Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SEJARAH SEMANTIK AL-QUR’AN


Makalah ini dibuat guna memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Semantik Al-Qur’an serta sebagai bahan kajian presentasi yang dibimbing oleh:
Ahmad Sahal, Lc.,M.Ag

Nama : Siti Apriliana Masturoh


Prodi : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Semester : VII (Tujuh)
NIM : 144120015

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR (IAT)


FAKULTAS SYARIAH DAN USHULUDDIN
INSTITUT AGAMA ISLAM BAKTI NEGARA
(IBN) TEGAL
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Pujian dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan nikmat iman dan Islam kepada kita serta menjaga kesehatan kami,
sehingga kami dapat menyusun makalah ini mengenai Sejarah Semantik Al-Qur'an.
Sholawat dan salam senantiasa kami sampaikan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW, yang telah membimbing umatnya menuju zaman yang penuh
ilmu.

Kami ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada individu


dan pihak yang telah memberikan dukungan dalam perjalanan penulisan makalah
ini:

1. Zakiyah, M.Ag. selaku Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir yang telah
memberikan bimbingan dan dorongan.
2. Komarudin, S.Hi., M.Si. selaku Dosen Akademik IAT VII yang telah
memberikan arahan berharga.
3. Ahmad Sahal, Lc., M.Ag. selaku Dosen Mata Kuliah Semantik Al-Qur'an
yang telah memberikan wawasan dalam topik ini.
4. Orang tua kami, Bapak dan Ibu, serta guru-guru kami yang senantiasa
memberikan dorongan dan ilmu kepada kami.
5. Teman-teman satu kelas, adik, dan kakak tingkat Prodi Ilmu Al-Qur'an dan
Tafsir yang telah berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan kami.

Dengan kerendahan hati, kami menyadari bahwa makalah ini belum


mencapai kesempurnaan dalam konteks akademik. Oleh karena itu, kami dengan
tulus mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca yang
memiliki pemahaman ilmiah. Kontribusi berharga ini akan kami gunakan untuk
memperbaiki dan mengembangkan makalah ini. Tujuan kami adalah meningkatkan
kualitas makalah ini agar dapat memberikan manfaat yang signifikan, khususnya
bagi mereka yang berkepentingan dalam topik yang kami bahas dalam makalah ini.

ii
Terima kasih atas perhatian dan kerjasama Anda dalam membaca dan
memberikan masukan pada makalah kami.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Slawi, 30 September 2023


Penyusun

Siti Apriliana Masturoh


NIM : 144120015

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.................................................................................................. i

Kata Pengantar ................................................................................................. ii

Daftar Isi........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ......................................................................................... 2

BAB II ISI ........................................................................................................ 3

A. Sejarah Semantik al-Qur'an....................................................................... 3


B. Awal Kemunculan Semantik al-Qur'an ..................................................... 7
C. Perkembangan Semantik al-Qur'an ........................................................... 13

BAB III PENUTUP.......................................................................................... 14

A. Kesimpulan ............................................................................................. 14
B. Saran ....................................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 15

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an, sebagai kitab suci paling sakral bagi umat Islam, berfungsi
sebagai sumber hukum dan pengetahuan yang mengatur kehidupan mereka. Al-
Qur’an telah menjadi subjek ketertarikan utama para akademisi yang berusaha
memahami dan menafsirkan kitab suci ini dari berbagai perspektif. Di
dalamnya, terdapat pengetahuan yang mencakup berbagai bidang dan konsep,
yang kemudian diinterpretasikan menjadi tafsir.
Proses penafsiran Al-Qur’an dimulai sejak era ketika kitab suci ini
pertama kali diturunkan. Pada masa itu, metode penafsiran yang digunakan
adalah tafsir Qur’an dengan Qur’an, di mana ayat-ayat Al-Qur’an dijelaskan
dengan menggunakan ayat lain dalam kitab tersebut. Selain itu, tafsir Qur’an
dengan hadis juga dikenal, di mana Nabi Muhammad SAW, sebagai utusan
Allah, berperan dalam menjelaskan makna dan konteks Al-Qur’an kepada
umatnya.
Seiring berjalannya waktu, penafsiran Al-Qur’an mengalami
perkembangan yang signifikan setelah masa Nabi Muhammad SAW. Beberapa
aliran tafsir muncul, masing-masing sesuai dengan disiplin ilmu yang
digunakan dalam metodenya. Di antara aliran-aliran tersebut terdapat tafsir
maudhu'i, tafsir bi al-ma'tsur, dan tafsir bi al-ra'yi. Ragam model penafsiran ini
menunjukkan bahwa Al-Qur’an dapat dipahami melalui berbagai pendekatan
yang berbeda.
Dalam makalah ini, kami akan memfokuskan pembahasan pada sejarah,
awal kemunculan, dan perkembangan semantik Al-Qur’an. Kami akan
menjelaskan bagaimana Al-Qur’an telah ditafsirkan secara kata-perkata, serta
bagaimana pemahaman terhadap kata-kata tertentu telah berkembang dan
diinterpretasikan oleh para cendekiawan dan penafsir. Meskipun semantik Al-
Qur’an memiliki cakupan yang lebih luas dalam penafsiran, pendekatan ini
akan terfokus pada sejarah, awal kemunculan, dan perkembangannya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah semantik Al-Qur'an berkembang dari awal
kemunculannya hingga saat ini?
2. Apa dampak perkembangan semantik Al-Qur'an terhadap pemahaman
Islam?

C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan perkembangan semantik dalam Al-Qur'an sepanjang sejarah
Islam
2. Menganalisis pengaruh konteks sosial terhadap perubahan semantik dalam
Al-Qur'an.

2
BAB II
ISI

A. Sejarah Semantik Al Qur’an


Penggunaan semantik dalam penafsiran Al-Qur’an sedianya telah dimulai
sejak era klasik. Namun pada saat itu belum ada cabang keilmuan semantik
yang independen. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa embrio
penafsiran dengan menggunakan semantik sudah dilakukan, walaupun tidak
secara spesifik menekankan pada aspek pemaknaan saja. Dalam pembahasan
ini penulis membagi penjelasan dalam dua bagian, yaitu:

1. Era Klasik
Adapun yang dimaksud era klasik ini adalah masa-masa setelah Nabi
saw wafat dan para penerus beliau mulai mencoba memahami ayat-ayat
Al-Qur’an dengan pendekatan kebahasaan terhadap ayat-ayat yang rancu
atau sulit diterima logika.

Embrio dari penafsiran secara semantik terlihat ketika Mujahid Ibn


Jabbar mencoba mengalihkan makna dasar kepada makna relasional pada
ayat 34 surah al-Kahfi:

ً َ َ ُّ َ َ َّ ً َ َ ْ ُ َ ْ َ ۠ َ َ ٗ ُ َ ُ َ ُ َ َ َ َ َ َ َ ٗ َ َ َ َّ
٣٤ ‫اور ٓٗه انا اكثر ِمنك مالا واعز نفرا‬ ِ ‫اح ِب ٖه وهو يح‬
ِ ‫وكان له ثمرٌۚ فقال ِلص‬

)٣٤-٣٤ :18/‫( الكهف‬

Artinya: “Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata


kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia:
"Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih
kuat".

Kata tsamar pada ayat diatas memiliki makna dasar buah-buahan.


Akan tetapi oleh Mujahid kata tersebut dimaknai dengan emas dan perak

3
(harta kekayaan). Perubahan makna tersebut terjadi sebagai arti
pentingnya konteks masyarakat pada saat itu. 1

Ulama lain yang ikut andil dalam cikal bakal studi semantik adalah
Ibn Juraij. Ia membedakan antara makna bawaan dengan makna
fungsional. Makna bawaan adalah makna asli dari kata tersebut yaitu
makna dasar, sementara makna fungsional lebih mengacu kepada makna
yang selalu berubah sesuai dengan konteks ayat tersebut yang juga disebut
dengan makna relasional. Ibn Juraij juga menekankan pentingnya konteks
sebuah ayat dalam Al-Qur’an dalam pergeseran makna kata di dalam Al-
Qur’an yang mana makna asli kata tersebut bisa berubah menjadi makna
lain sesuai dengan konteksnya. Salah satu contoh penafsirannya adalah
surah al-Hajj ayat 5:

ُ َ ْ ُ َّ َ ُّ َ ٰٓ
ُ
‫اب ثَّم ِم ْن‬ َ ‫اس ِا ْن ك ْن ُت ْم ف ْي َر ْيب ِم َن ال َب ْعث َفاَّنا َخل ْق ٰنك ْم ِم ْن ُت‬
‫ر‬ ُ ‫الن‬ ‫يايها‬
ٍ ِ ِ ٍ ِ

ُ ُ َ َ ُ َ ََّ ُ َ َ ََّ ُّ َ ْ ُ َََ ُ َ ْ ُّ


‫نطف ٍة ثَّم ِم ْن علق ٍة ثَّم ِم ْن ُّمضغ ٍة مخلق ٍة َّوغ ْي ِر مخلق ٍة ِلن َب ِين لك ْمْۗ َون ِق ُّر ِفى‬

ُ َ ُ َ
‫م‬ْ ‫ْال َا ْر َحام َما ن َ َشا ُۤء الٰٓى ا َجل ُّم َس ًّمى ُثَّم ُن ْخر ُجك ْم ط ْف ًلا ُثَّم ل َت ْب ُل ُغ ْوٓٗا ا ُشَّدك‬
ٌۚ ِ ِ ِ ٍ ِ ِ

ْ ْ ْ ََ َْ ََْ ُ ْ َ َ ٰٓ ُّ ُ ْ ّٰ َ ُ ْ
‫ن َبع ِد ِعل ٍم‬
ْۢ ‫َو ِمنك ْم َّم ْن ُّيت َوفى َو ِمنك ْم َّم ْن ُّي َرد ِالى ا ْرذ ِل الع ُم ِر ِلكيلا يعلم ِم‬

ْ َ َ َْ ْ ْ ََّ ْ َ ْ َ َ َ ْ َْ َ َ ً َ َ َ َ ْ َ َ
‫ش ْي ًٔـاْۗ َوت َرى الا ْرض ه ِامدة ف ِاذآٗ ان َزلنا عل ْي َها الما َۤء اهتزت َو َر َبت َوانْۢبتت‬

َ ُ
)٥-٥ :22/‫ ( الحج‬٥ ‫ج َب ِه ْي ٍج‬
ْۢ ٍ ‫ِم ْن ك ِل ز ْو‬

Artinya: “Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang


kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya Kami telah

1
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 138.

4
menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari
segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna
kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu
dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki sampai waktu
yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi,
kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampailah kepada
kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di
antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak
mengetahui lagi sesuatupun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan kamu
lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya,
hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam
tumbuh-tumbuhan yang indah.”

Kata hamidatan (‫ )هامدة‬pada ayat diatas memiliki makna dasar


“kering”. Kemudian kata tersebut ditafsirkan oleh Ibn Juraij dengan makna
“tidak terdapat tanaman sama sekali”.2

Kesadaran semantik dalam penafsiran Al-Qur’an dimulai sejak masa


Muqatil Ibn Sulayman. Menurut beliau, setiap kata di dalam Al-Qur’an
memiliki makna definitif (makna dasar) dan memiliki beberapa alternatif
makna lainnya. Contohnya adalah kata yadd (‫)يد‬. Kata yadd memiliki
makna dasar “tangan”. Dalam penafsirannya, kata yadd memiliki tiga
alternatif makna, yaitu tangan secara fisik yang merupakan anggota tubuh
dalam surah al-A’raf ayat 108, dermawan dalam surah al-Isra’ ayat 29, dan
aktivitas atau perbuatan dalam surah Yasin ayat 35.3

Generasi penerus Muqatil terus berkembang dan mulai menggunakan


kesadaran semantiknya dalam penafsiran Al-Qur’an. Ulama-ulama
tersebut antara lain: Harun Ibn Musa, Yahya Ibn Salam, al-Jahiz, Ibn
Qutaibah dan Abd al-Qadir al-Jurjaniy. Ulama-ulama tersebut sangat
menekankan pentingnya pemaknaan konteks dalam memahami ayat-ayat

2
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 144.
3
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 170-171.

5
Al-Qur’an. Mereka juga membedakan antara makna dasar dan makna
relasional. Bahkan al-Jahiz memberikan istilah “ruang semantis” tentang
keterkaitan antara satu kata dengan kata yang lain yang bisa
mempengaruhi makna kata dalam Al-Qur’an.4

2. Era Kontemporer
Adapun tokoh kontemporer yang sangat kentara dalam penggunaan
semantiknya adalah Toshihiko Izutsu. Dalam bukunya yang berjudul “God
and Man in the Koran”, ia meletakkan pondasi semantik dalam
menganalisis kata Allah secara menyeluruh. Ia kemudian melanjutkan
metodenya tersebut dalam buku lainnya yang berjudul “Concept of
Believe in Islamic Theology” dimana ia menjelaskan tentang makna iman
dan islam lengkap dengan semantik historisnya. Dalam bukunya yang
terakhir yang berjudul “Ethico-Religious Concept in the Qur’an”, ia
menyempurnakan metode semantiknya dengan menambah pembahasan
tentang struktur batin yang mengungkapkan konsep dasar yang terdapat
dalam kata fokus, dan medan semantik yang membahas lebih dalam
tentang kata-kata kunci yang mengelilingi kata fokus serta pengaruh kata
kunci tersebut dalam pemaknaan kata fokus.

Selanjutnya penulis mencoba melihat ke Indonesia. Ada beberapa


karya yang sudah menggunakan metode semantik dalam memaknai kata-
kata dalam Al-Qur’an walaupun tidak secara menyeluruh dan hanya
menguraikan makna dasar serta makna relasionalnya. Diantara tokoh-
tokoh tersebut antara lain M. Dawam Raharjo dalam bukunya
“Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep
Kunci”. Dalam buku tersebut, Raharjo mencoba mengungkapkan makna
dan konsep yang terkandung dalam kata-kata kunci di dalam Al-Quran
secara tematik. Karya lain yang juga terpengaruh metode semantik adalah
“Memasuki Makna Cinta” yang ditulis oleh Abdurrasyid Ridha. Karya ini

4
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, hlm. 172-177.

6
hanya terfokus pada pemaknaan kata hubb dan kata-kata lain yang
memiliki hubungan makna dengan kata tersebut.

Adapun dari akademisi UIN Yogyakarta, ada beberapa karya istimewa


yang mengaplikasikan semantik sebagai metode penelitiannya. Yang
paling kentara adalah karya Chafid Wahyudi yang berjudul “Pandangan
Dunia Al-Qur’an tentang Taubah”. Dalam karya ini ia mencoba memasuki
makna taubah secara mendalam dengan menggunakan semantik Al-
Qur’an. Karya berikutnya adalah aplikasi dari semantik historis yang
digunakan dalam skripsi yang berjudul “Term Islam di dalam Al-Qur’an”.
Dalam skripsi ini dibahas tentang kesejarahan kata dari masa Arab Pagan
hingga periode Madinah serta perubahan makna yang terjadi pada kata
tersebut.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa semantik telah menjadi


bagian tersendiri dalam penafsiran Al-Qur’an. Penggunaan semantik telah
dimulai sejak masa klasik yang diawali oleh Tabi’in yang bernama
Mujahid Ibn Jabbar yang kemudian dikembangkan oleh Muqatil dan terus
diaplikasikan oleh ulama-ulama generasi selanjutnya. Selain itu kita juga
dapat mengetahui bahwa semantik bukan metode baru dalam penafsiran,
akan tetapi penggunaan kata semantik Al-Qur’an itu baru terungkap pada
era kontemporer saat ini karena pada masa klasik para sahabah maupun
tabi’in kemungkinan besar belum mengenal apa itu “semantik” secara
leksikal.

B. Awal Kemunculan Semantik Al Qur’an


Bahasa selalu berkembang dan perkembangan bahasa beriringan dengan
perkembangan kehidupan manusia itu sendiri. Pada dasarnya secara umum
perkembangan bahasa tercakup ke dalam dua hal, yaitu perkembangan
fonologi dan perkembangan semantik (Kholil, 1985: 50). Namun makalah ini
menjelaskan perkembangan yang kedua, yaitu perkembangan semantik.
Semantik (ilmu Dalalah) yang ada saat ini tidak langsung hadir begitu
saja, ia mengalami perjalanan yang cukup panjang sampai akhirnya menjadi

7
keilmuan yang cukup matang. Sejarah mencatat bahwa pembahasan bidang
semantik atau ilmu makna dimulai sejak masa Aristoteles, pada zaman itu
makna bahasa telah dikaji penggunaannya dalam bentuk majaz atau isti’aroh.
Mereka juga menganalisis makna dalam perspektif filsafat serta
menghubungkannya dengan kenyataan dan benda-benda. Mereka juga terus
menganalisis persepsi secara filosofis dan menghubungkannya dengan
kenyataan dan benda-benda. Kemudian mereka memfokuskan penelitian
mereka pada hubungan simbol dengan implikasinya. (Diyad, 1996:6)
Pembahasan semantik secara tersirat juga telah dikaji oleh orang-orang
Arab, terutama sejak hadirnya kitab suci agama Islam yaitu Alqur’an. Mereka
membahas Alqur’an dari segi I’jaz, maupun makna dalam lafaz-lafaznya.
Penelitian ilmu Dalalah di kalangan bangsa Arab dimulai sejak abad ketiga,
keempat, kelima H sampai seterusnya (Diyad, 1996:8).
Pada awalnya pembahasan Dalalah dalam Alqur’an seputar pada :
mencatat makna-makna asing didalam Alqur’an, pembicaraan terkait gaya
bahasa Al-qur’an, penyusunan materi dan teori dalam Alqur’an, pembuatan
kamus-kamus tematik dan kamus kata, hingga pengaturan mushaf sesuai
dengan makna (Muhtar, 2010: 20).
Pembahasan tentang makna yang paling awal di Arab adalah Sibawaih, ia
mengatakan bahwa terdapat hubungan antara lafaz dan makna (Diyad,
1996:32). Namun, sebenarnya jauh sebelum Sibawih muncul, makna telah
dibahas pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib dan Abu Al-Aswad
Ad-Duali, meskipun pada saat itu makna tidak dibahas secara langsung.
Latar belakang adanya penyinggungan makna yaitu saat agama islam
semakin meluas keluar dari wilayah Arab dan bercampurnya orang non Arab
dan orang Arab sehingga berakibat rusaknya makna bahasa/lahn (Abu Hatim,
tt: 82). Dikisahkan bahwa ada seorang non Arab yang datang menghadap
Amirul Mukminin Ali bin Abu Tholib dan bertanya tentang cara membaca
huruf Arab, karena pada saat itu belum ada tanda baca, maka bacaan orang non
Arab tersebut salah, huruf yang seharusnya dibaca (‫ ) اليأكله إال الخاطؤن‬kemudian
dibaca (‫) اليأكله إال الخاطون‬, Ali pun tersenyum dan berkata kepada Abu al-Aswad

8
ad-Duali “Bangsa non Arab telah masuk agama Islam secara kaffah, maka
berilah tanda baca untuk membenarkan bacaan mereka”, lalu Abu al-Aswad
ad-Duali pun membuat tanda baca yang berupa, rofa’, nasob, dan khofadz (Abu
Hatim, tt: 84). Tanda baca ini juga memiliki makna tertentu.
Jasa Abu al-Aswad ad-Duali dalam bidang bahasa Arab diteruskan oleh
muridnya yang bernama Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Khalil membuat kamus
yang cukup populer dan ber-nama “al-ain”. Pembuatan kamus al-ain
dilatarbelakangi oleh perkembangan kebahasaan yang terus terjadi dan banyak
menimbulkan persoalan-persoalan di sekitar bahasa itu sendiri.
Persoalan yang dirasakan oleh pengguna bahasa ini antara lain adalah
munculnya kata-kata yang tidak diketahui maknanya oleh banyak orang
(Hisyam, 2004: 114). Maka, melihat dari latar belakang munculnya kamus al-
ain tersebut dapat disimpulkan bahwa kajian makna pada masa Khalil bin
Ahmad al-Farohidi telah dilakukan meskipun masih tahap perintisan.
Untuk selanjutnya makna mulai masuk dalam bidang keilmuan, seiring
dengan ketertarikan para intelektual disiplin lain seperti para ahli fikih, para
ahli kalam dan ahli bahasa, seperti balaghah. Jahidz merupakan linguis yang
tidak terlalu mementingkan makna, menurutnya lafaz lebih penting dari pada
makna, hal ini dapat dilihat dari perkataannya pada kitab “‫” الحيوان‬, yaitu:

،‫المعاني مطروحة في الطريق‬


‫يعرفها العجمي والعربي والبدوي‬
‫ وإنما الشأن في‬،‫والقروي والمدني‬
‫إقامة الوزن وتخير اللفظ وسهولة‬
‫ وفي صحة‬،‫المخرج وكثرة الماء‬
‫ فإنما الشعر‬،‫الطبع وجودة السبك‬
‫ وجنس‬،‫ وضرب من النسج‬،‫صياغة‬
‫( من التصوير‬Asyar, 2006:39)
“makna itu tercecer di jalanan, orang Ajam, orang Arab, orang peda-
laman, orang kampung, maupun orang kota semua dapat mengetahui makna.

9
Hal yang penting adalah tepat dalam wazan, memilih kata (diksi), mudah
pengucapannya, natural, dan komposisi yang baik”. (Zamzam, 2004:61).
Namun meskipun demikian peran Jahidz sangat besar terhadap
perkembangan balaghah, ia yang mula-mula membedakan kajian balaghah
menjadi tiga dan memberi istilah ma’ani, bayan, dan badi’(Ali, 2006, 40).
Jika Jahidz lebih mementingkan lafaz daripada makna, namun tidak
demikian dengan Abdul Qahir Al-Jurjani, ia berusaha menyintesiskan dan
mengintegrasikan antara lafaz dan makna lewat teorinya yang disebut Nadhm
(Ali, 2006, 86). Teori an-Nadhm oleh Al-Jurjani dikemuka-kan dalam kedua
karyanya, yaitu : Asrar al-Balaghah dan Dala’il al-I’jaz. Al-Jurjani
mengatakan bahwa an-Nadhm hanyalah menyusun kata-kata sesuai ketentuan
ilmu nahwu, menaati kaidah-kaidahnya, prinsip-prinsipnya, memahami
metodologi-nya dan jangan menyimpang darinya (Zamzam, 2004:61-67).
Untuk selan-jutnya makna menjadi bahasan para linguis bahasa Arab, mereka
di antaranya adalah :
1. Ibnu Faris Ar-Roidah, sumbangannya terhadap ilmu Dalalah adalah
usahanya dalam mengkaji makna melalui kamusnya yang berjudul “Al-
Maqoyis”. Kamus tersebut membahas makna parsial (juz’iyah) dan makna
umum (‘amiyah) serta meng-hubungkannya dalam kehidupan sehari-hari.
2. Zamakhsyari An-Najihah, ia telah membahas makna melalui kamus-nya
yang berjudul “Asasul Balaghoh”. Kamus tersebut membahas perbeda-an
makna hakiki dan makna majazi.
3. Ibnu Jinni, menghubungkan variasi kata yang memungkinkan untuk
bermakna sama. Misalnya pada kata yang terdapat huruf-huruf (‫) ك ل م‬,
bisa dibalik-balik hurufnya dan ar-tinya tetap sama, yaitu kekuatan dan
intensitas, contoh : ‫ ( ل‬,) ‫ (ك م ل‬,) ‫ (م ل ك (ك ل م‬,) ‫ (م ك ل‬,) ‫) ك م‬
Selain ahli bahasa diatas, kajian tentang makna juga dibahas oleh ulama
Islam yang lainnya, di antaranya adalah para ahli fikih dan ushul fiqh. Para
ulama tersebut tertarik mengkaji makna dan menghubungkan makna dengan
kajian ilmu mantiq dan filsafat. Mereka adalah :

10
1. Doktor Muhammad Fauzi Faudzul-loh, ia menulis buku berjudul “hu-
bungan ilmus ushul fiqih dengan ba-hasa”
2. Al-Farobi, Ibnu Sina, Ibnu Rushdi, Ibnu Hazim, Al-Ghozali, Abdul Jab-
bar, dan Mu’ammar
3. Abdul Qohir al-Jurjani yang mem-bahas makna pada teorinya yaitu An-
Nadzom. (Muhtar, 2010: 20-21)
Semantik di kalangan ilmuwan barat baru dibahas sekitar abad 17 sampai
ke 19 Masehi, dan tokoh yang paling populer adalah seorang ahli bahasa ber-
nama Breal dengan karyanya yang ber-judul (Essay de Semanticskue),
kemudian karya berikutnya disusul oleh karya Stern di Jenawa, tetapi sebelum
muncul karya Stern telah terbit dahulu kum-pulan materi kuliah oleh ahli
bahasa yang bernama Ferdinand de Sausure yang berjudul Course de
Linguistikue General. Pandangan Ferdinand tersebut dikenal sebagai aliran
strukturalisme. Menurutnya, bahasa merupakan satu sistem yang terdiri atas
unsur-unsur yang saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan.
Pandangan ini ke-mudian dijadikan tolak penelitian, terutama di Eropa
(Muhtar, 2010:22). Pada masa Ferdinand De Saussure dikenal dengan istilah
diakronis dan sinkronis. Pendekatan diakronis bersifat historis sedangkan
pendekatan sin-kronis bersifat deskriptif.
Selain Ferdinand De Saussure, terdapat juga tokoh linguis yang terkenal
yaitu Leonard Bloomfield. Ia menciptakan sebuah buku yang terkenal yaitu
“Language”. Menurutnya makna adalah kondisi dan respons, kita bisa men-
definisikan arti secara tepat apabila arti tersebut berhubungan dengan hal-hal
yang telah kita ketahui sebelumnya (Abdul Karim, tt: 10-11).
Tokoh lain yang berjasa dalam bidang semantik adalah Noam Chomsky,
ia terkenal dengan aliran bahasa trans-formatif. Menurutnya makna merupa-
kan unsur pokok dalam menganalisis bahasa (Matsna, 2016: 10).
Setelah abad ke 19, keilmuan semantik semakin berkembang dan banyak
dibahas di kalangan para ilmuwan barat, namun dalam membahas sejarah
bidang semantik, tampaknya mereka mengabaikan upaya kajian semantik Arab

11
kuno yang telah membahas ilmu makna jauh sebelum mereka membahasnya
(Diyad, 1996:10).
Di masa modern ini, dari kalangan bangsa Arab muncul para linguis baru
yang membahas tentang semantik, di antara yang terkenal adalah Ibrohim Anis
dengan karyanya yang berjudul “Dalalatul Alfaz” ditulis tahun 1958 Masehi.
Buku tersebut terdiri dari 12 bab, dan bab pertama membahas tentang Asal-
usul Pembicaraan Manusia dan bagaimana kata itu berhubungan dengan
signifikansinya”. Kemudian di tiga bab selanjutnya dibahas mengenai alat atau
obyek semantik adalah lafaz. Selanjutnya ia membahas semantik fonetis,
semantik morfologi, semantik gramatikal, dan semantik leksikal. Kemudian
Ibrohim Anis juga membahas pendapat para ilmuwan mengenai hubungan
makna dan lafaz, yaitu apakah hubungannya alami seperti matahari dan cahaya,
ataukah hubungan tersebut bersifat kebudayaan pemakaiannya. Namun
Ibrohim Anis lebih condong terhadap pendapat yang kedua (Muhtar, 2010:29).
Kemudian di masa modern Para ahli bahasa mengonsen-trasikan kajian tentang
makna pada usaha pemeliharaan bahasa Arab Fusha dari peristiwa lahn (Diyad,
1996:246).
Dari sejarah munculnya pembahasan tentang makna diatas, maka dapat di-
simpulkan bahwa Ilmu Dalalah/ seman-tik merupakan ilmu yang cukup tua,
namun ia mengalami kemapanannya pada era modern. Awalnya hanya sebatas
penentuan makna pada lafaz yang berdiri sendiri, namun kemudian ia mulai
merambah kepada makna didalam struktur kalimat (Ilyan, 2003: 707).
Menurut Doktor Ali Abdul Wahid Wafi fenomena perkembangan
semantik terbagi menjadi tiga bagian,
- Pertama) perkembangan yang berhubungan dengan sistem kata,
susunan kalimat dan pembentukan ideomatik.
- Kedua) perkembangan yang berhubungan dengan gaya bahasa.
- Ketiga) perkembangan pada makna kata itu sendiri (Ali, 1962: 286-
287). Perkembangan Dalalah memiliki sifat-sifat tertentu, yaitu ia
berkembang secara pelan dan bertahap.

12
Sebuah kata ketika mengalami per-ubahan makna ia memakan waktu yang
cukup lama untuk berubah, awalnya ia mengalami perubahan makna yang ti-
dak jauh berbeda, sampai kemudian makna kata tersebut bergeser jauh dari
makna awal. Terkadang perubahan itu terjadi karena spontanitas tanpa
dikehendaki oleh sang penutur, atau bisa jadi perubahan itu terjadi saat ada
peristiwa/hal-hal yang memiliki kemi-ripan (Ali, 1962: 287-290).

C. Tahapan Perkembangan Ilmu Dalalah


Pada mulanya, Dalalah dibagi menjadi tiga macam yaitu: Dalalah
tobi’iyah, Dalalah aqliyah, dan Dalalah wadz’iyah/ irfiyah. Dalalah tobi’iyah
adalah suatu hal yang terjadi secara alami, seperti bunyi batuk, bunyi hewan.
Sedangkan Dalalah aqliyah adalah jika tanda dan konsep memiliki hubungan
yang didapat dari hasil pikiran, contoh adanya asap maka ada api. Dalalah
wadz’iyah adalah suatu makna yang dapat dipa-hami jika ada suatu lafaz
(Kholil, :26-27).
Namun, seiring perkembangan zaman, maka kajian Dalalah pun
berkembang pula, para ulama telah membagi kajian ilmu Dalalah menjadi tiga
bagian, di antaranya:
1) Hanya mengkaji pada kosakata saja, seperti yang terdapat pada
pembuatan kamus.
2) Mengkaji makna berdasarkan struktur, kajian ini terbagi menjadi dua,
yaitu semantik leksikal dan semantik sintaksis.
3) Mengkaji makna baik dari segi kata maupun frase. (Huzhoir, 2010,
14).
Sedangkan Doktor Ahmad Muhtar membagi menjadi dua bagian, yaitu:
makna leksikal dan makna gramatikal/ sintaksis (Muhtar, 2010:14 ).
Analisis terhadap Dalalah dapat di-bagi menjadi: Dalalah mu’jamiyah
(Dalalah dasar), Dalalah shorfiyah (Dalalah morfologi), Dalalah nahwiyah
(Dalalah sintaksis), dan Dalalah siyaqiyah /kon-tekstual (Diyad, 1996:20)

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Awal munculnya perhatian terhadap makna dalam bahasa Arab terjadi
pada masa awal Islam. Ini terkait erat dengan pemahaman lafaz dan perubahan
makna dalam konteks penyebaran agama Islam di luar wilayah Arab.
Perkembangan semantik dalam ilmu linguistik juga memainkan peran
penting dalam pemahaman makna Al-Qur'an. Ilmuwan Barat seperti Ferdinand
de Saussure, Leonard Bloomfield, dan Noam Chomsky telah membantu
membentuk kerangka kerja semantik modern yang digunakan dalam
pemahaman bahasa dan teks.
Para ulama Muslim telah semakin menyadari pentingnya konteks dalam
memahami makna ayat-ayat Al-Qur'an. Mereka membedakan antara makna
dasar dan makna relasional dalam kata-kata Al-Qur'an. Hal ini telah
memberikan dasar bagi penafsir untuk lebih memahami dan menggali makna
dalam teks suci tersebut.

B. Saran
Dalam rangka meningkatkan pemahaman makna Al-Qur'an dan
mengembangkan studi semantik Al-Qur'an, berikut adalah beberapa saran:
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang fokus pada pemahaman makna
Al-Qur'an dengan mempertimbangkan konteks historis dan budaya yang
relevan. Penelitian ini dapat membantu menggali lebih dalam makna dalam
teks suci tersebut.
Kolaborasi antar disiplin, seperti antara ilmuwan bahasa, ilmuwan agama,
dan linguis Al-Qur'an, dapat membantu memperkaya pemahaman semantik Al-
Qur'an. Keterlibatan berbagai perspektif ilmiah dapat membawa pemahaman
yang lebih holistik tentang makna dalam Al-Qur'an.

14
DAFTAR PUSTAKA

Setiawan, M. N. K. (Tahun). Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar.

Abdul Wahid Wafi, Ali. (1962). Ilmu Lughah. Kairo: Maktabah Nahdzah.
Afandi, Zamzam, (2004). Abdul Qahir Al Jurjani: Kritik dan Teori
Linguistiknya, Jurnal Adabiyyat, I, 53-71
Ali al Khuli, Muhammad. (2001). Ilmu ad-Dilalah: Ilmu al-Ma’na. Urdun:
Dar al-Falah Lian-Nasy wa at-Tauzi.
Ahmad, Khudzoir. (2010). At-Tarkib wa ad-Dilalah wa as-Siyaq. Kairo:
Maktabah Anglo Masriyah.
Al-Diyad, Faiz. (1985). Ilmu ad-Dalalah al-‘Araby, al-Nadhariyah wa al-
Tatbiqiyyah: Dirasah Tarikhiyah Ta’shiliyah Naqdiyyah. Damsyiq: Darul
Fikr.
Alhazami Muhammad, Ilyan bin (2003). Ilmu ad-Dalalah inda al-Arab.
Makkah: Jami’ah Ummu al-Quro.
Ar-Rozi, Abu Hatim Ahmad Bin Hamdan. (t.t) Kitab az-Zinah fil Kalimat al-
Islamiyah al-Arobiyah, Yaman: Markaz ad-Dirosat Wa al-Buhust al-
Yamany.
Latif, Hamasah Abdul. (2007). An-Nahwu wa ad-Dalalah. Kairo: Dar al-
Gharib
Iwadz Haidar, Farid. (2005). Ilmu Dalalah: Dirasah Nadhariyah wa
Tatbiqiyyah. Kairo: Maktabah al-Adab.
Kholil, Audah Abu Audah. (1985). At-Tatowwur ad-Dalali baina lughoti
Syi’ri wa Lughotil Qur’an. Urdun : Maktabah Manar
Matsna, Mohammad. (2016). Kajian Semantik Arab; Klasik dan
Kontemporer. Jakarta: Kencana
Moleong, L.J. (2003). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : CV
Rosdakarya
Muhtar Umar, Ahmad. (1998). Ilmu Dalalah. Kairo: Alamul Kutub
Syaiful Mu’minin, Iman. (2009). Kamus Ilmu Nahwu & Sharaf. Jakarta:
Amzah.
Tiawaldi, A & Wahab, Muhbib Abdul. (2017). Perkembangan Bahasa Arab
Modern dalam Perspektif Sintaksis dan Semantik Pada Majalah Aljazeera,
Arabiyat; Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan kebahasaaraban, 4, 1-
19
Zaini, Hisyam. (2004) Al Khalil dan Perannya dalam Perkembangan Kamus
Arab, Jurnal Adabiyyat, 1, 107-132
Zaky, Ahmad. (2017) Perkembangan Dalalah, Jurnal Waroqot, 2, 102-125
Zayid, Ali Asyar. (2006). Al-Balaghah Al-Arobiyah. : Tarikhuha, Mashodiruha,
Manahijuha, (Kairo: Maktabah al-Adab

15

Anda mungkin juga menyukai