Anda di halaman 1dari 55

BAB II

TINJAUAN TEORETIS DAN KERANGKA PEMIKIRAN

Teori perilaku konsumen (Loudon dan Bitta 1993) menjadi grand teori pada penelitian

ini. Perilaku konsumen sebagai upaya konsumen dalam membuat keputusan mengenai

sebuah produk berupa barang atau jasa yang dikonsumsi. Dengan demikian, teori perilaku

konsumen merupakan sebuah proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik yang

melibatkan individu dalam menilai, mendapatkan, menggunakan atau mengabaikan barang

dan jasa.

Industri green sangat penting untuk membangkitkan minat konsumen dalam membeli

sebuah produk. Proses yang dilalui konsumen untuk sampai pada minat beli tergantung pada

informasi jenis barang atau jasa yang dibeli. Semakin tinggi informasi baik yang diterima

terkait barang atau jasa tersebut maka semakin berminat konsumen untuk melakukan

pembelian tersebut (Purnama, 2014).

Terdapat beberapa langkah dalam melakukan riset pemasaran ini. Pertama adalah

merumuskan sebuah permasalahan penelitian. Hal ini sangat penting dilakukan karena sebuah

penelitian yang baik didasari oleh adanya masalah dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan

permasalahan tersebut. Kedua adalah membuat desain penelitian. Hal tersebut dilakukan

karena adanya penentuan desain ini diharapkan menjadi penentuan hasil akhir dalam

penelitian. Ketiga adalah perancangan metode untuk pengumpulan data. Penelitian ini

menggunakan metode kuantitatif deskriptif. Langkah berikutnya adalah mengumpulkan data

yang dilakukan dengan menggunakan website Google Form. Langkah terakhir adalah

melakukan analisis data serta menginterpretasikan kedalam sebuah narasi (Suwarsono, 2022).
Sebelum melakukan pembahasan yang lebih rinci, maka penulis akan melakukan

tinjauan teori mengenai variabel-variabel yang diteliti. Untuk itu pada bab ini membahas

tinjauan teori dari masing-masing variabel serta hubungan yang terjadi pada setiap variabel

yang akan diteliti.

2.1 Tinjauan Teoretis

2.1.1 Konsep Sustainbility Theory

Teori sustainability pertama kali dikemukakan oleh Meadows dkk., 1972 yang

menjelaskan bahwa upaya masyarakat untuk memprioritaskan respon sosial terhadap

masalah lingkungan dan ekonomi (Mustikaningtyas, 2021). Respon sosial ini

diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masa kini dan generasi masa depan (WCED,

1987). Konsep sustainability saat ini semakin berkembang dan diterapkan dalam

konteks corporate sustainability (Pemer dkk., 2020). Pemer dkk. (2020) menjelaskan

konteks corporate sustainability sebagai strategi bisnis dan investasi yang dapat

meningkatkan praktik bisnis dengan menyeimbangkan kebutuhan stakeholders masa

kini dan masa mendatang. Konsep ini menekankan kepentingan stakeholders dengan

menyeimbangkan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari kinerja perusahaan.

Literatur tentang sustainability menekankan pada perlunya pemikiran yang

sistematis untuk memelihara sumber daya alam, menghilangkan kemiskinan, promosi

kesetaraan, dan mengurangi pertumbuhan populasi serta meningkatkan kualitas hidup

(Seifferta & Loch dalam Velasquez et.al : 2011).

Keberlanjutan (sustainability) berkaitan dengan bagaimana perusahaan dalam

melakukan aktivitas tetap memperhitungkan keberlanjutan sumber daya di masa

depan. Sustainability mengandung konsep Tripple buttom Line yang diperkenalkan

oleh Elkington (1997). Konsep ini berfokus pada 3P yaitu Profit, People, dan Planet

(Felisia & Limijaya, 2014). Konsep ini menyatakan bahwa perusahaan tidak hanya
mementingkan keuntungan (profit) namun harus juga memperhatikan kesejahteraan

masyarakat sekitar (people) dan juga berkontribusi aktif dalam pelestarian lingkungan

(planet) untuk keberlangsungan sumber daya. Lingkungan dan sumber daya yang

lestari akan menjamin kelangsungan usaha perusahaan dalam jangka panjang

sehingga perusahaan akan dapat keuntungan yang bersifat jangka panjang dan

berkesinambungan (Felisia & Limijaya, 2014).

Jenkins (2010) mengatakan bahwa dengan adanya keberlanjutan akan menjadi

solusi agar terjaganya keseimbangan ekologis sistem ekonomi, lingkungan dan sosial

yang disebabkan oleh aktivitas manusia dari bahaya lingkungan global. Hal ini

memperkuat bahwa dengan adanya teori ini dapat menjadi solusi untuk menjamin

bahwa sumber daya akan terus digunakan dengan tanggung jawab dalam memenuhi

kebutuhan yang terus bertambah di masa depan.

Pembangunan berkelanjutan (Jaya, 2004) bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia.

Pembangunan yang berkelanjutan pada hekekatnya ditujukan untuk mencari

pemerataan pembangunan antar generasi pada masa kini maupun masa mendatang.

Menurut KLH (1990) pembangunan (yang pada dasarnya lebih berorientasi ekonomi)

dapat diukur keberlanjutannya berdasarkan tiga kriteria yaitu : (1) Tidak ada

pemborosan penggunaan sumber daya alam atau depletion of natural resources; (2)

Tidak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya; (3) Kegiatannya harus dapat

meningkatkan useable resources ataupun replaceable resource.

Perusahaan dalam melakukan tanggung jawab tersebut dapat melakukan

pengungkapan sustainability report. Sustainability report merupakan komitmen bagi

perusahaan bahwa mereka akan selalu memperhatikan dan peduli terhadap

keselamatan lingkungan dan alam sekitar atas proses bisnis yang dijalankan dan
menjamin sumber daya yang digunakan akan terus dapat digunakan di masa depan.

Penting bagi perusahaan untuk tetap sadar terhadap kelangsungan sumber daya agar

perusahaan tetap mampu beroperasi dalam jangka waktu yang lama (Tsalatsa, 2018).

Corporate Sustainability biasa diukur melalui Triple Bottom Line (TBL),

konsep ini dikembangkan oleh (Elkington & Rowlands, 1999). Terdapat tiga dimensi

TBL, yakni economic, social, dan environment. Pemer dkk. (2020) menyatakan

bahwa perusahaan dapat menuju pembangunan sustainability dengan

mengintegrasikan TBL dalam strategi manajemen. Pemer dkk. (2020) membuktikan

bahwa organisasi yang berfokus pada TBL dapat meningkatkan keunggulan

kompetitif perusahaan.

2.1.1.1 Definisi Pembangunan Berkelanjutan

Menurut Keiner (2001) menguraikan definisi pembangunan berkelanjutan

adalah Pembangunan berkelanjutan berarti memastikan kondisi hidup yang

bermartabat berkaitan dengan hak asasi manusia dengan menciptakan dan

mempertahankan jangkauan atau alternative akses yang luas dalam merencanakan

pola hidup. Prinsip keadilan antara generasi sekarang dan generasi masa depan

harus dijadikan pertimbangan dalam penggunaan sumber daya lingkungan, ekonomi

dan sosial. Upaya perlindungan komprehensif pada keanekaragaman hayati dan

keanekaragaman genetik juga harus dipertimbangkan.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup bahwa pembangunan

berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan

hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin

keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu

hidup generasi masa kini dan generasi masa depan (Pertiwi, 2017).
Berdasarkan President’s Council on Sustainable Development in the United

States as (USEPA, 2013), pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu proses

perkembangan yang dapat meningkatkan tingkat perekonomian, menjaga kelestarian

lingkungan, dan keadaan sosial untuk kebermanfaatan generasi sekarang dan

generasi di masa depan.

Pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses perubahan yang di dalamnya,

seluruh aktivitas seperti eksploitasi sumberdaya, arah investasi, orientasi

pengembangan teknologi, dan perubahan kelembagaan berada dalam keadaan yang

selaras serta meningkatkan potensi masa kini dan masa depan untuk memenuhi

kebutuhan dan aspirasi manusia. Jadi tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus

diupayakan dengan keberlanjutan (Fauzi dan Oktavianus, 2014).

2.1.1.2 Elemen Pembangunan Berkelanjutan

Dalam laporan WCED (1987) diungkapkan tujuh sistem sebagai tujuan

pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Ketujuh sistem tersebut adalah : a. Suatu

sistem politik yang menjamin partispasi efektif masyarakat dalam pengambilan

keputusan. b. Suatu sistem ekonomi yang mampu menghasilkan surplus serta

pengetahuan teknis berdasarkan kemampuan sendiri dan bersifat berlanjut. c. Suatu

sistem sosial yang memberi penyelesaian bagi ketegangan-ketegangan yang muncul

akibat pembangunan yang tidak selaras. d. Suatu sistem produksi yang menghormati

kewajiban untuk melestarikan ekologi bagi pembangunan. e. Suatu sistem teknologi

yang dapat menemukan terus menerus jawaban-jawaban baru. f. Suatu sistem

internasional yang membantu perkembangan pola-pola perdagangan dan keuangan

yang berlanjut. g. Suatu sistem administrasi yang luwes dan mempunyai kemampuan

memperbaiki diri.
Konsep pembangunan berkelanjutan merupakan konsep yang menghubungkan

antara pembangunan ekonomi, kulitas lingkungan dan kesetaraan sosial. Rogers, et.

al (2008) menguraikan tiga pilar dari pembangunan berkelanjutan yaitu : a.

Ekonomi, yaitu memaksimalkan pendapatan dengan mempertahankan atau

meningkatkan cadangan kapital. b. Ekologi, yaitu menjaga dan mempetahankan

sistim fisik dan biologis. c. Sosial budaya, yaitu menjaga stabilitas dari sistem sosial

dan budaya. Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi

yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam dimensi ekonomi terdapat beberapa

tujuan yang ingin dicapai antara lain upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

memerangi kemiskinan, serta mengubah produksi dan konsumsi ke arah yang

seimbang. Sedangkan dimensi sosial berhubungan dengan pemecahan masalah

kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan,

dan lain-lain. Adapun dimensi lingkungan memiliki tujuan-tujuan antara lain upaya

pengurangan dan pencegahan terhadap polusi, pengelolaan limbah serta

konservasi/preservasi sumber daya alam. Dengan demikian tujuan pembangunan

berkelanjutan terfokus pada ketiga dimensi di atas yaitu keberlanjutan laju

pertumbuhan ekonomi yang tinggi (economic growth), keberlanjutan kesejahteraan

sosial yang adil dan merata (social progress) serta keberlanjutan ekologi dalam tata

kehidupan yang serasi dan seimbang (ecological balance).

Hal serupa diuraikan dalam Keiner (2001) bahwa tiga pilar dari pembangunan

berkelanjutan adalah lingkungan (konservasi), ekonomi (pertumbuhan), dan sosial

(Equity). Bank Dunia pada tahun 1994 mengembangkan model capital stock.

Modal tersebut terbagi atas modal ekologi, modal ekonomi dan modal sosial. Modal

ekologi meliputi keanekaragaman hayati, landscape, sumber daya mineral, udara

bersih dan air sehat. Modal ekonomi meliputi materi dan finansial sedang modal
sosial yaitu jaminan kesehatan, jaminan sosial, kohesi sosial, kebebasan, keadilan,

kesetaraan kesempatan, dan perdamaian.

Modal Pembangunan Berkelanjutan (Pertiwi, 2017) merupakan

penggabungan dari ketiga modal tersebut. Suatu negara tidak dapat

mengimplementasikan konsep pembangunan berkelanjutan jika salah satu dari

ketiga modal tersebut tidak mendukung. Pemerintah harus berupaya menjaga

kualitas dari modal tersebut. Dalam pengembangan kawasan industri, pemerintah

dan pihak investor tidak hanya mengedepankan pertimbangan keuntungan ekonomi,

namun juga harus dapat memprediksi dampak kerusakan ekologi yang akan terjadi

seperti menurunnya kualitas air bersih dan keanekaragaman hayati. Demikian pula

pada aspek sosial, harus dipertimbangkan bahwa pembangunan kawasan tersebut

tidak merusak tatanan sosial yang baik atau dapat menimbulkan konflik sosial.

Dalam perkembangannya, Keiner (2001) memperkenalkan empat dimensi dari

Pembangunan Berkelanjutan yaitu : a. Dimensi ekonomi (man-made capital), b.

Dimensi lingkungan (natural capital), c. Dimensi Sosial (human capital), d.

Institutional dimension (social capital)

2.1.1.3 Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Menurut Heal, (Fauzi,2004) Konsep keberlanjutan ini paling tidak

mengandung dua dimensi: Pertama adalah dimensi waktu karena keberlanjutan tidak

lain menyangkut apa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Kedua adalah

dimensi interaksi antara sistem ekonomi dan sistem sumber daya alam dan

lingkungan. Pezzey (1992) melihat aspek keberlajutan dari sisi yang berbeda. Dia

melihat bahwa keberlanjutan memiliki pengertian statik dan dinamik. Keberlanjutan

dari sisi statik diartikan sebagai pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dengan

laju teknologi yang konstan, sementara keberlanjutan dari sisi dinamik diartikan
sebagai pemanfaatan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat

teknologi yang terus berubah (Jaya, 2004).

Karena adanya multidimensi dan multi-interpretasi ini, maka para ahli sepakat

untuk sementara mengadopsi pengertian yang telah disepakati oleh komisi

Brundtland yang menyatakan bahwa “Pembangunan berkelanjutan adalah

pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi

kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Jaya, 2004).

Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep brunland

tersebut. Pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumber daya

alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi. Kedua,

menyangkut perhatian pada kesejahteraan (well-being) generasi mendatang. Hall

(1998) menyatakan bahwa asumsi keberlajutan paling tidak terletak pada tiga

aksioma dasar; (1) Perlakuan masa kini dan masa mendatang yang menempatkan

nilai positif dalam jangka panjang; (2) Menyadari bahwa aset lingkungan

memberikan kontribusi terhadap economic wellbeing; (3) Mengetahui kendala akibat

implikasi yang timbul pada aset lingkungan (Jaya, 2004).

Konsep ini dirasakan masih sangat normatif sehingga aspek operasional dari

konsep keberlanjutan ini pun banyak mengalami kendala. Perman et al.,(1997)

mencoba mengelaborasikan lebih lanjut konsep keberlanjutan ini dengan

mengajukan lima alternatif pengertian: (1) Suatu kondisi dikatakan berkelanjutan

(sustainable) jika utilitas yang diperoleh masyarakat tidak berkurang sepanjang

waktu dan konsumsi tidak menurun sepanjang waktu (non-declining consumption),

(2) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam dikelola sedemikian rupa

untuk memelihara kesempatan produksi dimasa mendatang, (3) keberlanjutan adalah

kondisi dimana sumber daya alam (natural capital stock) tidak berkurang sepanjang
waktu (nondeclining), (4) keberlanjutan adalah kondisi dimana sumber daya alam

dikelola untuk mempertahankan produksi jasa sumber daya alam, dan (5)

keberlanjutan adalah adanya kondisi keseimbangan dan daya tahan (resilience)

ekosistem terpenuhi (Jaya, 2004).

Senada dengan pemahaman diatas, Daly (1990) menambahkan beberapa aspek

mengenai definisi operasional pembangunan berkelanjutan, antara lain: Untuk

sumber daya alam yang terbarukan : laju pemanenan harus sama dengan laju

regenerasi (produksi lestari); Untuk masalah lingkungan : laju pembuangan limbah

harus setara dengan kapasitas asimilasi lingkungan; Sumber energi yang tidak

terbarukan harus dieksploitasi secara quasisustainable, yakni mengurangi laju

deplesi dengan cara menciptakan energi substitusi (Jaya, 2004).

Selain definisi operasional diatas, Haris (2000) melihat bahwa konsep

keberlajutan dapat diperinci menjadi tiga aspek pemahaman, (1) Keberlajutan

ekonomi yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan barang

dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlajutan pemerintahan dan

menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi

pertanian dan industri. (2) Keberlajutan lingkungan: Sistem keberlanjutan secara

lingkungan harus mampu memelihara sumber daya yang stabil, menghindari

eksploitasi sumber daya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep ini juga

menyangkut pemeliharaan keanekaraman hayati, stabilitas ruang udara, dan fungsi

ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. (3).

Keberlajutan sosial, keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai sistem yang

mampu mencapai kesetaraan, penyediaan layanan sosial termasuk kesehatan,

pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik (Jaya, 2004).

2.1.1.4 Sustainable Development Goals


Program internasional yang disepakati oleh PBB untuk mewujudkan

pembangunan berkelanjutan antara tahun 2000-2015 adalah Millennium

Development Goals (MDGs). Selanjutnya pada Konferensi Rio-20 yang

dilaksanakan pada 13 – 22 Juni 2012 di Rio Jenairo Brasil disepakati okumen The

Future We Want yang menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan

berkelanjutan di tingkat global, regional, dan nasional. Dokumen memuat

kesepahaman pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common

vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan berkelanjutan

(renewing political commitment). Dokumen ini memperkuat penerapan Rio

Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of Implementation 2002 (Fauzi et., al,

2014).

Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi

pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Green Economy in the context of

sustainable development and poverty eradication, (ii) pengembangan kerangka

kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global (Institutional Framework

for Sustainable Development), serta (iii) kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan

pembangunan berkelanjutan (Framework for Action and Means of

Implementation).b Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan Sustainable

Development Goals (SDGs) post 2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan

berkelanjutan yaitu sosial, lingkungan dan ekonomi (Kates et., al, 2005). Azaz yang

dianut dalam implementasinya adalah inklusif dan transparan, yaitu terdapat

keterbukaan antar pemerintah dan semua pemangku kepentingan dengan maksud

untuk mengembangkan tujuan pembangunan berkelanjutan global yang akan

disepakati oleh PBB (Rogers, 2008).


Berdasarkan laporan ICSU (Keiner, 2015) bahwa Sustainable Development

Goals mencakup 17 tujuan yaitu : 1) Pengentasan kemiskinan di seluruh dunia 2)

Peningkatan ketahanan pangan dan peningkatan gizi, serta upaya promosi pertanian

berkelanjutan 3) Peningkatan promosi hidup sehat dan kesejahteraan masyarakat. 4)

Peningkatan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan serta upaya promosi

kesempatan belajar seumur hidup. 5) Kesetaraan gender dan pemberdayaan

perempuan 6) Ketersediaan dan pengelolaan air dan sanitasi yang berkelanjutan. 7)

Tercapainya energi yang handal yang didukung dengan akses yang berkelanjutan

serta terjangkau bagi seluruh masyarakat. 8) Pertumbuhan ekonomi yang

berkelanjutan, kesempatan kerja dan produktifitas serta pekerjaan yang layak untuk

semua. 9) Infrastruktur yang handal dan mendorong inovasi pada indutri yang

berkelanjutan 10) Ketimpangan antar negara yang semakin kecil. 11) Tercapainya

kota dan pemukiman yang aman dan berkelanjutan 12) Pola produksi dan konsumsi

kebutuhan masyarakat yang berkelanjutan. 13) Upaya praktis untuk mereduksi

dampak perubahan iklim. 14) Pelestarian sumber daya kelautan yang mendukung

pembangunan berkelanjutan 15) Perlindungan ekosistem darat, pengelolaan hutan

yang berkelanjutan, pencegahan penggurunan, pencegahan degradasi lahan dan

perlindungan keanekaragaman hayati 16) Penciptaan masyarakat yang damai untuk

pembangunan berkelanjutan, penyediaan akses yang efektif dan akuntabel bagi

semua masyarakat. 17) Peningkatan sarana dan kemitraan yang mendukung

pembangunan berkelanjutan.

Secara rinci program Sustainable development goals terbagi atas enam

komponen yaitu : 1) Planet atau perlindungan ekosistem untuk seluruh masyarakat

2) People atau adanya jaminan hidup sehat, pendidikan serta inklusi wanita dan anak

anak 3) Dignity atau memberantas kemiskinan dan ketidakadilan 4) Prosperty atau


membangun kemandirian dan transformasi energi 5) Justice atau mempromosikan

lingkungan yang aman dan damai yang didukung dengan kelembagaan yang kuat. 6)

Partnership atau mengkatalisasi solidaritas global yang mendukung pembangunan

berkelanjutan.

2.1.2 Teori Pemasaran

Manajemen berasal dari kata to manage yang artinya mengatur. Pengaturan

dilakukan melalui proses dan diatur berdasrkan urutan dari fungsi manajemen.

Dengan demikian dalam melaksanakan, mengorganisasikan, mengkoordinasikan,

mengarahkan dan melakukan pengendalian semua kegiatan perusahaan untuk

mencapai tujuan perusahaan (Balawera, 2017).

Manajemen pemasaran yaitu pengelolaan permintaan, serta pengelolaan

hubungan dengan pelanggan. Manajemen pemasaran bukan hanya memperhatikan

penemuan dan peningkatan permintaan, tetapi juga pengubahan bahkan pengurangan

permintaan (Balawera, 2017).

Pemasaran menurut Kotler dan Keller (2008:5) mengemukakan bahwa pemasaran

adalah suatu fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk menciptakan,

mengkomunikasikan, dan memberikan nilai kepada pelanggan dan untuk mengelola

hubungan pelanggan dengan cara yang menguntungkan organisasi dan pemangku

kepentingannya. Menangani proses pertukaran ini membutuhkan banyak kerja dan

keterampilan. Manajemen pemasaran terjadi ketika setidaknya satu pihak dalam

sebuah pertukaran potensial berfikir tentang cara-cara untuk mecapai respon yang

diinginkan pihak lain (Fandiyanto & Kurniawan, 2019). Sedangkan Menurut Hasan

(2013:4) pemasaran adalah proses mengidentifikasi, menciptakan dan


mengkomunikasikan nilai serta memelihara hubungan yang memuaskan pelanggan

untuk memaksimalkan keuntungan perusahaan.

Menurut (Laksita & Widodo, 2020), pemasaran merupakan suatu perpaduan dari

aktivitas-aktivitas yang saling berhubungan untuk mengetahui kebutuhan konsumen

melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran produk dan jasa yang bernilai serta

mengembangkan promosi, distribusi, pelayanan dan harga agar kebutuhan konsumen

dapat terpuaskan dengan baik.

Armstrong & Kotler (2016) pemasaran adalah suatu proses pada saat nilai

diciptakan oleh perusahaan untuk para pelanggan dan membangun suatu hubungan

yang kuat agar perusahaan mendapatkan nilai dari pelanggan sebagai timbal baliknya.

Tujuan pemasaran adalah mengetahui dan memahami pelanggan dengan baik

sehingga produk atau jasa bisa sesuai dengan kebutuhannya sehingga dapat terjual.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disintesiskan bahwa pemasaran merupakan

sebuah aktivitas pemenuhan kebutuhan yang saling berhubungan dengan melakukan

penawaran dan pertukaran produk dan jasa melalui strategi pemasaran (7P).

2.1.2.1 Fungsi dan Tujuan Strategi Pemasaran

Secara umum, setidaknya ada 4 tujuan strategi pemasaran (Haque-Fawzi et.,al,

2022), diantaranya adalah: 1) Untuk meningkatkan kualitas koordinasi antar individu

dalam tim pemasaran; 2) Sebagai alat ukur hasil pemasaran berdasarkan standar

prestasi yang telah ditentukan; 3) Sebagai dasar logis dalam mengambil keputusan

pemasaran; 4) Untuk meningkatkan kemampuan dalam beradaptasi bila terjadi

perubahan dalam pemasaran.

2.1.2.2 Konsep Strategi Pemasaran

Pada dasarnya tujuan akhir dari marketing itu tetap akan bermuara pada

tercapainya kepuasan konsumen (Haque-Fawzi et., al, 2022). Berikut ini adalah 5
Konsep Strategi Pemasaran: 1) Segmentasi Pasar Setiap konsumen pasti memiliki

kebutuhan dan kebiasaan yang berbeda. Perusahaan harus melakukan klasifikasi

pasar yang sifatnya heterogen menjadi satua-satuan pasar yang bersifat homogen; 2)

Market Positioning. Tidak ada perusahaan yang bisa menguasai seluruh pasar. Itulah

alasannya mengapa perusahaan harus punya pola spesifik untuk mendapatkan posisi

kuat dalam pasar, yaitu memilih segmen yang paling menguntungkan; 3) Market

Entry Strategy adalah strategi perusahaan untuk bisa masuk pada segmen pasar

tertentu. Bebebrapa cara yang sering dilakukan adalah: a) Membeli Perusahaan Lain

b) Internal Development c) Kerjasama Dengan Perusahaan Lain; 4) Marketing Mix

Strategy. Marketing Mix adalah kumpulan dari beberapa variabel yang telah

digunakan perusahaan untuk memengaruhi tanggapan konsumen. Beberapa variabel

tersebut diantaranya; a) Product b) Price c) Place d) Promotion e) Participant f)

Process g) People h) Physical Evidence; 5) Timing Strategy. Pemilihan waktu

dalam melakukan pemasaran juga sangat penting untuk diperhatikan. Perusahaan

perlu melakukan berbagai persiapan yang baik di bidang produksi, dan menentukan

waktu yang tepat untuk mendistribusikan produk ke pasar.

2.1.2.3 Bauran Pemasaran

Bauran pemasaran (Kusuma, 2017) adalah sekumpulan alat pemasaran yaitu

bauran pemasaran yang dapat digunakan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan

pemasarannya dalam pasar sasaran. Dengan demikian bauran pemasaran merupakan

bentuk instrumen pemasaran yang dapat dikendalikan oleh pemasar yang digunakan

untuk melakukan komunikasi dengan konsumen dalam rangka mencapai tujuan dan

sasaran pemasaran sesuai dengan target pasar yang ditujunya (Kotler, 2007).

Pemasaran berhubungan dengan mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan

manusia dan masyarakat. Salah satu definisi pemasaran adalah memenuhi kebutuhan
secara menguntungkan. McCarthy mengklasifikasikan alat-alat ini menjadi empat

kelompok besar, yang disebutnya empat (4)P tentang pemasaran yaitu produk

(product), harga (price), tempat (place) dan promosi (promotion) (McCharty, 1996

dalam Kotler dan Keller, 2007). Wardhana (2021), bauran pemasaran terdiri dari 7P

(product, price, place, promotion, people, process & physical evidence). Bauran

pemasaran sebagai seperangkat alat pemasaran taktis perusahaan dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Product (produk). Uzeme dan Ohen (2015) Produk dapat berupa jasa (services),

barang (goods), kegunaan (utilities), tidak hanya barang berwujud atau jasa

namun segala sesuatu yang terkait dengan apa yang ditawarkan produsen.

Menurut Kotler & Hansen (2019), produk adalah segala sesuatu yang dapat

ditawarkan ke pasar untuk memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen.

Menurut Kotler & Armstrong (2018) beberapa karekteristik dari atribut

produk adalah sebagai berikut: a. Product quality (kualitas produk) merupakan

kemampuan produk meliputi daya tahan produk, kehandalan produk, tingkat

akurasi yang dihasilkan oleh produk, kemudahan dalam mengoperasikan dan

memperbaiki produk, dan lain sebagainya. b. Product features (fitur produk)

merupakan alat pembeda produk perusahaan terhadap produk pesaing yang

sejenis. c. Product style and desain (gaya dan desain produk) menjelaskan

penampilan produk yang sensasional dan bernilai seni akan mendapat perhatian

komsumen. d. Product variety (varian produk) merupakan varian tipe atau jenis

produk yang dibuat dan ditawarkan suatu perusahaan kepada konsumen. e.

Brand name (nama produk) merupakan nama produk yang dibuat perusahaan

untuk membedakan produk mereka dengan produk pesaingnya. f. Packaging

(kemasan) merupakan desain kreatif dari wadah atau kemasan untuk produk
yang dihasilkan. g. Sizes (ukuran) merupakan bentuk atau berat produk yang

dihasilkan oleh perusahaan untuk menarik perhatian konsumen. h. Services

(layanan) merupakan layanan yang diberikan oleh perusahaan untuk mendukung

keberlangsungannya penjualan produk. i. Returns (pengembalian) merupakan

pembatalan transaksi yang diberikan perusahaan kepada konsumen apabila

menerima produk gagal atau rusak.

2. Price (harga). Uzeme dan Ohen (2015), dan Kotler & Hansen (2019)

menyatakan bahwa harga merupakan sejumlah uang dimana konsumen

membayar untuk memperoleh produk maupun jasa atau sejumlah uang yang

ditukarkan konsumen atas nilai dari suatu produk guna memperoleh manfaat

atau kepemilikan atau penggunaan atas produk. Harga merupakan elemen

bauran pemasaran yang paling fleksibel yang dapat berubah dengan cepat dalam

jangka pendek dibandingkan dengan elemen bauran pemasaran lainnya. atau

jasa tersebut.

Kotler dan Amstrong (2018) menjelaskan ada beberapa indikator dalam

menetapkan harga yaitu: a. Keterjangkauan harga, adalah kemampuan

konsumen dalam menjangkau harga produk yang ditetapkan oleh perusahaan.

b. Kesesuaian harga dengan kualitas produk, konsumen cenderung memilih

harga yang lebih tinggi dengan adanya perbedaan kualitas. c. Daya saing harga

merupakan keputusan konsumen dalam membeli suatu produk apabila manfaat

yang dirasakan lebih tinggi atau sama dengan yang telah dikeluarkan untuk

mendapatkan produk tersebut. d. Kesesuaian harga dengan manfaat merupakan

perbandingan harga suatu produk dengan produk lainnya, dimana dalam hal ini

mahal murahnya suatu produk sangat dipertimbangkan oleh konsumen terkait


dengan manfaat yang dirasakan konsumen pada saat akan membeli produk

tersebut.

3. Promotion (promosi). Menurut Kotler & Hansen (2019), promosi merupakan

sesuatu yang digunakan untuk mengkomunikasikan dan membujuk pasar terkait

dengan produk atau jasa yang baru melalui iklan, penjualan pribadi, promosi

penjualan, maupun publikasi. Bauran promosi (promotion mix) terdiri dari

delapan model komunikasi pemasaran yaitu: a. Advertising (periklanan), yaitu

bentuk promosi ide, barang atau jasa nonpersonal oleh pihak tertentu yang

memerlukan pembayaran. b. Sales promotion (promosi penjualan), yaitu bentuk

promosi jangka pendek untuk mendorong pembelian atau penjualan suatu

produk atau jasa. c. Event and experiences, yaitu aktivitas perusahaan yang

dirancang untuk mengkomunikasikan merek tertentu. d. Public relations and

publicity, yaitu komunikasi menyeluruh dari perusahaan kepada masyarakat

untuk memperoleh publisitas yang menguntungkan, membangun citra

perusahaan yang bagus, menangani atau meluruskan rumor, berita, maupun

kejadian yang tidak menguntungkan. e. Online and social media marketing,

yaitu aktivitas daring yang dirancang dengan melibatkan pelanggan atau

pelanggan prospek secara langsung maupun tidak langsung daam rangka

meningkatkan kesadaran, meningkatkan citra, atau menimbulkan penjualan

produk dan jasa. f. Mobile marketing, suatu bentuk khusus dari pemasaran

daring yang menempatkan promosi melalui perangkat bergerak milik konsumen

seperti handphone, smartphone, maupun tablet konsumen. g. Personal selling

merupakan bentuk promosi melalui interaksi langsung dengan calon pembeli

guna melakukan presentasi, menjawab pertanyaan, dan menerima pesanan.


4. Place (saluran pemasaran atau distribusi). Menurut Kotler dan Hansen (2019)

distribusi merupakan tindakan dalam memilih dan mengelola saluran pemasaran

produk atau jasa dengan menggunakan kumpulan perusahaan atau individu-

individu yang membantu dalam pendistribusian produk atau jasa dalam

melayani pasar sasaran sehingga konsumen dapat memenuhi kebutuhan dan

keinginannya. Oleh karena itu, didalam penetapan saluran distribusi, produsen

hendaknya memperhatikan unsur-unsur yang terkait dalam bauran distribusi

(distribution mix) yang terdiri dari: sistem saluran, daya jangkau, lokasi,

persediaan dan transportasi.

5. People (karyawan). Menurut Kotler & Hansen (2019) yaitu proses seleksi,

pelatihan, dan pemberian motivasi kepada karyawan sebagai pembeda dalam

memengaruhi persepsi pembeli dan memenuhi kepuasan pelanggan.

6. Physical evidence (bukti fisik). Menurut Kotler & Hansen (2019) yaitu bukti

fisik yang dimiliki oleh penyedia jasa sebagai nilai tambah yang ditujukan

kepada konsumen, pelanggan maupun calon pelanggan.

7. Process (proses). Menurut Kotler & Hansen (2019) yaitu semua prosedur

aktual, mekanisme, dan aliran aktivitas sistem penyajian jasa kepada konsumen.

2.1.3 Minat Beli Konsumen

2.1.3.1 Definisi dan Konsep

Menurut Kotler dan Keller (2012) minat beli konsumen adalah sebuah perilaku

konsumen dimana konsumen mempunyai keinginan dalam membeli atau memilih

suatu produk, berdasarkan pengalaman dalam memilih, menggunakan dan

mengkonsumsi atau bahkan menginginkan suatu produk. Bila manfaat

mengkonsumsi produk yang dirasakan lebih besar di banding pengorbanan untuk


mendapatkannya, maka dorongan untuk membelinya akan semakain tinggi,

sebaliknya bila manfaatnya lebih kecil dibandingkan pengorbanannya maka maka

biasanya pembeli akan menolak untuk membeli dan pada umumnya akan beralih

mengevaluasi produk lain yang sejenis.

Almuarief (2016) mendefinisikan minat beli konsumen sebagai kemungkinan

konsumen dalam memilih suatu merek kategori produk suatu dalam situasi

pembelian tertentu. Minat beli merupakan kecenderungan konsumen untuk membeli

suatu merek atau mengambil tindakan yang berhubungan dengan pembelian yang

diukur dengan tingkat kemungkinan konsumen melakukan pembelian (Abdillah et

al, 2018).

Minat beli merupakan pernyataan mental konsumen yang merefleksikan

rencana pembelian suatu produk dengan merek tertentu (Penitasari, 2017). Menurut

(Phillip & Keller, 2012), minat beli konsumen adalah seberapa besar kemungkinan

konsumen untuk membeli suatu merek atau berpindah dari satu merek ke merek

lainnya.

Minat beli adalah keinginan untuk menggunakan suatu produk yang berupa

barang maupun jasa yang ditawarkan oleh suatu perusahaan, dimana keinginan

tersebut muncul karena adanya dorongan dari luar berupa ajakan, pemberitahuan

maupun tawaran yang diterima oleh masyarakat sebagai konsumen (Kurniadin.

2020).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disintesiskan bahwa minat beli

merupakan sebuah sikap keinginan konsumen dalam membeli suatu produk yang

muncul dari dorongan luar berupa ajakan dan pemberitahuan untuk menggunakan

produk barang atau jasa yang ditawarkan oleh perusahaan.


Pada kebanyakan orang, perilaku konsumen sering kali diawali dan

dipengaruhi oleh banyaknya banyaknya rangsangan dari luar dirinya, baik berupa

rangsangan pemasaran maupun rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan

tersebut kemudian diproses dalam diri sesuai dengan karakteristik pribadinya,

sebelum akhirnya diambil keputusan pembelian. Karakteristik pribadi konsumen

yang digunakan untuk memproses rangsangan tersebut sangat kompleks dan salah

satunya adalah motivasi untuk membeli.

2.1.3.2 Faktor yang Memengaruhi Minat Beli

Menurut Almuarief (2016) minat beli konsumen dipengaruhi oleh dua faktor,

yaitu: a. Sikap orang lain. Sejauh mana sikap orang lain mengurangi alternatif yang

disukai seseorang akan bergantung pada dua hal yaitu, intensitas sifat negatif orang

lain terhadap alternatif yang disukai konsumen dan motivasi konsumen untuk

menuruti keinginan orang lain; b. Faktor situasi yang tidak terantisipasi. Faktor ini

nantinya akan dapat mengubah pendirian konsumen dalam melakukan pembelian.

Hal tersebut tergantung dari pemikiran konsumen sendiri, apakah dia percaya diri

dalam memutuskan akan membeli suatu barang atau tidak.

Ada 2 faktor yang dapat memengaruhi minat beli masyarakat, yaitu perilaku

orang lain dan keadaan yang tidak terprediksi sebelumnya (Kurniadin, et.,al, 2020).

Kotler dan Keller (2012) mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang

memengaruhi minat beli terdiri dari dua faktor eksternal, yaitu perilaku orang lain

dan situasi tidak terduga. Minat dianggap sebagai rangsangan internal yang kuat dan

memotivasi tindakan.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disintesiskan bahwa faktor yang

memengaruhi minat beli adalah sikap orang lain dan keadaan yang tidak

diperkirakan sebelumnya.
2.1.3.3 Jenis Minat Beli

Berdasarkan Kotler dan Ketler (2012), Minat beli dapat dikelompokkan

menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut: 1) Minat transaksional.

Kecenderungan seseorang untuk membeli suatu produk. Hal ini bermaksud yakni

konsumen telah memiliki minat untuk melakukan pembelian suatu poduk tertentu

yang di inginkan; 2) Minat referensial. Kecenderungan seseorang untuk

mereferensikan produk kepada orang lain. Hal ini bermaksud yakni seorang

konsumen yang telah memiliki minat untuk membeli akan menyarankan orang

terdekatnya untuk juga melakukan pembelian produk yang sama; 3) Minat

preferensial. Minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang memiliki

preferensi utama pada produk tersebut. Preferensi ini hanya dapat diganti dengan

jika terjadi sesuatu dengan produk preferensinya; 4) Minat eksploratif.

Menggambarkan perilaku seseorang yang selalu mencari informasi mengenai produk

yang diminatinya dan mencari informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari

produk tersebut.

2.1.3.4 Dimensi Minat Beli

Dimensi minat beli adalah melalui model stimulasi AIDA yang berusaha

menggambarkan tahapan-tahapan rangsangan yang mungkin dilalui oleh konsumen

terhadap suatu rangsangan tertentu yang diberikan oleh pemasar, yaitu sebagai

berikut: 1) Perhatian (Attention). Dalam tahap ini masyarakat pernah mendengar

mengenai produk yang dikeluarkan perusahaan. Jadi dalam tahap ini masyarakat

mengenal produk karena sudah mendengar atau melihat promosi yang dilakukan

oleh perusahaan. Hal ini juga ditandai dengan perhatian konsumen ketika melihat

atau mendengar tentang promosi tersebut pertama kalinya; 2) Minat (Interest). Minat

masyarakat timbul setelah mendapatkan dasar informasi yang telah terperinci


mengenai produk. Pada tahap ini masyarakat tertarik pada produk yang ditawarkan

karena promosi ysng dilakukan perusahaan berhasil diterima oleh konsumen; 3)

Kehendak (Desire). Masyarakat mempelajari, memikirkan serta berdiskusi yang

menyebabkan keinginan dan hasrat untuk membeli produk tersebut bertambah.

Dalam tahap ini masyarakat maju satu tingkat dari sekedar tertarik akan produk.

Tahap ini ditandai dengan hasrat yang kuat dari masyarakat untuk membeli dan

mencoba produk; 4) Tindakan (Action). Melakukan pengambilan keputusan yang

positif atas penawaran perusahaan. Pada tahap ini, masyarakat yang sudah melihat

atau mendengar tentang promosi tersebut dan telah melewati tahapan desire benar-

benar mewujudkan hasratnya membeli produk.

2.1.3.5 Indikator Minat Beli

Adapun indikator dari minat beli menurut Ferdinand (2006) diantaranya

sebagai berikut:

a) Minat transaksional, yaitu kecenderungan seorang dalam membeli produk.

b) Minat referensial, yaitu kecenderungan seorang mereferensikan produk pada

orang lain.

c) Minat preferensial, yaitu menunjukan perilaku seseorang yang memiliki

preferensial utama pada produk tersebut. Preferensi ini dapat diganti jika

terjadi sesuatu dengan produk preferensinya.

d) Minat eksploratif, yaitu menunjukan perilaku seorang yang selalu mencari

informasi mengenai prouk yang diminati dan mencari informasi lain yang

mendukung sifat-sifat positif dari produk tersebut.

Menurut (Phillip & Keller, 2012), minat beli dapat diidentifikasikan dengan

indikator-indikator sebagai berikut:


a. Minat Transaksional, yaitu kecenderungan seseorang untuk membeli produk.

b. Minat Referensial, yaitu kecenderungan seseorang untuk mereferensikan produk

kepada orang lain.

c. Minat Preferensial, yaitu minat yang menggambarkan perilaku seseorang yang

memiliki preferensi utama pada produk tersebut. Preferensi ini hanya dapat

diganti jika terjadi sesuatu dengan produk preferensinya.

d. Minat Eksploratif, yaitu minat ini menggambarkan perilaku seseorang yang

selalu mencari informasi mengenai produk yang diminatinya dan mencari

informasi untuk mendukung sifat-sifat positif dari produk tersebut

Pengukuran variabel minat beli menggunakan 4 indikator meliputi: Minat

transaksional, Minat referensial, Minat preferensial, Minat eksploratif (Abdillah, et

al 2018).

Ada beberapa indikator yang disintesiskan untuk mengukur minat beli, yaitu

sebagai berikut:

1) Minat Transaksional: Ingin mengetahui produk, tertarik untuk mencoba

2) Minat Referensial: Mempertimbangkan untuk membeli, merekomendasikan

pada orang lain

3) Minat Preferensial: Memutuskan untuk membeli, ingin memiliki produk

4) Minat Eksploratif: Tertarik untuk mencari informasi mengenai produk, ingin

mengetahui produk secara mendalam

Tabel 2.1 Konseptual Variabel Minat Beli

Variabel Konseptual Dimensi Indikator No


Variabel Butir
Minat Minat beli Perhatian Ingin mengetahui 1
Beli merupakan sebuah (Attention) produk.
(Z) sikap keinginan Tertarik untuk 2
konsumen dalam mencoba
membeli suatu Minat Mempertimbangkan 3
produk yang (Interest) untuk membeli
muncul dari Merekomendasikan 4
dorongan luar pada orang lain
berupa ajakan dan Kehendak Memutuskan untuk 5
pemberitahuan (Desire) membeli
untuk menggunakan Ingin memiliki 6
produk barang atau produk
jasa yang Tindakan Tertarik untuk 7
ditawarkan oleh (Action) mencari informasi
perusahaan. mengenai produk,
Ingin mengetahui 8
produk secara
mendalam

2.1.4 Green Brand Image

2.1.4.1 Definisi dan Konsep

Menurut (Kusuma, 2021), merek hijau didefinisikan sebagai merek yang

menawarkan nilai tambah ramah lingkungan secara signifikan daripada para

pesaingnya dan mampu menarik perhatian konsumen yang menetapkan prioritas

tinggi dalam pembelian produk ramah lingkungan. Sementara itu, merek hijau

mencakup serangkaian atribut dan manfaat terkait dengan berkurangnya dampak

lingkungan yang merugikan dan penciptaan kesan positif pada konsumen dengan

membangun kepedulian lingkungan mereka (Suki, 2016). Lebih lanjut, citra merek

hijau didefinisikan sebagai keseluruhan rangkaian tayangan, konsepsi, dan

kekhawatiran terhadap suatu merek di dalam pikiran pelanggan yang berkorelasi

dengan masalah ramah lingkungan dan keberlanjutan (Doszhanov & Ahmad, 2015).

Rambing (2015) mendefinisikan citra merek sebagai persepsi tentang merek

sebagaimana yang dicerminkan oleh merek itu sendiri ke dalam memori ketika

seorang konsumen melihat merek tersebut. Low & Lamb (2000:4) menyatakan

untuk memahami citra merek dengan baik harus memperhatikan keunikan

karakteristik produk. Dengan demikian citra merek adalah sekumpulan asosiasi


merek yang timbul di benak konsumen karena bersifat unik dan memiliki

komunikasi pemasaran yang intensif.

Konsumen yang memiliki citra yang positif terhadap suatu merek, akan lebih

memungkinkan untuk melakukan pembelian. Lebih dalam Kotler & Keller (2012)

mendefinisikan Green Brand Image sebagai seperangkat keyakinan, ide, dan kesan

yang dimiliki oleh seseorang terhadap suatu brand.

Menurut (Osiyo, 2017) mengatakan bahwa image adalah persepsi yang relatif

konsisten dalam jangka panjang (enduring perception). Pada dasarnya Green Brand

Images, yakni diskripsi tentang asosiasi dan keyakinan konsumen terhadap merek

tertentu.

Rambing et.,al (2015) mendefinisikan citra merek sebagai persepsi tentang

merek sebagaimana yang dicerminkan oleh merek itu sendiri ke dalam memori

ketika seorang konsumen melihat merek tersebut. Untuk memahami citra merek

dengan baik harus memperhatikan keunikan karakteristik produk. Dengan demikian

citra merek adalah sekumpulan asosiasi merek yang timbul di benak konsumen

karena bersifat unik dan memiliki komunikasi pemasaran yang intensif.

Berdasarkan pemahaman tersebut maka dapat disintesiskan bahwa citra merek

hijau sebagai sebuah desain perusahaan yang mengungkapkan informasi mereknya

dan membentuk keyakinan serta kesan ramah lingkungan di benak konsumen yang

melihat atau menggunakan merek tersebut.

Menurut Chen et al. (2017) citra merek hijau memiliki 5 konstruksi sebagai

berikut ini : 1) Merek dianggap sebagai patokan komitmen lingkungan; 2) Reputasi

lingkungan dari merek luar biasa; 3) Performa lingkungan atas merek dikatakan

sukses; 4) Pencitraan merek didasarkan pada penekanannya terhadap perlindungan

lingkungan; 5) Komitmen lingkungan merek dapat dipercaya.


2.1.4.2 Manfaat Green Brand Image

Agar dapat berfungsi bagi perusahaan maka penyampaian citra merek harus

disampaikan pada saluran komunikasi pemasaran yang ada pada merek tersebut.

Manfaat citra merek yang positif sebagaimana (Yahya, 2022) yaitu: a. Konsumen

yang merasakan citra positif, dimungkinkan untuk mengambil keputusan

pembelian; b. Dengan memiliki citra merek yang positif perusahaan dapat

mengembangkan lini produk pada merek produk lama; c. Dengan citra merek positif

perusahaan juga dapat juga menentukan kebijakan family branding dan leverage

branding.

2.1.4.3 Komponen Green Brand Image

Komponen Green Brand Image Menurut (Osiyo, 2017), Green Brand Image

memiliki 3 variabel pendukung, yaitu : 1. Citra Pembuat (Corporate Image)

merupakan sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan konsumen terhadap perusahaan

yang membuat suatu produk atau jasa; 2. Citra Pemakai (User Image) merupakan

sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan konsumen terhadap pemakai yang

menggunakan suatu barang atau jasa; 3. Citra Produk (Product Image) merupakan

sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan konsumen terhadap suatu produk.

2.1.4.4 Faktor Yang Memengaruhi Green Brand Image

Kurniadin (2020) menyatakan bahwa faktor-faktor yang dapat membentuk

Brand Image adalah: keunggulan produk, kekuatan merek, dan keunikan merek.

2.1.4.5 Dimensi Green Brand Image

Hoeffler dan Keller (2003), mengemukakan dimensi dari citra perusahaan

(corporate image), yang secara efektif dapat memengaruhi brand equity terdiri dari

a. Atribut produk, manfaat, dan perilaku secara umum, terkait kualitas dan inovasi;

b. Orang dan relationship, terkait pada pelanggan (customer orientation); c. Nilai


dan program, terkait kepedulian lingkungan dan tenggung jawab sosial; d.

Kredibilitas perusahaan (corporate creability), terkait keahlian, kepercayaan, dan

menyenangkan

2.1.4.6 Indikator Green Brand Image

Indikator Brand Image menurut (Nofiasari & Yasri, 2019) adalah: Functional

image, Symbolic image, Experiental Image. Indikator brand image (Hisam et., al,

2019) yaitu diantaranya : a. Mudah dikenali b. Reputasi c. Selalu diingat.

Indikatornya (Rambing et., al, 2015) yaitu: profesionalisme, modern, melayani

semua segmen masyarakat, concern pada konsumen, popular pada konsumen.

Tabel 2.2 Konseptual Variabel Green Brand Image

Variabel Konseptual Variabel Dimensi Indikator No Butir


Green Citra merek ramah Atribut Mudah dikenali 1
Brand lingkungan sebagai sebuah produk Popular pada 2
Image desain perusahaan yang konsumen
(Y) mengungkapkan informasi Nilai dan Reputasi produk 3
mereknya dan membentuk program
keyakinan serta kesan Keunggulan 4
ramah lingkungan di benak produk
konsumen yang melihat
atau menggunakan merek Kredibilitas Profesionalisme 5
tersebut.
Concern pada 6
konsumen

2.1.5 Green Marketing

2.1.5.1 Definisi dan Konsep

Istilah green marketing atau yang biasa dikenal dengan strategi pemasaran

yang ramah lingkungan menjadi istilah yang lazim digunakan beberapa tahun

terakhir ini (Kusuma et., 2017). Berkembangnya strategi pemasaran hijau bermula

pada saat The American Marketing Association (AMA) pada tahun 1975

mengadakan workshop pertama tentang “ecological marketing”. AMA


mendefinisikan green marketing sebagai suatu proses pemasaran produk-produk

yang diasumsikan aman terhadap lingkungan, yang melibatkan modifikasi produk,

perubahan proses produksi yang ramah lingkungan, dan juga pengemasan produk

dalam hal ini kemasan produk yang ramah lingkungan (Yazdanifard dan Mercy,

2011).

Rambing (2015) menyatakan green marketing merupakan strategi yang

potensial sebagai strategi bisnis dan telah digunakan sebagai poros strategi

pemasaran yang sukses. Charter (1992:27) memberikan definisi pemasaran hijau

(green marketing) merupakan holistik, tanggung jawab strategik proses manajemen

yang mengidentifikasi, mengantisipasi, memuaskan dan memenuhi kebutuhan

stakeholders untuk memberi penghargaan yang wajar, yang tidak menimbulkan

kerugian kepada manusia atau kesehatan lingkungan alam.

Menurut Wulandari (2018) Green Marketing merupakan strategi pemasaran

yang ramah lingkungan, artinya perusahaan tidak hanya memikirkan keuntungan

bagi perusahaan saja, melainkan juga dampaknya pada lingkungan sekitar. Tujuan

utama dari Green Marketing selain mendapatkan keuntungan bagi perusahaan

adalah keselamatan dan kelestarian lingkungan (Ratnawati 2016). Adapun manfaat

Green Marketing adalah mampu memberikan dampak positif bagi produk yang

ditawarkan. Dengan memproduksi barang yang ramah lingkungan baik bahan yang

digunakan maupun cara pengolahannya, dapat menjadikan konsep pemasaran ini

diterima masyarakat dengan cepat (Kurniadin, 2020).

Menurut Pasal (2016 : 33), green marketing sebagai pemasaran yang ramah

lingkungan, menggabungkan beberapa aktifitas seperti modifikasi produk,

perubahan proses produk, kemasan, strategi iklan dan juga meningkatkan kesadaran

para konsumen untuk lebih peduli lagi terhadap keberlangsungan lingkungan.


Menurut (Hisam et., al, 2019). “mengatakan bahwa Green Marketing adalah

semua kegiatan yang dirancang untuk menciptakan dan membiayai semua

perubahan yang diharapkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia,

dengan dampak minimal pada kerusakan lingkungan alam, Ini terjadi karena

memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat berpotensi berdampak negatif

terhadap lingkungan alam”.

Green marketing atau environment marketing itu berkembang sejalan dengan

adanya perhatian masyarakat akan isu-isu lingkungan, sehingga masyarakat

menuntut adanya tanggung jawab pelaku bisnis dalam melakukan aktivitas bisnis.

Kepedulian pada lingkungan diintegrasikan pada strategi, kebijakan dan proses pada

organisasi. Hal ini menuntun pengaruh aktivitas pemasaran pada lingkungan alami,

juga mendorong praktek yang menghilangkan dan meminimalisasi efek yang

merugikan (Khaerunnisa, 2019).

Berdasarkan pengertian diatas, dapat disintesiskan bahwa green marketing

adalah konsistensi dari semua aktifitas dan keinginan manusia, dengan tidak

menimbulkan dampak pada lingkungan alam.

2.1.5.2 Faktor Yang Memengaruhi Green Marketing

Green marketing adalah bagian dari strategi korporat dari keseluruhan karena

harus menerapkan bauran pemasaran konvensional (marketing mix) yang terdiri dari

produk, harga, tempat atau saluran distribusi, dan promosi (Kusuma, 2017).

a. Produk ramah lingkungan

Suwarwan et al. (2012:235) mengklasifikasikan produk ramah

lingkungan adalah suatu produk yang menggunakan bahan-bahan aman bagi

lingkungan, energi yang efisien, dan menggunakan bahan dari sumber daya

yang dapat diperbaharui. Proses produksi dilakukan dengan suatu cara untuk
mengurangi dampak negatif terhadap pencemaran lingkungan, mulai dari

produksi, saluran distribusi dan sampai dengan saat dikonsumsi. Karakteristik

produk hijau menurut beberapa peneliti, yaitu :

1) Produk tidak mengandung toxic (racun)

2) Produk lebih tahan lama

3) Produk menggunakan bahan baku dari bahan daur ulang

4) Produk menggunakan bahan baku yang dapat di daur ulang

5) Produk tidak menggunakan bahan yang dapat merusak lingkungan

6) Menggunakan kemasan yang sederhana dan menyediakan produk isi ulang

7) Tidak membahayakan bagi kesehatan manusia dan hewan

8) Tidak menghabiskan banyak energi dan sumber daya lainnya selama

pemrosesan, penggunaan, dan penjualan

9) Tidak menghasilkan sampah yang tidak berguna akibat kemasan dalam

jangka waktu yang singkat.

b. Harga premium

Harga merupakan faktor penting dari green marketing mix. Kebanyakan

konsumen hanya akan siap untuk membayar nilai tambah jika ada persepsi

nilai produk tambahan. Nilai ini dapat meningkatkan kinerja, fungsi, desain,

daya tarik visual, atau rasa. Green marketing harus mengambil semua fakta ini

menjadi pertimbangan saat pengisian harga premium. Arseculeratne dan

Yazdanifard (2014) berpendapat bahwa perusahaan yang menerapkan strategi

green marketing akan menetapkan harga yang lebih tinggi dibandingkan

dengan harga produk pesaing. Faktor yang menyebabkan harga produk ramah

lingkungan lebih mahal adalah biaya yang dikeluarkan perusahaan pelaksana

green marketing lebih tinggi karena untuk memperoleh sertifikasi.


c. Saluran distribusi ramah lingkungan

Pilihan dimana dan kapan untuk membuat produk selalu tersedia dapat

memberikan pengaruh signifikan pada pelanggan. Sangat sedikit pelanggan

yang benar-benar hanya ingin membeli produk karena keramah lingkungannya

saja. Penjual yang ingin mencapai kesuksesan dalam penjualan produk yang

ramah lingkungan seharusnya memposisikan produknya secara luas dipasar

sehingga dapat lebih dikenali (Queensland Goverment, 2002).

d. Promosi ramah lingkungan

Kunci utama dari strategi green marketing adalah kredibilitas. Promosi

produk ramah lingkungan dapat mengubah kebiasaan konsumen, seperti

contoh persepsi konsumen yang awalnya menggunakan kantong plastik

menjadi menggunakan tas daur ulang yang dapat digunakan berkali-kali dan

tidak merugikan lingkungan. Green promotion mengenai kegiatan perusahaan

untuk mengkampanyekan program-program yang mengangkat isu lingkungan,

untuk mengokohkan image sebagai sebuah perusahaan ramah lingkungan

(Agustin et.al., 2015).

2.1.5.3 Dimensi dan Indikator Green Marketing

Ada beberapa dimensi dalam green marketing, yaitu (Pasal 2016:17): 1.

Produk ramah lingkungan (Green Product) dengan indikator yang digunakan

adalah ramah lingkungan dan dapat didaur ulang. 2. Harga premium (Green Price)

dengan indikator yang digunakan adalah harga produk sejenis, harga sesuai kinerja,

dan harga sesuai desain. 3. Saluran distribusi ramah lingkungan (Green Place)

dengan indikator yang digunakan adalah mudah dijangkau dan kelengkapan produk.

4. Promosi ramah lingkungan (Green Promotion) dengan indikator yang digunakan

adalah pesan lingkungan dan memotivasi konsumen.


Pengukuran Green Marketing menggunakan indikator (dimensi) dari

Dharmmesta dan Handoko (2000:124) yang meliputi:

1) Green Products

2) Green Price

2) Green Distributif

3) Green Promotion

Tabel 2.3 Konseptual Variabel Green Marketing

Variabel Konseptual Variabel Dimensi Indikator No


Butir
Green Green marketing Green Produk ramah 1
Marketing adalah konsistensi dari Product lingkungan
(X1) semua aktifitas dan Dapat didaur 2
keinginan manusia, ulang
dengan tidak Green Harga premium 3
menimbulkan dampak Price produk sejenis
pada lingkungan alam.
Harga sesuai 4
kinerja

Harga sesuai 5
desain
Green Produk mudah 6
Distribution dijangkau
Kelengkapan 7
produk
Green Pesan 8
Promotion lingkungan
Memotivasi 9
konsumen

2.1.6 Corporate Social Responsibility

2.1.6.1 Definisi dan Konsep CSR

Menurut Untung (2008:1) mengemukakan bahwa corporate social

responsibility adalah komitmen suatu perusahaan atau dunia bisnis untuk

berkontribusi dalam perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan

memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitik beratkan pada


keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, hukum, sosial, dan

lingkungan. Menurut Untung (2008:1), CSR dikonsepkan sebagai piramida yang

terdiri dari empat macam tanggung jawab, yaitu ekonomi, hukum, sosial, dan

lingkungan.

Corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan adalah

tentang bagaimana perusahaann me-manage proses-proses bisnisnya untuk

menghasilkan dampak positif secara keseluruhan pada masyarakat. pendapat

tersebut maka dapat diartikan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan tak hanya

pada lingkungan eksternal perusahaan yang meliputi masyarakat sekitar dan

lingkungan, namun juga lingkungan internal perusahaan (Balawera, 2013).

CSR merupakan pendekatan dari perusahaan dalam memadukan aktivitas

bisnis perusahaan dan bentuk tanggung jawab sosial dan juga hubungan terhadap

para stakeholders berdasarkan prinsip kemitraan dan kesukarelaan (Nurhayati,

Gozali, & Putranti, 2016). CSR menjadi bagian terpenting dalam penyusunan

kerangka keberlanjutan usaha bisnis yang mencakup aspek lingkungan, sosial

budaya, dan ekonomi (Rudito, Budimanta, & Prasetijo, 2004). CSR yang dilakukan

dengan baik tidak selalu memberikan hasil kontribusi yang positif pada sikap,

kepercayaan, persepsi dan keinginan konsumen untuk membeli (Mahendra &

Nugraha, 2021).

Corporate Social Responsibility adalah komitmen perusahaan untuk

meningkatkan kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis yang baik dan

mengkontribusikan sebagian sumber daya perusahaan” (Abdillah, 2018).

CSR adalah sebuah tanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan

komunitas melalui tindakan bebas untuk menentukan praktek bisnis dan kontribusi

sumber daya perusahaan (Semuel & Wijaya, 2008). Maksud dari bebas menentukan
praktek bisnis bukan berarti melanggar hukum atau tidak bermoral melainkan

tindakan sukarela dari sebuah perusahaan untuk berkontribusi secara sosial terhadap

komunitasnya. Istilah “komunitas” termasuk kondisi manusia dan lingkungan

sekitarnya.

Menurut versi Uni Eropa, CSR adalah sebuah konsep dimana sebuah

perusahaan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan dalam operasional

perusahaan dan dalam interaksinya dengan stakeholders. Menurut versi Bank Dunia,

CSR adalah sebuah tanggung jawab perusahaan untuk berkontribusi terhadap

perkembangan perekonomian atas karyawan dan keluarganya, komunitas, dan sosial

dalam skala besar untuk meningkatkan kualitas hidup sehingga baik untuk bisnis

perusahaan dan juga untuk perkembangan perekonomian. CSR dikembangkan dalam

konsep triple bottom line, dalam istilah economic prosperity, environmental quality,

dan social justice. Dalam konsep ini dikatakan bahwa perusahaan tidak hanya

mengejar profit semata, mereka juga harus terlibat pada pemenuhan kesejahteraan

masyarakat (people), dan berpartisipasi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan

(planet). Konsep ini digambarkan melalui segitiga dalam kehidupan stakeholders

yang mesti diperhatikan perusahaan di tengah upayanya mencari profit, yakni

ekonomi, lingkungan, dan sosial (Semuel & Wijaya, 2008).

Corporate social responsibility adalah suatu bentuk self-regulation perusahaan

yang diintegrasikan ke dalam model bisnis. Idealnya, kebijakan corporate social

reponsibility harus berfungsi membangun, dimana bisnis akan memantau dan

memastikan kepatuhan terhadap hukum, standar etika, dan norma-norma

internasional (Nofiasari & Yasri, 2019). Corporate social responsibility dianggap

sebagai dimensi penting dalam membangun merek perusahaan yang kuat (Porter dan

Kramer, 2006). Corporate social responsibility mencakup setidaknya tiga aspek


hubungan antara perusahaan dan masyarakat, yaitu : bagaimana menjalankan bisnis

yang mencerminkan etika pertimbangan, sejauh mana operasi bisnis mengganggu

kegiatan sosial dan manusia serta bagaimana operasi bisnis memengaruhi

lingkungan (Vaaland dan Morten, 2005).

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disintesiskan bahwa corporate

social responsibility merupakan sebuah tanggung jawab sosial perusahaan dalam

melakukan kegiatan produksi demi meningkatkan kesejahteraan sumberdaya dan

menciptakan lingkungan yang ramah lingkungan.

2.1.6.2 Faktor Yang Memengaruhi CSR

Setiap perusahaan memiliki faktor-faktor yang berbeda-beda dalam melakukan

pengungkapan pertanggungjawaban sosial meskipun perusahaan tersebut masih

dalam satu jenis usaha yang sama. Faktor-faktor yang berbeda dalam memengaruhi

pengungkapan pertanggungjawaban sosial perusahaan disebut dengan karakteristik

perusahaan. Putri (2022), faktor-faktor atau karakteristik perusahaan diantaranya

adalah Profitabilitas, leverage, tipe perusahaan, ukuran perusahaan, ukuran dewan

komisaris, pertumbuhan perusahaan, kinerja lingkungan, umur perusahaan, ukuran

komite audit dan ukuran dewan direksi. Namun pada penelitian ini peneliti memilih

faktor-faktor profitabilitas, leverage, ukuran perusahaan, ukuran dewan komisaris

dan kinerja lingkungan sebagai karakteristik perusahaan. Hal ini dikarenakan

peneliti ingin mengetahui bagaimana pengaruh kinerja keuangan seperti

profitabilitas dan leverage, kemudian kinerja lingkungan, ukuran perusahaan serta

ukuran dewan komisaris terhadap pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan.

2.1.6.3 Dimensi dan Indikator CSR

Pengukuran variabel Corporate Social Responsibility (Abdillah, 2018)

menggunakan 3 Dimensi yaitu sebagai berikut


a. Dimensi ekonomi

b. Dimensi sosial

c. Dimensi lingkungan

Indikator setiap dimensi (Semuel & Wijaya, 2008) diantaranya sebagai berikut:

a) Dimensi ekonomi diukur oleh product, service dan avoiding actions that

damage trust

b) Dimensi sosial diukur oleh labour practies dan social activities

c) Dimensi lingkungan diukur oleh waste management, producing environment

friendly product.

Tabel 2.4 Konseptual Variabel CSR


Variabel Konseptual Variabel Dimensi Indikator No Butir
Corporate Corporate social Ekonomi Produk 1
Social responsibility
Pelayanan 2
Responsibility merupakan sebuah
(X2) tanggung jawab sosial
Menghindari 3
perusahaan dalam
tindakan yang
melakukan kegiatan
merusak
produksi demi
kepercayaan
meningkatkan
Sosial Praktik 4
kesejahteraan
ketenagakerjaan
sumberdaya dan
menciptakan Kegiatan sosial 5
lingkungan yang Lingkunga Pengelolaan 6
ramah lingkungan. n limbah
Menghasilkan 7
produk yang
ramah
lingkungan

2.1.7 Hasil Penelitian Yang Relevan

Pada dasarnya, suatu penelitian tidak berangkat dari awal. Akan tetapi telah

terdapat penelitian-penelitian lain yang medahuluinya. Penelitian terdahulu tersebut

tentunya memiliki topik yang relevan, agar dapat dijadikan sebagai dasar

pertimbangan bagi peneliti. Begitu pula halnya dengan penelitian ini, juga terdapat
berbagai penelitian terdahulu dengan topik mengenai green marketing, corporate

social responsibility dan green brand image terhadap minat beli.

2.1.7.1 Pengaruh Green Marketing terhadap Green Brand Image

Penelitian (Almuarief, 2016), menyatakan bahwa hasil estimasi analisis jalur

untuk variabel green marketing diperoleh nilai C.R sebesar 14,790 > 1,96 dengan p-

value 0,000 < 0,05 serta Koefisien Standardrized sebesar 0,968. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa green marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap

bran image. Dengan demikian hipotetsis pertama yaitu “Terdapat pengaruh positif

green marketing terhadap brand image air minum dalam kemasan Ades” diterima.

Koefisien Standardrized yang bernilai positif menunjukkan bahwa semakin baik

green marketing maka semakin baik juga brand image air minum dalam kemasan

merek Ades.

Penelitian (Ayuningtias, 2022) bertujuan untuk mengetahui adanya pengaruh

antara variabel green marketing terhadap variabel brand image. Adanya pengaruh

tersebut dibuktikan dengan uji hipotesis yang dilakukan dengan uji-t. dari hasil uji

tersebut diketahui hasil nilai thitung (20,306) lebih besar dibandingkan dengan ttabel

(1.966). kesimpulannya, bahwa H0 ditolak dan Ha diterima. Artinya ada pengaruh

antara green marketing terhadap brand image KFC Naughty by Nature Senopati

Jakarta Selatan.

Penelitian (Santoso, 2017) mengatakan bahwa hasil analisis pengaruh green

marketing perusahaan terhadap brand image diperoleh nilai signifikan sebesar 0,001

dengan nilai koefisien beta 0,568. Nilai signifikan 0,001 < 0,05 mengindikasikan

bahwa H₀ ditolak dan H₁ diterima. Hasil ini mempunyai arti bahwa green

marketing perusahaan berpengaruh dan signifikan terhadap brand image.


Penelitian (Setyaningrum, 2017) menunjukkan adanya pengaruh green

marketing terhadap brand image produk lampu LED Philips. Hal ini berarti secara

umum green marketing pada produk lampu LED Philips telah dilakukan dengan

baik yaitu melalui eco-label, ecobrand, environmental advertising, environmental

awareness, green product, green price, green promotion dan demographic.

Kemudian responden menilai proses brand image dari produk lampu LED Philips di

kota Bandung sudah dilakukan dengan baik. Dimana brand image akan tercipta

dengan adanya green marketing.

Penelitian (Askaria, 2021) menunjukkan uji hipotesis yang telah dilakukan,

dapat diketahui bahwa green marketing berpengaruh signifikan terhadap minat beli

konsumen produk Love Beauty and Planet. Hal ini dapat dilihat dari hasil hitung uji

t, dimana t hitung lebih besar dari ttabel. Sehingga menunjukkan bahwa variabel

green marketing berpengaruh secara signifikan terhadap minat beli.

Tabel 2.5 Penelitian relevan tentang pengaruh green marketing terhadap


brand image

No Peneliti, Variabel Temuan


Tahun
1 (Almuarief, Green marketing, Terdapat pengaruh positif green
2016) brand image, minat marketing terhadap brand image air
beli minum dalam kemasan Ades”
diterima. Koefisien Standardrized
yang bernilai positif menunjukkan
bahwa semakin baik green
marketing maka semakin baik juga
brand image air minum dalam
kemasan merek Ades.
2 (Ayuningtias, Green marketing, Hasil penelitian ini menyatakan
2022) Brand image bahwa terdapat pengaruh yang
positif dan signifikan green
marketing terhadap brand image air
minum dalam kemasan Ades. Hal ini
berarti semakin baik green
marketing maka semakin baik brand
image yang dimiliki olah Ades.
3 (Santoso, Green marketing, Hasil penelitian ini memiliki arti
2017) corporate social bahwa Green Marketing
responsibility, berpengaruh secara positif dan
brand image signifikan terhadap brand image.
Hasil penelitian ini memiliki arti
bahwa semakin meningkatnya green
marketing akan mampu
meningkatkan brand image pada
Tupperware di Kota Denpasar.
4 (Setyaningrum Green marketing, Proses brand image produk lampu
, 2017) brand image LED Philips di kota Bandung secara
keseluruhan temasuk dalam kategori
“Baik”, dapat dilihat dari persentase
yang diperoleh sebesar 83,3%. Hal
ini menunjukkan bahwa responden
menilai proses brand image dari
produk lampu LED Philips di kota
Bandung sudah dilakukan dengan
baik. Dimana brand image akan
tercipta dengan adanya green
marketing.
5 (Askaria, Green marketing, Terdapat pengaruh signifikan secara
2021) minat beli, langsung Green marketing terhadap
kepercayaan merek minat beli. Pemasaran ramah
lingkungan meliputi pengembangan
produk, pembedaan, penetapan
harga, promosi produk dan layanan
berbasis kebutuhan lingkungan
pelanggan tanpa efek berbahaya
pada lingkungan.

2.1.7.2 Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Green Brand Image

Penelitian (Santoso, 2017) menyatakan bahwa hasil Penelitian ini menunjukkan

bahwa nilai koefisien beta signifikan 0,276 dengan tingkat signifikan sebesar 0,000

(kurang dari 0,05) memiliki arti bahwa diterima. Hasil penelitian ini

mengindikasikan bahwa variabel corporate social responsibility berpengaruh

signifikan terhadap brand image. Tupperware sering melakukan kegiatan CSR

sehingga mampu meningkatkan brand imagenya.

Penelitian (Laksita & Widodo, 2020), menyatakan bahwa hasil pengolahan data

SEM-PLS menunjukkan bahwa pada pengaruh Corporate Social Responsibility

terhadap green brand memiliki nilai t-statistic sebesar 19,918 > t-table sebesar
1,649. Dengan demikian H0 ditolak dan H1 diterima. Artinya variabel Corporate

Social Responsibility berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel green

brand.

Penelitian (Nofiasari & Yasri, 2019) menyatakan hasil pengujian hipotesis

ditemukan bahwa terdapat pengaruh signifikan dari corporate social responsibility

terhadap brand image pada produk Tupperware di kota Padang.

Penelitian (Sarabia-Sanzhes, 2018) menyatakan bahwa hasil analisis regresi

model structural, menemukan bawa adanya pengaruh dari persepsi CSR dengan

brand image (β ¼ 0.31; p0.01).

Penelitian (Chalimatuz, 2017) menyatakan bahwa analisis deskriptif responden

menunjukkan bahwa peningkatan perusahaan program tanggung jawab sosial akan

berbanding lurus dengan persepsi nasabah terhadap Citra merek toko The Body

Shop. Nilai rata-rata dari salah satu item yang berkontribusi pada sosial lingkungan

dijabarkan dalam kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan yang telah dilakukan

dilakukan salah satunya pada tahun 2000 dengan tema “Pilih Energi Positif”

bekerjasama dengan Greenpeace untuk mengkampanyekan energi terbarukan

tersebut.

Tabel 2.6 Penelitian relevan tentang pengaruh corporate social


responsibility terhadap brand image

No Peneliti, Tahun Variabel Temuan


1 (Santoso, 2017) Green Corporate Social Responsibility
marketing, berpengaruh secara positif dan
corporate social signifikan terhadap brand image.
responsibility, Hasil penelitian ini memiliki arti
brand image bahwa semakin meningkatnya
corporate social responsibility akan
mampu meningkatkan brand image
pada Tupperware di Kota Denpasar.
2 (Laksita & Corporate Corporate Social Responsibility
Widodo, 2020) social berpengaruh positif dan signifikan
responsibility, terhadap variabel green brand.
green brand,
minat beli
3 (Nofiasari & Green Corporate social responsibility
Yasri, 2019) marketing, berpengaruh positif dan signifikan
corporate social terhadap brand image pada produk
responsibility, Tupperware di kota Padang.
brand image. Artinya, semakin tinggi penerapan
corporate social responsibility di
perusahaan
Tupperware maka semakin tinggi
pula brand image konsumen dan
masyarakat terhadap Tupperware.
Sebaliknya, jika semakin rendah
corporate social responsibility
perusahaan Tupperware maka brand
image Tupperware konsumen pun
juga menjadi menurun.
4 (Sarabia-Shanzes, perceived CSR Terdapat pendekatan yang
2018) on corporate memberikan pemahaman yang lebih
reputation and baik tentang bagaimana dirasakan
purchase CSR mempengaruhi niat beli dan
intention reputasi.

5 (Chalimatuz, Green Terdapat pengaruh yang signifikan


2017) marketing, dari Corporate Social Responsibility
corporate social terhadap Brand Image
responsibility
brand image,
purchase
intention

2.1.7.3 Pengaruh Green Marketing terhadap Purchase Intention

Penelitian (Askaria, 2021) Green marketing berpengaruh signifikan secara

langsung terhadap minat beli. Kegiatan green marketing melibatkan pengembangan

produk, pembedaan, penetapan harga, promosi produk dan layanan yang memenuhi

kebutuhan lingkungan pelanggan tanpa adanya pengaruh yang merugikan terhadap

lingkungan (Chen dan Chang, 2012). Melakukan peningkatan strategi green

marketing dapat meningkatkan niat beli pelanggan (Chen dan Chang, 2012).

Temuan penelitian ini mendukung penelitian Wu dan Chen (2014) menunjukkan

bahwa kesadaran konsumen mengenai green marketing berpengaruh signifikan

terhadap purchase intention. Temuan lainnya dilakukan oleh Kartikasari et al,


(2018) juga menunjukkan bahwa green marketing berpengaruh signifikan terhadap

minat beli.

Penelitian (Almuarief, 2016), menyatakan bahwa hasil estimasi analisis jalur

untuk variabel green marketing diperoleh C.R sebesar 5,873 > 1,96 dengan p-value

0,000 < 0,05 serta Koefisien Standardrized sebesar 0,641. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa green marketing berpengaruh positif dan signifikan terhadap

minat beli. Dengan demikian hipotesis kedua yaitu “Terdapat pengaruh positif green

marketing terhadap minat beli air minum dalam kemasan Ades” diterima. Koefisien

Standardrized yang bernilai positif menunjukkan bahwa semakin baik green

marketing Ades maka semakin baik minat beli air minum dalam kemasan Ades.

Penelitian (Sani, 2022), menyatakan bahwa hasil pengujian variabel green

marketing (X1) terhadap green purchase intention produk kecantikan dengan uji T,

dapat diketahui bahwa nilai koefisien variabel green marketing sebesar 0,706 dan

nilai signifikansi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak dan H1

diterima. Artinya variabel green marketing signifikan terhadap variabel green

purchase intention. Nilai koefisien variabel green marketing sebesar 0,706

menunjukkan bahwa variabel green marketing bernilai positif terhadap green

purchase intention.

Penelitian (Khaerunnisa, 2019), menyatakan bahwa Hipotesa yang menyatakan

bahwa “green marketing berpengaruh positif terhadap minat beli Amdk merek Aqua

dikalangan Mahasiswa S1 fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram”

Terbukti. Karna hasil statistik pada uji hipotesis diperoleh t hitung sebesar 3.670 > t

tabel 2.276 dengan nilai signifikansi sebesar 0.000<0.05. Ini menunjukkan bahwa

variabel green marketing (X1) berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel

minat beli (Y). Selain itu berdasarkan pengamatan peneliti, kosumen cukup setuju
dengan produk Aqua yang memiliki kemasan yang ramah ingkungan sehingga

meminimalkan penggunaan plastik yang berbahaya bagi lingkungan. Hal ini berarti

green marketing berpengaruh postif terhadap minat beli AMDK merek Aqua

dikalangan Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Mataram.

Penelitian (Mahmoud T.O, et al, 2017) menyatakan bahwa adanya temuan

penelitian yang menunjukkan bahwa empat kategori bauran pemasaran hijau yaitu:

Green Product, Green Price, Green Place dan Green Promotion memiliki hubungan

positif dan signifikan dengan Minat Beli. Yang diungkapkan oleh Mahasiswa MBA

di Universitas Sudan.

Tabel 2.7 Penelitian relevan tentang pengaruh green marketing terhadap


purchase intention
No Peneliti, Tahun Variabel Temuan
1 (Askaria, 2021) Green Terdapat pengaruh signifikan secara
marketing, langsung green marketing terhadap
minat beli minat beli
kepercayaan
merek
2 (Almuarief, 2016) Green Terdapat pengaruh green marketing
marketing, terhadap minat beli. Hasil dari
brand image, penelitian ini menyatakan bahwa
minat beli adanya pengaruh positif dan
signifikan green marketing terhadap
minat beli air minum dalam
kemasan Ades. Hal ini berarti
semakin baik green marketing maka
semakin baik minat beli yang
dimiliki oleh Ades.
3 (Sani, 2022) Green Pengaruh green marketing dan label
marketing, label halal terhadap green purchase
halal, green intention produk Love Beauty and
purchase Planet oleh konsumen di D.I
intention. Yogyakarta
4 (Khaerunnisa, Green Green marketing memiliki pengaruh
2019) marketing, positif terhadap minat beli, yang
brand image, menunjukkan konsumen sudah
minat beli paham tentang kelestarian
lingkungan. Dimana kosumen cukup
setuju dengan produk Aqua yang
memiliki kemasan yang ramah
ingkungan sehingga meminimalkan
penggunaan plastik yang berbahaya
bagi lingkungan.
5 (Mahmoud T.O, et Green Regresi berganda mengungkapkan
al, 2017) marketing, bahwa ada pengaruh signifikan dari
purchase bauran pemasaran ramah lingkungan
intention, dengan unsur niat beli konsumen.
environmental
knowledge

2.1.7.4 Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Purchase Intention

Penelitian (Abdillah et.al, 2018), asil statistik uji t menyatakan bahwa “Terdapat

pengaruh positif CSR terhadap minat beli pada konsumen lampu Philips LED

Yogyakarta”. Tanggung Jawab Sosial (CSR) dapat menarik minat konsumen,

perilaku pembelian konsumen seringkali diawali dan dipengaruhi oleh banyaknya

rangsangan dari luar dirinya, baik berupa rangsangan pemasaran maupun rangsangan

dari lingkungannya. Menurut Redman (2015), Tanggung Jawab Sosial (CSR) dapat

meyakinkan kepercayaan eksekutif perusahaan bahwa hal tersebut dapat membantu

perusahaan mendapatkan pelanggan baru atau minat beli konsumen.

Penelitian (Laksita & Widodo, 2020), menyatakan bahwa hasil pengolahan data

SEM-PLS menunjukkan bahwa pada pengaruh Corporate Social Responsibility

terhadap minat beli memiliki nilai t-statistic sebesar 19,044 > ttable sebesar 1,649.

Dengan demikian H0 ditolak dan H3 diterima. Artinya variabel Corporate Social

Responsibility berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel minat beli.

Penelitian (Arachchi & Mendis, 2021) menyatakan bahwa adanya temuan

penelitian ini menguatkan bukti empiris yang ada yang mendukung hubungan

langsung antara persepsi CSR dan niat beli. Dampak sosial perusahaan yang

dirasakan tanggung jawab atas niat membeli bersifat positif lintas generasi (Gen X

dan Y).
Penelitian (Lee & Lee, 2018) mengemukakan bahwa mengenai CSR tingkat

perusahaan, persepsi timbal balik peserta secara positif dan langsung mempengaruhi

niat beli. Penelitian (Chalimatuz et al, 2017) menyatakan bahwa Corporate social

responsibility memiliki pengaruh terhadap niat beli. Tanggung jawab yang didukung

dengan hasil perhitungan VAF sebesar 0,614.

Tabel 2.8 Penelitian relevan tentang pengaruh corporate social


responsibility terhadap purchase intention

No Peneliti, Tahun Variabel Temuan


1 (Abdillah et., al, Green product, Pengaruh positif CSR terhadap
2018) CSR, minat beli, minat beli pada konsumen lampu
keputusan Philips LED Yogyakarta. Tanggung
pembelian Jawab Sosial (CSR) dapat menarik
minat konsumen, perilaku pembelian
konsumen seringkali diawali dan
dipengaruhi oleh banyaknya
rangsangan dari luar dirinya, baik
berupa rangsangan pemasaran
maupun rangsangan dari
lingkungannya.
2 (Laksita & Corporate Corporate Social Responsibility
Widodo, 2020) social berpengaruh positif dan signifikan
responsibility, terhadap variabel minat beli
green brand
image, minat
beli
3 (Arachchi & Perceived Terdapat pengaruh antara corporate
Mendis, 2021) corporate social social responsibility dengan
responsibility, purchase intention.
purchase
intention, brand
attitude
4 (Lee & Lee, 2018) multi-brand Mengenai CSR tingkat perusahaan,
company’s, CSR persepsi timbal balik peserta secara
activities, positif dan langsung mempengaruhi
purchase niat beli.
intention,
corporate image
and
brand image
5 (Chalimatuz et al, Green Terdapat pengaruh antara corporate
2017) marketing, social responsibility dengan
corporate social purchase intention.
responsibility,
brand image,
purchase
intention.

2.1.7.5 Pengaruh Green Brand Image terhadap Purchase Intention

Penelitian (Almuarief, 2016) menyatakan bahwa hasil estimasi analisis jalur

untuk variabel brand image diperoleh nilai C.R sebesar 3,459 > 1,92 dengan p-value

0,000 < 0,05 serta Koefisien Standardrized sebesar 0,305. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa brand image berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat

beli. Dengan demikian hipotesis ketiga yaitu “Terdapat pengaruh positif brand

image terhadap minat beli air minum dalam kemasan Ades” diterima. Nilai koefisien

Standardrized yang positif menunjukkan bahwa semakin baik brand image air

minum dalam kemasan Ades maka semakin baik juga minat beli pada Ades.

Penelitian (Kurniadin, 2021), menyatakan bahwa Pengukuran Brand Image

menggunakan indikator produsen, reputasi baik, citra baik. Skor rata-rata tertinggi

terdapat pada pernyataan “Produk AMDK AQUA memiliki reputasi baik dimata

konsumen dan terendah ada pada pernyataan “Produk AMDK AQUA mempunyai

citra baik”. Penelitian ini konsisten dengan penelitian terdahulu oleh Rachmawati,

dkk (2020) yang menyatakan bahwa Brand Image berpengaruh positif dan signifikan

terhadap Minat Beli.

Penelitian (Hisam, 2018) mengemukakan bahwa hasil yang diperoleh dalam

penelitian ini diketahui bahwa citra merek memiliki pengaruh positif signifikan

terhadap Minat beli sebesar 0,854 dengan t hitung variabel Kepercayaan sebesar

15,314 dan memiliki nilai sebesar 0,000 lebih kecil 0,05. Maka dapat

di tarik kesimpulan bahwa Brand Image berpengaruh signifikan kepada Minat beli

Jika dilihat dari nilai beta yang diperoleh maka variabel citra merek berpengaruh

sebesar 0,854 bisa mempengaruhi Minat Beli.


Penelitian (Laksita & Widodo, 2020), mengemukakan hasil pengolahan data

SEM-PLS menunjukkan bahwa pada pengaruh green brand terhadap minat beli

memiliki nilai t-statistic sebesar 11,566 > t-table sebesar 1,649. Dengan demikian

H0 ditolak dan H2 diterima. Artinya variabel green brand berpengaruh positif dan

signifikan terhadap variabel minat beli.

Penelitian (Dewanti, 2018) mengemukakan hasil penelitian menunjukan

bahwa variabel Green Brand Image (X) berpengaruh positif terhadap Green

Purchase Intention (Y2) karena memiliki nilai probalitas (0,000) < 0,05 yang berarti

ada pengaruh yang signifikan.

Tabel 2.9 Penelitian relevan tentang pengaruh brand image terhadap


purchase intention

No Peneliti, Tahun Variabel Temuan


1 (Almuarief, 2016) Green Terdapat pengaruh positif dan
marketing, signifikan brand image terhadap
brand image,minat beli air minum dalam
minat beli kemasan Ades. Hal ini berarti
semakin baik brand image maka
semakin baik juga minat beli
konsumen terhadap Ades.
2 (Kurniadin, 2021) Green Brand Image berpengaruh positif
marketing, signifikan terhadap Minat Beli.
brand image, Semakin baik Brand Image maka
minat beli minat beli konsumen akan semakin
meningkat, begitu juga sebaliknya.
3 (Hisam et al., Green Temuan berupa Brand Image
2019) marketing, berpengaruh langsung dan signifikan
minat beli, terhadap Minat Beli.
brand image
4 (Laksita & Corporate Variabel green brand berpengaruh
Widodo, 2020) social positif dan signifikan terhadap
responsibility, variabel minat beli.
green brand,
minat beli
5 (Dewanti, 2018) Green brand Hasil penelitian menunjukan bahwa
image, green variabel Green Brand Image (X)
trust, green berpengaruh positif terhadap Green
purchase Purchase Intention (Y2) karena
intention. memiliki nilai probalitas (0,000) <
0,05 yang berarti ada pengaruh yang
signifikan.
2.2 Kerangka Pemikiran

Agar konsumen dapat berminat untuk melakukan pembelian yang tepat dan

menciptakan citra konsumen terhadap merek, maka pengelola bisnis harus dapat

menetapkan strategi pemasaran yang efektif. Kesadaran konsumen akan produk yang

ramah lingkungan semakin meningkat, untuk itu perusahaan harus cermat dalam

membuat produk tidak hanya mengedepankan kecantikan melainkan memperhatikan

lingkungan.

Purnama (2014) menyatakan bahwa green marketing merupakan seluruh aktivitas

yang didesain untuk menghasilkan dan memfasilitasi semua perubahan yang

diharapkan dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia, dengan dampak

minimal pada perusakan lingkungan alam. Saat ini mulai banyak perusahaan yang

mengadopsi strategi green marketing sejalan dengan mulai banyaknya konsumen dan

organisasi organisasi yang peduli akan lingkungan.

Green marketing tidak hanya strategi untuk mendapatkan keuntungan yang

sebesar-besarnya, tetapi juga sebagai cara untuk menjaga kestabilan lingkungan. Di

tengah-tengah isu lingkungan seperti saat ini penggunaan strategi green marketing akan

membangun citra merek. Konsumen cenderung memberikan citra positif terhadap

perusahaan yang mulai melakukan kegiatan yang berorientasi terhadap lingkungan

(Silvia et.al., 2014).

Green marketing memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai

pilihan strategi pemasaran yang bertanggung jawab sosial. Perusahaan yang

menerapkan green marketing tentu memiliki beberapa poin nilai lebih dibandingkan

strategi konvensional. Keunggulan strategi green marketing akan membuat seseorang


mudah percaya dengan suatu produk yang dapat membentuk suatu minat beli dan

nantinya akan berdampak pada keputusan pembelian (Agustin, 2015).

Dalam pasar masa kini, sebagian perusahaan menyediakan produk yang serupa.

Hal ini dapat membingungkan konsumen dalam memilih produk mana yang akan

dipilih (Pribadi, 2012). Rangkuti (2012) berpendapat bahwa pada umumnya sebagian

besar konsumen tidak ingin direpotkan oleh banyak informasi mengenai karakteristik

suatu produk. Hal ini disebabkan karena konsumen tidak ingin membeli semua

karakteristik produk yang ditawarkan, tetapi menginginkan keuntungan yang diperoleh

dari produk tersebut. Dengan demikian pemilihan produk akan jadi sangat subjektif dan

sangat dipengaruhi oleh faktor yang bersifat seperti citra merek.

Konsumen cenderung memilih produk yang sudah dikenal baik atau sudah

memiliki citra merek yang baik. Jadi apabila suatu produk memiliki citra diri yang

positif dimata konsumen dan diyakini dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan

konsumen, maka minat membeli suatu produk akan timbul dalam diri konsumen.

2.2.1 Pengaruh Green Marketing terhadap Green Brand Image

Green marketing memengaruhi brand image (Almuarief, 2016). Semakin baik

strategi pemasaran ramah lingkungan yang diterapkan oleh perusahaan maka semakin

baik citra merek yang dimiliki oleh perusahaan. Begitupun (Khrisna, 2016) yang

menyatakan green marekting dipengaruhi oleh green brand image. Dengan

meningkatnya kesadaran konsumen akan masalah lingkungan, juga turut

memengaruhi aktivitas perusahaan yang berfokus pada isu lingkungan.

Strategi pemasaran ramah lingkungan yang dilakukan oleh Tupperware seperti

membuat produk yang ramah lingkungan berhasil meningkatkan brand image pada

produk Tupperware itu sendiri. Strategi pemasaran ramah lingkungan juga

memberikan manfaat tertentu untuk sebuah bisnis untuk mendapatkan keunggulan


persaingan. Salah satu manfaat tersebut adalah mendorong citra positif dari merek dan

bisnis secara keseluruhan. hal ini sejalan dengan penelitian (Santoso & Ardani, 2017)

yang menyatakan bahwa variabel green marketing berpengaruh signifikan terhadap

brand image.

Berdasarkan paparan tersebut, patut diduga bahwa terdapat pengaruh signifikan

green marketing terhadap green brand image.

2.2.2 Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Green Brand Image

Corporate Social Responsibility memengaruhi brand image (Santoso, 2017).

Semakin meningkatnya tanggung jawab sosial perusahaan akan mampu meningkatkan

citra merek pada sebuah perusahaan. Tanggung jawab sosial perusahaan dilakukan

dengan tujuan untuk menciptakan citra merek yang baik. Juga dengan hasil penelitian

(Laksita & Widodo, 2020) menyatakan bahwa Corporate Social Responsibility

berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel green brand.

Corporate social responsibility berpengaruh positif dan signifikan terhadap

brand image pada produk Tupperware di kota Padang (Nofiasari & Yasri, 2019).

Artinya, semakin tinggi penerapan corporate social responsibility di perusahaan

Tupperware maka semakin tinggi pula brand image konsumen dan masyarakat

terhadap Tupperware. Sebaliknya, jika semakin rendah corporate social

responsibility perusahaan Tupperware maka brand image Tupperware konsumen pun

juga menjadi menurun.

Berdasarkan paparan tersebut, patut diduga bahwa terdapat pengaruh signifikan

corporate social responsibility terhadap green brand image

2.2.3 Pengaruh Green Marketing terhadap Purchase Intention

Green marketing memengaruhi minat beli (Agustin et al., 2015). Perusahaan

seharusnya terus mempertahankan program pemasaran hijau yang diusung dengan


ditunjang untuk terus berinovasi dalam menghasilkan produk plastik yang berkualitas

dan ramah lingkungan. Hal ini akan membentuk ketertarikan konsumen terhadap

produk. Begitupun (Almuarief, 2016), semakin baik penerapan green marketing maka

semakin baik minat beli yang dimiliki konsumen. Penelitian (Kurniadin, 2021)

menunjukkan bahwa Green marketing berpengaruh positif signifikan terhadap Minat

Beli. Semakin baik Green Marketing maka minat beli konsumen akan semakin

meningkat, begitu juga sebaliknya.

Green marketing memiliki pengaruh positif terhadap minat beli, yang

menunjukan konsumen sudah paham tentang kelestarian lingkungan (Khaerunnisa,

2019). Konsumen cukup setuju dengan produk Aqua yang memiliki kemasan yang

ramah ingkungan sehingga meminimalkan penggunaan plastik yang berbahaya bagi

lingkungan. Hal ini berarti green marketing berpengaruh postif terhadap minat beli

AMDK merek Aqua dikalangan Mahasiswa S1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Mataram. Hal ini sejalan dengan penelitian (Mahmoud O.T et al, 2017)

dan (Sani, 2022) yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh green marketing

terhadap purchase intention.

Berdasarkan paparan tersebut, patut diduga bahwa terdapat pengaruh signifikan

green marketing terhadap purchase intention.

2.2.4 Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Purchase Intention

Corporate social responsibility memengaruhi minat beli (Abdillah et.al, 2018).

Tanggung Jawab Sosial (CSR) dapat menarik minat konsumen, perilaku pembelian

konsumen seringkali diawali dan dipengaruhi oleh banyaknya rangsangan dari luar

dirinya, baik berupa rangsangan pemasaran maupun rangsangan dari lingkungannya.

Begitupun (Sugiarti, 2015), tanggung jawab sosial dipengaruhi oleh minat beli.

Semakin baik perusahaan melakukan tanggung jawab sosial maka semakin tinggi
pangsa pasar dan mendongkrak penjualan. Juga didukung oleh penelitian dari

(Septiani, 2016) yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan dari

Tanggung Jawab Sosial (CSR) secara bersamaan terhadap minat beli.

Tanggung jawab sosial perusahaan menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial

perusahaan mampu membuat pelanggan merasakan dampak dari kegiatan tanggung

jawab sosial perusahaan yang dilakukan oleh The Body Shop. Dengan demikian

pelanggan merasa bahwa program-program sosial dapat menciptakan dampak positif

yang luas sehingga pembelian produk The Body Shop akan menghasilkan keuntungan

tersendiri. Tanggung jawab sosial perusahaan juga menunjukkan bahwa pelanggan

setuju jika peningkatan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dapat

mempengaruhi peningkatan niat beli pelanggan (Chalimatuz et al, 2017). Hal ini

sejalan dengan penelitian (Arachci & Mendis, 2021) dan (Lee & Lee, 2018)

menyatakan bahwa terdapat pengaruh corporate social responsibility terhadap

purchase intention.

Berdasarkan paparan tersebut, patut diduga bahwa terdapat pengaruh signifikan

corporate social responsibility terhadap purchase intention.

2.2.5 Pengaruh Green Brand Image terhadap Purchase Intention

Green brand image memengaruhi minat beli (Almuarief, 2016). Semakin baik

brand image maka semakin baik juga minat beli konsumen terhadap produk.

Begitupun (Kurniadin, 2021), mengatakan bahwa brand image memengaruhi minat

beli. Semakin baik citra merek maka minat beli konsumen akan semakin meningkat,

begitu juga sebaliknya.

Adanya pengaruh variabel green brand image terhadap variabel green purchase

intention (Dewanti, 2018). Semakin meningkatnya Green Brand Image akan

memberikan peningkatan terhadap Green Purchase Intention. Hal ini sejalan dengan
penelitian (Laksita & Widodo, 2020) dan (Hisam et al, 2019) yang menyatakan bahwa

terdapat pengaruh brand image terhadap minat beli.

Berdasarkan paparan tersebut, patut diduga bahwa terdapat pengaruh signifikan

green brand image terhadap purchase intention.

2.2.6 Pengaruh Green Marketing terhadap Purchase Intention melalui Green Brand

Image

Konsumen akan tertarik untuk membeli produk yang diinginkannya karena

produk yang akan dibeli telah menerapkan produk yang ramah lingkungan sehingga

tidak hanya untuk kecantikan konsumen tetapi juga ikut serta merawat bumi ini.

Konsumen lebih tertarik membeli produk ketika citra merek perusahan semakin bagus

dan mengarah ke hal positif serta strategi pemasaran produk yang ramah lingkungan

sehingga green brand image berpengaruh terhadap minat beli.

Variabel Brand Image dapat menetralkan variabel Green Marketing terhadap

Minat Beli Hal ini disebabkan karena pemasaran ramah lingkungan yang relatif

banyak, maka akan mempengaruh terhadap Minat Beli melalui Brand Image. Hal ini

sejalan dengan penelitian (Hisam et al, 2019) menyatakan bahwa green marketing

berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli melalui brand image.

Berdasarkan paparan tersebut, patut diduga bahwa terdapat pengaruh signifikan

green marketing terhadap purchase intention melalui green brand image.

2.2.7 Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Purchase Intention melalui

Green Brand Image

Konsumen tertarik dalam melakukan pembelian dikarenakan perusahaan telah

menerapkan tanggung jawab sosial yang baik sehingga menciptakan citra merek yang

positif. Kesan baik dari konsumen tentang adanya tanggung jawab sosial perusahaan

yang dirasakan akan menciptakan rasa nyaman dan persepsi yang baik terhadap citra
merek perusahaan. Persepsi yang baik tentang tanggung jawab sosial perusahaan akan

merubah citra merek yang pada awalnya biasa-biasa saja, kini muncul ketertarikan

untuk membeli. Hal ini sejalan dengan penelitian (Laksita & Widodo, 2020)

menyatakan bahwa Corporate Social Responsibility berpengaruh positif dan

signifikan terhadap minat beli dengan green brand sebagai variabel intervening.

Berdasarkan paparan tersebut, patut diduga bahwa terdapat pengaruh signifikan

corporate social responsibility terhadap purchase intention melalui green brand

image.

2.2.8 Model Penelitian

Green
Marketing H3
(X1)

H1
Green Brand Purchase
Image H5 Intention
(Y) (Z)
H2 H7
H6

Corporate H4
Social
Responsibility Keterangan:
(X2)
Pengaruh Langsung
Pengaruh Tidak Langsung
Gambar 2.1 Model Penelitian
2.2.9 Hipotesis Penelitian

H1 : Diduga ada pengaruh langsung green marketing terhadap green brand image

pada konsumen merek produk Love Beauty and Planet

H2 : Diduga ada pengaruh langsung corporate social responsibility terhadap green

brand image pada konsumen merek produk Love Beauty and Planet
H3 : Diduga ada pengaruh langsung green marketing terhadap purchase intention

pada konsumen merek produk Love Beauty and Planet

H4 : Diduga ada pengaruh langsung corporate social responsibility terhadap purchase

intention pada konsumen merek produk Love Beauty and Planet

H5 : Diduga ada pengaruh langsung green brand image terhadap purchase intention

pada konsumen merek produk Love Beauty and Planet

H6 : Diduga ada pengaruh tidak langsung green marketing terhadap purchase

intention melalui green brand image pada konsumen merek produk Love

Beauty and Planet

H7 : Diduga ada pengaruh tidak langsung corporate social responsibility terhadap

purchase intention melalui green brand image pada konsumen merek produk

Love Beauty and Planet

Anda mungkin juga menyukai