LUSITA MEILANA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Kajian Morfologi dan
Genetik Mimi (Xiphosura, Limulidae) Sebagai Dasar Konservasi dan Pengelolaan
di Pulau Jawa” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Lusita Meilana
NIM C251140226
RINGKASAN
Mimi atau belangkas merupakan hewan dari famili Limulidae yang dikenal
sebagai living fossils dan di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya genetik
yang dilindungi oleh SK Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Peraturan
Pemerintah RI No. 7/1999. Keberadaan ketiga spesies Asia yaitu Tachypleus gigas
(Muller 1785), Tachypleus tridentatus (Leach 1819), dan Carcinoscorpius
rotundicauda (Lattreille 1802) telah dinyatakan near threatened (2010), threatened
(2014) dan data deficient (2015) oleh IUCN. Kajian mengenai mimi di Indonesia
sangat jarang dilakukan dan belum diketahui dengan jelas status populasinya.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai Juni 2015.
Penelitian menggunakan metode random sampling, mimi yang tertangkap jaring
dibawa ke daratan dan diukur secara hidup-hidup, pengukuran karakteristik
morfologi berupa karakter morfometrik yang meliputi panjang (total, telson, badan,
prosoma, median ringe, depan occeli, marginal spine (I, II, III, IV, V, VI),
ophistoma), tebal ventral messel, lebar maksimum prosoma, jarak antar (mata
majemuk, auriculata spine, marginal proses, sudut posterior, sudut anal), lebar dan
tinggi pertengahan telson, diameter (capit chelicera, capit pedipalpi, capit kaki jalan
(I, II, III, IV)). Sedangkan analisis molekuler meliputi beberapa tahapan
diantaranya yaitu isolasi dan ekstraksi DNA, elektroforesis DNA, amplifikasi dan
visualisasi fragmen DNA, sekuensing DNA, dan PCR-RFLP.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengkaji karakteristik morfologi mimi dari
pesisir Ujung Kulon Banten, Segara Menyan Subang, Semarang, Demak, Rembang,
Pantai Kenjeran Surabaya, dan Campur Rejo Gresik, 2) mengidentifikasi mimi
berdasarkan marka gen COI dan mengetahui haplotipe dengan menggunakan
metode PCR-RFLP di Pulau Jawa (Banten, Segara Menyan Subang, Semarang,
Demak, Rembang, dan Surabaya) sebagai informasi dalam penentuan strategi
pengelolaan dan konservasi mimi di pesisir Pulau Jawa. Penelitian dilaksanakan
pada bulan Oktober 2014 sampai Juli 2015 di lokasi sampling dan Laboratorium
Biologi Molekuler MSP IPB FPIK.
Secara morfologi, C. rotundicauda Subang memiliki ukuran tubuh lebih kecil,
sedangkan Rembang memiliki ukuran rata-rata lebar maksimal prosoma paling
besar. T. gigas Surabaya memiliki ukuran tubuh lebih besar. T. tridentatus Subang
memiliki ukuran tubuh lebih kecil, Gresik memiliki ukuran tubuh lebih besar.
Ukuran tubuh mimi secara berurutan dari yang paling besar T. gigas> T. tridentatus
> C. rotundicauda. Subang merupakan lokasi terbanyak ditemukannya mimi (58
individu), serta memiliki ketiga spesies. Sedangkan Rembang merupakan daerah
terbanyak ditemukannya spesies C. rotundicauda (21 individu).
Identifikasi molekuler T. gigas dari penelitian ini telah menunjukan kepastian
taksonomi (taxonomy certainty). Identifikasi spesies T. tridentatus dan C.
rotundicauda tidak berhasil dengan menggunakan gen CO1. T. tridentatus identik
dengan T. gigas, sedangkan C. rotundicauda perlu dilakukan analisis ulang. PCR-
RFLP dengan menggunakan primer F1 dan F2 dapat diaplikasikan pada ketiga
spesies mimi. Penggunaan enzim restriksi EcoR1 dapat memberikan hasil
pemotongan pita DNA hasil PCR-RFLP.
Terjadi ketidaksinkronan antara hasil molekuler dengan morfologi. Secara
morfologi teridentifikasi tiga spesies sedangkan secara molekuler T. tridentatus
identik dengan T. gigas dan C. rotundicauda perlu dilakukan analisis ulang.
Berdasarkan hasil RFLP diperoleh Demak dapat ditentukan sebagai daerah gen stok
untuk C. rotundicauda, Subang sebagai gen stok T. gigas, dan Semarang untuk T.
tridentatus karena memiliki keanekaragaman haplotipe lebih tinggi dibandingkan
dengan lokasi lain.
Horseshoe crabs are aquatic biota from the Limulidae family known as living
fossils and in Indonesia as one of the genetic resources that are protected by the
Forestry Ministerial Decree No. 12/Kpts-II/1987 and Government Regulation No.
7/1999. The existence of three Asian species i.e. Tachypleus gigas (Muller 1785),
Tachypleus tridentatus (Leach 1819), and Carcinoscorpius rotundicauda (Lattreille
1802) have been declared as near threatened (2010), threatened (2014) and data
deficient (2015) by IUCN. The study of Indonesian’s Horseshoe crabs is few and
unclear status of the population.
The research was conducted in October 2014 until June 2015. The study was
used random sampling methods, horseshoe crabs that caught by nets brought ashore
and alive measured. The measurement of the morphological characteristics such as
the length (total, telson, body, prosoma, median ringe, front occeli, marginal spine
(I, II, III, IV, V, VI), ophistoma), the thick of ventral messel, the maximum width
of prosoma, the distance between (a compound eye, auriculata spine, marginal
process, posterior edges, corners anal), width and height of the mid-telson, diameter
(chelicera claw, claw pedipalpi, claw foot path (I, II, III, IV)). While, the several
stages of molecular analysis including the DNA isolation and extraction, DNA
electrophoresis, amplification and visualization of DNA fragments, DNA
sequencing, and PCR-RFLP.
The research were aimed at assessing the horseshoe crabs morphological
characters (Ujung Kulon Banten, Segara Menyan Subang, Semarang, Demak,
Rembang, Kenjeran Surabaya, and Campur Rejo Gresik Coast) and identification
based on molecular marker of COI gene (Ujung Kulon Banten, Segara Menyan
Subang, Semarang, Demak, Rembang, and Kenjeran Surabaya). The research was
conducted on October 2014 until July 2015 at the field and Laboratory of Molecular
Biology MSP FPIK IPB.
Morphologically, C. rotundicauda Subang had a smaller body size, while
Rembang had a largest prosoma maximum width. T. gigas Surabaya had bigger
body size. T. tridentatus Subang had a smaller body size, Gresik had bigger body
size. Horseshoe crabs body size in order from greatest to the small T. gigas> T.
tridentatus> C. rotundicauda. Subang was the highest location of the horseshoe
crabs discovery (58) and had three species, Demak also. Rembang was the largest
area of the C. rotundicauda discovery (21).
Molecular identification of T. gigas from this study have shown taxonomy
certainty. Identification of the T. tridentatus and C. rotundicauda did not succeed
by using CO1 gene. T. tridentatus was identical with T. gigas, while C.
rotundicauda need to be re-analyzed. PCR-RFLP using primer F1 and F2 could
applied to three species of horseshoe crabs. The use of restriction enzymes EcoR1
could give results DNA ribbon cutting.
Morphological and molecular inconsistency, morphologically were identified
three species. But molecularly, T. tridentatus identical with T. gigas, whereas C.
rotundicauda need to be re-analyzed. Based on the RFLP results obtained that
Demak could be defined as a region gene stock for C. rotundicauda, Subang as the
gene stock of T. gigas, and Semarang for T. tridentatus because they had a higher
haplotype diversity compared to other location.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN MORFOLOGI DAN GENETIK MIMI
(XIPHOSURA, LIMULIDAE) SEBAGAI DASAR
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN DI PULAU JAWA
LUSITA MEILANA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Kajian Morfologi dan Genetik Mimi
(Xiphosura, Limulidae) Sebagai Dasar Konservasi dan Pengelolaan di Pulau Jawa”.
Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2014
sampai Juni 2015 dan berlokasi di pesisir Pulau Jawa. Terima kasih penulis ucapkan
kepada :
1 Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan studi kepada
penulis.
2 Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc; Dr Ir Nurlisa A Butet, MSc; dan Dr Majariana
Krisanti, SPi MSi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan, saran, dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan
tesis.
3 Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku penguji tamu dan Dr Ir Sigid
Hariyadi, MSc selaku ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
atas saran dan masukan yang berarti.
4 Keluarga penulis, Bapak Sutiyo, Ibu Dwi Setiya Wati, kakak Novita Sastrawati,
serta keluarga besar penulis di Lampung, Jakarta, dan Palembang yang telah
memberikan motivasi moril serta materil untuk menyelesaikan studi.
5 Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc dan PPLH yang telah memberikan bantuan dana
penelitian.
6 Laboratorium Biologi Mikro 1, Laboratorium Biologi Makro, Laboratorium
Biologi Molekuler Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, dan
Laboratorium terpadu FPIK, Institut Pertanian Bogor.
7 Lukman Guam Hakim, Agus Alim Hakim, Febi Ayu Pramithasari, Yuyun
Qonita, Khoirul Marom, Rizal Zakaria, Mudhofar Susanto, dan para nelayan
atas bantuan saat penelitian di lapangan. Rana, Rinrin, dan teman-teman MSP 47
lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
8 Kak Panji, kak Wahyu, bang Reiza, mbak Yanti, mbak Mega, bang Samsul, mas
Arif, mbk Fajrin, mbak Lita, mbak Yustin, mbak Lela, kk Findra, yang telah
banyak membantu dalam menyelesaikan penelitian.
9 Teman-teman Fast track MSP 2014 yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan dan penyusunan tesis.
10 Teman-teman SDP 2013 yang telah memberikan semangat dan dukungan
kepada penulis.
11 Serta pihak lain yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun
demikian, penulis berharap agar tesis ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu
pengetahuan dan pihak-pihak yang membutuhkan.
Lusita Meilana
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
2. KEANEKARAGAMAN MORFOLOGI MIMI YANG DITEMUKAN
DI PESISIR PULAU JAWA
Abstract 5
Pendahuluan 5
Metode 7
Hasil dan Pembahasan 11
Simpulan dan Saran 22
Daftar Pustaka 23
3. IDENTIFIKASI MIMI YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN
PESISIR PULAU JAWA BERDASARKAN MARKA GEN CO1
Abstract 26
Pendahuluan 26
Metode 28
Hasil dan Pembahasan 30
Simpulan dan Saran 38
Daftar Pustaka 38
4. PEMBAHASAN UMUM 41
5. SIMPULAN DAN SARAN 44
DAFTAR PUSTAKA 44
LAMPIRAN 49
RIWAYAT HIDUP 51
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1. Mimi yang menjadi bycatch nelayan rajungan dan mimi merusak jaring
nelayan di Segara Menyam Subang 3
2. Diagram alir perumusan masalah kajian morfologi dan genetik mimi
(Xiphosura, Limulidae) sebagai dasar konservasi dan pengelolaan di
Pulau Jawa 4
3. Peta lokasi pengambilan sampel mimi di sepanjang pesisir Pulau Jawa 7
4. Ketiga spesies mimi secara berurutan dari kiri ke kanan Tachypleus
tridentatus, T. gigas, dan Carcinoscorpius rotundicauda 8
5. Pengambilan sampel mimi dengan menggunakan jaring nelayan 8
6. Karakter morfometrik mimi yang diukur pada penelitian ini 9
7. Perbedaan antara mimi jantan (a) dan betina (b) berdasarkan ciri
morfologi 9
8. Perbedaan telson pada genus Carcinoscorpius (a) dan genus Tachypleus
(b) 10
9. Perbedaan warna pada Tachypleus tridentatus (kiri) dan T. gigas (kanan) 10
10. Duri badan Tachypleus tridentatus (a) dan T. gigas (b) 11
11. Sebaran spesies Tachypleus gigas, T. tridentatus, dan Carcinoscorpius
rotundicauda di pesisir Banten, Subang, Semarang, Demak, Rembang,
Gresik, dan Surabaya 12
12. Variasi geografis ukuran tubuh mimi, diukur pada lebar maksimal
prosoma ke tiga spesies 13
13. Variasi geografis ukuran tubuh mimi, diukur pada panjang Badan ke tiga
spesies 13
14. Konstruksi pohon fenetik spesies Tachypleus gigas, T. tridentatus, dan
Carcinoscorpius rotundicauda berdasarkan 14 karakter morfologi 14
15. Dendrogram karakter morfometrik Carcinoscorpius rotundicauda pada
daerah Semarang, Demak, Rembang, Gresik, Surabaya, dan Subang 16
16. Dendrogram karakter morfometrik Tachypleus gigas pada daerah
Semarang, Demak, Subang, Banten, Surabaya 18
17. Dendrogram karakter morfometrik Tachypleus tridentatus pada daerah
Semarang, Banten, Gresik, dan Surabaya 20
18. Peta lokasi pengambilan mimi di Pulau Jawa 28
19. Visualisasi DNA hasil pre-tes produk PCR pada gel agarosa 0,8 %.
Kolom kiri sampai kanan: marker 1 kb, 1) Tt SBG, 2) Cr SBG, 3) Tg
SMG, 4) Tt SMG, 5) Tg DMK, 6) Cr DMK, 7) Cr RMG, 8) Tg SRB, 9)
Tg SBG, 10) Tg BTN 31
20. Konstruksi pohon filogeni berdasarkan gen CO1 pada tiga spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas)
dari famili Limulidae 33
21. Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoR1. 1= Marker, 2-
6= Tg Demak, 7-10= Tg Subang, 11-13= Tg Semarang 34
22. Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoR1. 1= Marker, 2-
8= Cr Demak, 9-13= Cr Subang 34
23. Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoR1. 1= Marker, 2-
5= Cr Rembang, 6-10= Tt Subang, 11= Tt Semarang, 12= Tg Surabaya,
13= Tg Banten 34
24. Ilustrasi tipe digesti yang terbentuk dari ke-3 spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas) 35
DAFTAR LAMPIRAN
Latar Belakang
Mimi atau belangkas merupakan hewan dari famili Limulidae yang dikenal
sebagai living fossils dan phylogenetic relicts (Selander et al. 1970). Hewan ini telah
mengalami diversifikasi sejak zaman paleogene (65-23 Mya) (Obst et al. 2012) dan
di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya genetik yang dilindungi (SK
Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Peraturan Pemerintah RI No. 7/1999)
(Mulya 2004; Rubiyanto 2012). Hingga saat ini, empat spesies mimi yang masih
ada di dunia, yaitu Limulus polyphemus (Linnaeus 1758) hanya terdapat di pantai
Atlantik Amerika Utara (Walls et al. 2002), dan ke-3 lainnya merupakan spesies
Asia yaitu Tachypleus gigas (Muller 1785), Tachypleus tridentatus (Leach 18192),
dan Carcinoscorpius rotundicauda (Lattreille 1802) (Christianus & Saad 2007; Lee
& Morton 2005). Keberadaan ketiga spesies Asia tersebut dinyatakan near
threatened oleh IUCN (2010), threatened (2014) dan data deficient (2015).
Sedangkan untuk L. polyphemus adalah lower risk/near threatened berdasarkan
IUCN (2015). Klasifikasi ketiga spesies dapat dilihat pada Lampiran 1.
Mimi merupakan hewan yang memiliki peranan penting, baik secara ekonomi
maupun ekologi. Secara ekonomi, mimi dimanfaatkan sebagai hewan umpan untuk
menangkap ikan sembilang (Euristhmus microceps) di Perairan Kuala Tungkal
Jambi (Rubiyanto 2012), belut (Anguilla rostrata), siput besar (Ferari & Targett
2003), dan whelk (Busycon carica dan B. canaliculatum) (Novitsky et al. 2002).
Ratusan mimi setiap minggunya ditangkap di Sadeli Kechil dan Johor pantai timur
Malaysia dan diekspor ke Thailand (Christianus & Saad 2007). T. tridentatus di
Hong Kong menjadi makanan dijual di restoran (Shin et al. 2009), sedangkan di
Thailand dan Malaysia, ketiga spesies mimi Asia ini dikonsumsi sebagai makanan
eksklusif (Christianus & Saad 2007). Peranan mimi di bidang medis yaitu
haemolymph dari C. rotundicauda dapat menetralisir Tetrodotoxin (TTX) (Yeo et
al. 1996). Sel darah L. polyphemus digunakan oleh industri medis untuk
mensterilkan produk medis dan farmasi (Hurton 2003) karena dalam darahnya
mengandung Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang dapat mendeteksi endotoksin
pada darah manusia begitu juga dengan genus Tachypleus menghasilkan
Tachyplesin Amoebocyt Lysate (TAL) yang dapat mendeteksi endotoksin bakteri
gram negatif, mendeteksi endotoksin darah manusia, dan menguji obat bahwa bebas
dari bakteri patogen sebelum dikonsumsi oleh manusia (Novitsky 1994). Sel darah
C. rotundicauda sebagai imun aktif saat terjadi infeksi (Ding et al. 2005) dan
menghasilkan Carcinoscorpius Amoebocyt Lysate (CAL) (Novitsky 1994).
Secara ekologi, mimi memiliki peranan dalam penyeimbang rantai makanan
dan sebagai sumber protein bagi setidaknya 20 spesies burung pantai yang
bermigrasi (Dietl et al. 2000; Harrington 2001; Beekey et al. 2013). Mimi juga
berperan sebagai bioturbator dan mengendalikan hewan bentik invertebrata (Smith
2007; John et al. 2012). Selain itu, mimi juga dikonsumsi oleh monyet mangrove
(Macaca fascicularis) (Rubiyanto 2012).
Mimi mempunyai risiko kepunahan yang tinggi akibat adanya degradasi
habitat, reklamasi, pencemaran, perburuan komersial (Mishra 2009), hilangnya
habitat dan sumber makanan, perubahan kondisi air, serta peningkatan predasi (Hu
2
et al. 2009). Seperti yang terjadi di India, Hong Kong, dan Singapura (Shin et al.
2009; Taylor et al. 2011). Tahun 1990 populasi mimi Tachypleus gigas di
Balramgari India tercatat sebanyak 306 individu yang didapat dalam transek
sepanjang 200 meter (Chatterji et al. 1992) dan pada tahun 1996 jumlah
populasinya menurun menjadi 220 individu. Begitu pula di Hong Kong,
pengamatan pada bulan Mei-Desember 2002 tercatat densitas juvenil T. tridentatus
di Pak Nai adalah 197 individu/ha dan dua lokasi di Hak Pak Nai adalah 155
individu/ha dan 114 individu/ha (Chiu & Morton 2004) dan pada September 2004-
Februari 2005 tercatat densitasnya adalah 8 individu/ha, 16 individu/ha, dan 23
individu/ha (Li 2008). Kategori rendahnya kepadatan mimi juga terjadi di salah satu
perairan Indonesia yaitu di Perairan Kuala Tungkal, kepadatan mimi C.
rotundicauda dan T. gigas terhitung masing-masing 62 individu/ha dan 2
individu/ha (Rubiyanto 2012).
Penelitian terkait mimi telah banyak dilakukan di berbagai negara, namun di
Indonesia penelitian mengenai genetik mimi masih sangat jarang dilakukan.
Penelitian mimi di Indonesia diantaranya aspek biologi reproduksi (Fachrul 1989;
Eidman 1992; Purnomo 1992; Eidman 1997; Mulya 2004; Muslihah 2004),
Perkembangan embrio (Santoso 1992; Balasani 1994; Ismurwanti 1994; Rahmalia
1995; Vauziyah 1995), morfometrik (Suparta 1992), dan studi populasi mimi
(Rubiyanto 2012).
Genetika molekuler dibutuhkan terkait dengan ketepatan mengidentifikasi
spesies dan mendukung hasil identifikasi berdasarkan sifat morfologi. Identifikasi
suatu organisme mulai spesies hingga subspesies secara akurat terhadap berbagai
spesies yang sulit dibedakan secara morfologi dapat menggunakan DNA barcoding
(Tudge 2000). Salah satu kelompok gen yang dapat dijadikan sebagai marka
molekuler untuk penentuan spesies adalah gen Cythocrome Oxsydase subunit I
(COI) pada DNA mitokondria (Solihin 1994). COI pada mitokondria merupakan
gen yang berevolusi cepat dibandingkan gen 12S rRNA dan 16S rRNA. Gen
tersebut memiliki variasi yang sedikit sehingga dapat digunakan sebagai DNA
barcoding serta sedikit mengalami delesi dan insersi dalam sekuennya (Hebert et
al. 2003).
Perumusan Masalah
Gambar 1 Mimi yang menjadi bycatch nelayan rajungan dan mimi merusak jaring
inelayan di Segara Menyam Subang
Gambar 2 Diagram alir perumusan masalah kajian morfologi dan genetik mimi
(Xiphosura, Limulidae) sebagai dasar konservasi dan pengelolaan di
Pulau Jawa
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
ABSTRACT
Horseshoe crabs are distributed widely in Indonesian waters, and there are
three common species inhabiting coastal waters of Java Island. The research was
aimed at assessing the horseshoe crabs morphological characters (Ujung Kulon
Banten, Segara Menyan Subang, Semarang, Demak, Rembang, Kenjeran Surabaya,
and Campur Rejo Gresik Coast). A total of 27 parameters in a ratio used to
determine connectivity and character identifier. Data were tested using non-
parametric analysis. C. rotundicauda Subang had a smaller body size, while
Rembang had a largest prosoma maximum width. T. gigas Surabaya had bigger
body size. T. tridentatus Subang had a smaller body size, Gresik had bigger body
size. Horseshoe crabs body size in order from greatest to the small T. gigas> T.
tridentatus> C. rotundicauda. Subang was the highest location of the horseshoe
crabs discovery (58) and had three species, Demak also. Rembang was the largest
area of the C. rotundicauda discovery (21). The results obtained based on
morphological characters that individual was classified as an original individual
from each location.
PENDAHULUAN
Mimi atau belangkas merupakan hewan dari famili Limulidae yang dikenal
sebagai living fossils dan phylogenetic relicts (Selander et al. 1970). Hewan ini telah
mengalami diversifikasi sejak zaman paleogene (65-23 Mya) (Obst et al. 2012) dan
di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya genetik yang dilindungi (SK
Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Peraturan Pemerintah RI No. 7/1999)
(Mulya 2004; Rubiyanto 2012). Hingga saat ini, empat spesies mimi yang masih
ada di dunia, yaitu Limulus polyphemus (Linnaeus 1758) hanya terdapat di pantai
Atlantik Amerika Utara (Walls et al. 2002), dan ke-3 lainnya merupakan spesies
Asia yaitu Tachypleus gigas (Muller 1785), Tachypleus tridentatus (Leach 18192),
dan Carcinoscorpius rotundicauda (Lattreille 1802) (Christianus & Saad 2007; Lee
& Morton 2005). Keberadaan ketiga spesies Asia tersebut dinyatakan near
threatened oleh IUCN (2010), threatened (2014) dan data deficient (2015).
Sedangkan untuk L. polyphemus adalah lower risk/near threatened berdasarkan
IUCN (2015).
6
Mimi merupakan hewan yang memiliki peranan penting, baik secara ekonomi
maupun ekologi. Secara ekonomi, mimi dimanfaatkan sebagai hewan umpan untuk
menangkap ikan sembilang (Euristhmus microceps) di Perairan Kuala Tungkal
Jambi (Rubiyanto 2012), belut (Anguilla rostrata), siput besar (Ferari & Targett
2003), dan whelk (Busycon carica dan B. canaliculatum) (Novitsky et al. 2002).
Ratusan mimi setiap minggunya ditangkap di Sadeli Kechil dan Johor pantai timur
Malaysia dan diekspor ke Thailand (Christianus & Saad 2007). T. tridentatus di
Hong Kong menjadi makanan dijual di restoran (Shin et al. 2009), sedangkan di
Thailand dan Malaysia, ketiga spesies mimi Asia ini dikonsumsi sebagai makanan
eksklusif (Christianus & Saad 2007). Peranan mimi di bidang medis yaitu
haemolymph dari C. rotundicauda dapat menetralisir Tetrodotoxin (TTX) (Yeo et
al. 1996). Sel darah L. polyphemus digunakan oleh industri medis untuk
mensterilkan produk medis dan farmasi (Hurton 2003) karena dalam darahnya
mengandung Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang dapat mendeteksi endotoksin
pada darah manusia begitu juga dengan genus Tachypleus menghasilkan
Tachyplesin Amoebocyt Lysate (TAL) yang dapat mendeteksi endotoksin bakteri
gram negatif, mendeteksi endotoksin darah manusia, dan menguji obat bahwa bebas
dari bakteri patogen sebelum dikonsumsi oleh manusia (Novitsky 1994). Sel darah
C. rotundicauda sebagai imun aktif saat terjadi infeksi (Ding et al. 2005) dan
menghasilkan Carcinoscorpius Amoebocyt Lysate (CAL) (Novitsky 1994).
Secara ekologi, mimi memiliki peranan dalam penyeimbang rantai makanan
dan sebagai sumber protein bagi setidaknya 20 spesies burung pantai yang
bermigrasi (Dietl et al. 2000; Harrington 2001; Beekey et al. 2013). Mimi juga
berperan sebagai bioturbator dan mengendalikan hewan bentik invertebrata (Smith
2007; John et al. 2012). Selain itu, mimi juga dikonsumsi oleh monyet mangrove
(Macaca fascicularis) (Rubiyanto 2012).
Mimi mempunyai risiko kepunahan yang tinggi akibat adanya degradasi
habitat, reklamasi, pencemaran, dan perburuan komersial (Mishra 2009), hilangnya
habitat dan sumber makanan, perubahan kondisi air, serta peningkatan predasi (Hu
et al. 2009). Seperti yang terjadi di India, Hong Kong, dan Singapura (Shin et al.
2009; Taylor et al. 2011). Tahun 1990 populasi mimi Tachypleus gigas di
Balramgari India tercatat sebanyak 306 individu yang didapat dalam transek
sepanjang 200 meter (Chatterji et al. 1992) dan pada tahun 1996 jumlah
populasinya menurun menjadi 220 individu. Begitu pula di Hong Kong,
pengamatan pada bulan Mei-Desember 2002 tercatat densitas juvenil T. tridentatus
di Pak Nai adalah 197 individu/ha dan dua lokasi di Hak Pak Nai adalah 155
individu/ha dan 114 individu/ha (Chiu & Morton 2004) dan pada September 2004-
Februari 2005 tercatat densitasnya adalah 8 individu/ha, 16 individu/ha, dan 23
individu/ha (Li 2008). Kategori rendahnya kepadatan mimi juga terjadi di salah satu
perairan Indonesia yaitu di Perairan Kuala Tungkal, kepadatan mimi C.
rotundicauda dan T. gigas terhitung masing-masing 62 individu/ha dan 2
individu/ha (Rubiyanto 2012).
Menurut Webster (2007) alat yang efektif digunakan untuk mempelajari
perubahan dan variasi bentuk tubuh suatu organisme yaitu melalui kajian
morfometrik. Morfometrik merupakan salah satu bentuk mekanisme adaptasi
terhadap perbedaan karakter habitat. Adaptasi morfologi yang dilakukan dapat
menyebabkan munculnya karakteristik morfologi yang berbeda. Perbedaan
karakter morfologi ini dapat dijadikan sebagai penciri stok dari suatu populasi mimi
7
METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai Juni 2015 dengan
pengambilan sampel pada enam lokasi yaitu Ujung Kulon Banten, Segara Menyan
Subang, Semarang, Demak, Rembang, Pantai Kenjeran Surabaya, dan Campur
Rejo Gresik sebagi perwakilan sepanjang pantai Pulau Jawa (Gambar 3). Analisis
morfometrik dilaksanakan di Laboratorium Biologi Makro 1 Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor dan di lokasi sampling.
Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel mimi di sepanjang pesisir Pulau Jawa.
8
Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu kapal nelayan dan
jaring udang, penggaris, caliper, sheet, timbangan digital, gunting, kamera, meteran,
dan ketiga spesies mimi yang ditunjukkan oleh Gambar 4.
Gambar 4 Ketiga spesies mimi secara berurutan dari kiri ke kanan Tachypleus
tridentatus, T. gigas, dan Carcinoscorpius rotundicauda
Cara Kerja
(a) (b)
Gambar 7 Perbedaan antara mimi jantan (a) dan betina (b) berdasarkan ciri
morfologi
10
Secara morfologi mimi dapat diidentifikasi melalui bentuk telson, warna, dan
duri ophistoma. Telson pada genus Carcinoscorpius (gambar 8a) tidak berduri
sedangkan pada genus Tachypleus (gambar 8b) berduri.
(a) (b)
Gambar 8 Perbedaan telson pada genus Carcinoscorpius (a) dan genus Tachypleus
(b)
T. gigas dan T. tridentatus dapat dibedakan dari warna dan duri ophistoma, T.
gigas berwarna coklat kehitaman sedangkan T. tridentatus memiliki warna coklat
kehijauan (Gambar 9).
Gambar 9 Perbedaan warna pada Tachypleus tridentatus (kiri) dan T. gigas (kanan)
Setelah dilihat dari duri pada telson dan warna, maka tahapan identifikasi
selanjutnya yaitu melihat duri pada ophistoma. T. tridentatus memiliki tiga duri
yang nampak pada ophistoma sedangkan pada T. gigas tidak begitu nampak.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.
11
(a) (b)
Gambar 10 Duri badan Tachypleus tridentatus (a) dan T. gigas (b)
Analisis Data
Hasil
gigas yang berasal dari Demak memiliki ukuran hampir sama untuk daerah Banten,
Subang, dan Surabaya. T. tridentatus pada daerah Semarang memiliki ukuran lebar
maksimal prosoma dan badan paling besar, sedangkan Banten, Subang, dan Gresik
memiliki ukuran yang hampir sama. C. rotundicauda Semarang, Subang, dan
Demak memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan Gresik, Rembang, dan
Surabaya.
200
150
100
50
Gambar 12 Variasi geografis ukuran tubuh mimi, diukur pada lebar maksimal
prosoma ke tiga spesies
C. rotundicauda T. tridentatus T. gigas
250
200
Panjang Badan (cm)
150
100
50
Gambar 13 Variasi geografis ukuran tubuh mimi, diukur pada panjang badan ke
tiga spesies
Carcinoscorpius rotundicauda
Hasil uji Kruskal Wallis berdasarkan 27 karakter morfometrik C.
rotundicauda yang telah dirasiokan secara keseluruhan diperoleh hasil sebanyak 1
karakter yang tidak berbeda nyata (p>0,05) pada lokasi Semarang, Demak,
Surabaya, Subang, dan Banten. Namun, pada uji ini tidak dapat diketahui secara
spesifik karakter mana yang memiliki beda nyata antar lokasi, sehingga dilakukan
uji Mann-Whitney untuk mengetahui karakter yang berbeda nyata (p<0,05) antar
lokasi. Berikut merupakan hasil uji Mann-Whitney perbandingan karakter
morfometrik yang telah dirasiokan (Tabel 2).
Karakter morfometrik C. rotundicauda dari ke-6 lokasi tersebut memiliki
hubungan sifat beda nyata (p<0,05) antar lokasi, Subang memiliki ukuran tubuh
dan anggota tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan daerah Semarang, Demak,
Rembang, Gresik, dan Surabaya. C. rotundicauda Rembang memiliki ukuran rata-
rata lebar maksimal prosoma lebih besar dibandingkan dengan daerah Subang,
Semarang, Demak, Gresik, dan Surabaya. Gresik memiliki 7 ukuran tubuh (X1-X4,
X8, X9, X12-X13) dan 5 anggota tubuh (X18-X22) lebih besar, dan Surabaya
memiliki 6 ukuran tubuh (X5, X7, X11, X14-X16) serta 6 anggota ukuran tubuh
(X23-X28) lebih besar.
15
Tachypleus gigas
Hasil uji Kruskal Wallis berdasarkan 27 karakter morfometrik T. gigas yang
telah dirasiokan secara keseluruhan diperoleh hasil sebanyak 13 karakter yang tidak
berbeda nyata (p>0,05) pada lokasi Semarang, Demak, Surabaya, Subang, dan
Banten. Uji ini tidak dapat diketahui secara spesifik karakter mana yang memiliki
beda nyata antar lokasi, sehingga dilakukan uji Mann-Whitney untuk mengetahui
karakter yang berbeda nyata (p<0,05) antar lokasi. Berikut merupakan hasil uji
Mann-Whitney (Tabel 4).
kesamaan 60% diperoleh hasil bahwa daerah Semarang dan Demak membentuk
satu kelompok dengan tingkat kesamaan sebesar 66,11%. Begitu juga dengan
Subang dan Banten memiliki tingkat kesamaan sebesar 79,66%. Sedangkan
Surabaya membentuk populasi tersendiri.
Tachypleus tridentatus
Hasil uji Kruskal Wallis berdasarkan 27 karakter morfometrik T. tridentatus
yang telah dirasiokan secara keseluruhan diperoleh hasil sebanyak 12 karakter yang
tidak berbeda nyata (p>0,05) pada lokasi Semarang, Gresik, Subang, dan Banten.
Namun, pada uji ini tidak dapat diketahui secara spesifik karakter mana yang
memiliki beda nyata antar lokasi, sehingga dilakukan uji Mann-Whitney untuk
mengetahui karakter yang berbeda nyata (p<0,05) antar lokasi. Berikut merupakan
hasil uji Mann-Whitney (Tabel 6).
dan 12.2% dijelaskan oleh variable di luar model. Berdasarkan tabel classification,
model memiliki kemampuan untuk membedakan antar kelompok populasi sebesar
100% yaitu individu diklasifikasikan sebagai individu asli yang berasal dari
Semarang (n=2), Gresik (n=3), Subang (n=17), dan Banten (n=10). Percent correct
dapat mencapai hingga 100% diduga karena jumlah individu yang ditemukan
sangat sedikit disetiap daerahnya.
Pembahasan
adanya reklamasi pantai dan degradasi habitat telah menghilang sejak tahun 1990
(Shin et al. 2009). Akibat adanya sarana rekreasi dan pembangunan pelabuhan
mimi di Singapura tidak terdapat aktivitas pemijahan di tepi pantai (Cartwright et
al. 2011).
Daerah Rembang C. rotundicauda memiliki ukuran lebar maksimal prosoma
paling besar dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini dikarenakan pada daerah
Rembang merupakan daerah mangrove dengan substrat berlumpur tebal. Mangrove
dengan substrat berlumpur merupakan habitat dengan sumber makanan yang
disukai oleh mimi jenis C. rotundicauda. Lingkungan dengan sumber makanan
yang banyak mengandung Ca (bivalvia, polycaeta, moluska) akan membantu
pertumbuhan karapas dengan baik. Ukuran tubuh mimi dipengaruhi oleh kepadatan
populasi, ketersediaan pangan, dan pengaruh kondisi lingkungan (Chatterji et al.
2000; Zadeh et al. 2011). Penelitian yang telah dilakukan oleh Chatterji et al. (2000)
diperoleh hasil bahwa pertambahan panjang dan lebar karapas dipengaruhi oleh
ketersediaan pakan dan kepadatan populasi. Mimi memiliki ukuran karapas yang
berbeda pada habitat yang berbeda seperti karapas populasi mimi yang ada di
Malaysia memiliki karapas yang lebih besar dibandingkan dengan karapas yang ada
di India dan Thailand (Chatterji 1999; Srijaya et al. 2010).
C. rotundicauda dan T. tridentatus pada daerah Subang memiliki rata-rata
ukuran tubuh dan anggota tubuh paling kecil jika dibandingkan dengan dearah
lainnya. Perairan Mayangan Subang berhadapan langsung dengan Laut Jawa
disebelah utara sehingga suhu dan salinitas sangat dipengaruhi oleh dinamika
perairan Laut Jawa. Rataan suhu yang bervariasi antara 27,5-28,7oC dengan
salinitas 30-33 ppt, kedalaman 20 m. Perairan Mayangan Subang memiliki
kekeruhan tinggi akibat pengaruh dari karakteristik Laut Jawa. Pada penelitian ini,
Subang merupakan lokasi dengan jumlah tangkapan mimi terbanyak, dalam sehari
sebanyak 45 ekor mimi telah tertangkap. Sebanyak 378 ekor mimi tertangkap
selama 10 bulan Maret-Desember 2003 penelitian yang telah dilakukan oleh
Muslihah (2004) di Mayangan Subang. Kepadatan populasi, umur, ketersediaan
pangan, dan pengaruh kondisi lingkungan mempunyai hubungan yang signifikan
dengan perubahan dimensi tubuh mimi (Chatterji et al. 2000; Zadeh et al. 2011).
Di Balramgari, Orissa pertambahan panjang dan lebar karapak T. gigas dipengaruhi
oleh kepadatan dan ketersediaan pakannya. Makanan mimi tersedia dibanyak
tempat, jenis makanan mimi diantaranya ikan mati, polycaeta, bivalvia, moluska,
serta alga (Chatterji et al. 2000).
Simpulan
yaitu telson bergerigi pada genus Tachypleus dan telson halus pada genus
Carcinoscorpius. T. tridentatus terdapat duri tajam pada bagian ophistoma dan
prosoma, sedangkan tidak untuk T. gigas.
Subang merupakan lokasi terbanyak ditemukannya mimi, serta memiliki
ketiga spesies, sedangkan Rembang merupakan daerah terbanyak ditemukannya
spesies C. rotundicauda. Tidak terdapat konektivitas berdasarkan karakter
morfologi melalui perhitungan Multinomial logistic.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Beekey MA, Mattei JH, Pierce BJ. 2013. Horseshoe crab eggs: A rare resource for
predators in Long Island Sound. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology. 439(1):152-159.
Cartwrigt-Taylor L, Lee J, & Hsu CC. 2009. Population structure and breeding
pattern of the mangrove horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda in
Singapore. Aquatic Biology. 8:61-69
Cartwrigt-Taylor L, Bing YV, Chi HC, Tee LS. 2011. Distribution and abundance
of horseshoe crabs Tachypleus gigas and Carcinoscorpius rotundicauda
around the main island Singapore. Aquatic Biology. 13:127-136.
Chatterji A, Vijayakumar R, Parulekar AH. 1992. Spawning migration of the
horseshoe crab, Tachypleus gigas (Muller), in relation to lunar cycle. Asian
Fisheries Science. 5:123-128.
Chatterji, A. 1999. New record of the sympatric distribution of two Asian species
of the horseshoe crab. Indian Journal of Marine Science. 77(6):43-48.
Chatterji A, Parulekar AH, Vijayakumar R. 2000. Morphometric characteristics in
the horseshoe crab Tachypleus gigas (Artropoda: Merostomata). Indian
Journal of Marine Science. 29:333-335.
Christianus A, Saad CR. 2007. Horseshoe crabs in Malaysia and the world. Fishery
Mail. 16:8-9.
Chiu HMC, Morton B. 2004. The behavior of juvenil horseshoe crabs, Tachypleus
tridentatus (Xiphosura), on nursery beach at Shin Hau Wan, Hong Kong.
Hydrobiologia. 523:29-35.
Dietl J, Nascimento C, Alexander R. 2000. Influence of ambient flow around the
horseshoe crab Limulus polyphemus on the distribution and orientation of
selected epizoans. Estuaries. 23:509-520.
24
Ding JL, Tan KC, Thangamani S, Kusuma N, Seow WK, Bui THH, Wang J, Ho B.
2005. Spatial and temporal coordination of expression of immune response
genes during Pseudomonas infection of horseshoe crab, Carcinoscorpius
rotundicauda. Nature Publishing Group. 6(7):557-574.
Ferari KM, Targett NM. 2003. Chemical attractants in horseshoe crab, Limulus
polyphemus, eggs: the potential for an artificial bait. Journal of Chemical
Ecology. 29:477-496.
Hu M, Wang Y, Chen Y, Cheung SG, Shin PKS, Li Q. 2009. Summer distribution
and abundance of juvenile Chinese horseshoe crabs Tachypleus tridentatus
along an intertidal zone in Southern China. Aquatic Biologi. 7:107-112.
Hurton L. 2003. Reducing Post-Bleeding Mortality of Horseshoe Crabs (Limulus
polyphemus) Used in The Biomedical Industry [Tesis]. Virginia (US):
Virginia Polytechnic Institute and State University.
Harrington BA. 2001. Red Knot (Calidris canutus). In The Birds of North America,
No. 563 (A. Poole and F. Gill, eds.). The Birds of North America, Inc.,
Philadelphia, Pennsylvania.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2015. Red list of
threatened species. www. Iuc-nredlist.org. 18 Mei 2015. Pukul. 18.27 WIB.
John BA, Kamaruzzaman BY, Jalal KCA, Zaleha K. 2012. Feeding Ecology and
Food Preferences of Carcinoscorpius rotundicauda Collected from the
Pahang Nesting Grounds. Sains Malaysiana. 41(7):855-861.
Johnson SL, Brockmann HJ. 2010. Costs of multiple mates: an experimental study
in horseshoe crabs. Animal Behaviour. 80:773-782.
Lee CN, Morton B. 2005. Experimentally derived estimates of growht by juvenile
Tachypleus tridentatus and Carcinoscorpius rotundicauda (Xiphosura) from
nursery beaches in Hong Kong. Jurnal Marine Biology Ecology. 318:39-49.
Li HY. 2008. The conservation of horseshoe crabs in Hong Kong [Tesis]. Hong
Kong (HK): City Universitas of Hong Kong.
Muslihah. 2004. Beberapa aspek biologi reproduksi mimi bulan Tachypleus gigas
di Perairan Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Mishra JK. 2009. Horseshoe crabs, their eco-biological status along the northeast
coast of India and the necessity for ecological conservation. In: Tanacredi JT
et al. (eds). 2009. Biology and conservation of horseshoecrabs. Springer
Science & Business Media: 89-96.
Mulya MB. 2014. Pelestarian, pemanfaatan sumberdaya genetika mimi ranti
(Carcinosscorpius rotundicauda, L) dan mimi bulan (Tachypleus gigas, M).
© 2004 Digitized by USU digital library.
Novitsky TJ, Thomas, Dawson, Michael E, Paus, Erik J. 2002. Artificial bait.
United States Patent: 639-1295.
Novitsky TJ. 1994. Limulus amebocyte lysate (LAL) detection of endotoxin in
human blood. Journal of endotoxin research. 1(4):253-263.
Obst M, Faurby S, Bussarawit S, Funch P. 2012. Molecular phylogeny of extant
horseshoe crabs (Xiphosura, Limulidae) indicates Paleogene diversification
of Asian species. Molecular Phylogenetics and Evolution. 62(1):21-26.
Rubuyanto E. 2012. Studi populasi mimi (Xiphosura) di perairan Kuala Tungkal,
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi [Tesis]. Depok (ID): Universitas
Indonesia.
25
Selander RK, Yang SY, Lewontin RC, Johnson WE. 1970. Genetic variation in the
horseshoe crab (Limulus polyphemus), a phylogenetic ‘‘relic’’. Evolution.
24(2):402-414
Shin P, Li HY, Cheung SG. 2009. Horseshoe crabs in Hong Kong: Current
population status and human exploitation. In: Tanacredi JT et al. (eds). 2009.
Biology and conservation of horseshoe crabs. Springer Science & Business
Media: 347-360.
Smith DR. 2007. Effect of horseshoe crab spawning density on nest disturbance and
exhumation of eggs: a simulation study. Estuaries. 30:287-295.
Sekiguchi, Shuster. 2009. Limits on the global distribution of horseshoe crabs
(Limulacea). In: Tanacredi JT et al. (eds). 2009. Biology and conservation of
horseshoe crabs. Springer Science & Business Media: 347-360.
Suparta. 1992. Keragaman sifat-sifat morfometrik mimi, Tachypleus gigas
(MULLER) & Carcinoscorpius rotundicouda (LATREILLE) di perairan
pantai Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat dan perairan pantai Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Srijaya TC, Pradeep PJ, Mitun S, Hasan A, Shaharom F, Chatterji A. 2010. A new
record on the morphometric variation in the population of horseshoe crab
(Carcinoscorpius rotundicauda, Latreille) obtained from two different
ecological habitats of Peninsular Malaysia. Nature. 8:204-211.
Taylor LC, Lee J, Hsu CC. 2011. Population structure and breeding pattern of the
mangrove horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda in Singapore.
Aquatic Biology. (8):61–69.
Vauziyah C. 1995. Perkembangan embrio mimi bulan Tachypleus gigas (Muller)
dari perairan Teluk Banten pada berbagai salinitas media [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Walls EL, Berkson J, Smith SA. 2002. The horseshoe crab, Limulus polyphemus:
200 million years of existence, 100 years of study. Review Fisheries Sciences.
10:39-73.
Webster M. 2007. A cambrian peak in morphological variation within trilobite
species. Science. 317(5837):499-502.
Yeo DSA, Ding JL, Ho B. 1996. Neuroblastoma cell culture assay shows that
Carcinoscorpius rotundicauda haemolymph neutralizes tetrodotoxin.
Pergamon. 34(9):1054-1057.
Zadeh SS, Christianus A, Saad CR, Hajeb P, Kamarudin MS. 2011. Comparations
in prosomal width and body weight among early instar stages of Malaysian
Horseshoe crabs, Carcinoscorpius rotundicauda and Tachypleus gigas in the
laboratory. In: Tanacredi JT et al. (eds). 2011. Biology and conservation of
horseshoe crabs. Springer Science & Business Media: 267-274.
26
ABSTRACT
Horseshoe crabs are distributed widely in Indonesian waters, and there are
three common species inhabiting some coastal waters of Java Island. The research
were aimed at establishing phylogenetic relationship among Indonesian horseshoe
crab of Java Island and identification based on molecular marker of COI gene and
PCR-RFLP in combination with morphological characters. The sample collections
were conducted at six sites, i.e. Ujung Kulon, Subang, Semarang, Demak, Rembang,
and Kenjeran. The results showed that there were 67 specific nucleotide sites,
becoming species identifier of three spesies horseshoe crabs with outgroup species.
Molecular identification of T. gigas from this study has shown taxonomy certainty.
However, identification of T. tridentatus and C. rotundicauda did not succeed using
CO1 gene. PCR-RFLP method revealed that Demak could be defined as a region
of C. rotundicauda gene pool, while Subang for T. gigas, and Semarang for T.
tridentatus. Those are due to higher haplotype diversity compared to other locations.
PENDAHULUAN
Mimi atau belangkas merupakan hewan dari famili Limulidae yang dikenal
sebagai living fossils dan phylogenetic relicts (Selander et al. 1970). Hewan ini telah
mengalami diversifikasi sejak zaman paleogene (65-23 Mya) (Obst et al. 2012) dan
di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya genetik yang dilindungi (SK
Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Peraturan Pemerintah RI No. 7/1999)
(Mulya 2004; Rubiyanto 2012). Hingga saat ini, empat spesies mimi yang masih
ada di dunia, yaitu Limulus polyphemus (Linnaeus 1758) hanya terdapat di pantai
Atlantik Amerika Utara (Walls et al. 2002), dan ke-3 lainnya merupakan spesies
Asia yaitu Tachypleus gigas (Muller 1785), Tachypleus tridentatus (Leach 18192),
dan Carcinoscorpius rotundicauda (Lattreille 1802) (Christianus & Saad 2007; Lee
& Morton 2005). Keberadaan ketiga spesies Asia tersebut dinyatakan near
threatened oleh IUCN (2010), threatened (2014) dan data deficient (2015).
Sedangkan untuk L. polyphemus adalah lower risk/near threatened berdasarkan
IUCN (2015).
27
Mimi merupakan hewan yang memiliki peranan penting, baik secara ekonomi
maupun ekologi. Secara ekonomi, mimi dimanfaatkan sebagai hewan umpan untuk
menangkap ikan sembilang (Euristhmus microceps) di Perairan Kuala Tungkal
Jambi (Rubiyanto 2012), belut (Anguilla rostrata), siput besar (Ferari & Targett
2003), dan whelk (Busycon carica dan B. canaliculatum) (Novitsky et al. 2002).
Ratusan mimi setiap minggunya ditangkap di Sadeli Kechil dan Johor pantai timur
Malaysia dan diekspor ke Thailand (Christianus & Saad 2007). T. tridentatus di
Hong Kong menjadi makanan dijual di restoran (Shin et al. 2009), sedangkan di
Thailand dan Malaysia, ketiga spesies mimi Asia ini dikonsumsi sebagai makanan
eksklusif (Christianus & Saad 2007). Peranan mimi di bidang medis yaitu
haemolymph dari C. rotundicauda dapat menetralisir Tetrodotoxin (TTX) (Yeo et
al. 1996). Sel darah L. polyphemus digunakan oleh industri medis untuk
mensterilkan produk medis dan farmasi (Hurton 2003) karena dalam darahnya
mengandung Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang dapat mendeteksi endotoksin
pada darah manusia begitu juga dengan genus Tachypleus menghasilkan
Tachyplesin Amoebocyt Lysate (TAL) yang dapat mendeteksi endotoksin bakteri
gram negatif, mendeteksi endotoksin darah manusia, dan menguji obat bahwa bebas
dari bakteri patogen sebelum dikonsumsi oleh manusia (Novitsky 1994). Sel darah
C. rotundicauda sebagai imun aktif saat terjadi infeksi (Ding et al. 2005) dan
menghasilkan Carcinoscorpius Amoebocyt Lysate (CAL) (Novitsky 1994).
Secara ekologi, mimi memiliki peranan dalam penyeimbang rantai makanan
dan sebagai sumber protein bagi setidaknya 20 spesies burung pantai yang
bermigrasi (Dietl et al. 2000; Harrington 2001; Beekey et al. 2013). Mimi juga
berperan sebagai bioturbator dan mengendalikan hewan bentik invertebrata (Smith
2007; John et al. 2012). Selain itu, mimi juga dikonsumsi oleh monyet mangrove
(Macaca fascicularis) (Rubiyanto 2012).
Mimi mempunyai risiko kepunahan yang tinggi akibat adanya degradasi
habitat, reklamasi, pencemaran, perburuan komersial (Mishra 2009), hilangnya
habitat dan sumber makanan, perubahan kondisi air, serta peningkatan predasi (Hu
et al. 2009). Seperti yang terjadi di India, Hong Kong, dan Singapura (Shin et al.
2009; Taylor et al. 2011). Tahun 1990 populasi mimi Tachypleus gigas di
Balramgari India tercatat sebanyak 306 individu yang didapat dalam transek
sepanjang 200 meter (Chatterji et al. 1992) dan pada tahun 1996 jumlah
populasinya menurun menjadi 220 individu. Begitu pula di Hong Kong,
pengamatan pada bulan Mei-Desember 2002 tercatat densitas juvenil T. tridentatus
di Pak Nai adalah 197 individu/ha dan dua lokasi di Hak Pak Nai adalah 155
individu/ha dan 114 individu/ha (Chiu & Morton 2004) dan pada September 2004-
Februari 2005 tercatat densitasnya adalah 8 individu/ha, 16 individu/ha, dan 23
individu/ha (Li 2008). Kategori rendahnya kepadatan mimi juga terjadi di salah satu
perairan Indonesia yaitu di Perairan Kuala Tungkal, kepadatan mimi C.
rotundicauda dan T. gigas terhitung masing-masing 62 individu/ha dan 2
individu/ha (Rubiyanto 2012).
Penelitian terkait mimi telah banyak dilakukan di berbagai negara, namun di
Indonesia penelitian mengenai genetik mimi masih sangat jarang dilakukan.
Penelitian mimi di Indonesia diantaranya aspek biologi reproduksi (Fachrul 1989;
Eidman 1992; Purnomo 1992; Eidman 1997; Mulya 2004; Muslihah 2004),
Perkembangan embrio (Santoso 1992; Balasani 1994; Ismurwanti 1994; Rahmalia
28
1995; Vauziyah 1995), morfometrik (Suparta 1992), dan studi populasi mimi
(Rubiyanto 2012).
Genetika molekuler dibutuhkan terkait dengan ketepatan mengidentifikasi
spesies dan mendukung hasil identifikasi berdasarkan sifat morfologi. Identifikasi
suatu organisme mulai spesies hingga subspesies secara akurat terhadap berbagai
spesies yang sulit dibedakan secara morfologi dapat menggunakan DNA barcoding
(Tudge 2000). Salah satu kelompok gen yang dapat dijadikan sebagai marka
molekuler untuk penentuan spesies adalah gen Cythocrome Oxsidase subunit I
(COI) pada DNA mitokondria (Solihin 1994). COI pada mitokondria merupakan
gen yang berevolusi cepat dibandingkan gen 12S rRNA, 16S rRNA, dan beberapa
gen-gen mitokondria lainnya. Gen tersebut memiliki variasi yang sedikit sehingga
dapat digunakan sebagai DNA barcoding serta sedikit mengalami delesi dan insersi
dalam sekuennya (Hebert et al. 2003). Berdasarkan alasan di atas maka dibutuhkan
ketepatan identifikasi mimi dan informasi keanekaragaman haplotipe sebagai
implikasi konservasi dan manajemen serta informasi pembanding negara lain.
METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai Juli 2015 dengan
pengambilan sampel pada enam lokasi yaitu Pantai Kenjeran Surabaya, Campur
Rejo Gresik, Segara Menyan Subang, Banten, Rembang, dan Demak sebagai
perwakilan Pesisir Pulau Jawa (Gambar 18). Sedangkan, Analisis molekuler
dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan dan Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Cara Kerja
Elektroforesis DNA
Hasil isolasi kemudian dilakukan pengujian kualitas DNA total yaitu dengan
elektroforesis. Pembacaan DNA total pada gel agarosa 1,2% menggunakan larutan
buffer TAE 1x dan pewarnaan dengan menggunkan ethidium bromide 5 μl. Tujuan
dari elektroforesis DNA ini adalah untuk melihat kualitas DNA melalui pita DNA
secara visualisasi.
Kemudian produk PCR divisualisasikan pada gel agarosa 1,2% dengan metode
elektroforesis.
PCR-RFLP
Metode PCR-RFLP digunakan untuk mengetahui perbedaan profil ukuran
fragmen DNA dari individu yang berbeda (Hansen et al. 1997) dengan
menggunakan enzim restriksi EcoR1. Tahapan yang dilakukan yaitu dengan
mencampur 15,5 μL ddH2O, 2 μL produk PCR, dan 0,5 μL enzim restriksi yang
dicampurkan di dalam tube. Setelah itu campuran diinkubasi pada suhu 37oC
selama 3 jam. Campuran yang telah diinkubasi kemudian dielektroforesis
menggunakan gel agarosa 1,2 % dengan tegangan 100 V selama 45 menit.
Visualisasi hasil pemotongan menunjukkan pola fragmen yang khas berdasarkan
enzim restriksi.
Analisis Data
Hasil
Gambar 19 Visualisasi DNA hasil pre-test produk PCR pada gel agarosa 0,8 %.
Kolom kiri sampai kanan: marker 1 kb, 1) Tt SBG, 2) Cr SBG, 3) Tg
SMG, 4) Tt SMG, 5) Tg DMK, 6) Cr DMK, 7) Cr RMG, 8) Tg SRB,
9) Tg SBG, 10) Tg BTN
Sekuensing DNA dan Pensejajaran Urutan Basa Nukleotida Gen COI Mimi
Hasil sekuensing disejajarkan dengan primer forward dan reverse. Analisis
jarak genetik dan konstruksi pohon filogeni dilakukan dengan menggunakan
software MEGA 5.0 (Tamura et al. 2011). Komposisi basa nukleotida C.
rotundicauda terdiri dari 34,8% basa timin (T), 28,1 % basa adenin (A), 21,2% basa
sitosin (C) dan 15,9% basa guanin (G). Sedangkan pada T. tridentatus terdiri dari
34% basa timin (T), 27,1 % basa adenin (A), 23,2% basa sitosin (C) dan 15,7% basa
guanin (G). Begitu juga dengan T. gigas terdiri dari 33,9% basa timin (T), 27,1 %
basa adenin (A), 23,2% basa sitosin (C) dan 15,8% basa guanin (G) (Lampiran 3).
Sehingga gen COI pada ketiga spesies mimi dikategorikan sebagai kelompok kaya
akan A-T.
Pensejajaran sekuen nukleotida gen COI ke-3 spesies menghasilkan nilai
conserved sebesar 71,8% (390/543), variabel sebesar 12,3% (67/543), dan
singleton 0,6% (3/543). Nilai variabel menunjukkan bahwa terdapat variasi basa
nukleotida yang merupakan karakteristik pembeda dari ketiga spesies.
Tabel 8 Matriks jarak genetik fragmen gen CO1 pada tiga spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas)
dari famili Limulidae dari Banten, Subang, Semarang, Demak, Rembang,
dan Surabaya
Cr Cr Cr Tg Tt Tg Tg Tg Tg Tt Tt Tg
Spesies_lokasi
DMK RMG SBG BTN SBG SBG DMK SMG SRB SMG HQ588752 KJ825849
Cr DMK
Cr RMG 0,002
Cr SBG 0,002 0,000
Tg BTN 0,140 0,138 0,138
Tt SBG 0,143 0,140 0,140 0,009
Tg SBG 0,140 0,138 0,138 0,000 0,009
Tg DMK 0,140 0,138 0,138 0,007 0,002 0,007
Tg SMG 0,140 0,138 0,138 0,007 0,002 0,007 0,000
Tg SRB 0,143 0,140 0,140 0,009 0,004 0,009 0,002 0,002
Tt SMG 0,140 0,138 0,138 0,007 0,002 0,007 0,000 0,000 0,002
Tt HQ588752 0,129 0,127 0,127 0,088 0,090 0,088 0,088 0,088 0,090 0,088
Tg KJ825849 0,136 0,134 0,134 0,015 0,018 0,015 0,015 0,015 0,018 0,015 0,086
Keterangan: Cr: C. rotundicauda, Tt: T. tridentatus, Tg: T. gigas, DMK: Demak, RMG: Rembang,
SBG: Subang, BTN: Banten, SMG: Semarang, SRB: Surabaya, HQ588752: Sweden
KJ825849: Central Arabian Sea.
T. tridentatus Subang
T. gigas Surabaya
T. tridentatus Semarang
T. gigas Semarang
T. gigas Demak
T. gigas Banten
T. gigas Subang
KJ825849 T. gigas
HQ588752 T. tridentatus
C. rotundicauda Demak
C. rotundicauda Rembang
C. rotundicauda Subang
Gambar 20 Konstruksi pohon filogeni berdasarkan gen CO1 pada tiga spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas)
dari famili Limulidae
Gambar 21 Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoRI. 1= Marker,
2-6= Tg Demak, 7-10= Tg Subang, 11-13= Tg Semarang
Gambar 22 Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoRI. 1= Marker,
2-8= Cr Demak, 9-13= Cr Subang
Gambar 23 Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoRI. 1= Marker,
2-5= Cr Rembang, 6-10= Tt Subang, 11= Tt Semarang, 12= Tg
Surabaya, 13= Tg Banten
35
Gambar 24 Ilustrasi tipe digesti yang terbentuk dari ke-3 spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T.
gigas)
Pembahasan
Perbedaan beberapa situs gen CO1 urutan basa nukleotida berdasarkan hasil
dari jarak genetik menunjukkan adanya mutasi pada mimi. Terdapat satu situs yang
termutasi delesi yaitu pada situs ke 107 pada spesies T. tridentatus dan T. gigas.
Gen tersebut sedikit mengalami delesi dan insersi dalam sekuennya, serta variasi
36
yang sedikit (Hebert et al. 2003). Urutan nukleotida bersifat conserve pada tingkat
spesies, hal ini ditunjukkan oleh sekuen nukleotida pada gen CO1 mimi.
Keberadaan 67 situs nukleotida spesifik menjadi penciri spesies mimi, yang
menunjukkan adanya evolusi spesifik pada mimi.
Basa nukleotida ketiga spesies tersebut didominasi oleh ikatan basa adenin
(A) dan timin (T). Yusuf (2011) menyatakan bahwa A-T memiliki ikatan hidrogen
yang terdiri dari dua ikatan dan bersifat lemah dibandingkan dengan G-C yang
memiliki tiga ikatan hidrogen. Sehingga, A-T lebih mudah terpisah dan
menyebabkan ketiga spesies mimi memiliki kemungkinan mutasi yang cukup tinggi.
Bila mutasi berjalan terus menerus dari generasi ke generasi maka pada suatu saat
akan muncul turunan baru yang sifatnya berbeda dengan moyangnya, sehingga
terjadilah peristiwa evolusi (Brown et al. 1979). Selain itu, mutasi yang cukup
tinggi ini dapat memiliki pengaruh menguntungkan, merugikan, atau netral pada
suatu populasi. Hal ini tergantung pada meningkatkan atau menurunkan variasi
genetik, karena mutasi dapat meningkatkan atau menurunkan fitness suatu spesies
(Soewardi 2007).
Spesies C. rotundicauda tidak terjadi mutasi dan memiliki jarak genetik
sangat jauh terhadap genus Tachypleus, menurut penelitian yang telah dilakukan
oleh Obst et al. (2012) dengan menggunakan fragmen gen 16S, 28S, dan CO1
diperoleh hasil bahwa konstruksi pohon filogeni C. rotundicuada terpisah dengan
genus Tachypleus, C. rotundicuada merupakan spesies yang memiliki keragaman
genetik paling tinggi dibandingkan dengan genus Tachypleus dan Limulus, hal ini
disebabkan oleh perbedaan faktor ekologi C. rotundicuada yang berhabitat di
estuari dan mangrove. Wilayah ini merupakan wilayah yang lebih tertutup
dibandingkan lautan terbuka, sehingga gene flow antara populasi spesies ini lebih
terbatas (Obst et al. 2012).
Konstruksi pohon filogeni spesies C. rotundicauda, T. gigas, dan T.
tridentatus dengan spesies outgropus, menunjukkan adanya pemisahan yang nyata.
Hal ini menunjukkan bahwa ketiga spesies tersebut memiliki karakter nukleotida
yang berbeda dibandingkan dengan outgroups (negara lain). Namun, pada
penelitian ini T. tridentatus memiliki nukleotida yang identik dengan T. gigas
berdasarkan hasil. Sedangkan spesies C. rotundicauda belum teridentifikasi secara
genetik. Menurut Wodajo (2015) DNA-barcoding memiliki beberapa keterbatasan
diantaranya yaitu resolusi rendah untuk beberapa kasus (hibridisasi, penyimpangan
spesies baru, dan kompleks spesies). Penyebab utama keterbatasan DNA-barcoding
yaitu berasal dari sistem identifikasi lokus tunggal (single-locus identification
system). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Kemppainen et al.
(2009) yang menyatakan bahwa sekuen DNA mitokondria dan kloroplas yang
identik dapat terjadi pada spesies berbeda yang masih saling berkaitan karena
adanya introgresi (introgression) atau tidak lengkapnya menyortir garis keturunan
(incomplete lineage sorting) pada saat spesiasi (speciation). Diperkuat oleh
Sutrisno et al. (2013) meskipun gen CO1 telah dipilih menjadi satu gen yang
sekuennya digunakan dalam barcode dan memiliki kelebihan. Namun tidak semua
kelompok dapat menggunakan CO1 dalam analisis DNA barcode, karena belum
tentu mendapat hasil yang memuaskan. Gen CO1 tidak dapat digunakan dalam
kelompok tertentu. Hal ini terkait dengan beberapa kelemahan gen CO1 diantaranya
yaitu gen CO1 tidak bervariasi dalam beberapa kelompok takson tertentu. Gen CO1
mungkin tidak mampu menyelesaikan perbedaan tingkat spesies disemua
37
Simpulan
Saran
Penggunaan sampel darah sangat mudah dilakukan pada ketiga spesies mimi,
namun hasil dengan menggunakan sampel darah sering mengalami kontaminasi.
Sehingga, sebaiknya menggunakan sampel otot daging dan kit komersial yang
memiliki kualitas baik sehingga diperoleh hasil yang baik serta menggunakan lebih
dari satu gen.
DAFTAR PUSTAKA
Arruda CCB, Beasley CR, Vallinoto M, Silva NSM, Tagliaro CH. 2009. Significant
genetic differentiation among population of Anomalocardia brasiliana
(Gmelin 1791): A bivalve with planktonic larval dispersion. Genetics and
Molecular Biology. 32(2):423-430.
Balisani SL. 1994. Studi perkembangan embrio blangkas Carcinoscorpius
Rotundicauda (Latreille) hasil pemijahan semi alami dan buatan [Skrpisi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Brown WM, Matthew G, JR., and Allan CW. 1979. Rapid evolution of animal
mitochondrial DNA. Proceedings of the National Academy of Sciences of the
United States of America. 76(4):1967-1971.
Beekey MA, Mattei JH, Pierce BJ. 2013. Horseshoe crab eggs: A rare resource for
predators in Long Island Sound. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology. 439:152-159.
Chatterji A, Vijayakumar R, Parulekar AH. 1992. Spawning migration of the
horseshoe crab, Tachypleus gigas (Muller), in relation to lunar cycle. Asian
Fisheries Science. 5:123-128.
Chiu, H.M.C. & B. Morton. 2004. The behavior of juvenil horseshoe crabs,
Tachypleus tridentatus (Xiphosura), on nursery beach at Shin Hau Wan,
Hong Kong. Hydrobiologia. 523:29-35.
39
Christianus A, Saad CR. 2007. Horseshoe crabs in Malaysia and the world. Fishery
Mail.16:8-9.
Dietl J, Nascimento C, Alexander R. 2000. Influence of ambient flow around the
horseshoe crab Limulus polyphemus on the distribution and orientation of
selected epizoans. Estuaries. 23:509-520.
Ding JL, Tan KC, Thangamani S, Kusuma N, Seow WK, Bui THH, Wang J, Ho B.
2005. Spatial and temporal coordination of expression of immune response
genes during Pseudomonas infection of horseshoe crab, Carcinoscorpius
rotundicauda. Nature Publishing Group. 6(7):557-574.
Eidman M, Mayunar, Redjeki S. 1997. Pematangan gonad mimi ranti,
Carcinoscorpius rotundicauda (Latreille) dan mimi bulan Tachypleus gigas
(Muller) dengan berbagai jenis pakan. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairandan
Perikanan Indonesia. 5(1):1-6.
Eidman M, Samosir AM, Aktani U. 1992. Studi Biologi Mimi/ Belangkas
(Subkelas Xiphosura) dalam Rangka Perngembangan dan Pemanfaatan
Sumberdaya Hayati Laut untuk Kebutuhan Industri Farmasi di Indonesia.
Laporan Peneliti Tahun I. Proyek Pengembangan Pendidikan Ilmu Kelautan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Fakultas Perikanan. IBP, Bogor.
Fachrul MF. 1989. Aspek Biologi Mimi (Xilphosura). Term Paper Fakultas Pasca
Sarjana Institut Pertanian, Bogor.
Ferari KM, Targett NM. 2003. Chemical attractants in horseshoe crab, Limulus
polyphemus, eggs: the potential for an artificial bait. Journal of Chemical
Ecology. 29:477-496.
Gardner EJ, Simmon MJ, Snustad PD. 1991. Population and Evolutionary Genetics.
Chichester Brisbane, New York.
Harrington BA. 2001. Red Knot (Calidris canutus). In The Birds of North America,
No. 563 (A. Poole and F. Gill, eds.). The Birds of North America, Inc.,
Philadelphia, Pennsylvania.
Hebert PDN, Ratnasingham S, De Waard JR. 2003. Barcoding animal life:
cytochrome c oxidase subunit 1 divergences among closely related species.
Proceedings of the Royal Society. 270:96-99.
Hu M, Wang Y, Chen Y, Cheung SG, Shin PKS, Li Q. 2009. Summer distribution
and abundance of juvenile Chinese horseshoe crabs Tachypleus tridentatus
along an intertidal zone in Southern China. Aquatic Biologi. 7:107-112.
Hurton L. 2003. Reducing post-bleeding mortality of horseshoe crabs (Limulus
polyphemus) used in the biomedical industry [Thesis]. Virginia (US):
Virginia Polytechnic Institute and State University.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2015. Red list of
threatened species. www. Iuc-nredlist.org. 18 Mei 2015. Pukul. 18.27 WIB.
Irham M & Yuli SF. 2013. DNA Barcode Fauna Indonesia. Jakarta (ID):
KENCANA Prenadamedia Group.
Ismurwanti C. 1994. Studi awal pengaruh konsentrasi diazinon-60 EC terhadap
perkembangan embrio dan penetasan telur mimi ranti Carcinoscorpius
rotundicauda (Latreille) [Skrpisi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
John BA, Kamaruzzaman BY, Jalal KCA, Zaleha K. 2012. Feeding ecology and
food preferences of Carcinoscorpius rotundicauda collected from the Pahang
nesting grounds. Sains Malaysiana. 41(7):855-861.
Jusuf M. 2001. Genetika I: Struktur dan Ekspresi Gen. Jakarta (ID): Sagung Seto.
40
4 PEMBAHASAN UMUM
lebih menyukai habitat dengan substrat berlumpur dominan berpasir (Li 2008),
sedangkan C. rotundicauda lebih menyukai substrat berlumpur, khususnya daerah
mangrove. C. rotundicauda hidup di air payau dengan substrat berlumpur, biasanya
pada daerah mangrove (Shin & Cheung 2009; Cartwright-Taylor et al. 2011;
Rubiyanto 2012). Berdasarkan keragaman di atas, T. gigas dan T. tridentatus
membentuk satu kelompok sedangkan C. rotundicauda membentuk kelompok
tersendiri.
Keragaman karakter morfometrik membentuk konstruksi dendrogram
pengelompokan kemiripan, C. rotundicauda Semarang dan Demak, Gresik dan
Surabaya membentuk satu kelompok. Sedangkan Rembang dan Subang
membentuk kelompok tersendiri. T. gigas Semarang dan Demak, Subang dan
Banten membentuk satu kelompok, Surabaya membentuk kelompok tersendiri. T.
tridentatus Semarang dan Banten membentuk satu kelompok namun Gresik dan
Banten berbeda kelompok. Karakter morfologi mimi C. rotundicauda Subang
membentuk kelompok tersendiri karena memiliki ukuran tubuh dan anggota tubuh
yang relatif lebih kecil dibandingkan daerah Semarang, Demak, Rembang, Gresik,
dan Surabaya. C. rotundicauda Rembang memiliki ukuran rata-rata lebar maksimal
prosoma lebih besar dibandingkan dengan daerah Subang, Semarang, Demak,
Gresik, dan Surabaya. Gresik memiliki 7 ukuran tubuh (X1-X4, X8, X9, X12-X13)
dan 5 anggota tubuh (X18-X22) lebih besar, dan Surabaya memiliki 6 ukuran tubuh
(X5, X7, X11, X14-X16) serta 6 anggota ukuran tubuh (X23-X28) lebih besar.
Begitu juga dengan T. gigas Surabaya membentuk kelompok tersendiri karena
memiliki ukuran tubuh (X1-X2 dan X4-X16) lebih besar dan 5 anggota tubuh (X22,
X23, X26-X28) yang relatif lebih besar dibandingkan daerah Semarang, Demak,
Subang, dan Banten (memiliki 6 anggota tubuh yaitu X17-X21 dan X24-X25).
Sedangkan T. gigas Semarang dan Demak memiliki ukuran relatif sama, begitu juga
dengan Subang dan Banten. Begitu juga T. tridentatus Subang memiliki ukuran
tubuh dan anggota tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan daerah Semarang,
Gresik, dan Banten sehingga membentuk kelompok tersendiri. T. tridentatus
Semarang memiliki 5 ukuran tubuh (X1, X5, X8, X10, X15) dan 1 anggota tubuh
(X24) lebih besar Sedangkan T. tridentatus Gresik memiliki 4 ukuran tubuh (X2,
X11, X12, X16) dan 3 anggota tubuh (X25, X26, X28) lebih besar. Banten memiliki
6 ukuran tubuh (X4, X6, X7, X9, X13, X14) dan 8 ukuran anggota tubuh (X17-X23,
X27) lebih besar. Perbedaan ukuran tubuh mimi dipengaruhi oleh kepadatan
populasi, ketersediaan pangan, dan pengaruh kondisi lingkungan (Chatterji et al.
2000; Zadeh et al. 2011). Penelitian yang telah dilakukan oleh Chatterji et al. (2000)
diperoleh hasil bahwa pertambahan panjang dan lebar karapas dipengaruhi oleh
ketersediaan pakan dan kepadatan populasi. Mimi memiliki ukuran karapas yang
berbeda pada habitat yang berbeda seperti karapas populasi mimi yang ada di
Malaysia memiliki karapas yang lebih besar dibandingkan dengan karapas yang ada
di India dan Thailand (Chatterji 1999; Srijaya et al. 2010).
Namun, jika dibandingkan antara pengelompokkan secara morfologi dan
genetika terdapat perbedaan. Pengelompokkan mimi secara genetik berdasarkan
dendrogram memberikan hasil yang berbeda dengan morfologi, pada hasil genetik
spesies T. tridentatus membentuk satu kelompok dengan T. gigas, dan C.
rotundicauda membentuk kelompok tersendiri. C. rotundicauda Rembang dan
Subang membentuk satu kelompok, dan Demak membentuk kelompok dengan
kelompok Rembang dan Subang. T. gigas Banten dan Subang membentuk satu
43
akibat penangkapan untuk dijual di restoran dan dikonsumsi (Christianus & Saad
2007). Menurut Rubiyanto (2012) T. gigas lebih sedikit terjaring kapal nelayan
disebabkan kandungan substrat pasir semakin sedikit sedangkan jumlah lumpurnya
semakin bertambah. Oleh karena itu sangat penting untuk melestarikan area
mangrove serta diadakannya konservasi di area tersebut. Namun, tanpa dukungan
dari pemerintah hal tersebut tidak akan terjadi, sehingga pemerintah sangat penting
dalam membuat peraturan dan bersama masyarakat menegakkan hukum untuk
sumberdaya hayati yang lestari.
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Arruda CCB, Beasley CR, Vallinoto M, Silva NSM, Tagliaro CH. 2009. Significant
genetic differentiation among population of Anomalocardia brasiliana
45
Ferari KM, Targett NM. 2003. Chemical attractants in horseshoe crab, Limulus
polyphemus, eggs: the potential for an artificial bait. Journal of Chemical
Ecology. 29:477-496.
Gardner EJ, Simmon MJ, Snustad PD. 1991. Population and Evolutionary Genetics.
Chichester Brisbane, New York.
Harrington BA. 2001. Red Knot (Calidris canutus). In The Birds of North America,
No. 563 (A. Poole and F. Gill, eds.). The Birds of North America, Inc.,
Philadelphia, Pennsylvania.
Hebert PDN, Ratnasingham S, De Waard JR. 2003. Barcoding animal life:
cytochrome c oxidase subunit 1 divergences among closely related species.
Proceedings of the Royal Society. 270:96-99.
Hu M, Wang Y, Chen Y, Cheung SG, Shin PKS, Li Q. 2009. Summer distribution
and abundance of juvenile Chinese horseshoe crabs Tachypleus tridentatus
along an intertidal zone in Southern China. Aquatic Biologi. 7:107-112.
Hurton L. 2003. Reducing post-bleeding mortality of horseshoe crabs (Limulus
polyphemus) used in the biomedical industry [Tesis]. Virginia (US): Virginia
Polytechnic Institute and State University.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2015. Red list of
threatened species. www. Iuc-nredlist.org. 18 Mei 2015. Pukul. 18.27 WIB.
Irham M, Yuli SF. 2013. DNA Barcode Fauna Indonesia. Jakarta (ID): KENCANA
Prenadamedia Group.
Ismurwanti C. 1994. Studi awal pengaruh konsentrasi diazinon-60 EC terhadap
perkembangan embrio dan penetasan telur mimi ranti Carcinoscorpius
rotundicauda (Latreille) [Skrpisi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
John BA, Kamaruzzaman BY, Jalal KCA, Zaleha K. 2012. Feeding ecology and
food preferences of Carcinoscorpius rotundicauda collected from the Pahang
nesting grounds. Sains Malaysiana. 41(7):855-861.
Johnson SL, Brockmann HJ. 2010. Costs of multiple mates: an experimental study
in horseshoe crabs. Animal Behaviour. 80:773-782.
Jusuf M. 2001. Genetika I: Struktur dan Ekspresi Gen. Jakarta (ID): Sagung Seto.
Lee CN, Morton B. 2005. Experimentally derived estimates of growht by juvenile
Tachypleus tridentatus and Carcinoscorpius rotundicauda (Xiphosura) from
nursery beaches in Hong Kong. Jurnal Marine Biology Ecology. 318:39-49.
Li HY. 2008. The conservation of horseshoe crabs in Hong Kong [Tesis]. Hong
Kong (HK): City Universitas of Hong Kong.
Kemppainen P, Panova M, Hollander J, Johannesson K. 2009. Complete lack of
mitochondrial divergence between two species of NE Atlantic marine
intertidal gastropods. Journal of Evolutionary Biology. 22:2000-2011.
Muslihah. 2004. Beberapa aspek biologi reproduksi mimi bulan Tachypleus gigas
di perairan Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Mulya MB. 2014. Pelestarian, pemanfaatan sumberdaya genetika mimi ranti
(Carcinosscorpius rotundicauda, L) dan mimi bulan (Tachypleus gigas, M).
© 2004 Digitized by USU digital library.
Mishra JK. 2009. Horseshoe crabs, their eco-biological status along the northeast
coast of India and the necessity for ecological conservation. In: Tanacredi JT
et al. (eds). 2009. Biology and conservation of horseshoecrabs. Springer
Science & Business Media: 89-96.
47
Novitsky TJ, Thomas, Dawson, Michael E, Paus, Erik J. 2002. Artificial bait.
United States Patent: 639-1295.
Novitsky TJ. 1994. Limulus amebocyte lysate (LAL) detection of endotoxin in
human blood. Journal of Endotoxin Research. 1(4):253-263.
Obst M, Faurby S, Bussarawit S, Funch P. 2012. Molecular phylogeny of extant
horseshoe crabs (Xiphosura, Limulidae) indicates Paleogene diversification
of Asian species. Molecular Phylogenetics and Evolution. 62(1):21-26.
Purnomo YA. 1992. Biologi reproduksi mimi ranti Carcinoscorpius rotundicauda
(latreille) betina yang tertangkap di perairan Rembang, Jawa Tengah [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahmalia E. 1995. Pembuahan buatan dan studi awal pengaruh konsentrasi saponin
terhadap perkembangan embrio dan larva mimi bulan Tachypleus gigas
(Muller) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rina. 2001. Keragaman genetik ikan pangasius Indonesia bedasarkan analisis
mtDNA dengan teknik PCR-RFLP [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Rubiyanto E. 2012. Studi populasi mimi (Xiphosura) di perairan Kuala Tungkal
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi [Tesis]. Depok (ID): Universitas
Indonesia.
Santoso AR. 1992. Pemijahan dan perkembangan embrio mimi Tachypleus gigas
(Muller) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Selander RK, Yang SY, Lewontin RC, Johnson WE. 1970. Genetic variation in the
horseshoe crab (Limulus polyphemus), a phylogenetic ‘‘relic’’. Evolution.
24(2):402-414
Sekiguchi K, Shuster Jr CN. 2009. Limits on the global distribution of horseshoe
crabs (Limulacea): Lessons learned from two lifetimes of observation. In:
Tanacredi JT et al. (eds). 2009. Biology and conservation of horseshoe crabs.
Springer Science & Business Media: 5-24.
Sekiguchi K. (ed.). 1988. Biology of the Horseshoe Crabs. Tokyo (JP): Science
House Co. Ltd.
Shin P, Li HY, Cheung SG. 2009. Horseshoe crabs in Hong Kong: Current
population status and human exploitation. In: Tanacredi JT et al. (eds). 2009.
Biology and conservation of horseshoe crabs. Springer Science & Business
Media: 347-360.
Slamat. 2009. Keanekaragaman genetik ikan betok (Anabas testudineus, Bloch)
pada tiga ekosistem perairan rawa di Provinsi Kalimantan Selatan [Tesis].
Bogor (ID): Intitut Pertanian Bogor.
Smith DR. 2007. Effect of horseshoe crab spawning density on nest disturbance and
exhumation of eggs: a simulation study. Estuaries. 30:287-295.
Solihin DD. 1994. Peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keragaman genetik
dan biologi populasi pada hewan. Hayati. 1(1):1-4.
Suparta. 1992. Keragaman sifat-sifat morfometrik mimi, Tachypleus gigas
(MULLER) & Carcinoscorpius rotundicouda (LATREILLE) di perairan
pantai Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat dan perairan pantai Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sutrisno H, Muhammad SAZ, Sri S. 2013. DNA Barcode Fauna Indonesia. Jakarta
(ID): KENCANA Prenadamedia Group.
48
Srijaya TC, Pradeep PJ, Mitun S, Hasan A, Shaharom F, Chatterji A. 2010. A new
record on the morphometric variation in the population of horseshoe crab
(Carcinoscorpius rotundicauda Latreille) obtained from two different
ecological habitats of Peninsular Malaysia. Nature. 8:204-211.
Taylor LC, Lee J, Hsu CC. 2011. Population structure and breeding pattern of the
mangrove horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda in Singapore.
Aquatic Biology. (8):61–69.
Tudge C. 2000. The Variety of Life. New York (US): Oxford University Press.
Vauziyah C. 1995. Perkembangan embrio mimi bulan Tachypleus gigas (Muller)
dari perairan Teluk Banten pada berbagai salinitas media [Skrpisi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Webster M. 2007. A cambrian peak in morphological variation within trilobite
species. Science. 317(5837):499-502.
Walls EL, Berkson J, Smith SA. 2002. The Horseshoe Crab, Limulus polyphemus:
200 million years of existence, 100 years of study. Review Fisheries Sciences.
10:39-73.
Wodajo B. 2015. DNA-barcoding for taxonomical classification: it’s implication
species Identification. International Journal of Multidisciplinary Research
and Information. 1(1):63-74.
Yeo DSA, Ding JL, Ho B. 1996. Neuroblastoma cell culture assay shows that
Carcinoscorpius rotundicauda haemolymph neutralizes tetrodotoxin.
Pergamon. 34(9):1054-1057.
Zadeh SS, Christianus A, Saad CR, Hajeb P, Kamarudin MS. 2011. Comparations
in prosomal width and body weight among early instar stages of Malaysian
Horseshoe crabs, Carcinoscorpius rotundicauda and Tachypleus gigas in the
laboratory. In: Tanacredi JT et al. (eds). 2011. Biology and conservation of
horseshoe crabs. Springer Science & Business Media: 267-274.
49
LAMPIRAN
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Cheliserata
Kelas : Merosomata
Sub Kelas : Xiphosura
Ordo : Xiphosirida
Super Famili : Limuroidea
Famili : Limulidae
Sub Famili : Tachypleinae
Genus1 : Tachypleus
Spesies : 1. Tachypleus tridentatus (Gambar a)
: 2. Tachypleus gigas (Gambar b)
Genus2 : Carcinoscorpius
Spesies : Carcinoscorpius rotundicauda (Gambar c)
h=2n*(1-∑xi2)/2n-1
Keterangan:
h : Keanekaragaman haplotipe
n : Ukuran sampel
xi : Frekuensi haplotipe pada sampel ke-i
50
RIWAYAT HIDUP