Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma bronkial merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat di hampir semua negara didunia, dengan derajat penyakit yang ringan sampai
berat, bahkan dapat mengancam nyawa seseoarang. Asma bronkial merupakan suatu keadaan
terjadinya penyempitan bronkus yang berulang tetapi reversibel, dan diantara episode
tersebut terdapat kedaan ventilasi yang normal ( Tumigolung G, dkk, 2016 ). Asma bronkial
dapat disebabkan oleh faktor keturunan, stress, perubahan cuaca dan kondisi lingkungan
kerja. Penyakit ini merupakan penyakit pada jalan nafas karena stimulus tertentu yang
menyerang trachea dan bronki. Asma Bronkial dapat menimbulkan masalah pada jalan nafas
dan dapat mengganggu aktivitas sehari hari (Syahputri, 2019).

Asma yang tidak ditangani dengan tepat dapat memicu terjadinya masalah medis, baik
secara fisik maupun psikis atau yang biasa disebut komplikasi. Komplikasi yang mungkin
terjadi yaitu, perubahan struktur saluranPernafasan (airway remodeling), komplikasi saluran
pernapasan, gangguan psikologis, obesitas, dan gangguan tidur. Data Word Health
Organization (WHO) tahun 2018, prevalensi Asma bronchial terus meningkat dalam tiga
tahun terakhir terutama dinegara maju. Pada tahun 2016, sebanyak 300 jiwa penduduk dunia
menderita penyakit asma dari berbagai golongan golongan umur dan ras. Pada tahun 2017
meningkat menjadi menjadi 350 jiwa dan tahun 2018 prevalensi asma meningkat menjadi
420 jiwa.

Menurut riskesdas 2013 umur 25 – 34 tahun mempunyai prevalensi asma bronkial


tertinggi yaitu sebesar 5, 7 %. Angka kejadian asma di Indonesia berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencapai 4,5%. Menurut Kementrian Kesehatan RI
tahun 2017 Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia dengan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit asma diperkirakan akan
meningkat sebesar 20% pada 10 tahun mendatang, jika tidak terkontrol dengan baik.

Riskesdas nasional tahun 2018 menyatakan bahwa angka kejadian asma di Sumatera
Barat adalah 2,7%.Data dari Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Padang (DKK) penyakit
asma termasuk ke dalam daftar 10 penyebab kematian terbanyak di kota Padang tahun 2016,
dengan angka kematian 11 orang perempuan dan 5 orang laki-laki, terlihat bahwa angka
kejadian asma di Indonesia khususnya di Sumatera Barat masih tinggi dan perlu mendapatkan
penanganan yang signifikan agar penderita asma mampu memiliki kualitas hidup yang baik.

Menurut data survei kasus pasien yang di diagnosa asma bronkial di ruang paru RSUP
Dr. M. Djamil.Padang sebanyak 72 orang dibulan januari hingga maret 2016. Sementara itu,
pada tahun 2016 data yang didapat dari ruangan rawat inap paru RSAM Bukittinggi, terdapat
103 pasien penderita asma bronkial. Angka kejadian ini menurun pada tahun 2017 menjadi 97
orang penderita asma bronkial yang dirawat di ruang paru. Kemudian terus meningkat pada
tahun 2018 menjadi 113 orang penderita asma bronchial yang dirawat di ruang paru. Pada
2019 penderita asma bronchial meningkat 20 % dan 2020 pasien dengan asma bronchial
tercatat sebanyak 98 orang. Pada 2021 tercatat selama bulan Januari pasien asma bronchial
sebanyak 8 orang (Rekam Medis RSUD Dr. Achmad Muchtar Bukittinggi ).

Menunjukkan betapa tingginya angka penderita penyakit Asma Bronkial,Di


karenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit asma, serta lingkungan
maupun polusi udara yang kotor dan factor keturunan, dimana seorang tenaga keperawatan
sangat perlu memberikan upaya-upaya kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif guna menekan jumlah penderita penyakit saluran pernapasan khususnya
Asma Bronkial, dan meningkatkan derajat kesehatan.

Berdasarkan data di atas, penulis tertarik untuk menyusun sebuah makalah dengan
judul “Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Asma Bronchial “.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang diangkat peneulis
adalah “Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien Asma Bronchial ”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mampu mendeskripsikan Asuhan


Keperawatan pasien Asma Bronchial.

2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan hasil pengkajian pada pasien Asma Bronchial.
b. Mendeskripsikan rumusan diagnosa keperawatan pada pasien Asma
Bronchial.
c. Mendeskripsikan rencana asuhan keperawatan pada pasien Asma
Bronchial.
d. Mendeskripsikan tindakan keperawatan pada pasien Asma Bronchial.
e. Mendeskripsikan evaluasi tindakan keperawatan pada pasien Asma
Bronchial.

D. Manfaat penelitian
1. Bagi penulis

Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan penulis terutama mengenai asuhan
keperawatan dgengan masalah asma bronchial.

2. Bagi tenaga kesehatan

Memberikan sumbangan pikiran dan digunakan sebagai referensi sehingga dapat


meningkatkan keilmuan pada pasien asma bronchial.

3. Bagi instansi

Dapat menjadi acuan dalam meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada pasien asma
bronchial.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Asma Bronchial


1. Pengertian
Asma bronchial adalah penyakit obstruksi saluran pernafasan akibat penyempitan
saluran nafas yang sifatnya reversibel (penyempitan dapat hilang dengan sendirinya) yang
ditandai oleh episode obstruksi pernafasan diantara dua interval asimtomatik (Djojodibroto,
2017).

Asma bronchial adalah penyakit radang/inflamasi kronik pada paru, karena adanya
penyumbatan saluran nafas (obstruksi) yang bersifat reversibel, peradangan pada jalan nafas,
dan peningkatan respon jalan nafas terhadap berbagai rangsangan hiperresponsivitas,
obstruksi pada saluran nafas bisa disebabkan oleh spasme/kontraksiotot polos bronkus,
oedema mukosa bronkus dan sekresi kelenjar bronkus meningkat (Putri & Sumarno, 2014).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan asma bronchial adalah


penyakit saluran pernafasan yang terjadi karena adanya penyempitan saluran nafas yang
mengakibatkan sesak nafas dimana fase inspirasi lebih pendek dari fase ekspirasi dan diikuti
oleh bunyi mengi (wheezing).

2. Etiologi

Suatu hal yang menonjol pada semua penderita asma bronchial adalah fenomena
hiperreaktivitas bronkus. Bronkus penderita asma bronchial sangat peka terhadap rangsangan
imunologi maupun non imunologi. Oleh karena sifat inilah, maka serangan asma bronchial
mudah terjadi ketika rangsangan baik fisik, metabolic, kimia, allergen, infeksi, dan
sebagainya. Penderita asma bronchial perlu mengetahui dan sedapat mungkin menghindari
rangsangan atau pencetus yang dapat menimbulkan asma bronchial ( Somantri, 2012 ).
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :

a. Alergen
Alergen addalah zat-zat tertentu yang bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan
serangan asma bronchial misalnya debu rumah, tungau debu rumah ( Dermatophagoides
pteronissynus), spora jamur bulu kucing, bulu binatang, beberapa makanan laut, dan
sebagainya.

b. Infeksi saluran pernapasan

Infeksi saluran pernapasan terutama disebabkan oleh virus. Virus influenza


merupakan salah satu faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronchial.
Diperkirakan, dua pertiga penderita asma bronchial dewasa serangan asmanya ditimbulkan
oleh infeksi saluran pernapasan.

c. Tekanan jiwa

Tekanan jiwa bukan penyebab asma bronchial tetapi pencetus asma bronchial, karena
banyak orang yang mendapat tekanan jiwa tetapi tidak menjadi penderita asma bronchial.
Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma bronchial pada orang yang sedikit labil
kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada wanita dan anak- anak. Menurut Tumigolung
tahun 2016, stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus asma bronchial pada
beberapa individu, selain itu juga bisa memperberat serangan asma bronchial yang sudah ada.
Salah satu respon terhadap stress adalah cemas.

Kecemasan merupakan bagian kehidupan sehari hari dan merupakan gejala yang
normal pada manusia. Bagi orang dengan penyesuaian yang baik, kecemasan dapat segera
diatasi dan ditanggulangi. Sedangkan bagi orang yang penyesuaiannya kurang baik, maka
kecemasan merupakan bagian terbesar dalam kehidupannya. Apabila penyesuaiannya tidak
tepat, akan timbul dampaknya terhadap kesehatan jasmani dan psikis. Stres dapat
mengantarkan pada seseoran pada tingkat kecemasan sehingga memicu dilepaskannya
histamine yang menyebabkan penyempitan saluran napas ditandai dengan sakit tenggorokan
dan sesak napas, yang akhirnya memicu terjadinya serangan asma bronchial ( Tumigolung G,
dkk, 2016 ).

d. Olahraga/ kegiatan jasmani yang berat

Sebagai penderita asma bronchial akan mendapat serangan asma bronchial bila
melakukan olahraga atau aktivitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda adalah dua
jenis kegiatan paling mudah menimbulkan serangan asma bronchial. Serangan asma
bronchial karena kegiatan jasmani terjadi setelah olahraga atau aktivitas fisik yang cukup
berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olahraga.

e. Obat – obatan
Beberapa klien dengan asma bronchial sensitive atau alergi terhadap obat tertentu
seperti penisilin, salisilat, beta blocker, kodein, dan sebaginya.

f. Polusi udara

Klen asma bronchial sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/ kendaraan,
asap rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran dan oksida fotokemikal, serta bau yang
tajam. Banyak studi menunjukkan bahwa peningkatan zat- zat tertentu dari gas gabungan
kendaraan memberikan efek negative pada klien asma bronchial. Dipercaya bahwa pada
pasien asma bronchial terjadi penurunan fungsi saluran napas pada pasien asma bronchial
ketika terpajar dengan polusi udara ( Clark, 2013 ).

g. Perubahan cuaca

Cuaca lembab dan hawa yang dingin sering mempengaruhi asma bronchial,
perubahan cuaca menjadi pemicu seranagn asma bronchial. Kadang serangan berhubungan
asma bronchial seperti : musim hujan, musim bunga, musim kemarau. Hal ini berhubungan
dengan angina, serbuk bunga, dan debu. Sudah sejak dari dahulu diketahui bahwa udara
dingin dan pendinginan saluran pernapasan yang ditimbulkan dapat merangsang ujung- ujung
serabut saraf setempat ujung –ujung saraf ini kemudian akan mengeluarkan berbagai
neuropeptida (Danusantoso, 2012).

h. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebag terjadinya asma bronchial, hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di pabrik kayu, polisi lalu
lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti ( Wahid, 2013 ).

3. Klasifikasi
Klasifikasi asma bronchial berdasarkan berat penyakit (Wijaya dan Putri, 2014) :
Tahap I : Intermitten
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
a. Gejala inermitten < 1 kali dalam seminggu
b. Gejala eksaserbasi singkat (mulai beberapa jam sampai beberapa hari)
c. Gejala serangan asma malam hari < 2 kali dalam sebulan
d. Asimptomatis dan nilai fungsi paru normal diantara periode eksaserbasi
e. PEF atau FEV1 :≥ 80% dari prediksiVariabilitas < 20%
Pemakaian obat untuk mempertahankan kontrol : Obat untuk mengurangi gejala
intermitten dipakai hanya kapan perlu inhalasi jangka pendek β2 agonis
Intensitas pengobatan tergantung pada derajat eksaserbasi kortikosteroid oral
mungkin dibutuhkan.
Tahap II : Persisten ringan
Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :
a. Gejala ≥ 1 kaliseminggu tetapi < 1 kali sehari
b. Gejala eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur
c. Gejala serangan asma malam hari > 2 kali dalam sebulan
d. PEF atau FEV1 :> 80 % dari prediksi Variabilitas 20-30%
Pemakaian obat harian untuk mempertahankan kontrol :Obat- obatan pengontrol serangan
harian mungkin perlu bronkodilator jangka panjang ditambah dengan obat-
obatan anti inflamasi (terutama untuk serangan asma malam hari.
Tahap III : Persisten sedang
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
a. Gejala harian
b. Gejala eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur
c. Gejala serangan asma malam hari > 1 kali seminggu
d. Pemakaian inhalasi jangka pendek β2 agonis setiap hari
e. PEV atay FEV1 :> 60% -< 80% dari prediksiVariabilitas > 30%
Pemakaian obat-obatan harian untuk mempertahankan kontrol :Obat-obatan pengontrol
serangan harian inhalasi kortikosteroid bronkodilatorjangka panjang (terutama untuk
serangan asma malam hari)
Tahap IV : Persisten berat
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
a. Gejala terus-menerus
b. Gejala eksaserbasi sering
c. Gejala serangan asma malam hari sering
d. Aktivitas fisik sangat terbatas oleh asma
e. PEF atau FEV1 : ≤ 60% dari prediksi Variabilitas > 30%

4. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis yang dapat ditemui pada pasien asma bronchial, yaitu : ( Padila 2015 )
a. Stadium Dini
Faktor hipersekresi yang lebih menonjol :
1. Batuk berdahak disertai atau tidak dengan pilek
2. Ronchi basah halus pada serangan kedua atau ketiga, sifatnya hilang timbul
3. Wheezing belum ada
4. Belum ada kelainan bentuk thorak
5. Ada peningkatan eosinofil darah dan IgE
6. BGA belum patologis
Faktor spasme bronchioles dan edema yang lebih dominan :
1. Timbul sesak napas dengan atau tanpa sputum
2. Wheezing
3. Ronchi basah bila terdapat hipersekresi
4. Penurunan tekanan parsial O2

b. Stadium lanjut/kronik
1. Batuk. Ronchi
2. Sesak napas berat dan dada seolah olah tertekan
3. Dahak lengket dan sulit dikeluarkan
4. Suara napas melemah bahkan tak terdengar (silent chest)
5. Thorak seperti barel chest
6. Tampak tarikan otot stenorkleidomastoideus
7. Sianosis
8. BGA Pa O2 kurang dari 80%
9. Terdapat peningkatan gambaran bronchovaskuler kiri dan kanan padarongen paru
10. Hipokapnea dan alkalosis bahkan asidosis respiratorik

5. Patofisiologi
Asma bronchial adalah obstruksi jalan nafas difus reversibel. Obstruksi disebabkan
oleh satu atau lebih dari konstraksi otot otot yang mengelilingi bronkhi, yang menyempitkan
jalan nafas, atau pembengkakan membran yang melapisi bronkhi, atau penghisap bronkhi
dengan mucus yang kental. Selain itu, otot otot bronchial dan kelenjar mukosa membesar,
sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara
terperangkap didalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini belum
diketahui, tetapi ada yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem
otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap
lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam
paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi,
menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin,
dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan
mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan nafas,
menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membaran mukosa dan pembentukan
mukusyang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempengaruhi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf
vagal melalui sistem parasimpatis, Asma idiopatik atau nonalergik, ketika ujung saraf pada
jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan
polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara
langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi
yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap
respon parasimpatis.
Selain itu, reseptor α-dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki.
Ketika reseptor α-adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi, bronkodilatasi terjadi
ketika reseptor β-adregenik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α-dan β-
adregenik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor
alfa mengakibatkan penurunan cAMP, mngarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor beta adrenergik mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyababkan
bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β-adrenergik terjadi pada
individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator
kimiawi dan konstriksi otot polos (Wijaya dan Putri, 2014).

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan sputum
Adanya badan kreola adalah karakteristik untuk serangan asma bronchial berat,
karena hanya reaksi yang hebat saja yang meneybabkan transudasi dari edema mukosa,
sehingga terlepaslah sekelompok sel- sel epitel dari perlekatannya. Pewarnaan gram penting
untuk melihat adanya bakteri, cara tersebut kemudian diikuti kultur dan uji resistensi
terhadap beberapa antibiotic (Muttaqin, 2010).
2. Pemeriksaan darah
Analisa gas darah pada umumnya normal tetapi dapat terjadi hipoksemia, hipercapnia
atau sianosis, Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH Hiponatremia dan
kadar leukosit kadang di atas 15.000/mm3 yang menandakan adanya infeksi. Pemeriksaan
alergi menunjukkan peningkatan Ig E pada waktu serangan dan menurun pada saat bebas
serangan asma bronchial (Wahid, 2013).
b. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflasi paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diagfragma yang menurun. Pada
penderita dengan komplikasi terdapat gambaran sebagai berikut (Wahid, 2013):
a. Bila disertai dengan bronchitis, makan bercak-bercak di hilus akan
bertambah
b. Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin bertambah
c. Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase paru
d. Dapat menimbulkan gambaran atelectasis paru
e. Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru.

2. Pemeriksaan tes kulit


Dilakukan untuk mencari faktor allergen yang dapat bereaksi positif pada asma
bronchial.
3. Elektrokardiografi
a. Terjadi right axis deviation
b. Adanya hipertropo otot jantung right bundle branch bock
c. Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES,VES atau terjadi depresi
segmen ST negatif
4. Scanning paru
Melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma
bronchial tidak menyeluruh pada paru- paru.
5. Spirometri
Menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara cepat diagnosis asma
bronchial adalah melihat respon pengobatan dangan bronkodilator. Pemeriksaan spirometry
dilakukan sebelum atau sesudah pemberian aerosol bronkodilator (inhaler dan nebulizer),
peningkatan FEVI atau FCV sebanyak lebih dari 20 % menunjukkan diagnosis asma
bronchial. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan ini
berfungsi untuk menegakkan diagnosis keperawatan, melihat berat obstruksi dan efek
pengobatan banyak penderita tanpa keluhan pada pemeriksaan ini menunjukkan adanya
obstruksi.

7.Penatalaksanaan
Menurut Kemenkes 2018 penatalaksanaan pada pasien asma bronkial yaitu:
a. Pengobatan Farmakologi
1. Agnosis beta: metaproterenol (alupent, metrapel). Bentuknya aerosol, bekerja sangat
cepat, diberikan sebanyak 3-4 × semprot, dan jarak antara semprotan pertama dan
kedua adalah 10 menit.
2. Metilxantin: aminofilin dan teofilin. Obat ini diberikan bila golongan beta agonis
tidak memberikan hasil yang memuaskan.
3. Kortikosteroid. Diberikan jika agonis beta dan metilxantin tidak memberikan respon
yang baik. Dosis 4 × semprot tiap hari. Pemberian steroid dalam jangka yang lama
harus diawasi dengan ketat
4. Kromolin dan Iprutropioum bromide (atroven).Kromolin merupakan obat pencegah
asma khususnya untuk anak-anak.
5. Terapi nebulizer

b. Non Farmakologi
Penatalaksanaan pada pasien asma menurut Putri & Sumarno (2013) dapat dilakukan
dengan terapi nebulizer dan batuk efektif.
1. Batuk efektif. Batuk efektif merupakan suatu metode batuk dengan benar, dimana
pasien dapat menghemat energy sehingga tidak mudah lelah dan dapat mengeluarkan
secret secara maksimal. Tujuan membantu membersihkan jalan nafas.Indikasi :
produksi sputum yang berlebih, pasien dengan batuk yang tidak efektif.
2. Menerapkan posisi semi fowler untuk memfasilitasi nafas dan ekspansi paru. Posisi
ini mengurangi kerja napas dan meningkatkan ekspansi paru.

8. Komplikasi
Dampak terjadinya asma bronchial adalah berbagai komplikasi menurut Kemenkes
2018 yang mungkin akan timbul adalah :
a. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai
bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps paru yang
lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
b. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari Bahasa yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum. Pertama
dijelaskan pada 1819 oleh Rene Lennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh trauma fisik atau
situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran udara atau usus ke dalam
rongga dada.
c. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan
saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernapasan yang sangat dangkal.
d. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan tersirat
oleh adanya gangguanpernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat menimbulkan lesi pada
berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah Asperilosis dipakai untuk
menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
e. Gagal napas
Gagal napas dapat terjadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam paru-
paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam
sel-sel tubuh.
f. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam dari
saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak. Selain
bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita merasa perlu
batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan, atau merasa sulit
bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya lendir.
g. Fraktur iga

B.Konsep Asuhan Keperawatan


1.Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu
diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat
memberikan arah terhadap tindakan keperawatan, keberhasilan proses keperawatan
ditentukan oleh beberapa tahap, yaitu :
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, Bahasa yang digunakan, status
perkawinan,pendidikan, pekerjaan, golongan darah, tanggal masuk rumah sakit dan diagnosa
medis.
b. Keluhan Utama
Klien asma bronchial akan mengeluhkan sesak napas, bernafas terasa berat pada dada, dan
adanya kesulitan untuk bernapas.
c. Riwayat Penyakit Saat Ini
Klien dengan riwayat serangan asma bronchial dating mencari pertolongan dengan keluhan
sesak nafas yang hebat daan mendadak, dan berusaha untuk bernapas panjang kemudian
diikuti dengan suara tambahan mengi (wheezing), kelelahan, gangguan kesadaran, sianosis
dan perubahan tekanan darah.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya penyakit klien yang diderita pada masa-masa dahulu meliputi penyakit yang
berhubungan dengan sistem pernafasan seperti infeksi saluran pernafasan ata, sakit
tenggorokan, sinusitis, amandel dan polip hidung.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Pada klien dengan asma bronchial juga dikaji adanya riwayat penyakit yang sama pada
anggota keluarga klien.
f. Pengkajian Psiko-sosio-kultural
Kecemasan dan koping tidak efektif, status ekonomi yang berdampak pada asuhan kesehatan
dan perubahan mekanisme peran dalam keluarga serta faktor gangguan emosional yang bisa
menjadi pencetus terjadinya serangan asma bronchial.
g. Pola Tata Laksana Hidup Sehat
Gejala asma bronchial dapat membatasi klien dalam berprilaku hidup normal sehingga klien
dengan asma bronchial harus mengubah gaya hidupnya agar serangan asma bronchial tidak
muncul.
h. Pola Hubungan dan Peran
Gejala asma bronchial dapat mebatasi klien untuk menjalani kehidupannya secara
normal sehingga klien harus menyesuaikan kondisinya dengan hubungan dan peran klien.

i. Pola Persepsi dan Konsep Diri


Persepsi yang salah dapat menghambat respons kooperatif pada diri klien sehingga dapat
meningkatkan kemungkinan serangan asma bronchial yang berulang.
j. Pola Penanggulangan dan Stress
Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik pencetus serangan asma
bronchial sehingga diperlukan pengkajian penyebab dari asma bronchial.
k. Pola Sensorik dan Kognitif
Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep diri klien yang akan
mempengaruhi jumlah stressor sehingga kemungkinan serangan asma bronchial berulang pun
akan semakin tinggi.
l. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Kedekatan klien dengan apa yang diyakini di dunia ini dipercaya dapat meningkatkan
kekuatan jiwa klien sehingga dapat menjadi penanggulangan stress yang konstruktif.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum
Biasanya keadaan umum tampak lemah
Tanda Tanda Vital
Biasanya tekanan darah menurun, nafas sesak, nadi lemah dan cepat, suhu meningkat
dan distress pernafasan sianosis.
TB/BB
Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan
Kulit
Biasanya tampak pucat, sianosis dan turgor jelek
Kepala
Biasanya mengeluh sakit kepala
Mata
Tidak ada yang begitu spesifik
Hidung
Biasanya nafas cuping hidung
Mulut
Biasanya pucat sianosis, membrane mukosa kering, bibir kering, bibir kuning dan
pucat.
Telinga
Lihat secret, kebersihan, biasanya tidak ada spesifik pada kasus ini
Leher
Biasanya tidak terdapat pembesaran KGB dan kelenjar tiroid
Jantung
Inspeksi : biasanya ictus corddic tidak Nampak
Palpasi : biasanya ictus cordic kuat angkat
Perkusi : biasanya batas jantung tidaak melebar
Auskultasi : biasanya bunyi jantung I dan II murni
Paru Paru
Inspeksi : biasanya perkembangan dada keduanya simetris
Palpasi : biasanya fremitus raba kanan dan kiri sama
Perkusi : biasanya terdengar bunyi sonor
Auskultasi : Biasanya terdengar bunyi tambahan wheezing
Punggung
Tidak ada spesifik

Abdomen
Inspeksi : dinding perut cekung dari dada, lesi tidak ada
Auskultasi : biasanya terdengar bising usus
Perkusi : biasanya terdengar suara timpani
Palpasi : biasanya tidak ada nyeri tekan
Genetalia
Biasanya tidak ada gangguan.
Ekstremitas
Biasanya ditemukan kelemahan, penurunan aktivitas, sianosis ujung jari dan kaki.
Neurologis
Biasanya terdapat kelemahan otot, tanda reflex spesifik tidak ada.
Pemeriksaan Penunjang
Spinometri, pengukuran fungsi paru
Tes provokasi bronkus, dilakukan pada spinometri internal
Pemeriksaan laboratorium meliputi analisa gas darah, sputum, sel eosinophil,
pemeriksaan darah rutin dan kimia
Pemeriksaan radiologi
Diagnosa Keperawatan
Menurut diagnosis keperawatan SDKI, diagnosa keperawatan yang dapat diambil
pada pasien dengan asma bronchial adalah:
Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Hambatan upaya nafas
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Terganggunya difusi pertukaran O2
dan CO2 di alveolus
Defisit Nutrisi berhubungan dengan penurunan nafsu makan
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan antara suplai dan kebutuhan oksigen
(hipoksia) kelemahan.
Perfusi perifer tidak efektif berhubungan dengan suplai O2 ke sel dan jaringan
kurang

Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan kerja siliaris


Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian
Defisit pengetahuan pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan
Nyeri Akut berhubungan dengan agen picidera fisiologis.

Intervensi Keperawatan

N Diagnosa SLKI SIKI


Keperawatan
o
Kolaborasi
1. Kolaborasi
pemberian mukolitik
atau ekspektoran,
jika perlu
2. Pola nafas tidak Setelah dilakukan asuhan Manajemen jalan napas
efektif keperawatan selama Observasi
3×24 jam diharapkan 1. Monitor pola napas

N
o
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Intervensi

1.
Bersihan jalan
napas tidak efektif b.d spasme jalan nafas
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3×24 jam diharapkan bersihan jalan
napas meningkat dengan kriteria hasil :
Batuk efektif meningkat
Produksi sputum menurun
Mengi menurun 4.Wheezing menurun 5.Dispnea menurun 6.Ortopnea menurun
7.Sulit bicara menurun 8.Sianosis menurun 9.Gelisah menurun 10.Frekuensi napas
membaik
11.Pola napas membaik
Latihan batuk efektif Observasi
identifikasi kemampuan batuk
monitor adanya retensi sputum
monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
Terapeutik
Atur posisi semi fowler atau fowler
Pasang perlak dan bengkok di
pangkuan pasien
Buang sekret pada tempat sputum
Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu

2.
Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3×24 jam diharapkan
Manajemen jalan napas
Observasi
1. Monitor pola napas
pola napas membaik
dengan kriteria hasil : 1.Dispnea menurun 2.penggunaan otot bantu napas menurun
3.pemanjangan fase ekspirasi menurun
frekuensi napas membaik
kedalaman napas membaik
(frekuensi,kedalama
n, usaha napas)
Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling,mengi, wheezing,ronkhi kering)
Monitor sputum
(jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head- tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
Posisikan semi fowler atau fowler
Berikan minum hangat
Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,ekspek toran, mukolitik, jika perlu.

3.
Gangguan
pertukaran gas b.d terganggunya difusi pertukaran O2 dan CO2 di alveolus
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan 3×24 jam diharapkan gangguan pertukaran gas teratasi dengan kriteria :
tingkat kesadaran meningkat
dispnea menurun 3.bunyi napas tambahan
Terapi oksigen
Observasi
Monitor kecepatan aliran oksigen
Monitor posisi terapi alat oksigen
Monitor aliran
oksigen secara
periodic dan

menurun 4.pusing menurun


5.gelisah menurun 6.PCO2 membaik 7.PO2 membaik 8.Pola napas membaik
pastikan fraksi yang diberikan cukup
Monitor tanda tanda hipoventilasi
Memonitor efektifitas terapu oksigen (melihat hasil AGD)
Terapeutik
Bersihkan secret pada mulut, hidung dan trakea
Pertahankan kepatenan jalan napas
Gunakan perangkat oksigen sesuai
tingkat tingkat mobilitas pasien
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan keluarga pasien cara menggunakan oksigen dirumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemantauan dosis oksigen

4.
Defisit nutrisi b.d penurunan nafsu makan
Setelahdilakukan tindakan keperawatan 3×24 jam diharapkan status nutrisi membaik
dengan kriteria hasil :
Porsi makan yang dihabiskan meningkat
Membrane mukosa membaik
Pucat menurun
Kesulitan makan menurun
Pola makan membaik
Manajemen nutrisi
Observasi
Identifikasi status nutrisi
Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
Identifikasi makanan yang disukai
Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastric.
Terapeutik
1. Lakukan oral
hygiene sebelum

makan, jika perlu


Sajikan makanan secara menarik dan suhu sesuai
Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Berikan suplemen makanan, jika perlu.
Edukasi
Anjurkan posisi duduk, jika mampu
Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan ( mis. Pereda nyeri, antiemetic,
jika perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk mennetukan jumlah kalori dan jenis nutrient
yang
dibutuhkan, jika perlu.

5.
Intoleransi aktivitas b.d antara suplai dan kebutuhan oksigen ( hipoksia) kelemahan
Setelahdilakukan tindakan keperawatan 3×24 jam diharapkan intoleransi
aktivitas
meningkat dengan kriteria hasil : 1.Kemudahan dalam
melakukan kegiatan sehari hari meningkat 2.Keluhan lelah menurun 3.Dispnea
saat beraktivitas menurun
Manajemen energi
Observasi :
Identifikasi gangguan fungsi
tubuh yang
mengakibatkan kelelahan
Monitor kelelahan fisik dan emosional
Monitor pola dan jam tidur
Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selamamelakukan aktivitas
Terapeutik

pola napas membaik


dengan kriteria hasil : 1.Dispnea menurun 2.penggunaan otot bantu napas menurun
3.pemanjangan fase ekspirasi menurun
frekuensi napas membaik
kedalaman napas membaik
(frekuensi,kedalama
n, usaha napas)
Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling,mengi, wheezing,ronkhi kering)
Monitor sputum
(jumlah, warna, aroma)
Terapeutik
Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head- tilt dan
chin-lift (jaw-thrust jika curiga trauma servikal)
Posisikan semi fowler atau fowler
Berikan minum hangat
Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
Edukasi
Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak
kontraindikasi
Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian bronkodilator,ekspek toran, mukolitik, jika perlu.

3.
Gangguan
pertukaran gas b.d terganggunya difusi pertukaran O2 dan CO2 di alveolus
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan 3×24 jam diharapkan gangguan pertukaran gas teratasi dengan kriteria :
tingkat kesadaran meningkat
dispnea menurun 3.bunyi napas tambahan
Terapi oksigen
Observasi
Monitor kecepatan aliran oksigen
Monitor posisi terapi alat oksigen
Monitor aliran
oksigen secara
periodic dan

Anda mungkin juga menyukai