Anda di halaman 1dari 14

KONSERVASI GENETIK POPULASI ALAM DAN PENANGKARAN

SEMI IN SITU BANTENG JAWA (Bos javanicus javanicus)


BERDASAR ANALISIS DNA NONINVASIF

Oleh : Maryatul Qiptiyah

KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan, daya dan upaya kepada penulis untuk dapat menyelesaikan rangkaian
proses sekolah dengan disertasi berjudul Konservasi Genetik Populasi Alam dan
Penangkaran Semi In Situ Banteng Jawa (Bos javanicus javanicus) Berdasar
Analisis DNA Noninvasif. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
mencapai gelar doktor di Program Studi Ilmu Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.
Banteng Jawa (Bos javanicus javanicus) merupakan mamalia terbesar kedua
di Jawa dan termasuk dalam kategori spesies endangered serta dilindungi. Satwa ini
berada dalam kondisi populasi kecil dan terfragmentasi di habitat alaminya, sehingga
perlu dikonservasi dari sisi genetiknya.
Penulis juga menyadari bahwa banyak sekali dukungan materiil maupun
moril dari berbagai pihak, sehingga disertasi ini dapat tersusun secara utuh. Untuk itu,
penulis ingin menghaturkan penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Satyawan Pudyatmoko, S.Hut., M.Sc., IPU, selaku promotor; Dr. Ir.
AYPBC Widyatmoko, M.Agr. Sc. dan Dr. Muhammad Ali Imron, S.Hut, M.Sc.
sebagai Ko-Promotor atas bimbingan, arahan dan motivasi dari saat mendesain
penelitian, penyusunan publikasi sampai dengan penyelesaian disertasi.
2. Dr. Ir. Lies Rahayu W.F., M.P., Dr. Ir. Soewarno HB, M.S. dan Dr. Sandy
Nurvianto, S. Hut, M. Sc. sebagai penilai dan penguji atas pencermatan dan
masukan untuk perbaikan penulisan disertasi ini. Prof. Ir. I. G. S. Budisatria., M.
Sc, Ph.D, IPU dan Dr. drh. Joko Prastowo, M.Si. sebagai penguji yang atas
masukannya untuk memperkaya disertasi.
3. Dr. Budiadi, S. Hut., M. Agr.Sc. selaku Dekan Fakultas Kehutanan, Prof. Ir. Dr.
Suryo Hardiwinoto, M.Agr.Sc. selaku Ketua Program S3 Ilmu Kehutanan dan

1
seluruh staff Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada yang telah
memfasilitasi seluruh proses akademis.
4. Kepala Pusdiklat-SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kepala
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman
Hutan beserta staff atas kesempatan, pemberian ijin dan fasilitas selama
menempuh studi S3 pada Program Studi Ilmu Kehutanan UGM.
5. Kepala Balai TN. Baluran, Kepala Balai TN. Alas Purwo, Kepala Balai TN.
Meru Betiri, Kepala Balai TN. Ujung Kulon beserta staff atas ijin dan fasilitas
yang diberikan selama pelaksanaan penelitian. Coopenhagen Zoo berserta staff
yang telah memberikan pendampingan selama survey di TN. Baluran.
6. Peneliti Laboratorium Genetika Molekuler BBPPBPTH Yogyakarta: Ibu ILG
Nurtjahjaningsih, Ph.D dan Dr. Istiana Prihatini atas bimbingan teknis
laboratorium, pengolahan data mikrosatelit dan intepretasi hasil penelitian.
7. Rekan-rekan Laboratorium Genetika Molekuler BBPPBPTH, Yogyakarta: Dr.
Anto Rimbawanto, Purnamila Sulistyawati, M.Agr.Sc., Wahyunisari, S.Hut, Y.
Triyanta, Anindya dan Haryanti atas dukungan matriil dan moril selama proses
analisis molekuler selama penelitian.
8. Seluruh keluarga dan sahabat penulis atas limpahan doa dan motivasi kepada
karyasiswa selama proses studi.
9. Berbagai pihak yang telah memberikan dukungan, yang tidak bisa disebutkan
satu per satu.
Semoga Allah SWT melimpahkan balasan terbaik untuk semua kebaikannya.
Yogyakarta, Desember 2019

Maryatul Qiptiyah

2
INTISARI
Banteng (Bos javanicus d’Alton,1823) merupakan salah satu mamalia termasuk
kategori terancam punah (endangered) dan berada pada populasi kecil. Upaya
konservasi banteng Jawa tidak sebatas pada aspek ekologi dan demografi namun
dilengkapi juga dengan aspek genetika. Penelitian ini bertujuan untuk: (1)
menentukan kepastian taksonomi dan kemurnian genetik banteng Jawa berdasarkan
posisi filogenetiknya di dalam kelompok Bovidae; (2) menentukan kekerabatan
genetik dan diferensiasi evolusi banteng Jawa antar populasi berdasarkan gambaran
filogeografinya; dan (3) mendefinisikan keragaman dan jarak genetik antar populasi
alam dengan menggunakan sampel DNA noninvasif.
Lokasi penelitian mencakup empat kawasan konservasi prioritas populasi alam
banteng Jawa, yaitu: Taman Nasional Baluran (TNB), Taman Nasional Alas Purwo
(TNAP), Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) dan Taman Nasional Ujung Kulon
(TNUK). Materi genetik yang digunakan berupa feses segar dan dianalisis DNA-nya
di Laboratorium Genetika Molekuler, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Yogyakarta. Penanda DNA yang
digunakan adalah penanda sekuensing DNA mitokondria (region d-loop dan cyt b)
dan penanda mikrosatelit.
Banteng Jawa (B. j. javanicus) di populasi alam merupakan sub spesies yang
berbeda dengan sub spesies banteng lainnya (B. j. lowi dan B. j birmanicus).
menempati kelompok yang berbeda dengan B. j lowi dan B. j. birmanicus. Banteng
Jawa masih memiliki genetik yang murni dari sapi ternak yang ditunjukkan dengan
terpisahnya posisi banteng Jawa dari B. indicus dan B. taurus dalam pohon
filogenetik. Karakter genetik berdasar DNA mitokondria menunjukkan bahwa
banteng Jawa memiliki empat macam haplotipe dengan pola star shape prominent.
Dua haplotipe tertinggi tersebar di tiga taman nasional (TNUK, TNAP dan TNB)
serta penangkaran semi in situ, sementaraTNMB memiliki haplotipe spesifik yang
tidak dijumpai di taman nasional lainnya.
Banteng Jawa memiliki nilai heterozigositas berkisar antara 0,363-0,416,
koefisien inbreeding berkisar antara 0,230±0,19 sampai 0,383±0,09. Koefisien
inbreeding tertinggi dijumpai di TNAP yang memiliki jumlah individu yang banyak.
Jarak genetik terdekat antara penangkaran semi in situ dengan TNAP dan terjauh
antara TNB dan TNUK. Masing-masing populasi terdiferensiasi dan signifikan
berbeda pada populasi dengan jarak geografi tinggi, (populasi TNUK - TNB dan
TNUK – TNAP). Penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi alel privat pada
populasi TNUK, TNAP dan TNB.
Kata kunci: banteng Jawa, filogenetik, filogeografi, koefisien inbreeding,
populasi alam, feses.

I. PENDAHULUAN
Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1823) merupakan salah satu satwa
kharismatik, yang dua di antara tiga sub spesies-nya di jumpai di Indonesia. Sebaran

3
sub spesies B. j. lowi berada di Pulau Kalimantan, sedangkan B. j. javanicus hanya di
Pulau Jawa (Hogerwerf, 1970; Pudyatmoko et al., 2007; Gardner et al., 2014; Hakim
et al., 2015; Castello, 2016). Banteng Jawa (B. j. javanicus) merupakan sub populasi
terbesar dan tersebar luas di Pulau Jawa, tetapi berada dalam populasi kecil dan
terfragmenasi (Pudyatmoko et al., 2007).
Tren penurunan populasi dan ancaman terhadap kuantitas maupun kualitas
habitat banteng mendasari IUCN Red List of Threatened Species menetapkan banteng
(B. javanicus) dalam kategori satwa terancam punah (endangered) (Timmins et al.,
2008; Gardner et al., 2016) dan pemerintah menetapkannya sebagai spesies
dilindungi, berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.106/MENLHK/SETJEN/Kum.1/12/2018 (Anonim, 2018). Hal itu mendorong
beberapa kawasan konservasi habitat banteng ditetapkan sebagai kawasan prioritas
untuk perlindungan banteng (TNB, TNAP, TNMB dan TNUK) (Anonim, 2011).
Upaya perlindungan banteng pada tingkat spesies, baik jumlah populasi
maupun habitatnya masih perlu dikembangkan, sesuai dengan strategi dan rencana
aksinya dalam Peraturan Menteri Kehutanan RI, No. P. 58/Menhut-II/2011 tentang
Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus) Tahun 2010 – 2020
(Anonim, 2011). Terkait dengan hal itu, pembaharuan informasi dan pengetahuan
mengenai banteng masih diperlukan sebagai dasar dalam pengelolaan populasi dan
habitat.
Berdasarkan tren populasi dan ancamannya, upaya konservasi banteng di
Indonesia memerlukan dua paradigma sekaligus, yaitu paradigma penurunan populasi
dan paradigma populasi kecil (Caughley, 1994). Paradigma penurunan populasi
terkait konservasi dari ancaman eksternal dan paradigma populasi kecil terkait
dengan konservasi genetik (Caughley, 1994; Frankham et al., 2010).
Penelitian ini mengkaji tentang konservasi genetik sub spesies benteng Jawa,
antara lain meliputi: kepastian status taksonomi, outbreeding, inbreeding, struktur
populasi dan keragaman genetik (Frankham et al., 2012). Kepastian taksonomi
terutama pada sub spesies B. j. lowi dan B. j. javanicus yang saat ini masih menjadi
bahan diskusi (Timmins et al., 2008; Qiptiyah et al., 2019). Di sisi lain, kemampuan

4
banteng sebagai kelompok Bovidae untuk dapat kawin silang antar jenis (Martojo,
2012; Sutarno & Setyawan, 2016) dapat menimbulkan ancaman outbreeding, terlebih
untuk kelompok mengalami tumpang tindih habitat dengan ternak (Pudyatmoko
2017; Pudyatmoko et al., 2018) .
Situasi dan kondisi banteng Jawa yang berada pada populasi berukuran kecil
dan terfragmentasi dapat memicu terjadinya inbreeding (Gardner et al., 2016;
Pudyatmoko et al., 2007). Fragmentasi tanpa geneflow juga akan menyebabkan
populasi menjadi terstruktur dan terdiferensiasi secara genetik (Allendorf & Luikart
2007). Salah satu upaya untuk mengurangi dampak merugikan inbreeding adalah
menjaga variasi genetik dalam populasi, yaitu dengan menambah jumlah individu
dari restocking atau translokasi (Frankham et al., 2012). Terkait dengan hal tersebut,
TNB membangun penangkaran semi in situ banteng sebagai stok individu untuk
dilepas ke populasi alam. Upaya re-stocking pada suatu populasi idealnya tidak hanya
menekankan aspek kuantitas saja, namun juga memperhatikan karakter genetiknya.
Informasi genetik dapat dilakukan melalui analisis genetik dengan
menggunakan penanda DNA, untuk mendapatkan berbagai informasi yang penting
untuk konservasi genetik (Taberlet et al., 1999; Waits & Paetkau, 2005; Winaya,
2010). Secara umum, penanda DNA yang digunakan adalah penanda sekuensing pada
DNA mitokondria dan penanda mikrosatelit pada DNA nukleus (Lowe et al., 2004).
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menentukan kepastian taksonomi dan kemurnian
genetik banteng Jawa berdasarkan posisi filogenetiknya di dalam kelompok Bovidae;
(2) menentukan kekerabatan genetik dan diferensiasi evolusi banteng Jawa antar
populasi berdasarkan gambaran filogeografinya; dan (3) mendefinisikan keragaman
dan jarak genetik antar populasi alam dengan menggunakan sampel DNA noninvasif.

II. METODE PENELITIAN


Penelitian dilaksanakan selama 39 bulan, yaitu mulai bulan September 2015
sampai Desember 2018. Sampel materi genetik noninvasif (feses) dikumpulkan dari
empat taman nasional di Jawa (TNUK, TNMB, TNAP dan TNB) dan penangkaran
semi in situ di TNB. Penggunaan sampel noninvasif karena banteng termasuk satwa

5
yang terancam punah, sulit dijumpai secara langsung, pemalu dan ganas (Wulandari,
2006; Arandjelovic et al., 2010).
Ekstraksi atau isolasi DNA dilakukan dengan menggunakan QiaAmp Stool
Mini Kit dari QIAGEN dengan protokol yang dimodifikasi oleh Sekiguchi (2013,
tidak dipublikasikan) dan dikombinasikan dengan protokol lain (Mondol et al., 2009;
Qiptiyah et al., 2019). Amplifikasi DNA dilakukan menggunakan penanda
sekuensing pada DNA mitokondria (wilayah cyt b dan d-loop). Primer d-loop yang
digunakan adalah sepasang primer Bov mtFP dan Bov mtBP (Wisesa et al., 2012)
dan sepasang primer cyt b, yaitu 1F dan 1R (Gardner, 2014). Namun demikian, DNA
mitokondria yang digunakan untuk menentukan kekerabatan dan diferensiasi evolusi
banteng Jawa hanya menggunakan satu wilayah, yaitu cyt b.
Amplifikasi DNA dengan menggunakan penanda mikrosatelit melalui 6 lokus
yang diseleksi berdasarkan literatur (Nijman et al., 2003; Bradsaw et al., 2007), yaitu:
ILSTS 005, ILSTS 008, ILSTS 028, ILSTS 033, CSSM 66, TGLA 122. Penanda ini
digunakan untuk mendefinisikan keragaman genetik, jarak genetik dan diferensiasi
genetik banteng Jawa yang berasal dari tiga taman nasional (TNUK, TNAP dan TNB)
dan penangkaran semi in situ. Skoring alel hasil genotyping tersebut dilakukan
dengan menggunakan GENEMAPPER ver 4.0 (Applied Biosystem). Hasil analisis
fragmen diperiksa secara manual dengan melihat karakter puncak kromatogramnya.
Analisis data SSR diawali dari seleksi sampel dan lokus dengan persentase
keberhasilan tinggi. Parameter keragaman genetik yang ditentukan adalah jumlah alel
(Na), nilai heterozigositas teramati (Ho), nilai heterozigositas harapan, (He) dan
koefisien inbreeding (F). Analisis PCoA (Principal Coordinate Analysis) digunakan
untuk menggambarkan kedekatan populasi secara genetik dikaji berdasarkan indeks
Nei (Peakall & Smouse, 2006). Lebih lanjut, diferensiasi genetik antar populasi (Fst)
dan dalam populasi yang berpengaruh dalam keragaman genetik dianalisis dengan
Analisis of Molecular Variance (AMOVA). Keseluruhan tahap analisis tersebut
dilakukan dengan menggunakan program GenAlex 6.51 (Peakall & Smouse, 2006).

6
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini adalah yang pertama untuk kajian genetik banteng Jawa secara
komprehensif dengan menggunakan sampel feses. Tujuan pertama penelitian ini
adalah mengkonfirmasi taksonomi dan kemurnian genetik banteng Jawa, yang
ditentukan berdasarkan analisis pohon filogenetik. Hasil analisis menggambarkan
bahwa seluruh urutan DNA banteng Jawa berada pada satu clade yang terpisah dari
sub spesies maupun spesies Bovidae lainnya. Gambaran ini menunjukkan bahwa
banteng Jawa merupakan sub spesies yang berbeda dengan banteng Kalimantan atau
B. j. lowi (bootstrap = 99%; jarak genetik = 0,042 dan banteng Kamboja atau B. j.
birmanicus (bootstrap = 99%, jarak genetik = 0,043 - 0,044).
Terpisahnya banteng Jawa, Kalimantan dan Kamboja di dalam pohon
filogenetik semakin menguatkan pendapat bahwa banteng Jawa dan banteng
Kalimantan secara taksonomi merupakan sub spesies yang berbeda, dengan waktu
pemisahan sekitar 1,25 juta tahun yang lalu (Hassanin & Ropiquet, 2007;
Matsubayashi, et al., 2014; Gardner, 2014). Implikasi temuan ini adalah pengelolaan
banteng Jawa dan banteng lowi harus dilakukan sebagai unit berbeda, tidak
diperkenankan untuk dipertukarkan dan upaya konservasi terhadap kedua sub spesies
tersebut memiliki tingkat prioritas yang sama.
Meskipun telah terbukti memiliki genetik yang berbeda dengan sub spesies
lainnya, namun kemurnian genetik banteng Jawa masih dipertanyakan, khususnya di
habitat yang memiliki tumpang tindih dengan lokasi penggembalaan sapi ternak (B.
indicus atau B. taurus). Hasil konstruksi pohon filogenetik menunjukkan bahwa
banteng Jawa memiliki posisi terpisah dari spesies B. indicus dan B. taurus, yang
diketahui sebagai tetua sapi ternak (Winaya, 2010; Sutarno & Setyawan, 2016).
Temuan ini menunjukkan bahwa banteng Jawa di habitat alam dan penangkaran semi
in situ masih memiliki genetik yang murni sebagai banteng Jawa.
Karakter genetik banteng Jawa tidak hanya diperbandingkan pada tingkat
takson, namun juga pada tingkat populasi. Tujuan kedua penelitian ini didefinisikan
melalui kajian filogeografi dengan menggunakan 36 sampel urutan DNA mitokondria
pada region cyt b banteng Jawa (sampel penelitian) dan empat sekuen DNA sub

7
spesies banteng lainnya (referensi NCBI GenBank). Hasil analisis menunjukkan
banteng Jawa terbagi menjadi empat macam haplotipe, yang dibedakan berdasarkan
polimorfisme nukleotida pada tiga situs (163 bp, T → C; 340 bp, A → C; dan 344 bp,
C → A).
Berdasarkan hasil analisis haplotype network pada program NETWORK
v5.0.0.0., didapatkan hasil jejaring dengan pola prominent star-shaped, menyerupai
jejaring haplotipe banteng Kalimantan di Sabah (Gardner, 2014). Tipe tersebut
menunjukkan bahwa banteng berasal dari satu karakter DNA atau induk betina yang
sama. Empat macam haplotipe banteng Jawa yang tersebar di lokasi penelitian
memiliki frekuensi sampel yang bervariasi (TNAP = Haplotipe 1 dan 4; TNMB =
Haplotipe 2; TNAP = haplotipe 1 dan 3; TNB = haplotipe 1 dan 3; penangkaran semi
in situ = haplotipe 1 dan 3). Jarak evolusi genetik antara TNUK, TNAP, TNB dan
penangkaran semi in situ adalah 0 berdasarkan analisis dengan menggunakan metode
neighbour-joining. Seluruh populasi banteng Jawa memiliki jarak genetik yang sama
terhadap TNMB berdasarkan DNA mitokondria, yaitu sebesar 0,005.
Penelitian ini mendapatkan karakter DNA mitokondria banteng di TNMB
bersifat spesifik karena berbeda dengan karakter DNA mitokondria banteng di habitat
lainnya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang mendapatkan satu
haplotipe yang berbeda di TNMB (Nugroho, 2014; Sawitri et al., 2014). Secara
evolusi, keunikan genetik cyt b yang dimiliki banteng Jawa di TNMB perlu
dilestarikan dengan tidak menambahkan individu banteng dari luar populasi. Hal ini
untuk menghindari hilangnya karakter spesifik pada DNA cyt b tersebut.
Namun demikian, penambahan individu di TNMB dapat dilakukan dengan
pertimbangan lain, yaitu jika pencegahan terhadap inbreeding dianggap lebih
mendesak untuk dilakukan. Semakin kecil jumlah individu tersisa akan meningkatkan
inbreeding dan menurunkan heterozigositas dalam suatu populasi. Berdasarkan kedua
pertimbangan yang telah disebutkan sebelumnya, upaya reintroduksi dan translokasi
khusus untuk TNMB harus dilakukan dengan hati-hati.
Tujuan penelitian ketiga dicapai dengan menggunakan penanda mikrosatelit.
Jumlah sampel yang dianalisis sebanyak 83 dan diasumsikan sebagai individu

8
berbeda, karena tidak ditemukan adanya genotipe yang identik. Jumlah alel pada
masing-masing populasi berkisar antara tiga sampai dengan lima alel (rata-rata =
4,6±0,36). Parameter keragaman genetik lain yang berhasil diidentifikasi adalah Ho =
0,367-0,416. Heterozigositas terendah pada populasi TNB, sedangkan tertinggi pada
populasi TNUK. Nilai Ho ini ekuivalen dengan hasil penelitian banteng di Australia
Utara, yaitu sebesar 0,32 (Bradsaw et al., 2007), sehingga diduga populasi banteng di
Jawa pernah mengalami bottleneck genetik seperti di Australia. Asumsi ini diperkuat
oleh jumlah individu yang tersisa 25 ekor pada tahun 2006 (TN. Baluran, tidak
dipublikasikan). Secara teori, penurunan jumlah individu tersebut dapat memicu
terjadinya genetic drift sehingga menurunkan kekayaan alel dan heterozigositas.
Koefisien inbreeding banteng Jawa pada masing-masing populasi berkisar
antara 0,230-0,383. Nilai koefisien inbreeding terendah justru teramati di
penangkaran semi in situ (0,230±0,19), yang diduga karena ada upaya pencegahan
inbreeding melalui pengaturan sistem perkawinan. Anak banteng pada penangkaran
semi in situ segera disapih dari kedua induknya agar tidak saling kawin. Di sisi lain,
koefisien inbreeding tertinggi dijumpai pada populasi TNAP, yang memiliki jumlah
populasi tertinggi. Tingginya koefisien inbreeding tersebut tidak memenuhi hipotesis
ketiga bahwa tingkat inbreeding akan menurun pada jumlah populasi yang tinggi.
Hasil analisis genetik juga menunjukkan bahwa populasi banteng di TNAP hanya
memenuhi asumsi Hardy Weinberg Equilibrium pada satu lokus saja dan
menyimpang pada lima lokus lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa banteng di
TNAP tidak kawin secara acak. Banteng di TNAP mayoritas beraktivitas di padang
penggembalaan Sadengan dan sekitarnya, sehingga patut diduga bahwa pemilihan
pasangan kawin hanya terbatas pada satu kelompok saja. Secara umum, satwa yang
memiliki pergerakan terbatas berpotensi meningkatkan koefisien inbreeding seperti
yang dialami oleh banteng Australia (Bradsaw et al., 2007).
Meskipun banteng Jawa memiliki keragaman genetik rendah dan ada tendensi
inbreeding, namun penelitian ini mengidentifikasi adanya alel privat atau alel spesifik
pada banteng Jawa yang hidup di TNUK, TNAP dan TNB. Masing-masing populasi
tersebut memiliki lima alel spesifik yang terletak pada lokus dan ukuran bervariasi.

9
Semua populasi memiliki alel privat pada lokus ILSTS 33 pada ukuran alel yang
berbeda pada setiap populasi. Di sisi lain, alel privat tidak ditemukan pada banteng di
dalam penangkaran semi in situ, diduga karena banteng tersebut tidak berasal dari
tiga populasi alam yang dikaji atau sudah mengalami genetic drift. Alel privat dapat
digunakan sebagai kandidat penanda DNA untuk identifikasi populasi atau
konfirmasi asal-usul, sehingga dapat dijadikan sebagai referensi ilmiah dalam
pelaksanaan reintroduksi, translokasi dan forensik.
Gambaran populasi banteng Jawa berdasarkan hasil PCoA identik dengan letak
geografis sebaran alamiahnya. Banteng di penangkaran semi in situ cenderung
mengelompok dengan banteng dari TNAP. Hal ini karena induk banteng betina di
dalam penangkaran (Tina dan Ussy) merupakan keturunan banteng yang diduga
berasal dari TNMB atau TNAP (Ningtyas, 2018). Pengelompokkan populasi ini
didukung oleh jarak genetik, yang menunujkkan bahwa populasi penangkaran semi in
situ memiliki jarak terdekat dengan populasi TNAP. Sementara itu, jarak genetik
terjauh adalah antara populasi banteng dari TNUK dengan populasi dari TNB.
Hasil analisis AMOVA mendeteksi adanya diferensiasi genetik antar populasi
banteng Jawa, meskipun hanya sebesar 2%. Angka Fst bernilai positif, yaitu sebesar
0,022 (P=0,001), yaitu sudah terjadi diferensiasi antar populasi yang dikaji dalam
penelitian ini, meskipun sangat kecil (Peakall & Smouse, 2006). Diferensiasi genetik
hanya signifikan pada TNUK jika dibandingkan dengan TNAP dan TNB, sedangkan
antara tiga lokasi penelitian lainnya terdiferensiasi tidak signifikan. Hal ini
menunjukkan bahwa aliran genetik antar populasi terkait dengan jarak geografisnya.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN


Banteng Jawa merupakan sub spesies yang berbeda dengan banteng Kalimantan
dan masih terpisah secara genetik dengan sapi peliharaan. Berdasarkan karakter
genetiknya, banteng Jawa memiliki empat haplotipe yang tersebar di seluruh populasi
alam, kecuali TNMB. Diferensiasi genetiik tertinggi banteng Jawa antara TNUK dan
TNB, seiring dengan jarak geografisnya.

10
Banteng tidak disarankan untuk dipertukarkan antar populasi TNUK, TNAP
dan TNB, terkait dengan adanya alel privat pada ketiga populasi tersebut. Banteng di
penangkaran semi in situ tidak memiliki alel privat dan memiliki karakter DNA
maternal yang sama dengan populasi lainnya. Berdasarkan hal tersebut, banteng dari
penangkaran dapat dijadikan sebagai stok individu untuk ketiga taman nasional
tersebut. Namun demikian, sebaiknya banteng dari penangkaran tidak dilepaskan di
TNAP karena memiliki jarak genetik yang dekat sehingga kurang efektif dalam
menambah keragaman genetik. Lebih lanjut, upaya pelepasliaran banteng dari
lembaga ek situ atau penangkaran hendaknya diuji secara genetik agar kelestarian alal
privat tetap terjaga.

V. DAFTAR PUSTAKA
Allendorf, F. W. & G. Luikart, 2007, Conservation and the Genetics of Populations,
Blackwell Publishing.

Anonim, 2011, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia, No. P. 58/Menhut-


II/2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng (Bos javanicus)
Tahun 2010 – 2020, www.dephut.go.id diakses tanggal 30 Agustus 2012.

Anonim, 2018, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik


Indonesia, No. P. 106/Menlhk/ Setjen/ Kum.1/12/2018 tentang Perubahan
Kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.20/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang
Dilindungi, www.menlhk.go.id diakses tanggal 11 Agustus 2019.
Arandjelovic, M., J. Head, H. Kühl, C. Boesch, M. M. Robbins, F. Maisels, & L.
Vigilant, 2010, Effective non-invasive genetic monitoring of multiple wild
western gorilla groups, Biological Conservation 143: 1780–1791.
Bradshaw, C. J. A., Y. Isagi, S. Kaneko, B. W. Brook, D. J. S. Owman & R.
Frankham, 2007, Low genetic diversity in the bottlenecked population of
endangered non-native banteng in northern Australia, Molecular Ecology doi:
10.1111/j.1365-294X.2007.03365.x.
Castello, J. R., 2016, Bovids of The World: Antelopes, Gazelles, Cattle, Goats,
Sheep, and Relatives, Princeton University Press.
Caughley, G., 1994, Direction in Conservation Biology, Journal of Animal Ecology
63: 215 – 244.

11
Frankham R, J. D. Ballou & D. A. Briscoe, 2012, Introduction to conservation
genetics, Cambridge University Press.

Gardner, P. C., S. Pudyatmoko, N. Bhumpakphan, M. Yinde, D. L. N. Ambu & B.


Goossens, 2014, Banteng, Bos javanicus D’Alton,1823 in Ecology, Evolution
and Behavior of Wild Cattle: Implication of Conservation Eds M.Milletti & J.
Burton, Cambridge University Press.

Gardner P. C., 2014, The natural history, non-invasive sampling, activity patterns and
population genetic structure of the Bornean banteng (Bos javanicus lowi) in
Sabah, Malaysian Borneo, PhD Thesis, Cardiff University.
Gardner, P., S. Hedges, S. Pudyatmoko, T. N. E. Gray, & R. J. Timmins, 2016, Bos
javanicus The IUCN Red List of Threatened Species 2016: http
://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2016-2.RLTS.T2888A46362970.en. Diunduh
pada 04 Februari 2019
Hakim L., D. A. Guntoro, J. Waluyo, D. Sulastini, L. Hartanto, N. Nakagoshi, 2015,
Recent Status of Banteng (Bos javanicus) Conservation in East Java and Its
Perspectives on Ecotourism Planning, The Journal of Tropical Life Science Vol
5 No. 3 pp 152-157.
Hoogerwerf A., 1970, Udjung Kulon, the land of the last Javan rhinoceros. With local
and general data on the most important faunal species and their preservation in
Indonesia, Leiden, E. J. Brill: 159-189.
Lowe, A., S. Harris & P. Ashton, 2004, Ecological Genetics: Design, Analysis, and
Application, Blackwell Publishing Company.
Martojo, H., 2012, Indigenous Bali Cattle is Most Suitable for Sustainable Small
Farming in Indonesia, Reprod Dom Anim 47 (Suppl. 1), 10–14 ,doi:
10.1111/j.1439-0531.2011.01958.x
Matsubayashi H., K. Hanzawa, T. Kono, T. Ishige, T. Gakuhari, P. Lagan, I. Sunjoto,
J. R. A. Sukor, W. Sinun & A. H. Ahmad, 2014, First molecular data on
Bornean banteng Bos javanicus lowi (Cetartiodactyla, Bovidae) from Sabah,
Malaysian Borneo, Mammalia 78(4): 1-9. https://doi.org/10.1515/mammalia-
2013-0052.

Mondol, S., K. U. Karanth, N. S. Kumar, A. M. Gopalaswamy, A. Andheria & U.


Ramakrishnan, 2009, Evaluation of non-invasive genetic sampling methods for
estimating tiger population size, Biological Conservation 142 : 2350–
2360, http://doi:10.1016/j.biocon.2009.05.014

12
Nijman, I. J., M. Otsen, E. L. C. Verkaar, C. de Ruijter, E. Hanekamp, J. W.
Ochieng, S. Shamshad, J. E. O. Rege, O. Hanotte, M. W. Barwegen, T.
Sulawati & J. A. Lenstra, 2003, Hybridization of banteng (Bos javanicus) and
zebu (Bos indicus) revealed by mitochondrial DNA, satellite DNA, AFLP and
microsatellites, Journal of Heredity 90: 10–16.
Nugroho, A., 2014, Keragaman Genetik Banteng (Bos javanicus d’Alton, 1823) di
Taman Nasional Meru Betiri dan Alas Purwo berdasar Sekuen D Loop
Mitokondria, Thesis, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.
Peakall, R. & P. E. Smouse, 2006, GENALEX6: Genetic Analysis in Excel,
Population genetic software for teaching and research. Molecular Ecology
Notes, 6: 288-295.
Pudyatmoko, S., Djuwantoko & Sabarno, Y.,2007, Evidence of Banteng (Bos
javanicus) Decline in Baluran National Park, Indonesia. Journal of Biological
Sciences 7(6): 854 -859.
Pudyatmoko S., 2017, Free-ranging livestock influence species richness, occupancy,
and daily behavior of wild mammalian species in Baluran National Park,
Indonesia, Mammalian Biology 86: 33 – 41

Pudyatmoko S., A. Budiman, S. Kristiansen, 2018, Towards sustainable coexistence:


People and wild mammals in Baluran National Park, Indonesia. Journal Forest
Policy and Economic 90: 151 – 159.
Qiptiyah M., S. Pudyatmoko, A.Y.P.B.C. Widyatmoko, M. A Imron & I. L. G.
Nurtjahjaningsih, 2019, Cytochrome b mitochondrial DNA characteristic from
non invasive samples of wild population Javan Banteng (Bos javanicus
D’Alton, 1823), Biodiversitas Vol. 20, No. 2. DOI http://
10.13057/biodiv/d200207.
Sawitri R., M. S. A. Zein, M. Takandjandji & A. Rianti, 2014, Keragaman Genetik
Banteng (Bos javanicus d'Alton) dari Berbagai Lembaga Konservasi dan
Taman Nasional Meru Betiri, Jurnal Hutan dan Konservasi Alam 11: 155-159.
Sutarno & A. D. Setyawan, 2016, Review: The diversity of local cattle in Indonesia
and the effort to develop superior indigenous cattle breeds. Biodiversitas
Volume 17 Number 1: 275 – 295. https://doi.org/10.13057/biodiv/d170139.
Taberlet, P., L. P. Waits & G. Luikart, 1999, Noninvasive Genetic Sampling: Look
Before You Leap, Tree Vol 14 no 8.
Timmins, R. J., J. W. Duckworth, S. Hedges, R. Steinmetz & A. Pattanavibool,
2008, Bos javanicus, The IUCN Red List of Threatened Species 2008:
e.T2888A9490684.http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2008.RLTS.T2888A94
90684.en . Downloaded on 10 November 2015.

13
Winaya, A., 2010, Variasi Genetik dan Hubungan Filogenetik Populasi Sapi Lokal
Indonesia Berdasarkan Penciri Molekuler DNA Mikrosatelit Kromosom Y dan
Gen Cytochrome b, Disertasi Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Wisesa A. A. N. G., T. G. O. Pemayun & I. G. N. K. Mahardika, 2012, Analisis
Sekuens D-Loop DNA Mitokondria,Indonesian Medicus Veterinus, 1(2): 281-
292.

Wulandari, D. T., 2006, Monitoring Populasi Hidupan Liar dengan DNA dari Feses,
Pasca Sarjana UI, tidak diterbitkan.

14

Anda mungkin juga menyukai