidak sadar dan setelah kejang pasien tampak lemas dan tertidur,
beberapa saat kemudian pasien kembali bangun dan sadar. Nyeri kepala, muntah, kelemahan
anggota gerak disangkal. Pasien rutin berobat ke Puskesmas dan mendapat terapi
Karbamazepin dan Asam Valproat, namun dalam 1 minggu ini tidak rutin minum obat.
Pasien ingin memiliki anak karena sudah 2 tahun menikah belum memiliki anak.

Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan TD : 120/80mmHg, HR 80x/menit, RR 22x/menit,


suhu 36,8oC, SPO2 97%. Pada pemeriksaan status neurologis didapatkan GCS E4M6V5,
N.Cranialis: pupil bulat isokor, Ø3mm/ Ø3mm, RCL (+/+), RCTL (+/+), paresis nervus
cranialis tidak ada, kaku kuduk (-) motorik dalam batas normal, refleks fisiologis dalam batas
normal, refleks patologis babinski (-/-), sensorik dan otonom dalam batas normal

IDENTIFIKASI ISTILAH

1. Kejang kelonjotan: Kejang tonik klonik, pada kejang ini, tubuh penderita kaku
sedangkan ekstremitas atas dan bawah berkontraksi terus menerus (kelojotan), dimana
seluruh badan bergerak (tangan/kaki), mata mendelik keatas. Selain kelojotan, ciri-ciri
lain kejang epilepsi adalah mulut berbuih dan mata melirik keatas.
2. SMRS : sebelum masuk rumah sakit
3. RCL : RCL adalah refleks cahaya langsung, yaitu refleks pupil yang langsung terkena
cahaya. (+/+) artinya normal kanan dan kiri.
4. RCTL adalah refleks cahaya tidak langsung, yaitu refleks pupil mata yang tidak
terkena cahaya, ketika pupil mata yang sebelahnya dikenai. (+/+) artinya normal kanan
dan kiri.
5. Paresis Nervus Kranialis : kelumpuhan pada otot-otot wajah yang disebabkan oleh
lesi pada lower motor neuron nervus kranialis.
6. Karbamazepin : obat yang digunakan untuk mengobati epilepsi atau orang yang
mengalami kejang. Obat tersebut dikenal sebagai antikonvulsan atau obat anti-
epilepsi, merupakan obat pilihan untuk kejang fokal yang sederhana dan kompleks
serta kejang tonik-klonik sekunder setelah cetusan fokal. Carbamazepine memodulasi
voltage-gated sodium channels (VGSC), menyebabkan penghambatan potensial aksi
dan penurunan transmisi sinaptik. Mirip dengan anti-kejang lainnya, carbamazepine
disarankan untuk berikatan dengan subunit alfa VGSC, khususnya pada kantong
pengikat yang dibentuk oleh loop pori eksternal dan bagian pelapis pori domain
IV. Carbamazepine menjaga saluran natrium dalam keadaan tidak aktif, menyebabkan
lebih sedikit saluran untuk dibuka dan dengan demikian menghambat pembentukan
potensial aksi. Carbamazepine juga berikatan dengan saluran ion tegangan-gated
lainnya, seperti saluran kalsium tegangan-gated.
7. Asam Valproat: turunan sintetis dari asam propilpentanoat dengan
sifat antikonvulsan (anti kejang) yang digunakan dalam pengobatan epilepsy.
Pada epilepsi, asam valproate bekerja dengan meningkatkan konsentrasi GABA di
otak. Asam valproate bekerja dengan meningkatkan kadar inhibitor neurotransmitter
gamma-aminobutyric acid (GABA) di otak, obat ini dapat meningkatkan atau meniru
aksi GABA di situs reseptor postsinaptik, dan juga dapat menghambat
saluran Natrium dan Kalsium, sehingga dapat mengatasi kejang. Asam valproate
cepat diserap pencernaan
8. Pupil bulat isokor: pupil pada kedua mata besarnya sama. Kondisi ini adalah kondisi
yang norma

KONSEP: Kejang epilepsy idiopatik: tidak terdapat lesi struktural di otak atau defisit neurologik.
Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik dan umumnya berhubungan dengan usia.

IDENTIFIKASI MASALAH

1. Apa diagnosis kerja pada pasien? (Fayza jawab)


2. Bagaimana tatalaksananya? (Marshanda jawab)
3. Apa edukasi yang dapat diberikan? sopi jawab
4. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan? (risna tanya)(nike jawab)
5. Apakah yang menyebabkan kejang pada pasien tiba-tiba ada hubungannya dengan
pasien yang tidak mengkonsumsi obat secara rutin selama satu minggu terakhir?
(Fayza jawab)
6. Mengapa pasien bangun kembali setelah beberapa saat hilang kesadaran selepas
kejang?
7. Apakah hubungan dengan gejala yang diderita pasien dengan hasrat pasien ingin
memiliki anak, walau sudah 2 tahun menikah?

ANALISA MASALAH

1. Anamnesis sangat membantu proses penegakan diagnosis penyebab kejang walaupun


tatalaksana kegawatdaruratan kejang relatif sama. Anamnesis dikerucutkan mengarah
pada umur pasien dan aneka diagnosis banding yang mungkin. Anamnesis terhadap
riwayat penyakit sebelumnya juga perlu ditanyakan. Misalnya epilepsi, trauma,
penyakit metabolik yang diderita, hipertensi, gagal ginjal, penyakit hati kronis, adanya
kehamilan atau terlambat menstruasi, dan riwayat konsumsi obat. Beberapa diagnosis
pembanding dikelompokkan berdasar umur yang berguna untuk memetakan penyebab
kejang. Pembagian ini juga terkait faktor lain misalnya gangguan metabolisme,
kualitas vaskular, dan komorbid lain.
Pemeriksaan umum dilakukan untuk mencari dasar penyebab kejang. Pemeriksaan
meliputi vital sign dan pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik yang cermat, dapat
ditemukan adanya hipertensi emergensi, hipotensi, hiperpireksia, infeksi, penyakit
sistemik, penyakit vaskular, dan neurokutaneus. Adanya lateralisasi anggota gerak
yang ditemukan saat pemeriksaan fisik mengindikasikan adanya kemungkinan tumor
otak, penyakit serebrovaskular, trauma, atau lesi fokal yang lain.
Pemeriksaan penunjang sederhana yang dapat segera dilakukan saat di ugd adalah
kadar gula darah acak menggunakan GDA stick. Beberapa kejang dapat dipicu oleh
keadaan hipoglikemia atau hiperglikemia. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan
adalah pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah bila ada fasilitas, tes kehamilan
pada wanita usia subur, fungsi ginjal, dan fungsi hati.
Pemeriksaan elektrokardiografi juga penting untuk dilakukan karena beberapa aritmia
bisa menimbulkan kejang.
Pemeriksaan radiologi jarang dapat dilakukan di fasilitas kesehatan primer. Oleh
karena itu, hampir semua pemeriksaan penunjang radiologi dilakukan di fasilitas
rujukan. Pemeriksaan CT scan disarankan untuk mengetahui adanya lesi intrakranial.
Penggunaan kontras dapat dilakukan apabila ada indikasi. Pemeriksaan MRI dapat
dilakukan apabila ada indikasi dan ada fasilitas. Beberapa lesi intrakranial sudah dapat
diketahui dari pemeriksaan CT scan.
Pemeriksaan elektroensefalografi tidak rutin dilakukan. Pemeriksaan EEG
dipertimbangkan jika tersedia dan jika pasien lumpuh, terpasang intubasi, atau sedang
dalam status epileptikus.
Pungsi lumbal harus dipertimbangkan untuk pasien dengan kondisi imunokompromis,
demam, nyeri kepala hebat, atau perubahan status mental yang menetap.
2. Kejang adalah salah satu kegawatdaruratan. Tindakan awal yang harus dilakukan
adalah stabilisasi airway, breathing, circulation, dan pemeriksaan fisik. Tujuan awal
dari tindakan ini selain stabilisasi adalah penghentian kejang segera karena kejang
yang berlangsung lebih dari 20 menit dapat menyebabkan cedera permanen pada
neuron.
Pasien dengan status epileptikus direkomendasikan untuk dipasang intubasi.
Pasien ditempatkan pada posisi semi prone dengan kepala diposisikan menghadap
samping untuk mencegah aspirasi apabila pasien muntah. Namun, harus diingat
bahwa leher dan kepala harus diimobilisasi pada pasien trauma. PAPDI
merekomendasikan pemasangan spatel pada lidah untuk mencegah lidah tergigit. Gigi
palsu dilepas apabila ada.
Akses intravena harus segera didapatkan untuk memudahkan proses terapi
farmakologis. Pasien dengan kejang berulang dan penurunan status neurologis
dipertimbangkan untuk dirujuk untuk mendapat perawatan di ruang intensif.
Terapi farmakologik pertama yang harus diingat ketika pasien kejang adalah
antikejang. Antikejang paling umum, efektif, dan banyak tersedia di fasilitas
kesehatan primer adalag diazepam. Diazepam bekerja dengan menekan semua tingkat
sistem saraf pusat. Dosis dewasa Diazepam adalah 0,2 mg/kgBB diberikan secara
bolus intravena. Setelah pemberian mencapai 30 mg, perlu dipertimbangkan
penggunaan antikejang yang lain.
Fenitoin diberikan untuk mencegah kejang berulang. Fenitoin bekerja di korteks
motorik dan brain stem yang bertanggung jawab atas kejang tonik pada kejang grand
mal. Dosis fenitoin adalah 18-20 mg/kgBB intravena untuk loading. Dosis
maintenance dapat diberikan 3×100 mg intravena bolus pelan. Pemberian yang terlalu
cepat dapat merangsang terjadinya hipotensi dan/ atau aritmia.
Antikejang lain yang dapat dipertimbangkan adalah Lorazepam, Midazolam,
Propofol, Fenobarbital, dan Pentobarbital. Kejang yang disebabkan oleh eklampsia
dicegah dan diatasi dengan pemberian magnesium sulfat. Penggunaan antikejang
harus sesuai dengan indikasi dan ketersediaan di masing-masing fasilitas kesehatan.
Pemberian antipiretik dianjurkan apabila pasien demam. Pemberian antibiotik empiris
direkomendasikan untuk pasien kejang dengan kecurigaan infeksi.
Kejang adalah salah satu dari manifestasi suatu penyakit yang mendasarinya.
Walaupun kegawatdaruratan sudah teratasi, penatalaksanaan kejang tidak selesai
ketika kejang berhenti. Penyebab kejang harus dicari untuk mencegah kejang
berulang dan kerusakan permanen dari sel otak. Pertimbangkan untuk merujuk pasien
untuk perawatan yang lebih intensif dan mencari penyebab kejang.
3. Informasikan pasien dan keluarga bahwa kejadian ini tidak akan mempengaruhi
disfungsi neurologis atau penyakit psikologis lainnya. Edukasi keluarga cara
penanganan gangguan ini, sehingga kemungkinan kecil mereka tidak mencari
pengobatan alternatif yang belum terbukti dan bergegas ke UGD. Namun, keluarga
juga harus diedukasi tentang kapan pasien kejang harus dibawa ke UGD dalam
beberapa kasus yang penyebabnya mungkin infeksi virus dan bakteri pada otak.
4. INTERPRETASI HASIL PEMERIKSAAN:
Menurut orangtua pasien, kejang kelonjotan berulang seluruh tubuh yang terjadi
secara tiba tiba sejak 1 hari SMRS, hari ini kejang sebanyak 3 kali, lama kejang
sekitar 2-3 menit, saat kejang mata melihat ke atas, kelopak mata berkedip- kedip,
keluar air liur berbusa dari mulut pasien. Hal ini biasa terjadi pada pasien kejang
epilepsy.

Nyeri kepala, muntah, kelemahan anggota gerak disangkal, maka tidak ada gangguan
pada serebrinya, seperti edema serebri yang menyebabkan nyeri kepala. Pasien juga
dalam keadaan Compos Mentis yang berarti pasien tidak mengalami kelainan
Struktural di otak maka belum sampai mengenai batang Otak ( formasio retikularis)
dalam mengatur kesadarannya.

Pemeriksaan Fisik:
 Kesadaran: Compos Mentis  Menunjukkan pasien tidak mengalami gangguan
kesadaran. Kesadaran compos mentis atau kesadaran penuh menunjukkan tidak
terdapat gangguan pada pusat kesadaran yaitu ARAS.
Vital Sign
 Tekanan darah: 120/80mmHg
 Frekuensi nadi: 80x/menit
 Frekuensi napas: RR 22x/menit
 Suhu: 36,8oC
 SPO2: 97%, normal.
 GCS E4M6V5
N. Kranialis:
 pupil bulat isokor, Ø3mm/ Ø3mm, Pupil berbentuk bulat dengan diameter 3 mm, sama antara
mata kanan dan kiri
 RCL (+/+), RCTL (+/+), normal
 paresis nervus cranialis tidak ada, menunjukkan tidak ada kelainan pada saraf kranial,
lesi bukan pada saraf kranial
 kaku kuduk (-) motorik dalam batas normal,
 refleks fisiologis dalam batas normal,
 refleks patologis babinski (-/-),
 sensorik dan otonom dalam batas normal

5. Pada dasarnya obat-obatan antiepilepsi tidak diberikan untuk tujuan menyembuhkan


epilepsinya sendiri. Obat-obatan ini diberikan untuk mengontrol dan mencegah kejang
terjadi. Pada beberapa orang, epilepsi bisa berkurang atau menghilang dengan
sendirinya setelah beberapa tahun menjalani pengobatan. Pengobatan untuk epilepsi
sendiri juga bermacam-macam, biasanya akan diawali dengan pemberian obat-obatan
antiepilepsi terlebih dahulu, dan dilihat kembali respon pengobatannya. Bila tidak
berespon baik terhadap obat-obatan, maka dapat dipertimbangkan metode terapi
lainnya misalnya dengan stimulasi nervus vagus ataupun operasi otak. Pada beberapa
orang, diet tertentu juga dapat membantu mengurangi frekuensi kejang pada penderita
epilepsi. Pada orang yang mengalami epilepsi yang ringan, tidak mengkonsumsi obat
antiepilepsi secara rutin mungkin tidak akan menimbulkan efek samping yang berarti.
Namun perlu anda ketahui bahwa kejang berkepanjangan bisa meningkatkan risiko
terjaidnya kerusakan otak permanen dan risiko kematian mendadak pada penderita
epilepsi. Ketidakpatuhan terhadap obat antiepilepsi (AED) dapat mengakibatkan
kejang berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah episode sebelumnya dan dapat
berdampak serius pada persepsi kualitas hidup individu
6. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kejang saat tidur lebih lama dan lebih
sering digeneralisasi secara sekunder. Sindrom epilepsi tertentu dapat bermanifestasi
dengan pola kejang yang berbeda. Kejang pada epilepsi mioklonik (tersentak) remaja
paling sering terjadi selama transisi dari tidur ke terjaga. Studi tentang pola kejang
pada West Syndrome menemukan bahwa kejang terjadi lebih sering pada pagi hari.
Melatonin memberikan ukuran pola sirkadian yang paling andal dan konsisten dan
dapat diukur dalam plasma, air liur, atau urin . Karena sekresi hormon ditekan secara
akut oleh paparan cahaya, pengukuran waktu onset kenaikan melatonin harian selama
paparan cahaya rendah adalah pengukuran fase sirkadian yang lebih andal . Onset
melatonin cahaya redup (DLMO) telah digunakan untuk menilai perubahan fase
sirkadian telah diujicobakan pada epilepsi.
Penanda lain, seperti suhu inti tubuh, dan kortisol juga dapat berfungsi sebagai
biomarker untuk ritme sirkadian. Kortisol dapat diukur dalam serum dan air
liur. Kortisol biasanya meningkat pada sore hari dan dini hari. Penanda lainnya, suhu
inti tubuh biasanya turun pada malam hari dan naik pada pagi hingga siang hari. Suhu
tubuh dapat diukur melalui pengukuran pergelangan tangan dan dubur, meskipun
koreksi diperlukan untuk memperhitungkan aktivitas dan iklim yang berbeda.
Melatonin tercatat meningkat setelah kejang. Perubahan ini telah memberikan
kontribusi untuk laporan yang menunjukkan potensi efek antikonvulsan melatonin
Melatonin telah didalilkan untuk menekan aktivitas kejang pada dosis
tertentu. Penjelasan potensial untuk efek ini termasuk aktivitas antioksidan [ atau efek
potensiasi GABA Sebuah tinjauan literatur baru-baru ini mencatat bahwa uji coba
terapi melatonin yang dipublikasikan terbatas dan memberikan hasil yang
bertentangan.
Tidur memengaruhi kejang dan aktivitas epileptiform interiktal dalam beberapa
cara. Selama bertahun-tahun telah diakui bahwa pelepasan epileptiform interiktal
dapat diaktifkan hanya selama tidur, meningkatkan hasil diagnostik
elektroensefalografi, dan kurang tidur telah terbukti mengaktifkan pelepasan
epileptiform interiktal terlepas dari durasi atau kedalaman tidur. Pelepasan
epileptiform interiktal diaktifkan secara maksimal selama tidur gelombang lambat,
tetapi menurun selama tidur gerakan mata cepat.
Ada hubungan dua arah yang kompleks antara tidur dan epilepsi sehingga setiap
variabel dapat saling mempengaruhi Siklus tidur-bangun berhubungan dengan
perubahan penting dalam aktivitas listrik otak dan juga aktivitas hormonal. Oleh
karena itu, kejang dan siklus tidur-bangun saling terkait sepenuhnya. Beberapa orang
mengalami kejang saat tidur atau kurang tidur, atau saat bangun tidur. Di tempat lain,
kejang terjadi pada siang atau malam hari. Fase tidur mengubah morfologi pelepasan
epileptiform di sejumlah sindrom epilepsi masa kanak-kanak. Tidur memiliki dua fase
utama: 1. Gerakan mata tidak cepat (NREM), dan 2. Gerakan mata cepat
(REM). Kedua fase ini disebabkan oleh aktivitas di berbagai bagian otak. Dalam tidur
nyenyak, hanya ada sedikit gerakan tubuh dan pernapasan teratur. Sebagian besar
kejang, terutama kejang umum, mungkin terjadi pada fase ini. Tidur tidak nyenyak
ditandai dengan gerakan mata; sentakan hipnik di wajah, lengan, dan kaki; dan
pernapasan cepat yang tidak teratur. Fase ini dikenal sebagai tidur aktif dan sebagian
besar terjadi saat bermimpi. Tidur nyenyak dapat berlangsung dari beberapa menit
hingga setengah jam. Sebagian besar kejang parsial terjadi pada fase ini.
Salah satu epilepsi yang paling spesifik terkait dengan tidur disebut epilepsi "grand
mal yang terbangun". Jika Anda menderita epilepsi jenis ini, Anda mengalami kejang
tonik-klonik ("grand mal") umum , tetapi kejang terjadi hanya sebelum atau setelah
Anda bangun. Kejang biasanya terjadi di pagi hari, tetapi bisa juga terjadi saat Anda
bangun dari tidur siang. Biasanya obat kejang dapat mengendalikan kejang ini, tetapi
Anda tetap harus berhati-hati pada saat risiko kejang terbesar. Jangan mengoperasikan
mesin atau menjadi pengasuh anak kecil segera setelah bangun tidur.
7. HAMIL DAN MENYUSUI
Ada peningkatan risiko teratogenik yang disebabkan dengan penggunaan obat
antiepilepsi (risiko ini berkurang pada penggunaan monoterapi). Karena adanya
peningkatan risiko kelainan saluran saraf (neural tube) dan kelainan lainnya yang
disebabkan penggunaan obat, terutama karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, dan
valproat, maka wanita yang mengkonsumsi antiepileptik dan berencana untuk hamil
sebaiknya diinformasikan tentang risiko yang mungkin terjadi. Pasien tersebut
sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis terkait untuk mendapatkan saran. Pasien yang
hamil sebaiknya dikonsultasikan dan melakukan skrining antenatal (pengukuran alfa
fetoprotein dan USG pada trimester kedua). Untuk mengatasi risiko kerusakan neural
tube pemberian suplemen folat yang memadai disarankan pada wanita sebelum dan
selama kehamilan. Untuk mencegah kerusakan neural tube, pasien wanita sebaiknya
mendapatkan asam folat 5 mg/hari (bagian 9.1.2)– dosis ini juga tepat untuk wanita
yang mendapatkan terapi antiepileptik.Kadar obat antiepileptik dalam darah dapat
berubah selama kehamilan, terutama pada trimester akhir. Dosis antiepileptik
sebaiknya dimonitor secara hati-hati selama kehamilan dan setelah melahirkan, dan
penyesuaian dosis dilakukan berdasarkan pengamatan klinis. Injeksi rutin vitamin K
(bagian 9.6.6) pada saat lahir dapat secara efektif mengatasi risiko perdarahan
neonatal yang disebabkan antiepileptik. Pengaruh mengkonsumsi obat anti epilepsi
pada ibu hamil yaitu dapat menyebabkan efek samping yaitu keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan pada janin dan bayi, kecacatan, neonatus
withdrawal, ketidakmampuan belajar, dan retardasimental. Maka dari itu, ibu
hamil pengidap epilepsi dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan agar menjadi
bahan pertimbangan untuk meneruskan kehamilan atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai