Anda di halaman 1dari 38

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat hikmat dan rahmat-
Nya sehinggapenulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Pengantar Kebijakan
Kesehatan dengan baik. Disampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih belum sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, Desember 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................2
C. Tujuan..................................................................................................................................2
D. Manfaat...............................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................3
PENGANTAR KEBIJAKAN KESEHATAN..........................................................................................3
A. Nilai dan Kedudukan Kesehatan...........................................................................................3
1. Nilai Kesehatan............................................................................................................3
2. Kedudukan Kesehatan..................................................................................................4
B. Kebijakan Publik...................................................................................................................9
C. Kebijakan Kesehatan..........................................................................................................13
BAB III........................................................................................................................................32
PENUTUP...................................................................................................................................32
A. Kesimpulan........................................................................................................................32
B. Saran..................................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................33

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal


organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur perilaku dengan tujuan untuk
menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan
utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berperilaku.
Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Berbeda dengan
Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation). Kebijakan publik, hadir dengan tujuan
tertentu, yaitu mengatur kehidupan bersama untuk mencapai tujuan (misi dan visi)
bersama yang telah disepakati, salah satu bidang yang sangat bergantung kepada
kebijakan publik yaitu kesehatan.

Pengertian sehat menurut World Health Organization (WHO) adalah keadaan


yang menunjukkan sehat fisik, mental, dan sosial bukan hanya terbebas dari
penyakit, cacat dan kelemahan. Indikator sehat ini telah dilengkapi oleh badan
kesehatan dunia itu dengan dimasukkannya komponen sehat spritual. Mengacu pada
definisi tersebut seorang yang sehat adalah berfungsinya komponen fisik, mental,
dan sosial, serta pemahaman dan penerapan nilai-nilai agama yang agung secara
optimal dan harmonis.

Kesehatan merupakan anugerah yang sangat berharga dan tidak dapat diukur
dengan apapun. Oleh sebab itu tindakan yang paling tepat adalah mencegah
timbulnya ancaman terhadap kesehatan baik yang berasal dari diri sendiri, orang
lain, atau lingkungan.

Jika kita ingin memberi nilai secara matematis maka tubuh kita
sesungguhnya memiliki nilai yang sangat berharga Dr. Harold J.M. dalam Journal
of Hospital Practice pernah menghitung harga tubuh kita berdasarkan analisis unsur
kimia yang membangunnya. Awalnya beliau hanya menghargainya 98 sen AS.
Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi analisis dengan ditemukannya suatu

1
hormon pada wanita yang disebut dengan FSH dan Prolaktin, maka manusia yang
beratnya 60 kg dinilai dengan harga 6.000.000. dolar AS ( ENAM JUTA DOLAR).

Harga tersebut di atas akan terus meningkat seiring dengan kemajuan


teknologi yang dapat menemukan unsur-unsur penting lainnya. Dengan demikian
tubuh kita adalah benda yang sangat berharga yang harus senantiasa dijaga
keutuhannya dengan baik. Tubuh yang sangat mahal itu nilainya dapat naik dan
turun tergantung pada pola dan gaya hidup kita.

Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat.


Kesehatan juga merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, disamping sandang,
pangan dan papan. Dengan berkembangnya pelayanan kesehatan dewasa ini,
memahami Kesehatan merupakan bagian penting dari kesejahteraan masyarakat.
Namun dalam kehidupan kita tentu tidak lepas dari masalah kesehatan. Masalah
kesehatan yang dihadapi tentunya harus memiliki manajemen yang baik terkhusus
kebijakan kesehatan. Dimana Kebijakan kesehatan memiliki peran strategis dalam
pengembangan dan pelaksanaan program kesehatan. Kebijakan kesehatan juga
berperan sebagai panduan bagi semua unsur masyarakat dalam bertindak dan
berkontribusi terhadap pembangunan kesehatan. Melalui perancangan dan
pelaksanaan kebijakan kesehatan yang benar, diharapkan mampu mengendalikan dan
memperkuat peran stakeholders guna menjamin kontribusi secara maksimal,
menggali sumber daya potensial, serta menghilangkan penghalang pelaksanaan
pembangunan kesehatan. Mengingat pentingnya kebijakan kesehatan maka perlu
untuk mengetahui kebijakan kesehatan itu sendiri..
B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah nilai dan kedudukan serta kaitan antara kebijakan publik dan
kebijakan kesehatan?
C. Tujuan

1. Untuk Mengetahui Nilai dan Kedudukan Kesehatan


2. Untuk Mengetahui uraian Kebijakan Publik dan Kebijakan Kesehatan
D. Manfaat

1. Untuk Menambah Pemahaman Mengenai Kebijakan Kesehatan

2
BAB II

PENGANTAR KEBIJAKAN KESEHATAN

A. Nilai dan Kedudukan Kesehatan


1. Nilai Kesehatan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948 menyebutkan bahwa
pengertian keadaan sehat adalah sebagai “suatu keadaan fisik, mental, dan
sosial kesejahteraan dan bukan hanya ketiadaan penyakit atau kelemahan”.
Konsep sehat menurut Parkins (1938) adalah suatu keadaan seimbang yang
dinamis antara bentuk dan fungsi tubuh dan berbagai faktor yang berusaha
mempengaruhinya. Sementara menurut White (1977), sehat adalah suatu
keadaan dimana seseorang pada waktu diperiksa tidak mempunyai keluhan
ataupun tidak terdapat tandatanda suatu penyakit dan kelainan (Callahan 1973,
White, Anderson et al. 1977, Huber, Knottnerus et al. 2011).
Kesehatan bersifat menyeluruh dan mengandung empat aspek. Perwujudan
dari masingmasing aspek tersebut dalam kesehatan seseorang antara lain
sebagai berikut:
a. Kesehatan fisik terwujud apabila sesorang tidak merasa dan mengeluh sakit
atau tidak adanya keluhan dan memang secara objektif tidak tampak sakit.
Semua organ tubuh berfungsi normal atau tidak mengalami
gangguan(Shephard 1997, Haskell, Blair et al. 2009).
b. Kesehatan mental (jiwa) mencakup 3 komponen, yakni pikiran, emosional,
dan spiritual. Pikiran sehat tercermin dari cara berpikir atau jalan pikiran.
Emosional sehat tercermin dari kemampuan seseorang untuk
mengekspresikan emosinya, misalnya takut, gembira, kuatir, sedih dan
sebagainya. Spiritual sehat tercermin dari cara seseorang dalam
mengekspresikan rasa syukur, pujian, kepercayaan dan sebagainya terhadap
sesuatu di luar alam fana ini, yakni Tuhan Yang Maha Kuasa. Misalnya
sehat spiritual dapat dilihat dari praktik keagamaan seseorang. Dengan
perkataan lain, sehat spiritual adalah keadaan dimana seseorang
menjalankan ibadah dan semua aturanaturan agama yang
dianutnya(Organization 2001, Prince, Patel et al. 2007).
3
c. Kesehatan sosial terwujud apabila seseorang mampu berhubungan dengan
orang lain atau kelompok lain secara baik, tanpa membedakan ras, suku,
agama atau kepercayan, status sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya,
serta saling toleran dan menghargai(Starfield 1998, Marmot 2005,
Vatcharavongvan, Hepworth et al. 2014, Mak, Mo et al. 2015).
d. Kesehatan dari aspek ekonomi terlihat bila seseorang (dewasa) produktif,
dalam arti mempunyai kegiatan yang menghasilkan sesuatu yang dapat
menyokong terhadap hidupnya sendiri atau keluarganya secara finansial.
Bagi mereka yang belum dewasa (siswa atau mahasiswa) dan usia lanjut
(pensiunan), dengan sendirinya batasan ini tidak berlaku. Oleh sebab itu,
bagi kelompok tersebut, yang berlaku adalah produktif secara sosial, yakni
mempunyai kegiatan yang berguna bagi kehidupan mereka nanti, misalnya
berprestasi bagi siswa atau mahasiswa, dan kegiatan sosial, keagamaan, atau
pelayanan kemasyarakatan lainnya bagi usia lanjut. Dalam pengertian yang
paling luas sehat merupakan suatu keadaan yang dinamis dimana individu
menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan lingkungan internal
(psikologis, intelektual, spiritual dan penyakit) dan eksternal (lingkungan
fisik, social, dan ekonomi) dalam mempertahankan kesehatannya(Smith
1999, Contoyannis and Jones 2004, i Casasnovas, Rivera et al. 2005,
Melchiorre, Chiatti et al. 2013, Kesternich, Siflinger et al. 2014).
2. Kedudukan Kesehatan
Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan
diperhatikan oleh Pemerintah sebagai penyelenggara suatu negara, sebagai hak
dasar kesehatan atau keadaan sehat perlu dipertahankan dan ditingkatkan.
Pentingnya kesehatan sebagai hak asasi manusia dan sebagai kondisi yang
diperlukan untuk terpenuhinya hak-hak lain telah diakui secara internasioal
(Donnelly 2013, Renteln 2013, Morsink 2016).
Hak atas kesehatan meliputi hak untuk mendapatkan kehidupan dan
pekerjaan yang sehat, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, dan
perhatian khusus terhadap kesehatan ibu dan anak. Pasal 25 Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) menyatakan: Setiap orang berhak atas
taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya
sendiri dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, sandang, papan, dan
pelayanan kesehatan, pelayanan sosial yang diperlukan, serta hak atas
4
keamanan pada saat menganggur, sakit, cacat, ditinggalkan oleh pasangannya,
lanjut usia, atau keadaan-keadaan lain yang mengakibatkan merosotnya taraf
kehidupan yang terjadi diluar kekuasaannya. (Assembly 1948)
Ibu dan anak berhak mendapatkan perhatian dan bantuan khusus. Semua
anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus
menikmati perlindungan sosial yang sama (Puybaret 2008).
Jaminan hak atas kesehatan juga terdapat dalam Pasal 12 ayat (1) Konvensi
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh
Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966, yaitu bahwa
negara peserta konvenan tersebut mengakui hak setiap orang untuk menikmati
standar tertinggi yang dapat dicapai dalam hal kesehatan fisik dan mental.
Perlindungan terhadap hak-hak Ibu dan anak juga mendapat perhatian terutama
dalam Konvensi Hak Anak. Instrumen internasional lain tentang hak atas
kesehatan juga terdapat pada Pasal 12 dan 14 Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan ayat 1
Deklarasi Universal tentang Pemberantasan Kelaparan dan kekurangan
Gizi(Assembly 1966, Saul, Kinley et al. 2014).
Deklarasi Alma Ata tahun 1978 merupakan bentuk kesepakatan bersama
antara 140 negara (termasuk Indonesia), adalah merupakan hasil Konferensi
Internasional Pelayanan Kesehatan Primer (Primary Health Care) di kota Alma
Ata, negara Kazahstan (sebelumnya merupakan bagian dari Uni Soviet).
Konferensi Internasional “Primary Health Care” ini disponsori oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi PBB untuk Anak (Unicef). Isi pokok
dari deklarasi ini, bahwa Pelayanan Kesehatan Primer (Dasar) adalah
merupakan strategi utama untuk pencapaian kesehatan untuk semua (health for
all), sebagai bentuk perwujudan hak azasi manusia. Deklarasi Alma Ata ini
selanjutnya terkenal dengan: Kesehatan semua untuk tahun 2000 atau “Health
for all by the year 2000”. Bentuk opersional dalam mencapai kesehatan untuk
semua (kesuma) tahun 2000 di Indonesia adalah “PKMD (Pembangunan
Kesehatan Masyarakat Desa). Meskipun sebenarnya di Indonesia “cikal bakal”
atau “embrio” PKMD sudah berkembang sejak tahun 1970 an, di Solo dan
Banjarnegara yang diprakarsai oleh Yakkum, dalam bentuk dana sehat, pos
obat desa, arisan rumah sehat, dan sebagainya. Deklarasi Alma Ata juga
menyebutkan bahwa untuk mencapai kesehatan untuk semua tahun 2000 adalah
5
melalui Pelayanan Kesehatan Dasar, yang sekurang-kurangnya mencakup 8
pelayanan dasar, yakni:
a. Pendidikan kesehatan (health education)
b. Peningkatan penyediaan makanan dan gizi (promotions of food supplies
and proper nutrition)
c. Penyediaan air bersih yang cukup dan sanitasi dasar (adequate supply of
safe water and basic sanitation)
d. Pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana (maternal
and child care, including family planning)
e. Imunisasi (immunization against the major infectious diseases)
f. Pencegahan dan pemberantasan penyakit endemik (prevention and control
of locally endemic diseases)
g. Pengobatan penyakit-penyakit umum (appropriate treatment of common
diseases and injuries)
h. Penyediaan obat esensial (provision essential drugs)
Dari 8 pelayanan kesehatan dasar tersebut diatas, pendidikan kesehatan
(sekarang promosi kesehatan) ditempatkan pada urutan pertama. Ini berarti
bahwa sejak konfrensi Alma Ata tahun 1978, para delegasi 140 negara tersebut
telah mengakui betapa pentingnya peran promosi kesehatan dalam mencapai
kesehatan untuk semua. Oleh sebab itu dalam Konferensi Internasional Promosi
Kesehatan yang pertama di Ottawa, yang menghasilkan Piagam Ottawa
(Ottawa Charter) ini, Deklarasi Alma Ata dijadikan dasar pijakannya. Hal ini
dapat dilihat dalam pembukaan Piagam Ottawa yang menyebutkan: “The first
International Conference on Health Promotion, meeting in Ottawa this 21st
day of November 1986, hereby present this charter for action to achieve Health
for All by the year 2000 and beyond”. Dalam pernyataan ini tersirat bahwa para
delegasi atau peserta dari semua negara, melalui piagam atau “charter” tersebut
bersepakat untuk melanjutkan pencapaian “Sehat untuk semua” tahun 2000 dan
sesudahnya, seperti yang telah dideklarasikan dalam piagam Alma Ata. Hal
tersebut adalah merupakan bentuk komitment semua negara untuk melanjutkan
terwujudnya kesehatan untuk semua (health for all) melalui promosi kesehatan.
Lebih jelas lagi dalam pendahuluan Piagam Ottawa juga disebutkan: “……It
built on the progress made through the Declaration on Primary Health Care at
Alma Ata, the World Organization’s target for Health for All the World
6
Organization’s target for Health for All document, and the recent debate the
World Assembly on intersectoral action for health”. Dari uraian tersebut diatas
dapat disimpulkan bahwa sejarah promosi kesehatan pada akhir abad ke 20 dan
awal abad ke 21 yang dimulai dengan Konfrensi Internasional Promosi
Kesehatan yang pertama di Ottawa, Canada ini tidak terlepas dari Deklarasai
Alma Ata(1978, Organization and Organization 1978, Navarro 1984,
Organization 1986, Smith 1999, Baum 2007, Lawn, Rohde et al. 2008, Roden
and Jarvis 2012, Lee 2015, Fry and Zask 2016).
Jelas bahwa kesehatan adalah hal penting yang berhak diperoleh setiap
individu serta menjadi kewajiban bagi negara untuk menjamin agar setiap
warga negaranya mau dan mampu untuk hidup sehat dan memanfaatkan
pelayanan kesehatan. Selain itu, kesehatan merupakan salah satu bagian dari
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index yang
merupakan indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat.
Berkaitan dengan pembangunan kesehatan, tak kurang dari 189 negara
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hadir dalam pencanangan
“Deklarasi Tujuan Pembangunan Millenium” (Millenium Development Goals
2015) di New York, 2000. Pertemuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan
kehidupan manusia melalui pembangunan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan.
Isu-isu luas tercakup dalam deklarasi MDGs, di dalamnya termaktub pula butir-
butir tujuan pembangunan pada bidang kesehatan seperti penurunan Angka
Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi sebagai bagian dari perlindungan
kelompok rentan, selain terkait dengan strategi penurunan angka kemiskinan
(Poverty Reduction Strategy). Penting dan kritisnya bidang kesehatan ini antara
lain ternyatakan dengan fakta-fakta bahwa:
a. Kebijakan kesehatan tumbuh dengan cepat, dan termasuk dalam
wilayah yang sering menjadi bahan perdebatan.
b. Selama lebih dari 20 tahun terakhir, pembahasan kebijakan kesehatan
berkembang pesat dalam berbagai literatur akademik, demikian pula
dengan area lain terkait kesehatan dan pengobatan dalam konteks ilmu
sosial. Kebijakan kesehatan bahkan tidak hanya dibahas oleh kalangan
akademisi maupun profesional kesehatan dan medis, tapi juga oleh para
politisi, kelompok masyarakat, serta media dan umum. Pelayanan
kesehatan semakin berkembang sejalan dengan pertumbuhan atau
7
perkembangan kehidupan sosial yang semakin kompleks dan penuh
ketidakpastian. Situasi tersebut bahkan dimanfaatkan sebagai bahasan
penting dalam perdebatan politik (the basis of important policy
debates).
c. Pada negara-negara industri, biaya pelayanan kesehatan sudah
meningkat sekitar 10 persen dari aktivitas ekonomi keseluruhan.
Negara-negara nonindustri lainnya juga memperlihatkan gambaran
serupa.
d. Aspek penting pembiayaan kesehatan yang mengokohkan posisi
strategis sektor kesehatan telah sejak lama diketahui. Bahkan di tahun
1990 saja, pengeluaran untuk kesehatan secara global diestimasikan
telah mencapai sekitar 1.700 triliun dolar, atau sekitar 8 persen dari
keseluruhan pendapatan. Pada negara-negara industri, biaya kesehatan
sudah meningkat hingga lebih besar dari 10 persen GDP (Gross
Domestic Product), dengan kata lain, perhitungan biaya untuk
pelayanan kesehatan sekitar 10 persen dari keseluruhan aktivitas
ekonomi. Pengeluaran untuk kesehatan terus meningkat, seiring dengan
peningkatan usia harapan hidup dan bertambahnya populasi orang
tua/usia lanjut. Kemajuan teknologi medis memberikan lebih banyak
alternatif diagnostik dan klinik sehingga semakin banyak cara untuk
menghabiskan uang dalam sektor pelayanan kesehatan serta untuk
perusahaan obat dan peralatan medis.
e. Sektor kesehatan sudah menjadi bagian dari industri yang memberikan
lapangan pekerjaan luas. Ungkapan bahwa kesehatan adalah area yang
padat karya menunjukkan bahwa banyak orang yang bekerja dalam
sektor kesehatan. Contohnya di Amerika Serikat, pada tahun 1910
terdapat profesi dokter, farmasi, perawat, dan dokter gigi; dan 1,3
persen dari seluruh orang yang bekerja, berada dalam ruang lingkup
kerja di sektor kesehatan. Saat ini, terdapat sekitar 700 kategori
pekerjaan dalam sektor pelayanan kesehatan, dan lebih dari 5 persen
dari pekerja berada dalam sektor kesehatan. Hal ini menyebabkan sektor
kesehatan sebagai industri individual terbesar yang memberi pekerjaan
di sana (Amerika Serikat) juga negara-negara Eropa sehingga organisasi
pelayanan kesehatan atau industri kesehatan disebut-sebut sebagai
8
industri individual terbesar yang memberi pekerjaan (the largest single
industrial employer) (Barker 1996).
Pada lingkup nasional, Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa
setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup
dan meningkatkan taraf kehidupannya, Setiap orang berhak hidup tenteram,
aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin, Setiap orang berhak atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat, Jaminan atas hak memperoleh derajat
kesehatan yang optimal juga terdapat dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
kesehatan (RI 1999, Indonesia 2009).

B. Kebijakan Publik
Defenisi kebijakan publik adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama
yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan
diberi sanksi sesuai deng bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi
dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan
sanksi (Nugroho 2003). Kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan
yang dimaksud untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatar
tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah yang berwenang dalarn rangka penyelenggaraan tuga: pemerintahan
negara dan pembangunan bangsa.
Batasan tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye (1975), dalam
Winarno (2007), yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah apa pun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever governments
choose to do or not to do) ”. Seorang ahli lainnya, Crimson (2009) , menyatakan
kebijakan merupakan sebuah konsep, bukan fenomena spesifik maupun konkret,
sehingga pendefinisiannya akan menghadapi banyak kendala atau dengan kata lain
tidak mudah. Selanjutnya Crimson juga membenarkan bahwa kebijakan akan jauh
lebih bermanfaat apabila dilihat sebagai petunjuk untuk bertindak atau serangkaian
keputusan atau keputusan yang saling berhubungan satu sama lain. Definisi lainnya
kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh
pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi
9
kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan
tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan
sebaliknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti
ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus
bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Dye 1992).
Kebijakan publik/pemerintah merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih
saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang
dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah (Dunn 2015). Kebijakan
publik/pemerintah merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan
pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan oleh “otoritas” dalam sistem
politik yaitu para senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim,
administrator, penasehat raja, dan sebagainya (Easton 1965).
Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah,
seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan, clan keamanan
(militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik) (Suharto, 2005).
Beberapa konsep kunci yang dapat digunakan untuk memahami kebijakan publik
sebagaimana yang dikemukakan oleh Young dan Quinn dalam Dye (1975), dalam
Winarno (2007) antara lain:
1. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh
badan pemerintah dan perwakilan lembaga pemerintah yang memiliki
kewenangan hukum, politis, dan fmansial untuk melakukannya
2. Kebijakan publik merupakan sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah
dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespons masalah atau kebutuhan
konkret yang berkembang di masyarakat.oleh karena itu, pada umumnya
kebijakan publik merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah
sosial.
3. Merupakan seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan
publik biasanya bukanlah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa
pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan trtentu demi
kepentingan orang banyak.
4. Juga merupakan sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Pengertian kebijakan publik di atas juga selaras dengan batasan yang
dikemukakan oleh Knoepfel et all (2007) dalam Solichin (2012); yaitu: “A series of
10
decisions or activities resulting from structured and recurrent interactions between
different actors, both public and private, who are involved in various diyferent ways
in the emergence, identification, and resolution of problem defined politically as a
public issues (serangkaian tindakan atau keputusan sebagai akibat dari interaksi
terstruktut clan berulang di antara berbagai aktor, pihak publik/ pemerintah, swasta,
privat yang terlibat berbagai cara merespons, mengidentiflkasi dan memecahkan
masalah yang secara politik didelinisikan sebagai masalah publik).
Kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan
peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk
memanfaatkan potensi dan sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Definisi yang diberikan oleh Carl Friedrich menyangkut
dimensi yang luas karena tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilaukan oleh
pemerintah , tetapi juga oleh kelompok maupun oleh individu (Friedrich 1940).
Seorang analis kebijakan R.S Parker (1975) menyatakan bahwa kebijakan
publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang
dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu
obyek atau sebagai respon terhadap suatu keadaan yang krisis.
Sebagai suatu peraturan, kebijakan publik mempunyai karakteristik yang satu
dengan lainnya saling mendukung. Karakteristik dimaksud adalah:
1. Kebijakan bersifat ganda (berantai), tidak berdiri sendiri secara tunggal.
2. Kebijakan yang satu terkait dengan kebijakan yang lain yang merupakan mata
rantai berkesinambungan.
3. Kebijakan harus didukung oleh suatu sistem. Kegagalan suatu sistem politik
akan berpengaruh terhadap suatu kebijakan pemerintah.
4. Kebijakan harus dapat mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang
almost possible menjadi possible. Kebijakan harus dapat mengubah yang hampir
mungkin menjadi mungkin.
5. Kebijakan yang baik harus didukung dengan informasi yang lengkap dan akurat.
Informasi yang tidak lengkap dan akurat akan mengakibatkan salah pandang dan
salah penafsiran dalam mengaplikasikan suatu kebijakan.
Dari beberapa pendapat yang disampaikan oleh berbagai pakar maka peneliti
dapat mengambil kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah sebuah kebijakan yang
diambil oleh pengambil keputusan (dalam hal ini adalah pejabat negara atau pejabat
11
pemerintahan) dalam kaitannya dengan mengatasi problem yang ada di tengah-
tengah masyarakat yang tentunya dengan menggunakan tahapan, matode dan cara-
cara tertentu (Parker, Udell et al. 1996).
Anderson (Anderson 1984) mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian
tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku
atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Lebih lanjut dikatakan
Anderson ada elemen-elemen penting yang terkandung dalam kebijakan publik
antara lain mencakup:
1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu.
2. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan
apa yang bermaksud akan dilakukan.
4. Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai
suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk
tidak melakukan sesuatu).
5. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan
tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif).
Menurut Dunn (Dunn and Holzner 1988) beberapa karakteristik masalah pokok
dari masalah kebijakan, adalah :
1. Interdepensi (saling ketergantungan)
Interdepensi yaitu kebijakan suatu bidang seringkali mempengaruhi masalah
kebijakan lainnya. Kondisi ini menunjukkan adanya sistem masalah. Sistem
masalah ini membutuhkan pendekatan holistik, satu masalah dengan yang lain
tidak dapat di pisahkan dan diukur sendirian.
2. Subjektif
Subjektif yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah diindentifikasi,
diklasifikasi dan dievaluasi secara selektif. Contoh: Populasi udara secara
objektif dapat diukur (data). Data ini menimbulkan penafsiran yang beragam
(Gangguan kesehatan, lingkungan, iklim, dll). Muncul situasi problematis,
bukan problem itu sendiri.
3. Artifisial
Artifisial yaitu pada saat diperlukan perubahan situasi problematis, sehingga
dapat menimbulkan masalah kebijakan.
4. Dinamis
12
Dinamis yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana perubahan yang
terus menerus. Pemecahan masalah justru dapat memunculkan masalah baru,
yang membutuhkan pemecahan masalah lanjutan.
5. Tidak terduga
Tidak terduga yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan kebijakan dan
sistem masalah kebijakan.

Hal-hal penting yang mengartikan kebijakan publik dirangkum menjadi


ketetapan oleh pengambil kebijakan dengan tujuan menyelesaikan permasalahan
bersama/masyarakat (collective problem) yang menjadi perhatian publik (public
concern) karena besarnya kepentingan masyarakat yang belum terpenuhi (public
needs, degree of unmeet need) , namun untuk menyelesaikannya membutuhkan
tindakan bersama (collective action) yang bukan sekadar keputusan tunggal dan
reaktif (Ayuningtyas 2014) .
C. Kebijakan Kesehatan
Kebijakan publik bersifat multidisipliner termasuk dalam bidang kesehatan
sehingga kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan publik. Dari
penjelasan tersebut maka diuraikanlah tentang pengertian kebijakan kesehatan yaitu
konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi
pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang
optimal pada seluruh rakyatnya (Murray and Lopez 1996).
Kebijakan kesehatan merupakan pedoman yang menjadi acuan bagi semua
pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan memperhatikan kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah (Hunter 2003). Kebijakan kesehatan membahas
tentang penggarisan kebijaksanaan pengambilan keputusan, kepemimpinan, public
relation, penggerakan peran serta masyarakat dalam pengelolaan program – program
kesehatan. Bentuk-bentuk kebijakan Kesehatan :
1. Regulatory Policies
Merupakan kebijakan yang memebatasi tindakan atau perilaku seseorang.
contoh : UU PK(Praktek Kedokteran) No 29 Tahun 2004, kebijakan KTR
(kawasan tanpa rokok)
2. Distributive Policy

13
Merupakan kebijakan tentang pemberian pelayanan-pelayanan atau keuntungan-
keuntungan bagi setiap individu. Contoh : Kebijakan subsidi BBM, Obat
generik.
3. Redistributive policies
Merupakan kebijakna-kebijakan yang sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk
pemindahan pengalokasian kekayaan, pendapatan, pemilikan-pemilikan atau
hak-hak di antara kelas-kelas dan kelompok penduduk. Misalnya : Antara
golongan penduduk ekonomi mampu dan tidak mampu (dibuatlah kebijakan
Kartu Indonesia Sehat, keluarga harapan).
Melihat berbagai pengertian mengenai kebijakan publik di atas, definisi tersebut
pun dapat diaplikasikan untuk memahami pengertian kebijakan kesehatan. Kebijakan
publik bertransformasi menjadi kebijakan kesehatan ketika pedoman yang
dntetapkan bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Namun begitu,
tidak mudah sebenarnya untuk mendefinisikan kebijakan kesehatan. Setidaknya
itulah yang dikemukakan oleh Walt (1994). ketika dalam sebuah pertemuan ia
menanyakan definisi kebijakan kesehatan kepada enam orang pakar kesehatan,
perencana kesehatan ataupun dokter. Seorang perencana dari Bank Dunia (World
Bank) dengan latar belakang ekonomi mengartikan kebijakan kesehatan sebagai
pengalokasian sumber daya yang terbatas di bidang kesehatan (allocation of scarce
resources). Sementara yang lainnya lebih melihat pada proses dan kekuasaan,
termasuk di dalamnya siapa memengaruhi siapa pada pembuatan kebijakan
kesehatan dan bagaimana kebijakan itu akhirnya terjadi”. Health policy is about the
process and the power. It is concerned with who influences whom in the making of
policy and how that happens. Perencana kesehatan Uganda lebih fokus pada Upaya
memengaruhi determinan kesehatan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat.
Adapun seorang dokter dari Inggris lebih melihatnya sebagai kebijakan formal
pemerintah untuk pelayanan kesehatan. Pandangan menarik dikemukakan oleh
praktisi bidang kesehatan yang memaknai kebijakan kesehatan sebagai politik
kesehatan, mengacu pada kata politica dalam bahasa Brazil yang berarti sama untuk
kebijakan atau politik (policy or politic).
Walt (1994) mencoba merangkum pengertian-pengertian di atas dalam
pemaknaan yang lebih luas. Kebijakan kesehatan melingkupi berbagai upaya dan
tindakan pengambilan keputusan yang meliputi aspek teknis medis dan pelayanan
kesehatan, serta keterlibatan pelaku/aktor baik pada skala individu maupun
14
organisasi atau institusi dari pemerintah, swasta, LSM dan representasi masyarakat
lainnya yang membawa dampak pada kesehatan,
Health policy embraces courses of action that affect the set of institutions,
organization services, and funding arrangements of the health care system. It goes
beyond health services, however, it includes actions or intended actions by public,
private, and voluntary organizations that have an impact on health (Walt 1994).
Secara sederhana, kebijakan kesehatan dipahami persis sebagai kebijaakan
publik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Urgensi kebijakan kesehatan sebagai
bagian dari kebijakan publik semakin menguat mengingat karekteristik unik yang
ada pada sektor kesehatan sebagai berikut :
1. Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang banyak
dan kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain, kesehatan menjadi hak
dasar setiap individu yang membutuhkannya secara adil dan setara. Artinya,
setiap individu tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses dan pelayanan
kesehatan yang layak apa pun kondisi dan status finansialnya.
2. Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi
“masyarakattenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola
paternalistik. Artinya masyarakat, atau dalam hal ini pasien, tidak memiliki
posisi tawar yang baik, bahkan hampir tanpa daya tawar ataupun daya pilih.
3. Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan
pelayanan kesehatan sama sekali tidak berkait dengan kemampuan ekonomi
rakyat. Siapa pun ia baik dari kalangan berpunya maupun miskin papa ketika
jatuh sakit tentu akan membutuhkan pelayanan kesehatan. Ditambah lagi,
seseorang tidak akan pernah tahu kapan ia akan sakit dan berapa biaya yang
akan ia keluarkan. Di sinilah pemerintah harus berperan untuk menjamin setiap
warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan ketika membutuhkan, terutama
bagi masyarakat miskin. Kewajiban ini tentu bukan hal yang ringan dengan
mengingat ungkapan seorang ahli ekonomi sosial dan kesehatan Gunnar Myrdal
(Myrdal 1970); “People become sick because they are poor, and become poorer
because they are sick, and become sicker because they are poorer” (orang
menjadi sakit karena mereka miskin, dan mereka bertambah miskin karena
mereka sakit serta menjadi lebih sakit karena mereka lebih miskin).
4. Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya eksternalitas, yaitu
keuntungan yang dinikmati atau kerugian yang diderita oleh sebagian
15
masyarakat karena tindakan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal
kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas positif atau negatif. Sebagai contoh,
jika di suatu lingkungan rukun warga sebagian besar masyarakat tidak
menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang nyamuk Aides aigepty,
maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai sebagian masyarakat
tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok masyarakat lain yang telah
menerapkan perilaku hidup bersih.
Dengan karakteristik kesehatan tersebut, pemerintah wajib membuat kebijakan
mengenai sektor kesehatan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan bagi
setiap warga negara. Secara lebih rinci WHO membedakan peran negara dan
pemerintah sebagai pelaksana di bidang kesehatan, yaitu sebagai pengarah
(stewardship atau oversight), regulator (yang melaksanakan kegiatan regulasi,
ibaratnya fungsi sebagai wasit), dan yang dikenakan regulasi (pemain). Fungsi
stewardship atau oversight ini terdiri dari tiga aspek utama:
1. Menetapkan, melaksanakan, dan memantau aturan main dalam sistem
kesehatan.
2. Menjamin keseimbangan antara berbagai pelaku utama (key player) dalam
sektor kesehatan (terutama pembayar, penyedia pelayanan, dan pasien).
3. Menetapkan perencanaan strategik bagi seluruh sistem kesehatan.
Karena begitu strategis dan pentingya sektor kesehatan, WHO menetapkan
delapan elemen yang harus tercakup dan menentukan kualitas dari sebuah kebijakan
kesehatan, yaitu:
1. Pendekatan holistik, kesehatan sebaiknya didefmisikan sebagai sesuatu yang
dinamis dan lengkap dari dimensi fisik, mental, sosial, dan sprititual. Artinya,
pendekatan dalam kebijakan kesehatan tidak dapat semata-mata mengandalkan
upaya kuratif, tetapi harus lebih mempertimbangkan upaya preventif, promotif,
dan rehabilitatif.
2. Partisipatori, partisipasi masyarakat akan meningkatkan eflsiensi dan efektivitas
kebijakan, karena melalui partisipasi masyarakat dapat dibangun collective
action (aksi bersama masyarakat) yang akan menjadi kekuatan pendorong dalam
pengimplementasian kebijakan dan penyelesaian masalah.
3. Kebijakan publik yang sehat, yaitu setiap kebijakan harus diarahkan untuk
mendukung terciptanya pembangunan kesehatan yang kondusif dan berorientasi
kepada masyarakat.
16
4. Ekuitas, yaitu harus terdapat distribusi yang merata dari layanan kesehatan. Ini
berarti negara wajib menjamin pelayanan kesehatan setiap warga negara tanpa
memandang status ekonomi maupun status sosialnya karena kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan merupakan Peran negara yang paling minimal
dalam melindungi warga negaranya.
5. Eflsiensi, yaitu layanan kesehatan harus berorientasi proaktif dengan
mengoptimalkan biaya dan teknologi.
6. Kualitas, artinya pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan yang
berkualitas bagi seluruh warga negara. Di samping itu, dalam menghadapi
persaingan pasar bebas dan menekan pengaruh globalisasi dalam sektor
kesehatan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan setara
dengan pelayanan kesehatan bertaraf internasional.
7. Pemberdayaan masyarakat, terutama pada daerah terpencil, dan daerah
perbatasan untuk mengoptimalkan kapasitas sumber daya yang dimiliki.
Pemberdayaan ini dilakukan dengan mengoptimalkan social capital.
8. Self-reliant, kebijakan kesehatan yang ditetapkan sebisa mungkin dapat
memenuhi keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan kapasitas kesehatan di
wilayah sendiri. Pengembangan teknologi dan riset bertujuan untuk membantu
memberdayakan masyarakat dan otoritas nasional dalam mencapai standar
kesehatan yang ditetapkan di masingmasing negara.
Sebuah evaluasi telah dilakukan terhadap kualitas formulasi kebijakan publik di
dinas kesehatan (District Health) Inggris, untuk mengetahui apakah masih terdapat
kesenjangan atau kekurangan yang harus diperbaiki pada prosesnya. Riset dilakukan
dengan cara Process Documentary Research (PDR) atau proses dukumen riset
dilengkapi dengan teknis analisis/telaah dokumen, serta wawancara mendalam yang
dilakukan hingga 26 kali dan berlangsung hampir sepanjang tahun 2004 terhadap
para penentu kebijakan kunci di level pusat, unit farmasi dan kesehatan jiwa,
termasuk pula stakeholder dan pegawai lain dari departemen kesehatan, konsultan,
serta akademisi dan ahli kebijakan kesehatan, serta politisi.
Wawancara mendalam bertujuan menggali informasi tentang proses penetapan
kebijakan dari sisi aktor atau pelaku, ekspektasi mereka serta interaksi yang terjadi
antara stakeholder. Digali pula, pandangan dan preferensi mereka tentang proses
terbaik dalam formulasi kebijakan. Studi tersebut kemudian berakhir dengan

17
kesimpulan bahwa telah terjadi praktik formulasi kebijakan terbaik, karena alasan
sebagai berikut.
1. Pro aktif: proses pengembangan kebijakan berlangsung dengan memastikan
telah dilakukannya penilaian risiko (risk assessment), tidak sekadar reaktif
terhadap berbagai kritik yang dimuat di media massa.
2. Inklusif: selama ini, organisasi yang mewakili kepentingan pasien sedikit sekali
berperan dan dilibatkan untuk memengaruhi proses penetapan kebijakanpasien,
namun kini telah dlrasakan peran Penting mereka ehingga lebih banyak
melibatkan. Proses Pelibatan organisasi yang mewakili pasien dllakukan dengan
proses hearing dan menyebarluaskan rancangan kebijakan selama 12 pekan
untuk mendapat masukan dan respons dari masyarakat luas (Allsop, Jones et al.
2004, Baggott 2004).
3. Bekerja sama, cross cutting work. Proses penetapan kebijakan dilakukan dengan
melibatkan dan membangun kerja sama lintas sektor.
4. Berpandangan luas dan ke depan (Forward and outward looking): pembuat
kebijakan telah menggunakan pendekatan rencana skenario (scenario planning)
dan peramalan (forecasting) yang menunjukkan kemampuan forward looking,
adapun untuk mendapatkan gambaran out looking, mereka mengundang dan
meminta pandangan dari ahli statistik, ekonom, dan ahli lainnya.
5. Berbasis bukti (Evidence based): proses formulasi kebijakan dilakukan dengan
menghargai setiap data, mencari data dan menganalisisnya. Para pembuat
kebijakan secara berkala melakukan asesmen atau penilaian terhadap laporan
yang masuk sebagai upaya untuk menguatkan kebijakan berbasis bukti.
Perhatian terhadap pemanfaatan hasil riset dan data untuk penguatan kebijakan
publik bukan hal yang asing lagi, namun belum sangat menguat, meski sekarang
telah lebih besar porsinya (Oliver 2006). Oleh karena itu, serangkaian proses ini
dapat disebut sebagai best practice dalam pengembangan kebijakan. Selain juga
dilakukan proyek perintis (piloting) untuk mendapatkan gambaran kesesuaian
implementasi.
6. Ketetapan/ketentuan (Provision) untuk implementasi dan evaluasi: menyusun
rencana implementasi, untuk memastikan kesiapan dan meningkatkan tingkat
kepatuhan pelaksanaan dan menyiapkan rencana evaluasi berdasarkan indikator
untuk menetapkan apakah implementasi kebijakan bisa berlangsung dengan baik
atau tidak.
18
7. Akuntabel dan demokratis. Seluruh proses formulasi kebijakan berjalan secara
transparan dan merepresentasikan aspirasi seluruh pemangku kepentingan.

1. Sistem dan Komponen Kebijakan


Sistem adalah serangkaian bagian yang saling berhubungan dan bergantung
dan diatur dalam aturan tertentu untuk menghasilkan satu kesatuan. Contohnya,
sistem kesehatan yang di dalamnya terdapat bagian yang saling berhubungan
seperti tenaga kesehatan, infrastruktur kesehatan, pembiayaan, dan sebagainya.
Untuk membuat sebuah kebijakan, adalah penting terlebih dahulu memahami apa
dan siapa saja yang terlibat dalam sistem serta siapa saja yang dipengaruhi
maupun memengaruhi sistem tersebut. Menurut Dunn (1988), sistem kebijakan9
(policy system) mencakup hubungan timbal balik dari tiga unsur, yaitu kebijakan
publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Hubungan timbal balik
antara ketiga komponen sistem kebijakan tersebut digambarkan dalam gambar
berikut ini(Dunn and Holzner 1988, Dunn 2015).

Aktor Kebijakan

Lingkungan Kebijakan Kebijakan Publik

Gambar 2.1.Hubungan Komponen dalam Sistem Kebijakan


Sumber: Diadopsi dan diadaptasi dari; William Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, dialihbahasakan oleh
Samodra Wibawa dan tim (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 110.

Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sebagai sebuah sistem, kebijakan
merupakan suatu rangkaian dari beberapa komponen yang saling terkait, dan
bukan komponen yang berdiri sendiri. Segitiga sistem kebijakan menjelaskan
adanya aktor kebijakan yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan
publik. Kesemuanya juga tidak luput dari pengaruh lingkungan kebijakan.
Ketiga komponen tersebut selanjutnya dikenal sebagai sistem kebijakan, yaitu
tatanan kelembagaan yang berperan dalam penyelenggaraan kebijakan publik

19
yang mengakomodasi aspek teknis, sosiopolitik maupun interaksi antara unsur
kebijakan.
Contoh yang menunjukkan interaksi antara ketiga komponen dalam sistem
kebijakan publik tersebut misalnya dapat dilihat dari kebijakanjaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yaitu sebuah kebijakan pembiayaan
kesehatan yang ditujukan bagi masyarakat tidak mampu. Kebijakan ini dipicu
oleh lingkungan sosial dengan terus meningkatnya jumlah masyarakat miskin
sehingga jumlah pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan gratis pun
meningkat. Sementara itu, lingkungan politik yang berkembang turut
memengaruhi kebijakan ini. Tingginya desakan masyarakat bersama-sama
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
mendorong pemerintah untuk memberikan jaminan pembiayaan kesehatan
kepada masyarakat menengah ke bawah tersebut sehingga lahirlah kebijakan
Jamkesmas. Selain itu, desakan dari aktor lainnya, yaitu presiden, yang meminta
menteri kesehatan untuk segera menyelesaikan permasalahan angka kematian
ibu memicu terbentuknya kebijakan penjaminan persalinan (Jampersal) kelas III
di seluruh rumah sakit pemerintah dengan skema pembiayaan melalui
Jamkesmas. Penjelasan lebih lanjut tentang sistem dan komponen kebijakan
publik dikemukakan pula oleh William Dunn (2015) sebagai berikut.
a. Isi Kebijakan (Policy Content) Terdiri dari sejumlah daftar pilihan
keputusan tentang urusan publik (termasuk keputusan untuk tidak
melakukan tindakan apa-apa) yang dibuat oleh lembaga dan pejabat
pemerintah. Isi sebuah kebijakan merespons berbagai masalah publik
(public issues) yang mencakup berbagai bidang kehidupan mulai dari
pertahanan, keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, ksejahteraan, dan
lain-lain. Secara umum isi kebijakan dituangkan dalam bentuk dokumen
tertulis yang memiliki standar isi sebagai berikut.
1) Pernyataan tujuan: mengapa kebijakan tersebut dibuat dan apa dampak
yang diharapkan
2) Ruang lingkup: menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan
dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan.
3) Durasi waktu yang efektif: mengindikasikan kapan kebijakan mulai
diberlakukan.

20
4) Bagian pertanggungjawaban: mengindikasikan siapa individu
atauorganisasi mana yang bertanggungjawab dalam melaksanakan
kebijakan.
5) Pernyataan kebijakan: mengindikasikan aturan-aturan khusus atau
modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat kebijakan
tersebut.
6) Latar belakang: mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan
kebijakan tersebut, yang kadang-kadang disebut sebagai faktorfaktor
motivasional.
7) Definisi: menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai definisi
bagi istilah dan konsep dalam dokumen kebijakan.

b. Aktor atau Pemangku Kepentingan Kebijakan (Policy Stakeholder)


Pemangku kepentingan kebijakan atau aktor kebijakan adalah individu atau
kelompok yang berkaitan langsung dengan sebuah kebijakan yang dapat
memengaruhi atau dipengaruhi oleh keputusan atau kebijakan tersebut.
Pemangku kepentingan kebijakan tersebut bisa terdiri dari sekelompok
warga, organisasi buruh, pedagang kaki lima, komunitas wartawan, partai
politik, lembaga pemerintahan, dan semacamnya.
c. Lingkungan Kebijakan (Policy Environment)
Lingkungan kebijakan (policy environment) merupakan latar khusus di
mana sebuah kebijakan terjadi, yang berpengaruh dan dipengaruhi oleh
pemangku kepentingan kebijakan serta kebijakan publik itu sendiri.
Istilah lingkungan dalam segitiga sistem kebijakan yang dijelaskan di atas,
dalam terminologi yang dikembangkan Walt dan Gilson (1994) disebut
sebagaj konteks. Konteks ini memiliki peran yang hampir sama dengan
lingkungan kebijakan sebagaimana dijelaskan oleh Dunn, yakni faktor yang
memberi pengaruh dan dipengaruhi oleh unsur lain dalam sistem kebijakan,
perhatikan gambar berikut (Walt 1994, Walt and Gilson 1994).

21
Gambar 2.2. Segitiga Kebijakan (Triangle ofHealth Policy) (Walt dan Gilson,
1994)
Segitiga kebijakan kesehatan merupakan sebuah representasi dari kesatuan
kompleksitas hubungan antar unsur-unsur kebijakan (konteql proses, konteks, dan
aktor) yang dalam interaksinya saling member; Pengaruh. Salah satu unsur dari
segitiga kebijakan, yaitu aktor-athr kebijakan (baik sebagai individu maupun
kelompok), misalnya, dipengauruhi oleh konteks di mana mereka bekerja atau
menjalankan perannya. Konteks merupakan “rekayasa” atau hasil interaksi
dinamis dari banyak faktor seperti ideologi atau kebijakan yang berubah-ubah,
sejarah, dan nilai-nnai budaya. Proses pengembangan kebijakanbagaimana sebuah
isu strategiS atau masalah publik diangkat dan menjadi penetapan agenda (agenda
setting) dalam formulasi kebijakan, bagaimana peran, posisi, dan pengaruh aktor-
aktor kebijakan serta nilai, ekspektasi atau kepentingan aktor-aktor tersebut
menjelaskan tentang konteks dalam segitiga kebijakan publik. Oleh karena itu,
segitiga kebijakan bermanfaat untuk dapat secara sistematis menganalisis dan
mengetahui tentang berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan.
Pemahaman tentang segitiga kebijakan seperti sebuah peta yang menunjukkan
“jalan besar tetapi tetap menunjukkan kontur, sungai-sungai, hutan, arah jalan,
dan tempat tinggal para penghuni di dalamnya” dari sebuah “rimba
pengembangan kebijakan publik” (Walt dan Gilson, 1994).

2. Hierarki Kebijakan Kesehatan


Setiap kebijakan memiliki otoritas atau kewenangannya sendiri. Sejauh mana
kewenangan suatu kebijakan dapat diterapkan tergantung dari posisi kebijakan
tersebut dalam sebuah hierarki kebijakan. Setiap kebijakan harus memiliki
konsistensi dan koherensi dengan kebijakan pada tingkat kewenangan yang lebih

22
luas. Dengan begitu, tidak akan terjadi benturar kebijakan yang dapat
menyebabkan sebuah kebijakan tidak dapat dieksekusi.
a. Berdasarkan Sistem Politik Menurut konsep Trias Politica, hierarki dalam
kebijakan meliputi:
1) Kebijakan publik tertinggi yang dibuat oleh legislatif sebagai representat
dari publik, contoh pembuatan UUD.
2) Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerja sama antara legislatif
dengan eksekutif. Contohnya adalah peraturan daerah di tingk provinsi.
3) Kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, yaitu kebijakan yang dibuat untuk
melaksanakan kebijakan publik yang bersifat umum yang dibuat
legislatif (UUD) dan yang melalui kerja sama dengan eksekutif (UU).
Indonesia memiliki hierarki dasar hukum yang harus ditaati dan menjadi
landasan dalam penyusunan kebijakan publik di Indonesia, mengacu pada
UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia.
Tabel Produk Perundangan
Produk Uraian
Undang-Undang Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama presiden
Peraturan Pemerintah Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Pengganti Undang- Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang
Undang memaksa
Peraturan Pemerintah Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
presiden untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya
Peraturan Presiden Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
Presiden
Peraturan Daerah Peraturan perundang-undangan yang disusun oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah

b. Berdasarkan Wilayah Geografls Otoritas Pembuat Kebijakan


Kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintah memiliki kewenangan
berdasarkan Wilayah kerja tertentu. Wilayah kerja tersebut biasanya
terkait dengan Wilayah geografls otoritas pembuat kebijakan. Contohnya
kebijakan nasional yang berarti berlaku untuk seluruh penduduk dan
sistem pemerintahan di bawah pemerintahan pusat negara, kebijakan

23
provinsi yang berarti harus diimplementasikan pada seluruh pemerintahan
di provinsi terkait, kota/kabupaten serta level pemerintahan yang lebih
rendah berikutnya.
c. Berdasarkan Isi, Waktu, dan Prioritas Penetapan Kabijakan
Salah satu dasar dalam menentukan hierarki kebijakan dapat dibedakan
melalui isi dari kebijakan tersebut:

Tabel Kebijakan Berdasarkan Isi


Kebijakan Uraian
Kebijakan kebijakan dasar yang belum diturunkan.
Utama
kebijakan yang telah diturunkan dari sebuah kebijakan utama.
Turunan Misalnya, kebijakan penanggulangan angka kematian ibu
dapat diturunkan menjadi kebijakan peningkatan gizi ibu
hamil

Tabel Kebijakan Berdasarkan Isi Waktu


Kebijakan Uraian
Jangka Berdurasi lebih dari lima tahun misalnya dua puluh lima
Panjang tahun, biasanya dibuat di tingkat nasional, misalnya
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) bidang
kesehatan.
Jangka Berdurasi antara lima hingga sepuluh tahun, bisa dibuat
Menengah di tingkat provinsi maupun kabupaten kota, misalnya
Renstra (Rencana Strategis).
Jangka Pendek Kebijakan jangka pendek memiliki durasi sekitar satu
tahun. Biasanya berupa program yang menjadi
implementasi dari kebijakan pada hierarki lebih tinggi

Adapun kebijakan kesehatan ditentukan prioritasnya berdasarkan


ketersediaan dan alokasi anggaran serta sumber daya lainnya. Pada
umumnya, sebuah kebijakan ditetapkan sebagai prioritas antara lain
dengan memepertimbangkan kemungkinan dampak besar yang dapat
terjadi. Dengan demikian kebijakan dapat terdiri dari kebijakan prioritas
utama dan kebijakan bukan prioritas.
Berdasarkan isi, waktu dan prioritas, sebuah kebijakan dapat terus
berlangsung atau menghilang dan tergantikan oleh kebijakan lainnya,
misalnya kebijakan revitalisasi posyandu yang diterapkan pada masa

24
sebelum otonomi daerah ditiadakan pada periode setelahya mengakibatkan
tingginya kasus gizi buruk, AKI, AKB.
Aplikasi pemahaman dan konsep kebijakan publik, kebijakan kesehatan
dan penetapan hierarkinya berdasarkan sistem politik, wilayah geografis
serta isi, waktu dan prioritas dapat dilihat dari contoh implementasi
kebijakan kesehatan di beberapa negara dan di Indonesia.

3. Kebijakan Kesehatan di Beberapa Negara


Inggris adalah salah satu negara anggota Uni Eropa yang mempunya model
layanan kesehatan yang dikagumi dunia. Inggris tetap dapa' memelihara akses
layanan kesehatan bebas biaya dan pada saat yang same mengembangkan
ekonomi terbuka. Konclisi tersebut bertentangan dengan pendapat umum
bahwa dengan ekonomi terbuka membuat layanan kesehatan menjadi tidak
bisa disediakan. Layanan kesehatan Inggris, yang dinamai National Health
Service (NHS), ditetapkan dengan National Health Act (1948).
Semua jenis layanan kesehatan adalah cuma-cuma, dokter dan tenaga medis
lainnya pun dibiayai oleh negara. Di setiap dukuh (country) atau di setiap
kotapraja (municipalities) pasti ada layanan oleh tenaga medis umum (atau
yang disebut general practitioners) dan dengan fasilitas umum (primary care).
Di Indonesia dapat dianalogikan dengan Puskesmas tapi dalam jumlah yang
lebih banyak dan tidak harus berupa klinik (Tim Peneliti 2008).
Namun demikian, sejak awal pendirian NHS, cukup sulit untuk menjaga
keseimbangan pembiayaan kesehatan di Inggris. Selain karena “penyakit juga
berkembang”, tingkat konsumsi masyarakat pasti akan terus naik dengan
adanya layanan yang tersedia. Salah satu arsitek penting Kesejahteraan Negara
Inggris, Aneurin Bevan, berujar bahwa konsumsi kesehatan adalah faktor yang
membuat keseimbangan keuangan negara goyah. Jadi, yang dilakukan Inggris
adalah mengembangkan model asuransi dan pemajuan ekonomi (karena biaya
kesehatan adalah hasil dari revenue negara). Pengembangan ini sampai
sekarang cukup berhasil.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, masalah kesehatan dan
kependudukan serta tingkat konsumsi atas layanan kesehatan, maka persentase
anggaran kesehatan atas GDP (Gross Domestic Product) Inggris mengalami
25
peningkatan sejak NHS mulai ditetapkan dan berjalan. Selain dari Inggris, kita
juga dapat belajar dari Kuba. Di Kuba, kebijakan kesehatan adalah sesuatu
yang dianggap sangat penting sehingga pemerintahnya memastikan bahwa
rakyat mendapatkan hak yang sama lalam pelayanan kesehatan. Hasilnya,
angka kematian penduduknya berhasil urun dari 60 ke 14 per 1.000 dalam
kurun waktu antara tahun 1954-1980) (Barker 1996).

Tabel Perbandingan Model layanan Kesehatan di beberapa negara

Kriteria General Taxation Social Insurance Private Insurance


(Inggris) (Germany) (USA)
Makro Global, anggaran dengan Sistem bergantung Bergantung pada
Efisiensi tunai terbatas pada permintaan permintaan
Kontrol biaya kuat kontrol yang lemah Tidak ada anggaran
Anggaran global, global
kontrol biaya kuat
Transparansi
meningkatkan
kesadaran pengguna
Mikro Biaya administrasi kecil Asuransi berlapis & Asuransi berlapis
Efisiensi Insentif kerja bergantung dana org sakit pembiayaan tinggi
pada bentuk perpajakan meningkatkan biaya Asuransi berdasarkan
administrasi naker menjadi
Pajak bagi naker tanggugan naker
Tingkat Mencakup seluruh warga Cakupan hampir Ada jurang dalam hal
Kesetaraan tanpa kecuali universal cakupan
(Equity) Pembayaran terkait pajak Pembayaran terkait Pungutan tergantung
kemampuan besarnya risiko
membayar
< atau > progresif dari
sistem pembayaran
pajak
Pilihan Tidak ada pilihan terkait Pilihan sedikit Banyak pilihan
(Choice) kontribusi
Transparansi Kaitan pajak pembayaran Pajak yang dipatok Kaitan erat antara
dan pengeluaran yankes terkait belanja yankes pembayaran dengan
tunjangan/ manfaat
individu
Sumber : Robinson, et al. (1994) Dengan Adaptasi.
4. Kebijakan Kesehatan di Indonesia
a. Reformasi Kesehatan dan Perubahan Struktur Kementerian Kesehatan
Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan menggulirkan Tujuh
Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu: 1) revitalisasi pelayanan
kesehatan, 2) ketersediaan, distribusi, retensi, dan mutu sumber daya
manusia, 3) ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas,
keterjangkauan obat, vaksin, dan alat-alat kesehatan, 4) jaminan kesehatan,
26
5) keberpihakan kepada Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK) dan Daerah Bermasalah Kesehatan (DBK), 6) reformasi birokrasi,
dan 7) world class health care.
Dalam upaya pelayanan kesehatan pada tahun 2011, diutamakan
pelayanan kesehatan berbasis masyarakat dengan menekankan upaya
promotif dan preventif. Tidak mungkin melakukan pelayanan kesehatan
menunggu orang sampai jatuh sakit, karena hal itu akan menghabiskan
biaya yang besar. Selain itu, juga menekankan pencegahan penyakit tidak
menular yang disebabkan pola makan dan pola hidup yang tidak sehat,
tanpa meninggalkan pengendalian penyakit menular yang masih belum
hilang. Peningkatan pelayanan kesehatan primer dan rujukan di rumah sakit
daerah maupun pusat juga menjadi upaya penting lainnya. Untuk
pemerataan kebutuhan tenaga kesehatan di seluruh daerah dilakukan
pendataan sumber daya manusia kesehatan secara elektronik, sehingga
dapat diketahui seberapa besar kebutuhan baik jumlah maupun jenisnya,
dengan harapan tujuan pemenuhan kebutuhan SDM Kesehatan dapat
dilakukan secara cepat. Untuk memenuhi kebutuhan SDM jangka pendek
dilaksanakan program sister hospitals, yaitu program kerja sama antara
rumah sakit yang lemah dengan rumah sakit yang lebih maju, sehingga
terjadi proses pembelajaran tenaga kesehatan, sedangkan dalam jangka
menengah, dilakukan program dokter plus yaitu dokter umum diberi
keterampilan tambahan spesialis. Program dokter plus ini diutamakan di
wilayah Indonesia Timur. Program jangka panjang dengan memberikan
beasiswa dokter dari daerah untuk mengikuti pendidikan spesialis.
Sebelumnya, pendidikan dokter spesialis hanya diadakan di fakultas
kedokteran perguruan tinggi negeri. Nantinya, fakultas kedokteran swasta
yang mempunyai kualifrkasi baik akan diperjuangkan dapat melakukan
program studi spesialis.
Dalam memantapkan posisi obat generik akan diupayakan peningkatan
pengawasan agar mutu tetap terjaga, harga terjangkau, dan distribusi
merata, Untuk mendukung monitoring penggunaan obat generik akan
digulirkan E-logistic. Selain itu, juga diselenggarakan E-Prescription untuk
mengawasi penulrsan resep obat genenk oleh dokter d1 pelayanan
kesehatan Pemerintah‘ Untuk memantapkan program jaminan kesehatan
27
dasar, diupayakan sistem pembiayaan menjadi satu sistem nasional, dengan
menerapkan paket benefit dasar, perhitungan biaya dan besaran premi yang
sama, baik yang dibayar PT Askes, Jamkesmas, Jamkesda, dan PT
Jamsostek, sehingga tidak ada perbedaan pelayanan kesehatan. Untuk
mendukung program tersebut, telah ditetapkan UU tentang Badan Pengelola
Jaminan Sosial (BPJS) beserta kelengkapan dasar hukum dan pedomannya.
Tahun 2011 diberlakukan program Jaminan Persalinan Uampersal) yang
merupakan pelayanan paket kesehatan berupa kontrol terhadap ibu hamil
(antenatal), persalinan, kontrol setelah melahiran (postnatal), dan pelayanan
keluarga berencana. Paket ini berlaku untuk persalinan oleh tenaga
kesehatan di fasilitas kesehatan, mulai dari Polindes, Puskesmas, dan rumah
sakit pemerintah di kelas tiga tanpa ada pembatasan, sedangkan pada tahun
2012, diutamakan persalinan untuk kehamilan pertama dan kedua saja.
Untuk mewujudkan keberpihakan kepada Daerah Terpencil Perbatasan
dan Kepulauan (DTPK) dalam pelayanan kesehatan, Kementerian
Kesehatan bekerja sama dengan kementerian terkait seperti Kementerian
Sosial, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Kementerian
Pekerjaan Umum, Tentara Nasional Indonesia, dan lembaga terkait lainnya
(www.depkes.go.id)(Oktarina and Sugiharto 2011).
b. Pencapaian Target MDGs dalam Pengendalian Angka Kematian Ibu (AKI)
dan Angka Kematian Bayi (AKB) di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT)
Revolusi KIA: Upaya yang sungguh-sungguh untuk percepatan
penurunan kematian ibu melahirkan dan bayi baru lahir dengan cara-cara
yang luar biasa (Pergub NTT No. 42 Tahun 2009, Bab I, Pasal 1 ayat 4).
Kematian Ibu di NTT, Surkesnas 2004 dan SDKI 2007, per 100.000
kelahiran hidup. Penurunan AKB di NTT: 554 -306: 248, sementara di
tingkat nasional adalah sebesar: 307 228 = 79. Itu berarti NTT telah berhasil
menurunkan AKI cukup besar, walaupun secara mutlak masih lebih tinggi
dari AKI Nasional.
Kematian bayi di NTT berdasarkan Surkesnas 2004 dan SDKI 2007
adalah sebesar 57 per 1.000 kelahiran hidup. Penurunan angka kematian
bayi di NTT dari angka 62 per 1.000 kelahiran hidup hingga 57 per 1.000
kelahiran hidup. Artinya, penurunannya mencapai 5 bayi per 1.000
28
kelahiran hidup. Sementara itu, pada tingkat nasional adalah sebesar 18 per
1.000 kelahiran hidup , yaitu dari 52 per 1.000 kelahiran hidup hingga 34
per 1.000 kelahiran hidup.
Definisi operasional Revolusi KIA adalah semua ibu melahirkan
difasilitas kesehatan yang memadai. Untuk menyukseskan revolusi KIA
dibutuhkan ketersediaan RS atau fasilitas kesehatan yang memadai dan siap
24 jam; memiliki elemen SDM yang memadai dilihat dari jumlah, jenis,
kualitas, dan kompetensi; memiliki peralatan, perbekalan kesehatan,
bangunan, budgeting dan finance, dan sistem manajemen yang memadai.
Revolusi Kesehatan lbu dan Anak (KIA) memiliki motto: “1) Persalinan di
fasilitas KIA, 2) Datang satu, pulang dua; lebih juga boleh, tidak boleh satu
apalagi nol, dan 3) lbu dan bayi sehat”.
Tabel Kriteria Fasilltas Kesehatan yang Memadai untuk Puskesmas di NTT
dalam Rangka Pelaksanaan Revolusi KIA dari Aspek SDM
Jenis Jumlah Kompetensi
Bidan 5 Sudah dilatih APN (termasuk BBLR,
Pl, Asphixia), PPGDON, PONED
Perawat 5 Sudah dilatih PONED, BBLR, PI,
PGD/BCLS, Asphixia
Tenaga kesehatan Masing- Sesuai kompetensi
lainnya masing 1
Sumber: Seran, 2011 (Strategi Revolusi KIA sebagai Upaya Penurunan AKl dan AKB
Melalui Program Sister Hospital Provinsi NIT. Dalam seminar: Percepatan MDG4 dan
MDGS dengan Memperkuat Tindakan Preventif dan Kuratif secara Sinergis.)

Indikator Keberhasilan dalam Revolusi KIA dibagi menjadi dua bagian,


pertama adalah indikator keberhasilan antara dan indikator keberhasilan
akhir. Indikator keberhasilan antara: Jumlah fasilitas kesehatan yang
memadai, Pembuatan peraturan-peraturan yang memayungi, Jumlah ibu
hamil yang melahirkan di fasilitas kesehatan. Indikator keberhasilan akhir:
Penurunan kematian bayi dan ibu melahirkan sesuai dengan target yang
ditetapkan, diharapkan dapat mencapai minimal sama dengan nasional atau
lebih rendah dari nasional.
c. Tenaga Kesehatan/Warga Negara Asing.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 317/ Menkes/
Per/ III/2010 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara
Asing di Indonesia, memuat beberapa ketentuan tentang implementas
kebijakan yang membolehkan masuknya tenaga kerja warga negara asin di

29
Indonesia. Peraturan mekanisme perizinan dan pengawasannya suda
disiapkan. Hal ini perlu dicermati karena tanpa pengawasan yang memadai
akan membahayakan keselamatan dan kesehatan bangsa Indonesia
(Angkasawati and Laksmiarti 2014).
Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan tenaga kesehatan war
negara asing yang selanjutnya disingkat TK-WNA adalah warga negara
asing pemegang izin tinggal terbatas yang memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan dan bermaksud
bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah
Indonesia.
Pendayagunaan TK-WNA dipertimbangkan sepanjang terdapat
hubungan bilateral antara negara Republik Indonesia dengan negara asal
TKWNA yang bersangkutan, dibuktikan dengan adanya hubungan
diplomatik dengan Indonesia. TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki
sertifikat kompetensi yang diperoleh sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 3, 4, dan 5 disebutkan bahwa TK-WNA hanya dapat
bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu atas permintaan pengguna
TK-WNA dan dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka
kerja sosial; menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; melaksanakan tugas dan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian, jabatan, fasilitas pelayanan
kesehatan, dan tempat atau wilayah kerja yang telah ditentukan dalam
IMTA. Bidang pekerjaan yang dapat ditempati TK-WNA meliputi: (a)
pemberi pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan, (b)
pemberi pelayanan.
Dalam Pasal 11-12 disebutkan pula bahwa TK-WNA Pemberi Pelayanan
hanya dapat bekerja di Rumah Sakit Kelas A dan Kelas B yang telah
terakreditasi serta fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang ditetapkan
oleh Menteri dan harus melakukan alih teknologi dan pengetahuan, harus
memiliki izin operasional tetap dan minimal telah berjalan 2 (dua) tahun.
Pasal 23 menyebutkan bahwa TK-WNA berhak mendapatkan perlindungan
hukum dalam melaksanakan pekerjaan yang sesuai standar profesinya
sesuai dengan peraturan perundangan. Sebagai konsekuensinya, dalam
Pasal 24, diatur bahwa TK-WNA berkewajiban menyampaikan laporan
30
kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan kompetensinya secara periodik
kepada organisasi profesi dengan tembusan kepada Menteri, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Mekanisme pembinaan dan pengawasan yang diatur dalam Pasal 26
menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan ini. Dalam rangka pembinaan dan
pengawasan, Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat
mengambil tindakan administratif. Dalam Pasal 27, tindakan administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat berupa (a) teguran
lisan, (b) teguran tertulis, atau (c) pencabutan izin, antara lain: izin fasilitas
pelayanan kesehatan, IMTA, dam/atau STR.

31
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kesehatan memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan dan memeiliki
kedudukan yang penting berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
2. Kebijakan publik adalah suatu “arahan” untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu sehingga menggerakkan seluruh sektor atau perangkat
pemerintahan dan menciptakan perubahan pada kehidupan yang terkena dampak
dari kebijakan tersebut. Kebijakan kesehatan memiliki karakteristik tersendiri
yang mengakomodasi keunikan sektor kesehatan antara lain adalah:
kompleksitasnya sebagai hak dasar, consumer ignorance, uncertainty, dan
eksternalitas yang tinggi. Sistem kebijakan (policy system) merupakan interaksi
dari tiga ha] antara lain kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan
kebijakan. Lahirnya suatu kebijakan dapat dipahami melalui telaah terhadap
ketiga unsur tersebut. Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan menggulirkan
Tujuh Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu: 1) revitalisasi pelayanan
kesehatan, 2) ketersediaan, distribusi, retensi, dan mutu sumber daya manusia,
3) ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas, keterjangkauan obat,
vaksin, dan alat-alat kesehatan, 4) jaminan kesehatan, 5) keberpihakan kepada
Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah
Kesehatan (DBK), 6) reformasi birokrasi, dan 7) world class health care.
Hierarki kebijakan kesehatan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang seperti
sistem politik; wilayah geografis otoritas pembuat kebijakan; dan isi, waktu dan
prioritas penetapan kebijakan.

B. Saran
Analisis terhadap kebijakan kesehatan diperlukan terus menerus untuk
mendapatkan drajat kesehatan setinggi-tingginya.

32
DAFTAR PUSTAKA

(1978). Declaration of Alma-Ata. International Conference on Primary Health Care,


Alma-Ata, USSR, 6–12 September 1978. Geneva.

Allsop, J., et al. (2004). "Health consumer groups in the UK: a new social movement?"
Sociology of health & illness 26(6): 737-756.

Anderson, J. E. (1984). Public policy and politics in America, Harcourt Brace.

Angkasawati, T. J. and T. Laksmiarti (2014). "Regulation of Legislation in Utilization


of Foreign Health Workers (FHW) in Indonesia." Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan 17(4 Okt): 337-344.

Assembly, U. G. (1948). "Universal declaration of human rights." UN General


Assembly.

Assembly, U. G. (1966). "International covenant on economic, social and cultural


rights." United Nations, treaty series 993(3).

Ayuningtyas, D. (2014). "Kebijakan Kesehatan Prinsip dan Praktik." Jakarta:


RajaGrafindo Persada.

Baggott, R. (2004). Health and health care in Britain, Palgrave Macmillan.

Barker, C. (1996). The health care policy process, Sage.

Baum, F. (2007). "Health for All Now! Reviving the spirit of Alma Ata in the twenty-
first century: An Introduction to the Alma Ata Declaration." Social Medicine
2(1): 34-41.

Callahan, D. (1973). "The WHO definition of'health'." Hastings Center Studies: 77-87.

Contoyannis, P. and A. M. Jones (2004). "Socio-economic status, health and lifestyle."


Journal of health economics 23(5): 965-995.

Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice, Cornell University
Press.

Dunn, W. N. (2015). Public policy analysis, Routledge.

Dunn, W. N. and B. Holzner (1988). "Knowledge in society: Anatomy of an emergent


field." Knowledge in Society 1(1): 3-26.

Dye, T. R. (1992). Understanding public policy [by] Thomas R. Dye.

Easton, D. (1965). "A framework for policy analysis." AA Knopf, New York 110.

33
Friedrich, C. J. (1940). "Public policy and the nature of administrative responsibility."
Public: 3-24.

Fry, D. and A. Zask (2016). "Applying the Ottawa Charter to inform health promotion
programme design." Health promotion international: daw022.

Haskell, W. L., et al. (2009). "Physical activity: health outcomes and importance for
public health policy." Preventive medicine 49(4): 280-282.

Huber, M., et al. (2011). "How should we define health?" BMJ 343.

Hunter, D. J. (2003). Public health policy, Polity Press Cambridge.

i Casasnovas, G. L., et al. (2005). Health and economic growth: findings and policy
implications, Mit Press.

Indonesia, R. (2009). "Undang-undang Republik Indonesia nomor 36 tahun 2009


tentang Kesehatan." Jakarta: Republik Indonesia.

Kesternich, I., et al. (2014). "The effects of World War II on economic and health
outcomes across Europe." Review of Economics and Statistics 96(1): 103-
118.

Lawn, J. E., et al. (2008). "Alma-Ata 30 years on: revolutionary, relevant, and time to
revitalise." The Lancet 372(9642): 917-927.

Lee, M.-S. (2015). "The principles and values of health promotion: building upon the
Ottawa charter and related WHO documents." Korean Journal of Health
Education and Promotion 32(4): 1-11.

Mak, W., et al. (2015). "Physical health needs, lifestyle choices, and quality of life
among people with mental illness in the community." Hong Kong Med J 21(6
Supplement 6).

Marmot, M. (2005). "Social determinants of health inequalities." The Lancet


365(9464): 1099-1104.

Melchiorre, M. G., et al. (2013). "Social support, socio-economic status, health and
abuse among older people in seven European countries." PloS one 8(1):
e54856.

Morsink, J. (2016). Universal Declaration of Human Rights and the Challenge of


Religion, University of Missouri Press.

Murray, C. J. and A. D. Lopez (1996). "Evidence-based health policy--lessons from the


Global Burden of Disease Study." Science 274(5288): 740.

Myrdal, G. (1970). "The Challenge Of The World Poverty."

34
Navarro, V. (1984). "A critique of the ideological and political positions of the Willy
Brandt Report and the WHO Alma Ata Declaration." Social Science &
Medicine 18(6): 467-474.

Nugroho, R. (2003). "Kebijakan Publik: Formulasi, Implementasi dan Evaluasi."


Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Oktarina, O. and M. Sugiharto (2011). "PEMENUHAN KEBUTUHAN TENAGA


KESEHATAN PENUGASAN KHUSUS DAN TENAGA PTT DI DAERAH
TERPENCIL PERBATASAN DAN KEPULAUAN (DTPK) TAHUN 2010."
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan 14(3 Jul).

Oliver, S. (2006). "Leadership in health care." Musculoskeletal care 4(1): 38.

Organization, W. H. (1986). "Health and Welfare Canada, Canadian Public Health


Association." Ottawa charter for health promotion: 425-430.

Organization, W. H. (2001). The World Health Report 2001: Mental health: new
understanding, new hope, World Health Organization.

Organization, W. H. and W. H. Organization (1978). "Alma Ata Declaration." Geneva:


World Health Organization.

Parker, R. S., et al. (1996). "The new independent inventor: implications for corporate
policy." Review of Business 17(3): 7.

Prince, M., et al. (2007). "No health without mental health." The Lancet 370(9590):
859-877.

Puybaret, E. (2008). Universal declaration of human rights, United Nations


Publications.

Renteln, A. D. (2013). International human rights: universalism versus relativism, Quid


Pro Books.

RI, D. H. d. H. (1999). "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999


Tentang Hak Asasi Manusia."

Roden, J. and L. Jarvis (2012). "Evaluation of the health promotion activities of


paediatric nurses: Is the Ottawa Charter for Health Promotion a useful
framework?" Contemporary nurse 41(2): 271-284.

Saul, B., et al. (2014). The international covenant on economic, social and cultural
rights: commentary, cases, and materials, OUP Oxford.

Shephard, R. J. (1997). Aging, physical activity, and health, Human Kinetics


Publishers.

35
Smith, J. P. (1999). "Healthy bodies and thick wallets: the dual relation between health
and economic status." The journal of economic perspectives: a journal of the
American Economic Association 13(2): 144.

Starfield, B. (1998). Primary care: balancing health needs, services, and technology,
Oxford University Press, USA.

Tim Peneliti, P. (2008). Negara Kesejahteraan dan Globalisasi, Jakarta: Universitas


Paramadina.

Vatcharavongvan, P., et al. (2014). "What are the health needs, familial and social
problems of Thai migrants in a local community in Australia? A focus group
study." Journal of Immigrant and Minority Health 16(1): 143-149.

Walt, G. (1994). "Health policy: an introduction to process and power."

Walt, G. and L. Gilson (1994). "Reforming the health sector in developing countries:
the central role of policy analysis." Health policy and planning 9(4): 353-370.

White, K. L., et al. (1977). "Health services: concepts and information for national
planning and management. Experiences based on the WHO/International
Collaborative Study of Medical Care Utilization." Publ. Hlth Papers(67).

36

Anda mungkin juga menyukai