Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat hikmat dan rahmat-
Nya sehinggapenulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul Pengantar Kebijakan
Kesehatan dengan baik. Disampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih belum sempurna,
oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................................................1
A. Latar Belakang.....................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................................2
C. Tujuan..................................................................................................................................2
D. Manfaat...............................................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................................3
PENGANTAR KEBIJAKAN KESEHATAN..........................................................................................3
A. Nilai dan Kedudukan Kesehatan...........................................................................................3
1. Nilai Kesehatan............................................................................................................3
2. Kedudukan Kesehatan..................................................................................................4
B. Kebijakan Publik...................................................................................................................9
C. Kebijakan Kesehatan..........................................................................................................13
BAB III........................................................................................................................................32
PENUTUP...................................................................................................................................32
A. Kesimpulan........................................................................................................................32
B. Saran..................................................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................33
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan anugerah yang sangat berharga dan tidak dapat diukur
dengan apapun. Oleh sebab itu tindakan yang paling tepat adalah mencegah
timbulnya ancaman terhadap kesehatan baik yang berasal dari diri sendiri, orang
lain, atau lingkungan.
Jika kita ingin memberi nilai secara matematis maka tubuh kita
sesungguhnya memiliki nilai yang sangat berharga Dr. Harold J.M. dalam Journal
of Hospital Practice pernah menghitung harga tubuh kita berdasarkan analisis unsur
kimia yang membangunnya. Awalnya beliau hanya menghargainya 98 sen AS.
Tetapi seiring dengan kemajuan teknologi analisis dengan ditemukannya suatu
1
hormon pada wanita yang disebut dengan FSH dan Prolaktin, maka manusia yang
beratnya 60 kg dinilai dengan harga 6.000.000. dolar AS ( ENAM JUTA DOLAR).
Bagaimanakah nilai dan kedudukan serta kaitan antara kebijakan publik dan
kebijakan kesehatan?
C. Tujuan
2
BAB II
B. Kebijakan Publik
Defenisi kebijakan publik adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan bersama
yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya. Setiap pelanggaran akan
diberi sanksi sesuai deng bobot pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi
dijatuhkan di depan masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan
sanksi (Nugroho 2003). Kebijakan publik pada dasarnya adalah suatu keputusan
yang dimaksud untuk mengatasi permasalahan tertentu, untuk melakukan kegiatar
tertentu, atau untuk mencapai tujuan tertentu, yang dilakukan oleh lembaga
pemerintah yang berwenang dalarn rangka penyelenggaraan tuga: pemerintahan
negara dan pembangunan bangsa.
Batasan tentang kebijakan publik diberikan oleh Thomas R. Dye (1975), dalam
Winarno (2007), yang mengatakan bahwa “kebijakan publik adalah apa pun yang
dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever governments
choose to do or not to do) ”. Seorang ahli lainnya, Crimson (2009) , menyatakan
kebijakan merupakan sebuah konsep, bukan fenomena spesifik maupun konkret,
sehingga pendefinisiannya akan menghadapi banyak kendala atau dengan kata lain
tidak mudah. Selanjutnya Crimson juga membenarkan bahwa kebijakan akan jauh
lebih bermanfaat apabila dilihat sebagai petunjuk untuk bertindak atau serangkaian
keputusan atau keputusan yang saling berhubungan satu sama lain. Definisi lainnya
kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh
pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi
9
kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan
tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan
sebaliknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti
ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus
bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Dye 1992).
Kebijakan publik/pemerintah merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih
saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang
dibuat oleh badan atau pejabat pemerintah (Dunn 2015). Kebijakan
publik/pemerintah merupakan keputusan politik yang dikembangkan oleh badan dan
pejabat pemerintah. Kebijakan tersebut dirumuskan oleh “otoritas” dalam sistem
politik yaitu para senior, kepala tertinggi, eksekutif, legislatif, para hakim,
administrator, penasehat raja, dan sebagainya (Easton 1965).
Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah,
seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan, clan keamanan
(militer), serta fasilitas-fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik) (Suharto, 2005).
Beberapa konsep kunci yang dapat digunakan untuk memahami kebijakan publik
sebagaimana yang dikemukakan oleh Young dan Quinn dalam Dye (1975), dalam
Winarno (2007) antara lain:
1. Kebijakan publik adalah tindakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh
badan pemerintah dan perwakilan lembaga pemerintah yang memiliki
kewenangan hukum, politis, dan fmansial untuk melakukannya
2. Kebijakan publik merupakan sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah
dunia nyata. Kebijakan publik berupaya merespons masalah atau kebutuhan
konkret yang berkembang di masyarakat.oleh karena itu, pada umumnya
kebijakan publik merupakan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah
sosial.
3. Merupakan seperangkat tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kebijakan
publik biasanya bukanlah keputusan tunggal, melainkan terdiri dari beberapa
pilihan tindakan atau strategi yang dibuat untuk mencapai tujuan trtentu demi
kepentingan orang banyak.
4. Juga merupakan sebuah keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Pengertian kebijakan publik di atas juga selaras dengan batasan yang
dikemukakan oleh Knoepfel et all (2007) dalam Solichin (2012); yaitu: “A series of
10
decisions or activities resulting from structured and recurrent interactions between
different actors, both public and private, who are involved in various diyferent ways
in the emergence, identification, and resolution of problem defined politically as a
public issues (serangkaian tindakan atau keputusan sebagai akibat dari interaksi
terstruktut clan berulang di antara berbagai aktor, pihak publik/ pemerintah, swasta,
privat yang terlibat berbagai cara merespons, mengidentiflkasi dan memecahkan
masalah yang secara politik didelinisikan sebagai masalah publik).
Kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang,
kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu, dengan ancaman dan
peluang yang ada, dimana kebijakan yang diusulkan tersebut ditujukan untuk
memanfaatkan potensi dan sekaligus mengatasi hambatan yang ada dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Definisi yang diberikan oleh Carl Friedrich menyangkut
dimensi yang luas karena tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang dilaukan oleh
pemerintah , tetapi juga oleh kelompok maupun oleh individu (Friedrich 1940).
Seorang analis kebijakan R.S Parker (1975) menyatakan bahwa kebijakan
publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang
dilaksanakan pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan suatu
obyek atau sebagai respon terhadap suatu keadaan yang krisis.
Sebagai suatu peraturan, kebijakan publik mempunyai karakteristik yang satu
dengan lainnya saling mendukung. Karakteristik dimaksud adalah:
1. Kebijakan bersifat ganda (berantai), tidak berdiri sendiri secara tunggal.
2. Kebijakan yang satu terkait dengan kebijakan yang lain yang merupakan mata
rantai berkesinambungan.
3. Kebijakan harus didukung oleh suatu sistem. Kegagalan suatu sistem politik
akan berpengaruh terhadap suatu kebijakan pemerintah.
4. Kebijakan harus dapat mengubah atau mempengaruhi suatu keadaan yang
almost possible menjadi possible. Kebijakan harus dapat mengubah yang hampir
mungkin menjadi mungkin.
5. Kebijakan yang baik harus didukung dengan informasi yang lengkap dan akurat.
Informasi yang tidak lengkap dan akurat akan mengakibatkan salah pandang dan
salah penafsiran dalam mengaplikasikan suatu kebijakan.
Dari beberapa pendapat yang disampaikan oleh berbagai pakar maka peneliti
dapat mengambil kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah sebuah kebijakan yang
diambil oleh pengambil keputusan (dalam hal ini adalah pejabat negara atau pejabat
11
pemerintahan) dalam kaitannya dengan mengatasi problem yang ada di tengah-
tengah masyarakat yang tentunya dengan menggunakan tahapan, matode dan cara-
cara tertentu (Parker, Udell et al. 1996).
Anderson (Anderson 1984) mengartikan kebijakan publik sebagai serangkaian
tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh pelaku
atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu. Lebih lanjut dikatakan
Anderson ada elemen-elemen penting yang terkandung dalam kebijakan publik
antara lain mencakup:
1. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu.
2. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah.
3. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan
apa yang bermaksud akan dilakukan.
4. Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai
suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk
tidak melakukan sesuatu).
5. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan
tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif).
Menurut Dunn (Dunn and Holzner 1988) beberapa karakteristik masalah pokok
dari masalah kebijakan, adalah :
1. Interdepensi (saling ketergantungan)
Interdepensi yaitu kebijakan suatu bidang seringkali mempengaruhi masalah
kebijakan lainnya. Kondisi ini menunjukkan adanya sistem masalah. Sistem
masalah ini membutuhkan pendekatan holistik, satu masalah dengan yang lain
tidak dapat di pisahkan dan diukur sendirian.
2. Subjektif
Subjektif yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah diindentifikasi,
diklasifikasi dan dievaluasi secara selektif. Contoh: Populasi udara secara
objektif dapat diukur (data). Data ini menimbulkan penafsiran yang beragam
(Gangguan kesehatan, lingkungan, iklim, dll). Muncul situasi problematis,
bukan problem itu sendiri.
3. Artifisial
Artifisial yaitu pada saat diperlukan perubahan situasi problematis, sehingga
dapat menimbulkan masalah kebijakan.
4. Dinamis
12
Dinamis yaitu masalah dan pemecahannya berada pada suasana perubahan yang
terus menerus. Pemecahan masalah justru dapat memunculkan masalah baru,
yang membutuhkan pemecahan masalah lanjutan.
5. Tidak terduga
Tidak terduga yaitu masalah yang muncul di luar jangkauan kebijakan dan
sistem masalah kebijakan.
13
Merupakan kebijakan tentang pemberian pelayanan-pelayanan atau keuntungan-
keuntungan bagi setiap individu. Contoh : Kebijakan subsidi BBM, Obat
generik.
3. Redistributive policies
Merupakan kebijakna-kebijakan yang sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk
pemindahan pengalokasian kekayaan, pendapatan, pemilikan-pemilikan atau
hak-hak di antara kelas-kelas dan kelompok penduduk. Misalnya : Antara
golongan penduduk ekonomi mampu dan tidak mampu (dibuatlah kebijakan
Kartu Indonesia Sehat, keluarga harapan).
Melihat berbagai pengertian mengenai kebijakan publik di atas, definisi tersebut
pun dapat diaplikasikan untuk memahami pengertian kebijakan kesehatan. Kebijakan
publik bertransformasi menjadi kebijakan kesehatan ketika pedoman yang
dntetapkan bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Namun begitu,
tidak mudah sebenarnya untuk mendefinisikan kebijakan kesehatan. Setidaknya
itulah yang dikemukakan oleh Walt (1994). ketika dalam sebuah pertemuan ia
menanyakan definisi kebijakan kesehatan kepada enam orang pakar kesehatan,
perencana kesehatan ataupun dokter. Seorang perencana dari Bank Dunia (World
Bank) dengan latar belakang ekonomi mengartikan kebijakan kesehatan sebagai
pengalokasian sumber daya yang terbatas di bidang kesehatan (allocation of scarce
resources). Sementara yang lainnya lebih melihat pada proses dan kekuasaan,
termasuk di dalamnya siapa memengaruhi siapa pada pembuatan kebijakan
kesehatan dan bagaimana kebijakan itu akhirnya terjadi”. Health policy is about the
process and the power. It is concerned with who influences whom in the making of
policy and how that happens. Perencana kesehatan Uganda lebih fokus pada Upaya
memengaruhi determinan kesehatan untuk memperbaiki kesehatan masyarakat.
Adapun seorang dokter dari Inggris lebih melihatnya sebagai kebijakan formal
pemerintah untuk pelayanan kesehatan. Pandangan menarik dikemukakan oleh
praktisi bidang kesehatan yang memaknai kebijakan kesehatan sebagai politik
kesehatan, mengacu pada kata politica dalam bahasa Brazil yang berarti sama untuk
kebijakan atau politik (policy or politic).
Walt (1994) mencoba merangkum pengertian-pengertian di atas dalam
pemaknaan yang lebih luas. Kebijakan kesehatan melingkupi berbagai upaya dan
tindakan pengambilan keputusan yang meliputi aspek teknis medis dan pelayanan
kesehatan, serta keterlibatan pelaku/aktor baik pada skala individu maupun
14
organisasi atau institusi dari pemerintah, swasta, LSM dan representasi masyarakat
lainnya yang membawa dampak pada kesehatan,
Health policy embraces courses of action that affect the set of institutions,
organization services, and funding arrangements of the health care system. It goes
beyond health services, however, it includes actions or intended actions by public,
private, and voluntary organizations that have an impact on health (Walt 1994).
Secara sederhana, kebijakan kesehatan dipahami persis sebagai kebijaakan
publik yang berlaku untuk bidang kesehatan. Urgensi kebijakan kesehatan sebagai
bagian dari kebijakan publik semakin menguat mengingat karekteristik unik yang
ada pada sektor kesehatan sebagai berikut :
1. Sektor kesehatan amat kompleks karena menyangkut hajat hidup orang banyak
dan kepentingan masyarakat luas. Dengan perkataan lain, kesehatan menjadi hak
dasar setiap individu yang membutuhkannya secara adil dan setara. Artinya,
setiap individu tanpa terkecuali berhak mendapatkan akses dan pelayanan
kesehatan yang layak apa pun kondisi dan status finansialnya.
2. Consumer ignorance, keawaman masyarakat membuat posisi dan relasi
“masyarakattenaga medis” menjadi tidak sejajar dan cenderung berpola
paternalistik. Artinya masyarakat, atau dalam hal ini pasien, tidak memiliki
posisi tawar yang baik, bahkan hampir tanpa daya tawar ataupun daya pilih.
3. Kesehatan memiliki sifat uncertainty atau ketidakpastian. Kebutuhan akan
pelayanan kesehatan sama sekali tidak berkait dengan kemampuan ekonomi
rakyat. Siapa pun ia baik dari kalangan berpunya maupun miskin papa ketika
jatuh sakit tentu akan membutuhkan pelayanan kesehatan. Ditambah lagi,
seseorang tidak akan pernah tahu kapan ia akan sakit dan berapa biaya yang
akan ia keluarkan. Di sinilah pemerintah harus berperan untuk menjamin setiap
warga negara mendapatkan pelayanan kesehatan ketika membutuhkan, terutama
bagi masyarakat miskin. Kewajiban ini tentu bukan hal yang ringan dengan
mengingat ungkapan seorang ahli ekonomi sosial dan kesehatan Gunnar Myrdal
(Myrdal 1970); “People become sick because they are poor, and become poorer
because they are sick, and become sicker because they are poorer” (orang
menjadi sakit karena mereka miskin, dan mereka bertambah miskin karena
mereka sakit serta menjadi lebih sakit karena mereka lebih miskin).
4. Karakteristik lain dari sektor kesehatan adalah adanya eksternalitas, yaitu
keuntungan yang dinikmati atau kerugian yang diderita oleh sebagian
15
masyarakat karena tindakan kelompok masyarakat lainnya. Dalam hal
kesehatan, dapat berbentuk eksternalitas positif atau negatif. Sebagai contoh,
jika di suatu lingkungan rukun warga sebagian besar masyarakat tidak
menerapkan pola hidup sehat sehingga terdapat sarang nyamuk Aides aigepty,
maka dampaknya kemungkinan tidak hanya mengenai sebagian masyarakat
tersebut saja melainkan diderita pula oleh kelompok masyarakat lain yang telah
menerapkan perilaku hidup bersih.
Dengan karakteristik kesehatan tersebut, pemerintah wajib membuat kebijakan
mengenai sektor kesehatan dengan tujuan meningkatkan derajat kesehatan bagi
setiap warga negara. Secara lebih rinci WHO membedakan peran negara dan
pemerintah sebagai pelaksana di bidang kesehatan, yaitu sebagai pengarah
(stewardship atau oversight), regulator (yang melaksanakan kegiatan regulasi,
ibaratnya fungsi sebagai wasit), dan yang dikenakan regulasi (pemain). Fungsi
stewardship atau oversight ini terdiri dari tiga aspek utama:
1. Menetapkan, melaksanakan, dan memantau aturan main dalam sistem
kesehatan.
2. Menjamin keseimbangan antara berbagai pelaku utama (key player) dalam
sektor kesehatan (terutama pembayar, penyedia pelayanan, dan pasien).
3. Menetapkan perencanaan strategik bagi seluruh sistem kesehatan.
Karena begitu strategis dan pentingya sektor kesehatan, WHO menetapkan
delapan elemen yang harus tercakup dan menentukan kualitas dari sebuah kebijakan
kesehatan, yaitu:
1. Pendekatan holistik, kesehatan sebaiknya didefmisikan sebagai sesuatu yang
dinamis dan lengkap dari dimensi fisik, mental, sosial, dan sprititual. Artinya,
pendekatan dalam kebijakan kesehatan tidak dapat semata-mata mengandalkan
upaya kuratif, tetapi harus lebih mempertimbangkan upaya preventif, promotif,
dan rehabilitatif.
2. Partisipatori, partisipasi masyarakat akan meningkatkan eflsiensi dan efektivitas
kebijakan, karena melalui partisipasi masyarakat dapat dibangun collective
action (aksi bersama masyarakat) yang akan menjadi kekuatan pendorong dalam
pengimplementasian kebijakan dan penyelesaian masalah.
3. Kebijakan publik yang sehat, yaitu setiap kebijakan harus diarahkan untuk
mendukung terciptanya pembangunan kesehatan yang kondusif dan berorientasi
kepada masyarakat.
16
4. Ekuitas, yaitu harus terdapat distribusi yang merata dari layanan kesehatan. Ini
berarti negara wajib menjamin pelayanan kesehatan setiap warga negara tanpa
memandang status ekonomi maupun status sosialnya karena kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan merupakan Peran negara yang paling minimal
dalam melindungi warga negaranya.
5. Eflsiensi, yaitu layanan kesehatan harus berorientasi proaktif dengan
mengoptimalkan biaya dan teknologi.
6. Kualitas, artinya pemerintah harus menyediakan pelayanan kesehatan yang
berkualitas bagi seluruh warga negara. Di samping itu, dalam menghadapi
persaingan pasar bebas dan menekan pengaruh globalisasi dalam sektor
kesehatan, pemerintah perlu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan setara
dengan pelayanan kesehatan bertaraf internasional.
7. Pemberdayaan masyarakat, terutama pada daerah terpencil, dan daerah
perbatasan untuk mengoptimalkan kapasitas sumber daya yang dimiliki.
Pemberdayaan ini dilakukan dengan mengoptimalkan social capital.
8. Self-reliant, kebijakan kesehatan yang ditetapkan sebisa mungkin dapat
memenuhi keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan kapasitas kesehatan di
wilayah sendiri. Pengembangan teknologi dan riset bertujuan untuk membantu
memberdayakan masyarakat dan otoritas nasional dalam mencapai standar
kesehatan yang ditetapkan di masingmasing negara.
Sebuah evaluasi telah dilakukan terhadap kualitas formulasi kebijakan publik di
dinas kesehatan (District Health) Inggris, untuk mengetahui apakah masih terdapat
kesenjangan atau kekurangan yang harus diperbaiki pada prosesnya. Riset dilakukan
dengan cara Process Documentary Research (PDR) atau proses dukumen riset
dilengkapi dengan teknis analisis/telaah dokumen, serta wawancara mendalam yang
dilakukan hingga 26 kali dan berlangsung hampir sepanjang tahun 2004 terhadap
para penentu kebijakan kunci di level pusat, unit farmasi dan kesehatan jiwa,
termasuk pula stakeholder dan pegawai lain dari departemen kesehatan, konsultan,
serta akademisi dan ahli kebijakan kesehatan, serta politisi.
Wawancara mendalam bertujuan menggali informasi tentang proses penetapan
kebijakan dari sisi aktor atau pelaku, ekspektasi mereka serta interaksi yang terjadi
antara stakeholder. Digali pula, pandangan dan preferensi mereka tentang proses
terbaik dalam formulasi kebijakan. Studi tersebut kemudian berakhir dengan
17
kesimpulan bahwa telah terjadi praktik formulasi kebijakan terbaik, karena alasan
sebagai berikut.
1. Pro aktif: proses pengembangan kebijakan berlangsung dengan memastikan
telah dilakukannya penilaian risiko (risk assessment), tidak sekadar reaktif
terhadap berbagai kritik yang dimuat di media massa.
2. Inklusif: selama ini, organisasi yang mewakili kepentingan pasien sedikit sekali
berperan dan dilibatkan untuk memengaruhi proses penetapan kebijakanpasien,
namun kini telah dlrasakan peran Penting mereka ehingga lebih banyak
melibatkan. Proses Pelibatan organisasi yang mewakili pasien dllakukan dengan
proses hearing dan menyebarluaskan rancangan kebijakan selama 12 pekan
untuk mendapat masukan dan respons dari masyarakat luas (Allsop, Jones et al.
2004, Baggott 2004).
3. Bekerja sama, cross cutting work. Proses penetapan kebijakan dilakukan dengan
melibatkan dan membangun kerja sama lintas sektor.
4. Berpandangan luas dan ke depan (Forward and outward looking): pembuat
kebijakan telah menggunakan pendekatan rencana skenario (scenario planning)
dan peramalan (forecasting) yang menunjukkan kemampuan forward looking,
adapun untuk mendapatkan gambaran out looking, mereka mengundang dan
meminta pandangan dari ahli statistik, ekonom, dan ahli lainnya.
5. Berbasis bukti (Evidence based): proses formulasi kebijakan dilakukan dengan
menghargai setiap data, mencari data dan menganalisisnya. Para pembuat
kebijakan secara berkala melakukan asesmen atau penilaian terhadap laporan
yang masuk sebagai upaya untuk menguatkan kebijakan berbasis bukti.
Perhatian terhadap pemanfaatan hasil riset dan data untuk penguatan kebijakan
publik bukan hal yang asing lagi, namun belum sangat menguat, meski sekarang
telah lebih besar porsinya (Oliver 2006). Oleh karena itu, serangkaian proses ini
dapat disebut sebagai best practice dalam pengembangan kebijakan. Selain juga
dilakukan proyek perintis (piloting) untuk mendapatkan gambaran kesesuaian
implementasi.
6. Ketetapan/ketentuan (Provision) untuk implementasi dan evaluasi: menyusun
rencana implementasi, untuk memastikan kesiapan dan meningkatkan tingkat
kepatuhan pelaksanaan dan menyiapkan rencana evaluasi berdasarkan indikator
untuk menetapkan apakah implementasi kebijakan bisa berlangsung dengan baik
atau tidak.
18
7. Akuntabel dan demokratis. Seluruh proses formulasi kebijakan berjalan secara
transparan dan merepresentasikan aspirasi seluruh pemangku kepentingan.
Aktor Kebijakan
Dari gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sebagai sebuah sistem, kebijakan
merupakan suatu rangkaian dari beberapa komponen yang saling terkait, dan
bukan komponen yang berdiri sendiri. Segitiga sistem kebijakan menjelaskan
adanya aktor kebijakan yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan
publik. Kesemuanya juga tidak luput dari pengaruh lingkungan kebijakan.
Ketiga komponen tersebut selanjutnya dikenal sebagai sistem kebijakan, yaitu
tatanan kelembagaan yang berperan dalam penyelenggaraan kebijakan publik
19
yang mengakomodasi aspek teknis, sosiopolitik maupun interaksi antara unsur
kebijakan.
Contoh yang menunjukkan interaksi antara ketiga komponen dalam sistem
kebijakan publik tersebut misalnya dapat dilihat dari kebijakanjaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), yaitu sebuah kebijakan pembiayaan
kesehatan yang ditujukan bagi masyarakat tidak mampu. Kebijakan ini dipicu
oleh lingkungan sosial dengan terus meningkatnya jumlah masyarakat miskin
sehingga jumlah pasien yang membutuhkan pelayanan kesehatan gratis pun
meningkat. Sementara itu, lingkungan politik yang berkembang turut
memengaruhi kebijakan ini. Tingginya desakan masyarakat bersama-sama
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
mendorong pemerintah untuk memberikan jaminan pembiayaan kesehatan
kepada masyarakat menengah ke bawah tersebut sehingga lahirlah kebijakan
Jamkesmas. Selain itu, desakan dari aktor lainnya, yaitu presiden, yang meminta
menteri kesehatan untuk segera menyelesaikan permasalahan angka kematian
ibu memicu terbentuknya kebijakan penjaminan persalinan (Jampersal) kelas III
di seluruh rumah sakit pemerintah dengan skema pembiayaan melalui
Jamkesmas. Penjelasan lebih lanjut tentang sistem dan komponen kebijakan
publik dikemukakan pula oleh William Dunn (2015) sebagai berikut.
a. Isi Kebijakan (Policy Content) Terdiri dari sejumlah daftar pilihan
keputusan tentang urusan publik (termasuk keputusan untuk tidak
melakukan tindakan apa-apa) yang dibuat oleh lembaga dan pejabat
pemerintah. Isi sebuah kebijakan merespons berbagai masalah publik
(public issues) yang mencakup berbagai bidang kehidupan mulai dari
pertahanan, keamanan, energi, kesehatan, pendidikan, ksejahteraan, dan
lain-lain. Secara umum isi kebijakan dituangkan dalam bentuk dokumen
tertulis yang memiliki standar isi sebagai berikut.
1) Pernyataan tujuan: mengapa kebijakan tersebut dibuat dan apa dampak
yang diharapkan
2) Ruang lingkup: menerangkan siapa saja yang tercakup dalam kebijakan
dan tindakan-tindakan apa yang dipengaruhi oleh kebijakan.
3) Durasi waktu yang efektif: mengindikasikan kapan kebijakan mulai
diberlakukan.
20
4) Bagian pertanggungjawaban: mengindikasikan siapa individu
atauorganisasi mana yang bertanggungjawab dalam melaksanakan
kebijakan.
5) Pernyataan kebijakan: mengindikasikan aturan-aturan khusus atau
modifikasi aturan terhadap perilaku organisasi yang membuat kebijakan
tersebut.
6) Latar belakang: mengindikasikan alasan dan sejarah pembuatan
kebijakan tersebut, yang kadang-kadang disebut sebagai faktorfaktor
motivasional.
7) Definisi: menyediakan secara jelas dan tidak ambigu mengenai definisi
bagi istilah dan konsep dalam dokumen kebijakan.
21
Gambar 2.2. Segitiga Kebijakan (Triangle ofHealth Policy) (Walt dan Gilson,
1994)
Segitiga kebijakan kesehatan merupakan sebuah representasi dari kesatuan
kompleksitas hubungan antar unsur-unsur kebijakan (konteql proses, konteks, dan
aktor) yang dalam interaksinya saling member; Pengaruh. Salah satu unsur dari
segitiga kebijakan, yaitu aktor-athr kebijakan (baik sebagai individu maupun
kelompok), misalnya, dipengauruhi oleh konteks di mana mereka bekerja atau
menjalankan perannya. Konteks merupakan “rekayasa” atau hasil interaksi
dinamis dari banyak faktor seperti ideologi atau kebijakan yang berubah-ubah,
sejarah, dan nilai-nnai budaya. Proses pengembangan kebijakanbagaimana sebuah
isu strategiS atau masalah publik diangkat dan menjadi penetapan agenda (agenda
setting) dalam formulasi kebijakan, bagaimana peran, posisi, dan pengaruh aktor-
aktor kebijakan serta nilai, ekspektasi atau kepentingan aktor-aktor tersebut
menjelaskan tentang konteks dalam segitiga kebijakan publik. Oleh karena itu,
segitiga kebijakan bermanfaat untuk dapat secara sistematis menganalisis dan
mengetahui tentang berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan.
Pemahaman tentang segitiga kebijakan seperti sebuah peta yang menunjukkan
“jalan besar tetapi tetap menunjukkan kontur, sungai-sungai, hutan, arah jalan,
dan tempat tinggal para penghuni di dalamnya” dari sebuah “rimba
pengembangan kebijakan publik” (Walt dan Gilson, 1994).
22
luas. Dengan begitu, tidak akan terjadi benturar kebijakan yang dapat
menyebabkan sebuah kebijakan tidak dapat dieksekusi.
a. Berdasarkan Sistem Politik Menurut konsep Trias Politica, hierarki dalam
kebijakan meliputi:
1) Kebijakan publik tertinggi yang dibuat oleh legislatif sebagai representat
dari publik, contoh pembuatan UUD.
2) Kebijakan publik yang dibuat dalam bentuk kerja sama antara legislatif
dengan eksekutif. Contohnya adalah peraturan daerah di tingk provinsi.
3) Kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, yaitu kebijakan yang dibuat untuk
melaksanakan kebijakan publik yang bersifat umum yang dibuat
legislatif (UUD) dan yang melalui kerja sama dengan eksekutif (UU).
Indonesia memiliki hierarki dasar hukum yang harus ditaati dan menjadi
landasan dalam penyusunan kebijakan publik di Indonesia, mengacu pada
UU No. 12 Tahun 2011 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan Republik Indonesia.
Tabel Produk Perundangan
Produk Uraian
Undang-Undang Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan
bersama presiden
Peraturan Pemerintah Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
Pengganti Undang- Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang
Undang memaksa
Peraturan Pemerintah Peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
presiden untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya
Peraturan Presiden Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh
Presiden
Peraturan Daerah Peraturan perundang-undangan yang disusun oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan
persetujuan bersama Kepala Daerah
23
provinsi yang berarti harus diimplementasikan pada seluruh pemerintahan
di provinsi terkait, kota/kabupaten serta level pemerintahan yang lebih
rendah berikutnya.
c. Berdasarkan Isi, Waktu, dan Prioritas Penetapan Kabijakan
Salah satu dasar dalam menentukan hierarki kebijakan dapat dibedakan
melalui isi dari kebijakan tersebut:
24
sebelum otonomi daerah ditiadakan pada periode setelahya mengakibatkan
tingginya kasus gizi buruk, AKI, AKB.
Aplikasi pemahaman dan konsep kebijakan publik, kebijakan kesehatan
dan penetapan hierarkinya berdasarkan sistem politik, wilayah geografis
serta isi, waktu dan prioritas dapat dilihat dari contoh implementasi
kebijakan kesehatan di beberapa negara dan di Indonesia.
29
Indonesia. Peraturan mekanisme perizinan dan pengawasannya suda
disiapkan. Hal ini perlu dicermati karena tanpa pengawasan yang memadai
akan membahayakan keselamatan dan kesehatan bangsa Indonesia
(Angkasawati and Laksmiarti 2014).
Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan tenaga kesehatan war
negara asing yang selanjutnya disingkat TK-WNA adalah warga negara
asing pemegang izin tinggal terbatas yang memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan dan bermaksud
bekerja atau berpraktik di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah
Indonesia.
Pendayagunaan TK-WNA dipertimbangkan sepanjang terdapat
hubungan bilateral antara negara Republik Indonesia dengan negara asal
TKWNA yang bersangkutan, dibuktikan dengan adanya hubungan
diplomatik dengan Indonesia. TK-WNA Pemberi Pelayanan harus memiliki
sertifikat kompetensi yang diperoleh sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 3, 4, dan 5 disebutkan bahwa TK-WNA hanya dapat
bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan tertentu atas permintaan pengguna
TK-WNA dan dilarang berpraktik secara mandiri, termasuk dalam rangka
kerja sosial; menduduki jabatan personalia dan jabatan tertentu sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; melaksanakan tugas dan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian, jabatan, fasilitas pelayanan
kesehatan, dan tempat atau wilayah kerja yang telah ditentukan dalam
IMTA. Bidang pekerjaan yang dapat ditempati TK-WNA meliputi: (a)
pemberi pelatihan dalam rangka alih teknologi dan ilmu pengetahuan, (b)
pemberi pelayanan.
Dalam Pasal 11-12 disebutkan pula bahwa TK-WNA Pemberi Pelayanan
hanya dapat bekerja di Rumah Sakit Kelas A dan Kelas B yang telah
terakreditasi serta fasilitas pelayanan kesehatan tertentu yang ditetapkan
oleh Menteri dan harus melakukan alih teknologi dan pengetahuan, harus
memiliki izin operasional tetap dan minimal telah berjalan 2 (dua) tahun.
Pasal 23 menyebutkan bahwa TK-WNA berhak mendapatkan perlindungan
hukum dalam melaksanakan pekerjaan yang sesuai standar profesinya
sesuai dengan peraturan perundangan. Sebagai konsekuensinya, dalam
Pasal 24, diatur bahwa TK-WNA berkewajiban menyampaikan laporan
30
kegiatan atau pekerjaan sesuai dengan kompetensinya secara periodik
kepada organisasi profesi dengan tembusan kepada Menteri, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.
Mekanisme pembinaan dan pengawasan yang diatur dalam Pasal 26
menyebutkan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan peraturan ini. Dalam rangka pembinaan dan
pengawasan, Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota sesuai dengan kewenangan masing-masing dapat
mengambil tindakan administratif. Dalam Pasal 27, tindakan administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat berupa (a) teguran
lisan, (b) teguran tertulis, atau (c) pencabutan izin, antara lain: izin fasilitas
pelayanan kesehatan, IMTA, dam/atau STR.
31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kesehatan memiliki nilai yang tinggi dalam kehidupan dan memeiliki
kedudukan yang penting berkaitan dengan Hak Asasi Manusia
2. Kebijakan publik adalah suatu “arahan” untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu sehingga menggerakkan seluruh sektor atau perangkat
pemerintahan dan menciptakan perubahan pada kehidupan yang terkena dampak
dari kebijakan tersebut. Kebijakan kesehatan memiliki karakteristik tersendiri
yang mengakomodasi keunikan sektor kesehatan antara lain adalah:
kompleksitasnya sebagai hak dasar, consumer ignorance, uncertainty, dan
eksternalitas yang tinggi. Sistem kebijakan (policy system) merupakan interaksi
dari tiga ha] antara lain kebijakan publik, pelaku kebijakan, dan lingkungan
kebijakan. Lahirnya suatu kebijakan dapat dipahami melalui telaah terhadap
ketiga unsur tersebut. Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan menggulirkan
Tujuh Reformasi Pembangunan Kesehatan yaitu: 1) revitalisasi pelayanan
kesehatan, 2) ketersediaan, distribusi, retensi, dan mutu sumber daya manusia,
3) ketersediaan, distribusi, keamanan, mutu, efektivitas, keterjangkauan obat,
vaksin, dan alat-alat kesehatan, 4) jaminan kesehatan, 5) keberpihakan kepada
Daerah Tertinggal Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) dan Daerah Bermasalah
Kesehatan (DBK), 6) reformasi birokrasi, dan 7) world class health care.
Hierarki kebijakan kesehatan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang seperti
sistem politik; wilayah geografis otoritas pembuat kebijakan; dan isi, waktu dan
prioritas penetapan kebijakan.
B. Saran
Analisis terhadap kebijakan kesehatan diperlukan terus menerus untuk
mendapatkan drajat kesehatan setinggi-tingginya.
32
DAFTAR PUSTAKA
Allsop, J., et al. (2004). "Health consumer groups in the UK: a new social movement?"
Sociology of health & illness 26(6): 737-756.
Baum, F. (2007). "Health for All Now! Reviving the spirit of Alma Ata in the twenty-
first century: An Introduction to the Alma Ata Declaration." Social Medicine
2(1): 34-41.
Callahan, D. (1973). "The WHO definition of'health'." Hastings Center Studies: 77-87.
Donnelly, J. (2013). Universal human rights in theory and practice, Cornell University
Press.
Easton, D. (1965). "A framework for policy analysis." AA Knopf, New York 110.
33
Friedrich, C. J. (1940). "Public policy and the nature of administrative responsibility."
Public: 3-24.
Fry, D. and A. Zask (2016). "Applying the Ottawa Charter to inform health promotion
programme design." Health promotion international: daw022.
Haskell, W. L., et al. (2009). "Physical activity: health outcomes and importance for
public health policy." Preventive medicine 49(4): 280-282.
Huber, M., et al. (2011). "How should we define health?" BMJ 343.
i Casasnovas, G. L., et al. (2005). Health and economic growth: findings and policy
implications, Mit Press.
Kesternich, I., et al. (2014). "The effects of World War II on economic and health
outcomes across Europe." Review of Economics and Statistics 96(1): 103-
118.
Lawn, J. E., et al. (2008). "Alma-Ata 30 years on: revolutionary, relevant, and time to
revitalise." The Lancet 372(9642): 917-927.
Lee, M.-S. (2015). "The principles and values of health promotion: building upon the
Ottawa charter and related WHO documents." Korean Journal of Health
Education and Promotion 32(4): 1-11.
Mak, W., et al. (2015). "Physical health needs, lifestyle choices, and quality of life
among people with mental illness in the community." Hong Kong Med J 21(6
Supplement 6).
Melchiorre, M. G., et al. (2013). "Social support, socio-economic status, health and
abuse among older people in seven European countries." PloS one 8(1):
e54856.
34
Navarro, V. (1984). "A critique of the ideological and political positions of the Willy
Brandt Report and the WHO Alma Ata Declaration." Social Science &
Medicine 18(6): 467-474.
Organization, W. H. (2001). The World Health Report 2001: Mental health: new
understanding, new hope, World Health Organization.
Parker, R. S., et al. (1996). "The new independent inventor: implications for corporate
policy." Review of Business 17(3): 7.
Prince, M., et al. (2007). "No health without mental health." The Lancet 370(9590):
859-877.
Saul, B., et al. (2014). The international covenant on economic, social and cultural
rights: commentary, cases, and materials, OUP Oxford.
35
Smith, J. P. (1999). "Healthy bodies and thick wallets: the dual relation between health
and economic status." The journal of economic perspectives: a journal of the
American Economic Association 13(2): 144.
Starfield, B. (1998). Primary care: balancing health needs, services, and technology,
Oxford University Press, USA.
Vatcharavongvan, P., et al. (2014). "What are the health needs, familial and social
problems of Thai migrants in a local community in Australia? A focus group
study." Journal of Immigrant and Minority Health 16(1): 143-149.
Walt, G. and L. Gilson (1994). "Reforming the health sector in developing countries:
the central role of policy analysis." Health policy and planning 9(4): 353-370.
White, K. L., et al. (1977). "Health services: concepts and information for national
planning and management. Experiences based on the WHO/International
Collaborative Study of Medical Care Utilization." Publ. Hlth Papers(67).
36