Anda di halaman 1dari 76

STRUKTUR POPULASI DAN KERAGAMAN GENETIK

KERANG KIMA (CARDIIDAE : TRIDACNINAE) DI


PERAIRAN KEPULAUAN
RISNITA KEI MALUKU
TRI UTAMI

TEDDY TRIANDIZA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI
BOGOR
DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
2019
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Struktur Populasi dan
Keragaman Genetik Kerang Kima (Cardiidae: Tridacninae) di Perairan Kepulauan
Kei Maluku adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2019

Teddy Triandiza
NRP C551160161
RINGKASAN

TEDDY TRIANDIZA. Struktur Populasi dan Keragaman Genetik Kerang Kima


(Cardiidae: Tridacninae) di Perairan Kepulauan Kei Maluku dibimbing oleh
NEVIATY P. ZAMANI, HAWIS H. MADDUPPA dan UDHI E. HERNAWAN.
Kima merupakan biota laut yang penting secara ekologis di ekosistem
terumbu karang. Biota laut ini mengalami tekanan antropogenik di sebagian besar
wilayah di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian tentang struktur populasi dan
keragaman genetik kima di Perairan Kepulauan Kei perlu dilakukan dalam rangka
menunjang upaya pengelolaan konservasi sumberdaya kima. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis struktur populasi kima, keragaman genetika kima
Tridacna crocea dan menggambarkan implikasinya terhadap konservasi kima di
Kepulauan Kei.
Pengambilan data populasi kima dilakukan menggunakan garis transek
kuadrat pada bulan September-Desember 2017 di sembilan titik di kawasan
Kepulauan Kei, (yaitu Dar 1, Dar 2, Pulau Kur, Pulau Tanimbar Kei, Pulau
Adranan, Pulau Dullah Laut, Difur, Labetawi, dan Ohoidertoom). Sampel T. crocea
dikumpulkan dari enam lokasi yaitu Pulau Kur, Pulau Dulah Laut, Pulau Tanimbar
Kei, Dar, Labetawi, dan Difur. Proses analisis sampel dilakukan dengan ekstraksi,
Polymerase Chain Reaction (PCR), elektroforesis dan sekuensing DNA.
Hasil penelitian ditemukan 5 jenis kima berdasarkan pengamatan morfologi
yaitu Tridacna crocea, T. maxima, T. squamosa, T. noae, and Hippopus hippopus.
Penelitian ini melaporkan catatan baru untuk T. noae yang sebelumnya tidak
diketahui ada di wilayah tersebut. Kepadatan populasi kima secara keseluruhan
adalah 428 individu/ha. Fase juvenil ditemukan jumlahnya lebih sedikit
dibandingkan jumlah individu pada fase dewasa. Rendahnya jumlah individu yang
ditemukan pada fase juvenil menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup atau
proses rekruitmen rendah. Sebagian besar individu ditemukan hidup di substrat alga
karang mati (75%). Analisis sekuens mitokondria (mt) DNA T. crocea
menghasilkan 477 pasangan basa, yang berisi 42 haplotipe dengan jumlah total 52
situs polimorfik. Keragaman nukleotida (Pi) adalah 0,009 ± 0,001 dan
keanekaragaman haplotipe (Hd) adalah 0,942 ± 0,013, menunjukkan bahwa
keragaman genetik populasi sangat tinggi. Struktur populasi menunjukkan
kedekatan genetik karena aliran gen antara kedua T. crocea. Nilai jarak genetik
antar populasi T. crocea sangat rendah yaitu 0,008-0,011. Analisis haplotipe
menunjukkan konektivitas di antara populasi T. crocea yang ditunjukkan adanya
pola aliran gen di setiap populasi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa
populasi kima di Kepulauan Kei terancam, ditandai oleh kepadatan populasi yang
rendah dan kepunahan lokal untuk spesies T. gigas dan T. derasa. Rekomendasi
dari penelitian adalah membangun kawasan perlindungan kima dengan menerapkan
sasi laut dengan jangka waktu minimal 5 tahun. Keragaman genetik yang tinggi dan
informasi wilayah dengan populasi “Source” dapat dimanfaatkn untuk menetapkan
rencana pengelolaan konservasi kima secara efektif

Kata kunci: Kima, eksploitasi, COI, mtDNA, amova, mutasi, matang hermaprodit
SUMMARY

TEDDY TRIANDIZA. Population Structure and Genetik Diversity of the Giant


Clam (Cardiidae: Tridacninae) in Kei Island Maluku. Supervised by NEVIATY P.
ZAMANI, HAWIS H. MADDUPPA AND UDHI E. HERNAWAN.
Giant clams are ecologically important bivalves in coral reefs. They have been
under anthropogenic pressures in most part of their range, necessitating for better
conservation management. Information on giant clams’ population structure and
genetic diversity is of importance in the conservation management. This study is
aimed to analize giant clams’ population structure and genetic diversity of Tridacna
crocea in Kei Islands
A total of 9 reefs around Kei Islands (Dar 1, Dar 2, Kur island, Tanimbar Kei
Island, Adranan Island, Dullah Laut Island, Difur, Labetawi, dan Ohoidertoom),
were surveyed using quadrat-transect line in September – December 2017. Sample
T. crocea were collected from six main sites (Kur Island, Dulah Laut Island,
Tanimbar Kei Island, Dar, Labetawi, and Difur). Genetic analysis was conducted
as the following: DNA extraction, Polymerase Chain Reaction (PCR),
electrophoresis, DNA sequencing, and genetic diversity analysis.
We observed five species of giant clams, i.e. Tridacna crocea, T. maxima,
T. squamosa, T. noae, and Hippopus hippopus. Of these species, we reported a new
record for T. noae which was previously not known to be present in the region. The
overall density was recorded at 428 individual/ha. Juveniles clams were fewer than
the adults clam, indicating low survival rate of the recruits. Most individuals were
found living on dead coral algae substrate (75 %). Sequence analysis of
mitochondrial (mt)DNA T. crocea resulted 477 base pairs, which contained 42
haplotypes with total numbers of 52 polymorphic sites. Nucleotide diversity (Pi)
was 0.009±0.001 and haplotype diversity (Hd) was 0.943±0.013, indicating high
level of genetic diversity. Population structure showed genetic closeness, as
indicated by low genetic distance (0.0077-0.011). Haplotype network and gene flow
pattern showed a strong connectivity among T. crocea populations.
Based on the findings, this study suggests that giant clam population in Kei
Islands are imperiled, indicated by low population density and local extinction for
species T. gigas and T. derasa. We recommended an establishment of a protected
area for giant clams and a restocking program, by implementing sasi laut
(traditional law) within a minimum period of 5 years. The genetic diversity and
connectivity pattern revealed in this study offer useful information on genetic
conservation of giant clams

Keywords: Kima, exploitation, COI, mtDNA, amova, mutation, mature


hermaphrodite
,
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2019
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRUKTUR POPULASI DAN KERAGAMAN GENETIK
KERANG KIMA (CARDIIDAE: TRIDACNINAE) DI
PERAIARAN KEPULAUAN KEI MALUKU

TEDDY TRIANDIZA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2019
Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
ini adalah Studi Populasi dan Keragaman Genetik Kerang Kima (Cardiidae:
Tridacninae) di Perairan Kepulauan Kei Maluku. Terima kasih penulis ucapkan
kepada:
1. Komisi pembimbing Dr Ir Neviaty Putri Zamani, MSc Dr Hawis H.
Madduppa, SPi MSi dan Dr Udhi E. Hernawan, SSi MSc yang telah
memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam pelaksanaan penelitian
dan penyusunan karya ilmiah.
2. Ketua Program Studi Ilmu Kelautan SPs IPB beserta jajarannya, atas
komentar, saran dan bantuan administrasi.
3. Staf pengajar pada Program Studi Ilmu Kelautan SPs IPB, atas bekal ilmu
yang telah diberikan.
4. Kepala dan Staf UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual Maluku Tenggara
yang membantu peralatan, tenaga dan dana demi kelancaran penelitian
penulis.
5. Keluarga tercinta: Ayah, Emak, Bidadariku (Novitas Sari), Anak (Dang
Fadhil dan Cikngah Nadhira) dan saudara penulis yang telah memberikan
semangat dan dukungannya hingga penulis dapat menyelesaikan masa studi
dan penulisan tesis ini.
6. Abdul Kadir Yamko, Aliyadi, Mohammad, Roni Nohusona, Bikri R. Pary
dan Rosmi N. Pesilette serta rekan-rekan LKBL Tual yang telah membantu
penulis dalam pengambilan data lapangan.
7. Inez, Fildjah, Nurlita, Risnita dan rekan-rekan di Laboratorium
Biodiversitas dan Sistematika Kelautan IPB yang telah membantu dalam
analisis molukelur.
8. Teman-teman program studi Ilmu Kelautan Pascasarjana Tahun 2016
Santos, Buyung, Baim, Yudho, Aris, Dewa, Inez, Ijah, Risnita, Karin,
Yunita, Raissha, Yolanda, Ani, Vanessa, Priska, dan Intan atas bantuan dan
dukungannya kepada penulis selama ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2019

Teddy Triandiza
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii


DAFTAR GAMBAR vii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 6
Hipotesis Penelitian 6
Manfaat Penelitian 7
2 METODE 7
Waktu dan Lokasi Penelitian 7
Alat dan Bahan 8
Prosedur Penelitian 8
Analisis Data 10
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 11
Struktur Populasi Kima di Perairan Kepulauan Kei 12
Keragaman Genetik, Struktur Populasi, dan Konektivitas Genetik Kima
T. crocea di Perairan Kepulauan Kei 11
Kima Noah (T. noae) 26
Implikasi Pada Upaya Pelestarian Kima 28
4 SIMPULAN DAN SARAN 28
Simpulan 28
Saran 29
DAFTAR PUSTAKA 29
LAMPIRAN 36
RIWAYAT HIDUP 62
DAFTAR TABEL

1 Komposis jenis dan kepadatan populasi kima di Indonesia 3


2 Penelitian keragaman genetik kima di Indonesia 5
3 Posisi lokasi pengambilan data populasi dan sampel jaringan kima 8
4 Tahapan perkembangan kima berdasarkan ukuran cangkang 10
5 Komposisi jenis dan jumlah individu kima yang ditemukan di
Kepulauan Kei 13
6 Kepadatan komunitas kima (individu/ha) yang ditemukan di perairan
Kepulauan Kei 14
7 Distribusi panjang cangkang kima di perairan Kepulauan Kei 15
8 Sebaran jenis kima pada beberapa tipe substrat di Kepulauan Kei 16
9 Probabilitas subtitusi nukleotida dengan analisis Maximum Likelihood 19
10 Kergaman genetik T. crocea di Kepulauan Kei yang di lihat dari jumlah
haplotipe (Hn), keragaman haplotipe (Hd), dan keragaman nukleotida
(π) 19
11 Analisis varian molukeler (Amova) empat populasi T. crocea di
Kepulauan Kei 20
12 Analisis antar populasi T. crocea di Kepulauan Kei berdasarkan metode
jarangan berpasangan (Fst) 21
13 Analisis jarak genetik dalam dan antar populasi T. crocea di Kepulauan
Kei 22
14 Aliran gen T. crocea pda empat populasi di Kepulauan Kei berdasarkan
analisis bayesian 25

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 6


2 Peta lokasi penelitian 7
3 Jenis kima yang ditemukan di Kepulauan Kei 12
4 Persentase tahapan perkembangan kima berdasarkan jenis 16
5 Hasi analisis koresponden sebaran jenis kima di berbagai tipe substrat
berdasarkan kelimpahan individu pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2) 17
6 Pohon filogentik T. crocea menggunakan metode neighbor joining
model Tamura 3-parameter dengan interval gamma distributed dan1000
bootstraps 23
7 Konektivitas 42 haplotipe dari 101 sampel T. crocea di Kepulauan Kei
dengan metode median joining 24
8 Visualisasi aliran gen pada empat populasi T. crocea di Kepulauan Kei 26
9 Warna dan ornamen mantel T. noae dari Pulau Kur, Kepulauan Kei
(S 05017'07.1" ; E 132001'21.5”) 27
10 Pohon filogentik sekuen DNA COI T. noae dengan out group T. crocea 27
DAFTAR LAMPIRAN

1 Find base DNA/ Protein Model 37


2 Pengaturan analisis aliran genetik T. crocea menggunakan bayesian
inference pada program aplikasi Migrate-n version 3.6.11 39
3 Kegiatan pengukuran panjang cangkang beberapa jenis kima 51
4 Koresponden analisis (CA) kima dengan tipe substrat 52
5 Publikasi di jurnal Biodiversitas 53
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kima merupakan jenis kerang terbesar yang hidup berasosiasi dengan


ekosistem karang di perairan dangkal wilayah Indo-Pasifik (Lucas 1988). Biota ini
hidup dengan menempel atau membenamkan cangkangnya pada substrat pasir atau
batu karang pada kedalaman 1-20 m (Klumpp dan Lucas 1994; Knop 1996).
Distribusi geografisnya terbentang dari Afrika bagian Selatan menuju Kepulauan
Pitcairn (Pasifik) (32oBT-128oBB), dan meluas dari Jepang bagian Utara menuju
Australian Bagian Selatan (24oLU-15oLS) (bin Othman et al. 2010; Neo et al.
2017). Sebaran geografis kima yang luas berhubungan dengan fase perkembangan
planktonik yang dapat mencapai umur 9 hari sebelum berubah hidup menjadi biota
bentik (Lucas 1988; Triandiza dan Kusnadi 2013). Kima termasuk dalam subfamili
Tridacninae famili Cardiidae, terdiri dari dua genera yaitu Tridacna dan Hippopus
(Keys and Healy 2000). Terdapat 12 jenis kima di dunia (Neo et al. 2017), delapan
jenis diantaranya terdapat di Indonesia. yaitu Tridacna gigas, T. derasa, T. maxima,
T. squamosa, T. crocea, T. noe, Hippopus hippopus, dan H. porcelanus (Arbi 2010;
Hernawan 2012; Sadili et al. 2015; Borsa et al. 2015).
Secara ekologis, kima merupakan biota laut yang penting dan menjadi
kontributor utama dalam produktivitas terumbu karang (Neo et al. 2015; Soo dan
Todd 2014). Cabaitan et al. (2008) mendapatkan bahwa kelimpahan dan keragaman
ikan dan organisme lain pada terumbu karang terdegradasi dipengaruhi oleh
kehadiran kima raksasa (T. gigas). Jaringan siphonal, kotoran, dan gamet kima
merupakan biomassa yang menjadi sumber makanan bagi predator dan detrivor
(Jantshen et al. 2008; Neo et al. 2015). Cangkang kima menjadi substrat bagi
kolonisasi epibionts (Mingoa-Licuanan dan Gomez 2002; Vicentuan-Cabaitan et al.
2014), sementara organisme komensalis dan ektoparasit hidup dalam rongga mantel
kima (Neo et al. 2015). Struktur fisik cangkang kima yang kompleks menjadi
habitat bagi ikan untuk menempatkan telur, menjadi daerah asuhan, dan tempat
perlindungan (Neo et al. 2015). Kalsium karbonat yang dihasilkan zooxanthellae
yang bersimbiosis di dalam mantel kima berkontribusi membangun struktur dan
topografi terumbu karang (Aline 2008; Neo et al. 2015). Kima juga berperan
sebagai biofilter alami yang mampu mengendalikan eutrofikasi dengan cara
menyaring amonia dan nitrat terlarut dalam air laut (Klumpp dan Griffiths 1994;
Neo et al. 2015).
Kima merupakan biota ikonik yang tidak hanya penting secara ekologis di
ekosistem terumbu karang, tetapi juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sehingga
mendorong terjadinya ekploitasi yang berlebih pada populasi alaminya. Daging
kima merupakan sumber makanan yang bernilai ekonomi tinggi di beberapa negara
seperti Jepang, Hongkong, Australia, dan Amerika Serikat (Calumpong 1992;
Kinch 2002). Nijman et al. (2015) menyatakan lebih dari 2.000 cangkang kerang
kima diperdagangkan secara illegal dengan nilai USD 45.000 dalam 5 tahun
terakhir di Indonesia. Cangkangnya dimanfaatkan sebagai bahan baku industri
keramik dan kerajinan tangan (Heslinga 1996; Wabnitz et al. 2003). Selain itu,
anakan kima hidup merupakan komoditas penting untuk industri akuarium air laut
(Wabnitz et al. 2003; Mies et al. 2017).
2

Eksploitasi berlebihan telah menyebabkan penurunan populasi kima, tidak


hanya di Indonesia tetapi negara lain di Indo-Pasifik seperti Australia, Malaysia,
Kamboja, dan Filipina (Krell et al. 2011; Lee 2014; Colbeck 2015; Gomez 2015).
Hasil penelitian di Indonesia melaporkan bahwa kepadatan populasi kima di alam
kurang dari 1 individu/m2 (Yusuf et al. 2009; Arbi 2010; Hernawan 2010; Naguit
et al. 2012; Pada et al. 2013; Wakum et al. 2017; Ode 2017). Menurut kategori yang
dikembangkan oleh Planes et al. (1993) nilai tersebut diklasifikasikan sebagai
kepadatan rendah. Penurunan populasi kima di alam tidak hanya terkait kelimpahan
yang terus menurun, namun jumlah jenis yang semakin jarang ditemukan. Hasil
penelitian melaporkan bahwa sebagian besar populasi didominasi oleh T.crocea dan
T. maxima. Spesies lain sangat langka, bahkan diyakini bahwa T. gigas telah punah
di Indonesia Barat (Usher 1984; Wells 1997).
Penangkapan yang tinggi pada populasi kima di alam, tidak hanya
menyebakan penurunan jumlah jenis dan kelimpahan individu, tetapi dapat
mengurangi keragaman genetik dari populasi tersebut (Launey dan Hedgecock
2001). Variasi genetik berdampak secara langsung atau tidak langsung terhadap
keberlangsungan suatu populasi (Hughes et al. 2008), karena menjadi sumber
informasi apakah populasi mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Beberapa penelitian menunjukkan populasi dengan keragaman genetik tinggi
memiliki peluang lebih besar untuk beradaptasi dan menghindari resiko kepunahan
(Frankham et al. 2002. Allentoft and O’Brien 2010; Jena et al. 2011; Bonde et al.
2012). Aliran gen juga diperlukan untuk mengidentifikasi wilayah yang menjadi
‘source’ dan ‘sink’ dengan melihat tingkat penyebaran informasi genetik antar
populasi. Populasi ‘source’ adalah populasi yang mensuplai individu ke populasi
lain, sedangkan ‘sink’ adalah populasi yang menerima suplai individu dari populasi
lain. Konsep source-sink population dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam
penentuan wilayah mana yang masuk prioritas konservasi. Informasi genetik dapat
diperoleh dengan melakukan analisis terhadap gen penyandi protein dari DNA
mitokondria. Solihin (1994) menyatakan bahwa Cytochrome oxydase subunit I
(COI) merupakan bagian dari DNA mitokondria yang sering digunakan untuk studi
spesies dan populasi hewan. Alasan utama Gen COI sering digunakan sebagai DNA
barcoding karena memiliki ciri berevolusi sangat lambat (Hebert et al. 2003).
Wilayah Kepulauan Kei terletak di antara 5o00’-6o00’ LS dan 131o45’-
133 15’ BT. Kepulauan ini diyakini memiliki sumberdaya laut yang tinggi karena
o

berhubungan langsung Laut Banda dan Laut Arafura. Secara oseanografis, perairan
Kepulauan Kei di pengaruhi sistem angin muson terutama muson tenggara
(Prawirowardoyo 1996). Pergerakan angin muson tenggara diyakini memicu terjadi
upwelling di perairan Kepulauan Kei yang akan meningkatkan produktivitas lautan.
Wilayah ini secara geografis unik dan ekologis dinamis yang mendukung
pembentukan ekosistem pesisir yang kompleks dan lengkap seperti terumbu karang,
padang lamun, dan mangrove.
Kerang kima merupakan salah satu jenis biota yang terancam punah (Eliata et
al. 2003), yang masih dapat ditemukan di perairan Kepulauan Kei (Kusnadi et al.
2008; Hernawan et al. 2009; Hernawan 2010). Secara tradisional, masyarakat pesisir
di Kei Kepulauan telah menggunakan kerang raksasa sebagai sumber makanan,
bahan konstruksi dan keperluan adat istiadat (Kusnadi. et al. 2008). Daging kima
segar dijual di pasar tradisional seharga Rp. 20.000 (diamati pada tahun 2016).
Pemanfaatan yang masih terus berlangsung, dikhawatirkan akan mengancam
3

populasi kima di alam. Hernawan (2010) melaporkan kepadatan kima di Kepulauan


Kei Kecil termasuk sangat rendah hanya 0.015 individu/m2. Oleh karena itu,
penelitian tentang struktur populasi dan keragaman genetik kima di Perairan
Kepulauan Kei perlu dilakukan dalam rangka menunjang upaya pengelolaan
sumberdaya kima dan menjaga agar produksinya tetap lestari.

Perumusan Masalah

Tekanan antropogenik terhadap kerang kima dan habitatnya semakin


meningkat, seiring permintaan pasar yang terus meningkat. Produksi yang hanya
mengandalkan kemampuan dari alam ternyata tidak mampu lagi memenuhi
permintaan pasar. Populasi kima di alam semakin berkurang dan terus menurun
jumlahnya karena eksploitasi berlebihan. Hasil penelitian 10 tahun terakhir di
Indonesia menunjukkan kepadatan populasi kima yang rendah dan indikasi
populasi kima mengalami penurunan seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi jenis dan kepadatan populasi kima di Indonesia


Kepadatan Populasi Sumber
Lokasi Penelitian komposisi Jenis
(Ind/ha) Referensi
Teluk Nitanghahai, 5 Jenis (Tridacna squamosa, T. 3256 Ode (2017)
Desa Morela, crocea, T. maxima, T. gigas,
Maluku Tengah dan Hippopus hippopus)
Perairan Amdui, 8 Jenis (T. squamosa, T. 20-1120 Wakum et al.
Distrik Batanta crocea, T. maxima, T. teveroa, (2017)
Selatan, Raja Ampat T. derasa, T. gigas, H.
hippopus, dan H. porcellanus)
Pulau Venu, 4 Jenis (Tridacna squamosa, T. 1. 10-300 Pada et al.
Kaimana, Papua crocea, T. maxima, dan T. (kedalaman 5 m) (2013)
Barat gigas) 2. 70-210
(kedalaman 10 m)
Laut Savu, NTT 4 Jenis (Tridacna squamosa, T. 13-760 Naguit et al.
crocea, T. maxima, dan (2012)
Hippopus hippopus)
Perairan Sulawesi 7 Jenis (T. squamosa, T. 5300 Arbi (2010)
Utara crocea, T. maxima, T. derasa,
T. gigas, H. hippopus, dan H.
porcellanus)
Perairan Kei Kecil 6 Jenis (T. squamosa, T. 150 Hernawan
crocea, T. maxima, T. derasa, (2010)
T. gigas, dan H. hippopus)
Perairan Manado 4 Jenis (Tridacna squamosa, T. 160-280 Yusuf (2009)
crocea, T. maxima, dan T.
gigas)
Kepulauan Seribu 3 Jenis (T. (Tridacna 5-210 Yusuf (2009)
squamosa, T. crocea, dan T.
maxima)
Pulau Pari 4 Jenis (T. squamosa, T. 1. 26 (2003) Eliata. et al..
crocea, T. maxima, dan H. 2. 62 (1984) 2003
hippopus)
Hasil penelitian menunjukkan kepadatan populasi kima di Indonesia nilai
kurang dari 1 individu/m2 atau kurang dari 10.000 individu/ha. Planes et al. (1993)
menyatakan bahwa nilai kepadatan tersebut masuk dalam kategori rendah.
4

Kepadatan yang rendah tersebut diduga karena adanya eksploitasi berlebih.


Penelitian Eliata et al. (2003) menunjukkan telah terjadi penurunan populasi kima
di Pulau Pari. Pada tahun 1984 kepadatan populasi kima di Pulau Pari 62
individu/ha, setelah 19 tahun mengalami penurunan menjadi 26 individu/ha.
Ancaman terhadap kelestarian kima tidak hanya terkait kepadatan yang
rendah dan telah terjadi penurunan populasi, namun ada indikasi kepunahan lokal
jenis kima. Kepulauan Seribu, jenis H. Hippopus masih dapat ditemukan pada
penelitian Eliata et al. (2003), tetapi pada penelitian Yusuf et al. (2009) H.
Hippopus tidak ditemukan lagi. Populasi kima yang ditemukan pada sebagian besar
wilayah di Indonesia didominasi jenis kima yang berukuran kecil (T.crocea dan
T.maxima), sedangkan jenis kerang kima lain sudah jarang ditemukan. Selain itu,
Hernawan (2010) menemukan fakta bahwa individu yang berada pada fase juvenile
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan jumlah individu fase remaja dan dewasa. Hal
ini menunjukkan terjadinya kegagalan dalam proses rekruitmen juvenile. Proses
rekruitmen merupakan salah satu kunci dalam kelestarian populasi kima.
Kepunahan populasi kima di alam dapat terjadi, jika kegagalan proses rekruitmen
terus berlangsung, ditambah tekanan eksploitasi dari manusia. Oleh karena itu,
upaya pengelolaan secara lestari sangat diperlukan demi keberlanjutan sumber daya
kima.
Beberapa upaya telah dilakukan untuk melakukan usaha pelestarian, salah
satunya dengan menerapkan kearifan lokal seperti tradisi sasi di Kepulauan Kei.
Tradisi sasi merupakan bentuk kesepakatan tradisional yang mengatur tentang
pemanfaatan sumber daya alam dengan mekanisme hukum adat. Tradisi sasi
mengatur kapan seseorang boleh mengambil atau memanen suatu sumber daya
alam. Namun, aturan tersebut menjadi tidak berarti karena penerapannya masih
bersifat tradisonal berdasarkan pengalaman penduduk setempat dan batas waktu
sasi serta ukuran yang diambil kadang hanya berdasarkan permintaan konsumen
(Arifin 1993). Oleh karena itu meskipun masyarakat Kei masih menerapkan tradisi
sasi, namun seiring pertumbuhan populasi penduduk yang tinggi di wilayah pesisir,
diikuti dengan meningkatnya kegiatan antropogenik, maka dikhawatirkan populasi
kima tetap akan terus menurun.
Alternatif dalam menyelesaikan permasalahan tersebut adalah melalui upaya
pengelolaan budidaya kerang kima berbasis konservasi dengan cara restocking
anakan di alam dan pengelolaan kawasan melalui kearifan lokal. Dalam rangka
mendukung upaya pengelolaan sumberdaya kima dibutuhkan data dan informasi
fundamental mengenai populasi biota ini di alam sehingga strategi pengelolaan
tersebut dapat lebih terarah dan berhasil. Data populasi diperlukan untuk
mengetahui status terakhir biota tersebut. Data informasi keragaman genetik
menjadi komponen dalam suatu populasi karena sumber informasi apakah populasi
mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan. Penelitian tentang
keanekaragaman genetik kima di Indonesia telah banyak dikaji (Tabel 2), meskipun
implementasi belum banyak dilakukan.
5

Tabel 2. Penelitian keragaman genetik kima di Indonesia


Sumber
Penelitian Hasil penelitian
Referensi
Profil genetik kima 1. Membantu mengidentifikasi jenis Findra et al.
di perairan Taman kima terkait fenomena cryptik (2017)
Nasional Wakatobi species
2. Mendapatkan jenis T. crocea asal
Wakatobi memiliki variasi basa
nukleotida yang paling tinggi di
bandingkan jenis kima lainnya
Struktur genetik 1. Variasi genetik yang cukup tinggi Naguit et al.
kerang kima di Laut pada populasi T. maxima (2011)
Savu, Nusa 2. Ada keterkaitan genetik antara
Tenggara Timur beberapa populasi di Laut Savu
Filogeografi dan 1. Struktur genetic yang kuat antar DeBoer et al.
konektivitas T. wilayah di Kawasan Coral Triangle (2008)
crocea di Kawasan 2. Struktur populasi T. crocea di
Coral Triangle Kawasan Coral Triangle membentuk
3 kelompok yaitu Sumatera Bagian
Barat. Indonesia Bagian Tengah dan
Indonesia Bagian Timur
Struktur populasi 1. T. crocea menunjukkan struktur Kochzius dan
genetik T.crocea di populasi yang kuat di Kepulauan Nuryanto (2008)
Kepulauan Indo-Melayu
Indomelayu: 2. Bedasarkan perbedaan genetik
Implikasi terkait populasi T. crocea di Kepulauan
proses evolusi dan Indo-Melayu membentuk 4
konektivitas kelompok
Studi filogenetik Mendapatkan keragaman genetik dan Nuryanto et al.
kerang kima polimorfisme yang tinggi pada populasi (2007)
berdasarkan dna T. crocea dan T. maxima
mitokondria CO1

Hasil penelitian menunjukan keragaman genetik yang tinggi pada populasi


kima T.crocea dan T. maxima (Findra et al. 2017; Naguit et al. 2011; Deboer et al.
2008; Kochzius dan Nuryanto 2008; Nuryanto et al. 2007. Informasi genetik
tersebut dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan konservasi kima. Keragaman
genetik yang tinggi pada populasi kima menjadi sumber genetik yang dapat
digunakan untuk seleksi induk unggul pada kegiatan budidaya. Selain itu informasi
genetik tersebut dapat dimanfaatkan untuk membantu wilayah mana yang menjadi
prioritas konservasi berdasarkan konsep source dan sink populasi.
Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa data populasi dan
informasi genetik sangat penting untuk merancang strategi konservasi biota laut,
sehingga penentuan kebijakan pelestarian kima menjadi terarah dan efektif. Secara
6

singkat permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah status terakhir populasi kima di wilayah perairan Kepulauan Kei,
dilihat dari komposisi jenis, sebaran dan kepadatan jenis, distribusi ukuran, dan
habitat kima?
2. Bagaimanakah struktur genetik populasi kerang kima di Kepulauan Kei?
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka disusun kerangka analitis
penelitian ini dalam bentuk bagan alir sebagai berikut :

Kepulauan Kei

Sumber daya Kerang Kima Over Eksploitasi

Penurunan Populasi Kima


Penurunan Populasi di alam
Studi Populasi dan Keragaman Genetik

Studi populasi menggunakan metode Genetik molekuler menggunakan


kuadrat transek garis ukuran 50x50 m marka genetik COI

Data dan Informasi


Studi Populasi dan Keragaman Genetik:
1. Komposisi jenis, kepadatan
populasi, sebaran, distribusi ukuran,
dan habitat kima
2. Keragaman genetik, struktur
populasi genetik, dan aliran gen
3. Source dan sink populasi
Gambar 1. Kerangka Pikir penelitian

Tujuan Penelitian

Penelitian kima di perairan Kepulauan Kei ini bertujuan:


1. Mengkaji komposisi jenis, sebaran dan kepadatan populasi, distribusi ukuran,
serta kondisi habitat kima di wilayah perairan Kepulauan Kei.
2. Menganalis struktur genetik kerang kima berupa keragaman genetik, tingkat
aliran gen, dan jarak genetik berdasarkan marka genetik COI di perairan
Kepulauan Kei.
3. Mengidentifikasi wilayah yang menjadi ‘source’ dan ‘sink’ pada populasi kima

Hipotesis Penelitian

Tekanan antropogenik yang tinggi terhadap populasi kima di alam dan


melihat pengaruh oseanografis laut Banda dan laut Arafura serta geografis
Kepulauan Kei, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah
7

1. Kepadatan populasi kima di Kepulauan Kei tergolong kategori rendah


2. Populasi kima di Kepulauan Kei memiliki keragaman genetik yang tinggi dan
terstruktur dalam beberapa populasi genetik

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk merumuskan strategi


konservasi Sumber daya laut dan pemuliaan genetik kerang kima (Tridacna spp.)
sehingga penentuan kebijakan pelestarian kima menjadi terarah dan efektif. Selain
itu, informasi aliran gen dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam penentuan
wilayah mana yang masuk prioritas konservasi.

2 METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2017 – September 2018 di


wilayah perairan Kepulauan Kei (Gambar 2). Analisa genetik molekuler
dilaksanakan di Laboratorium Biodiversitas dan Biosistematika Kelautan Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Gambar 2. Peta lokasi penelitian


Pengambilan data populasi dan sampel jaringan kima dilakukan di sembilan
titik di kawasan perairan Kepulauan Kei (Tabel 3) berdasarkan informasi nelayan
local pencari kima dan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan.
8

Tabel 3. Posisi lokasi pengambilan data populasi dan sampel jaringan kima
Keterangan
No Lintang Bujur Nama Lokasi
Lokasi
1 S 05°43'45.9" E 132°48'08.0" Dar 1 A
2 S 05°44'20.2" E 132°48'07.4" Dar 2 B
3 S 05°17'07.1" E 132°01'21.5” Pulau Kur C
4 S 05°32'55.68" E 132°47'54.73” Difur D
5 S 05°59'13.29" E 132°27'53.28" Pulau Tanimbar Kei E
6 S 05°30'53.2'' E 132°45'11.3" Pulau Adranan F
7 S 05°33'05.9" E 132°44'43.2” Pulau Dullah Laut G
8 S 05°32'15.7" E 132°46'41.7” Labetawi H
9 S 05°56'08.0'' E 132°42'27.8" Ohoidertoom I

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat selam, GPS, kamera
underwater, tali transek, alat ukur, microtube, micropippet, pinset, alat tulis, bunsen,
cawan petri, gloves, tray, vortex, sentrifuge, heating block, pippet tips, thermo cyler,
mesin PCR, kalkulator, labu erlemenyer, gelas ukur, microwave, mesin
elektoforesis, dan geldoc.
Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain sampel jaringan kima,
spritus, etanol 96%, Kit Ekstraksi GeneAid, primer COI, larutan buffer, Aquades,
Tip micro 0,5-10 ml, Tip micro 10-100 ml, Tip micro 100-1000 ml, Tissue handuk,
Tube 0,6 ml, Tube1,5 ml, Tube PCR, dan Tube sampel 10 ml.

Prosedur Penelitian

Pengambilan Data Populasi Kima


Pengambilan data dilakukan berdasarkan Chambers (2007), yaitu
mengunakan metode kuadrat-transek garis. Pada lokasi yang telah ditentukan
diletakkan tali kuadrat berukuran 50 x 50 m, sehingga luas total daerah pengambilan
data adalah 2500 m2. Di dalam kuadrat tersebut, diletakkan 5 garis transek dengan
jarak antar garis 10 m. Setiap kima yang ditemukan di area 5 meter pada kanan-kiri
sepanjang garis transek, dicatat jenis dan jumlahnya, kemudian diukur panjang
cangkangnya. Identifikasi jenis kima dilakukan berdasarkan Copland dan Lucas
(1988) dan Knop (1996) dengan melihat morfologi bentuk cangkang dan ornament
mantel.
Penilaian kondisi habitat mengacu pada tipe substrat yang dinilai berdasarkan
pada kode (benthic code) yang dibuat oleh English et al. (1994), sebagai berikut:
CC (coral covered) untuk substrat berupa tutupan karang hidup; DCA (dead coral
algae) untuk substrat berupa batu karang yang mati; FAV (Faviidae) untuk substrat
dari famili Faviidae; POR (Porites) untuk substrat dari genus Porites; RB (Rubble)
untuk substrat patahan-patahan karang mati; dan S (Sand) untuk substrat berupa
pasir.
9

Pengambilan dan Penangangan sampel Jaringan Kima


Pengambilan sampel kima dilakukan dengan cara memotong sedikit jaringan
mantel (±1 cm) dengan menggunakan gunting bedah. Pengambilan jaringan
mantel tersebut dimaksudkan agar kima yang diambil jaringannya masih tetap
hidup, sehingga tidak mengakibatkan kematian dan mengganggu populasinya.
Sampel jaringan yang diperoleh dimasukkan ke dalam tabung sampel dan diberi
pengawet berupa alkohol 96%. (Findra 2017). Jaringan mentel kima yang
digunakan adalah jenis kima T. crocea. Penentuan sampel genetik berdasarkan
proporsi jumlah individu terbanyak dan penyebaran di setiap lokasi penelitian.

Isolasi dan Ekstraksi DNA Total


Sebelum dilakukan isolasi dan ekstraksi, sampel kima dicuci menggunakan
Low TE agar sampel terbebas dari larutan alkohol sebagai pengawetnya.
Selanjutnya sampel kima diisolasi dan diekstraksi menggunakan kit komersial
GeneAid. Partisi gen yang digunakan adalah mtDNA.

Amplifikasi dengan PCR


Segmen gen target diamplifikasi menggunakan mesin PCR (Polymerase
Chain Reaction). Primer yang digunakan adalah primer spesifik untuk kima yang
telah didesain oleh Kochzius dan Nuryanto (2008), LCO: 5’-GGG TGA TAA TTC
GAA CAG AA-3’ dan RCO: 5’-TAG TTA AAG CCC CAG CTA AA-3’.
Target gen COI yang teramplifikasi sepanjang ± 500 bp. Total volume reaksi
adalah 27 µl yang terdiri atas 3 µl DNA template, 12.5 μL of Thai TAQ buffer,
1.25 μL dari masing-masing primer, dan 9 μL ddH2O. Amplifikasi dilakukan
menggunakan mesin PCR dengan kondisi predenaturasi 94°C selama 5 menit,
dilanjutkan dengan 35 siklus yang terdiri atas denaturasi 94°C selama 1 menit,
annealing (penempelan) 43°C selama 90 detik dan ekstensi 72°C selama 1 menit
serta ekstensi akhir 72°C selama 5 menit (Nuryanto et al. 2007).
Hasil amplifikasi PCR selanjutnya diuji kualitasnya dengan mengunakan
metode elektroforesis. Elektroforesis merupakan teknik untuk memisahkan sampel
DNA berdasarkan berat molekul dan struktur fisik molekul. Teknik ini
menggunakan gel agarose dengan konsentrasi gel 1.0% yang dilarutkan dalam
buffer TAE (Tris Acetate EDTA) dengan pewarna Ethidium Bromide (EtBr).
Elektroforesis dilakukan pada tegangan 100 V dan arus listrik 400 mA selama 20
menit dan kemudian divisualisasikan menggunakan mesin Gel Doc.

Perunutan Fragmen DNA (Sequensing)


Hasil amplifikasi PCR yang positif kemudian dikirim ke
perusahaan jasa sequencing untuk dilakukan sequencing. Metode sekuen yang
digunakan adalah metode Sanger dengan prinsip penggunaan Dideoxynucleotides
sebagai penghenti rantai DNA. Proses sekuensing DNA dilakukan dengan
menggunakan mesin squencer ABI 1377 oleh sequencing facilty 1st Base yang
terdapat di Malaysia.
10

Analisis Data

Survei Populasi
Kepadatan populasi kima yang ditemukan pada tiap lokasi penelitian dihitung
dengan membandingkan jumlah individu yang ditemukan dengan luas area
pengamatan. Formulasi yang digunakan untuk menghitung kepadatan populasi
adalah sebagai berikut:

∑𝑛
𝐷𝑖 = 𝐴 𝑖 𝑥 10000 ……(1)
Keterangan :
𝐷𝑖 : Kepadatan populasi jenis ke-i (ind/ha)
𝑛𝑖 : Jumlah individu jenis ke-I (Ind)
𝐴 : Luas daerah pengamatan (m2)

Komposisi jenis dihitung dari jumlah individu jenis dibagi total individu
dalam satu area sampel. Distribusi ukuran didapatkan dengan mengelompokkan
data panjang cangkang setiap kima ke dalam kelas-kelas ukuran cangkang. Interval
masing-masing kelas adalah 5 cm. Data ukuran cangkang dapat digunakan untuk
mengetahui tahapan perkembangan hidup kima (Tabel 4).

Tabel 4. Tahapan perkembangan kima berdasarkan ukuran cangkang


Tahapan Perkembangan/Ukuran
Cangkang
Jenis Kima Juvenil Dewasa Induk matang Sumber Pustaka
(cm) muda/remaja hermaprodit
(cm) (cm)
T. crocea <2 2-4 >4 Fitt 1991
T. maxima <4 4-15 > 15 Manu dan Sone 1995
T. squamosa <10 10-20 > 20 Beckvar 1981
H. hippopus <7 7-13 > 13 Fitt 1991
Interaksi antara kima dan habitat (tipe substrat) dianalisis dengan
menggunakan Analisis Koresponden (Correspondence Analysis) (Bengen, 2000).
Matriks data untuk Analisis Koresponden terdiri dari i baris (tipe substrat) dan j
kolom (jenis kima) dan diolah dengan menggunakan XLstat 2014.

Keragaman Genetik dan Struktur Populasi


Hasil sekuensing yang didapat diurutkan dengan menggunakan program
Clustal W dari software MEGA 6 (Moleculer Evolutionary Genetic Analysis)
(Tamura et al. 2013). Sekuen DNA yang didapat dibandingkan dengan sekuen DNA
pada basis data (GenBank) untuk memastikan spesies tersebut adalah Tridacna
crocea. Keragaman haplotype (Hd) (Nei 1987), keragaman nukleotida (π) (Nei dan
Jin 1989), dan struktur populasi di analisa menggunakan aplikasi Arlequin 3.5.2.2
(Excoffier dan Lischer 2010) dengan deskripsi level jarak antar populasi dilakukan
menggunakan fixation index (FST) (Excoffier et al. 1992).
Hubungan filogenetik haplotipe dianalisa menggunakan aplikasi Network
5.0.0.3 (http://www.fluxusengineering.com). Pohon filogenetik dibangun
berdasarkan metode Neighbour-Joining model evolusi Tamura 3 parameter dengan
11

interval gamma distributed dan replikasi bootstraps 1000x melalui aplikasi Mega
6.0 (Tamura et al. 2013), dengan memasukkan sequens T. crocea accession
HM188392, KY769520, FM253561, MG385345, dan outgroup species yaitu T.
squamosa (accession JN392023), T. maxima (FM244619), dan T. noae
(MG385538) dari Genbank. Model evolusi Tamura 3 parameter dipilih berdasarkan
hasil analisa pencarian model protein/DNA terbaik (Lampiran 1). Aliran gen pada
populasi T. crocea dianalisis menggunakan bayesian inference pada program
aplikasi Migrate-n version 3.6.11 (Beerli 2006 dan Beerli 2009). Parameter
pengaturan pola aliran gen pada program Migrate-n version 3.6.11 terlampir pada
Lampiran 2.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Struktur Populasi Kima di Perairan Kepulauan Kei

Komposisi Jenis

Hasil penelitian di perairan Kepulauan Kei ditemukan lima jenis kima dari
delapan jenis yang penyebarannya berada di kawasan perairan Indonesia (Neo et al.
2017; Borsa et al. 2015), yaitu T. crocea, T. squamosa, T. maxima, T. noae dan
Hippopus hippopus (Gambar 3). Jumlah jenis yang ditemukan dalam penelitian ini
lebih rendah daripada penelitian Hernawan (2010) yang menemukan enam spesies
di perairan Pulau Kei Kecil, yaitu T. crocea. T. squamosa. T. maxima. T. derasa. T.
gigas dan H. hippopus. Pada penelitian ini tidak ditemukan jenis T. gigas dan T.
derasa yang merupakan jenis kima terbesar. Hal ini sesuai dengan kondisi
populasinya yang terancam punah (Usher 1984; Wells 1996) dan masuk ke dalam
daftar IUCN redlist dengan status vulnerable (IUCN 2017). Hasil penelitian
beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan bahwa kehadiran T. gigas dan T. derasa
biasanya terbatas pada 1 atau 2 individu per survei (Yusuf et al. 2009; Hernawan
2010; Arbi 2010; Pada et al. 2013). Populasi biota tersebut menghadapi tekanan
eksploitasi yang tinggi karena merupakan jenis yang paling banyak dicari dalam
perdagangan komersial (Gomez 2015; Larson 2016).
Temuan T. noae di Kepulauan Kei menambahkan jenis yang tercatat
sebelumnya di Kepulauan Kei (7 jenis secara total). Temuan ini juga menambahkan
lebih banyak informasi tentang distribusi geografis T. noae di Indonesia. Distribusi
geografis dari T. noae meluas dari Ryukyus (Jepang Selatan), Taiwan, Asia
Tenggara, Australia Barat, dan Kepulauan Pasifik ke sekitar timur Pulau Christmas
(Borsa et al. 2015; Neo dan Low 2017). Di Indonesia, T. noae ditemukan di Laut
Sulawesi, Laut Maluku, dan Laut Sawu (Borsa et al. 2015).
Hasil penelitian jika dibandingkan dengan beberapa kawasan lainnya di
Indonesia, maka perairan Kepulauan Kei memiliki kekayaan jenis kima yang cukup
tinggi. Tan dan Kastoro (2004) hanya menemukan satu jenis kima yaitu T. maxima
di perairan kepulauan Natuna dan Anambas. Hasil penelitian Capenberg (2007) di
perairan Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur menemukan empat jenis, yaitu T.
crocea, T. maxima, T. squamosa, dan T. derasa. Yusuf et al. (2009) menemukan
tiga jenis kima di perairan Kepulauan Seribu dan empat jenis di perairan Manado,
12

yaitu T. crocea, T. maxima, T. squamosa dan T. gigas di Perairan Manado. Pada


wilayah perairan Laut Savu, Nusa Tenggara Timur ditemukan empat jenis yaitu T.
crocea, T. maxima, T. squamosa dan H. hippopus (Naguit et al. 2012). Pada et al.
(2013) mendapatkan empat jenis yaitu T. crocea, T. maxima, T. squamosa dan T
gigas ketika melakukan penelitian di perairan Pulau Vena, Kaimana, Papua Barat.
Kawasan perairan Teluk Nitanghahai, Desa Morela, Seram ditemukan lima jenis
yaitu T. crocea, T. maxima, T. squamosa, T gigas dan H. hippopus (Ode, 2017).
Salah satu spesies kima raksasa yang tidak ditemukan di Kepulauan Kei adalah H.
porcellanus yang dapat ditemukan di Raja Ampat (Wakum et al. 2017) dan
Sulawesi Tenggara (Arbi 2010).

Gambar 3. Jenis kima yang ditemukan di Kepulauan Kei (A-B = Tridacna crocea,
C = T. maxima, D = T. noae, E = T. squamosal, F = Hippopus hippopus).
Perbedaan kelimpahan jenis tersebut di duga terkait dengan kondisi habitat,
tingkat eksploitasi, dan protokol sampling. Ada hubungan positif antara kondisi
rataan terumbu karang, keragaman dan kelimpahan jenis (Capenberg 2007).
Hernawan (2010) dan Arbi (2010) menunjukkan bahwa kelimpahan jenis
dipengaruhi oleh variasi tipe substrat. Jumlah jenis kima juga dipengaruhi oleh
tingkat eksploitasi dari masyarakat setempat (Hernawan 2010; Wakum et al. 2017;
dan Ode 2017). Van Wynsberge et al. (2015) menyatakan bahwa ada hubungan
antara penurunan populasi kerang raksasa dengan kehadiran populasi manusia di
dekat populasi kima. Lokasi yang lebih jauh dari daerah pemukiman memiliki
jumlah dan kelimpahan jenis yang lebih tinggi daripada yang lebih dekat ke daerah
pemukiman (Hernawan 2010). Selain itu. jumlah dan jenis kima dipengaruhi oleh
protokol sampling. Daerah dengan kombinasi reef plate dan reef slope
menunjukkan kelimpahan spesies yang lebih tinggi daripada reef plate atau reef
slope saja (Susiana et al. 2014).

Sebaran dan Kelimpahan Kima

Hasil penelitian menemukan 964 individu kima dari sembilan lokasi survei
(Tabel 5). T. crocea dan T.squamosa ditemukan di semua lokasi penelitian, namun
jumlah individu bervariasi secara luas. T. crocea merupakan jenis kima yang paling
melimpah (647 individu; 67.12 %), sedangkan T. noae merupakan jenis yang paling
13

sedikit ditemukan (7 individu; 0.73%) dan hanya ditemukan di satu lokasi


penelitian, yaitu di Pulau Kur. Hasil penelitian mirip dengan penelitian di wilayah
lain, di mana T. crocea adalah jenis yang paling dominan (Capenberg 2007;
Hernawan 2010; Arbi 2010; Ode 2017; Wakum et al. 2017). Tingginya kelimpahan
individu T.crocea di duga karena kebiasaan hidup yang berbeda dengan jenis kima
lain. T. crocea hidup membenamkan seluruh cangkangnya ke dalam substrat keras,
sehingga sulit bagi nelayan untuk memanen.

Tabel 5. Komposisi Jenis dan jumlah individu kima yang ditemukan di Kepulauan
Kei (Keterangan lokasi lihat Gambar 2).
Lokasi Prosentase
Jenis Kima Total
A B C D E F G H I (%)
T. crocea 87 64 49 40 145 228 13 11 `10 647 67.12
T. maxima 74 47 12 3 7 11 0 11 1 166 17.22
T. squamosa 28 23 18 1 5 24 11 8 4 122 12.66
T. noae 0 0 7 0 0 0 0 0 0 7 0.73
H. hippopus 2 7 0 1 9 0 3 0 0 22 2.28
Total 191 141 86 45 166 263 27 30 15 964 100

Berdasarkan jumlah individu kima di setiap lokasi pengambilan sampel,


Labetawi memiliki jumlah individu tertinggi (263 individu; 3 spesies kima raksasa),
diikuti oleh Dar 1 (191 individu; 4 spesies). Sedangkan Ohoidertoom adalah lokasi
dengan jumlah terendah (15 individu; 3 spesies). Perairan Labetawi memiiliki tipe
substrat berupa bongkahan karang boulder atau karang masif, karang bercabang,
dan patahan-patahan karang. Substrat ini sangat cocok untuk T. crocea, T.maxima,
dan T. squamosa (Mujiono 1988; Knop 1996). Keragaman substrat tersebut juga
dapat ditemukan di Dar 1. Area dengan substrat berpasir yang ditanami oleh lamun
merupakan habitat ideal untuk H. hippopus sebagaimana dapat ditemukan di Dar 1
dan Tanimbar Kei. Ohoidertoom memiliki substrat yang didominasi oleh rataan
berbatu yang ditumbuhi alga dan bongkahan karang boulder atau karang masssive.
Kondisi ini mungkin tidak ideal untuk kima dan di duga manjadi salah satu faktor
yang menyebabkan sedikitnya jenis dan kelimpahan kima di dapat. Selain itu lokasi
yang berdekatan dengan pemukiman memungkinkan terjadinya pengambilan
berlebih.

Kepadatan Komunitas Kima

Hasil penelitian menemukan bahwa kepadatan komunitas kima secara


keseluruhan adalah 0.0428 individu/m2, yang berarti bahwa terdapat 428 individu
kima di dalam luasan area 1 hektar (Tabel 6). Berdasarkan Planes et al.(1999),
kepadatan dengan nilai kurang dari 1 individu dianggap dalam kategori rendah.
Kategori ini menunjukkan bahwa komunitas kima di kepulauan Kei mengalami
potensi ancaman kepunahan karena eksploitasi yang berlebihan. Kepadatan
individidu kima yang tercatat dalam penelitian ini relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan penelitian Hernawan (2010). Hernawan (2010) melaporkan kepadatan
individu kima sebesar 150 individu/hektar. Hasil penelitian tidak dapat
menyimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan kepadatan komunitas kima di
perairan Kepulauan Kei, karena terdapat perbedaan lokasi pengambilan data.
14

Hernawan (2010) hanya meliputi perairan Kei Kecil, sementara dalam penelitian
ini juga mencakup daerah sekitarnya, seperti Tanimbar Kei dan Kur. Faktanya,
peningkatan populasi hanya terjadi pada spesies non-target T. crocea, sementara
spesies dengan nilai komersial tinggi, seperti T. gigas dan T. derasa tidak
ditemukan.
Tabel 6. Kepadatan komunitas kima (individu/ha) yang ditemukan di perairan
Kepulauan Kei (Keterangan lokasi lihat Gambar 2)
Lokasi
Jenis Kima Total
A B C D E F G H I
T. crocea 348 256 196 160 580 912 52 44 40 288
T. maxima 296 188 48 12 28 44 0 44 4 74
T. squamosa 112 92 72 4 20 96 44 32 16 54
T. noae 0 0 28 0 0 0 0 0 0 3
H. hippopus 8 28 0 4 36 0 12 0 0 10
Total 764 564 344 180 664 1052 108 120 60 428
Kepadatan kerang kima di Kepulauan Kei lebih rendah daripada di beberapa
daerah lain, misalnya 530 individu/ha di Sulawesi Utara (Arbi 2010), 2.000
individu/ha di Gaya East-Reef Flat, Sabah, Malaysia (Montagne et al. 2013),
1.000-20.000 individu/ha di Giang Bo Reef, Vietnam (Latypov 2013), 1.300-7.200
individu/ha di Kong Rong Archipelago, Kamboja (Savage et al. 2013), dan
41.500-1.580.000 individu/ha di Mermaid Reef, Northwest Australia (Rees et al.
2003). Perbedaan kepadatan populasi kima diduga disebabkan variasi dalam
kondisi substrat, tekanan eksploitasi, dan apakah kawasan tersebut dilindungi atau
tidak. Hernawan (2010) mendapatkan kekayaan jenis kima yang lebih tinggi pada
lokasi dengan substrat bervariasi. Gonzales et al.(2014) melaporkan bahwa
kawasan lindung memiliki keragaman dan kelimpahan jenis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah yang tidak terlindungi.
Kima T. crocea menunjukkan kepadatan populasi tertinggi (288 individu/ha).
Sedangkan kepadatan terendah ditemukan di T. noae dan H. hippopus (3
individu/ha dan 10 individu/ha masing-masing). Tingginya kepadatan T. crocea
mirip dengan penelitian yang dilakukan Wakum et al. (2017) di Perairan Amdui
Raja Ampat, Latypov (2013) di Giong Bo Reef Vietnam, Naguit et al. (2012) di
Laut Savu Nusa Tenggara Timur, dan Arbi (2010) di Perairan Sulawesi Utara.
Melimpahnya kepadatan kima T. crocea disebabkan ukurannya yang kecil dan
kebiasaan hidup terbenam di dalam batu karang, sehingga masyarakat kurang
tertarik memanfaatkannya karena sulit dipanen.
Rendahnya kepadatan T. noae pada penelitian ini diduga karena kima jenis
ini memiliki distribusi yang terbatas. Selain itu, T. noae merupakan cryptic species
(sangat mirip dengan T. maxima), membuatnya agak sulit dibedakan dari T. maxima
sehingga memungkinkan terjadinya kesalahan dalam identifikasi spesies.
H. hippopus menunjukkan kepadatan populasi yang rendah karena sangat
dieksploitasi. Di Pulau Pari, H. hippopus telah menurun sebanyak 84% dari 1984
hingga 2003 (Eliata et al. 2003), bahkan Yusuf et al. (2009) tidak menemukan H.
hippopus pada penelitian di Kepulauan Seribu. Dolorosa dan Schoppe (2005)
melaporkan kepadatan H. hippopus telah menurun 97% dari tahun 1995 hingga
2005 di Tubbataha Reef Park Filipina.
15

Distribusi panjang cangkang

Hasil pengamatan distribusi ukuran cangkang tiap jenis kima di lokasi


penelitian dapat di lihat pada Tabel 7. Hasil pengukuran dari keseluruhan populasi
kima menunjukkan bahwa jenis T. crocea memiliki ukuran cangkang terkecil,
dengan kisaran panjang cangkang 1-16 cm dan panjang rata-rata 7.24±3.13 cm.
Sedangkan jenis H. hippopus merupakan jenis kima dengan ukuran cangkang
terbesar, yaitu berkisar 4-35 cm dan panjang rata-rata 21±9.37 cm. Kima jenis
T.crocea merupakan jenis kima terkecil, dengan ukuran panjang maksimal 15 cm
(Rosewater 1965), tetapi umumnya berukuran 10cm (Poutiers 1998). Ukuran
cangkang H. hippopus yang di dapat ukuran relatif lebih kecil di bandingkan yang
pernah dilaporkan Poutiers (1998) yang dapat tumbuh mencapat 40cm. Gomez dan
Mingoa-Licuanan (2006) melaporkan ukuran cangkang H. hippopus di
Laboratorium Laut Bolinoa, Filipina mencapai 50cm. Meskipun demikian ukuran
panjang cangkang rata-rata H. hippopus yang didapat mirip dengan panjang
umumnya yang dilaporkan oleh Daloroso et al. (2014) dan Poutiers (1998).

Tabel 7. Distribusi panjang cangkang kima di perairan Kepulauan Kei


Kisaran panjang Jumlah individu
cangkang (cm) T. crocea T. squamosa T. maxima T. noae H. hippopus
0-5 202 2 15 0 0
5.1 - 10 342 28 89 0 1
10.1 - 15 103 38 54 3 7
15.1 - 20 0 27 8 3 4
20.1 - 25 0 17 0 1 2
25.1 - 30 0 10 0 0 4
30.1 - 35 0 0 0 0 4
Panjang rata-rata 7.24±3.13 15.27±6.26 9.95±3.25 15.71±4.27 21±9.37

Data ukuran cangkang yang diperoleh kemudian digunakan untuk


mengetahui tahapan perkembangan hidup kima, sebagaimana ditunjukan Gambar
4. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa secara umum individu yang paling
banyak ditemukan dalam populasi kima di perairan Kepulauan Kei berada dalam
fase dewasa (induk matang hermaprodit) yaitu pada kima T. crocea ditemukan
sebanyak 79%, T. noae 57% dan H. hippopus 82%. Khusus untuk jenis T. maxima
dan T. squamosa, individu yang paling banyak ditemukan pada fase dewasa muda,
jenis T. maxima ditemukan sebanyak 94% dan T. squamosa sebanyak 60%. Selain
itu, individu yang berada pada fase juvenil ditemukan jumlahnya sangat sedikit
dibandingkan jumlah individu pada fase remaja dan dewasa, hanya 18 % pada T.
squamosa, 3 % T. crocea dan 1% T. maxima, bahkan kima T. noae dan H. hippopus
tidak ditemukan dalam fase juvenil pada penelitian ini. Rendahnya jumlah individu
yang ditemukan pada fase juvenil menunjukkan telah terjadi kegagalan dalam
proses rekruitmen juvenil. Proses rekruitmen menjadi salah satu kunci dalam
konservasi populasi kima. Kegagalan proses rekruitmen tersebut dapat berimplikasi
terhadap terjadinya kepunahan populasi kima di perairan Kepulauan Kei jika
kegagalan berlangsung terus menerus ditambah lagi tekanan antropogenik yang
dilakukan manusia.
16

Juvenil Dewasa Muda Hermaprodit


100%
80%
Komposisi (%)

60%
40%
20%
0%
T. crocea T. maxima T. squamosa T. noae H. hippopus

Gambar 4. Persentase tahapan perkembangan kima berdasarkan jenis

Kegalalan rekruitmen pada kima dapat disebabkan berbagai macam faktor.


Pearson dan Munro (1991) menyatakan bahwa kondisi habitat yang kurang baik
dapat mempengaruhi proses rekruitmen, terutama pada proses penempelan larva
kima pada substrat. Pola arus dapat mempengaruhi proses rekruitmen kima karena
secara temporal dan spasial berpotensi membatasi penyebaran larva dan aliran gen
(Rovago-Gotanco et al. 2007; White et al. 2010). Neo et al. (2013) menyatakan
tingkat fertilisasi yang buruk mempengaruhi distribusi dan kepadatan populasi
kima. Roegner (2000) menyatakan tingkat rekruitmen pada moluska tergantung
pada pola penyebaran larva dari pemijahan sampai dengan menempel di substrat.
Penjelasan kegagalann rekruitmen dalam populasi kima di Kepulauan Kei belum
diketahui secara pasti, diperlukan penelitian lebih lanjut tentang ini.

Habitat kima

Kima mempunyai habitat di daerah terumbu karang dengan cara


membenamkan cangkangnya pada substrat pasir atau batu karang. Pada perairan
Kepulauan Kei, kima ditemukan hidup pada enam tipe substrat, yaitu 1 % pada
tutupan karang hidup (CC), 75 % karang mati beralaga (DCA), 2 % karang Faviidae
(FAV), 17 % karang genus Porites (POR), 2 % patahan karang (RB), dan 3 % hidup
pada substrat hamparan pasir (S). Hasil penilaian substrat untuk setiap jenis kima
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Sebaran jenis kima pada beberapa tipe substrat di Kepulauan Kei
Tipe Jenis Kima
substrat T. squamosa T. maxima T. noae T. crocea H. hippopus
CC 7 0 0 0 0
DCA 50 120 7 550 0
POR 38 46 0 96 0
FAV 3 0 0 1 0
RB 11 0 0 0 6
S 13 0 0 0 16
17

Hasil analisis koresponden terkait sebaran jenis kima berdasarkan tipe


substrat memperlihatkan sebaran kima terpusat pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2
(F2) dengan nilai ragam total sebesar 99.41%. Sumbu F1 memberikan kontribusi
sebesar 84.49% dan sumbu F2 sebesar 14.93% (Gambar 5). Hasil analisis
koresponden mendapatkan ada tiga pengelompokkan antara sebaran jenis kima
dengan tipe substrat. Kelompok I menunjukan korelasi yang erat antara T. crocea
dan T. noae dengan substrat karang mati beralga (DCA), di mana ke dua jenis
tersebut mengelompok dengan substrat DCA pada sumbu F1 positif. Kima jenis T.
crocea sebagian besar ditemukan hidup pada substrat karang mati yang ditumbuhi
alga (85 %). Fartherree (2006) menyatakan bahwa T. crocea memiliki cara hidup
membenamkan seluruh cangkangnya pada bongkahan karang hidup atau mati
dengan cara mengebor batu karang mengunakan gerakan pada hinge cangkang
dibantu byssal orifice yang menghasilkan asam organik untuk melarutkan substrat.
Cara hidup demikian menyebabkan T. crocea membutuhkan substrat keras sebagai
habitat, sebagaimana pada substrat tipe DCA. Jenis T. noae hanya ditemukan hidup
pada substrat karang mati yang ditumbuhi alga (100%). Perilaku hidup T. noae
hampir sama dengan T. crocea yaitu membenamkan cangkangnya ke dalam
substrat.
F1 dan F2: 99.41 %
0,6
Hh
0,4
F2 (14.93 %)

0,2 Tn
RB SANDTc DCA
0
CC FAV
POR Tm
-0,2 Ts

-0,4

-0,6
-1 -0,8 -0,6 -0,4 -0,2 0 0,2 0,4 0,6 0,8
F1 (84.49 %)

Columns Rows

Gambar 5. Hasil analisis koresponden sebaran jenis kima di berbagai tipe substrat
berdasarkan kelimpahan individu pada sumbu 1 (F1) dan sumbu 2 (F2)
(Keterangan: Columns: jenis kima; Rows: tipe substrat).

Kelompok II terdiri dari kima jenis T. squamosa dan H. hippopus yang


mengelompok pada substrat karang hidup (CC), familia Faviidae (FAV), familia
Porites (POR), pecahan karang (RB), dan pasir (S). Jenis T. squamosa merupakan
jenis kima yang memiliki habitat paling luas dibandingkan jenis kima lainnya. Cara
hidup kima T. squamosa yang hanya melekatkan byssusnya pada substrat
menyebabkan kima jenis ini dapat hidup pada berbagai substrat, menempel pada
bongkahan karang mati atau hidup, patahan-patahan karang dan pasir (Knob 1996;
Calumpong 1992). H. hippopus sebagian besar ditemukan hidup pada substrat
berpasir (72 %) dan sisanya ditemukan pada patahan-patahan karang (28 %).
Beberapa individu kima H. hippopus juga ditemukan pada daerah padang lamun.
18

Pada lokasi Tanimbar Kai. H. hippopus ditemukan pada tanaman lamun jenis
Thallasodendron ciliatum dan Halophila ovalis. Hal ini sesusai dengan Hernawan
(2010) dan Arbi (2010) yang juga menemukan H. hippopus pada areal padang
lamun. Kelompok III dicirikan dengan asoasiasi T. maxima dengan tipe substrat
familia Porites (POR). Perilaku hidup T. maxima yang membenamkan cangkangnya
ke dalam substrat, memerlukan substrat keras sebagai habitat.

Keragaman Genetik, Struktur Populasi, dan Konektivitas Genetik T. crocea


di Perairan Kepulauan Kei

Keragaman Genetik

Hasil amplifikasi DNA melalui PCR menghasilkan fragmen sepanjang 493-


684bp, namun data panjang fragmen DNA sampel yang dianalisis adalah 477bp.
Analisis homologi berdasarkan BLAST-N terhadap Cytocrom Oksidase I (COI)
mtDNA T. crocea yang di dapat menunjukan kemiripan yang hampir identik yaitu
97-99% dengan Gen Bank. Kolandam et al. (2012) menyatakan bahwa sekuen
DNA dikatakan identik apabila memiliki tingkat kemiripan 91-100%. Komposisi
nukleotida rata-rata yang ditemukan pada fragemen COI T. crocea adalah
nukleotida Timin (T) sebesar 36.1%. Citosin (C) 17.6%. Adenin (A) 25.6% dan
Guanin (G) sebesar 20.7%. Pasangan basa nukleotida A + T mempunyai
kandungan nukleotida yang paling dominan dengan jumlah rata-rata 30.9%
sedangkan terendah adalah pasangan G + C dengan jumlah rata-rata 19.2%.
Situs yang bervariasi pada pensejajaran sekuen DNA menunjukkan adanya
mutasi pada nukleotida. Mutasi subtitusi merupakan jenis mutasi pergantian basa
nukleotida dengan basa nukleotida lainya (Graur dan Hsiung Li 2000). Mutasi
substitusi terbagi dalam dua tipe, yaitu subtitusi transisi dan subtitusi transversi.
Subtitusi transisi merupakan pergantian basa nukleotida A dan G (purin) atau C dan
T (pirimidin), sedangkan mutasi transversi merupakan pergantian basa nukleotida
kelompok purin menjadi nukleotida kelompok pirimidin atau sebaliknya (Graur &
Hsiung Li 2000). Hasil penelitian menunjukan jumlah mutasi substitusi pada T.
crocea berjumlah 52 mutasi titik, dengan komposisi 46 subtitusi transisi dan 6
subtitusi transversi. Hasil analisis probabilitas subtitusi nukleotida disajikan pada
Tabel 9. Nilai probabilitas substitusi paling tinggi ditemukan pada basa T, diikuti
oleh basa C, A, dan G. Hasil pengukuran juga menunjukkan probabilitas substitusi
transisi lebih besar dari pada substitusi transversi. Kochzius dan Nuryanto (2008)
manyatakan bahwa susbtitusi transisi lebih sering terjadi dibandingkan transversi.
Castro et al. (1998) menyatakan subtitusi transisi pada basa pirimidin (T dan C)
lebih tinggi dibandingkan subtitusi transisi pada basa purin (A dan G). Rasio basa
transisi dengan tranversi (t1/tv) adalah 15.17 %.
19

Tabel 9. Probabilitas subtitusi nukleotida dengan analisis Maximum Likelihood


A T/U C G
A - 1.49** 0.73** 12.47*
T/U 1.06** - 20.96* 0.86**
C 1.06** 42.92* - 0.86**
G 15.39* 1.49** 0.73** -
Keterangan: *transisi
**transeversi
Hasil analisis keragaman genetik 101 sampel T. crocea dengan menggunakan
program DNAsp dapat di lihat pada Tabel 10. Jumlah total haplotipe yang di dapat
adalah 42 haplotipe. Populasi Kur memiliki 6 haplotipe dari 8 individu dengan 13
situs polimorfik (11 transisi, 2 transeversi). Dullah laut, 15 haplotipe dari 19
individu dengan 32 situs polimorfik (29 transisi, 3 transversi). Labetawi, 14
haplotipe dari 21 individu dengan 21 situs Polimorfik (19 transisi, 2 transversi).
Tanimbar Kei, 9 haplotipe dari 24 individu dengan 20 situs polimorfik (19 transisi,
1 transversi). Difur, 9 haplotipe dari 20 individu dengan 15 situs polimorfik (14
transisi, 1 transversi). Dar, 8 haplotipe dari 9 individu dengan 18 situs Polimorfik
(17 transisi, 1 transversi).

Tabel 10. Keragaman genetik T. crocea di Kepulauan Kei yang di lihat dari jumlah
haplotipe (Hn), keragaman haplotipe (Hd), dan keragaman nukleotida (𝜋)
Keragaman genetic
Populasi N
Hn Hd 𝜋
Kur 8 6 0.893± 0.111 0.008±0.006
Dullah Laut 19 15 0.971±0.027 0.012±0.007
Labetawi 21 14 0.943±0.033 0.01±0.006
Tanimbar Kei 24 9 0.812±0.058 0.008±0.005
Difur 20 9 0.858±0.054 0.008± 0.005
Dar 9 8 0.972±0.064 0.011±0.007
Total Populasi 101 42 0.943±0.013 0.009±0.001
Keragaman haplotipe (Hd) populasi T. crocea adalah 0.943±0.013. Nilai
keragaman haplotipe tertinggi (0.972) berasal pada populasi Dar sedangkan
terendah (0.812) dari populasi Tanimbar Kai. Berdasarkan Nei (1987) nilai
keragaman haplotipe 0.80-1.00 masuk dalam kategori keragaman genetik tinggi.
Sedangkan keragaman nukleotida adalah 0.009±0.001, dengan nilai tertinggi
(0.012) pada populasi Dullah Laut dan terendah (0.008) pada populasi Tanimbar
Kei. Tingginya keragaman haplotipe populasi T. crocea pada penelitian ini mirip
dengan penelitian Kuchzius dan Nuryanto (2008) di Kepulauan Indo-Melayu yang
mendapatkan keragaman haplotipe sebesar 0.60-1.00, Neo dan Tood (2012) di
perairan Singapura (0.86±0.041), De Boer et al. (2014) di Coral Triangle (0.80-
1.00), dan Hui et al. (2016) di Indo Pasific Barat sebesar 0.94. Nilai keragaman
nukleotida populasi T. crocea di Kepulauan Kei lebih rendah dibandingkan
penelitian Hui et al. (2016) yang mendapatkan keragaman nukleotida T. crocea di
Indo Pasifik Barat sebesar 0.0171. Sedangkan jika dibandingkan penelitian Neo dan
Tood (2012) di Perairan Singapura (𝜋 = 0.0076), nilai keragaman nukleotida T.
crocea di Kepulauan Kei lebih tinggi.
Tingginya keragaman genetik pada populasi T. crocea di Kepulauan Kei
diduga karena terjadi perkawinan acak antar populasi dan mutasi. Perkawinan acak
20

membantu meningkatkan heterozigositas dari satu generasi ke generasi lain


sehingga variasi genetik dalam suatu populasi mengalami peningkatan. Perkawinan
acak dapat menyebabkan terjadinya aliran genetik. Terjadinya aliran genetik
bermula dari persebaran larva kima yang terbawa arus laut. Larva kima bersifat
planktonis yang berenang pada kolom-kolom air dan bersifat lecithotrophic mampu
menyimpan persedian makanan. Waktu yang dibutuhkan larva T. crocea berubah
pola kehidupan dari cara hidup melayang (planktonis) ke cara hidup menempel
(bentik) adalah sembilan hari (Triandiza dan Kusnadi 2013). Kemampuan tersebut
memberikan peluang bagi T. crocea untuk terdistribusi ke populasi lain dan
melakukan percampuran genetik antar populasi. Tingginya keragaman genetik juga
dapat disebabkan oleh mutasi. Mutasi merupakan perubahan sequence nukleotida
yang dapat menghasilkan keragaman genetik. Hasil penelitian mendapatkan 52
situs polimorfik yang terdiri dari 29 situs parsimony dan 23 situs singleton. Dari 52
situs yang mengalami mutasi, 88.46% subtitusi transisi dan 11.54% subtitusi
transversi.
Pengujian hipotesis mutasi netral pada polimorfisme DNA dilakukan dengan
uji Tajima (1989) dan uji Fu & Li (1993). Uji statistik menggunakan Tajima test
(D) menghasilkan nilai -1.76414 dan hasil tidak signifikan (0.10>P>0.05).
Sedangkan uji netralitas dengan Fu dan Li’s test menghasilkan nilai D= -2.8769 dan
F=-2.9076 serta hasil signifikan (P>0.05). Nilai negatif pada pengujian
menunjukkan belum terjadi perkawinan inbreeding dan merupakan indikator
tingginya keragaman genetik dan ekspansi populasi pada T.crocea.

Struktur Genetik Populasi

Hasil analisis struktur populasi T. crocea mengunakan uji amova (Excoffier


et al. 1992) menunjukan bahwa 97.69% variasi genetik berasal dari dalam individu,
sedangkan antara populasi tidak terdapat variasi ganetik (-2.20%) (Tabel 11). Hasil
yang diperoleh mengambarkan bahwa belum terjadi diferensiasi (pemisahan)
genetik antar populasi T. crocea di Kepulauan Kei. Excoffier dan Lischer (2010)
menyatakan nilai FST= 0 menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan secara genetik
di antara populasi, sedangkan nilai FST=1 menunjukkan ada perbedaan karakter
genetik.
Tabel 11. Analisis varian molukuler (Amova) empat populasi T. crocea di
Kepulauan Kei
Sumber db Jumlah Komponen Persentase FST P-value
keragamana Kuadrat ragam keragaman
Variasi antar 3 8.102 -0.05Va -2.20 0.023 0.022±0.005
populasi
Variasi antar 2 8.583 0.104Vb 4.51
individu dalam
populasi
Variasi dalam 95 21.047 2.232Vc 97.69
individu
Total 100 288.733 2.285 100
21

Nilai FST yang sangat rendah mengindikasikan T.crocea berasal dari stok
populasi yang sama. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis mengunakan metode
jarak berpasangan (FST) yang menunjukkan hasil yang signifikan bahwa populasi
T. crocea di Kepulauan Kei berkerabat sangat dekat (Tabel 12). Hasil uji analisis
jarak berpasangan (FST) juga menunjukkan perbedaan keragaman genetik pada
populasi T. crocea Tanimbar Kei dengan populasi Pulau Kur, Dullah Laut, Difur
dan Dar (P>0.05).

Tabel 12. Analisis antar populasi T. crocea di Kepulauan Kei berdasarkan metode
jarak berpasangan (Fst)
Dullah Tanimbar
Lokasi Kur Labetawi Difur Dar
Laut Kei
Kur - - -
Dullah
0.01616s - - - - -
laut
Labetawi 0.01720s 0.03402s - - - -
Difur -0.03248s 0.04264 0.04339s - - -
s s s s
Dar -0.04347 -0.02124 -0.02124 -0.01771 - -
Tanimbar
0.05728ns 0.06014ns 0.03264s 0.06856ns 0.00368s -
Kei
Keterangan: ns = tidak beda nyata (P>0.05); s=beda nyata (P<0.05)

Kedekatan secara genetik antar populasi T. crocea di Kepulauan Kei


ditunjukkan jarak genetik yang rendah. Jarak genetik antar individu T. crocea dalam
populasi berkisar 0.0077 (Tanimbar Kei) hingga 0.0110 (Dullah Laut). Antar
Populasi, Jarak genetik terendah (0.0081) terjadi antara populasi Difur dengan
Pulau Kur dan tertinggi (0.0107) antara populasi Labetawi dengan Pulau Dullah
Laut (Tabel 13). Nei (1972) menyatakan bahwa nilai jarak genetik 0.010 – 0.099
masuk dalam kategori rendah. Semakin rendah nilai dari jarak genetik yang
diperoleh, maka semakin dekat hubungan kekerabatan antara populasi tersebut.
Jarak genetik yang dekat pada populasi T. crocea diduga karena secara
geografis keenam populasi tersebut saling berhubungan, sehingga memungkinkan
terjadi aliran gen yang dibawa larva T. crocea. Haws dan Elis (2000) menyatakan
bahwa aliran gen terjadi selama siklus stadia planktonis. Perairan kepulauan Kei di
pengaruhi sistem angin muson (Musim Barat Laut dan Musim Tenggara) yang
mengakibatkan wilayah ini mengalami 4 kali pergantian musim yaitu Musim Barat,
Musim Peralihan I, Musim Timur, dan Musim Peralihan II (Prawirowardoyo 1996).
Pola angin muson mempengaruhi arus permukaan di sekitaran perairan Kepulauan
Kei, pada Musim Timur massa air bergerak dari perairan Arafura menuju Laut
Banda dan pada Musim Barat massa air bergerak dari Laut Banda ke perairan
Arafura (Wyrtky 1961). Dengan pola arus tersebut, larva planktonik T. crocea dapat
dengan mudah terdispersi ke semua populasi di Kepulauan Kei. Mohamed et al.
(2016) menyatakan bahwa larva pelagis T. maxima dapat dengan terdispersi sampai
500 km.
22

Tabel 13. Analisis jarak genetik dalam dan antar populasi T. crocea di Kepulauan
Kei
Jarak Dullah Tanimbar
Lokasi Kur Labetawi Difur Dar
Genetik Laut Kei
Dalam Kur 0.009 - - - - -
populasi Dullah
0.011 - - -
laut
Labetawi - - 0.01 - -
Tanimbar
- - - 0.008 - -
Kei
Difur - - - - 0.008 -
Dar - - - - - 0.01
Antar Kur - - - - -
Populasi Dullah
0.01 - - - - -
laut
Labetawi 0.009 0.0107 - - - -
Tanimbar
0.009 0.0098 0.009 - - -
Kei
Difur 0.008 0.0100 0.01 0.009 - -
Dar 0.009 0.0103 0.01 0.009 0.009 -
Parameter jarak genetik dapat digunakan untuk kepentingan budidaya.
Pemilihan induk untuk perkawinan antar populasi dapat mempertimbangkan
hubungan kekerabatan. Suparyanto et al. (1999) menyatakan bahwa perkawinan
antar populasi menghasilkan benih dengan keragaman (heterosis) yang lebih tinggi
bila menggunakan induk yang memiliki jarak genetik yang jauh dibandingkan
dengan benih yang diperoleh dari induk dengan jarak genetik dekat. Berdasarkan
hasil analisis jarak genetik, kima T. crocea asal Dullah Laut dengan Labetawi dapat
digunakan sebagai induk karena diduga dapat menghasilkan benih dengan
keragaman yang lebih tinggi dibandingkan dari kombinasi populasi lainnya.
Hasil analisis filogenetik molekuler menunjukan bahwa T. cocea tergabung
dalam satu clade besar dengan nilai bootstrap 35%, terpisah dari outgrup species
(Gambar 6). Pohon filogeni memperlihatkan individu-individu T. crocea tidak
mengelompok sesuai dengan lokasi tetapi mengalami percampuran dengan
individu-individu dari lokasi lain. Hasil yang diperoleh mengindikasikan populasi
T. crocea di Kepulauan Kei masih memiliki kekerabatan yang dekat karena secara
genetik tidak berbeda. Hal ini sesuai dengan analisis AMOVA dan jarak genetik,
yang menunjukkan bahwa populasi T. crocea tidak terstruktur ditunjukan dengan
nilai FST yang kecil dan memiliki kedekatan secara genetik dengan nilai jarak
genetik rendah.
23

Tridacna crocea

Gambar 6. Pohon filogenetik T. crocea menggunakan metode neighbor-joining


model Tamura 3-parameter dengan interval gamma distributed dan
1000 bootstraps

Konektivitas Genetik

Hasil analisis konektivitas haplotipe (Gambar 7) menunjukkan bahwa


populasi T. crocea di Kepulauan Kei memiliki 30 haplotipe spesifik ditemukan
hanya pada satu lokasi dan 12 haplotipe bercampur antar populasi (Gambar 9).
Haplotipe 4 merupakan haplotipe dengan jumlah individu terbesar yaitu 18 individu
yang ditemukan di hampir semua populasi kecuali Dullah Laut. Distribusi haplotipe
memperlihatkan adanya konektivitas haplotipe di semua populasi T. crocea di
Kepulauan Kei yang ditunjukkan dengan tidak terjadi pengelompokan (clade) antar
lokasi. Hasil penelitian tersebut memperlihatkan terjadi percampuran haplotipe
yang terdistribusi ke seluruh populasi T. crocea. Percampuran haplotipe
menunjukan bahwa telah terjadi perkawinan acak pada populasi T. crocea di
Kepulauan Kei. Perkawinan acak terjadi karena adanya aliran gen yang dibawa arus
permukaan, diduga dipengaruhi pola angin muson terutama muson tenggara
(Prawirowardoyo 1996).
24

18, 12, 8, 6, 4, 3, 2, 1

Gambar 7. Konektivitas 42 haplotipe dari 101 sampel T. crocea di Kepulauan Kei


dengan menggunakan metode median joining (keterangan: lokasi
ditandai dengan warna, setiap haplotype diwakili lingkaran, ukuran
lingkaran menunjukkan frekuensi haplotype).
25

Pola aliran genetik larval T. crocea di Kepulauan Kei menggunakan analisa


bayesian (Beerli 2006; Beerli 2009) menunjukkan nilai tingkat migrasi aliran
genetik sebesar 6.12-58.76. Tingkat migrasi aliran genetik terbesar adalah dari
populasi Dullah (M1) Ke populasi Dar (M2) dengan nilai migrasi sebesar 58.76,
diikuti populasi Dullah (M1) ke populasi Tanimbar Kei (M4) sebesar 42.15. Tingkat
migrasi aliran genetik terendah adalah dari populasi Dar (M2) ke populasi Dullah
(M1) dengan nilai migrasi sebesar 6.12, diikuti dengan populasi Dar (M2) ke
Tanimbar Kei (M4) sebesar 10.36 (Tabel 14). Berdasarkan matriks aliran genetik
terlihat populasi T. crocea di Dullah (M1) merupakan populasi yang mensuplai
aliran gen ke populasi lain dengan nilai (34.03-58.67). Sedangkan populasi T.
crocea di Dar merupakan populasi yang menerima suplai aliran genetik dari
populasi lain dengan nilai (12.64-58.67).

Tabel 14. Aliran gen T. crocea pada empat populasi di Kepulauan Kei
berdasarkan analisis bayesian (M1= Populasi Dullah (Dullah Laut,
Labetawi, dan Difur), M2 = Dar, M3= Pulau Kur, M4= Pulau
Tanimbar Kei)
Lokasi M1 M2 M3 M4
M1 - 58.67 34.03 42.15
M2 6.12 - 12.09 10.36
M3 29.64 12.64 - 15.69
M4 27.24 28.89 16.8 -

Perbedaan nilai aliran genetik pada masing-masing lokasi di Kepulauan Kei


diduga disebabkan barrier dispersal dan seleksi habitat. Pola arus yang disebabkan
angin muson diduga menghalangi dispersal larva T. crocea di setiap lokasi.
Kepulauan Kei dipengaruhi muson barat laut dan muson tenggara yang terjadi
secara periodik. Perubahan musim memberikan dampak terhadap pergerakan arus
yang secara tidak langsung berperngaruh terhadap dispersal larva. Selain itu pola
arus pasang surut juga diduga mempengaruhi penyebaran larva. Kepulauan Kei
mengalami pola dua kali pasang dan dua kali surut. Aliran genetik juga dipengaruhi
seleksi habitat. Kondisi mikro habitat menjadi faktor penting penyebaran larva
(Albaina et al. 2012), tidak semua larva yang sampai lokasi dapat bertahan, hanya
individu tertentu yang sesuai dengan karekteristik habitat yang dapat bertahan.
Hasil analisis tersebut dapat mengidentifikasi wilayah mana yang menjadi
“source” dan “sink”. Populasi ‘source’ adalah populasi yang mensuplai aliran gen
ke populasi lain, sedangkan ‘sink’ adalah populasi yang menerima suplai aliran gen
dari populasi lain. Hasil penelitian mendapatkan bahwa populasi Dullah merupakan
populasi “source”, sedangkan populasi Dar merupakan populasi “sink”. Konsep
source-sink population dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam penentuan
wilayah mana yang masuk prioritas konservasi. Pola migrasi aliran genetik larval
dispersal T. crocea divisualisasikan menggunakan program migrate (gambar 8).
Berdasarkan gambar terlihat populasi Dullah (M1) mensuplai aliran genetik ke
populasi lain dengan nilai terbesar ditunjukkan dengan garis tebal warna biru.
Sedangkan Dar terlihat suplai aliran genetiknya sangat kecil ke populasi lain
dibandingkan menerima suplai aliran genetik dari populasi lain, ditunjukan dengan
garis yang tipis.
26

Source

Sink

Gambar 8. Visualisasi aliran gen pada empat populasi T. crocea di Kepulauan Kei

Kima Noah (T. noae)

Hasil penelitian menemukan kima T. noae di perairan Kepulauan Kur


berdasarkan pengamatan secara morfologi dan genetik. T. noae bersifat cryptic
spesies karena memiliki banyak kesamaan karakteristik morfologi dan preferensi
habitat dengan T. maxima, tetapi ornamen mantelnya sangat berbeda dan dapat
digunakan untuk membedakan dari T. maxima (Su et al. 2014; Borsa et al. 2015;
Neo and Low 2017). Ornamen mantel ditandai dengan patch berbentuk oval
terpisah dengan garis putih di tepi, memiliki organ hialin yang tersebar di sepanjang
margin mantel, dan kehadiran papila yang terlihat jelas (Gambar 9) (Su et al. 2014;
Borsa et al. 2015).
Hasil blasting di GenBank NCBI untuk sekuens COI sampel kima dari Pulau
Kur yang di duga T. noae menghasilkan tingkat kemiripan 100% (identik) dengan
T. noae (Accesion GenBank MG385537.1). Sampel T. noae dari Pulau Kur
kemudian dibandingkan dengan beberapa sampel dari Genbank T. noae (Accesion
KT899651, KT899649, KT865894, KT899617, KT899655, KJ202115, KF446463
dan T. crocea (Accesion KF446291) (Fauvelot et al. 2017; Johnson et al. 2016;
DeBoer et al. 2014; Lizano dan Santos 2014) untuk di analisis jarak genetiknya.
Hasil analisis jarak genetik sampel T. noae Pulau Kur dengan T. noae Genbank
adalah sebesar 0.00 hingga 0.022. Jarak genetik T. noae dengan T. crocea adalah
0.182 hingga 0.185. Berdasarkan Nei (1972) nilai jarak genetik 0.01-0.099
menunjukan kedekatan genetik dan masih dalam jenis yang sama.
27

Gambar 9. Warna dan ornamen mantel T. noae dari Pulau Kur, Kepulauan Kei
(S 05017'07.1" ; E 132001'21.5”) (Keterangan gambar: (→) Hyalin organ;
(↔) Papilae; (─) bercak oval yang dibatasi margin putih)
Hasil analisis filogenetik molekuler menggunakan metode Neighbor joining
diperoleh pohon filogenetik dengan bentuk kladogram disertai nilai bootstrap di
setiap cabangnya (Gambar 10). Rekonstruksi filogenetik menunjukan bahwa T.
noae masih tergabung dalam satu clade besar dengan nilai bootstrap 46%. Sekuens
dari Pulau Kur, Pulau Doi KF446463, Balona Filipina KJ202115, dan Yap
KT899649 mengelompok dalam satu sub clade I dengan nilai bootstrap 29 %.
Sekuen dari Ningalo KT865901 dan Pulau Dongsa KT899617 membentuk sub
clade II dengan nilai bootstrap 58%. Satu sekuen yaitu Ninggalo KT865894
memiliki jarak genetik terjauh.

Gambar 10. Pohon filogentik sekuen DNA COI T. noae dengan out group
T. crocea
28

Implikasi Pada Upaya Pelestarian Kima

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa populasi kerang kima di Kepulauan Kei


terancam yang diindikasikan oleh kepadatan populasi yang rendah dan penurunan
jumlah jenis. T. gigas dan T. derasa merupakan jenis yang sebelumnya teramati,
tetapi sekarang tidak ditemukan dalam penelitian, menunjukkan kepunahan lokal
untuk dua jenis kima ini. Selanjutnya, hasil penelitian juga menemukan bahwa
sebagian besar kerang kima adalah dewasa. Kima pada fase juvenil jumlah lebih
sedikit dibandingkan jumlah individu fase dewasa, menunjukkan kelangsungan
hidup yang rendah atau rendahnya proses rekruitmen. Kondisi tersebut mungkin
disebabkan oleh eksploitasi berlebihan dan kegiatan antropogenik lainnya, sehingga
tindakan konservasi yang efektif harus segera diambil, baik oleh pemerintah dan
masyarakat setempat. Meskipun kerang kima telah terdaftar sebagai spesies yang
dilindungi di bawah undang-undang, namun pemerintah lokal perlu membentuk
suatu kawasan konservasi untuk perlindungan kerang kima di Kepulauan Kei. Hasil
penelitian melaporkan bahwa kawasan konservasi kerang kima dapat meningkatkan
kelimpahan dan keragaman jenis kima raksasa dan organisme asosiasi lainnya
(Cabaitan et al. 2008; Gonzales et al. 2014). Selain itu, upaya konservasi kerang
raksasa memerlukan tindakan khusus yang difokuskan pada peningkatan kepadatan
individu dan memulihkan rasio remaja/dewasa. Hal ini dapat dilakukan dengan
program restocking.
Keragaman genetik populasi kima di Kepulauan Kei sangat tinggi
(0.943±0.013). Keragaman genetik dapat memberikan informasi dalam
menentapkan rencana pengelolaan konservasi yang efektif. Berdasarkan hasil
penelitian, area yang paling sesuai untuk kawasan lindung dan restocking adalah
Perairan Dullah, karena lokasi ini memiliki variasi substrat yang baik, keragaman
genetik tinggi (Hd= 0.971±0.027; π=0.012±0.007) dan merupakan wilayah dengan
populasi “source”. Tanimbar Kei dan Pulau Kur dapat dijadikan alternatif kawasan
perlindungan kima karena wilayah relatif jauh dengan pemukiman. Selain itu
wilayah Tanimbar Kei memiliki populasi kima yang sedikit berbeda secara genetik
dengan populasi lain sehingga dapat dijadikan calon induk kima untuk budidaya.
Keberadaan T. noae di Pulau Kur dapat dijadikan alasan kuat untuk menjadikan
Pulau Kur sebagai kawasan perlindungan. Praktek sasi tradisional juga dapat
membantu memulihkan populasi kerang raksasa di semua lokasi studi, dengan
membatasi waktu panen dalam periode tertentu. Kami menyarankan bahwa sasi
dapat dikenakan selama 5 tahun, karena kerang raksasa umumnya memerlukan
waktu hingga mencapai usia dewasa (Bacvard 1981; Fitt 1991).

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian mendapatkan 5 jenis kerang kima yaitu T. crocea, T. maxima,


T. noae, T. squamosa dan H. Hippopus, dengan kepadatan individu sebesar 428
individu/ha. Fase juvenil ditemukan jumlahnya sangat sedikit dibandingkan jumlah
individu pada fase dewasa muda dan induk matang hermaprodit. Kima ditemukan
hidup pada enam tipe substrat, sekitar 75% hidup pada subtrat karang mati beralga
29

(DCA). Keragaman genetik populasi T. crocea di Kepulauan Kei sangat tinggi.


Populasi kima T. crocea di Kepulauan Kei tidak menunjukkan terjadinya struktur
populasi karena kedekatan genetik. Distribusi haplotipe memperlihatkan adanya
konektivitas haplotipe di semua populasi T. crocea Kepulauan Kei ditunjukan
dengan adanya pola aliran genetik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
berdasarkan aliran gen pada masing-masing populasi T. crocea, maka populasi
Dullah merupakan wilayah “Source” populasi dan populasi Dar merupakan
wilayah “Sink” populasi.

Saran

Pada penelitian ini permasalahan tentang kenapa proses rekruitmen juvenile


rendah dan kenapa pola aliran genetik setiap lokasi berbeda belum terjawab secara
mendetail. Oleh karena itu studi mengenai barrier oseanografi dan barrier ekologi
menjadi sangat penting untuk mengetahui pergerakan organisme dan konektivitas
antar pulau, sehingga strategi pengelolaan konservasi kima makin efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Albaina N, Olsen JL, Couceiro L, Ruiz JM, Barreiro R. 2012. Recent history of the
European Nassarius nitidus (Gastropoda): phylogeographic evidence of
glacial refugia and colonization pathways. Mar Biol. 159: 1871–1884.
Allentoft ME, O’Brien. 2010. Global Amphibian Declines, Loss of Genetic
Diversity and Fitness: A Review. Divers. 2: 47-71.
Aline T. 2008. Dissolution of dead corals by euendolithic microorganisms across
the northern Great Barrier Reef (Australia). Microb Ecol. 55: 569–580.
Arbi UY. 2010. Kepadatan dan kondisi habitat kerang kima (Cardiidae:
Tridacninae) di beberapa lokasi di Perairan Sulawesi Utara. Bawal 3 (2):139-
148.
Arifin Z. 1993. Sebaran geografis, habitat, dan perikanan siput lola (Trochus
niloticus) di Maluku. Perairan Maluku dan sekitarnya. hlm. 93-101.
Beckvar N. 1981. Cultivation, spawning and growth of the giant clams Tridacna
gigas, Tridacna derasa and Tridacna squamosa in Palau, Caroline Islands.
Aquaculture. 24: 21-30.
Beerli P., 2006. Comparison of Bayesian and maximum-likelihood inference of
population genetic parameters. Bioinformatics. 22:341-345
Beerli P. 2009. How to Use MIGRATE or Why Are Markov Chain Monte Carlo
Programs Difficult to Use? In Population Genetics for Animal Conservation.
vol. 17 of Conservation Biology. Cambridge (UK): Cambridge University Pr.
Bin Othman AS, Goh GHS, Todd PA. 2010. The distribution and status of giant
clams (Family Tridacnidae), a short review. Raffles Bull Zool. 58 (1): 103-
111.
Bonde RK, Mc Guire PM, Hunter ME. 2012. A review of the key genetic tools to
assist imperiled species conservation: analyzing West Indian manatee
populations. JMATE 5 (1): 8-19.
30

Borsa P, Fauvelot C, Tiavouane J, Grulois D, Wabnitz C, Naguit MRA, Andrefouet


S. 2015. Distribution of Noah’s giant clam, Tridacna noae. Mar Biodivers.
45: 339–344.
Cabaitan PC, Gomez ED, Alino PM. 2008. Effects of coral transplantation and giant
clam restocking on the structure of fish communities on degraded patch reefs.
J Exp Mar Biol Ecol. 357: 85–98.
Calumpong HP. 1992. The Giant Clam: An Ocean Culture Manual. Canberra (AU):
ACIAR Monograph 16.
Cappenberg HAW. 2007. Sebaran dan kepadatan kima (Tridacnidae) di Perairan
Kepuluan Derawan, Kalimantan Timur. Jurnal Perikanan. 9 (2) : 220-225.
Castro JA, Picornell A, Ramon M. 1998. Mitochondrial DNA: a tool for
populational genetics studies. Internatl Microbiol.1: 327-332.
Chambers CNL. 2007. Pausa (Tridacna maxima) in Tongareva Lagoon, Cook
Islands. SPC Inf Bull. 3: 7–12.
Colbeck R. 2015. Clams to help slam trade shut. Australian Fisheries Management
Authority. Online. http://www.afma.gov.au/clams-help-slam-trade-shut/
(accessed 26 Februari 2018).
Copland JW, Lucas JS.1988. Giant Clams in Asia and the Pacific. Canberra (AU):
ACIAR Monograph 9.
Deboer TS, Naguit MRA, Erdmann MV, Ablan-Lagman MCA, Carpenter KE,
Toha AHA, Barber PH. 2014. Concordant phylogenetic patterns inferred from
mitochondrial and microsatellite DNA in the giant clam Tridacna crocea.
Bull Mar Sci 90: 301–329.
Dolorosa RG, Schoppe S. 2005. Focal benthic mollusks (Mollusca:Bivalvia and
Gastropoda) of selected sites in Tubbataha Reefs National Marine Park,
Palawan, Philippines. Sci Diliman. 17: 1-10.
Dolorosa RG, Conales SF, Bunda NA. 2014. Shell dimension–live weight
relationships, growth and survival of Hippopus porcellanus in Tubbataha
Reefs Natural Park, Philippines. Atoll Res Bull. 604: 1-9.
Eliata A, Zahida F, Wibowo NJ, Panggabean LMG. 2003. Abundance of giant clam
in coral reef ecosystem at Pari Island: A population comparison of 2003's to
1984's data. Biota. 8 (3): 149-152.
English S, Wilkinson C, Baker, V. 1994. Survey Manual for Tropical Marine
Resources. Townsville (AU): Asean – Australia Marine Science.
Excoffierd L, Lischer HE. 2010. Arlequin suite ver 3.5: a new series of programs
to perform population genetic analysis under Linux and Windows. Mol Ecol
Resour. 10: 564–567.
Exoffier L, Smouse PE, Quattro JM. 1992. Analysis of moleculer variance inferred
from metric distance among DNA haplotipes; application to human
mitochondrial DNA restriction data. Genetics. 131: 479-491.
Fauvelot C, Andrefouet S, Grulois D, Tiavouane J, Wabnitz CCC, Magalon H,
Borsa P. 2017. Phylogeography of Noah’s giant clam. Mar Biodiv.
doi.org/10.1007/s12526-017-0794-0.
Fatherree JW. 2006. Giant clams in the sea and the aquarium. Tampa (US): Liquid
Medium. 227 pp.
Findra MN, Setyobudiandi I, Butet NA, Solihin DD. 2017. Genetic profile
assessment of giant clam genus Tridacna as a basis for resource management
at Wakatobi National Park Waters. IJMS. 22(2): 67-74.
31

Fitt WK. 1991. Mariculture of giant clams. In: Menzel, W. (ed) Estuarine and
marine bivalve mollusk culture. Florida (US): CRC Press.
Frankham, Ballou RJD, Briscoe DA. 2002. Introduction to conservation genetics.
Cambridge (UK): Cambridge University Press.
Fu YX, LI WH. 1993. Statistical tests of neutrality of mutations. Genetics. 133:
693-709.
Gomez E. 2015. Destroyed reefs, vanishing giant clams. Online.
http://opinion.inquirer.net/84595/destroyed-reefs-vanishing-giant-clams
(accessed 26 Februari 2018).
Gomez ED, Mingoa-Licuanan SS. 2006. Achievements and lessons learned in
restocking giant clams in the Philippines. Fish Res. 80: 46−52.
Gonzales BJ, Becira JG, Galon WM, Gonzales MMG. 2014. Protected versus
unprotected area with reference to fishes, corals, marine invertebrates, and
CPUE in Honda Bay, Palawan. The Palawan Scientist. 6 : 42–59.
Graur D, Hsiung Li W. 2000. Fundamental of Molecular Evolution. Second Edition.
Massachusetts (US): SinaurAssociates Inc Publisher.
Harzhauser M, Mandic O, Piller WE, Reuter M, Kroh A. 2008. Tracing back the
origin of the Indo-Pacific mollusc fauna: Basal Tridacninae from the
Oligocene and Miocene of the Sultanate of Oman. Palaeontology. 51 (1):199–
213.
Haws M, Ellis S. 2000. Colectiong black-lip pearl oyster spat. Aquafarmer
Information Sheet. CTSA. 144: 1–8.
Hebert PDN, Cywinska A, Ball SL, deWaard JR. 2003. Biological identifications
through DNA barcodes. Pro R Soc Lond. 270: 313-321.
Hernawan UE. 2012. Taxonomy of Indonesian giant clams (Cardiidae,
Tridacninae). Biodiversitas. 13 (3):118-123.
Hernawan UE. 2010. Study on giant clams (Cardiidae) population in Kei Kecil
waters, Southeast Maluku. Widyariset. 13 (3): 101-108.
Hernawan UE, Triandiza T, Kusnadi A. 2010. Survey of the giant clams species
(Tridacninae) in the coral reef of Baer Island, Southeast Moluccas. Neritic.
2(2): 1-6.
Heslinga GA. 1995. Clams to cash: how to make and sell giant clam shell products.
Center for Tropical and Subtropical Aquaculture Publication. Online.
http://www.ctsa.org/files/publications/CTSA_1256316728558255081.pdf.
(accessed 19 Desember 2017).
Hughes AR, Inouye BD, Johnson MTJ, Underwood N, Vellend M. 2008.
Ecological consequences of genetic diversity. Ecology Letters. 11: 609-623.
Hui M, Kraemer WE, Seidel C, Nuryanto A, Joshi A, Kozhius M. 2016.
Comparative genetic population structure of three endangered giant clams
(Cardiidae: Tridacna species) throughout the Indo-West Pacific: Implications
for divergence, connectivity and conservation. J Molluscan Stud. 2 (3): 403-
414
Jantzen C, Wild C, El-Zibdah M, Roa-Quiaoit HA, Haacke C, Richter C. 2008.
Photosynthetic performance of giant clams, Tridacna maxima and T.
squamosa, Red Sea. Mar Biol. 155, 211–221.
Jena SN, Srivastava A, Singh UM, Roy S, Banerjee N, Rai KM, Singh SK, Kumar
V, Chaudhary LB, Roy JK, Tuli R, Sawant SV. 2011. Analysis of genetic
32

diversity, population structure and linkage disequilibrium in elite cotton


(Gossypium L.) germplasm in India. Crop Pasture Sci. 62: 859–875.
Johnson MS, Prince J, Brearley A, Rosser NL, Black R. 2016. Is Tridacna maxima
(Bivalvia: Tridacnidae) at Ningaloo Reef, Western Australia?. Molluscan Res.
36 (4):264–270. doi.org/10.1080/13235818.2016.1181141.
Keys JL, Healy JM. 2000. Relevance of sperm ultrastructure to the classification of
giant clams (Mollusca, Cardioidea, Cardiidae, Tridacninae). Geol. 177: 191–
205.
Kinch J. 2002. Giant clams: their status and trade in Milne Bay Province, Papua
New Guinea. Traffic Bull. 19 (2): 1-9.
Klumpp DW, Griffiths CL. 1994. Contributions of phototrophic and heterotrophic
nutrition to the metabolic and growth requirements of four species of giant
clam (Tridacnidae). Mar Ecol Prog Ser. 115: 103-115.
Klumpp DW, Lucas JS. 1994. Nutritional ecology of the giant clams Tridacna
tevoroa and T.derasa from Tonga: influence of light on filter feeding and
photosynthesis. Mar Ecol Prog Ser. 107: 147-156.
Knop D. 1996. Giant Clams, A Comprehensive Guide to the Identification and Care
of Tridacnid Clams. Ettlingen (PR): Dahne Verlag.
Kochzius M, Nuryanto A. 2008. Strong genetic population structure in the boring
giant clam, Tridacna crocea, across the Indo-Malay Archipelago:
implications related to evolutionary processes and connectivity. Mol Ecol. 17:
3775–3787.
Krell B, Skopal M, Ferber P. 2011. Koh Rong Samloem and Koh Kon Marine
Environmental Assessment: Report on Marine Resources and Habitats.
Marine Conservation Cambodia. online. https://data.opendevelopmentsmeko
ng.net/dataset/641dfe2a-fc48-4643-930c-a1cc67a3a7b7/resource/2e8aa9c0-
87fb-4293-9d68-33cec97bff7/download/reportonmarine resourcesandhabitat
00.05.2011/pdf (accessed 19 Desember 2017).
Kusnadi A, Triandiza T, Hernawan UE. 2008. The inventory of mollusc species and
its potent on seagrass bed in Kei Kecil Islands, Southeast Moluccas.
Biodiversitas. 9 (1): 30-34.
Larson C.2016. Shell Trade Pushes Giant Clams to the Brink. Science. 351: 323–
324.
Latypov YY. 2013. Barrier and platform reefs of the Vietnamese coast of the South
China Sea. IJMS. 3 (4): 23–32.
Launey S, Hedgecock D. (2001). High genetic load in the Pacific oyster Crassostrea
gigas. Genetics 159: 255–265.
Lee S. 2014. Twenty tonnes of giant clams seized from Vietnamese fishermen. The
Star Online. http://www.thestar.com.my/news/nation/2014/04/14/crime-
cops-clam (accessed 01 Mei 2018).
Lizano AM, Santos MD. 2014. Updates on the status of giant clams Tridacna spp.
and Hippopus hippopus in the Philippines using mitochondrial CO1 and 16S
rRNA genes. Philipp Sci Lett. 7(1): 187-200.
Lucas JS. 1988. Giant clams: description, distribution, and life-history. In: Copland,
J. W. and Lucas, J. S. (eds.). Giant clams in Asia and the Pasific. Canberra
(AU): ACIAR Monograph 9.
Manu N, Sone S. 1995. Breeding season of the Tongan shellfish 3. Elongated giant
clam (kukukuku), Tridacna maxima. Fish Res Bull Tonga. 3:25-33.
33

Mies M, Dor P, Güth AZ, Sumida PYG. 2017. Production in giant clam
aquaculture: trends and challenges. Rev Fish Sci Aquac. hlm. 1-11.
Mingoa-Licuanan SS, Gomez ED. 2002. Giant clam conservation in Southeast
Asia. Trop Coast. 3: 24−56.
Mohamed NA, Yu Q, Chanfi MI, Li Y, Wang S, Bao Z, Huang X. Genetic diversity
and population differentiation of small giant clam Tridacna maxima
in Comoros islands assessed by microsatellite markers. Springer Plus. 5
(1852): 1-7.
Montagne A, Naim O, Tourrand C, Pierson B, Menier D. 2013. Status of Coral
Reef Communities on Two Carbonate Platforms (Tun Sakaran Marine Park,
East Sabah, Malaysia. IJE.
Mudjiono. 1988. Catatan beberapa aspek kehidupan kima, suku Tridacnidae
(Mollusca, Pelecypoda). Oseana. 12 (2): 37 – 47.
Naguit MRA, Tisera WL, Calumpong HP. 2012. Ecology and genetic structure of
giant clams around Savu Sea, East Nusa Tenggara Province, Indonesia. AJOB.
3: 174–194.
Nei, M. (1972). Genetic distance between population. Am Nat. 106 (949): 283-292.
Nei M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. New York: Columbia University
Pr.
Nei M, Jin L. 1989. Variances of the average numbers of nucleotides substitutions
within and between populations. Mol Biol Evol. 6: 290-300.
Nei M, Li WH. 1979. Mathematical model for studying genetic variation in terms
of restriction endonucleases. Pro Natl Acad Sci. 76:5269–5273.
Nei M, Tajima F. 1981. DNA Polymorphism detectable by restriction
endonucleases. Genetics. 97:145-163.
Neo ML, Low JKY. 2017. First observations of Tridacna noae (Röding, 1798)
(Bivalvia: Heterodonta: Cardiidae) in Christmas Island (Indian Ocean). Mar
Biodiv.48: 2183-2185.
Neo ML, Eckman W, Vicentuan K, Teo SLM, Todd PA. 2015. The ecological
significance of giant clams in coral reef ecosystems. Biol Conserv. 181:111–
23.
Neo ML, Tood PA. 2012. Population density and genetic structure of the giant
clams Tridacna crocea and T. squamosa on Singapore’s reefs. Aquat Biol 14:
265-275.
Neo ML, Wabnitz CCC, Braley RD, Heslinga GA, Fauvelot C, Wynsberge SV,
Andrefouet S, Waters C, Tan AS, Gomez ED, Costello MJ, Todd PA. 2017.
Giant clams (Bivalvia: Cardiidae: Tridacninae): a comprehensive update of
species and their distribution, current threats and conservation status.
Oceanogr Mar Biol: An Annual Review. 55: 87-388.
Nijman V, Spaan D, Nekaris KAI. 2015. Large scale trade in legally protected
marine mollusc shells from Java and Bali, Indonesia. Plos One. 10 (12): 1-18.
Nuryanto A, Duryadi D, Soedharma D, Bloom D. 2007. Molecular phylogeny of
giant clams based on mitochondrial DNA cytochrome c oxidase I gene.
HAYATI J Biosci. 14: 162-166.
Ode I. 2017. Kepadatan dan pola distribusi kerang kima (Tridacnidae) di perairan
Teluk Nitanghahai Desa Morella Maluku Tengah. Agrikan-UMM Ternate. 10
(2):1-6.
34

Pada DN, Boneka FB, Mamangkey GF. 2013.Identifikasi dan aspek ekologi kerang
Tridacninae di perairan sekitar Pulau Venu, Kabupaten Kaimana, Provinsi
Papua Barat. Jurnal Ilmiah Platax. 1 (2): 46-53.
Pearson RG, Munro JL. 1991. Growth, mortality and recruitment rates of giant
clams, Tridacna gigas and T. derasa, at Michaelmas Reef, central Great
Barrier Reef, Australia. Aust. J Mar Fresh. Res. 42: 241–262.
Planes S, Chauvet C, Baldwin J, Bonvallot J, Fontaine-Vernaudon Y, Gabrie C,
Holthus P, Payri C, Galzin R. 1993. Impact of tourism related fishing on
Tridacna maxima (Mollusca: Bivalvia) stocks in Bora-Bora Lagoon (French
Polynesia). Attol Res Bull. 385: 1-14.
Poutiers JM. 1998. Bivalves (Acephala, Lamellibranchia, Pelecypoda). In:
Carpenter KE, Niem VH (eds) FAO species identification guide for fishery
purposes. The Living Marine Resources of the Western Central Pacific.
Seaweeds, Corals, Bivalves and Gastropods. Rome: FAO.
Prawirowardoyo S. 1996. Meteorologi. Bandung (ID): ITB Pr.
Ravago-Gotanco RG, Magsino RM, Juinio-Menez MA. 2007. Influence of the
North Equatorial Current on the population genetic structure of Tridacna
crocea (Mollusca: Tridacnidae) along the eastern Philippine seaboard. Mar
Ecol Prog Ser. 336: 161–168.
Rees M, Colquhoun J, Smith L, Heyward A. 2003. Surveys of trochus, holothuria,
(giant clams and the coral communities at Ashmore Reef, Cartier Reef and
Mermaid Reef, Northwestern Australia. The Australian Institute of Marine
Science. Online. https://pdfs.semanticscholar.org/5ff3/6fa32e8f5ca5fb6a6b7
935e001871b270de2.pdf (accessed 20 April 2018).
Roegner GC. 2000. Transport of molluscan larvae through a shallow estuary.
J Plankton Res. 22 (9): 1779–1800.
Rosewater J. 1965. The Family Tridacnidae in the Indo Pacific. Indo – Pacific
Mollusca: Vol 1 /no.6. Pennsilvania (US): The Department of Mollusca:
Academy of Natural Science of Philadelphia.
Sadili D, Sarmintohadi, Ramli I, Rasdiana H, Miasto Y, Prabowo, Sari RP,
Monintja M, Tery N, Annisa S. 2015. Pedoman Monitoring Populasi Kima.
Jakarta (ID): Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut,
Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang laut, Kementerian Kelautan dan
Perikanan.
Savage JM, Osborne PE, Hudson MD. 2013. Abundance and diversity of marine
flora and fauna of protected and unprotected reefs of the Koh Rong
Archipelago, Cambodia. Cambodian J Nat Hist: 83-94.
Solihin DD. 1994. Peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keragaman
genetik dan biologi populasi pada hewan. Hayati. 1(1):1-4.
Soo P, Todd PA. 2014. The behaviour of giant clams (Bivalvia: Cardiidae:
Tridacninae). Mar Biol. 161: 2699–2717.
Snedecor GW, Cochran WG. 1980. Statistical Methods, Seventh Edition Iowa:
Iowa State University Pr.
Su Y, Hung JH, Kubo H, Liu LL. 2014.Tridacna noae (Röding, 1798) – a valid
giant clam species separated from T. maxima (Röding, 1798) by
morphological and genetic data. Raffles Bull Zool. 62: 124–135.
35

Suparyanto A, Purwadaria T, Subandriyo.1999. Pendugaan jarak genetik dan faktor


peubah pembeda bangsa dan kelompok domba di Indonesia melalui
pendekatan analisis morfologi. IJAVS. 4 (2): 80-87.
Susiana, Ningsih A, Amran MA. 2014. Kelimpahan dan kepadatan kima
(Tridacnidae) di Kepulauan Spermonde. Agrikan Ummu-Ternate. 6 (3): 55-
64.
Tajima F. 1989. Statistical method for testing neutral mutation hypothesis by DNA
polymorphism. Genetics. 123: 585−595.
Tamura K, Stecher G, Peterson D, Filipski A, Kumar S. 2013. MEGA6: Molecular
evolutionary genetics analysis version 6.0. Mol Biol Evol. 30(12):2725-2729.
Triandiza T, Kusnadi A. 2013. Teknik pemijahan buatan dan pemeliharaan larva
kima (Tridacna squamosa Lamarck) di Laboratorium. OLDI. 39 (1): 1-11.
Usher GF. 1984. Coral Reef Invertebrates in Indonesia: Their Exploitation and
Conservation Needs. Rep. IUCN/WWF Project. Bogor.
Van Wynsberge S, Andrefouet S, Gaertner-Mazouni N, Wabnitz CCC, Gilbert A,
Remoissenet G, Payri C, Fauvelot C. 2015. Drivers of density for the exploited
giant clam Tridacna maxima: a meta analysis. Fish and Fisheries. 17: 567–
584.
Vicentuan-Cabaitan K, Neo ML, Eckman W, Teo SLM, Todd PA. 2014. Giant clam
shells host a multitude of epibionts. Bull Mar Sci. 90 (3): 795-796.
Wabnitz C, Taylor M, Green E, Razak T. 2003. From Ocean to Aquarium: The
Global Trade in Marine Ornamental Species. Cambridge (UK): UNEP-
WCMC.
Wakum A, Takdir M, Talakua S. 2017. Jenis – jenis kima dan kelimpahannya di
perairan Amdui Distrik Batanta Selatan Kabupaten Raja Ampat. J
Sumberdaya Akuatik Indopasifik. 1: 43-51.
Wells S. 1997. Giant Clams: Status, Trade and Mariculture, and The Role of CITES
in Management. IUCN. Switzerland and Cambridge (UK): Gland. 86pp.
White C, Selkoe KA, Watsons J, Siegel DA, Zacherl DC, Toonen RJ. 2010. Ocean
currents help explain population genetic structure. Proc R Soc. B. 277: 1-9.
Wyrtki K. 1961. Scientific Results of Marine Investigations of the South China Sea
and the Gulf of Thailand 1959-1961 Volume 2. La Jolla: University of
California, Scripps Institutions of Oceanography.
Yusuf C, Ambariyanto, Hartati R. 2009. Abundance of Tridacna (Family
Tridacnidae) at Seribu Islands and Manado Waters, Indonesia. IJMS.
14(3):150-154.
36

LAMPIRAN
37

Lampiran 1. Find base DNA/ Protein Model

Table. Maximum Likelihood fits of 24 different nucleotide substitution models


Model Parameters BIC AICc lnL (+I) (+G) R f(A) f(T) f(C) f(G) r(AT) r(AC) r(AG) r(TA) r(TC) r(TG) r(CA) r(CT) r(CG) r(GA) r(GT) r(GC)
T92+G 216 5194.316 3323.000 -1444.409 n/a 0.13 8.29 0.315 0.315 0.185 0.185 0.016 0.009 0.166 0.016 0.166 0.009 0.016 0.283 0.009 0.283 0.016 0.009

T92+I 216 5200.750 3329.434 -1447.627 0.71 n/a 6.76 0.315 0.315 0.185 0.185 0.019 0.011 0.162 0.019 0.162 0.011 0.019 0.277 0.011 0.277 0.019 0.011

HKY+G 218 5203.391 3314.769 -1438.274 n/a 0.13 7.74 0.253 0.377 0.177 0.192 0.020 0.010 0.171 0.014 0.158 0.010 0.014 0.337 0.010 0.226 0.020 0.010

T92+G+I 217 5204.828 3324.859 -1444.329 0.12 0.15 8.53 0.315 0.315 0.185 0.185 0.016 0.009 0.167 0.016 0.167 0.009 0.016 0.284 0.009 0.284 0.016 0.009

TN93+G 219 5206.826 3309.550 -1434.654 n/a 0.13 8.39 0.253 0.377 0.177 0.192 0.019 0.009 0.103 0.013 0.211 0.010 0.013 0.449 0.010 0.135 0.019 0.009

HKY+I 218 5207.420 3318.798 -1440.288 0.71 n/a 6.60 0.253 0.377 0.177 0.192 0.023 0.011 0.168 0.016 0.155 0.012 0.016 0.331 0.012 0.222 0.023 0.011

HKY+G+I 219 5214.065 3316.789 -1438.274 0.00 0.13 7.74 0.253 0.377 0.177 0.192 0.020 0.010 0.171 0.014 0.158 0.010 0.014 0.337 0.010 0.226 0.020 0.010

TN93+G+I 220 5217.499 3311.571 -1434.654 0.00 0.13 8.39 0.253 0.377 0.177 0.192 0.019 0.009 0.103 0.013 0.211 0.010 0.013 0.449 0.010 0.135 0.019 0.009

K2+G 215 5233.595 3370.933 -1469.386 n/a 0.15 6.58 0.250 0.250 0.250 0.250 0.017 0.017 0.217 0.017 0.217 0.017 0.017 0.217 0.017 0.217 0.017 0.017

GTR+G 222 5239.439 3316.205 -1434.951 n/a 0.13 6.76 0.253 0.377 0.177 0.192 0.031 0.000 0.111 0.021 0.200 0.015 0.000 0.425 0.011 0.147 0.029 0.010

K2+G+I 216 5241.985 3370.670 -1468.244 0.46 0.39 6.94 0.250 0.250 0.250 0.250 0.016 0.016 0.219 0.016 0.219 0.016 0.016 0.219 0.016 0.219 0.016 0.016

GTR+G+I 223 5250.113 3318.226 -1434.951 0.00 0.13 6.76 0.253 0.377 0.177 0.192 0.031 0.000 0.111 0.021 0.200 0.015 0.000 0.425 0.011 0.147 0.029 0.010

T92 215 5365.997 3503.335 -1535.587 n/a n/a 4.22 0.315 0.315 0.185 0.185 0.029 0.017 0.151 0.029 0.151 0.017 0.029 0.258 0.017 0.258 0.029 0.017

HKY 217 5371.191 3491.222 -1527.510 n/a n/a 4.23 0.253 0.377 0.177 0.192 0.034 0.016 0.157 0.023 0.145 0.017 0.023 0.309 0.017 0.207 0.034 0.016

TN93 218 5377.256 3488.633 -1525.206 n/a n/a 4.26 0.253 0.377 0.177 0.192 0.034 0.016 0.126 0.023 0.168 0.017 0.023 0.358 0.017 0.166 0.034 0.016

TN93+I 219 5387.927 3490.652 -1525.205 0.00 n/a 4.26 0.253 0.377 0.177 0.192 0.034 0.016 0.126 0.023 0.168 0.017 0.023 0.358 0.017 0.166 0.034 0.016

K2 214 5391.398 3537.390 -1553.624 n/a n/a 4.19 0.250 0.250 0.250 0.250 0.024 0.024 0.202 0.024 0.202 0.024 0.024 0.202 0.024 0.202 0.024 0.024

K2+I 215 5402.070 3539.408 -1553.624 0.00 n/a 4.19 0.250 0.250 0.250 0.250 0.024 0.024 0.202 0.024 0.202 0.024 0.024 0.202 0.024 0.202 0.024 0.024

GTR 221 5408.515 3493.933 -1524.825 n/a n/a 3.75 0.253 0.377 0.177 0.192 0.041 0.020 0.126 0.027 0.162 0.017 0.029 0.345 0.017 0.167 0.034 0.015
38

JC+G 214 5416.951 3562.943 -1566.401 n/a 0.18 0.50 0.250 0.250 0.250 0.250 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083

GTR+I 222 5419.187 3495.952 -1524.824 0.00 n/a 3.75 0.253 0.377 0.177 0.192 0.041 0.020 0.126 0.027 0.162 0.017 0.029 0.345 0.017 0.167 0.034 0.015

JC+I 214 5421.230 3567.221 -1568.540 0.70 n/a 0.50 0.250 0.250 0.250 0.250 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083

JC+G+I 215 5426.905 3564.243 -1566.041 0.58 1.08 0.50 0.250 0.250 0.250 0.250 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083

JC 213 5553.930 3708.575 -1640.227 n/a n/a 0.50 0.250 0.250 0.250 0.250 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083 0.083

NOTE.-- Models with the lowest BIC scores (Bayesian Information Criterion) are considered to describe the substitution pattern the best.
For each model, AICc value (Akaike Information Criterion, corrected), Maximum Likelihood value (lnL), and the number of parameters
(including branch lengths) are also presented [1]. Non-uniformity of evolutionary rates among sites may be modeled by using a discrete
Gamma distribution (+G) with 5 rate categories and by assuming that a certain fraction of sites are evolutionarily invariable (+I). Whenever
applicable, estimates of gamma shape parameter and/or the estimated fraction of invariant sites are shown. Assumed or estimated values of
transition/transversion bias (R) are shown for each model, as well. They are followed by nucleotide frequencies (f) and rates of base
substitutions (r) for each nucleotide pair. Relative values of instantaneous r should be considered when evaluating them. For simplicity, sum
of r values is made equal to 1 for each model. For estimating ML values, a tree topology was automatically computed. The analysis involved
108 nucleotide sequences. All positions containing gaps and missing data were eliminated. There were a total of 400 positions in the final
dataset. Evolutionary analyses were conducted in MEGA6 [2].

Abbreviations: GTR: General Time Reversible; HKY: Hasegawa-Kishino-Yano; TN93: Tamura-Nei; T92: Tamura 3-parameter; K2: Kimura
2-parameter; JC: Jukes-Cantor.
39

Lampiran 2. Pengaturan analisis aliran genetik T. crocea menggunakan bayesian


inference pada program aplikasi Migrate-n version 3.6.11

# Parmfile for Migrate 3.6.11-June-18-15 [do not remove these first TWO lines]
# generated automatically on
# 11/08/18 07:29:37
# please report problems to Peter Beerli
# email: beerli@fsu.edu
# http://popgen.sc.fsu.edu/migrate.html
# General options
# Interactive or batch job usage
# Syntax: menu= < YES | NO >
# For batch runs it needs to be set to NO menu=YES
# Specification of length of names of indiviudals
# Syntax: nmlength=<INTEGER between 0 .. 30> nmlength=10
# Data options
# Several different main datatypes are possible:
# INFINITE ALLELE: usable for electrophoretic markers, other markers with
unknown mutation model
# STEPWISE MUTATION: usable for microsatellite data or other markers with
stepwise change from one allele to another [singlestep versus multistep model,
see micro-submodel option]
# FINITE SITES MUTATION: standard DNA/RNA sequence mutation model,
usable for DNA or RNA contiguous sequences or varialbe sites only (SNP)
# GENEALOGY SUMMARY: reanalyzing an old migrate run
# INFINITE ALLELE
# Syntax: datatype=ALLELICDATA include-unknown=<YES | NO> with YES
unknown alleles are included into analysis, NO is the default
# STEPWISE MUTATION
# Syntax: datatype=<MICROSATELLITEDATA | BROWNIANDATAMICRO
specifies the standard stepwise mutation model, the BROWNIAN is an
approximation to this micro-submodel=<1|2:{tune,pinc}>
1 means singlestep mutation model (this is the default and the standard
2 is the Multistep model (see Watkins 2007 TPB, section 4.2) it needs
two parameters: tune specifies how close the model is to a singlestep model so
tune=0 --> singlestep, tune=1 --> infinite allele model; the second parameter
defines the probability that the repeat number is increasing, this value cannot be
larger than 0.666, I suggest 0.5.
Example: micro-submodel=2:{0.5,0.
micro-threshold=<INTEGER> Default is 10 [MICRO only, NEEDS TO BE
EVEN!], smaller values speed up analysis, but might also crash, large values slow
down analysis considerably. Change this value only when you suspect that your
data has huge gaps in repeat length. include-unknown=<YES | NO> with YES
unknown alleles are included into analysis, NO is the default
# FINITE SITES MUTATION
# Syntax: datatype=<SEQUENCEDATA | NUCLEOTIDE | UNLINKEDSNPS |
ANCESTRAL
# SEQENCEDATA: typical linked stretches of DNA, for example mtDNA
40

# NUCLEOTIDE: linked DNA stretches, all invariable sites removed


# UNLINKEDSNPS: each variable site is a locus, DO NOT USE THIS YET
# ANCESTRAL: instead taking into account all posible states, use only the most
likely state probability, DON'T USE THIS YET freqs-from-data=<YES | NO:
freq(A), freq(C), freq(G), freq(T)> calculate the prior base frequencies from the
data, or specify the frequencie ttratio=<RATIO1 RATIO2 ....> Default is 2.0, ratio
between transitions and transversions.
# seq-error=<VALUE> Default is 0.0, typical values for ABI 3700 sequencers after
base calling are around 0.001 (1/650) categories=<VALUE:CATFILE> The
categories are integers or letters specified in file called CATFILE, this assumes
that all sites belong to known categories, this can be used to weight third positions
etc.
# rates=<VALUE1 VALUE2 ...> the rates are specified arbitrarily or then are from
a Gamma distribution with alpha=x, currently the alpha value gets lost and is not
recorded in the parmfile prob-rates=<RATE2 RATE1 ... > These rates can be
arbitrary or generated with gamma-deviated rates and then are derived using
Laguerre's quadrature, this should get better results than equal probability
methods. autocorrelation=<NO | YES:VALUE> Default is NO autocorrelation
makes only sense with rates, VALUE should be >1.0 weights=<NO |
YES:WEIGHTFILE> The weights are specified in file called WEIGHTFILE, this
assumes that all sites belong to known weights, this can be used to weight portions
of the sequence etc.
# interleaved=<YES | NO> Use either an interleaved or non-interleaved format.
Default is NO, interleaved=YES is discouraged fast-likelihood=<YES | NO>
Default is YES, use NO when you have many hundred individuals and get strange
errors during a run, NO is scaling the conditional likelihood so that very small
values are >0.00000 inheritance-scalars={values for each locus} these values are
multiplied with Theta, for example having two autosomal and a locus on X- and
one on Y-chromosome we would give inheritance-scalars={1 1 0.75 0.25} [if all
loci have the same scalar, just use {1}, even for many loci]] population-
relabel={assignment for each location in the infile} example is population-
relabel={1 2 2} random-subset=number<:seed>allows to subset the dataset
randomly, if number > sample in population all samples are taken, if number is
smaller then the pop sample is shuffled and the first number samples are taken.
The random number seed guarantees that the same subset is chosen in different
runs usertree=<NO | UPGMA | AUTOMATIC | TREE:TREEFILE |
DISTANCE:DISTFILE | RANDOM>
Default is RANDOM, NO delivers a UPGMA tree using the data with TREE and
DISTANCE the user needs to give a usertreefile or a pairwise distance file, with
RANDOM a random tree will be the starting tree
#-------------------------------------------------------------------------------
datatype=SequenceData
ttratio=5.100000
freqs-from-data=NO:0.240000,0.180000, 0.200000, 0.380000
seqerror-rate=0.000000
categories=1 #no categories file specified
rates=1: 1.000000
prob-rates=1: 1.000000
41

autocorrelation=NO
weights=NO
interleaved=NO
fast-likelihood=NO
inheritance-scalars={1.00000000000000000000}
population-relabel={1, 2, 3, 4}
usertree=RANDOMTREE
# Input options
# input file location
# Syntax infile=FILEPATH infile=GC_Keimig02.seq
# Random number seed specification
# Syntax random-seed=<AUTO | OWN:< seedfile | value >
# AUTO uses computer system clock to generate seed
# OWN: seedfile uses file seedfile with random number seed
# OWN: value uses number value for seed random-seed=AUTO #OWN:385409202
# Specify the title of the run, will be overridden by title in datafile
# Syntax: title=title text [up to 80 characters] title=AUTO
# Output options
# Progress report to the window where the program was started
# Syntax: progress=<NO | YES | VERBOSE>
# NO nothing is printed to the console
# YES some messages about progress are reported [default]
# VERBOSE more messages are reported to console progress=YES
#-------------------------------------------------------------------------------
# Recording messages to screen into logfile
# Syntax logfile=<NO | YES:logfilename>
# NONE no recording of progress
# logfilename path to logfile logfile=NO
#-------------------------------------------------------------------------------
# Print the data as read into the program
# Syntax print-data=<NO | YES> print-data=NO
#-------------------------------------------------------------------------------
# Print output to file [default is outfile]
# Syntax outfile=outfilename outfile=outGCKei04
#-------------------------------------------------------------------------------
# Print output to a PDF file [default is outfile.pdf]
# Syntax pdf-outfile=outfilename.pdf
pdf-outfile=outGCKei04.pdf
#-------------------------------------------------------------------------------
# Report M (=migration rate/mutation rate) instead of 4Nm or 2 Nm or Nm
# Syntax use-M=<NO | YES> Default is YES, the name 4Nm is ambiguous
# for non-diploid data use-M=YES
#-------------------------------------------------------------------------------
# Plotting parameters: migration versus population size, such that Theta1 x
immigration_.1
# this shows the sum of all imigrations int a population
# Syntax plot=<NO | YES:<BOTH | OUTFILE>:<LOG | STD>
# {x-start, x-end, y-start, y-end}:<N | M>:interval>
42

# NO do not show a plot


# YES show plot with following specifications
# BOTH print raw coordinates into MATHFILE and plot to OUTFILE
# OUTFILE plot only to OUTFILE
# LOG scaling of both axes
# STD non-log scaling
# {...} plot range of both parameters
# N use xNm to plot immigration, x=<1,2,3,4>
# depending on the inheritance characteristic of the data
# M plot migration rate/mutation rate as immigration axis
# interval the plot range is broken up into interval intervals plot=NO
# Print plot data into a file
# Syntax: mathtfile=mathfile the values are printed in a mathematica readable way
mathfile=mathfile
#-------------------------------------------------------------------------------
# Profile likelihood for each estimated parameter
# Syntax profile=<NONE | <ALL | TABLES | SUMMARY>:
# <PRECISE | DISCRETE | QUICK | FAST> >
# NONE do not calculate profile likelihoods
# ALL print individual profile tables and summary [default]
# TABLES show only tables and no summary
# SUMMARY show only summary
# PRECISE evaluate profile likelihood at percentiles [Default]
# QUICK assumes that there is no interaction of parameters
# FAST same as QUICK except in last calculation cycle assumes interaction
# DISCRETE uses fixed mutipliers: 0.02,0.1,0.2,0.5,1,2,5,10,50
profile=ALL:PRECISE
#-------------------------------------------------------------------------------
# Print tree into treefile
# Syntax print-tree=< NONE | <ALL | BEST | LASTCHAIN:Increment>:treefile >
# NONE no tree printed [Default, and only choice using parallel
# ALL print all visited genealogies [careful this will be huge]
# BEST print only the best tree visited
# LASTCHAIN print all trees in last chain
# with increment INCREMENT print-tree=NONE
#-------------------------------------------------------------------------------
# write intermediate minimal statistics into a file for later use
# Syntax write-summary=<NO | YES:SUMFILE >
# Default is NO, with YES the user needs to
# give a file to record the summary statistics write-summary=NO
#-------------------------------------------------------------------------------
# Likelihood ratio test
# Syntax l-ratio=<NO | YES:values_to_test>
# Values_to_test are compared to the values generated in the run
# values_to_test={ab..bbab..ba ... a}
# the {} is a square matrix with values for the population sizes
# on the diagonal and migration rates off-diagonal
# the values a for the diagonal can be any of these:
43

# number constant, the value is for example 0.002


# * free to vary, the default is * for every parameter
# m mean of theta, this can be a subgroup of all thetas
# for example the theta 1-3 are averaged and thetas 4,5 are estimated
# the values b for the migration rates can be any of these:
# number constant, the value is for example 45.0 or 0.0
# * free to vary, the default is * for every parameter
# m mean of M_ij, this can be a subgroup of migration rates
# for example the M_1-3i are averaged and M_4,5i are estimated
# M means of 4Nm (diploid), 2Nm (haploid), Nm (mtDNA, Y-chromosome)
# s symmetric migration rates M
# S symmetric migrants 4Nm
# an example for 5 populations could look like this:
# l-ratio=YES:{*s00s s*s00 0s*s0 00s*s s00s*
# this describes a circular stepping stone model with 5 symmetric rates
# and independent sizes, a very basic stepping stone with 2 parameters would
# look like this l-ratio=YES:{mm00m mmm00 0mmm0 00mmm m00mm}
# [The L-RATIO statement can be repeated]
# Default: l-ratio=NO
#-------------------------------------------------------------------------------
# AIC model selection [do not use yet, will come in Summer 2004]
# Syntax aic-modeltest=<NO | YES:<FAST | EXHAUSTIVE>>
# FAST [do not use yet]
# EXHAUSTIVE [do not use yet] aic-modeltest=NO
#-------------------------------------------------------------------------------
# Print a histogram of the time of migration events for each M(i->j)
# Syntax mig-histogram=<NO|<ALL |MIGRATIONEVENTSONLY>:binsize:
mighistfile >
# NO do not record any events
# ALL record migration and coalescence event
# MIGRATIONEVENTSONLY record only migration events
# binsize has to be in mutation units, with an average Theta=0.01 try 0.001
# Print a histogram of the parameters through time (skyline plot)
# Syntax skyline=<NO | YES>:binsize:skylinefile >
# NO do not calculate parameter estimates through time
# YES calculate parameters through time
# binsize has to be in mutation units, with an average Theta=0.01 try 0.001
# If the interval is too fine the output will be very noisy mig-histogram=NO
skyline=NO #needs mig-histogram=ALL:...
# Parameter start settings
# Syntax: theta=<FST | OWN:<{value} | {value1, value2, ...., valuen} |
NRANDOM:{mean std} | URANDOM{min,max}>
# migrationt=<FST | OWN:<{value} | {value1, value2, ...., valuen} |
NRANDOM:{mean std} | URANDOM{min,max}>
# FST starting parameter are derived from an FST-like calculation
(Beerli&Felsenstein 1999)
# OWN starting values are supplied by user
# {value} if only one value is supplied then all population
44

# have the same starting value


#{value1, value2, ..., valuen} each population has its own starting value, if the
number of values is insuffient, then the last value is the templatefor the remaining
populations
# NRANDOM starting parameter is drawn randomely from a Normal distribution
{mean std} with mean and standard deviation
# URANDOM starting parameter is drawn randomely from a Uniform
distribution{min max} with minimum and maximum values
theta=FST
migration=FST
#-------------------------------------------------------------------------------
# Mutation rate modifiers
# Syntax: mutation=<NOGAMMA | CONSTANT | ESTIMATE | GAMMA:alpha
| OWN:loci: rate1 rate2 ... rate_loci>
# NOGAMMA all loci have same mutation rate
# CONSTANT all loci have same mutation rate
# ESTIMATE BAYESIAN estimate: mutation rate is drawn from prior
# GAMMA:alpha ML estimate: mutation rate has Gamma distribution with alpha
# OWN mutation rate is different for every locus, but fixed :loci: rate1, ... number
of loci, rate of locus 1, locus 2 etc.
# DATA mutation rate modifier is deducted from loci in the data using Watterson's
Theta and then scaling all rates Theta_locus/mean(Theta_loci mutation=DATA
# Treatment of inviariant sequence loci
# Syntax: analyze-loci=<A | F | V>
# A = analyze all loci (Default!)
# F = analyze all variable loci and ONE invariant and extrapolate
# V = analyze only variable loci
#analyze-loci=A
#-------------------------------------------------------------------------------
# FST model
fst-type=THETA
#-------------------------------------------------------------------------------
# Custom migration model
# Syntax: custom-migration={ab..bbab..ba ... a}
# the {} is a square matrix with values for the population sizes on the diagonal and
migration rates off-diagonal
# the values a for the diagonal can be any of these:
# c constant, the value needs to be defined in the theta option
# * free to vary, the default is * for every parameter
# m mean of theta, this can be a subgroup of all thetas
# for example the theta 1-3 are averaged and thetas 4,5 are estimated
# the values b for the migration rates can be any of these:
# c constant, the value needs to be defined in the migration option
# * free to vary, the default is * for every parameter
# m mean of M_ij, this can be a subgroup of migration rates
# for example the M_1-3i are averaged and M_4,5i are estimated
# M means of 4Nm (diploid), 2Nm (haploid), Nm (mtDNA, Y-chromosome)
# s symmetric migration rates M
45

# S symmetric migrants 4Nm


# an example for 5 populations could look like this:
# custom-migration={*s00s s*s00 0s*s0 00s*s s00s*
# this describes a circular stepping stone model with 5 symmetric rates and
independent sizes, a very basic stepping stone with 2 parameters would look like
this custom-migration={mm00m mmm00 0mmm0 00mmm m00mm}
custom-migration={**}
# Influence of geography on migration rate a distance matrix between populations
changes the migration rate matrix so that (genetic?) migration rates = inferred
migration rate / distance ~ a dispersion coefficient the geofile contains a number
of populations, names for populations (10 characters), they need to be in order of
the dataset. And the distances between the populations, they do not need to be
symmetric
# Syntax: geo:<NO | YES:filename>
# NO distances among populations are considered to be 1 [all equal]
# YES distances are read from a file geo=NO
##################################################################
# Search strategies
##################################################################
# MCMC Strategy method
# Syntax: bayes-update=< NO | YES>
# NO maximum likelihood method
# YES Bayesian method
# Some of the options are only available in one or other mode
# BAYESIAN OPTIONS
# bayes-updatefreq=VALUE
# VALUE is a ratio between 0 and 1
# ratio of how many times the genealogy is updated compared to the parameters
# If the value is 0.4 in a 2 population scenario and with 1000000 steps
# The tree will be evaluated 400000 times, Theta_1, Theta_2, M_21, and M_12
# will be each evaluated 125000 times.
# bayes-posteriorbins=VALUE VALUE
# VALUE is the number of bins in the psterior distribution histogram for Theta or
M
# bayes-posteriormaxtype=< ALL | P99 | MAXP99 | P100 >
# ALL plots the WHOLE prior-parameter range
# P99 plots from the minimum prior range value to the 99% percentile value of
EACH parameter
# MAXP99 sets all axes from minimum to the maximal 99% percentile value of
ALL parameter
# P100 plots from the minimum prior range value to the 100% percentile value of
EACH parameter bayes-file=<YES:FILENAME|NO>
# FILENAME is the name of the file that will contain the results for the posterior
distribution bayes-allfile=<<YES|TEMP>:INTERVAL:FILENAME|NO> all
parameters of the posterior distribution [HUGE]
# INTERVAL is the interval at which all parameters are written to file
# bayes-proposals= THETA < SLICE | METROPOLIS >
# bayes-proposals= MIG < SLICE | METROPOLIS >
46

# SLICE uses the slice sampler to propose new parameter values


#METROPOLIS uses the Metropolis-Hastings sampler (this is done for each
parameter group: THETA or MIGration)
# bayes-priors= THETA <UNIFORM unipriorvalues | EXP exppriorvalues |
WINDOWEXP wexppriorvalues
# bayes-priors= MIG <UNIFORM unipriorvalues | EXP exppriorvalues |
WINDOWEXP wexppriorvalues
# unipriorvalues: min max delta
# exppriorvalues: min mean max
# wexppriorvalues: min mean max delta
# Maximum likelihood OPTIONS
# short-chains=VALUE VALUE is 1..n [Default is 10]
# short-inc=VALUE VALUE is the number of updates that are not recorded
# short-sample=VALUE VALUE is the number of sampled updates
# Search OPTIONS for both strategies
# long-chains=VALUE VALUE is 1..n [Default is 3]
# long-inc=VALUE VALUE is the number of updates that are not recorded
# long-sample=VALUE VALUE is the number of sampled updates
# burn-in=VALUE VALUE is the number of updates to discard at the beginning
# auto-tune=YES:VALUE VALUE the the target acceptance ratio
# if value is missing, it is set to 0.44
#
bayes-update=YES
bayes-updatefreq=0.500000
bayes-posteriorbins=1000 1000
bayes-posteriormaxtype=TOTAL
bayes-file=NO
bayes-allfile=NO
bayes-proposals= THETA METROPOLIS-HASTINGS Sampler
bayes-proposals= MIG METROPOLIS-HASTINGS Sampler
bayes-priors= THETA EXPPRIOR: 0.000000 0.500000 1.000000
bayes-priors= MIG EXPPRIOR: 0.000000 10.000000 100.000000
#
long-chains=1
long-inc=100
long-sample=5000
burn-in=10000
auto-tune=YES:0.440000
#-------------------------------------------------------------------------------
# Schemes to improve MCMC searching and/or thermodynamic integration
# Heating schemes {MCMCMC = MC cubed}
# Syntax: heating=< NO | <YES | ADAPTIVE>:SKIP:TEMPERATURES
# NO No heating
# YES heating using TEMPERATURES
# ADAPTIVE adaptive heating using start TEMPERATURES [fails sometimes!!]
# SKIP skip that many comparisons, this lengthens the run by SKIP
# TEMPERATURES { 1.0, temp1, temp2, temp3 .. tempn}
# Example: heating=YES:1:{1.0, 1.2, 3.0,1000000.0}
47

# Heating: swapping chains


# Syntax: heated-swap=< YES | NO >
# YES swapping of chains enabled [DEFAULT]
# NO swapping of chains disabled
# Example: heated-swap=YES heating=NO
# Lengthening chain schemes
# Syntax: moving-steps=< NO | YES:VALUE>
# VALUE frequency is between 0..1
moving-steps=NO
# Syntax: long-chain-epsilon=VALUE
# VALUE is between 0..INFINITY
# the VALUE is the likelihood ratio between the old and thew chain
# the VALUE depends on the number of parameters: with 1 values of 0.5 are great
but with many parameters values and bad data >20 is more reasonable long-chain-
epsilon=INFINITY
# Convergence statistic [Gelman and Rubin]
# Syntax: gelman-convergence=< YES:Pairs|Summary | NO >
# NO do not use Gelman's convergence criterium
# YES use Gelman's convergence criteria between chain i, and i-1
# PAIRS reports all replicate pairs
# SUM reports only mean and maxima gelman-convergence=No
# Syntax: replicate=< NO | YES:<VALUE | LastChains> >
# NO no replication of run
# YES replicate run
# VALUE number between 2 and many, complete replicates
# LastChains replications over last chains replicate=YES:3
# Migration rates are attracted to zero (fatal attraction)
# Resistance is the lowest migration value for all but the last chain
# Syntax resistance=VALUE
# VALUE is the lowest migration rate value allowed during all but the last chain
# typical values are 0.01 or _lower_ for data with sequences and 0.0001 or _lower_
for other data resistance=0.000001
#-------------------------------------------------------------------------------
end
48

=============================================
GCKei_mi
=============================================
MIGRATION RATE AND POPULATION SIZE ESTIMATION
using Markov Chain Monte Carlo simulation
=============================================
Version 3.6.11
Program started at 11/08/18 07:29:43
finished at 11/08/18 07:30:57
Options in use:
Analysis strategy is BAYESIAN INFERENCE
Proposal distribution:
Parameter group Proposal type
Population size (Theta) Metropolis sampling
Migration rate (M) Metropolis sampling

Prior distribution (Proposal-delta will be tuned to acceptance frequence 0.440000):


Parameter group Prior type Minimum Mean(*) Maximum Delta
Population size (Theta) Exponential 0.000000 0.500000 1.000000 -
Migration rate (M) Exponential 0.000000 10.000000 100.000000 -

Datatype: DNA sequence data


Inheritance scalers in use for Thetas (specified scalars=1)
1.00
[Each Theta uses the (true) ineritance scalar of the first locus as a reference]
Pseudo-random number generator: Mersenne-Twister
Random number seed (with internal timer) 1542204099
Start parameters:
First genealogy was started using a random tree
Theta values were generated from an FST-calculation
M values were generated from the FST-calculation
Migration model:
Migration matrix model with variable Theta
Mutation rate is constant
Markov chain settings:
Long chains (long-chains): 1
Steps sampled (inc*samples*rep): 1500000
Steps recorded (sample*rep): 15000
Combining over replicates: 3
Burn-in per replicate (samples*inc): 1000000

Print options:
Data file: GC_Keimig02.seq
Output file (ASCII text): outGCKei04
Output file (PDF): outGCKei04.pdf
Posterior distribution: bayesfile
Print data: No
Print genealogies: No
49

Plot data: No
Summary of data:
Title: GCKei_mi
Data file: GC_Keimig02.seq
Datatype: Sequence data
Number of loci: 1
No Population Locus Gene copies
1 Dullah 1 59
2 Dar 1 9
3 Kur 1 9
4 Tanimbar Kei 1 24
Total of all populaton 1 100

Relative mutation rate among loci estimated from the data


Locus Relative mutation Watterson's Theta Segregating sites
rate (per site)
1 1.00000 0.02146089 53
All 1.00000 0.02146089 53.0

Base Frequencies
Nucleotide Transition/transversion
Locus
A C G T (U) ratio
1 0.2400 0.1800 0.2000 0.3800 5.10000

Bayesian estimates
Locus Parameter 2.5% 25.0% mode 75.0% 97.5% median mean
1 Theta_1 0.02300 0.03900 0.05050 0.06100 0.08600 0.05250 0.05329
1 Theta_2 0.00000 0.00000 0.02550 0.18600 0.80400 0.18950 0.28414
1 Theta_3 0.00000 0.00300 0.01250 0.02100 0.08400 0.01850 0.02428
1 Theta_4 0.00000 0.00500 0.01250 0.01900 0.03000 0.01550 0.01292
1 M_2->1 0.00 0.00 0.05 4.40 18.70 4.45 6.16
1 M_3->1 0.00 0.00 0.55 10.00 30.90 12.95 29.64
1 M_4->1 0.00 0.00 0.05 14.50 32.70 18.95 27.24
1 M_1->2 22.60 72.80 75.35 80.30 81.60 58.55 58.67
1 M_3->2 0.00 0.00 0.05 8.90 34.60 8.95 12.64
1 M_4->2 0.00 6.20 16.05 28.70 57.60 25.35 28.89
1 M_1->3 2.10 13.60 27.85 32.80 57.50 31.35 34.03
1 M_2->3 0.00 0.00 0.05 9.00 34.60 9.05 12.09
1 M_4->3 0.00 0.00 0.05 12.20 46.10 12.25 16.80
1 M_1->4 73.60 74.30 75.75 76.80 77.50 40.45 42.15
1 M_2->4 0.00 0.00 0.05 6.90 32.00 6.95 10.36
1 M_3->4 0.00 0.00 0.05 10.60 43.60 10.65 15.69

Log-Probability of the data given the model (marginal likelihood =


log(P(D|thisModel))
[Use this value for Bayes factor calculations:
BF = Exp[log(P(D|thisModel) - log(P(D|otherModel)]
shows the support for thisModel]
(1) Thermodynamic integration: log(Prob(D|Model))= UNAVAILABLE because
no heating was used
(2) Harmonic mean: log(Prob(D|Model))=-1261.344610
50

(1) and (2) should give a similar result, in principle.


But (2) is overestimating the likelihood, it and is presented for historical reasons
and should not be used. But (1) needs heating with chains that span a temperature
range of 1.0 to at least 100,000.
MCMC run characteristics
Acceptance ratios for all parameters and the genealogies
Parameter Accepted changes Ratio
Theta_1 1580/46618 0.03389
Theta_2 27196/46786 0.58128
Theta_3 2661/47016 0.05660
Theta_4 628/47060 0.01334
M_2->1 29711/46833 0.63440
M_3->1 18899/46983 0.40225
M_4->1 16589/46596 0.35602
M_1->2 1498/47232 0.03172
M_3->2 37225/47052 0.79115
M_4->2 15799/46632 0.33880
M_1->3 10877/46607 0.23338
M_2->3 35133/46762 0.75132
M_4->3 28905/46842 0.61707
M_1->4 6221/46207 0.13463
M_2->4 34368/46924 0.73242
M_3->4 28299/46668 0.60639
Genealogies 72051/751182 0.09592

Autocorrelation and Effective sample size


Parameter Autocorrelation Effective Sample size
Theta_1 0.94092 457.19
Theta_2 0.41320 6269.80
Theta_3 0.72752 2564.34
Theta_4 0.97332 203.01
M_2->1 0.34810 7278.53
M_3->1 0.54642 5126.13
M_4->1 0.83323 1475.56
M_1->2 0.97328 203.85
M_3->2 0.39426 6794.40
M_4->2 0.79024 1796.29
M_1->3 0.77409 2103.23
M_2->3 0.42573 6053.14
M_4->3 0.65866 3133.30
M_1->4 0.89523 854.00
M_2->4 0.34269 7741.55
M_3->4 0.45262 6229.17
Ln[Prob(D|P)] 0.97564 184.98
51

Lampiran 3. Kegiatan pengukuran panjang cangkang beberapa jenis kima

Tridacna maxima

Tridacna crocea

Tridacna squamosa

Tridacna crocea
52

Lampiran 4. Koresponden analisis (CA) kima dengan tipe substrat

Eigenvalues and percentages of inertia:

F1 F2 F3 F4
Eigenvalue 0.047 0.008 0.000 0.000
Goodman and Kruskal tau (%) 84.486 14.927 0.587 0.000
Cumulative % 84.486 99.413 100.000 100.000

Squared cosines (rows):

F1 F2 F3 F4
CC 0.401 0.303 0.296 0.000
DCA 0.986 0.013 0.000 0.000
POR 0.088 0.899 0.014 0.000
FAV 0.360 0.278 0.361 0.001
RB 0.941 0.045 0.014 0.000
SAND 0.777 0.217 0.006 0.000

Squared cosines (columns):

F1 F2 F3 F4
Ts 0.878 0.117 0.004 0.000
Tm 0.030 0.863 0.108 0.000
Tn 0.631 0.347 0.022 0.000
Tc 0.903 0.096 0.002 0.000
Hh 0.865 0.135 0.001 0.000
53

Lampiran 5. Publikasi di jurnal Biodiversitas


54
55
56
57
58
59
60
61
62

RIWAYAT HIDUP

Teddy Triandiza, lahir pada tanggal 27 Oktober 1981 di


Teluk Betung. Penulis merupakan anak ketiga dari empat
bersaudara pasangan Bapak Khoidir dan Ibu Zaura. Pendidikan
formal penulis dimulai dari SDN 02 Sumur Batu lulus tahun
1994, SMPN 3 Bandar Lampung lulus tahun 1997, dan SMAN
10 Bandar Lampung lulus pada tahun 2000. Pada tahun yang
sama penulis kemudian menempuh pendidikan sarjana di
Universitas Lampung, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengatahuan Alam Jurusan Biologi dan lulus Tahun 2000.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikan PascaSarjana pada Tahun 2016 di
Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Kelautan (IKL). Penulis
melakukan penelitian mengenai “Struktur Populasi dan Keragaman Genetik Kerang
Kima (Cardiidae: Tridacninae) di Perairan Kepulauan Kei Maluku” untuk
menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains dari Sekolah
Pascasarjana IPB.

Anda mungkin juga menyukai