Anda di halaman 1dari 5

Pawai Budaya

Pawai Budaya sangat menarik bagi warga Kampung


Babakan. Pawai ini selalu menampilkan keragaman budaya
Indonesia. Udin dan teman-teman tidak pernah bosan
menanti rombongan pawai lewat. Tahun ini mereka datang ke
alun-alun untuk melihat pawai tersebut. Kakek Udin pun
terlihat sabar menanti. Terdengar suara gendang yang
menandakanrombongan pawai semakin dekat.

Di barisan pawai terdepan terlihat rombongan dari Maluku. Rombongan laki-laki


mengenakan kemeja putih, jas merah, dan topi tinggi dengan hiasan keemasan.
Rombongan perempuan mengenakan baju Cele. Baju ini terdiri dari atasan putih
berlengan panjang serta rok lebar merah. Langkah mereka diiringi oleh suara Tifa, alat
musik dari Maluku. Bunyinya seperti gendang, namun bentuknya lebih ramping dan
panjang. Budaya Maluku sangat unik dan menarik.

Budaya Bali terkenal karena bunyi musiknya yang


berbeda. Rombongan dari Bali membunyikan alat musik
daerahnya, Ceng-Ceng namanya. Alat ini berbentuk seperti
dua keping simbal yang terbuat dari logam. Nyaring bunyinya
ketika kedua keping ini dipadukan. Rombongan dari Bali diikuti
oleh rombongan dari Toraja. Wanita Toraja memakai pakaian
adat yang disebut baju Pokko. Rombongan laki-laki
menggunakan pakaian adat yang disebut Seppa Tallung Buku.

Rombongan Toraja membunyikan alat musik khas mereka, Pa’pompang namanya.


Alat musik ini berupa suling bambu besar yang bentuknya seperti angklung. Unik
bentuknya, unik pula bunyinya. Budaya Torajasangat menarik untuk dipelajari.

Udin dan teman-teman senang melihat pawai budaya. Selalu ada hal baru yang
mereka perhatikan setiap tahun. Pakaian adat dari berbagai suku di Indonesia selalu
menyenangkan untuk diamati. Benar kata Ibu Udin, kebudayaan Indonesia memang
sangat beragam.Kaya dan mengagumkan.

1
Setelah membaca teks “Pawai Budaya”, temukan gagasan pokok dan gagasan
pendukung dari setiap paragraf pada kolom berikut!

Paragraf Gagasan Pokok Gagasan Pendukung

1.

2.

3
3.

4.

5.

2
Paragraf Gagasan Pokok Gagasan Pendukung

1.

2.

4 3.

4.

5.

1.

2.

5 3.

4.

5.

3
Tradisi Sekaten

Di Yogyakarta ada sebuah budaya yang hingga saat ini masih terus dilestarikan
yaitu Sekaten. Diselenggarakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW
yang lahir pada tanggal 12 Maulud atau Mulud dalam bulan ketiga tahun Jawa. Diadakan
pada tangal 6 hingga 12 pada bulan yang sama. Perayaan sekaten
meliputi “Sekaten Sepisan” dan ditutup dengan “Grebeg” di halaman Masjid Agung
Yogyakarta atau sering disebut sebagai Masjid Gedhe Kauman.

Kata Sekaten diambil dari


pengucapan kalimat “Syahadat”.
Istilah Syahadat, yang diucapkan
sebagai Syahadatain ini kemudian
berangsur- angsur berubah dalam
pengucapannya, sehingga menjadi
Syakatain dan pada akhirnya menjadi
istilah “Sekaten” hingga sekarang.
Namun dalam asal usulnya selain
syahadatain, kata sekaten juga diambil dari beberapa kata lain.

Sekaten dimulai pada tanggal 6 Maulud saat sore hari dengan mengeluarkan
gamelan Kenjeng Kyai Sekati dari tempat penyimpanannya. Kanjeng Kyai Nogowilogo
ditempatkan di Bangsal Trajumas dan Kanjeng Kyai Guntur Madu ditempatkan di
Bangsal Srimanganti. Dua pasukan abdi dalem prajurit ditugaskan menjaga gamelan
pusaka tersebut yaitu prajurit Mantrirejo dan prajurit Ketanggung.

Acara puncak dalam Sekaten ini ditandai dengan Grebeg yang diadakan tanggal
12 Maulud. Grebeg dikawal oleh sepuluh bregodo / prajurit. Grebeg menampilkan
Gunungan sebagai acara utamanya. Gunungan terbuat dari beras ketan, buah – buahan,
sayur – sayuran dan makanan. Gunungan ini dibawa dari istana Kemandungan melewati
Sitihinggil dan Pagelaran menuju Masjid Gedhe. Dengan dibawanya sebuah Gunungan
ke halaman Masjid Gedhe, banyak warga yang berebut mengambil makanan dari
Gunungan tersebut.
Sumber: https://blog.ugm.ac.id/2010/11/15/tradisi-sekaten-di-yogyakarta/

4
Setelah membaca teks “Tradisi Sekaten”, temukan gagasan pokok dan gagasan
pendukung dari setiap paragraf pada kolom berikut!

Anda mungkin juga menyukai