Anda di halaman 1dari 67

KAJIAN MORFOLOGI DAN GENETIK MIMI

(XIPHOSURA, LIMULIDAE) SEBAGAI DASAR


KONSERVASI DAN PENGELOLAAN DI PULAU JAWA

LUSITA MEILANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Kajian Morfologi dan
Genetik Mimi (Xiphosura, Limulidae) Sebagai Dasar Konservasi dan Pengelolaan
di Pulau Jawa” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015

Lusita Meilana
NIM C251140226
RINGKASAN

LUSITA MEILANA. Kajian Morfologi dan Genetik Mimi (Xiphosura, Limulidae)


Sebagai Dasar Konservasi dan Pengelolaan di Pulau Jawa. Dibimbing oleh YUSLI
WARDIATNO, NURLISA ALIAS BUTET, dan MAJARIANA KRISANTI.

Mimi atau belangkas merupakan hewan dari famili Limulidae yang dikenal
sebagai living fossils dan di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya genetik
yang dilindungi oleh SK Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Peraturan
Pemerintah RI No. 7/1999. Keberadaan ketiga spesies Asia yaitu Tachypleus gigas
(Muller 1785), Tachypleus tridentatus (Leach 1819), dan Carcinoscorpius
rotundicauda (Lattreille 1802) telah dinyatakan near threatened (2010), threatened
(2014) dan data deficient (2015) oleh IUCN. Kajian mengenai mimi di Indonesia
sangat jarang dilakukan dan belum diketahui dengan jelas status populasinya.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai Juni 2015.
Penelitian menggunakan metode random sampling, mimi yang tertangkap jaring
dibawa ke daratan dan diukur secara hidup-hidup, pengukuran karakteristik
morfologi berupa karakter morfometrik yang meliputi panjang (total, telson, badan,
prosoma, median ringe, depan occeli, marginal spine (I, II, III, IV, V, VI),
ophistoma), tebal ventral messel, lebar maksimum prosoma, jarak antar (mata
majemuk, auriculata spine, marginal proses, sudut posterior, sudut anal), lebar dan
tinggi pertengahan telson, diameter (capit chelicera, capit pedipalpi, capit kaki jalan
(I, II, III, IV)). Sedangkan analisis molekuler meliputi beberapa tahapan
diantaranya yaitu isolasi dan ekstraksi DNA, elektroforesis DNA, amplifikasi dan
visualisasi fragmen DNA, sekuensing DNA, dan PCR-RFLP.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengkaji karakteristik morfologi mimi dari
pesisir Ujung Kulon Banten, Segara Menyan Subang, Semarang, Demak, Rembang,
Pantai Kenjeran Surabaya, dan Campur Rejo Gresik, 2) mengidentifikasi mimi
berdasarkan marka gen COI dan mengetahui haplotipe dengan menggunakan
metode PCR-RFLP di Pulau Jawa (Banten, Segara Menyan Subang, Semarang,
Demak, Rembang, dan Surabaya) sebagai informasi dalam penentuan strategi
pengelolaan dan konservasi mimi di pesisir Pulau Jawa. Penelitian dilaksanakan
pada bulan Oktober 2014 sampai Juli 2015 di lokasi sampling dan Laboratorium
Biologi Molekuler MSP IPB FPIK.
Secara morfologi, C. rotundicauda Subang memiliki ukuran tubuh lebih kecil,
sedangkan Rembang memiliki ukuran rata-rata lebar maksimal prosoma paling
besar. T. gigas Surabaya memiliki ukuran tubuh lebih besar. T. tridentatus Subang
memiliki ukuran tubuh lebih kecil, Gresik memiliki ukuran tubuh lebih besar.
Ukuran tubuh mimi secara berurutan dari yang paling besar T. gigas> T. tridentatus
> C. rotundicauda. Subang merupakan lokasi terbanyak ditemukannya mimi (58
individu), serta memiliki ketiga spesies. Sedangkan Rembang merupakan daerah
terbanyak ditemukannya spesies C. rotundicauda (21 individu).
Identifikasi molekuler T. gigas dari penelitian ini telah menunjukan kepastian
taksonomi (taxonomy certainty). Identifikasi spesies T. tridentatus dan C.
rotundicauda tidak berhasil dengan menggunakan gen CO1. T. tridentatus identik
dengan T. gigas, sedangkan C. rotundicauda perlu dilakukan analisis ulang. PCR-
RFLP dengan menggunakan primer F1 dan F2 dapat diaplikasikan pada ketiga
spesies mimi. Penggunaan enzim restriksi EcoR1 dapat memberikan hasil
pemotongan pita DNA hasil PCR-RFLP.
Terjadi ketidaksinkronan antara hasil molekuler dengan morfologi. Secara
morfologi teridentifikasi tiga spesies sedangkan secara molekuler T. tridentatus
identik dengan T. gigas dan C. rotundicauda perlu dilakukan analisis ulang.
Berdasarkan hasil RFLP diperoleh Demak dapat ditentukan sebagai daerah gen stok
untuk C. rotundicauda, Subang sebagai gen stok T. gigas, dan Semarang untuk T.
tridentatus karena memiliki keanekaragaman haplotipe lebih tinggi dibandingkan
dengan lokasi lain.

Kata kunci: haplotipe, mimi, molekuler, morfologi, Pulau Jawa


SUMMARY

LUSITA MEILANA. Assessment of Horseshoe Crabs (Xiphosura, Limulidae)


Morphology and Genetic as Basis for Conservation and Management in the Java
Island Coast. Supervised by YUSLI WARDIATNO, NURLISA ALIAS BUTET,
and MAJARIANA KRISANTI.

Horseshoe crabs are aquatic biota from the Limulidae family known as living
fossils and in Indonesia as one of the genetic resources that are protected by the
Forestry Ministerial Decree No. 12/Kpts-II/1987 and Government Regulation No.
7/1999. The existence of three Asian species i.e. Tachypleus gigas (Muller 1785),
Tachypleus tridentatus (Leach 1819), and Carcinoscorpius rotundicauda (Lattreille
1802) have been declared as near threatened (2010), threatened (2014) and data
deficient (2015) by IUCN. The study of Indonesian’s Horseshoe crabs is few and
unclear status of the population.
The research was conducted in October 2014 until June 2015. The study was
used random sampling methods, horseshoe crabs that caught by nets brought ashore
and alive measured. The measurement of the morphological characteristics such as
the length (total, telson, body, prosoma, median ringe, front occeli, marginal spine
(I, II, III, IV, V, VI), ophistoma), the thick of ventral messel, the maximum width
of prosoma, the distance between (a compound eye, auriculata spine, marginal
process, posterior edges, corners anal), width and height of the mid-telson, diameter
(chelicera claw, claw pedipalpi, claw foot path (I, II, III, IV)). While, the several
stages of molecular analysis including the DNA isolation and extraction, DNA
electrophoresis, amplification and visualization of DNA fragments, DNA
sequencing, and PCR-RFLP.
The research were aimed at assessing the horseshoe crabs morphological
characters (Ujung Kulon Banten, Segara Menyan Subang, Semarang, Demak,
Rembang, Kenjeran Surabaya, and Campur Rejo Gresik Coast) and identification
based on molecular marker of COI gene (Ujung Kulon Banten, Segara Menyan
Subang, Semarang, Demak, Rembang, and Kenjeran Surabaya). The research was
conducted on October 2014 until July 2015 at the field and Laboratory of Molecular
Biology MSP FPIK IPB.
Morphologically, C. rotundicauda Subang had a smaller body size, while
Rembang had a largest prosoma maximum width. T. gigas Surabaya had bigger
body size. T. tridentatus Subang had a smaller body size, Gresik had bigger body
size. Horseshoe crabs body size in order from greatest to the small T. gigas> T.
tridentatus> C. rotundicauda. Subang was the highest location of the horseshoe
crabs discovery (58) and had three species, Demak also. Rembang was the largest
area of the C. rotundicauda discovery (21).
Molecular identification of T. gigas from this study have shown taxonomy
certainty. Identification of the T. tridentatus and C. rotundicauda did not succeed
by using CO1 gene. T. tridentatus was identical with T. gigas, while C.
rotundicauda need to be re-analyzed. PCR-RFLP using primer F1 and F2 could
applied to three species of horseshoe crabs. The use of restriction enzymes EcoR1
could give results DNA ribbon cutting.
Morphological and molecular inconsistency, morphologically were identified
three species. But molecularly, T. tridentatus identical with T. gigas, whereas C.
rotundicauda need to be re-analyzed. Based on the RFLP results obtained that
Demak could be defined as a region gene stock for C. rotundicauda, Subang as the
gene stock of T. gigas, and Semarang for T. tridentatus because they had a higher
haplotype diversity compared to other location.

Keywords: haplotype, horseshoe crabs, Java, molecular, morphology


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN MORFOLOGI DAN GENETIK MIMI
(XIPHOSURA, LIMULIDAE) SEBAGAI DASAR
KONSERVASI DAN PENGELOLAAN DI PULAU JAWA

LUSITA MEILANA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc
PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Kajian Morfologi dan Genetik Mimi
(Xiphosura, Limulidae) Sebagai Dasar Konservasi dan Pengelolaan di Pulau Jawa”.
Tesis ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2014
sampai Juni 2015 dan berlokasi di pesisir Pulau Jawa. Terima kasih penulis ucapkan
kepada :
1 Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan studi kepada
penulis.
2 Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc; Dr Ir Nurlisa A Butet, MSc; dan Dr Majariana
Krisanti, SPi MSi selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan
bimbingan, saran, dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan
tesis.
3 Dr Ir Isdradjad Setyobudiandi, MSc selaku penguji tamu dan Dr Ir Sigid
Hariyadi, MSc selaku ketua program studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan
atas saran dan masukan yang berarti.
4 Keluarga penulis, Bapak Sutiyo, Ibu Dwi Setiya Wati, kakak Novita Sastrawati,
serta keluarga besar penulis di Lampung, Jakarta, dan Palembang yang telah
memberikan motivasi moril serta materil untuk menyelesaikan studi.
5 Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc dan PPLH yang telah memberikan bantuan dana
penelitian.
6 Laboratorium Biologi Mikro 1, Laboratorium Biologi Makro, Laboratorium
Biologi Molekuler Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, dan
Laboratorium terpadu FPIK, Institut Pertanian Bogor.
7 Lukman Guam Hakim, Agus Alim Hakim, Febi Ayu Pramithasari, Yuyun
Qonita, Khoirul Marom, Rizal Zakaria, Mudhofar Susanto, dan para nelayan
atas bantuan saat penelitian di lapangan. Rana, Rinrin, dan teman-teman MSP 47
lainnya yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
8 Kak Panji, kak Wahyu, bang Reiza, mbak Yanti, mbak Mega, bang Samsul, mas
Arif, mbk Fajrin, mbak Lita, mbak Yustin, mbak Lela, kk Findra, yang telah
banyak membantu dalam menyelesaikan penelitian.
9 Teman-teman Fast track MSP 2014 yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan dan penyusunan tesis.
10 Teman-teman SDP 2013 yang telah memberikan semangat dan dukungan
kepada penulis.
11 Serta pihak lain yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun
demikian, penulis berharap agar tesis ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu
pengetahuan dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2015

Lusita Meilana
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vii
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 4
Manfaat Penelitian 4
2. KEANEKARAGAMAN MORFOLOGI MIMI YANG DITEMUKAN
DI PESISIR PULAU JAWA
Abstract 5
Pendahuluan 5
Metode 7
Hasil dan Pembahasan 11
Simpulan dan Saran 22
Daftar Pustaka 23
3. IDENTIFIKASI MIMI YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN
PESISIR PULAU JAWA BERDASARKAN MARKA GEN CO1
Abstract 26
Pendahuluan 26
Metode 28
Hasil dan Pembahasan 30
Simpulan dan Saran 38
Daftar Pustaka 38
4. PEMBAHASAN UMUM 41
5. SIMPULAN DAN SARAN 44
DAFTAR PUSTAKA 44
LAMPIRAN 49
RIWAYAT HIDUP 51
DAFTAR TABEL

1. Rincian jumlah mimi yang tertangkap selama penelitian 12


2. Perbandingan karakter morfometrik Carcinoscorpius rotundicauda pada
lokasi Semarang, Demak, Rembang, Gresik, Surabaya, dan Subang 15
3. Konektivitas antar lokasi Carcinoscorpius rotundicauda berdasarkan 27
karakter yang telah dirasiokan 16
4. Perbandingan karakter morfometrik Tachypleus gigas pada lokasi
Semarang, Demak, Surabaya, Subang, dan Banten 17
5. Konektivitas antar lokasi Tachypleus gigas berdasarkan 27 karakter yang
telah dirasiokan 18
6. Perbandingan karakter morfometrik Tachypleus tridentatus pada lokasi
Semarang, Gresik, Subang, dan Banten 19
7. Konektivitas antar lokasi Tachypleus tridentatus berdasarkan 27 karakter
yang telah dirasiokan 21
8. Matriks jarak genetik fragmen gen CO1 pada tiga spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas)
dari famili Limulidae dari lokasi Banten, Subang, Semarang, Demak,
Rembang, dan Surabaya. 32
9. Keragaman haplotipe pada tiga spesies mimi (Carcinoscorpius
rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas) dari Banten, Subang,
Semarang, Demak, Rembang, dan Surabaya 33
10. Haplotipe ketiga spesies mimi (Carcinoscorpius rotundicauda,
Tachypleus tridentatus, dan T. gigas) 35

DAFTAR GAMBAR
1. Mimi yang menjadi bycatch nelayan rajungan dan mimi merusak jaring
nelayan di Segara Menyam Subang 3
2. Diagram alir perumusan masalah kajian morfologi dan genetik mimi
(Xiphosura, Limulidae) sebagai dasar konservasi dan pengelolaan di
Pulau Jawa 4
3. Peta lokasi pengambilan sampel mimi di sepanjang pesisir Pulau Jawa 7
4. Ketiga spesies mimi secara berurutan dari kiri ke kanan Tachypleus
tridentatus, T. gigas, dan Carcinoscorpius rotundicauda 8
5. Pengambilan sampel mimi dengan menggunakan jaring nelayan 8
6. Karakter morfometrik mimi yang diukur pada penelitian ini 9
7. Perbedaan antara mimi jantan (a) dan betina (b) berdasarkan ciri
morfologi 9
8. Perbedaan telson pada genus Carcinoscorpius (a) dan genus Tachypleus
(b) 10
9. Perbedaan warna pada Tachypleus tridentatus (kiri) dan T. gigas (kanan) 10
10. Duri badan Tachypleus tridentatus (a) dan T. gigas (b) 11
11. Sebaran spesies Tachypleus gigas, T. tridentatus, dan Carcinoscorpius
rotundicauda di pesisir Banten, Subang, Semarang, Demak, Rembang,
Gresik, dan Surabaya 12
12. Variasi geografis ukuran tubuh mimi, diukur pada lebar maksimal
prosoma ke tiga spesies 13
13. Variasi geografis ukuran tubuh mimi, diukur pada panjang Badan ke tiga
spesies 13
14. Konstruksi pohon fenetik spesies Tachypleus gigas, T. tridentatus, dan
Carcinoscorpius rotundicauda berdasarkan 14 karakter morfologi 14
15. Dendrogram karakter morfometrik Carcinoscorpius rotundicauda pada
daerah Semarang, Demak, Rembang, Gresik, Surabaya, dan Subang 16
16. Dendrogram karakter morfometrik Tachypleus gigas pada daerah
Semarang, Demak, Subang, Banten, Surabaya 18
17. Dendrogram karakter morfometrik Tachypleus tridentatus pada daerah
Semarang, Banten, Gresik, dan Surabaya 20
18. Peta lokasi pengambilan mimi di Pulau Jawa 28
19. Visualisasi DNA hasil pre-tes produk PCR pada gel agarosa 0,8 %.
Kolom kiri sampai kanan: marker 1 kb, 1) Tt SBG, 2) Cr SBG, 3) Tg
SMG, 4) Tt SMG, 5) Tg DMK, 6) Cr DMK, 7) Cr RMG, 8) Tg SRB, 9)
Tg SBG, 10) Tg BTN 31
20. Konstruksi pohon filogeni berdasarkan gen CO1 pada tiga spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas)
dari famili Limulidae 33
21. Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoR1. 1= Marker, 2-
6= Tg Demak, 7-10= Tg Subang, 11-13= Tg Semarang 34
22. Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoR1. 1= Marker, 2-
8= Cr Demak, 9-13= Cr Subang 34
23. Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoR1. 1= Marker, 2-
5= Cr Rembang, 6-10= Tt Subang, 11= Tt Semarang, 12= Tg Surabaya,
13= Tg Banten 34
24. Ilustrasi tipe digesti yang terbentuk dari ke-3 spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas) 35

DAFTAR LAMPIRAN

1. Klasifikasi tiga spesies mimi a) Tachypleus tridentatus, b) T. gigas, dan c)


Carcinoscorpius rotundicauda menurut Sekiguchi (1998) 49
2. Formula menghitung keanekaragaman haplotipe 49
3. Komposisi basa nukleotida mimi (Tachypleus tridentatus, T. gigas, dan
Carcinoscorpius rotundicauda) 50
4. Basa nukleotida spesifik mimi (Tachypleus tridentatus, T. gigas, dan
Carcinoscorpius rotundicauda) dengan outgroups 50
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mimi atau belangkas merupakan hewan dari famili Limulidae yang dikenal
sebagai living fossils dan phylogenetic relicts (Selander et al. 1970). Hewan ini telah
mengalami diversifikasi sejak zaman paleogene (65-23 Mya) (Obst et al. 2012) dan
di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya genetik yang dilindungi (SK
Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Peraturan Pemerintah RI No. 7/1999)
(Mulya 2004; Rubiyanto 2012). Hingga saat ini, empat spesies mimi yang masih
ada di dunia, yaitu Limulus polyphemus (Linnaeus 1758) hanya terdapat di pantai
Atlantik Amerika Utara (Walls et al. 2002), dan ke-3 lainnya merupakan spesies
Asia yaitu Tachypleus gigas (Muller 1785), Tachypleus tridentatus (Leach 18192),
dan Carcinoscorpius rotundicauda (Lattreille 1802) (Christianus & Saad 2007; Lee
& Morton 2005). Keberadaan ketiga spesies Asia tersebut dinyatakan near
threatened oleh IUCN (2010), threatened (2014) dan data deficient (2015).
Sedangkan untuk L. polyphemus adalah lower risk/near threatened berdasarkan
IUCN (2015). Klasifikasi ketiga spesies dapat dilihat pada Lampiran 1.
Mimi merupakan hewan yang memiliki peranan penting, baik secara ekonomi
maupun ekologi. Secara ekonomi, mimi dimanfaatkan sebagai hewan umpan untuk
menangkap ikan sembilang (Euristhmus microceps) di Perairan Kuala Tungkal
Jambi (Rubiyanto 2012), belut (Anguilla rostrata), siput besar (Ferari & Targett
2003), dan whelk (Busycon carica dan B. canaliculatum) (Novitsky et al. 2002).
Ratusan mimi setiap minggunya ditangkap di Sadeli Kechil dan Johor pantai timur
Malaysia dan diekspor ke Thailand (Christianus & Saad 2007). T. tridentatus di
Hong Kong menjadi makanan dijual di restoran (Shin et al. 2009), sedangkan di
Thailand dan Malaysia, ketiga spesies mimi Asia ini dikonsumsi sebagai makanan
eksklusif (Christianus & Saad 2007). Peranan mimi di bidang medis yaitu
haemolymph dari C. rotundicauda dapat menetralisir Tetrodotoxin (TTX) (Yeo et
al. 1996). Sel darah L. polyphemus digunakan oleh industri medis untuk
mensterilkan produk medis dan farmasi (Hurton 2003) karena dalam darahnya
mengandung Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang dapat mendeteksi endotoksin
pada darah manusia begitu juga dengan genus Tachypleus menghasilkan
Tachyplesin Amoebocyt Lysate (TAL) yang dapat mendeteksi endotoksin bakteri
gram negatif, mendeteksi endotoksin darah manusia, dan menguji obat bahwa bebas
dari bakteri patogen sebelum dikonsumsi oleh manusia (Novitsky 1994). Sel darah
C. rotundicauda sebagai imun aktif saat terjadi infeksi (Ding et al. 2005) dan
menghasilkan Carcinoscorpius Amoebocyt Lysate (CAL) (Novitsky 1994).
Secara ekologi, mimi memiliki peranan dalam penyeimbang rantai makanan
dan sebagai sumber protein bagi setidaknya 20 spesies burung pantai yang
bermigrasi (Dietl et al. 2000; Harrington 2001; Beekey et al. 2013). Mimi juga
berperan sebagai bioturbator dan mengendalikan hewan bentik invertebrata (Smith
2007; John et al. 2012). Selain itu, mimi juga dikonsumsi oleh monyet mangrove
(Macaca fascicularis) (Rubiyanto 2012).
Mimi mempunyai risiko kepunahan yang tinggi akibat adanya degradasi
habitat, reklamasi, pencemaran, perburuan komersial (Mishra 2009), hilangnya
habitat dan sumber makanan, perubahan kondisi air, serta peningkatan predasi (Hu
2

et al. 2009). Seperti yang terjadi di India, Hong Kong, dan Singapura (Shin et al.
2009; Taylor et al. 2011). Tahun 1990 populasi mimi Tachypleus gigas di
Balramgari India tercatat sebanyak 306 individu yang didapat dalam transek
sepanjang 200 meter (Chatterji et al. 1992) dan pada tahun 1996 jumlah
populasinya menurun menjadi 220 individu. Begitu pula di Hong Kong,
pengamatan pada bulan Mei-Desember 2002 tercatat densitas juvenil T. tridentatus
di Pak Nai adalah 197 individu/ha dan dua lokasi di Hak Pak Nai adalah 155
individu/ha dan 114 individu/ha (Chiu & Morton 2004) dan pada September 2004-
Februari 2005 tercatat densitasnya adalah 8 individu/ha, 16 individu/ha, dan 23
individu/ha (Li 2008). Kategori rendahnya kepadatan mimi juga terjadi di salah satu
perairan Indonesia yaitu di Perairan Kuala Tungkal, kepadatan mimi C.
rotundicauda dan T. gigas terhitung masing-masing 62 individu/ha dan 2
individu/ha (Rubiyanto 2012).
Penelitian terkait mimi telah banyak dilakukan di berbagai negara, namun di
Indonesia penelitian mengenai genetik mimi masih sangat jarang dilakukan.
Penelitian mimi di Indonesia diantaranya aspek biologi reproduksi (Fachrul 1989;
Eidman 1992; Purnomo 1992; Eidman 1997; Mulya 2004; Muslihah 2004),
Perkembangan embrio (Santoso 1992; Balasani 1994; Ismurwanti 1994; Rahmalia
1995; Vauziyah 1995), morfometrik (Suparta 1992), dan studi populasi mimi
(Rubiyanto 2012).
Genetika molekuler dibutuhkan terkait dengan ketepatan mengidentifikasi
spesies dan mendukung hasil identifikasi berdasarkan sifat morfologi. Identifikasi
suatu organisme mulai spesies hingga subspesies secara akurat terhadap berbagai
spesies yang sulit dibedakan secara morfologi dapat menggunakan DNA barcoding
(Tudge 2000). Salah satu kelompok gen yang dapat dijadikan sebagai marka
molekuler untuk penentuan spesies adalah gen Cythocrome Oxsydase subunit I
(COI) pada DNA mitokondria (Solihin 1994). COI pada mitokondria merupakan
gen yang berevolusi cepat dibandingkan gen 12S rRNA dan 16S rRNA. Gen
tersebut memiliki variasi yang sedikit sehingga dapat digunakan sebagai DNA
barcoding serta sedikit mengalami delesi dan insersi dalam sekuennya (Hebert et
al. 2003).

Perumusan Masalah

Keberadaan populasi mimi dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya


yaitu keberadaan kondisi lingkungan, eksploitasi, kegiatan antropogenik, dan
karakter daur hidup. Kondisi habitat yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya
keragaman morfologi (penciri stok) antar wilayah yang berbeda juga, hal ini adalah
bentuk adaptasi mimi sesuai dengan kondisi lingkungannya. Karakter siklus hidup
yaitu adanya stadia meroplankton ditambah perairan pesisir yang terbuka
menyebabkan peluang terjadinya pertukaran genotip, adanya sharing habitat dan
konektivitas. Faktor lain yaitu tingkat eksploitasi dan kegiatan antropogenik,
kondisi mimi di Indonesia saat ini berdasarkan hasil survei salah satu wilayah
pesisir yaitu Blanakan Subang, berdasarkan komunikasi dan pengamatan dengan
nelayan sekitar pemanfaatan mimi di daerah Subang belum banyak yaitu di
konsumsi oleh masyarakat sekitar (sangat jarang), hal ini disebabkan adanya
keterbatasan pengetahuan mengenai manfaat mimi serta teknologi dalam
3

pengelolaannya. Padahal, di Amerika mimi sangat berperan penting dalam bidang


kesehatan dan kuliner. Berdasarkan hasil wawancara pada nelayan mimi hanya by
catch yang tertangkap dan biasanya mati terbuang saat pengambilan organisme
target (sortir) dari jaring yang dilakukan di darat, mimi juga dianggap sebagai hama
yang mengganggu dan merusak jaring nelayan khususnya nelayan rajungan
(Gambar 1). Selain itu, pada hari raya untuk mainan anak-anak dalam kondisi
hidup-hidup di Pondok Bali tempat wisata (hari-hari tertentu untuk mainan).
Baru baru ini, secara ekonomis mimi di Subang di ekspor ke Jepang dengan
agen pembeli dari Medan, namun hanya bulan dan masa pemijahan saja, serta hanya
mimi yang berkualitas yaitu mimi dengan ukuran besar, dan betina dengan diameter
telur besar. Belum ada peraturan yang mengatur tentang penangkapan mimi
ataupun bentuk pengelolaan khusus dari pemerintah lokal hingga saat ini.

Gambar 1 Mimi yang menjadi bycatch nelayan rajungan dan mimi merusak jaring
inelayan di Segara Menyam Subang

Mimi di daerah Subang tidak diperjualbelikan di pasar. Ketidaktertarikan


masyarakat terhadap mimi yang memiliki sedikit daging dan sulitnya dalam
mengelola menjadi bahan makanan. Dipihak lain, menurut para nelayan mimi di
daerah ini telah mengalami penurunan akibat degradasi lingkungan, sekitar tahun
1900-an mimi masih sangat melimpah namun pada tahun 2000-an telah mengalami
penurunan yang sangat signifikan. Penurunan ini terjadi bukan karena pemanfaatan
secara berlebih, karena pada faktanya mimi tidak begitu dimanfaatkan di daerah ini,
tapi lebih disebabkan karena degradasi lingkungan akibat kegiatan antropogenik.
Kegiatan ini mampu merubah habitat mimi, misal dari tekstur substrat, kualitas
perairan ataupun faktor lainnya.
Adanya faktor di atas, maka diperlukan informasi mengenai sumberdaya
mimi yang masih sangat terbatas di Indonesia. Perlu dilakukan kajian keragaman
fenotip dan genotip mimi untuk mendapatkan data mengenai sumberdaya mimi
sebagai upaya dalam menentukan pengelolaan dan konservasi mimi di Pesisir Pulau
Jawa. Berikut merupakan diagram alir perumusan masalah (Gambar 2).
4

Gambar 2 Diagram alir perumusan masalah kajian morfologi dan genetik mimi
(Xiphosura, Limulidae) sebagai dasar konservasi dan pengelolaan di
Pulau Jawa

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengkaji karakteristik morfologi mimi (dari


pesisir Ujung Kulon Banten, Segara Menyan Subang, Semarang, Demak, Rembang,
Pantai Kenjeran Surabaya, dan Campur Rejo Gresik) dan 2) mengidentifikasi mimi
berdasarkan marka gen COI dan mengetahui haplotipe dengan menggunakan
metode PCR-RFLP (dari Ujung Kulon Banten, Segara Menyan Subang, Semarang,
Demak, Rembang, dan Pantai Kenjeran Surabaya) sebagai informasi dalam
penentuan strategi pengelolaan dan konservasi mimi di pesisir Pulau Jawa. Hasil
penelitian ini dibagi menjadi dua makalah untuk mempermudah dalam pemaparan
pencapaian tujuan diatas.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah mengenai


keanekaragaman mimi di Indonesia, karakter morfologi, serta ketepatan identifikasi
yang dapat menunjang perencanaan pengelolaan habitat, terhadap keberlangsungan
mimi.
5

2 KEANEKARAGAMAN MORFOLOGI MIMI YANG


DITEMUKAN DI PESISIR PULAU JAWA

Lusita Meilana, Yusli Wardiatno, Nurlisa A Butet, Majariana Krisanti


Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Email: lusitameilana@yahoo.co.id

ABSTRACT

Horseshoe crabs are distributed widely in Indonesian waters, and there are
three common species inhabiting coastal waters of Java Island. The research was
aimed at assessing the horseshoe crabs morphological characters (Ujung Kulon
Banten, Segara Menyan Subang, Semarang, Demak, Rembang, Kenjeran Surabaya,
and Campur Rejo Gresik Coast). A total of 27 parameters in a ratio used to
determine connectivity and character identifier. Data were tested using non-
parametric analysis. C. rotundicauda Subang had a smaller body size, while
Rembang had a largest prosoma maximum width. T. gigas Surabaya had bigger
body size. T. tridentatus Subang had a smaller body size, Gresik had bigger body
size. Horseshoe crabs body size in order from greatest to the small T. gigas> T.
tridentatus> C. rotundicauda. Subang was the highest location of the horseshoe
crabs discovery (58) and had three species, Demak also. Rembang was the largest
area of the C. rotundicauda discovery (21). The results obtained based on
morphological characters that individual was classified as an original individual
from each location.

Keywords: horseshoe crabs, Java Island, morphology

PENDAHULUAN

Mimi atau belangkas merupakan hewan dari famili Limulidae yang dikenal
sebagai living fossils dan phylogenetic relicts (Selander et al. 1970). Hewan ini telah
mengalami diversifikasi sejak zaman paleogene (65-23 Mya) (Obst et al. 2012) dan
di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya genetik yang dilindungi (SK
Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Peraturan Pemerintah RI No. 7/1999)
(Mulya 2004; Rubiyanto 2012). Hingga saat ini, empat spesies mimi yang masih
ada di dunia, yaitu Limulus polyphemus (Linnaeus 1758) hanya terdapat di pantai
Atlantik Amerika Utara (Walls et al. 2002), dan ke-3 lainnya merupakan spesies
Asia yaitu Tachypleus gigas (Muller 1785), Tachypleus tridentatus (Leach 18192),
dan Carcinoscorpius rotundicauda (Lattreille 1802) (Christianus & Saad 2007; Lee
& Morton 2005). Keberadaan ketiga spesies Asia tersebut dinyatakan near
threatened oleh IUCN (2010), threatened (2014) dan data deficient (2015).
Sedangkan untuk L. polyphemus adalah lower risk/near threatened berdasarkan
IUCN (2015).
6

Mimi merupakan hewan yang memiliki peranan penting, baik secara ekonomi
maupun ekologi. Secara ekonomi, mimi dimanfaatkan sebagai hewan umpan untuk
menangkap ikan sembilang (Euristhmus microceps) di Perairan Kuala Tungkal
Jambi (Rubiyanto 2012), belut (Anguilla rostrata), siput besar (Ferari & Targett
2003), dan whelk (Busycon carica dan B. canaliculatum) (Novitsky et al. 2002).
Ratusan mimi setiap minggunya ditangkap di Sadeli Kechil dan Johor pantai timur
Malaysia dan diekspor ke Thailand (Christianus & Saad 2007). T. tridentatus di
Hong Kong menjadi makanan dijual di restoran (Shin et al. 2009), sedangkan di
Thailand dan Malaysia, ketiga spesies mimi Asia ini dikonsumsi sebagai makanan
eksklusif (Christianus & Saad 2007). Peranan mimi di bidang medis yaitu
haemolymph dari C. rotundicauda dapat menetralisir Tetrodotoxin (TTX) (Yeo et
al. 1996). Sel darah L. polyphemus digunakan oleh industri medis untuk
mensterilkan produk medis dan farmasi (Hurton 2003) karena dalam darahnya
mengandung Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang dapat mendeteksi endotoksin
pada darah manusia begitu juga dengan genus Tachypleus menghasilkan
Tachyplesin Amoebocyt Lysate (TAL) yang dapat mendeteksi endotoksin bakteri
gram negatif, mendeteksi endotoksin darah manusia, dan menguji obat bahwa bebas
dari bakteri patogen sebelum dikonsumsi oleh manusia (Novitsky 1994). Sel darah
C. rotundicauda sebagai imun aktif saat terjadi infeksi (Ding et al. 2005) dan
menghasilkan Carcinoscorpius Amoebocyt Lysate (CAL) (Novitsky 1994).
Secara ekologi, mimi memiliki peranan dalam penyeimbang rantai makanan
dan sebagai sumber protein bagi setidaknya 20 spesies burung pantai yang
bermigrasi (Dietl et al. 2000; Harrington 2001; Beekey et al. 2013). Mimi juga
berperan sebagai bioturbator dan mengendalikan hewan bentik invertebrata (Smith
2007; John et al. 2012). Selain itu, mimi juga dikonsumsi oleh monyet mangrove
(Macaca fascicularis) (Rubiyanto 2012).
Mimi mempunyai risiko kepunahan yang tinggi akibat adanya degradasi
habitat, reklamasi, pencemaran, dan perburuan komersial (Mishra 2009), hilangnya
habitat dan sumber makanan, perubahan kondisi air, serta peningkatan predasi (Hu
et al. 2009). Seperti yang terjadi di India, Hong Kong, dan Singapura (Shin et al.
2009; Taylor et al. 2011). Tahun 1990 populasi mimi Tachypleus gigas di
Balramgari India tercatat sebanyak 306 individu yang didapat dalam transek
sepanjang 200 meter (Chatterji et al. 1992) dan pada tahun 1996 jumlah
populasinya menurun menjadi 220 individu. Begitu pula di Hong Kong,
pengamatan pada bulan Mei-Desember 2002 tercatat densitas juvenil T. tridentatus
di Pak Nai adalah 197 individu/ha dan dua lokasi di Hak Pak Nai adalah 155
individu/ha dan 114 individu/ha (Chiu & Morton 2004) dan pada September 2004-
Februari 2005 tercatat densitasnya adalah 8 individu/ha, 16 individu/ha, dan 23
individu/ha (Li 2008). Kategori rendahnya kepadatan mimi juga terjadi di salah satu
perairan Indonesia yaitu di Perairan Kuala Tungkal, kepadatan mimi C.
rotundicauda dan T. gigas terhitung masing-masing 62 individu/ha dan 2
individu/ha (Rubiyanto 2012).
Menurut Webster (2007) alat yang efektif digunakan untuk mempelajari
perubahan dan variasi bentuk tubuh suatu organisme yaitu melalui kajian
morfometrik. Morfometrik merupakan salah satu bentuk mekanisme adaptasi
terhadap perbedaan karakter habitat. Adaptasi morfologi yang dilakukan dapat
menyebabkan munculnya karakteristik morfologi yang berbeda. Perbedaan
karakter morfologi ini dapat dijadikan sebagai penciri stok dari suatu populasi mimi
7

pada masing-masing habitat. Berdasarkan penelitian-penelitian terkait mimi yang


telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa belum adanya kejelasan mengenai
status populasi mimi yang ada di Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian
awal yang mendasar untuk mengawali kajian populasi yaitu dengan melihat
karakter mimi yang ada di Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini akan dilakukan
pengukuran terhadap beberapa karakter mimi pada lokasi yang berbeda yaitu Ujung
Kulon Banten, Segara Menyan Subang, Semarang, Demak, Rembang, Pantai
Kenjeran Surabaya, dan Campur Rejo Gresik untuk melihat variasi karakter
morfologi mimi pada suatu populasi.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai Juni 2015 dengan
pengambilan sampel pada enam lokasi yaitu Ujung Kulon Banten, Segara Menyan
Subang, Semarang, Demak, Rembang, Pantai Kenjeran Surabaya, dan Campur
Rejo Gresik sebagi perwakilan sepanjang pantai Pulau Jawa (Gambar 3). Analisis
morfometrik dilaksanakan di Laboratorium Biologi Makro 1 Departemen
Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor dan di lokasi sampling.

Gambar 3 Peta lokasi pengambilan sampel mimi di sepanjang pesisir Pulau Jawa.
8

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu kapal nelayan dan
jaring udang, penggaris, caliper, sheet, timbangan digital, gunting, kamera, meteran,
dan ketiga spesies mimi yang ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4 Ketiga spesies mimi secara berurutan dari kiri ke kanan Tachypleus
tridentatus, T. gigas, dan Carcinoscorpius rotundicauda

Cara Kerja

Penelitian menggunakan metode random sampling, contoh mimi diambil


dengan menggunakan jaring yang dijalankan oleh kapal nelayan atau langsung
diambil dengan tangan (Gambar 5). Mimi yang tertangkap jaring dibawa ke daratan
dan diukur secara hidup-hidup, pengukuran karakteristik morfologi berupa karakter
morfometrik yang meliputi panjang (total, telson, badan, prosoma, median ringe,
depan occeli, marginal spine (I, II, III, IV, V, VI), ophistoma), tebal ventral messel,
lebar maksimum prosoma, jarak antar (mata majemuk, auriculata spine, marginal
proses, sudut posterior, sudut anal), lebar dan tinggi pertengahan telson, diameter
(capit chelicera, capit pedipalpi, capit kaki jalan (I, II, III, IV)). Identifikasi
berdasarkan Sekiguchi & Shuster (2009) dalam buku berjudul Biology and
Conservation of Horseshoe Crabs yang membedakan mimi dari morfologi telson
serta duri pada ophistoma.

Gambar 5 Pengambilan sampel mimi dengan menggunakan jaring nelayan


9

Gambar 6 Karakter morfometrik mimi yang diukur pada penelitian ini


Karakter morfometrik mimi yang telah diukur (Gambar 6) diantaranya yaitu
XX1 merupakan karakter ukuran tubuh (1. Panjang total (X1), 2. Panjang telson
(X2), 3. Panjang badan (X3), 4. Panjang prosoma (X4), 5. Panjang median ridge
(X5), 6. Panjang depan occeli (X6), 7. Panjang ophistoma (X7), 8. Tebal ventral
messel (X8), 9. Lebar maksimum prosoma (X9), 10. Jarak antar mata majemuk
(X10), 11. Jarak antar auriculata spine (X11), 12. Jarak antar marginal process
(X12), 13. Jarak antar sudut posterior (X13), 14. Jarak antar sudut anal (X14), 15.
Tinggi pertengahan telson (X15), 16. Lebar pertengahan telson) (X16). XX2
merupakan karakter ukuran anggota tubuh (17. Panjang marginal spine 1 (X17), 18.
Panjang marginal spine II (X18), 19. Panjang marginal spine III (X19), 20. Panjang
marginal spine IV (X20), 21. Panjang marginal spine V (X21), 22. Panjang
marginal spine VI (X22), 23. Diameter capit chelicera (X23), 24. Diameter capit
pedipalpi (X24), 25. Diameter capit kaki jalan I (X25), 26. Diameter capit kaki jalan
II (X26), 27. Diameter capit kaki jalan III (X27), 28. Diameter capit kaki jalan IV
(X28)). Setelah dilakukan pengukuran mimi kemudian dilepaskan kembali.
Berikut merupakan ciri yang membedakan antara mimi jantan dan betina
yang ditunjukkan oleh Gambar 7:

(a) (b)
Gambar 7 Perbedaan antara mimi jantan (a) dan betina (b) berdasarkan ciri
morfologi
10

Secara morfologi mimi dapat diidentifikasi melalui bentuk telson, warna, dan
duri ophistoma. Telson pada genus Carcinoscorpius (gambar 8a) tidak berduri
sedangkan pada genus Tachypleus (gambar 8b) berduri.

(a) (b)
Gambar 8 Perbedaan telson pada genus Carcinoscorpius (a) dan genus Tachypleus
(b)

T. gigas dan T. tridentatus dapat dibedakan dari warna dan duri ophistoma, T.
gigas berwarna coklat kehitaman sedangkan T. tridentatus memiliki warna coklat
kehijauan (Gambar 9).

Gambar 9 Perbedaan warna pada Tachypleus tridentatus (kiri) dan T. gigas (kanan)
Setelah dilihat dari duri pada telson dan warna, maka tahapan identifikasi
selanjutnya yaitu melihat duri pada ophistoma. T. tridentatus memiliki tiga duri
yang nampak pada ophistoma sedangkan pada T. gigas tidak begitu nampak.
Perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.
11

(a) (b)
Gambar 10 Duri badan Tachypleus tridentatus (a) dan T. gigas (b)

Analisis Data

Analisis data karakter morfologi diantaranya membentuk konstruksi pohon


fenetik berdasarkan 14 karakter morfologi dengan aplikasi PAUP. Sedangkan
analisis statistik yang digunakan yaitu uji Kruskal-Wallis untuk komparasi karakter
morfometrik di semua wilayah dengan aplikasi SPSS 17, uji Mann-Whitney untuk
mengetahui karakter penciri bagi masing-masing populasi mimi antar populasi
dengan SPSS 17, analisis Multinomial logistic yaitu untuk mengetahui konektivitas
antar lokasi dengan SPSS 16. Analisis kluster untuk melihat kelompok-kelompok
yang terbentuk berdasarkan karakter morfometrik yang diukur dengan SPSS 16.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Jumlah Mimi Tertangkap


Sebanyak 216 ekor mimi dianalisis selama penelitian. Jumlah mimi yang
diperoleh adalah jumlah yang tertangkap saat pengambilan sampel dengan rincian
jantan dan betina. T. gigas ditemukan sebanyak 6 ekor jantan pada daerah Banten,
19 ekor betina pada daerah Subang, 1 ekor jantan dan 2 ekor betina pada daerah
Semarang, 10 ekor jantan dan 13 betina pada daerah Demak, 7 ekor jantan dan 4
betina pada daerah Surabaya, sedangkan daerah Rembang dan Gresik tidak
ditemukan spesies ini. T. tridentatus ditemukan 11 ekor betina pada daerah Banten,
17 ekor betina pada daerah Subang, 2 ekor betina pada daerah Semarang, 3 ekor
betina pada daerah Gresik, sedangkan pada daerah Demak, Rembang, dan Surabaya
tidak ditemukan. Sedangkan C. rotundicauda adalah spesies yang paling sering
ditemukan hampir disemua lokasi, kecuali pada daerah Banten. C. rotundicauda
ditemukan sebanyak 4 ekor jantan dan 18 ekor betina pada daerah Subang, 2 ekor
betina di daerah Semarang, 2 ekor jantan dan 4 ekor betina di daerah Demak, 18
ekor jantan dan 3 ekor betina di daerah Rembang, 9 ekor jantan dan 20 ekor betina
di daerah Gresik, 37 ekor jantan dan 4 ekor betina di daerah Surabaya (Gambar 11
& Tabel 1).
12

Gambar 11 Sebaran spesies Tachypleus gigas, T. tridentatus, dan Carcinoscorpius


rotundicauda di pesisir Banten, Subang, Semarang, Demak, Rembang,
Gresik, dan Surabaya

Tabel 1 Rincian jumlah mimi yang tertangkap selama penelitian

Lokasi T. gigas T. tridentatus C. rotundicauda Total


sampling Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina (ekor)
Banten 6 - - 11 - - 17
Subang - 19 - 17 4 18 58
Semarang 1 2 - 2 - 2 7
Demak 10 13 - - 2 4 29
Rembang - - - - 18 3 21
Gresik - - - 3 9 20 32
Surabaya 7 4 - - 37 4 52
Total 216

Mimi memiliki ukuran yang bervariasi berdasarkan letak geografis,


berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh suparta (1992). Sebanyak 28
karakter morfologi yang diukur, 3 diantaranya lebar maksimal prosoma, panjang
badan (panjang prosoma dan ophistoma) merupakan parameter yang dapat
dijadikan pembeda spesies mimi. Berdasarkan lebar maksimal prosoma dan
panjang badan ketiga spesies, secara keseluruhan diperoleh spesies yang memiliki
ukuran paling besar hingga kecil secara berurutan yaitu T. gigas, T. tridentatus, dan
C. rotundicauda (Gambar 12 & 13). T. gigas Semarang memiliki ukuran lebar
maksimal prosoma dan panjang badan paling besar dan hampir sama dengan T.
13

gigas yang berasal dari Demak memiliki ukuran hampir sama untuk daerah Banten,
Subang, dan Surabaya. T. tridentatus pada daerah Semarang memiliki ukuran lebar
maksimal prosoma dan badan paling besar, sedangkan Banten, Subang, dan Gresik
memiliki ukuran yang hampir sama. C. rotundicauda Semarang, Subang, dan
Demak memiliki ukuran lebih besar dibandingkan dengan Gresik, Rembang, dan
Surabaya.

C. rotundicauda T. tridentatus T. gigas


250
Lebar Maksimal Prosoma (cm)

200

150

100

50

Gambar 12 Variasi geografis ukuran tubuh mimi, diukur pada lebar maksimal
prosoma ke tiga spesies
C. rotundicauda T. tridentatus T. gigas
250

200
Panjang Badan (cm)

150

100

50

Gambar 13 Variasi geografis ukuran tubuh mimi, diukur pada panjang badan ke
tiga spesies

Dendrogram yang terbentuk berdasarkan kemiripan dan perbedaan 14 sifat


fenotip mimi (warna badan, bentuk frontal prosoma, bentuk duri prosoma, duri
ophistoma dan prosoma, ukuran sudut anal, bentuk sudut anal, bentuk telson, duri
14

marginal, gerigi pada telson, bagian depan operculum, pedipalp 1, pedipalp 2,


ukuran duri marginal, dan tebal lapis cangkang) didapatkan informasi bahwa T.
gigas dan T. tridentatus memiliki karakter yang hampir sama, sedangkan C.
rotundicauda memiliki karakter tersendiri.

Gambar 14 Konstruksi pohon fenetik spesies Tachypleus gigas, T. tridentatus, dan


iCarcinoscorpius rotundicauda berdasarkan 14 karakter morfologi

Carcinoscorpius rotundicauda
Hasil uji Kruskal Wallis berdasarkan 27 karakter morfometrik C.
rotundicauda yang telah dirasiokan secara keseluruhan diperoleh hasil sebanyak 1
karakter yang tidak berbeda nyata (p>0,05) pada lokasi Semarang, Demak,
Surabaya, Subang, dan Banten. Namun, pada uji ini tidak dapat diketahui secara
spesifik karakter mana yang memiliki beda nyata antar lokasi, sehingga dilakukan
uji Mann-Whitney untuk mengetahui karakter yang berbeda nyata (p<0,05) antar
lokasi. Berikut merupakan hasil uji Mann-Whitney perbandingan karakter
morfometrik yang telah dirasiokan (Tabel 2).
Karakter morfometrik C. rotundicauda dari ke-6 lokasi tersebut memiliki
hubungan sifat beda nyata (p<0,05) antar lokasi, Subang memiliki ukuran tubuh
dan anggota tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan daerah Semarang, Demak,
Rembang, Gresik, dan Surabaya. C. rotundicauda Rembang memiliki ukuran rata-
rata lebar maksimal prosoma lebih besar dibandingkan dengan daerah Subang,
Semarang, Demak, Gresik, dan Surabaya. Gresik memiliki 7 ukuran tubuh (X1-X4,
X8, X9, X12-X13) dan 5 anggota tubuh (X18-X22) lebih besar, dan Surabaya
memiliki 6 ukuran tubuh (X5, X7, X11, X14-X16) serta 6 anggota ukuran tubuh
(X23-X28) lebih besar.
15

Tabel 2 Perbandingan karakter morfometrik Carcinoscorpius rotundicauda pada


lokasi Semarang, Demak, Rembang, Gresik, Surabaya, dan Subang
Karakter Lokasi
(rata-rata±SD) Semarang Demak Rembang Gresik Surabaya Subang
X1/X3 2,0544 2,0544±0,1388 2,1327±0,1534 ab 2,1512±0,2716b 2,1338±0,1998cab 1,9859±0,1204d
X2/X3 1,0544 1,0544±0,1336ae 1,1464±0,0867 e 1,2148±0,2162 bc 1,2136±0,1397 c 1,0139±0,1072 da
X4/X3 0,5646 0,5472±0,0209 0,5435±0,0202 a 0,5688±0,0636 b 0,5376±0,0506 ac 0,5223±,0465 ad
X5/X3 0,2857 0,3028±0,0117 ab 0,3024±0,0439 a 0,3165±0,0439 ac 0,3233±0,0318de 0,2935±0,0189 be
X6/X3 0,2789 0,2461±0,0099eb 0,4565±0,0204 ea 0,2498±0,0377 abc 0,2251±0,0258 d 0,2397±0,0465 e
X7/X3 0,4354 0,4205±0,0910eb 0,4565±0,0202 ea 0,4771±0,0581 abc 0,4914±0,0519 d 0,4674±0,0506 e
X8/X3 0,2041 0,2011±0,0166 0,1846±0,0192 ac 0,2048±0,0264 b 0,1860±0,0262 c 0,1940±0,0197
XX1
X9/X3 0,9592 0,9906±0,0259 abe 1,0093±0,0325 be 0,9795±0,1237 ac 0,9921±0,0923 e 0,9613±0,0575 d
(mm)
X10/X3 0,4626 0,4694±0,0146 bd 0,4542±0,0167 a 0,4824±0,0589 bc 0,4772±0,0469 bd 0,4408±0,0266 ae
X11/X3 0,6463 0,6475±0,0296 ab 0,6494±0,0215 a 0,6955±0,0817 c 0,6961±0,0723 d 0,6011±0,1285 be
X12/X3 0,6803 0,7242±0,0248 abc 0,7139±0,0273 be 0,7694±0,0874 cd 0,7652±0,0777 d 0,7063±0,0461 ea
X13/X3 0,8503 0,8839±0,0291 abc 0,8410±0,0750 b 0,9100±0,1170 cd 0,9026±0,0846 ad 0,8167±0,0512 e
X14/X3 0,2721 0,2771±0,0303 0,2790±0,0207 ab 0,2927±0,0600 b 0,2982±0,0332 cd 0,2809±0,0273 ac
X15/X3 0,0328 0,0400±0,0066ac 0,0434±0,0049 bc 0,0420±0,0080 c 0,0473±0,0062 d 0,0354±0,0064 ae
X16/X3 0,0307 0,0395±0,0068 abc 0,0433±0,0046 b 0,0433±0,0075 bc 0,0474±0,0065 d 0,0359±0,0064 a
X17/X3 0,0748 0,0614±0,0126 ab 0,0594±0,0093 b 0,0767±0,0161 c 0,0706±0,0227 ad 0,0769±0,0248 ae
X18/X3 0,0884 0,0757±0,0106 ab 0,0742±0,0130 b 0,0944±0,0179 c 0,0826±0,0199 a 0,0829±0,0114 abe
X19/X3 0,0884 0,0731±0,0100 ab 0,0712±0,0112 b 0,0941±0,0167 c 0,0826±0,0159 ad 0,0803±0,0121 ea
X20/X3 0,0136 0,0578±0,0154 ab 0,0575±0,0125 b 0,0771±0,0186 c 0,0690±0,0179 ad 0,0646±0,0183 abe
X21/X3 0,0408 0,0362±0,0154 ab 0,0444±0,0096 be 0,0656±0,0219 c 0,0555±0,0189 cd 0,0525±0,0171 e
XX2 X22/X3 0,0136 0,0272±0,0159 0,0318±0,0097 0,0452±0,0219 0,0381±0,0209 0,0374±0,0209
(mm) X23/X3 0,0228 0,0224±0,0021 ac 0,0220±0,0025 bc 0,0213±0,0048 c 0,0268±0,0041 d 0,0180±0,0042 e
X24/X3 0,0344 0,0431±0,0157 abc 0,0517±0,0125 b 0,0424±0,0146 c 0,0593±0,0103 d 0,0298±0,0107 e
X25/X3 0,0325 0,0413±0,0153 abc 0,0500±0,0102 b 0,0416±0,0155 c 0,0593±0,0108 d 0,0282±0,0072 e
X26/X3 0,0315 0,0325±0,0024 abc 0,0329±0,0022 bc 0,0326±0,0053 c 0,0352±0,0050 ad 0,0249±0,0039 e
X27/X3 0,0326 0,0329±0,0017 abc 0,0330±0,0031 a 0,0329±0,0052 ac 0,0341±0,0051 ad 0,0262±0,0034 e
X28/X3 0,0416 0,0446±0,0049 abc 0,0358±0,0091 ae 0,0445±0,0060 c 0,0487±0,0058 bd 0,0352±0,0054 e
Keterangan: Huruf pada superskrip yang berbeda menunjukkan sifat beda nyata berdasarkan hasil
uji Mann-Whitney (p<0,05), sedangkan superskrip yang sama menunjukkan adanya
sifat sama (p>0,05), dan tidak bersuperskrip menunjukkan adanya sifat tidak beda
nyata dengan semua lokasi. Keterangan XX1, XX2, dan X1-X28 pada Gambar 2.

Analisis Kluster Morfometrik Carcinoscorpius rotundicauda


Berikut merupakan dendrogram yang terbentuk dari analisis kluster
berdasarkan 27 karakter morfometrik C. rotundicauda yang telah dirasiokan, pada
tingkat kesamaan 60% diperoleh hasil bahwa daerah Semarang dan Demak
membentuk satu kelompok dengan tingkat kesamaan sebesar 67,24%. Kedua lokasi
tersebut memiliki tingkat kesamaan dengan Rembang sebesar 64,68%. Gresik dan
Surabaya membentuk satu kelompok dengan tingkat kesamaan sebesar 79,53%.
Sedangkan lokasi Subang membentuk kelompok tersendiri.
C. rotundicauda Subang membentuk kelompok terpisah berdasarkan karakter
morfometrik karena memiliki ukuran tubuh dan anggota tubuh yang relatif lebih
kecil dibandingkan daerah lainnya. Sedangkan Rembang memiliki ukuran lebar
maksimal prosoma yang lebih besar, Semarang dan Demak memiliki ukuran tubuh
dan anggota tubuh relatif sama sehingga keduanya membentuk satu kelompok,
begitu juga dengan Gresik dan Surabaya (Gambar 15).
16

Gambar 15 Dendrogram karakter morfometrik Carcinoscorpius rotundicauda pada


daerah Semarang, Demak, Rembang, Gresik, Surabaya, dan Subang

Pengelompokan Carcinoscorpius rotundicauda


Hasil pengklasifikasian C. rotundicauda dengan menggunakan analisis
logistik berdasarkan 27 karakter yang telah dirasiokan ditunjukkan oleh Tabel 3.

Tabel 3 Konektivitas antar lokasi Carcinoscorpius rotundicauda berdasarkan 27


karakter yang telah dirasiokan
Predicted
Observed Percent
Semarang Demak Rembang Gresik Surabaya Subang
Correct
Semarang 1 100,0%
Demak 0 6 100,0%
Rembang 0 0 21 100,0%
Gresik 0 0 0 28 100,0%
Surabaya 0 0 0 0 38 100,0%
Subang 0 0 0 0 0 21 100,0%
Overall
0,9% 5,2% 18,3% 24,3% 33,0% 18,3% 100,0%
Percentage

Berdasarkan tabel Pseudo R-Square diperoleh R2 sebesar 95,3%. Hal ini


berarti variable independen dapat menjelaskan perbedaan morfometrik antar tiap
daerah dan 4,7% dijelaskan oleh variable di luar model. Berdasarkan tabel
classification, model memiliki kemampuan untuk membedakan antar kelompok
populasi sebesar 100% yaitu individu diklasifikasikan sebagai individu asli yang
berasal dari Semarang (n=1), Demak (n=6), Rembang (n=21), Gresik (n=28),
Surabaya (n=38), dan Subang (21). Percent correct dapat mencapai hingga 100%
diduga karena jumlah individu yang ditemukan sedikit di setiap daerahnya.
17

Tachypleus gigas
Hasil uji Kruskal Wallis berdasarkan 27 karakter morfometrik T. gigas yang
telah dirasiokan secara keseluruhan diperoleh hasil sebanyak 13 karakter yang tidak
berbeda nyata (p>0,05) pada lokasi Semarang, Demak, Surabaya, Subang, dan
Banten. Uji ini tidak dapat diketahui secara spesifik karakter mana yang memiliki
beda nyata antar lokasi, sehingga dilakukan uji Mann-Whitney untuk mengetahui
karakter yang berbeda nyata (p<0,05) antar lokasi. Berikut merupakan hasil uji
Mann-Whitney (Tabel 4).

Tabel 4 Perbandingan karakter morfometrik Tachypleus gigas pada lokasi


Semarang, Demak, Surabaya, Subang, dan Banten
Karakter Lokasi
(rata-rata±SD) Semarang Demak Surabaya Subang Banten
X1/X3 1,9974±0,0299 1,9589±0,1597 2,1519±0,3688 1,9685±0,1287 1,9362±0,1920
X2/X3 0,9974±0,0299 0,9561±0,2616a 1,1546±0,2311b 0,9955±0,1438 1,0003±0,2036
X4/X3 0,5751±0,0051 0,5504±0,0636 0,5984±0,0945 0,5590±0,0519 0,5664±0,0080
X5/X3 0,3168±0,0103 0,2973±0,0154b 0,3379±0,0477a 0,3171±0,0232ac 0,3216±0,0276ad
X6/X3 0,2606±0,0019 0,2589±0,0229 0,2715±0,0516 0,2546±0,0220 0,2547±0,0141
X7/X3 0,4249±0,0051bd 0,3554±0,1144b 0,4922±0,0757c 0,4479±0,0233ad 0,4420±0,0199de
X8/X3 0,2137±0,0076 0,2065±0,0144 0,2149±0,0345 0,2072±0,0109 0,2071±0,0053
XX1
X9/X3 0,9370±0,0353 0,9440±0,1330 1,0267±0,1536 0,9721±0,0736 0,9898±0,0307
(mm)
X10/X3 0,5142±0,0136 0,4913±0,0300 0,5430±0,1123 0,4954±0,0233 0,4974±0,0283
X11/X3 0,5329±0,0007 0,5303±0,0230 0,5972±0,1318 0,5399±0,0313 0,5620±0,0477
X12/X3 0,6152±0,0189 0,6047±0,0386a 0,6876±0,1374b 0,6134±0,0384 0,6508±0,0437db
X13/X3 0,7862±0,0142 0,7767±0,0704a 0,8594±0,1460 0,8184±0,0368b 0,8191±0,0358
X14/X3 0,2606±0,0019 0,2537±0,0316a 0,2892±0,0624 0,2777±0,0143b 0,2798±0,0200
X15/X3 0,0429±0,0035abd 0,0421±0,0070b 0,0581±0,0123ce 0,0471±0,0043d 0,0508±0,0034ed
X16/X3 0,0381±0,0011abd 0,0388±0,0055b 0,0516±0,0115ce 0,0432±0,0053d 0,0456±0,0017ed
X17/X3 0,1106±0,0254 0,1092±0,0189 0,1200±0,0341 0,1201±0,0093 0,1269±0,0145
X18/X3 0,1085±0,0486 0,1160±0,0263a 0,1291±0,0292 0,1366±0,0152b 0,1349±0,0198
X19/X3 0,0990±0,0418ab 0,1023±0,0385b 0,1247±0,0512 0,1447±0,0128c 0,1504±0,0295
X20/X3 0,0308±0,0239abc 0,0780±0,0560b 0,1114±0,0637cd 0,1436±0,0118d 0,1519±0,0251ade
X21/X3 0,0378±0,0207ab 0,0718±0,0578b 0,1068±0,0651 0,1456±0,0158cd 0,1475±0,0184ad
XX2 X22/X3 0,0308±0,0239abc 0,0700±0,053b 0,1388±0,0134bc 0,1388±0,0134d 0,1322±0,0152cde
(mm) X23/X3 0,0249±0,0019 0,0233±0,0026ac 0,0274±0,0062b 0,0226±0,0042c 0,0247±0,0043
X24/X3 0,0357±0,0001abc 0,0443±0,0100b 0,0569±0,0178cd 0,0529±0,0059d 0,0584±0,0033ade
X25/X3 0,0250±0,0133ab 0,0425±0,0103b 0,0561±0,0167cd 0,0522±0,0057d 0,0568±0,0027ade
X26/X3 0,0337±0,0017 0,0328±0,0021ac 0,0376±0,0064bd 0,0317±0,0032c 0,0350±0,0010d
X27/X3 0,0337±0,0018 0,0329±0,0020abc 0,0358±0,0066bd 0,0314±0,0030c 0,0356±0,0015d
X28/X3 0,0456±0,0080 0,0440±0,0028ad 0,0517±0,0114b 0,0388±0,0044c 0,0388±0,0023cd
Keterangan: Huruf pada superskrip yang berbeda menunjukkan sifat beda nyata berdasarkan hasil
uji Mann-Whitney (p<0,05), sedangkan superskrip yang sama menunjukkan adanya
sifat sama (p>0,05), dan tidak bersuperskrip menunjukkan adanya sifat tidak beda nyata
dengan semua lokasi. Keterangan XX1, XX2, dan X1-X28 pada Gambar 2.

Sebanyak 14 karakter morfometrik T. gigas dari ke-5 lokasi tersebut memiliki


hubungan sifat beda nyata (p<0,05) antar lokasi. Sebanyak 15 karakter tubuh, T.
gigas Surabaya memiliki ukuran tubuh (X1-X2 dan X4-X16) lebih besar dan 5
anggota tubuh (panjang marginal spine VI (X22), diameter capit chelicera (X23),
diameter capit kaki jalan II (X26), diameter capit kaki jalan III (X27), diameter capit
kaki jalan IV (X28)) yang relatif lebih besar dibandingkan daerah Semarang,
Demak, Subang, dan Banten (memiliki 6 anggota tubuh yaitu X17-X21 dan X24-
X25), sedangkan T. gigas Semarang dan Demak memiliki ukuran relatif sama,
begitu juga dengan Subang dan Banten.

Analisis Kluster Morfometrik Tachypleus gigas


Gambar 16 merupakan dendrogram yang terbentuk dari analisis kluster
berdasarkan 27 karakter morfometrik T. gigas yang telah dirasiokan, pada tingkat
18

kesamaan 60% diperoleh hasil bahwa daerah Semarang dan Demak membentuk
satu kelompok dengan tingkat kesamaan sebesar 66,11%. Begitu juga dengan
Subang dan Banten memiliki tingkat kesamaan sebesar 79,66%. Sedangkan
Surabaya membentuk populasi tersendiri.

Gambar 16 Dendrogram karakter morfometrik Tachypleus gigas pada daerah


Semarang, Demak, Subang, Banten, Surabaya

T. gigas Surabaya membentuk kelompok terpisah berdasarkan karakter


morfometrik karena pada daerah ini memiliki ukuran tubuh dan anggota tubuh yang
relatif lebih besar dibandingkan daerah lainnya. T. gigas Semarang dan Demak
memiliki ukuran tubuh dan anggota tubuh relatif sama sehingga keduanya
membentuk satu kelompok, begitu juga dengan Subang dan Banten.

Pengelompokan Tachypleus gigas


Hasil pengklasifikasian T. gigas dengan menggunakan analisis logistik
berdasarkan 27 karakter yang telah dirasiokan pada Table 5.

Tabel 5 Konektivitas antar lokasi Tachypleus gigas berdasarkan 27 karakter yang


telah dirasiokan
Predicted
Observed
Percent
Semarang Demak Surabaya Subang Banten
Correct
Semarang 2 100,0%
Demak 0 21 100,0%
Surabaya 0 0 11 100,0%
Subang 0 0 0 18 100,0%
Banten 0 0 0 0 5 100,0%
Overall
3,5% 36,8% 19,3% 31,6% 8,8% 100,0%
Percentage
19

Berdasarkan tabel Pseudo R-Square diperoleh R2 sebesar 93,8%. Hal ini


berarti variable independen dapat menjelaskan perbedaan morfometrik antar tiap
daerah dan 6,2% dijelaskan oleh variabel di luar model. Berdasarkan tabel
classification, model memiliki kemampuan untuk membedakan antar kelompok
populasi sebesar 100% yaitu individu diklasifikasikan sebagai individu asli yang
berasal dari Semarang (n=2), Demak (n=21), Surabaya (n=11), Subang (18), dan
Banten (n=5). Percent correct dapat mencapai hingga 100% diduga karena jumlah
individu yang ditemukan sangat sedikit disetiap daerahnya.

Tachypleus tridentatus
Hasil uji Kruskal Wallis berdasarkan 27 karakter morfometrik T. tridentatus
yang telah dirasiokan secara keseluruhan diperoleh hasil sebanyak 12 karakter yang
tidak berbeda nyata (p>0,05) pada lokasi Semarang, Gresik, Subang, dan Banten.
Namun, pada uji ini tidak dapat diketahui secara spesifik karakter mana yang
memiliki beda nyata antar lokasi, sehingga dilakukan uji Mann-Whitney untuk
mengetahui karakter yang berbeda nyata (p<0,05) antar lokasi. Berikut merupakan
hasil uji Mann-Whitney (Tabel 6).

Tabel 6 Perbandingan karakter morfometrik Tachypleus tridentatus pada lokasi


iSemarang, Gresik, Subang, dan Banten
Karakter Lokasi
(rata-rata±SD) Semarang Gresik Subang Banten
X1/X3 2,1407±0,0455 2,0521±0,0538 2,0852±0,2747 2,0755±0,1365
X2/X3 1,1407±0,0455 1,1715±0,0498ac 1,0479±0,1007b 1,1588±0,1370c
X4/X3 0,5770±0,0391 0,5538±0,0017 ab 0,5382±0,0357b 0,5840±0,0139c
X5/X3 0,3210±0,0175 0,3144±0,0385a 0,3144±0,0385b 0,3191±0,0120c
X6/X3 0,2560±0,0216 0,2237±0,0498 0,2605±0,0278 0,2627±0,0143
X7/X3 0,4230±0,0391 0,4444±0,0173a 0,3750±0,1003b 0,4655±0,0258
X8/X3 0,2243±0,0117 0,2215±0,0204 0,2192±0,0161 0,2161±0,0128
XX1
X9/X3 1,0017±0,0634 0,9566±0,0272a 0,8699±0,2946b 1,0117±0,0443
(mm)
X10/X3 0,5275±0,0214 0,4910±0,0089ab 0,4962±0,0216b 0,5186±0,0180c
X11/X3 0,5716±0,0139 0,5931±0,0356 0,5604±0,0333 0,5808±0,0172
X12/X3 0,6535±0,0076 0,7158±0,0625a 0,6571±0,0415b 0,6991±0,0442
X13/X3 0,8276±0,0355 0,8292±0,0210a 0,8135±0,0428b 0,8892±0,0594
X14/X3 0,3124±0,0033 0,2697±0,0729 0,3042±0,0216 0,3162±0,0169
X15/X3 0,0582±0,0087 0,0564±0,0091 0,0517±0,0052 0,0554±0,0047
X16/X3 0,0515±0,0086 0,0564±0,0091a 0,0444±0,0060b 0,0482±0,0065
X17/X3 0,1237±0,0004 0,1263±0,0253a 0,1091±0,0164b 0,1419±0,0310
X18/X3 0,1385±0,0125 0,1341±0,0319a 0,1283±0,0226b 0,1571±0,0406
X19/X3 0,1477±0,0006 0,1636±0,0073 ac 0,1430±0,0187b 0,1660±0,0376c
X20/X3 0,1508±0,0050 0,1532±0,0174a 0,1449±0,0173b 0,1728±0,0342
X21/X3 0,1346±0,0070ab 0,1549±0,0091 0,1483±0,0126b 0,1682±0,0348c
XX2 X22/X3 0,1385±0,0125 0,1410±0,0173 0,1423±0,0104 0,1494±0,0360
(mm) X23/X3 0,0256±0,0037 0,0215±0,0034ab 0,0186±0,0049b 0,0263±0,0057c
X24/X3 0,0393±0,0015ab 0,0353±0,0018b 0,0275±0,0059c 0,0353±0,0097bd
X25/X3 0,0378±0,0004ab 0,0390±0,0048b 0,0289±0,0050c 0,0366±0,0025bd
X26/X3 0,0389±0,0012ab 0,0390±0,0048 b 0,0285±0,0052c 0,0362±0,0037bd
X27/X3 0,0343±0,0013ac 0,0332±0,0025 0,0277±0,0055b 0,0358±0,0014c
X28/X3 0,0420±0,0031 0,0440±0,0009a 0,0377±0,0054b 0,0410±0,0038
Keterangan: Huruf pada superskrip yang berbeda menunjukkan sifat beda nyata berdasarkan hasil
uji Mann-Whitney (p<0,05), sedangkan superskrip yang sama menunjukkan adanya
sifat sama (p>0,05), dan tidak bersuperskrip menunjukkan adanya sifat tidak beda nyata
dengan semua lokasi. Keterangan XX1, XX2, dan X1-X28 pada Gambar 2.
20

Sebanyak 15 karakter morfometrik T. tridentatus dari ke-4 lokasi memiliki


hubungan sifat beda nyata (p<0,05) antar lokasi, Subang memiliki ukuran tubuh
dan anggota tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan daerah Semarang, Gresik,
dan Banten. T. tridentatus Semarang memiliki 5 ukuran tubuh (X1, X5, X8, X10,
X15) dan 1 anggota tubuh (X24) lebih besar. Sedangkan T. tridentatus Gresik
memiliki 4 ukuran tubuh (X2, X11, X12, X16) dan 3 anggota tubuh (X25, X26,
X28) lebih besar. Banten memiliki 6 ukuran tubuh (X4, X6, X7, X9, X13, X14) dan
8 ukuran anggota tubuh (X17-X23, X27) lebih besar.

Analisis Kluster Morfometrik Tachypleus tridentatus


Gambar 17 merupakan dendrogram yang terbentuk dari analisis kluster
berdasarkan 27 karakter morfometrik T. tridentatus yang telah dirasiokan, pada
tingkat kesamaan 60% diperoleh hasil bahwa daerah Semarang, Banten, Gresik,
dan Subang membentuk kelompok tersendiri.

Gambar 17 Dendrogram karakter morfometrik Tachypleus tridentatus pada daerah


iSemarang, Banten, Gresik, dan Surabaya

T. tridentatus Subang membentuk kelompok terpisah berdasarkan karakter


morfometrik karena pada daerah ini memiliki ukuran tubuh dan anggota tubuh yang
relatif lebih kecil dibandingkan daerah lainnya. T. tridentatus Semarang dan Banten
memiliki ukuran tubuh dan anggota tubuh relatif sama sehingga keduanya
membentuk satu kelompok, sedangkan Gresik memiliki ukuran tubuh dan anggota
tubuh lebih besar dari Subang, Semarang, dan Banten. Namun tingkat kesamaan
karakter Gresik lebih dekat dengan Semarang dan Banten.

Pengelompokan Tachypleus tridentatus


Hasil pengklasifikasian T. tridentatus dengan menggunakan analisis logistik
berdasarkan 27 karakter yang telah dirasiokan diperoleh hasil pada Tabel 7.
Berdasarkan tabel Pseudo R-Square diperoleh R2 sebesar 88,8% hal ini berarti
variable independen dapat menjelaskan perbedaan morfometrik antar tiap daerah
21

dan 12.2% dijelaskan oleh variable di luar model. Berdasarkan tabel classification,
model memiliki kemampuan untuk membedakan antar kelompok populasi sebesar
100% yaitu individu diklasifikasikan sebagai individu asli yang berasal dari
Semarang (n=2), Gresik (n=3), Subang (n=17), dan Banten (n=10). Percent correct
dapat mencapai hingga 100% diduga karena jumlah individu yang ditemukan
sangat sedikit disetiap daerahnya.

Tabel 7 Konektivitas antar lokasi Tachypleus tridentatus berdasarkan 27 karakter


yang telah dirasiokan
Observed Predicted
Semarang Gresik Subang Banten Percent Correct
Semarang 2 100,0%
Gresik 0 3 100,0%
Subang 0 0 17 100,0%
Banten 0 0 0 10 100,0%
Overall Percentage 6,3% 9,4% 53,1% 31,3% 100,0%

Pembahasan

Sebanyak 7 lokasi penelitian diperoleh jumlah jantan dan betina masing-


masing spesies berbeda. Terjadi ketidakseimbangan antara spesies jantan dan betina
pada T. gigas, betina lebih banyak ditemukan. T. tridentatus jantan tidak ditemukan
sama sekali pada semua lokasi, sedangkan C. rotundicauda jantan lebih banyak
ditemukan, khususnya pada daerah Surabaya dari 41 total C. rotundicauda hanya
ditemukan 4 betina. Menurut Johnson & Brockmann (2010) perbedaan
perbandingan komposisi jantan dan betina disebabkan adanya masa dimana mimi
jantan yang tidak memiliki pasangan berkumpul di pantai dan bertindak sebagai
satelit untuk menunggu giliran memijah.
C. rotundicauda adalah spesies yang paling sering ditemukan hampir di
semua lokasi, kecuali pada daerah Banten. Umumnya perairan Banten memiliki
kedalaman tidak lebih dari 13 meter, dan berlumpur yang bercampur dengan pasir.
C. rotundicauda hidup di air payau dengan substrat berlumpur, biasanya pada
daerah mangrove (Li 2008; Shin & Cheung 2009; Cartwright-Taylor et al. 2011;
Rubiyanto 2012). Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Rubiyanto (2012)
di Perairan Kuala Tungkal mimi ini memiliki kepadatan lebih tinggi (62 ind/100m2,
n=246) dibandingkan dengan T. gigas (2 ind/100m2, n=8). Daerah Singapura telah
ditemukan sebanyak 172 individu C. rotundicauda lebih banyak dibandingkan
dengan T. gigas sebanyak 6 individu pada daerah dengan substrat berlumpur
(Carthwright-Taylor et al. 2011). Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh
Mishra (2009) C. rotundicauda banyak ditemukan pada perairan dengan salinitas
rendah. Pola sebaran C. rotundicauda adalah acak (Rubiyanto 2012), hal ini
menunjukkan kemampuan toleransi suatu individu terhadap ketersediaan
sumberdaya lingkungan (Cartwright-Taylor et al. 2009).
Daerah Ujung Kulon ditemukan dua jenis mimi yaitu T. gigas dan T.
tridentatus dikarenakan Ujung Kulon merupakan daerah karang sedikit berlumpur.
Berdasarkan hasil survei, daerah Teluk Banten saat ini jarang sekali ditemukan
mimi akibat adanya penambangan pasir. Keberadaan T. gigas di Hong Kong akibat
22

adanya reklamasi pantai dan degradasi habitat telah menghilang sejak tahun 1990
(Shin et al. 2009). Akibat adanya sarana rekreasi dan pembangunan pelabuhan
mimi di Singapura tidak terdapat aktivitas pemijahan di tepi pantai (Cartwright et
al. 2011).
Daerah Rembang C. rotundicauda memiliki ukuran lebar maksimal prosoma
paling besar dibandingkan dengan daerah lain. Hal ini dikarenakan pada daerah
Rembang merupakan daerah mangrove dengan substrat berlumpur tebal. Mangrove
dengan substrat berlumpur merupakan habitat dengan sumber makanan yang
disukai oleh mimi jenis C. rotundicauda. Lingkungan dengan sumber makanan
yang banyak mengandung Ca (bivalvia, polycaeta, moluska) akan membantu
pertumbuhan karapas dengan baik. Ukuran tubuh mimi dipengaruhi oleh kepadatan
populasi, ketersediaan pangan, dan pengaruh kondisi lingkungan (Chatterji et al.
2000; Zadeh et al. 2011). Penelitian yang telah dilakukan oleh Chatterji et al. (2000)
diperoleh hasil bahwa pertambahan panjang dan lebar karapas dipengaruhi oleh
ketersediaan pakan dan kepadatan populasi. Mimi memiliki ukuran karapas yang
berbeda pada habitat yang berbeda seperti karapas populasi mimi yang ada di
Malaysia memiliki karapas yang lebih besar dibandingkan dengan karapas yang ada
di India dan Thailand (Chatterji 1999; Srijaya et al. 2010).
C. rotundicauda dan T. tridentatus pada daerah Subang memiliki rata-rata
ukuran tubuh dan anggota tubuh paling kecil jika dibandingkan dengan dearah
lainnya. Perairan Mayangan Subang berhadapan langsung dengan Laut Jawa
disebelah utara sehingga suhu dan salinitas sangat dipengaruhi oleh dinamika
perairan Laut Jawa. Rataan suhu yang bervariasi antara 27,5-28,7oC dengan
salinitas 30-33 ppt, kedalaman 20 m. Perairan Mayangan Subang memiliki
kekeruhan tinggi akibat pengaruh dari karakteristik Laut Jawa. Pada penelitian ini,
Subang merupakan lokasi dengan jumlah tangkapan mimi terbanyak, dalam sehari
sebanyak 45 ekor mimi telah tertangkap. Sebanyak 378 ekor mimi tertangkap
selama 10 bulan Maret-Desember 2003 penelitian yang telah dilakukan oleh
Muslihah (2004) di Mayangan Subang. Kepadatan populasi, umur, ketersediaan
pangan, dan pengaruh kondisi lingkungan mempunyai hubungan yang signifikan
dengan perubahan dimensi tubuh mimi (Chatterji et al. 2000; Zadeh et al. 2011).
Di Balramgari, Orissa pertambahan panjang dan lebar karapak T. gigas dipengaruhi
oleh kepadatan dan ketersediaan pakannya. Makanan mimi tersedia dibanyak
tempat, jenis makanan mimi diantaranya ikan mati, polycaeta, bivalvia, moluska,
serta alga (Chatterji et al. 2000).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

C. rotundicauda Subang memiliki ukuran tubuh lebih kecil, sedangkan


Rembang memiliki ukuran rata-rata lebar maksimal prosoma paling besar. T. gigas
Surabaya memiliki ukuran tubuh lebih besar. T. tridentatus Subang memiliki
ukuran tubuh lebih kecil, Gresik memiliki ukuran tubuh lebih besar. Ukuran tubuh
mimi secara berurutan dari yang paling besar T. gigas> T. tridentatus> C.
rotundicauda. Ciri utama yang membedakan ketiga spesies dari karakter fenotip
23

yaitu telson bergerigi pada genus Tachypleus dan telson halus pada genus
Carcinoscorpius. T. tridentatus terdapat duri tajam pada bagian ophistoma dan
prosoma, sedangkan tidak untuk T. gigas.
Subang merupakan lokasi terbanyak ditemukannya mimi, serta memiliki
ketiga spesies, sedangkan Rembang merupakan daerah terbanyak ditemukannya
spesies C. rotundicauda. Tidak terdapat konektivitas berdasarkan karakter
morfologi melalui perhitungan Multinomial logistic.

Saran

Pengambilan sampel sebaiknya dilakukan pada bulan Agustus-Desember,


karena pada bulan Januari-Juli mimi sulit untuk ditemukan, hal ini berkaitan dengan
musim pemijahan. Pengukuran dilakukan di lapangan namun dibatasi jumlah
perharinya untuk menghindari kesalahan paralaks. Peluang penelitian yang dapat
dilakukan selanjutnya yaitu mengenai kajian daerah spawning, feeding, nursery
grounds mimi di Indonesia, kualitas darah mimi serta pemanfaatannya.

DAFTAR PUSTAKA

Beekey MA, Mattei JH, Pierce BJ. 2013. Horseshoe crab eggs: A rare resource for
predators in Long Island Sound. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology. 439(1):152-159.
Cartwrigt-Taylor L, Lee J, & Hsu CC. 2009. Population structure and breeding
pattern of the mangrove horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda in
Singapore. Aquatic Biology. 8:61-69
Cartwrigt-Taylor L, Bing YV, Chi HC, Tee LS. 2011. Distribution and abundance
of horseshoe crabs Tachypleus gigas and Carcinoscorpius rotundicauda
around the main island Singapore. Aquatic Biology. 13:127-136.
Chatterji A, Vijayakumar R, Parulekar AH. 1992. Spawning migration of the
horseshoe crab, Tachypleus gigas (Muller), in relation to lunar cycle. Asian
Fisheries Science. 5:123-128.
Chatterji, A. 1999. New record of the sympatric distribution of two Asian species
of the horseshoe crab. Indian Journal of Marine Science. 77(6):43-48.
Chatterji A, Parulekar AH, Vijayakumar R. 2000. Morphometric characteristics in
the horseshoe crab Tachypleus gigas (Artropoda: Merostomata). Indian
Journal of Marine Science. 29:333-335.
Christianus A, Saad CR. 2007. Horseshoe crabs in Malaysia and the world. Fishery
Mail. 16:8-9.
Chiu HMC, Morton B. 2004. The behavior of juvenil horseshoe crabs, Tachypleus
tridentatus (Xiphosura), on nursery beach at Shin Hau Wan, Hong Kong.
Hydrobiologia. 523:29-35.
Dietl J, Nascimento C, Alexander R. 2000. Influence of ambient flow around the
horseshoe crab Limulus polyphemus on the distribution and orientation of
selected epizoans. Estuaries. 23:509-520.
24

Ding JL, Tan KC, Thangamani S, Kusuma N, Seow WK, Bui THH, Wang J, Ho B.
2005. Spatial and temporal coordination of expression of immune response
genes during Pseudomonas infection of horseshoe crab, Carcinoscorpius
rotundicauda. Nature Publishing Group. 6(7):557-574.
Ferari KM, Targett NM. 2003. Chemical attractants in horseshoe crab, Limulus
polyphemus, eggs: the potential for an artificial bait. Journal of Chemical
Ecology. 29:477-496.
Hu M, Wang Y, Chen Y, Cheung SG, Shin PKS, Li Q. 2009. Summer distribution
and abundance of juvenile Chinese horseshoe crabs Tachypleus tridentatus
along an intertidal zone in Southern China. Aquatic Biologi. 7:107-112.
Hurton L. 2003. Reducing Post-Bleeding Mortality of Horseshoe Crabs (Limulus
polyphemus) Used in The Biomedical Industry [Tesis]. Virginia (US):
Virginia Polytechnic Institute and State University.
Harrington BA. 2001. Red Knot (Calidris canutus). In The Birds of North America,
No. 563 (A. Poole and F. Gill, eds.). The Birds of North America, Inc.,
Philadelphia, Pennsylvania.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2015. Red list of
threatened species. www. Iuc-nredlist.org. 18 Mei 2015. Pukul. 18.27 WIB.
John BA, Kamaruzzaman BY, Jalal KCA, Zaleha K. 2012. Feeding Ecology and
Food Preferences of Carcinoscorpius rotundicauda Collected from the
Pahang Nesting Grounds. Sains Malaysiana. 41(7):855-861.
Johnson SL, Brockmann HJ. 2010. Costs of multiple mates: an experimental study
in horseshoe crabs. Animal Behaviour. 80:773-782.
Lee CN, Morton B. 2005. Experimentally derived estimates of growht by juvenile
Tachypleus tridentatus and Carcinoscorpius rotundicauda (Xiphosura) from
nursery beaches in Hong Kong. Jurnal Marine Biology Ecology. 318:39-49.
Li HY. 2008. The conservation of horseshoe crabs in Hong Kong [Tesis]. Hong
Kong (HK): City Universitas of Hong Kong.
Muslihah. 2004. Beberapa aspek biologi reproduksi mimi bulan Tachypleus gigas
di Perairan Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Mishra JK. 2009. Horseshoe crabs, their eco-biological status along the northeast
coast of India and the necessity for ecological conservation. In: Tanacredi JT
et al. (eds). 2009. Biology and conservation of horseshoecrabs. Springer
Science & Business Media: 89-96.
Mulya MB. 2014. Pelestarian, pemanfaatan sumberdaya genetika mimi ranti
(Carcinosscorpius rotundicauda, L) dan mimi bulan (Tachypleus gigas, M).
© 2004 Digitized by USU digital library.
Novitsky TJ, Thomas, Dawson, Michael E, Paus, Erik J. 2002. Artificial bait.
United States Patent: 639-1295.
Novitsky TJ. 1994. Limulus amebocyte lysate (LAL) detection of endotoxin in
human blood. Journal of endotoxin research. 1(4):253-263.
Obst M, Faurby S, Bussarawit S, Funch P. 2012. Molecular phylogeny of extant
horseshoe crabs (Xiphosura, Limulidae) indicates Paleogene diversification
of Asian species. Molecular Phylogenetics and Evolution. 62(1):21-26.
Rubuyanto E. 2012. Studi populasi mimi (Xiphosura) di perairan Kuala Tungkal,
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi [Tesis]. Depok (ID): Universitas
Indonesia.
25

Selander RK, Yang SY, Lewontin RC, Johnson WE. 1970. Genetic variation in the
horseshoe crab (Limulus polyphemus), a phylogenetic ‘‘relic’’. Evolution.
24(2):402-414
Shin P, Li HY, Cheung SG. 2009. Horseshoe crabs in Hong Kong: Current
population status and human exploitation. In: Tanacredi JT et al. (eds). 2009.
Biology and conservation of horseshoe crabs. Springer Science & Business
Media: 347-360.
Smith DR. 2007. Effect of horseshoe crab spawning density on nest disturbance and
exhumation of eggs: a simulation study. Estuaries. 30:287-295.
Sekiguchi, Shuster. 2009. Limits on the global distribution of horseshoe crabs
(Limulacea). In: Tanacredi JT et al. (eds). 2009. Biology and conservation of
horseshoe crabs. Springer Science & Business Media: 347-360.
Suparta. 1992. Keragaman sifat-sifat morfometrik mimi, Tachypleus gigas
(MULLER) & Carcinoscorpius rotundicouda (LATREILLE) di perairan
pantai Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat dan perairan pantai Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Srijaya TC, Pradeep PJ, Mitun S, Hasan A, Shaharom F, Chatterji A. 2010. A new
record on the morphometric variation in the population of horseshoe crab
(Carcinoscorpius rotundicauda, Latreille) obtained from two different
ecological habitats of Peninsular Malaysia. Nature. 8:204-211.
Taylor LC, Lee J, Hsu CC. 2011. Population structure and breeding pattern of the
mangrove horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda in Singapore.
Aquatic Biology. (8):61–69.
Vauziyah C. 1995. Perkembangan embrio mimi bulan Tachypleus gigas (Muller)
dari perairan Teluk Banten pada berbagai salinitas media [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Walls EL, Berkson J, Smith SA. 2002. The horseshoe crab, Limulus polyphemus:
200 million years of existence, 100 years of study. Review Fisheries Sciences.
10:39-73.
Webster M. 2007. A cambrian peak in morphological variation within trilobite
species. Science. 317(5837):499-502.
Yeo DSA, Ding JL, Ho B. 1996. Neuroblastoma cell culture assay shows that
Carcinoscorpius rotundicauda haemolymph neutralizes tetrodotoxin.
Pergamon. 34(9):1054-1057.
Zadeh SS, Christianus A, Saad CR, Hajeb P, Kamarudin MS. 2011. Comparations
in prosomal width and body weight among early instar stages of Malaysian
Horseshoe crabs, Carcinoscorpius rotundicauda and Tachypleus gigas in the
laboratory. In: Tanacredi JT et al. (eds). 2011. Biology and conservation of
horseshoe crabs. Springer Science & Business Media: 267-274.
26

3 IDENTIFIKASI MIMI YANG TERTANGKAP DI


PERAIRAN PESISIR PULAU JAWA BERDASARKAN
MARKA GEN CO1

Lusita Meilana, Yusli Wardiatno, Nurlisa A Butet, Majariana Krisanti


Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Email: lusitameilana@yahoo.co.id

ABSTRACT

Horseshoe crabs are distributed widely in Indonesian waters, and there are
three common species inhabiting some coastal waters of Java Island. The research
were aimed at establishing phylogenetic relationship among Indonesian horseshoe
crab of Java Island and identification based on molecular marker of COI gene and
PCR-RFLP in combination with morphological characters. The sample collections
were conducted at six sites, i.e. Ujung Kulon, Subang, Semarang, Demak, Rembang,
and Kenjeran. The results showed that there were 67 specific nucleotide sites,
becoming species identifier of three spesies horseshoe crabs with outgroup species.
Molecular identification of T. gigas from this study has shown taxonomy certainty.
However, identification of T. tridentatus and C. rotundicauda did not succeed using
CO1 gene. PCR-RFLP method revealed that Demak could be defined as a region
of C. rotundicauda gene pool, while Subang for T. gigas, and Semarang for T.
tridentatus. Those are due to higher haplotype diversity compared to other locations.

Keywords: haplotype, horseshoe crabs, Java Island, phylogeny

PENDAHULUAN

Mimi atau belangkas merupakan hewan dari famili Limulidae yang dikenal
sebagai living fossils dan phylogenetic relicts (Selander et al. 1970). Hewan ini telah
mengalami diversifikasi sejak zaman paleogene (65-23 Mya) (Obst et al. 2012) dan
di Indonesia merupakan salah satu sumberdaya genetik yang dilindungi (SK
Menteri Kehutanan No. 12/Kpts-II/1987 dan Peraturan Pemerintah RI No. 7/1999)
(Mulya 2004; Rubiyanto 2012). Hingga saat ini, empat spesies mimi yang masih
ada di dunia, yaitu Limulus polyphemus (Linnaeus 1758) hanya terdapat di pantai
Atlantik Amerika Utara (Walls et al. 2002), dan ke-3 lainnya merupakan spesies
Asia yaitu Tachypleus gigas (Muller 1785), Tachypleus tridentatus (Leach 18192),
dan Carcinoscorpius rotundicauda (Lattreille 1802) (Christianus & Saad 2007; Lee
& Morton 2005). Keberadaan ketiga spesies Asia tersebut dinyatakan near
threatened oleh IUCN (2010), threatened (2014) dan data deficient (2015).
Sedangkan untuk L. polyphemus adalah lower risk/near threatened berdasarkan
IUCN (2015).
27

Mimi merupakan hewan yang memiliki peranan penting, baik secara ekonomi
maupun ekologi. Secara ekonomi, mimi dimanfaatkan sebagai hewan umpan untuk
menangkap ikan sembilang (Euristhmus microceps) di Perairan Kuala Tungkal
Jambi (Rubiyanto 2012), belut (Anguilla rostrata), siput besar (Ferari & Targett
2003), dan whelk (Busycon carica dan B. canaliculatum) (Novitsky et al. 2002).
Ratusan mimi setiap minggunya ditangkap di Sadeli Kechil dan Johor pantai timur
Malaysia dan diekspor ke Thailand (Christianus & Saad 2007). T. tridentatus di
Hong Kong menjadi makanan dijual di restoran (Shin et al. 2009), sedangkan di
Thailand dan Malaysia, ketiga spesies mimi Asia ini dikonsumsi sebagai makanan
eksklusif (Christianus & Saad 2007). Peranan mimi di bidang medis yaitu
haemolymph dari C. rotundicauda dapat menetralisir Tetrodotoxin (TTX) (Yeo et
al. 1996). Sel darah L. polyphemus digunakan oleh industri medis untuk
mensterilkan produk medis dan farmasi (Hurton 2003) karena dalam darahnya
mengandung Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang dapat mendeteksi endotoksin
pada darah manusia begitu juga dengan genus Tachypleus menghasilkan
Tachyplesin Amoebocyt Lysate (TAL) yang dapat mendeteksi endotoksin bakteri
gram negatif, mendeteksi endotoksin darah manusia, dan menguji obat bahwa bebas
dari bakteri patogen sebelum dikonsumsi oleh manusia (Novitsky 1994). Sel darah
C. rotundicauda sebagai imun aktif saat terjadi infeksi (Ding et al. 2005) dan
menghasilkan Carcinoscorpius Amoebocyt Lysate (CAL) (Novitsky 1994).
Secara ekologi, mimi memiliki peranan dalam penyeimbang rantai makanan
dan sebagai sumber protein bagi setidaknya 20 spesies burung pantai yang
bermigrasi (Dietl et al. 2000; Harrington 2001; Beekey et al. 2013). Mimi juga
berperan sebagai bioturbator dan mengendalikan hewan bentik invertebrata (Smith
2007; John et al. 2012). Selain itu, mimi juga dikonsumsi oleh monyet mangrove
(Macaca fascicularis) (Rubiyanto 2012).
Mimi mempunyai risiko kepunahan yang tinggi akibat adanya degradasi
habitat, reklamasi, pencemaran, perburuan komersial (Mishra 2009), hilangnya
habitat dan sumber makanan, perubahan kondisi air, serta peningkatan predasi (Hu
et al. 2009). Seperti yang terjadi di India, Hong Kong, dan Singapura (Shin et al.
2009; Taylor et al. 2011). Tahun 1990 populasi mimi Tachypleus gigas di
Balramgari India tercatat sebanyak 306 individu yang didapat dalam transek
sepanjang 200 meter (Chatterji et al. 1992) dan pada tahun 1996 jumlah
populasinya menurun menjadi 220 individu. Begitu pula di Hong Kong,
pengamatan pada bulan Mei-Desember 2002 tercatat densitas juvenil T. tridentatus
di Pak Nai adalah 197 individu/ha dan dua lokasi di Hak Pak Nai adalah 155
individu/ha dan 114 individu/ha (Chiu & Morton 2004) dan pada September 2004-
Februari 2005 tercatat densitasnya adalah 8 individu/ha, 16 individu/ha, dan 23
individu/ha (Li 2008). Kategori rendahnya kepadatan mimi juga terjadi di salah satu
perairan Indonesia yaitu di Perairan Kuala Tungkal, kepadatan mimi C.
rotundicauda dan T. gigas terhitung masing-masing 62 individu/ha dan 2
individu/ha (Rubiyanto 2012).
Penelitian terkait mimi telah banyak dilakukan di berbagai negara, namun di
Indonesia penelitian mengenai genetik mimi masih sangat jarang dilakukan.
Penelitian mimi di Indonesia diantaranya aspek biologi reproduksi (Fachrul 1989;
Eidman 1992; Purnomo 1992; Eidman 1997; Mulya 2004; Muslihah 2004),
Perkembangan embrio (Santoso 1992; Balasani 1994; Ismurwanti 1994; Rahmalia
28

1995; Vauziyah 1995), morfometrik (Suparta 1992), dan studi populasi mimi
(Rubiyanto 2012).
Genetika molekuler dibutuhkan terkait dengan ketepatan mengidentifikasi
spesies dan mendukung hasil identifikasi berdasarkan sifat morfologi. Identifikasi
suatu organisme mulai spesies hingga subspesies secara akurat terhadap berbagai
spesies yang sulit dibedakan secara morfologi dapat menggunakan DNA barcoding
(Tudge 2000). Salah satu kelompok gen yang dapat dijadikan sebagai marka
molekuler untuk penentuan spesies adalah gen Cythocrome Oxsidase subunit I
(COI) pada DNA mitokondria (Solihin 1994). COI pada mitokondria merupakan
gen yang berevolusi cepat dibandingkan gen 12S rRNA, 16S rRNA, dan beberapa
gen-gen mitokondria lainnya. Gen tersebut memiliki variasi yang sedikit sehingga
dapat digunakan sebagai DNA barcoding serta sedikit mengalami delesi dan insersi
dalam sekuennya (Hebert et al. 2003). Berdasarkan alasan di atas maka dibutuhkan
ketepatan identifikasi mimi dan informasi keanekaragaman haplotipe sebagai
implikasi konservasi dan manajemen serta informasi pembanding negara lain.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai Juli 2015 dengan
pengambilan sampel pada enam lokasi yaitu Pantai Kenjeran Surabaya, Campur
Rejo Gresik, Segara Menyan Subang, Banten, Rembang, dan Demak sebagai
perwakilan Pesisir Pulau Jawa (Gambar 18). Sedangkan, Analisis molekuler
dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler Departemen Manajemen
Sumberdaya Perairan dan Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 18. Peta lokasi pengambilan sampel mimi di Pulau Jawa


29

Alat dan Bahan

Berikut ini merupakan alat-alat yang digunakan dalam penelitian diantaranya


gunting, rak, sarung tangan, baki, neraca analitik, tube, heating, pipet mikro, vortex,
pinset, stirer, spatula, kertas saring, cetakan agar, alat elektroforensis, visual
ultraviolet (UV transluminator), mesin Thermal cycler, mesin Sentrifuse.
Sedangkan bahan-bahan meliputi darah dan jaringan otot halus mimi/belangkas dari
lokasi penelitian, kit isolasi DNA yaitu Gene Aid, kit PCR yaitu Kapa Extra
Hotstart, agarose, aquades, alkohol, buffer TEA, dan enzim restriksi.

Cara Kerja

Tahapan analisis molekuler meliputi beberapa tahapan diantaranya yaitu


isolasi dan ekstraksi DNA, elektroforesis DNA, amplifikasi dan visualisasi fragmen
DNA, sekuensing DNA, dan PCR-RFLP. Berikut merupakan tahapan analisis
molekuler yang akan dilakukan:

Isolasi dan Ekstraksi DNA


Sebanyak lima contoh mimi dari masing-masing lokasi yang diawetkan
dalam alkohol 96%. Preparasi contoh dengan dilakukan pengambilan 0,03-0,05 g
otot daging pada bagian ophistoma. Otot tersebut kemudian dikeringkan dan
dimasukkan kedalam microtube 1,5 ml, sedangkan untuk sampel darah sebanyak
250 µl darah yang telah diawetkan dengan alkohol absolut (1:2). Pencucian
dilakukan dengan aquades dengan cara memvortex sebanyak 10 kali untuk
menghilangkan kandungan alkohol dan 3 kali untuk sampel darah kemudian
disaring dengan kertas saring. Isolasi dan ekstraksi DNA dilakukan menggunakan
kit komersil (Gene Aid) berdasarkan prosedur manual pabrik dengan beberapa
modifikasi. DNA total akan dihasilkan dalam tahapan ini.

Elektroforesis DNA
Hasil isolasi kemudian dilakukan pengujian kualitas DNA total yaitu dengan
elektroforesis. Pembacaan DNA total pada gel agarosa 1,2% menggunakan larutan
buffer TAE 1x dan pewarnaan dengan menggunkan ethidium bromide 5 μl. Tujuan
dari elektroforesis DNA ini adalah untuk melihat kualitas DNA melalui pita DNA
secara visualisasi.

Amplifikasi Gen COI dengan PCR


Berdasarkan hasil elektroforesis, DNA yang memiliki kualitas baik (pita
DNA terlihat jelas) dapat dilanjutkan ketahap amplifikasi fragmen gen CO1.
Amplikasi ruas gen COI dilakukan menggunakan kit komersial Kapa Ekstra Hot
Start dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Primer yang digunakan
adalah primer universal (primer F forward dan F reverse) yang didesain oleh NA
Butet (2013, unpublished data). Berikut merupakan tahapan amplifikasi:
predenaturasi (suhu 95oC selama 3 menit), denaturasi (suhu 95oC selama 1 menit),
annealing (suhu 52oC selama 1 menit), elongasi (suhu 72oC selama 1 menit), post
PCR (suhu 72oC selama 5 menit), dan storage (suhu 15oC selama 10 menit).
30

Kemudian produk PCR divisualisasikan pada gel agarosa 1,2% dengan metode
elektroforesis.

Sekuensing dan Penentuan Urutan Nukleotida


Produk PCR yang memiliki kualitas baik kemudian dilakukan sekuensing
yaitu untuk mengetahui runutan basa-basa nukleotida penyusun gen target. Hasil
sekuensing dikirim untuk dicocokkan ke perusahaan jasa pelayanan sekuensing.

PCR-RFLP
Metode PCR-RFLP digunakan untuk mengetahui perbedaan profil ukuran
fragmen DNA dari individu yang berbeda (Hansen et al. 1997) dengan
menggunakan enzim restriksi EcoR1. Tahapan yang dilakukan yaitu dengan
mencampur 15,5 μL ddH2O, 2 μL produk PCR, dan 0,5 μL enzim restriksi yang
dicampurkan di dalam tube. Setelah itu campuran diinkubasi pada suhu 37oC
selama 3 jam. Campuran yang telah diinkubasi kemudian dielektroforesis
menggunakan gel agarosa 1,2 % dengan tegangan 100 V selama 45 menit.
Visualisasi hasil pemotongan menunjukkan pola fragmen yang khas berdasarkan
enzim restriksi.

Analisis Data

Analisis genetik diantaranya 1) jarak genetik untuk mengetahui besar


perbedaan basa nukleotida mimi dari masing-masing wilayah dengan menggunakan
software MEGA 5.0, 2) pohon filogeni untuk mengetahui hubungan kekerabatan
antar spesies dengan software MEGA 5.0, 3) Analisis keanekaragaman haplotipe
(h) Lampiran 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Amplifikasi Fragmen DNA Gen CO1 Mimi


Metode PCR telah digunakan untuk mengamplifikasi fragmen DNA gen CO1
pada suhu annealing 52oC. Panjang urutan basa nukleotida yang berhasil
teramplifikasi yaitu 700 bp (Gambar 19). Produk PCR yang berkualitas baik dapat
dilanjutkan pada tahap pemurnian dan sekuensing.
31

Gambar 19 Visualisasi DNA hasil pre-test produk PCR pada gel agarosa 0,8 %.
Kolom kiri sampai kanan: marker 1 kb, 1) Tt SBG, 2) Cr SBG, 3) Tg
SMG, 4) Tt SMG, 5) Tg DMK, 6) Cr DMK, 7) Cr RMG, 8) Tg SRB,
9) Tg SBG, 10) Tg BTN

Sekuensing DNA dan Pensejajaran Urutan Basa Nukleotida Gen COI Mimi
Hasil sekuensing disejajarkan dengan primer forward dan reverse. Analisis
jarak genetik dan konstruksi pohon filogeni dilakukan dengan menggunakan
software MEGA 5.0 (Tamura et al. 2011). Komposisi basa nukleotida C.
rotundicauda terdiri dari 34,8% basa timin (T), 28,1 % basa adenin (A), 21,2% basa
sitosin (C) dan 15,9% basa guanin (G). Sedangkan pada T. tridentatus terdiri dari
34% basa timin (T), 27,1 % basa adenin (A), 23,2% basa sitosin (C) dan 15,7% basa
guanin (G). Begitu juga dengan T. gigas terdiri dari 33,9% basa timin (T), 27,1 %
basa adenin (A), 23,2% basa sitosin (C) dan 15,8% basa guanin (G) (Lampiran 3).
Sehingga gen COI pada ketiga spesies mimi dikategorikan sebagai kelompok kaya
akan A-T.
Pensejajaran sekuen nukleotida gen COI ke-3 spesies menghasilkan nilai
conserved sebesar 71,8% (390/543), variabel sebesar 12,3% (67/543), dan
singleton 0,6% (3/543). Nilai variabel menunjukkan bahwa terdapat variasi basa
nukleotida yang merupakan karakteristik pembeda dari ketiga spesies.

Nukleotida Spesifik dan Mutasi Gen COI Mimi


Sekuen nukleotida gen COI disejajarkan dan diperoleh sebanyak 67 situs
spesifik pada mimi. Ke-67 situs spesifik ini merupakan penciri yang membedakan
ketiga spesies C. rotundicauda, T. gigas, dan T. tridentatus (Lampiran 4). Sebanyak
1 situs spesifik antar spesies C. rotundicauda, 4 situs spesifik antar spesies T. gigas,
dan 1 situs spesifik antara T. tridentatus yang membedakan antar masing-masing
spesies. Hal ini menunjukkan adanya evolusi spesifik dari ketiga spesies tersebut.
Berdasarkan hasil pensejajaran sekuen nukleotida gen CO1 diperoleh situs
mutasi. Situs mutasi hanya ditemukan pada spesies T. gigas dan T. tridentatus yaitu
delesi sebanyak 1 pada situs ke 107, sedangkan insersi tidak ditemukan.
32

Jarak Genetik dan Konstruksi Pohon Filogeni Mimi


Jarak genetik berdasarkan marka gen CO1 antara spesies pada famili
Limulidae yang dikaji di perairan pesisir Utara Jawa dengan spesies dari GenBank
ditampilkan pada Tabel 8. Spesies yang diperoleh dari GenBank berasal dari
perairan Laut Arab dan Sweden.

Tabel 8 Matriks jarak genetik fragmen gen CO1 pada tiga spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas)
dari famili Limulidae dari Banten, Subang, Semarang, Demak, Rembang,
dan Surabaya
Cr Cr Cr Tg Tt Tg Tg Tg Tg Tt Tt Tg
Spesies_lokasi
DMK RMG SBG BTN SBG SBG DMK SMG SRB SMG HQ588752 KJ825849
Cr DMK
Cr RMG 0,002
Cr SBG 0,002 0,000
Tg BTN 0,140 0,138 0,138
Tt SBG 0,143 0,140 0,140 0,009
Tg SBG 0,140 0,138 0,138 0,000 0,009
Tg DMK 0,140 0,138 0,138 0,007 0,002 0,007
Tg SMG 0,140 0,138 0,138 0,007 0,002 0,007 0,000
Tg SRB 0,143 0,140 0,140 0,009 0,004 0,009 0,002 0,002
Tt SMG 0,140 0,138 0,138 0,007 0,002 0,007 0,000 0,000 0,002
Tt HQ588752 0,129 0,127 0,127 0,088 0,090 0,088 0,088 0,088 0,090 0,088
Tg KJ825849 0,136 0,134 0,134 0,015 0,018 0,015 0,015 0,015 0,018 0,015 0,086
Keterangan: Cr: C. rotundicauda, Tt: T. tridentatus, Tg: T. gigas, DMK: Demak, RMG: Rembang,
SBG: Subang, BTN: Banten, SMG: Semarang, SRB: Surabaya, HQ588752: Sweden
KJ825849: Central Arabian Sea.

Nilai jarak genetik terendah antara spesies Indonesia dengan spesies


outgroups yaitu 0,015 pada Tg BTN, Tg SBG, Tg DMK, Tg SMG, Tt SMG dengan
T. gigas_KJ825849, sedangkan jarak tertinggi pada Cr DMK dengan T.
gigas_KJ825849 yaitu sebesar 0,136.
Jarak genetik fragmen gen CO1 pada tiga spesies mimi yaitu terendah 0,000
antara spesies Cr RMG-Cr SBG, Tg BTN-Tg SBG, Tg DMK-Tg SMG, Tg DMK-
Tt SMG, Tg SMG-Tt SMG. Jarak genetik terendah antar spesies C. rotundicauda
yaitu sebesar 0,000 pada lokasi RMG dan SBG, jarak tertinggi 0,002 pada daerah
DMK-RMG dan DMK-SBG. Jarak genetik terendah spesies T. gigas yaitu 0,000
BTN-SBG dan DMK-SMG, tertinggi yaitu 0,009 yaitu BTN-SRB dan SBG-SRB.
Jarak genetik antara spesies T. tridentatus SBG dan SMG yaitu 0,002.
Jarak genetik digunakan untuk membentuk pohon filogeni, dari pohon ini
dapat diketahui hubungan kekerabatan antar spesies. Pohon filogeni dikonstruksi
berdasarkan metode p-distance. Hasil analisis filogeni diperoleh pemisahan yang
nyata antara spesies Indonesia dengan spesies outgroups (Gambar 20). Kelompok
T. tridentatus teridentifikasi identik dengan T. gigas sedangkan C. rotundicauda
memiliki karakter nukleotida yang berbeda (distinct) dibandingkan dengan
outgroup.
33

T. tridentatus Subang
T. gigas Surabaya
T. tridentatus Semarang
T. gigas Semarang
T. gigas Demak
T. gigas Banten
T. gigas Subang
KJ825849 T. gigas
HQ588752 T. tridentatus
C. rotundicauda Demak
C. rotundicauda Rembang
C. rotundicauda Subang

Gambar 20 Konstruksi pohon filogeni berdasarkan gen CO1 pada tiga spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas)
dari famili Limulidae

Keragaman Haplotipe Mimi


Diperoleh sebanyak 7 jumlah haplotipe dari tiga spesies yang berasal dari 10
lokasi, dengan C. rotundicauda sebanyak 2 haplotipe dari 3 individu yang berasal
dari Demak, Rembang, dan Subang. T. gigas memiliki 3 haplotipe dari 5 individu
yang berasal dari Banten, Demak, Subang, Semarang, dan Surabaya. T. tridentatus
memiliki 2 haplotipe dari 2 individu yang berasal dari Semarang dan Subang.

Tabel 9 Keragaman haplotipe pada tiga spesies mimi (Carcinoscorpius


rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T. gigas) dari Banten,
Subang, Semarang, Demak, Rembang, dan Surabaya

Spesies ∑ haplotipe (∑ individu) Lokasi


C. rotundicauda 2 (3) DMK, RMG, SBG
T. gigas 3 (5) BTN, DMK, SBG, SMG, SRB
T. tridentatus 2 (2) SMG, SBG

Pemotongan dengan enzim restriksi


Pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi EcoR1 menghasilkan 8
jenis digesti yaitu tipe A, B, C, D, E, F, G, dan H. Tipe A dan B terjadi pada spesies
T. gigas dan tipe B dan H pada T. tridentatus, sedangkan tipe C, D, E, F, G terjadi
pada spesies C. rotundicauda. Tipe restriksi dengan panjang basa A (720 bp), B
(250, 450, 720 bp), C (100, 250, 450, 650, 720 bp), D (100, 650, 720 bp), E (100,
450, 650, 720 bp), F (450, 650, 720), G (650, 720), H (450,750). Variasi hasil
pemotongan pada beberapa sampel dapat dilihat pada Gambar 21, 22, dan 23
dengan ilustrasi tipe digesti pada Gambar 24.
34

Gambar 21 Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoRI. 1= Marker,
2-6= Tg Demak, 7-10= Tg Subang, 11-13= Tg Semarang

Gambar 22 Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoRI. 1= Marker,
2-8= Cr Demak, 9-13= Cr Subang

Gambar 23 Hasil digesti fragmen mtDNA oleh enzim restriksi EcoRI. 1= Marker,
2-5= Cr Rembang, 6-10= Tt Subang, 11= Tt Semarang, 12= Tg
Surabaya, 13= Tg Banten
35

Gambar 24 Ilustrasi tipe digesti yang terbentuk dari ke-3 spesies mimi
(Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus tridentatus, dan T.
gigas)

Pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi EcoR1 pada tiga spesies


menghasilkan 5 alel dan keanekaragaman haplotipe yang berbeda-beda. C.
rotundicauda memiliki total variasi haplotipe sebanyak 5 haplotipe, T. gigas
memiliki total variasi haplotipe 2, begitu juga T. tridentatus memiliki total variasi
haplotipe 2 (Tabel 10). Keanekaragaman haplotipe pada spesies tertinggi C.
rotundicauda yaitu pada lokasi Demak sebesar 0.8372, pada T. gigas yaitu lokasi
Subang sebesar 0.8095, dan daerah Semarang untuk spesies T. tridentatus yaitu
sebesar 1.
Tabel 10 haplotipe ketiga spesies mimi (Carcinoscorpius rotundicauda,
Tachypleus tridentatus, dan T. gigas)

Jumlah Jumlah Jumlah Tipe h (keanekaragaman


Spesies Lokasi
sampel alel haplotipe haplotipe haplotipe)
C. rotundicauda Rembang 4 3 2 D, G 0.6548
Subang 5 5 3 C, D, G 0.7867
Demak 7 5 4 C, D, E, F 0.8372
T. gigas Demak 5 3 2 A, B 0.4889
Subang 4 3 2 A, B 0.8095
Semarang 3 3 2 A, B 0.4889
Banten 1 3 1 B 0.6667
Surabaya 1 - - - -
T. tridentatus Subang 5 3 1 B 0.3704
Semarang 1 2 1 H 1.0000

Pembahasan

Perbedaan beberapa situs gen CO1 urutan basa nukleotida berdasarkan hasil
dari jarak genetik menunjukkan adanya mutasi pada mimi. Terdapat satu situs yang
termutasi delesi yaitu pada situs ke 107 pada spesies T. tridentatus dan T. gigas.
Gen tersebut sedikit mengalami delesi dan insersi dalam sekuennya, serta variasi
36

yang sedikit (Hebert et al. 2003). Urutan nukleotida bersifat conserve pada tingkat
spesies, hal ini ditunjukkan oleh sekuen nukleotida pada gen CO1 mimi.
Keberadaan 67 situs nukleotida spesifik menjadi penciri spesies mimi, yang
menunjukkan adanya evolusi spesifik pada mimi.
Basa nukleotida ketiga spesies tersebut didominasi oleh ikatan basa adenin
(A) dan timin (T). Yusuf (2011) menyatakan bahwa A-T memiliki ikatan hidrogen
yang terdiri dari dua ikatan dan bersifat lemah dibandingkan dengan G-C yang
memiliki tiga ikatan hidrogen. Sehingga, A-T lebih mudah terpisah dan
menyebabkan ketiga spesies mimi memiliki kemungkinan mutasi yang cukup tinggi.
Bila mutasi berjalan terus menerus dari generasi ke generasi maka pada suatu saat
akan muncul turunan baru yang sifatnya berbeda dengan moyangnya, sehingga
terjadilah peristiwa evolusi (Brown et al. 1979). Selain itu, mutasi yang cukup
tinggi ini dapat memiliki pengaruh menguntungkan, merugikan, atau netral pada
suatu populasi. Hal ini tergantung pada meningkatkan atau menurunkan variasi
genetik, karena mutasi dapat meningkatkan atau menurunkan fitness suatu spesies
(Soewardi 2007).
Spesies C. rotundicauda tidak terjadi mutasi dan memiliki jarak genetik
sangat jauh terhadap genus Tachypleus, menurut penelitian yang telah dilakukan
oleh Obst et al. (2012) dengan menggunakan fragmen gen 16S, 28S, dan CO1
diperoleh hasil bahwa konstruksi pohon filogeni C. rotundicuada terpisah dengan
genus Tachypleus, C. rotundicuada merupakan spesies yang memiliki keragaman
genetik paling tinggi dibandingkan dengan genus Tachypleus dan Limulus, hal ini
disebabkan oleh perbedaan faktor ekologi C. rotundicuada yang berhabitat di
estuari dan mangrove. Wilayah ini merupakan wilayah yang lebih tertutup
dibandingkan lautan terbuka, sehingga gene flow antara populasi spesies ini lebih
terbatas (Obst et al. 2012).
Konstruksi pohon filogeni spesies C. rotundicauda, T. gigas, dan T.
tridentatus dengan spesies outgropus, menunjukkan adanya pemisahan yang nyata.
Hal ini menunjukkan bahwa ketiga spesies tersebut memiliki karakter nukleotida
yang berbeda dibandingkan dengan outgroups (negara lain). Namun, pada
penelitian ini T. tridentatus memiliki nukleotida yang identik dengan T. gigas
berdasarkan hasil. Sedangkan spesies C. rotundicauda belum teridentifikasi secara
genetik. Menurut Wodajo (2015) DNA-barcoding memiliki beberapa keterbatasan
diantaranya yaitu resolusi rendah untuk beberapa kasus (hibridisasi, penyimpangan
spesies baru, dan kompleks spesies). Penyebab utama keterbatasan DNA-barcoding
yaitu berasal dari sistem identifikasi lokus tunggal (single-locus identification
system). Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Kemppainen et al.
(2009) yang menyatakan bahwa sekuen DNA mitokondria dan kloroplas yang
identik dapat terjadi pada spesies berbeda yang masih saling berkaitan karena
adanya introgresi (introgression) atau tidak lengkapnya menyortir garis keturunan
(incomplete lineage sorting) pada saat spesiasi (speciation). Diperkuat oleh
Sutrisno et al. (2013) meskipun gen CO1 telah dipilih menjadi satu gen yang
sekuennya digunakan dalam barcode dan memiliki kelebihan. Namun tidak semua
kelompok dapat menggunakan CO1 dalam analisis DNA barcode, karena belum
tentu mendapat hasil yang memuaskan. Gen CO1 tidak dapat digunakan dalam
kelompok tertentu. Hal ini terkait dengan beberapa kelemahan gen CO1 diantaranya
yaitu gen CO1 tidak bervariasi dalam beberapa kelompok takson tertentu. Gen CO1
mungkin tidak mampu menyelesaikan perbedaan tingkat spesies disemua
37

subkelompok dari kelompok takson dan data sekuen. Tambahan mungkin


diperlukan dari suatu wilayah kedua atau bahkan ketiga dalam kasus tersebut.
Setiap spesies menghasilkan pemotongan oleh enzim restriksi yang berbeda-
beda dan memiliki jumlah haplotipe yang berbeda-beda. Menurut Rina (2001),
adanya pemotongan yang berbeda pada tiap individu maupun antar populasi
merupakan hal yang menunjukkan adanya keragaman genetik di dalam populasi
dan antar populasi. C. rotundicuada Demak, T. gigas Subang, dan T. tridentatus
Semarang memiliki keanekaragaman haplotipe tertinggi jika dibandingkan dengan
lokasi lain. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang
hidup yang lebih baik untuk beradaptasi dengan lingkungannya (Rina 2001).
Keragaman genetik ketiga spesies mimi relatif kecil yang ditunjukkan dengan
adanya jumlah haplotipe hasil RFLP dan sekuensing serta jarak genetik hasil
sekuensing. Hal ini manunjukkan adanya sumber genetik yang sama. Jumlah
haplotipe tiap spesies berbeda, tertinggi pada hasil skuensing yaitu pada spesies T.
gigas, sedangkan pada hasil RFLP tertinggi pada spesies C. rotundicauda.
Haplotipe terbentuk akibat adanya perubahan salah satu nukleotida dari suatu
spesies. Diduga telah terjadi pertukaran genetik karena siklus hidup mimi pada saat
larva yaitu planktonik. Menurut Arruda et al. (2009) keragaman genetik
dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan seperti letak geografis, bentuk perairan
dan besar arah arus. Struktur genetika dan tingkat keanekaragaman suatu populasi
dipengaruhi oleh mekanisme genetik secara internal maupun eksternal. Faktor yang
dapat menyebabkan peningkatan keragaman genetik yaitu faktor mutasi dan
migrasi, sedangkan faktor-faktor yang menurunkan keragaman genetik yaitu seleksi
alam, silang dalam (inbreeding) serta penghanyutan gen (genetic drift) (Gardner et
al. 1991).
C. rotundicauda memiliki alel paling banyak dan keanekaragaman haplotipe
paling tinggi. Khusunya pada daerah Demak, sehingga dapat dikatakan bahwa
Demak memiliki lebih kaya genetik untuk spesies C. rotundicauda dibandingkan
dengan lokasi lain. Begitu juga dengan T. gigas Subang dan T. tridentatus
Semarang. Keragaman hayati memiliki peranan penting untuk keseimbangan
ekosistem, demikian pula keragaman genetik. Semakin tinggi keragaman genetik,
maka semakin tinggi populasi yang mampu bertahan hidup dalam jangka waktu
yang lebih lama, karena semakin tinggi daya adaptasi populasi terhadap perubahan
lingkungan. Dengan demkian, keragaman genetik merupakan kunci penting dalam
memelihara keberlanjutan dan kinerja produksi dari suatu spesies (Slamat 2009).
Sehingga Demak dapat ditentukan sebagai daerah gen stok untuk spesies C.
rotundicauda, Subang sebagai gen stok T. gigas, dan Semarang untuk T. tridentatus.
Keanekaragaman populasi dapat dipertahankan dengan cara mempertahankan
jumlah populasi, serta yang terpenting adalah mempertahankan kondisi lingkungan
agar tetap dalam kondisi baik.
38

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Identifikasi molekuler T. gigas dari penelitian ini telah menunjukkan


kepastian taksonomi (taxonomy certainty). Identifikasi spesies T. tridentatus dan C.
rotundicauda tidak berhasil dengan menggunakan gen CO1. T. tridentatus identik
dengan T. gigas, sedangkan C. rotundicauda perlu dilakukan analisis ulang. PCR-
RFLP dengan menggunakan primer F1 dan F2 dapat diaplikasikan pada ketiga
spesies mimi dan penggunaan enzim restriksi EcoR1 dapat memberikan hasil
pemotongan pita DNA hasil PCR-RFLP. Demak dapat ditentukan sebagai daerah
gen stok untuk spesies C. rotundicauda, Subang sebagai gen stok T. gigas, dan
Semarang untuk T. tridentatus.

Saran

Penggunaan sampel darah sangat mudah dilakukan pada ketiga spesies mimi,
namun hasil dengan menggunakan sampel darah sering mengalami kontaminasi.
Sehingga, sebaiknya menggunakan sampel otot daging dan kit komersial yang
memiliki kualitas baik sehingga diperoleh hasil yang baik serta menggunakan lebih
dari satu gen.

DAFTAR PUSTAKA

Arruda CCB, Beasley CR, Vallinoto M, Silva NSM, Tagliaro CH. 2009. Significant
genetic differentiation among population of Anomalocardia brasiliana
(Gmelin 1791): A bivalve with planktonic larval dispersion. Genetics and
Molecular Biology. 32(2):423-430.
Balisani SL. 1994. Studi perkembangan embrio blangkas Carcinoscorpius
Rotundicauda (Latreille) hasil pemijahan semi alami dan buatan [Skrpisi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Brown WM, Matthew G, JR., and Allan CW. 1979. Rapid evolution of animal
mitochondrial DNA. Proceedings of the National Academy of Sciences of the
United States of America. 76(4):1967-1971.
Beekey MA, Mattei JH, Pierce BJ. 2013. Horseshoe crab eggs: A rare resource for
predators in Long Island Sound. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology. 439:152-159.
Chatterji A, Vijayakumar R, Parulekar AH. 1992. Spawning migration of the
horseshoe crab, Tachypleus gigas (Muller), in relation to lunar cycle. Asian
Fisheries Science. 5:123-128.
Chiu, H.M.C. & B. Morton. 2004. The behavior of juvenil horseshoe crabs,
Tachypleus tridentatus (Xiphosura), on nursery beach at Shin Hau Wan,
Hong Kong. Hydrobiologia. 523:29-35.
39

Christianus A, Saad CR. 2007. Horseshoe crabs in Malaysia and the world. Fishery
Mail.16:8-9.
Dietl J, Nascimento C, Alexander R. 2000. Influence of ambient flow around the
horseshoe crab Limulus polyphemus on the distribution and orientation of
selected epizoans. Estuaries. 23:509-520.
Ding JL, Tan KC, Thangamani S, Kusuma N, Seow WK, Bui THH, Wang J, Ho B.
2005. Spatial and temporal coordination of expression of immune response
genes during Pseudomonas infection of horseshoe crab, Carcinoscorpius
rotundicauda. Nature Publishing Group. 6(7):557-574.
Eidman M, Mayunar, Redjeki S. 1997. Pematangan gonad mimi ranti,
Carcinoscorpius rotundicauda (Latreille) dan mimi bulan Tachypleus gigas
(Muller) dengan berbagai jenis pakan. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairandan
Perikanan Indonesia. 5(1):1-6.
Eidman M, Samosir AM, Aktani U. 1992. Studi Biologi Mimi/ Belangkas
(Subkelas Xiphosura) dalam Rangka Perngembangan dan Pemanfaatan
Sumberdaya Hayati Laut untuk Kebutuhan Industri Farmasi di Indonesia.
Laporan Peneliti Tahun I. Proyek Pengembangan Pendidikan Ilmu Kelautan.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Fakultas Perikanan. IBP, Bogor.
Fachrul MF. 1989. Aspek Biologi Mimi (Xilphosura). Term Paper Fakultas Pasca
Sarjana Institut Pertanian, Bogor.
Ferari KM, Targett NM. 2003. Chemical attractants in horseshoe crab, Limulus
polyphemus, eggs: the potential for an artificial bait. Journal of Chemical
Ecology. 29:477-496.
Gardner EJ, Simmon MJ, Snustad PD. 1991. Population and Evolutionary Genetics.
Chichester Brisbane, New York.
Harrington BA. 2001. Red Knot (Calidris canutus). In The Birds of North America,
No. 563 (A. Poole and F. Gill, eds.). The Birds of North America, Inc.,
Philadelphia, Pennsylvania.
Hebert PDN, Ratnasingham S, De Waard JR. 2003. Barcoding animal life:
cytochrome c oxidase subunit 1 divergences among closely related species.
Proceedings of the Royal Society. 270:96-99.
Hu M, Wang Y, Chen Y, Cheung SG, Shin PKS, Li Q. 2009. Summer distribution
and abundance of juvenile Chinese horseshoe crabs Tachypleus tridentatus
along an intertidal zone in Southern China. Aquatic Biologi. 7:107-112.
Hurton L. 2003. Reducing post-bleeding mortality of horseshoe crabs (Limulus
polyphemus) used in the biomedical industry [Thesis]. Virginia (US):
Virginia Polytechnic Institute and State University.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2015. Red list of
threatened species. www. Iuc-nredlist.org. 18 Mei 2015. Pukul. 18.27 WIB.
Irham M & Yuli SF. 2013. DNA Barcode Fauna Indonesia. Jakarta (ID):
KENCANA Prenadamedia Group.
Ismurwanti C. 1994. Studi awal pengaruh konsentrasi diazinon-60 EC terhadap
perkembangan embrio dan penetasan telur mimi ranti Carcinoscorpius
rotundicauda (Latreille) [Skrpisi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
John BA, Kamaruzzaman BY, Jalal KCA, Zaleha K. 2012. Feeding ecology and
food preferences of Carcinoscorpius rotundicauda collected from the Pahang
nesting grounds. Sains Malaysiana. 41(7):855-861.
Jusuf M. 2001. Genetika I: Struktur dan Ekspresi Gen. Jakarta (ID): Sagung Seto.
40

Lee CN, Morton B. 2005. Experimentally derived estimates of growht by juvenile


Tachypleus tridentatus and Carcinoscorpius rotundicauda (Xiphosura) from
nursery beaches in Hong Kong. Jurnal Marine Biology Ecology. 318:39-49.
Li HY. 2008. The conservation of horseshoe crabs in Hong Kong [Tesis]. Hong
Kong (HK): City Universitas of Hong Kong.
Kemppainen P, Panova M, Hollander J, Johannesson K. 2009. Complete lack of
mitochondrial divergence between two species of NE Atlantic marine
intertidal gastropods. Journal of Evolutionary Biology. 22:2000-2011.
Muslihah. 2004. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Mimi Bulan Tachypleus
gigas di Perairan Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Mulya MB. 2014. Pelestarian, Pemanfaatan Sumberdaya Genetika Mimi Ranti
(Carcinosscorpius rotundicauda, L) dan Mimi Bulan (Tachypleus gigas, M).
© 2004 Digitized by USU digital library.
Mishra JK. 2009. Horseshoe crabs, their eco-biological status along the northeast
coast of India and the necessity for ecological conservation. In: Tanacredi JT
et al. (eds). 2009. Biology and conservation of horseshoecrabs. Springer
Science & Business Media. 89-96.
Novitsky TJ, Thomas, Dawson, Michael E, Paus, Erik J. 2002. Artificial bait.
United States Patent: 639-1295.
Novitsky TJ. 1994. Limulus amebocyte lysate (LAL) detection of endotoxin in
human blood. Journal of endotoxin research. 1(4):253-263.
Obst M, Faurby S, Bussarawit S, Funch P. 2012. Molecular phylogeny of extant
horseshoe crabs (Xiphosura, Limulidae) indicates Paleogene diversification
of Asian species. Molecular Phylogenetics and Evolution. 62(1):21-26.
Purnomo YA. 1992. Biologi reproduksi mimi ranti Carcinoscorpius rotundicauda
(latreille) betina yang tertangkap di perairan Rembang, Jawa Tengah [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahmalia E. 1995. Pembuahan buatan dan studi awal pengaruh konsentrasi saponin
terhadap perkembangan embrio dan larva mimi bulan Tachypleus gigas
(Muller) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rina. 2001. Keragaman genetik ikan pangasius Indonesia bedasarkan analisis
mtDNA dengan teknik PCR-RFLP [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Rubiyanto E. 2012. Studi populasi mimi (Xiphosura) di perairan Kuala Tungkal
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi [Tesis]. Depok (ID): Universitas
Indonesia.
Santoso AR. 1992. Pemijahan dan perkembangan embrio mimi Tachypleus gigas
(Muller) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Selander RK, Yang SY, Lewontin RC, Johnson WE. 1970. Genetic variation in the
horseshoe crab (Limulus polyphemus), a phylogenetic ‘‘relic’’. Evolution.
24(2):402-414
Shin P, Li HY, Cheung SG. 2009. Horseshoe crabs in Hong Kong: Current
population status and human exploitation. In: Tanacredi JT et al. (eds). 2009.
Biology and conservation of horseshoe crabs. Springer Science & Business
Media. 347-360.
41

Slamat. 2009. Keanekaragaman genetik ikan betok (Anabas testudineus, Bloch)


pada tiga ekosistem perairan rawa di Provinsi Kalimantan Selatan [Tesis].
Bogor (ID): Intitut Pertanian Bogor.
Smith DR. 2007. Effect of horseshoe crab spawning density on nest disturbance and
exhumation of eggs: a simulation study. Estuaries. 30:287-295.
Solihin DD. 1994. Peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keragaman genetik
dan biologi populasi pada hewan. Hayati. 1(1):1-4.
Suparta. 1992. Keragaman sifat-sifat morfometrik mimi, Tachypleus gigas
(MULLER) & Carcinoscorpius rotundicouda (LATREILLE) di perairan
pantai Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat dan perairan pantai Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sutrisno H, Muhammad SAZ, Sri S. 2013. DNA Barcode Fauna Indonesia. Jakarta
(ID): KENCANA Prenadamedia Group.
Taylor LC, Lee J, Hsu CC. 2011. Population structure and breeding pattern of the
mangrove horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda in Singapore.
Aquatic Biology. (8):61-69.
Tudge C. 2000. The Variety of Life. New York (US): Oxford University Press.
Vauziyah C. 1995. Perkembangan embrio mimi bulan Tachypleus gigas (Muller)
dari perairan Teluk Banten pada berbagai salinitas media [Skrpisi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Wodajo B. 2015. DNA-barcoding for taxonomical classification: it’s implication
species Identification. International Journal of Multidisciplinary Research
and Information. 1(1):63-74.
Walls EL, Berkson J, Smith SA. 2002. The Horseshoe Crab, Limulus polyphemus:
200 million years of existence, 100 years of study. Review Fisheries
Sciences.10:39-73.
Yeo DSA, Ding JL, Ho B. 1996. Neuroblastoma cell culture assay shows that
Carcinoscorpius rotundicauda haemolymph neutralizes tetrodotoxin.
Pergamon. 34(9):1054-1057.

4 PEMBAHASAN UMUM

Webster (2007) menyatakan bahwa alat yang efektif digunakan untuk


mempelajari perubahan dan variasi bentuk tubuh suatu organisme yaitu melalui
kajian morfometrik. Morfometrik merupakan salah satu bentuk mekanisme adaptasi
terhadap perbedaan karakter habitat. Adaptasi morfologi yang dilakukan dapat
menyebabkan munculnya karakteristik morfologi yang berbeda. Perbedaan
karakter morfologi ini dapat dijadikan sebagai penciri stok dari suatu populasi mimi
pada masing-masing habitat.
Keragaman morfologi pada ketiga spesies mimi dapat dilihat dari karakter
morfologi mimi baik ukuran maupun fenotip mimi seperti warna dan karakter
fenotip lainnya. Secara umum T. gigas memiliki ukuran yang lebih besar
dibandingkan dengan T. tridentatus dan C. rotundicauda. C. rotundicauda memiliki
ukuran yang relatif kecil. Sedangkan secara fenotip T. gigas dan T. tridentatus
memiliki warna yang lebih terang dibandingkan dengan C. rotundicauda. Hal ini
dipengaruh oleh habitat dari masing-masing spesies. T. gigas dan T. tridentatus
42

lebih menyukai habitat dengan substrat berlumpur dominan berpasir (Li 2008),
sedangkan C. rotundicauda lebih menyukai substrat berlumpur, khususnya daerah
mangrove. C. rotundicauda hidup di air payau dengan substrat berlumpur, biasanya
pada daerah mangrove (Shin & Cheung 2009; Cartwright-Taylor et al. 2011;
Rubiyanto 2012). Berdasarkan keragaman di atas, T. gigas dan T. tridentatus
membentuk satu kelompok sedangkan C. rotundicauda membentuk kelompok
tersendiri.
Keragaman karakter morfometrik membentuk konstruksi dendrogram
pengelompokan kemiripan, C. rotundicauda Semarang dan Demak, Gresik dan
Surabaya membentuk satu kelompok. Sedangkan Rembang dan Subang
membentuk kelompok tersendiri. T. gigas Semarang dan Demak, Subang dan
Banten membentuk satu kelompok, Surabaya membentuk kelompok tersendiri. T.
tridentatus Semarang dan Banten membentuk satu kelompok namun Gresik dan
Banten berbeda kelompok. Karakter morfologi mimi C. rotundicauda Subang
membentuk kelompok tersendiri karena memiliki ukuran tubuh dan anggota tubuh
yang relatif lebih kecil dibandingkan daerah Semarang, Demak, Rembang, Gresik,
dan Surabaya. C. rotundicauda Rembang memiliki ukuran rata-rata lebar maksimal
prosoma lebih besar dibandingkan dengan daerah Subang, Semarang, Demak,
Gresik, dan Surabaya. Gresik memiliki 7 ukuran tubuh (X1-X4, X8, X9, X12-X13)
dan 5 anggota tubuh (X18-X22) lebih besar, dan Surabaya memiliki 6 ukuran tubuh
(X5, X7, X11, X14-X16) serta 6 anggota ukuran tubuh (X23-X28) lebih besar.
Begitu juga dengan T. gigas Surabaya membentuk kelompok tersendiri karena
memiliki ukuran tubuh (X1-X2 dan X4-X16) lebih besar dan 5 anggota tubuh (X22,
X23, X26-X28) yang relatif lebih besar dibandingkan daerah Semarang, Demak,
Subang, dan Banten (memiliki 6 anggota tubuh yaitu X17-X21 dan X24-X25).
Sedangkan T. gigas Semarang dan Demak memiliki ukuran relatif sama, begitu juga
dengan Subang dan Banten. Begitu juga T. tridentatus Subang memiliki ukuran
tubuh dan anggota tubuh yang relatif lebih kecil dibandingkan daerah Semarang,
Gresik, dan Banten sehingga membentuk kelompok tersendiri. T. tridentatus
Semarang memiliki 5 ukuran tubuh (X1, X5, X8, X10, X15) dan 1 anggota tubuh
(X24) lebih besar Sedangkan T. tridentatus Gresik memiliki 4 ukuran tubuh (X2,
X11, X12, X16) dan 3 anggota tubuh (X25, X26, X28) lebih besar. Banten memiliki
6 ukuran tubuh (X4, X6, X7, X9, X13, X14) dan 8 ukuran anggota tubuh (X17-X23,
X27) lebih besar. Perbedaan ukuran tubuh mimi dipengaruhi oleh kepadatan
populasi, ketersediaan pangan, dan pengaruh kondisi lingkungan (Chatterji et al.
2000; Zadeh et al. 2011). Penelitian yang telah dilakukan oleh Chatterji et al. (2000)
diperoleh hasil bahwa pertambahan panjang dan lebar karapas dipengaruhi oleh
ketersediaan pakan dan kepadatan populasi. Mimi memiliki ukuran karapas yang
berbeda pada habitat yang berbeda seperti karapas populasi mimi yang ada di
Malaysia memiliki karapas yang lebih besar dibandingkan dengan karapas yang ada
di India dan Thailand (Chatterji 1999; Srijaya et al. 2010).
Namun, jika dibandingkan antara pengelompokkan secara morfologi dan
genetika terdapat perbedaan. Pengelompokkan mimi secara genetik berdasarkan
dendrogram memberikan hasil yang berbeda dengan morfologi, pada hasil genetik
spesies T. tridentatus membentuk satu kelompok dengan T. gigas, dan C.
rotundicauda membentuk kelompok tersendiri. C. rotundicauda Rembang dan
Subang membentuk satu kelompok, dan Demak membentuk kelompok dengan
kelompok Rembang dan Subang. T. gigas Banten dan Subang membentuk satu
43

kelompok, sedangkan Surabaya, Semarang, Demak membentuk kelompok terpisah.


T. tridentatus membentuk kelompok dengan Subang dan Semarang, namun juga
membentuk satu kelompok dengan T. gigas Surabaya, Semarang, dan Demak.
PCR-RFLP dengan menggunakan primer F1 dan F2 dapat diaplikasikan.
Penggunaan enzim restriksi EcoR1 dapat memberikan hasil pemotongan pita DNA
hasil PCR-RFLP. Demak dapat dijadikan sebagai gene stock karena memiliki alel
dan jumlah haplotipe paling banyak dibandingkan dengan lokasi lainnya. Populasi
dengan keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang hidup yang lebih baik
untuk beradaptasi dengan lingkungannya (Rina 2001).
Kegiatan nelayan di seluruh lokasi baik Banten, Subang, Semarang, Demak,
Rembang, Gresik dan Surabaya semakin padat. Mimi tertangkap oleh jaring
nelayan dan tidak langsung dilepeskan langsung ke habitatnya karena akan
membutuhkan waktu yang relatif lama untuk memisahkan mimi dari heawan target
serta melepaskan dari perangkap jaring. Sehingga mimi dibawa ke daratan atau
pelabuhan untuk nantinya disortir dan dilepaskan dari jeratan jaring. Apabila mimi
yang tertangkap adalah mimi dari jenis T. gigas betina biasanya nelayan akan
membawa pulang untuk dimasak karena cita rasa telur mimi yang enak. Selain T.
gigas betina maka mimi hanya akan di buang di sembarang tempat bahkan hanya
tergeletak dilokasi hingga mimi mati. Sehingga perlu adanya pengaturan aktivitas
nelayan agar tidak melakukan aktivitas penangkapan di area habitat mimi. Jika
mimi terjaring maka sebaiknya mimi segera dilepaskan dan dikembalikan segera ke
habitatnya.
Pantai merupakan tempat untuk mimi memijah dan meletakkan telurnya
(Sekiguchi & Shuster 2009). Namun pada kenyataannya hampir seluruh pantai di
lokasi penelitian telah mengalami reklamasi yaitu pembangunan bendungan
disepanjang pantai, pelabuhan, serta lokasi wisata tanpa memperhatikan habitat
mimi. Sehingga perlu adanya kesadaran dan peraturan terhadap reklamasi pantai
yang telah merubah fungsi karena tersedianya tempat pemijahan dan tempat telur
mimi dikubur akan membantu meningkatkan jumlah populasi mimi serta menjaga
mimi agar tetap menjadi sumberdaya hayati yang lestari.
C. rotundicauda meletakkan telurnya di daerah lumpur sepanjang sungai
daerah mangrove (Sekiguchi & Shuster 2009). Namun pada kenyataannya masih
ada yang penduduk yang menebang mangrove untuk kebutuhan sehari-hari, serta
penebangan mangrove untuk pembangunan bendungan serta lokasi wisata. Selain
C. rotundicuauda berhabitat di area mangrove, mangrove juga menjadi area feeding
ground dan sumber makanan bagi spesies T. gigas dan T. tridentatus. Jika area ini
mengalami kerusakan sudah dipastikan C. rotundicauda akan kehilangan
habitatnya, T. gigas dan T. tridentatus telah kehilangan sumber makanannya.
Menurut nelayan di Rembang (2015) mimi kebo atau T. gigas sudah sangat jarang
ditemukan dan selama satu minggu penelitian di lapangan tidak ditemukan T. gigas
dan T. tridentatus sama sekali. Penyebab menurunnya populasi mimi diantaranya
yaitu degradasi habitat, perburuan komersial (Mishra 2009), hilangnya habitat dan
sumber makanan, perubahan kondisi air, serta peningkatan predasi Hu et al. (2009).
Menurut Chiu & Morton 2004; Shin et al. 2009) T. gigas di Hong Kong juga sulit
ditemukan. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No.12/KPTS-II/1987 dan PP RI
No. 7/1999 T. gigas dikategorikan sebagai hewan langka dan dilindungi oleh
peraturan tersebut. Begitu juga dengan T. tridentatus yang jarang ditemukan. Shin
(2009) menyatakan bahwa T. tridentatus di Hong Kong populasinya menurun
44

akibat penangkapan untuk dijual di restoran dan dikonsumsi (Christianus & Saad
2007). Menurut Rubiyanto (2012) T. gigas lebih sedikit terjaring kapal nelayan
disebabkan kandungan substrat pasir semakin sedikit sedangkan jumlah lumpurnya
semakin bertambah. Oleh karena itu sangat penting untuk melestarikan area
mangrove serta diadakannya konservasi di area tersebut. Namun, tanpa dukungan
dari pemerintah hal tersebut tidak akan terjadi, sehingga pemerintah sangat penting
dalam membuat peraturan dan bersama masyarakat menegakkan hukum untuk
sumberdaya hayati yang lestari.

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

C. rotundicauda Subang memiliki ukuran tubuh lebih kecil, sedangkan


Rembang memiliki ukuran rata-rata lebar maksimal prosoma paling besar. T. gigas
Surabaya memiliki ukuran tubuh lebih besar. T. tridentatus Subang memiliki
ukuran tubuh lebih kecil, Gresik memiliki ukuran tubuh lebih besar. Ukuran tubuh
mimi secara berurutan dari yang paling besar T. gigas> T. tridentatus> C.
rotundicauda. Ciri utama yang membedakan ketiga spesies dari karakter fenotip
yaitu telson bergerigi pada genus Tachypleus dan telson halus pada genus
Carcinoscorpius. T. tridentatus terdapat duri tajam pada bagian ophistoma dan
prosoma, sedangakan T. gigas tidak.
Terjadi ketidaksinkronan antara hasil molekuler dengan morfologi. Secara
morfologi teridentifikasi tiga spesies sedangkan secara molekuler T. tridentatus
identik dengan T. gigas dan C. rotundicauda perlu dilakukan analisis lanjut. T.
gigas telah menunjukan kepastian taksonomi (taxonomy certainty). Berdasarkan
hasil RFLP diperoleh Demak dapat ditentukan sebagai daerah gen stok untuk C.
rotundicauda, Subang sebagai gen stok T. gigas, dan Semarang untuk T. tridentatus
karena memiliki keanekaragaman haplotipe lebih tinggi dibandingkan dengan
lokasi lain.

Saran

Perlu dilakukan pengulangan identifikasi secara molekuler di masing-masing


lokasi. Sebaiknya menggunakan bagian otot daging dengan menggunakan Kit
berkualitas baik. Sehingga dapat diperoleh DNA yang berkualitas baik. Serta,
sterilisasi perlu dilakukan setiap penggunaan alat dan bahan untuk kebutuhan
molekuler.

DAFTAR PUSTAKA

Arruda CCB, Beasley CR, Vallinoto M, Silva NSM, Tagliaro CH. 2009. Significant
genetic differentiation among population of Anomalocardia brasiliana
45

(Gmelin 1791): A bivalve with planktonic larval dispersion. Genetics and


Molecular Biology. 32(2):423-430.
Balisani SL. 1994. Studi perkembangan embrio blangkas Carcinoscorpius
rotundicauda (Latreille) hasil pemijahan semi alami dan buatan [Skrpisi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Beekey MA, Mattei JH, Pierce BJ. 2013. Horseshoe crab eggs: A rare resource for
predators in Long Island Sound. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology. 439:152-159.
Brown WM, Matthew G, JR., and Allan CW. 1979. Rapid evolution of animal
mitochondrial DNA. Proceedings of the National Academy of Sciences of the
United States of America. 76(4):1967-1971.
Cartwrigt-Taylor L, Lee J, Hsu CC. 2009. Population structure and breeding pattern
of the mangrove horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda in Singapore.
Aquatic Biology. 8:61-69
Cartwrigt-Taylor L, Bing YV, Chi HC, Tee LS. 2011. Distribution and abundance
of horseshoe crabs Tachypleus gigas and Carcinoscorpius rotundicauda
around the main island Singapore. Aquatic Biology. 13:127-136.
Chatterji A. 1999. New record of the sympatric distribution of two Asian species of
the horseshoe crab. Indian Journal of Marine Science. 77(6):43-48.
Chatterji A, Parulekar AH, Vijayakumar R. 2000. Morphometric characteristics in
the horseshoe crab Tachypleus gigas (Artropoda: Merostomata). Indian
Journal of Marine Science. 29:333-335.
Chatterji A, Vijayakumar R, Parulekar AH. 1992. Spawning migration of the
horseshoe crab, Tachypleus gigas (Muller), in relation to lunar cycle. Asian
Fisheries Science. 5:123-128.
Chiu HMC, Morton B. 2004. The behavior of juvenil horseshoe crabs, Tachypleus
tridentatus (Xiphosura), on nursery beach at Shin Hau Wan, Hong Kong.
Hydrobiologia. 523:29-35.
Christianus A, Saad CR. 2007. Horseshoe crabs in Malaysia and the world. Fishery
Mail. 16:8-9.
Dietl J, Nascimento C, Alexander R. 2000. Influence of ambient flow around the
horseshoe crab Limulus polyphemus on the distribution and orientation of
selected epizoans. Estuaries. 23:509-520.
Ding JL, Tan KC, Thangamani S, Kusuma N, Seow WK, Bui THH, Wang J, Ho B.
2005. Spatial and temporal coordination of expression of immune response
genes during Pseudomonas infection of horseshoe crab, Carcinoscorpius
rotundicauda. Nature Publishing Group. 6(7):557-574.
Eidman M, Mayunar, Redjeki S. 1997. Pematangan gonad mimi ranti,
Carcinoscorpius rotundicauda (Latreille) dan mimi bulan Tachypleus gigas
(Muller) dengan berbagai jenis pakan. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia. 5(1):1-6.
Eidman M, Samosir AM, Aktani U. 1992. Studi biologi mimi/belangkas (Subkelas
Xiphosura) dalam rangka perngembangan dan pemanfaatan sumberdaya
hayati laut untuk kebutuhan industri farmasi di Indonesia. Laporan Peneliti
Tahun I. Proyek Pengembangan Pendidikan Ilmu Kelautan. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi. Fakultas Perikanan. IPB, Bogor.
Fachrul MF. 1989. Aspek Biologi Mimi (Xilphosura). Term Paper Fakultas Pasca
Sarjana Institut Pertanian, Bogor.
46

Ferari KM, Targett NM. 2003. Chemical attractants in horseshoe crab, Limulus
polyphemus, eggs: the potential for an artificial bait. Journal of Chemical
Ecology. 29:477-496.
Gardner EJ, Simmon MJ, Snustad PD. 1991. Population and Evolutionary Genetics.
Chichester Brisbane, New York.
Harrington BA. 2001. Red Knot (Calidris canutus). In The Birds of North America,
No. 563 (A. Poole and F. Gill, eds.). The Birds of North America, Inc.,
Philadelphia, Pennsylvania.
Hebert PDN, Ratnasingham S, De Waard JR. 2003. Barcoding animal life:
cytochrome c oxidase subunit 1 divergences among closely related species.
Proceedings of the Royal Society. 270:96-99.
Hu M, Wang Y, Chen Y, Cheung SG, Shin PKS, Li Q. 2009. Summer distribution
and abundance of juvenile Chinese horseshoe crabs Tachypleus tridentatus
along an intertidal zone in Southern China. Aquatic Biologi. 7:107-112.
Hurton L. 2003. Reducing post-bleeding mortality of horseshoe crabs (Limulus
polyphemus) used in the biomedical industry [Tesis]. Virginia (US): Virginia
Polytechnic Institute and State University.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2015. Red list of
threatened species. www. Iuc-nredlist.org. 18 Mei 2015. Pukul. 18.27 WIB.
Irham M, Yuli SF. 2013. DNA Barcode Fauna Indonesia. Jakarta (ID): KENCANA
Prenadamedia Group.
Ismurwanti C. 1994. Studi awal pengaruh konsentrasi diazinon-60 EC terhadap
perkembangan embrio dan penetasan telur mimi ranti Carcinoscorpius
rotundicauda (Latreille) [Skrpisi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
John BA, Kamaruzzaman BY, Jalal KCA, Zaleha K. 2012. Feeding ecology and
food preferences of Carcinoscorpius rotundicauda collected from the Pahang
nesting grounds. Sains Malaysiana. 41(7):855-861.
Johnson SL, Brockmann HJ. 2010. Costs of multiple mates: an experimental study
in horseshoe crabs. Animal Behaviour. 80:773-782.
Jusuf M. 2001. Genetika I: Struktur dan Ekspresi Gen. Jakarta (ID): Sagung Seto.
Lee CN, Morton B. 2005. Experimentally derived estimates of growht by juvenile
Tachypleus tridentatus and Carcinoscorpius rotundicauda (Xiphosura) from
nursery beaches in Hong Kong. Jurnal Marine Biology Ecology. 318:39-49.
Li HY. 2008. The conservation of horseshoe crabs in Hong Kong [Tesis]. Hong
Kong (HK): City Universitas of Hong Kong.
Kemppainen P, Panova M, Hollander J, Johannesson K. 2009. Complete lack of
mitochondrial divergence between two species of NE Atlantic marine
intertidal gastropods. Journal of Evolutionary Biology. 22:2000-2011.
Muslihah. 2004. Beberapa aspek biologi reproduksi mimi bulan Tachypleus gigas
di perairan Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Mulya MB. 2014. Pelestarian, pemanfaatan sumberdaya genetika mimi ranti
(Carcinosscorpius rotundicauda, L) dan mimi bulan (Tachypleus gigas, M).
© 2004 Digitized by USU digital library.
Mishra JK. 2009. Horseshoe crabs, their eco-biological status along the northeast
coast of India and the necessity for ecological conservation. In: Tanacredi JT
et al. (eds). 2009. Biology and conservation of horseshoecrabs. Springer
Science & Business Media: 89-96.
47

Novitsky TJ, Thomas, Dawson, Michael E, Paus, Erik J. 2002. Artificial bait.
United States Patent: 639-1295.
Novitsky TJ. 1994. Limulus amebocyte lysate (LAL) detection of endotoxin in
human blood. Journal of Endotoxin Research. 1(4):253-263.
Obst M, Faurby S, Bussarawit S, Funch P. 2012. Molecular phylogeny of extant
horseshoe crabs (Xiphosura, Limulidae) indicates Paleogene diversification
of Asian species. Molecular Phylogenetics and Evolution. 62(1):21-26.
Purnomo YA. 1992. Biologi reproduksi mimi ranti Carcinoscorpius rotundicauda
(latreille) betina yang tertangkap di perairan Rembang, Jawa Tengah [Skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahmalia E. 1995. Pembuahan buatan dan studi awal pengaruh konsentrasi saponin
terhadap perkembangan embrio dan larva mimi bulan Tachypleus gigas
(Muller) [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rina. 2001. Keragaman genetik ikan pangasius Indonesia bedasarkan analisis
mtDNA dengan teknik PCR-RFLP [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Rubiyanto E. 2012. Studi populasi mimi (Xiphosura) di perairan Kuala Tungkal
Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi [Tesis]. Depok (ID): Universitas
Indonesia.
Santoso AR. 1992. Pemijahan dan perkembangan embrio mimi Tachypleus gigas
(Muller) [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Selander RK, Yang SY, Lewontin RC, Johnson WE. 1970. Genetic variation in the
horseshoe crab (Limulus polyphemus), a phylogenetic ‘‘relic’’. Evolution.
24(2):402-414
Sekiguchi K, Shuster Jr CN. 2009. Limits on the global distribution of horseshoe
crabs (Limulacea): Lessons learned from two lifetimes of observation. In:
Tanacredi JT et al. (eds). 2009. Biology and conservation of horseshoe crabs.
Springer Science & Business Media: 5-24.
Sekiguchi K. (ed.). 1988. Biology of the Horseshoe Crabs. Tokyo (JP): Science
House Co. Ltd.
Shin P, Li HY, Cheung SG. 2009. Horseshoe crabs in Hong Kong: Current
population status and human exploitation. In: Tanacredi JT et al. (eds). 2009.
Biology and conservation of horseshoe crabs. Springer Science & Business
Media: 347-360.
Slamat. 2009. Keanekaragaman genetik ikan betok (Anabas testudineus, Bloch)
pada tiga ekosistem perairan rawa di Provinsi Kalimantan Selatan [Tesis].
Bogor (ID): Intitut Pertanian Bogor.
Smith DR. 2007. Effect of horseshoe crab spawning density on nest disturbance and
exhumation of eggs: a simulation study. Estuaries. 30:287-295.
Solihin DD. 1994. Peran DNA mitokondria (mtDNA) dalam studi keragaman genetik
dan biologi populasi pada hewan. Hayati. 1(1):1-4.
Suparta. 1992. Keragaman sifat-sifat morfometrik mimi, Tachypleus gigas
(MULLER) & Carcinoscorpius rotundicouda (LATREILLE) di perairan
pantai Kabupaten Pandeglang, Jawa Barat dan perairan pantai Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sutrisno H, Muhammad SAZ, Sri S. 2013. DNA Barcode Fauna Indonesia. Jakarta
(ID): KENCANA Prenadamedia Group.
48

Srijaya TC, Pradeep PJ, Mitun S, Hasan A, Shaharom F, Chatterji A. 2010. A new
record on the morphometric variation in the population of horseshoe crab
(Carcinoscorpius rotundicauda Latreille) obtained from two different
ecological habitats of Peninsular Malaysia. Nature. 8:204-211.
Taylor LC, Lee J, Hsu CC. 2011. Population structure and breeding pattern of the
mangrove horseshoe crab Carcinoscorpius rotundicauda in Singapore.
Aquatic Biology. (8):61–69.
Tudge C. 2000. The Variety of Life. New York (US): Oxford University Press.
Vauziyah C. 1995. Perkembangan embrio mimi bulan Tachypleus gigas (Muller)
dari perairan Teluk Banten pada berbagai salinitas media [Skrpisi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Webster M. 2007. A cambrian peak in morphological variation within trilobite
species. Science. 317(5837):499-502.
Walls EL, Berkson J, Smith SA. 2002. The Horseshoe Crab, Limulus polyphemus:
200 million years of existence, 100 years of study. Review Fisheries Sciences.
10:39-73.
Wodajo B. 2015. DNA-barcoding for taxonomical classification: it’s implication
species Identification. International Journal of Multidisciplinary Research
and Information. 1(1):63-74.
Yeo DSA, Ding JL, Ho B. 1996. Neuroblastoma cell culture assay shows that
Carcinoscorpius rotundicauda haemolymph neutralizes tetrodotoxin.
Pergamon. 34(9):1054-1057.
Zadeh SS, Christianus A, Saad CR, Hajeb P, Kamarudin MS. 2011. Comparations
in prosomal width and body weight among early instar stages of Malaysian
Horseshoe crabs, Carcinoscorpius rotundicauda and Tachypleus gigas in the
laboratory. In: Tanacredi JT et al. (eds). 2011. Biology and conservation of
horseshoe crabs. Springer Science & Business Media: 267-274.
49

LAMPIRAN

Lampiran 1 Klasifikasi tiga spesies mimi a) Tachypleus tridentatus, b) T. gigas, dan


c) Carcinoscorpius rotundicauda menurut Sekiguchi (1998)

Filum : Arthropoda
Sub Filum : Cheliserata
Kelas : Merosomata
Sub Kelas : Xiphosura
Ordo : Xiphosirida
Super Famili : Limuroidea
Famili : Limulidae
Sub Famili : Tachypleinae
Genus1 : Tachypleus
Spesies : 1. Tachypleus tridentatus (Gambar a)
: 2. Tachypleus gigas (Gambar b)
Genus2 : Carcinoscorpius
Spesies : Carcinoscorpius rotundicauda (Gambar c)

Lampiran 2 Formula menghitung keanekaragaman haplotipe

h=2n*(1-∑xi2)/2n-1

Keterangan:
h : Keanekaragaman haplotipe
n : Ukuran sampel
xi : Frekuensi haplotipe pada sampel ke-i
50

Lampiran 3 Komposisi basa nukleotida mimi (Tachypleus tridentatus, T. gigas, dan


Carcinoscorpius rotundicauda)

Lampiran 4 Basa nukleotida spesifik mimi (Tachypleus tridentatus, T. gigas, dan


Carcinoscorpius rotundicauda) dengan outgroups
51

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Lusita Meilana, anak kedua dari dua


bersaudara lahir di Pematang Tahalo pada tanggal 2 Mei 1992.
Ayah bernama Sutiyo, Ibu bernama Dwi Setiya Wati, dan kakak
bernama Novita Sastrawati. Penulis menyelesaikan pendidikan
sarjana di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,
Institut Pertanian Bogor pada Tahun 2014 dengan judul
penelitian “The Meiobenthos Abundance as Bioindicators of
Tangerang Coastal Waters”. Penulis melanjutkan pendidikan
pascasarjana melalui program akselerasi (fast track) pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Perairan, Institut Pertanian Bogor pada Tahun 2013.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif menjadi asisten produktivias perairan
(2013/2014) dan asisten Summer Course Introduction to Tropical Biodiversity from
the Forest to the Sea Tokyo University of Agriculture and Bogor Agricultural
University (2013/2014). Penulis juga aktif mengikuti kegiatan internasional yaitu
sebagai presenter paper ESCA 53 and Ocean & Coastal Management Estuaries and
Coastal Areas in Times of Intense Change (Elsevier), Shanghai, China (2013/2014).
Presenter paper pada Scientific Meeting of Hokkaido University, Sapporo, Jepang
(2014/2015). Presenter paper pada The 3rd International Workshop on the Science
and Conservation of Horseshoe Crabs, IUCN Horseshoe Crab Specialist Group,
Sasebo, Jepang (2015/2016). Ketua PKM AI didanai oleh DIKTI yang berjudul
“Analisis hubungan kualitas air dengan sebaran biota perairan di pesisir Segara
Menyan, Subang, Jawa Barat” (2015/2016). Penulis menyelesaikan master dengan
penelitian yang berjudul “Kajian Morfologi dan Genetik Mimi (Xiphosura,
Limulidae) Sebagai Dasar Konservasi dan Pengelolaan di Pulau Jawa”.

Anda mungkin juga menyukai