Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Berpusat kepada Manusia


Secara umum makna pembangunan adalah setiap usaha mewujudkan
hidup yang lebih baik sebagaimana yang didefinisikan oleh suatu negara “an
increasing attainment of one’s own cultural values” (Tjokrowinoto, 1996).
Pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok: pertama, masalah materi
yang mau dihasilkan serta dibagi, dan kedua, masalah manusia yang menjadi
pengambil inisiatif, yang menjadi manusia pembangun. Pembangunan pada
akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia; manusia yang dibangun
adalah manusia yang kreatif, dan untuk bisa kreatif ini manusia harus merasa
bahagia, aman, dan bebas dari rasa takut. Pembangunan tidak hanya berurusan
dengan produksi dan distribusi barang-barang material; pembangunan harus
menciptakan kondisi-kondisi manusia bisa mengembangkan kreativitasnya
(Budiman, 1995: 13-14).
Teori pembangunan berpusat pada manusia (PBM) atau people centered
development dari David C Korten dan Rudi Klauss (1984) mendefinisikan
berpusat pada manusia sebagai pendekatan yang mementingkan inisiatif dan
kreatif dari masyarakat sebagai sumber utama pembangunan dan yang
menekankan kesejahteraan material, serta spiritual masyarakat sebagai Tujuan
dari proses pembangunan.
Tabel 2.xx perbedaan model-model pembangunan terdahulu

Korten sendiri menyebut bahwa dalam model pembangunan yang berpusat


pada manusia, harus ditekankan pada pendekatan pengelolaan sumber yang
bertumpu pada komunitas, ciri-cirinya adalah : (1) Secara bertahap prakarsa
dan proses pengambilan keputusan, untuk memenuhi kebutuhan harus
diletakkan pada masyarakat sendiri; (2) Kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan memobilisasi sumber-sumber yang ada, harus ditingkatkan
untuk memenuhi kebutuhan mereka; (3) Memperhatikan variasi lokal, karena
itu sifatnya amat fleksibel, menyesuaikan dengan kondisi lokal; (4)
Menekankan social learning antara birokrasi dan komunitas mulai dari proses
perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri pada saling
belajar; (5) Membentuk jaringan (networking) antara birokrat dengan lembaga
swadaya masyarakat maupun satuan-satuan organisasi tradisional yang
mandiri. Melalui proses networking ini diharapkan terjadi simbiose antara
struktur-struktur pembangunan di tingkat lokal.

2.2 Teori Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga dimensi penting yakni,
ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi, antara lain
berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi
kemiskinan, serta mengubah pola produksi dan konsumsi yang seimbang.
Dimensi sosial bersangkutan dengan upaya pemecahan masalah
kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas,
pendidikan dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan, diantaranya mengenai
upaya pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah,
serta konservasi atau preservasi semberdaya alam. Tujuan pembangunan
berkelanjutan terfokus pada ketiga dimensi, keberlanjutan laju pertumbuhan
ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan sosial
yang adil dan merata (social progress), serta keberlanjutan ekologi dalam tata
kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance).
Munasinghe (1992) menggambarkan ketiga aspek penopang pembangunan
berkelanjutan tersebut dalam suatu segitiga Mobius yang disajikan pada
Gambar 2.xx. Keberlanjutan ekonomi, yaitu untuk memaksimumkan aliran
pendapatan yang dapat dibangkitkan dalam pengelolaan dari stok modal yang
menghasilkan output yang menguntungkan. Sementara itu, keberlanjutan
lingkungan memfokuskan kepada segala sesuatu tentang kelangsungan hidup
dan berfungsinya sistem alam secara normal (Munasinghe 2004).

EKONOMI

 Pertumbuhan
 Efisiensi
 Stabilitas

 Penurunan Kemiskinan
 Keberlanjutan LINGKUNGAN
SOSIAL  Keadilan  Keliatan/
 Pemberdayaan  Perubahan Iklim Keanekaragaman
 Inklusi  Sumber daya alam
 Konsultasi  Polusi

Gambar 2.xx Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan


Gambar 3.xx Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan

Prinsip-prinsip keberlanjutan ada tiga, yaitu : 1) dimensi pembangunan; 2)


dimensi keadilan; dan 3) prinsip-prinsip sistematik. Dimensi pembangunan
mencakup tiga hal, yaitu a) menghargai integritas ekologi dan warisan budaya
lingkungan manusia (dimensi lingkungan); b) pemuasaan terhadap kebutuhan
manusia melalui efisiensi pemanfaatan sumberdaya (dimensi ekonomi); dan c)
konservasi dan pengembangan manusia dan potensi sosial (dimensi sosial
budaya).

Dimensi keadilan mencakup tiga hal, yaitu keadilan sosial dan gender
(keadilan inter-personal), keadilan antarwilayah dan antarnegara (keadilan
spasial), dan keadilan antara generasi saat ini dan generasi mendatang
(keadilan antar waktu). Sementara prinsip-prinsip sistemik mencakup:
keanekaragaman, subsidiaritas, kemitraan, dan partisipasi. Dimensi
pembangunan ditopang oleh tiga aspek, yaitu aspek lingkungan, ekonomi dan
sosial, serta ketiganya saling terkait satu sama lain. Aspek lingkungan termasuk
di dalamnya perhatian yang sangat besar terhadap sistem ekologis yang
merupakan dasar dan prasyarat untuk semua kehidupan. Dimensi ekonomi
termasuk di dalamnya cara mengelola segala sesuatu sumberdaya langka.
Penggunaan sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan modal manusia yang
efisiensi merupakan prinsip dasar dari ekonomi. Sementara itu, aspek sosial
mungkin merupakan konsep yang paling kompleks dan sulit dicerna karena di
dalamnya terletak inti dari sistem nilai yang mengikat segmen yang berbeda
dan bahkan sering kali saling bersaing dalam suatu struktur tentang Tindakan
Bersama yang menghasilkan: 1) pemuasan dari kebutuhan sosial seperti
komunikasi, dukungan dan keamanan, cinta dan perhatian, pengakuan dan
perbedaan dan lain sebagainya; 2) menghormati bentuk yang berbeda dari
organisasi sosial dan sistem kepercayaan; dan 3) perhatian untuk menjamin
keadilan dan peluang yang sma dari seluruh anggota masyarakat. Dimensi
keadilan memegang peranan yang penting dalam pembangunan berkelanjutan.

Spangenberg (2004) menambahkan satu dimensi yakni kelembagaan.


Keempat dimensi tersebut membentuk Prisma Keberlanjutan. Keharusan
lingkungan menggambarkan kebutuhan untuk megurangi tekanan terhadap
lingkungan fisik dalam batas-batas sistem ekologi, sehingga hanya selama
ulamh sumber daya yang dimanfaatkan untuk mengasilkan kesejahteraan
terbatas pada ukuran dan kualitas yang terlalu terekploitasi berlebihan.
Keharusan ini didefisnisikan dalam sudut pandang antrosentris.

Pentingnya Kelembagaan
Memperkuat Partisipasi

Keadilan Demokrasi

Berbagi
Pentingnya Beban Pentingnya
Ekonomi Sosial
Meningkatkan Kepedulian Menjaga
Daya Saing Kohesi

Eko-efisiensi
Akses

Pentingnya Lingkungan
Batas Daya Dukung

Gambar 3.xx Prisma Keberlanjutan

Keharusan Klembagaan diperlukan untuk memperkuat masyarakat dalam tata


Kelola politik. Spangenberg (2004) menekankan bahwa dimensi kelembgaan
meliputi bukan hanya organisasi, melainka juga mekanisme dan orientasi.
Keharusan sosial adalah semua orang memiliki akses ke sumber daya dan
fasilitas yang dibutuhkan. Keharusan ekonomi adalah memenuhi kebutuhan
manusia untuk kesejahteraan.

3.3 Pengembangan Klaster


Theus dan Zeng (2012) menyatakan bahwa kebijakan berbasis klister
bertujuan untuk menghilangkan ketidaksempuranaan sistem inovasi dengan
memungkinkan mereka berfungsi lebih efisien dan menghindari kegagalan
koordinasi. Keuntungan dalam pengembangan berbasis klister di wilayah desa
antara lain adalah (Theus dan Zeng, 2012):
1. Peningkatan produktivitas (melalui input khusus, akses terhadap
informasi, sinergi dan akses terhadap barang publik).
2. Inivasi yang lebih cepat (melalui persaingan komperhensif dan persaingan
dalam klister) \.
3. Pembentukan bisnis baru, sebagai akibat dari persaingan, permintaan akan
layanan, dan daya Tarik investor; dinamika ini pada gilirannya memacu
inovasi.

Adanya klaster juga menimbulkan ekternalitas positif :

1. Akses infrastruktur dan sumberdaya manusia yang lebih baik dan efisien,
termasuk modal.
2. Pengurangan biaya. Biaya transaksi turun karena lokasi berdekatan,
termasuk loksasi layan public.
3. Akses terhadap informasi dan layanan. Adanya kluster memungkinkan
untuk adanya prose pertukaran informasi, memberi para anggota skses ke
pasar yang luas.
4. Menarik investasi asing untuk pertumbuhan ekonomi kedepannya.
5. Pengakuan dan pemasaran yang lebih baik.

Setiap klister yang beroperasi memiliki karakteristik umum (bergman dan


Feser 1999) :
1. Klister dikelola oleh pengusaha yang selanjutnya dibantu oleh apparat
pemerintah.
2. Dasara klister adalah Kerjasama dan persaingan.
3. Hubungan bersifat tetap antara perusahaan dan Lembaga administrasi
public.
4. Setiap anggota klister ememiliki kepentingan yang sama.
5. Anggota klister memiliki kesamaan teknologi, pelangan, saluran distribusi
atau pasar tenaga kerja dan modal manusia.
3.4 Prinsip Pembangunan Wilayah Desa
Prinsip prinsip pembangunan wilayah desa berdasarkan budhidarshono 2015
3.5 Daya Saing Wilayah
Pendekatan baru pembangunan wilayah desa menekankan pada pentingnya
daya saing, apalagi dalam era globalisasi. Sehingga daya saing wilayahnya
merupakan salah satu pilar pentingnya dalam pembangunan wilayah
perdesaan. Daya saing daerah didefinisikan sebagai kemampuan suatu
wilayah untuk meningkatkan pendapatan yang tinggi dan penghidupan
masyarakat yang ada dalam wilayah tersebut pada standar kehidupan yang
tinggi (Meyer-Stamer (2003). Sementara Huggins (2003) menyatakan bahwa
daya saing daerah yang sejati hanya terjadi ketika pertumbuhan berkelanjutan
dicapai pada tingkat tenaga kerja yang meningkatkan standar kehidupan.
Menurut Porter (2014), daya saing inilah yang merupakan salah satu faktor
pendorong berkembangnya suatu negara atau suatu wilayah. Secara rinci,
Porter menyebutkan bahwa arah baru pembangunan suatu negara atau suatu
wilayah ditentukan oleh beberapa hal, antara lain sebagai berikut:
1. Fokus pada daya saing, bukan penciptaan lapangan kerja. Berbasis klaster
sebagai pendorong utama penciptaan lapangan pekerjan dan upah raluasi
dali tkan selun pakan pa
2. Membangun kekuatan dan potensi yang ada.
3. Mengembangkan strategi pembangunan wilayah secara kesuluruhan,
bukan secara parsial.
4. Menyusun prioritas dan urutan strategi pembangunan, tidak memecahkan
semua permasalahan secara merata.
5. Pembangunan berbasis data dan pengetahuan, tidak politis atau
berdasarkan angan-angan.

Berdasarkan hal di atas, apabila mau membangun kawasan perdesaan agar


dapat berdaya saing harus memperhatikan hal-hal berikut:penggun alam p
Canaan P

1. Berbasis klaster.
2. Membangun kekuatan dan potensi yang ada sesuai dengan cara pandang
Appreciative Inquiry.
3. Mengembangkan strategi pembangunan kesuluruhan, serta menyusun
prioritas dan urutan strategi pembanguna, serta berbasis ilmu pengetahuan
(strategies-based developmen).

Michael Porter (1990) mendefinisikan klaster sebagai sekumpula. Secara


bidang tertentu yang berdekata perusahaan dan lembaga-lembaga terkait di
bidang secara geografis dan saling terkait karena "kebersamaan
komplementaritas" (Porter 1990). Selanjutnya, Poter (1998) (commonalitie) &
mendehniska klaster sebagai konsentrasi geografis perusahaan yarng saling
berhubungan lembaga-lembaga terkait (misalnya universitas, lembaga standar,
dan asosias pemasok, penyedia jasa, perusahaan-perusahaan di industri terkait,
juga bekerjasama berbagai lembaga da perdagangan) di bidang-bidang tertentu
yang bersaing (Porter 1998). Beberapa definisi tentang klaster dari ahli
sebagai berikut:

1. Enright (1992) mendefinisikan klaster sebagai perusahaan-perusahan yang


sejenis/sama atau yang saling berkaitan, dan berkumpul dalam s batasan
geografis tertentu.
2. Cooke dan Huggins (2002) mendefinisikan klaster sebagai sekumpula
perusahaan yang secara geografis berdekatan dan mempunyai hubungan
secara vertikal dan horizontal perusahaan dalam hubungan yang
melibatkan perusahaan lokal yang mendukung infrastruktur yang memiliki
visi perkembangan bersama untuk pertumbuhan bisnis berdasarkan
kompetisi dan kerjasama di bidang pasar tertentu.
3. Menurut Gault (2002), mendefinisikan klaster sebagai kelompok lembag
swasta dan publik yang terkait untuk tujuan bersama.
4. United Nations Industrial Development Organizations, UNIDO (2001)
mendefinisikan klaster sebagai konsentrasi perusahaan secara sektoral dan
geograhis yang memproduksi dan menjual berbagai produk terkait atau
saling melengkapi dan menghadapi tantangan dan peluang yang.
5. Andersson (2004) mendefinisikan klaster sebagai proses peru dan aktor-
aktor lain yang saling bekerjasama di dalam konsentrasi area geograhis,
bekerjasama dalam fungsional tertentu dan membangu serta aliansi yang
bekerja untuk meningkatkan daya saing perusahaathubungan, kolektif
mereka.
6. Kementerian Perindustrian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28
Tahun 2008 mendefinisikan klaster sebagai sekelompok industri inti yang
terkonsentrasi secara regional maupun global yang saling berhubungan
atau berinteraksi sosial secara dinamis, baik dengan industri terkait,
industri pendukung maupun jasa penunjang, infrastruktur ekonomi dan
lembaga terkait dalam meningkatkan efisiensi, serta menciptakan aset
secara kolektif dan mendorong terciptanya inovasi sehingga tercipta
keunggulan kompetitif.
7. Simmie dan Sennett (1999) mendefinisikan cluster inovatif sebagai
sejumlah besar perusahaan industri dan/atau jasa yang saling berhubungan
yang memiliki tingkat kolaborasi tinggi, biasanya melalui rantai pasokan,
dan beroperasi di bawah kondisi pasar yang sama.
8. Roelandt dan den Hertag (1999) menyatakan bahwa klaster dapat dicirikan
sebagai jaringan produsen perusahaan yang sangat saling bergantung
(termasuk pemasok khusus) yang saling terkait dalam rantai produksi yang
menambah nilai.
9. FPESD Provinsi Jawa Tengah mendefinisikan klaster sebagai sekumpulan
usaha atas produk barang/jasa tertentu dalam suatu wilayah yang
membentuk kerja sama dengan usaha pendukung dan usaha terkait untuk
menciptakan efisiensi kolektif berdasarkan kearifan lokal mencapai
kesejahteraan masyarakat. Definsi klaster dari FPESD Jawa Tengah karena
konsepnya sederhana, mudah diaplikasikan dan telah dilaksanakan oleh
Provinsi Jawa Tengah dengan hasil yang baik. Di Indonesia, klaster sering
kali disamakan dengan sentra produksi, padahal menurut konsep Porter
tentang klaster (Porterian Cluster) bahwa klaster bukan sentra, melainkan
suatu kegiatan dalam suatu rantai nilai vertikal (produksi, pengolahan, dan
pemasaran), dan atau rantai nilai horizontal (pengembangan komoditas
terpadu dengan komdositas lainnya, bahkan lintas sektor) dalam suatu
wilayah/kawasan.

Berdasarkan berbagai definsi di atas, dapat disusun definisi klaster sebagai


konsentrasi geografis dari perusahaan yang saling berhubungan, pemasok,
Penyedia layanan, dan lembaga-lembaga yang terkait dalam bidang tertentu
ang ada di suatu wilayah dalam suatu rantai pasok dan ingerasi rantai nilai
ertikal dan horizontal untuk meningkatkan daya saing produk dan wilayah.

ng bentuk ekonomi lainnya. Menurut Porter (2000), sebuah klaster


memungkinkan setiap perusahaan vang ada di dalamnya untuk mendapatkan
keuntungan seolah-olah memiliki skala yang lebih besar atau seolah-olah itu
telah bergabung dengan perusahaan lain tanpa mengorbankan leksibilitas.
Beberapa manfaat adanya klaster bagi perusahaan secara ekonomi sebagai
berikut: (1) klaster meningkatkan produktivitas perusahaan. Persaingan
modern tergantung pada produktivitas, bukan pada akses ke input atau skala
usaha individu. Produktivitas terletak pada bagaimana perusahaan bersaing,
bukan bersaing hanya pada bidang tertentu; dan (2) klaster mendorong dan
memacu inovasi yang menyokong pertumbuhan produktivitas.

KM

Konsep klaster adalah deskripsi modern tentang fenomena konsentrasí


aktívitas ekonomi yang telah lama diamati yang diyakini secara luas sebagaí
faktor penting bagi pembangunan ekonomi. Marshall (1890) telah
menggambarkan pada abad ke-19, keuntungan dari aglomerasi kegiatan
ekonomi dalam hal ketersediaan tenaga kerja dan spesialisasi yang
berkualitas. Demikian pula, Schumpeter (1939) mengacu pada "swarming"
atau klaster industri. Konsep klaster sangat luas dan terdiri dari perspektif dan
aspek yang berbeda yang tercakup dalam konsep lain yang telah ada sejak
lama. Penting untuk dicatat bahwa dalam kasus distrik industri, kutub
pertumbuhan, ruang industri baru,
Jenis-jenis daya saing di atas perdesaan menurut LEADER (1999) sebagai
berikut:
1. Daya saing sosial, yaitu kemampuan para pelaku pembangunan wilayah
perdesaan yang terlibat untuk bertindak Bersama secara efektif
berdasarkan konsepsi Bersama mengenai proyek tersebut, dan didorong
oleh kerja sama antara berbagai atas kelembagaan;
2. Daya saing lingkungan, yaitu kemampuan para pelaku pembangunan
wilayah perdesaan untuk memanfaatkan lingkungan mereka dengan
menjadikannya menjadi sesuatu yang unit atau khas diwilayah mereka,
sementara pada saat yang sama memastikan bahwa seumberdaya alam
dan warisan mereka dipelihara dan direvitalisasi;
3. Daya saing ekonomi, yaitu kemampuan para pelaku pembangunan
wilayah perdesaan yang terlobat untuk meciptakan dan memperthanakan
nilai tambahan maksimum di wilayah tersebut dengan memperkuat
hubungan antar sektor dan dengan mengubah sumberdaya gabungan
menjadi asset untuk meningkatkan nilai dan kekhasan produk dan layanan
local mereka;
4. Memposisikan dalam konteks global, yaitu kemampuan para pelaku
pembangunan wilayah perdesaan yang terlibat untuk menemukan peran
daerah tersebut dalam kaitannya dengan bilang lain dan dunia luar pada
umumnya, sedemikian rupa untuk mengembangkan rencana wilayah
mereka secara keseluruhan dan untuk menjamin kelangsungan hidup di
dalam konteks global.

Pada sub-bab terdahulu telah diuraikan bahwa klister merupakan salah satu
pendorong daya saing wilayah. Selain itu factor lainya adalah inovasi dan
kreatifitas. Namun di Indonesia, inovasi masih belum banyak dimanfaatkan untuk
pembangunan wilayah perdesaan, masih terbatas pada produk-produk pertanian
dan yang baru berkembang adalah kreativitas. Perkembang kreativitas di
Indonesia juga belum merata, baru di Jawa, dan kota-kota besar lainnya di
Indonesia. Oleh karena itu untuk meningkatkan daya saing wilayah perdesaan di
Indonesia perlu mendorong pemanfaatan inovasi dan kreativitas.

Bagi negara-negara OECD inovasi dan kreativitas untuk pembangunan wilayah


perdesaan adalah suatu keharusan. Beberapa factor pendorong untuk
meningkatkan pemfaatan inovasi dan kreativitas untuk pembangunan wilayah
perdesaan sebagai berikut (OECD 2007) :

1. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan pendorong utama inovasi


perdesaan.
Kapasitas daerah untuk mendukung proses pembelajaran dan inovasi
merupakan sumber utama keunggulan konpetitif, multiplier kegiatan
ekonomi, lapangan kerja dan pembangunan. Modal manusia sangat
penting. Investasi pada modal manusia tidak hanya bisa mendorong
terciptanya inovasi tapi juga, dan yang terpenting bagi daerah perdesaan,
asimilasi inovasi yang sering diproduksi di tempat lain.
Perguruan tinggi local dapat meningkatkan pembentukan modal manusia
melalui:
a. Memperluas akses akses masyarakat perdesaan ke Pendidikan tinggi.
b. Meningkatkan ketersedia program studi relevan dengan pengembangan
komoditas unggulan wilayah perdesaan dan pemanuhan permintaan
pasar tenaga kerja.
c. Menarik sumberdaya manusia yang berbakat ke wilayah perdesaan
yang bersangkutan.
d. Meningkatkan keterampilan dan kompetensi penduduk melalui
Pendidikan dan pelatih.
e. Jangan mengabaikan peran’neo rural’, antara lain seperti budayawan,
seniman, arsitek, dan insiyur.
2. Layanan keuangan perlu dikembangakan untik mendukung usaha
perdesaan yang inovatif,
Lembaga keungan memainkan peran penting dalam mempromisikan
inovasi di daerah perdeaan . ketersedian sumbedaya keuangan dapat
menjadi pennetuan penting
10.1 Indeks Perkembangan Wilayah Perdesaan

Pembangunan wilayah perdesaan bersifat multidimensi, walaupun dimensi


penggeraknya ekonomi, namun dimensi-dimensi lainnya juga sangat menentukan,
seperti sosial budaya dan kelembagaan, jaringan prasarana dan sarana, serta
dimensi lingkungan. Penentuan dimensi, peubah, dan indikator untuk menentukan
perkembangan pembangunan wilayah perdesaan tidak dapat seenaknya, namun
harus berdasarkan landasan teori. Berdasarkan cara pandang, pendekatan, dan
teori-teori yang telah diuraikan pada bab-bab ebelumnya maka dapat disusun
dimensi, peubah, dan indikator. Untuk kasus Pembangunan wilayah perdesaan
maka sebagai teori dasarnya adalah teori Peinbangunan wilayah perdesaan
berkelanjutan yang mengadopsi konsep Prisma Keberlanjutan dari Spangenberg
sehingga dimensinya minimal ada pat, yaitu ekonomi, sosial budaya,
kelembagaan, dan lingkungan. Sarana

Plasarana di wilayah perdesaan Indonesia, masih menjadi kendala dalan


Pengembangan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan sehingga sarana dan
prasarana dapat dijadikan bagian dari dimensi ekonomi, sosial budaya, dan
lingkungan. Penentuan peubah pada masing-masing dimensi dan indikator
disesuaikan dengan teori-teori yang digunakan, antara lain tentang daya saing dan
inovasi. Pada Gambar 10.1 disajikan arsitektur penentuan indeks perkembangan
wilayah perdesaan. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa Indeks
Perkembangan Wilayah Perdesaan disusun dari berbagai indikator, peubah, dan
dimensi. Masing-masing dimensi dibuat indeks tematiknya, sehingga indeks yang
menyusun perkembangan wilayah perdesaan merupakan indeks komposit
(composite index). Indeks komposit dibentuk dari kompilasi indeks tematik
menjadi indeks sintetis dan disajikan sebagai ukuran komposit tunggal
(Freudenberg 2003).
Pembangunan Wilayah Perdesaan berbasis Komoditas

(GAMBAR 10.1 DI HAL 246)

Kebutuhan untuk menyusun indeks komnposit terjadi pada situasi ketika indikator
individual tidak dapat menyajikan konsep yang kompleksl multidimensional
dengan cara yang memadai, seperti dalam kasus pembangungan wilayah
perdesaan berkelanjutan. Dengan bantuan satu indeks tersebut, yaitu mungkin
untuk membandingkan antar wilayah perdesaan. Dengan ata lain, indcks komposit
idealnya dapatmengukur konsep multidimensi yang tidak dapat ditangkap oleh
satu indikator, misalnya: daya saing, industrialisasi, keberlanjutan, integrasi pasar
tunggal, nasyarakat berbasis pengetahuan, dan lain-lain (OECD 2008).
Selanjutnya OECD nenyatakan pro dan kontra tentang penggunaan indeks
komposit, seperti disajikan pada Tabel 10.1. Menurut Milic dan Jovanovic (2015)
kualitas indeks komposit tidak hanya bergantung pada metodologi yang
digunakan untuk menyusunnya, namun juga kualitas data yang digunakan dalam
analisis.

Indeks komposit dapat dirinci dalam klasifikasi atau tipologi. Tipologi berasal dari
kata Yunani, yaitu typo dan logos, yang secara bahasa berarti ilmu tentang jenis
atau tipe. Menurut Marradi (1990) tipologi adalah jenis klasifikasi di mana lebih
dari satu kriteria dasar diperhitungkan secara bersamaan. Mereka dapat diproduksi
oleh klasifikasi ekstensional atau intensional (Marradi 1990). Hyslop (2007)
menyatakan bahwa tipologi mengacu pada klasifkasi Vano sistematis ke dalam
tiperjenis menurtt atribut tertentu yang umumnva eksklusifdan kolektiflengkap.
Pengelompokan ini dibuat untuk menuniukkan karakteristik umum di dalam tipe
mereka.

Mungkit diatahganakan, n unauk mendukung kebijaka diinginkan, jtka proses


konstn tidak Transparan dan atau kurang memiliki prinsip aalisis atau konseptual
yang masuk akal Pemilihan indikator dan bobor bisa menjadi subyek perselisihan
perdebatan.
Dapat menilai kenajuarn wilayah perdesaatn dari waktu ke waktu. Mengurangi
ukuran yang terlihat dari seperangkat indikator tanpa mengurangi dasar informasi
yang mendasarinya.

Memungkinkan untuk memasukkan lebih banyak informasi dalam batas ukuran


yang ada. Menempatkan isu kinerja dan kemajuan wilayah perdesaan di pusat
arena kebijakan. Memfasilitasi komunikasi dengan masyarakat umum (yaitu
Warga, nedia, da lain-lain) dan mempromosikan akuntabilitas. Membantu
mengkonstruksi/ mendasari narasi untuk kelompok sasaran awam dan terpelajar.
Memungkinkan pengguna utuk membandingkan dimensi kompleks secara efckif

Dapat menyamarkan kegagalan serius dalam beberapa dinnensi dan meningkatkan


kesulitan untuk mengidentifikasi tindakan perbaikan yang tepat, jika proses
konstruksi tidak transparan. Dapat menyebabkan kebijakan yang tidak tepat jika
dimensi kinerja yang sulir diukur diabaikan.

Menurut Bailey (1994) terdapat keuntungan dan kerugian dengan adanya ripologi.
Keuntungannya adalah: 1) Tipologi atau klasifikasi adalah alat deskriptif utama
yang baik; 2) Mengurangi konpleksitas; 3) Mengidentifikasi

kemiripan; 4) Prosedur klasiikasi memungkinkan úntuk mengenali kesamaan: 5)


Menyajikan sebuah daftar lengkap dari dimensi. Tipologi yang baik tidak lengkap
peubah dan indikator, tetapi juga hanya menunjukkan himpunan menunjukkan
himnpunan lengkap dimensi; 6) Memungkinkan seseorang cdengan cepat dan
mudah untuk membandingkan peubah dan indikator schingga dapat memberi
penilaian singkat tentang persamaan dan Variast ang melekat pada tipologi
tersebut; 7) Tipolog kualitas umum yang melekat tipologi dan Mengukur
Perkembangan Wilayah Perdesaan yang. lengkap dapat menginventarisasi peubah
dan indikator; 8) Menyediakan studi hubungan antara satu peubah dengan lainnya;
dan 10) Tipologi bersifat serba guna, sedangkan kekurangan dengan adanya
tipologi antara lain adalah: 1) Klasifikasi : adalah deskriptif, pre-explanatory, atau
-oplanatory. Hal ini dilihat sebagai "hanya deskriptif atau "F pre-teoritis," seolah-
olah ini belum cukup sebagal prasyarat untuk sebuah teori: 2) Reifikasi; 3)
Klasifikasi statis; 4) Sulit untuk menentukan dimensi dan peubahnya; 5) Sulit
untuk dikelola; dan 6) Logika kategorisasi/kelas.

Indeks komnposit dan tipologi ataupun klasifikasi dengan berbagai keuntungan


dan kelemahan, membantu para pengambil kebijakan untuk menentukan status
sesuatu. Dalam kaitan dengan perkembangan wilayah perdesaan, penentuan
indeks pembangunan wilayah perdesaan bukan hanya bertujuan untuk
menentukan status perkembangan desa, namun juga sebagai alat untuk
memperbaiki status perkembangan wilayah perdesaan ke arah yang lebih baik.
Secara rinci, penentuan indeks perkembangan wilayah perdesaan bertujuan untuk:
yang aksi Menetapkan status perkembangan wilayah perdesaan; 2. Memberi
informasi kebutuhan intervensi yang lebih akurat sesuai dengan lokus, fokus, dan
tempo untuk memperbaiki status perkembangan wilayah perdesaan; dan 3.
Memudahkan pengalokasian anggaran pada kawasan perdesaan sasaran baik
untuk K/L maupun daerah dan stakeholder lainnya Sedangkan manfaatnya adalah:

1. Mengetahui status perkembangan wilayah perdesaan; masyarakat dalam


berpartisipasi untuk membangun Mengetahui inisiatif
2. wilayah perdesaan Menyusun strategi, program, dan kegiatan untuk
membangun wilayah perdesaan; yang terinci l berdasarkan lokus, fokus,
tempo, dan prioritas srta berdasarkan sumber pembiayaan (pemerintah
pusat KIL, pemerintal provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dunia usaha,
organisasi masyarakar madani. akademisi, dan donor/mitra negara).

lat

3.

4. Dapat mensimulasikan pilihan intervenst yang tepat dengan pembaras


keterbatasan anggara, jumlah sumberdaya manusia, dan waku

5. Menjadi acuan dalam penyusunan APBN KL dan APBD Po Kabupaten/Kota


dan APBDes dan stakeholder lainnya.

10.2 Dimensi, Peubah, dan Indikator

Penentuan dimensi, peubah, dan indikator seperti yang telah diuraikan d atas
harus memiliki sandaran teori yang benar. Karena kalau tidak, itu hants yang
sekumpulan peubah atau indikator tanpa arti. Peubah dan indikator digunakan
dalam buku ini diambil dari seed concept penyusunan Indikator Perkembangan
Kawasan Perdesaan, Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan,
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi yang
dalam tim penyusun tersebut penulis terlibat secara ntens.

Teori yang digunakan menyusun peubah dan indiator dari Dimensi Ekonomi
terutama berkaitan dengan daya saing melalui pengembangan wilayah perdesaan
yang berbasis komoditas unggulan, pengembangan klaster, inovasi, keterkaitan
wilayah perdesaan dan perkotaan, promosi produk unggulan, dan prasarana untuk
mendukung perekembangan ekonomi. Pada Tabel 10.2 disajikan peubah dan
indikator dari Dimensi Ekonomi. Sementara untuk Dimensi Sosial Budaya,
peubah dan indikator yang digunakan kreativitas masyarakat, migrasi penduduk,
pelibatan pelaku seni dan budaya dan pemanfaatan produk budaya untuk
pembangunan wilayah perdesaan. Selain itu juga dimasukkan peubah prasarana
untuk meningkatkan kapastas masyarakat. Pada Tabel 10.3 disajikan peubah dan
indikator untuk Dimens! Sosial.

untuk
Pada Dimensi Lingkungan peubah yang digunakan berkaítan deng

penanganan limbah, kesadaran masyarakat terhadap permasalahan dan


pemanfatan lingkungan, pemanfaatan limbah sesuai konsep Ekonomi Biru sampai
mendekati zero waste, pemanfaatan aset wilayah perdesaan khususnya
sumberdaya amenitas (keindahan dan kenyamanan) untuk wisa misalnya dan
pengembangan KUWIDES dengan melakukan adapeasi erhadap perubahan iklim.
I Pada Tabel 10.4, disajikan peubah dan indikator

ntuk IDimensi Iingkungan.

binensi Kelembagaan disusun dari peubah dan indikator dengan


nempertimbangkan teori kelembagaan yang berkaitan dengan organisasi institusi
dan aturan main (peraturan perundang-perundangan). Peubah ang digunakan
adalah insetif/kebijakan daerah tentang: investasi di wilayah dan promosi wilayah
perdesaan, pengembangan kelembagaan klaster, pengembangan forum
pengembangan (ckonomi) daerah di aras kabupaten/ kota, komitmen daerah untuk
pembiayaan pembangunan wilayah perdesaan yang telah ditetapkan,
pengembangan kerja sama antara pemerintah daerah, dunia usaha dan perguruan
tinggi/lembaga penelitian setempat untuk meningkatkan inovasi pengembangan
KUWIDES. Pada Tabel 10.5 disajikan peubah dan indikator untuk Dimensi
Lingkungan.

Pada Tabel 10.2, 10.3, 10.4, dan 10.5, seluruh peubah menggunakan indikator
yang menggunakan bilangan ordinal (misalnya 1 lebih dari 0 dan 2 lebih dari 1
dan 0), bukan kardinal. Karena bilangan ordinal, maka tidak dapat menggunakan
operasi matematika tambah (+), kurang (-), bagi (:), dan kali (x). Dengan
demikian, metode analisis yang digunakan pun harus sesuai untuk operasi
bilangan ordinal.

Anda mungkin juga menyukai