Oswar Mungkasa
Bagian Pertama
Prinsip Dasar Pembangunan Berkelanjutan
Bagian Kedua
Internalisasi Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
dalam Perencanaan Tata Ruang
Bagian Ketiga
Penerapan Penataan Ruang Berkelanjutan
Penapisan
Sesuai dengan namanya, kegiatan ini menentukan dilakukannya KLHS
terhadap KRP RTR. Langkah ini diperlukan untuk (i) memokuskan
telaahan pada KRP bernilai stratejik; (ii) memokuskan telaah pada KRP
terindikasi berdampak penting; (iii) memberikan gambaran umum
metodologi pendekatan yang digunakan. Mempertimbangkan RTRW yang
bersifat wajib, penapisan tidak perlu dilakukan terkecuali pada rencana
rinci tata ruang.
Pelingkupan
Pelingkupan merupakan proses sistematis dan terbuka untuk
mengidentifikasi isu penting atau konsekuensi lingkungan yang akan
timbul berkenaan dengan KRP RTR. Dengan demikian, pokok bahasan
KLHS lebih pada isu atau konsekuensi lingkungan
Telaah dan Analisis Teknis
Tahapan ini berupa proses identifikasi, deskripsi, dan evaluasi
konsekuensi dan efek lingkungan diterapkannya RTRW, serta pengujian
efektivitas RTRW dalam menerapkan prinsip berkelanjutan.
Jenis kerangka telaah antara lain: (i) telaah daya dukung dan daya
tampung ingkungan; (ii) telaah hubungan timbal balik kegiatan manusia
dan ekosistem; (iii) telaah kerentanan masyarakat dan kapasitas
terhadap perubahan iklim dan bencana lingkungan; (iv) telaah ketahanan
dan potensi keanekaragaman hayati.
Pengembangan Alternatif
Alternatif yang dikembangkan dapat mencakup (i) sunbstansi
pokok/dasar RTRW; (ii) program atau kegiatan penerapan muatan RTRW
(missal pilihan intensitas pemanfaatan ruang); (iii) kegiatan operasional
pengelolaan efek lingkungan hidup (misal penerapan kode bangunan
hemat energi).
Pengambilan Keputusan
Pada tahapan ini dilaksanakan pemilihan alternatif rencana/program
yang dapat dilaksanakan.
Pemantauan dan Tindak Lanjut
Kegiatan ini disesuaikan dengan pengaturan RTRW
Partisipasi dan Konsultasi Masyarakat
Seluruh rangkaian KLHS bersifat partisipatif. Namun tingkat keterlibatan
masyarakat beragam sesuai dengan tingkatan RTR, dan peraturan yang
diacu. Keterlibatan masyarakat bukan formalitas sehingga masyarakat
diberi waktu yang cukup untuk menelaah, memberi masukan, dan
mendapatkan tanggapan.
C. KLHS dalam Perencanaan Tata Ruang
Efektivitas KLHS sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup (LH)
menuju pembangunan berkelanjutan cukup baik karena kajian lingkungan
tersebut dilaksanakan pada tahap awal proses pengambilan keputusan
perencanaan pembangunan. Pada tahap awal ini terdapat berbagai alternatif
yang belum tertutup oleh keputusan tertentu. Dengan demikian, sebuah studi
dampak lingkungan atas KRP memberi kesempatan untuk memasukkan aspek
LH dalam proses perencanaan pada tahap sangat awal sehingga dapat
sepenuhnya memprakirakan dampak lingkungan potensial, termasuk yang
bersifat kumulatif jangka panjang dan sinergistik, baik pada tingkat lokal,
regional, nasional maupun global (Lee dan Walsh, 1992; Partidario, 1996;
Annandale dan Bailey, 1999; Therivel, 2004).
Dengan kata lain, KLHS bergerak di bagian hulu dari suatu proses
pengambilan keputusan, yaitu KRP. Definisi serupa, tapi berbeda perspektif dan
penekanannya dapat dilihat sebagai berikut:
“SEA is a systematic process for evaluating the environmental consequences of
proposed policy, plan, or program initiatives in order to ensure they are fully
included and appropriately addressed at the earliest appropriate stage of decision‐
making on par with the economic and social considerations” (Sadler dan Verheem,
1996).
Definisi tersebut menunjukkan bahwa skala sasaran kajian KLHS lebih
luas daripada instrumen pengelolaan LH lain, misalnya AMDAL karena analisis
dampak KRP mempunyai implikasi dampak lebih luas/makro. Selain itu, KLHS
fokusnya adalah pada tataran konsep dan bukan pada tataran disain teknis yang
bersifat fisik. Yang terakhir ini menjadi tekanan/fokus studi AMDAL.
Kata “stratejik” dalam KLHS menjadi kata kunci yang membedakan antara
instrumen‐instrumen pengelolaan lingkungan yang telah dilaksanakan dan
instrumen KLHS. Istilah “stratejik” dalam konteks KLHS secara umum dapat
diartikan secara konseptual berkaitan dengan “akar” permasalahan yang harus
menjadi fokus kajian lingkungan yang dilakukan, yaitu proses dan hasil
pengambilan keputusan. Pengertian “stratejik” dalam KLHS pada umumnya
berasosiasi dengan tiga hal berikut (Partidario, 1994) (i) strategis dalam konteks
pengambilan keputusan; (ii) keberlanjutan proses pengambilan keputusan, yaitu
proses penyempurnaan KRP secara terus menerus; (iii) fokus pada manfaat hasil
keputusan, merujuk pada beragamnya alternatif pilihan KRP dalam proses
perencanaan pembangunan yang bersifat “strategis”.
D. Kota Hijau: Penerapannya di Indonesia.
Kota hijau pada hakekatnya adalah kota berkelanjutan yang mampu
menerapkan dalam praktik nyata prinsip‐prinsip pembangunan yang
berkelanjutan, baik secara ekonomi, sosial budaya dan lingkungan secara
terintegrasi. Inisiatif mewujudkan kota hijau ini memiliki makna strategis karena
dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, antara lain perkembangan kota yang
begitu cepat dan berimplikasi terhadap timbulnya permasalahan perkotaan
seperti banjir dan kemacetan, permukiman kumuh, kesenjangan sosial dan
berkurang luas ruang terbuka hijau.
Ada tiga aspek minimal yang harus terpenuhi dalam aplikasi suatu kota
hijau, yaitu sosial, ekonomi dan lingkungan. Ketiga aspek ini harus berimbang
dalam suatu kota hijau. Tidak bisa hanya fokus pada pengembangan aspek
ekonomi sementara aspek sosial dan lingkungan terabaikan, yang akan
berdampak buruk kepada kota dan warganya. Tata ruang adalah alat untuk
menerpadukan berbagai aspek di perkotaan seperti sosial, ekonomi dan
lingkungan, agar kota itu menjadi sejahtera berkelanjutan bagi warga yang
mendiaminya.
Di Indonesia, saat ini melalui Kementerian Pekerjaan Umum telah
diinisiasi Program Kota Hijau (P2KH). Maksud P2KH adalah (i) menjabarkan
amanat UU Penataan Ruang tentang perwujudan 30 persen dari wilayah kota
sebagai Ruang Terbuka Hijau; (ii) menindaklanjuti 10 prakarsa Bali dari forum
Sustanaible Urban Development (SUD) khususnya butir 7 yaitu mendorong
peran pemangku kepentingan perkotaan dalam mewujudkan kota hijau, berupa
inisiatif bersama antara pemerintah kabupaten/kota, masyarakat dan dunia
usaha secara nasional. Sementara tujuannP2KH adalah (i) meningkatkan kualitas
ruang kota khususnya melalui perwujudan RTH 30% sekaligus implementasi
RTRW kabupaten/kota; (ii) meningkatkan partisipasi pemangku kepentingan
dalam implementasi agenda hijau perkotaan.
Sebagai sasaran P2KH ditetapkan berupa terinisiasinya aksi nyata sebagai
perwujudan kota hijau dalam rangka implementasi RTRW kabupaten/kota
secara nasional melalui (i) penyusunan peta hijau; (ii) penyusunan rencana
induk RTH; (iii) pelaksanaan kampanye public/sosialisasi; (iv) pelaksanaan
peningkatan kapasitas; (v) pelaksanaan percontohan RTH.
Sebagai penanda, kota hijau dapat dikenali dari 8 (delapan) atribut yang
menyertainya, yaitu ;
Perancangan dan perencanaan kota yang ramah lingkungan
Ketersediaan ruang terbuka hijau yang memadai, minimal 30 persen dari
luas kota
Konsumsi energi yang efisien
Pengelolaan air yang efektif
Pengelolaan limbah dan sampah dengan prinsip 3R (reuse, reduce dan
recycle)
Bangunan hemat energi (green building)
Penerapan sistem transportasi yang berkelanjutan
Peningkatan peran masyarakat sebagai komunitas hijau
Upaya pemerintah patut dihargai namun memperhatikan desain dari
P2KH terlihat bahwa walaupun disebutkan terdapat 8 (delapan) atribut kota
hijau tetapi sepertinya hanya 4 (empat) atribut yang tercakup dalam P2KH yaitu
perancangan dan perencanaan kota ramah lingkungan, ketersediaan RTH
minimal 30 persen dari luas kota, bangunan hemat energi, dan peningkatan
peran masyarakat sebagai komunitas hijau. Sehingga sangat kental nuansa
bahwa P2KH bukan sebuah program Kota Hijau tetapi lebih sebagai program
Kota Taman. Kota hijau seharusnya dimaknai sebagai kota yang ramah
lingkungan berdasarkan penerapan ke delapan atribut tersebut di atas.
3.3 Praktek Unggulan
Salah satu contoh praktek unggulan yang banyak dibicarakan adalah
People Centered Ecological City yang merupakan terjemahan dari konsep
pembangunan berkelanjutan di perkotaan. Konsep ini diterapkan di kota
Curitiba, Brazil.
Prinsip dasarnya memadukan perencanaan lingkungan dan perencanaan
kota dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dengan focus utama
keberlanjutan lingkungan dan pemeliharaan kualitas kehidupan warga kota.
Curtiba merupakan kota berpenduduk
1,6 juta dan luas 432 km persegi, dengan Boks 1. Rangkuman Praktek Unggulan Kota
Berkelanjutan
segala persoalan kota besar dunia Upayapenerapanpembangunan kota
diantaranya tingkat pertumbuhan penduduk berkelanjutan telah berhasil dilakukan pada
beberapa kota di dunia, diantaranya:
mencapai 5,7 persen per tahun. Pengurangan polusi
Curitiba merupakan salah satu contoh Di Mexico City, pada tahun 1989 diperkenalkan
perencanaan kota jangka panjang yang program Hoy no Circula (hari tanpa kendaraan
bermotor), yang berhasil menurunkan emisi polusi
inovatif dalam menciptakan kota menjadi udara sampai 21% pada tahun pertama.
tempat tinggal yang nyaman, yang Perencanaan transportasi dan guna lahan terpadu
Di kota Curitiba, Brasil sistem transportasi bus
dituangkan dalam Master Plan kota tahun terpadu berupa lintasan khusus bus telah terbangun
di sepanjang koridor utama kota. Kepadatan tinggi
1965. di sepanjang koridor bus didorong melalui
Salah satu kunci keberhasilan adalah pengaturan guna lahan. Kebijakan ini telah
mengurangi penggunaan kendaraan bermotor dan
program peningkatan kesejahteraan terpadu mengurangi pemakaian bahan bakar sampai sebesar
25%.
dengan program lingkungan, semisal Di Los Angeles, program sejenis diperkenalkan
program green exchange dan garbage not untuk mengurangi polusi udara. Kebijakannya
berupa peningkatan
garbage pemerintah berhasil melibatkan jumlah penumpang per kendaraan,
masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.
Warga kota daerah kumuh dapat menukar
sampahnya dengan tiket bus dan makanan.
Anak‐anak juga dapat menukar sampah
dengan mainan, alat tulis bahkan tiket peningkatan ‘telecommuting’,dan
pertunjukan. peningkatan kendaraan ramah
lingkungan.
Program ini telah berhasil mendaur Daur ulang
ulang sampah sampai 70 persen. Selain itu, Operasi pemulihan sumberdaya berskala luas
program ini juga menciptakan lapangan kerja dicanangkan di Provinsi Shanghai pada tahun
1957. Sekarang jumlah pekerja mencapai 30
bagi para tunawisma di tempat penyortiran ribu orang, yang mengolah dan menjual produk
daur ulang. (Haughton dan
sampah. Tak kalah penting adalah Hunter , 1994)
mewujudkan tata pemerintahan yang baik,
transparansi dan partisipasi masyarakat.
Bukti dari keberhailan program berkelanjutan adalah berupa
pertumbuhan ekonomi kota mencapai 7,1 persen jauh di atas pertumbuhan
nasional. Termasuk pendapatan per kapita yang melonjak jauh di atas rata‐rata
nasional.
Hal yang mendukung keberhasilan program diantaranya adalah adanya
political will pemerintah dan kepemimpinan yang kuat. Selain memanfaatkan
dengan baik modal sosial, berupa keterlibatan seluruh elemen masyarakat dalam
pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA