Anda di halaman 1dari 4

Kerusuhan Mei 1998, Sejarah Kelam Pelanggaran HAM di

Indonesia
Reporter
Tempo.co
Editor
S. Dian Andryanto
Jumat, 14 Mei 2021 07:36 WIB

Massa membalik dan membakar mobil pada kerusuhan tanggal 14 mei 1998 di jalan hasyim
ashari, Jakarta [ Bodhi Chandra/ DR; 20000422 ].

TEMPO.CO, Jakarta - Kerusuhan Mei 1998 jadi sejarah kelam bagi bangsa
Indonesia, pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM secara besar-besaran terjadi di
kala itu. Satu di antaranya yaitu Tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa
Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, sehari setelahnya, 13 Mei sampai 15 Mei 1998
menyusul peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM lainnya yang dikenal dengan
Kerusuhan Mei 1998.

Pada rentang 13-15 Mei, 23 tahun silam, Indonesia bergejolak


akibat kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa di sejumlah kota, antara lain Jakarta,
Medan, Palembang, Solo, Surabaya serta beberapa kota lainnya. Koordinator
Investigasi dan Pendataan Tim Relawan, Sri Palupi pernah menganalisis peristiwa
rusuh tersebut dan mendapat kesimpulan bahwa Kerusuhan Mei 1998 disebabkan oleh
sentimen anti-Tionghoa yang telah lama berlangsung yang kemudian dimanfaatkan
untuk memicu kericuhan akibat krisis moneter.

Saat itu beredar tuduhan bahwa etnis Tionghoa penyebab krisis moneter, provokasi
tersebut disebarkan oleh beberapa jenderal yang tidak memiliki hubungan dengan
perekonomian. Tuduhan tersebut didasarkan pada informasi palsu bahwa etnis
Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar negeri dan sengaja menimbun sembako
sehingga rakyat Indonesia kelaparan dan sengsara. Apalagi jika dilihat secara materi,
perekonomian etnis Tionghoa yang stabil dan strategis, serta dinilai lebih sukses, hal
tersebut semakin memperkuat kebencian masyarakat pribumi terhadap keberadaan
etnis Tionghoa tersebut.

Kebencian dan kecurigaan seperti hawa pengap yang mengambang di udara,


ketegangan semakin menjadi ditambah dengan beredarnya desas-desus bahwa etnis
Tionghoa merupakan bagian dari rezim Soekarno yang menganut paham komunis
yang bertentangan dengan paham yang dianut masyarakat mayoritas. Sentimen
tersebut semakin memposisikan etnis Tionghoa sebagai dislike minority, yaitu kaum
minoritas yang tidak disukai, serta disisihkan.

Di Sidotopo, Surabaya, pada tanggal 14 Mei 1998, para perusuh menargetkan toko
dan rumah milik orang Tionghoa, menjarah harta benda dan membakar properti
mereka. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menemukan dua kasus pemerkosaan
dan empat kasus kekerasan seksual. Di hari yang sama, di Padang, Sumatra Barat,
sedikit sepuluh kantor, bank, dan ruang pamer rusak dilempari batu oleh perusuh yang
terdiri dari mahasiswa, perusakan tersebut mereka lakukan saat dalam perjalanan
menuju kantor DPRD Sumatera Barat.

Di Palembang, Sumatera Selatan, sepuluh toko milik etnis Tionghoa dan belasan lebih
mobil dibakar oleh perusuh, serta puluhan orang mengalami luka-luka terkena
lemparan batu oleh mahasiswa yang berunjuk rasa ke kantor DPRD Sumatera Selatan,
dalam peristiwa di Palembang tersebut, Tim Relawan untuk Kemanusiaan melaporkan
bahwa kekerasan seksual juga terjadi.

Pada 15 Mei 1998, pukul 14.20, ribuan perusuh dari Surakarta tiba di Boyolali,
mereka membakar pabrik, mobil dan rumah, serta menjarah toko di dekat pasar
Boyolali. Bank-bank bahkan terpaksa harus ditutup karena ancaman pembakaran
Bank Central Asia cabang Salatiga, perusuh juga memblokir jalan dari Semarang ke
Surakarta.

Amuk massa ini membuat para pemilik toko ketakutan dan memberikan keterangan di
depan toko mereka dengan tulisan “Milik pribumi” atau “Pro-reformasi” karena
penyerang hanya fokus ke etnis Tionghoa.
Kerusuhan Mei 1998 merupakan peristiwa memilukan bagi etnis Tionghoa di
Indonesia, toko-toko dan rumah mereka dijarah, dibakar dan bahkan dihancurkan.
Lebih dari itu, pelanggaran HAM berat terhadap wanita Tionghoa juga terjadi, mereka
diperkosa, dilecehkan, dianiaya dan dibunuh. Seorang Aktivis Relawan, Ita F. Nadia
menganalisis alasan wanita Tionghoa ditargetkan sebagai sasaran utama Kerusuhan
Mei 1998 adalah karena mereka lemah dan tidak dapat memberikan perlawanan.

Pemerkosaan secara biadab terhadap wanita Tionghoa oleh pelaku rusuh Mei 1998
dilakukan dengan cara gang rape, dimana korban diperkosa ramai-ramai secara
bergantian dalam waktu bersamaan. Ironisnya, selain dilakukan di rumah korban,
pemerkosaan juga dilakukan di tempat-tempat umum, tidak peduli bahkan di depan
orang lain.

Para perusuh tidak pandang bulu terhadap korban, mereka menyekap wanita Tionghoa
yang mereka temukan baik di jalan dan di rumah, hingga di transportasi seperti taksi,
angkot, maupun bus. Selain diperkosa, wanita Tionghoa yang mereka tangkap
kemudian disiksa, dilecehkan, dianiaya, bahkan dibunuh.

Kejadian tersebut menyisakan bekas trauma psikis yang amat berat bagi korban yang
masih hidup, beberapa di antaranya bahkan memiliki mengakhiri hidup karena tidak
sanggup menanggung beban trauma, ada yang menjadi gila, diusir oleh keluarga, serta
menghilangkan diri keluar negeri dengan mengganti identitas.

Salah satu korban pemerkosaan, Ita Martadinata Haryono yang telah bergabung
sebagai anggota Tim Relawan bahkan dibunuh secara keji pada 9 Oktober 1998. Ita
tewas di rumahnya sesaat sebelum kepergiannya ke Amerika Serikat sebagai saksi
Pembela HAM Internasional terkait kasus Kerusuhan Mei 1998 tersebut. Total korban
tewas dalam kerusuhan Mei 1998 adalah sekitar 1.188 orang, dan setidaknya 85
wanita dilaporkan mengalami pelecehan seksual.

HENDRIK KHOIRUL MUHID


Nama :
Kelas :

Pertanyaan :

1. Bagaimana tanggapan anda setelah membaca artikel tersebut?


2. Bagaimana kehidupan etnis Tionghoa paska kejadian 1998?
3. Menurut anda, siapa yang harus disalahkan atas kejadian 1998?
4. Dalam peristiwa tersebut banyak sekali korban yang berjatuhan dan bagaimana tanggung
jawab pemerintah atas banyaknya korban yang berjatuhan ?
5. Bagaimana penyelesaian dari kejadian peristiwa Mei 1998 tersebut?

Anda mungkin juga menyukai