Anda di halaman 1dari 5

Artikel "Kebudayaan Sungai bagi Masyarakat Banjarmasin"

untuk memenuhi tugas Final Test

MKDU SOSIOLOGI

Dosen Pengampu : Ibu Widadhiyati, M.Pd

Disusun oleh :

Nama : Rahimah Hayati


NIM : 2111102107014

Program Studi Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Nahdlatul Ulama
Kalimantan Selatan
A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan orang Banjar di Kalimantan Selatan lekat dengan budaya sungai, sebagaimana
tergambar pada permukiman tradisional Banjar yang berada di pinggiran sungai dan aktivitas pasar
terapung. Permukiman tradisional orang Banjar dapat ditemui di daerah yang dilewati oleh sampai
besar maupun kecil, seperti kehidupan orang Banjar di Kalimantan Selatan lekat dengan budaya
sungai, sebagaimana tergambar pada permukiman tradisional Banjar yang berada di pinggiran sungai
dan aktivitas pasar terapung (floating market). Permukiman tradisional orang Banjar dapat ditemui di
daerah yang dilewati oleh sungai besar maupun kecil, seperti di sepanjang Sungai Barito dengan
anak cabangnya antara lain Sungai Nagara, Sungai Paminggir, dan Sungai Martapura. Di sepanjang
Sungai Nagara dengan anak sungainya, antara lain Sungai Tabalong Kiri, Sungai Tabalong Kanan,
Sungai Balago, Sungai Batang Alai, Sungai Amandit, dan Sungai Tapin. Anak cabang Sungai Barito
bermuara ke Laut Jawa, sedangkan sungai lainnya seperti Sungai Batu Licin, Sungai Tabanio, Sungai
Asam-asam, Sungai Kintap, dan Sungai Bangkalaan adalah sungai-sungai yang bermuara ke Laut
Jawa dan Selat Makassar.
Di antara sekian banyak sungai itu, maka daerah aliran sungai terpenting dalam sejarah Banjar
adalah Sungai Tabalong dan Sungai Martapura. Konsentrasi permukiman penduduk terdapat di
sepanjang sungai itu mulai dari Tabalong, Kelua, Alabio, Sungai Banar, Amuntai, Babirik, Nagara,
Muara Rampiau, Muara Bahan sampai dengan Banjarmasin (Saleh, 1986).
Permukiman dari segi bahasa diartikan sebagai daerah tempat bermukim yang dapat
didefinisikan sebagai satuan wilayah kehidupan sosial budaya suatu masyarakat dan secara ekologis
merupakan kawasan interaksi untuk membudidayakan potensi lingkungan alam. Permukiman
masyarakat di sepanjang sungai biasanya dihuni oleh masyarakat setempat (komunitas) atau suatu
populasi yang menempati suatu daerah yang bercirikan identitas tersendiri sebagai kelompok
kekerabatan yang dikenal dengan sebutan bubuhan. Oleh karena itu, komunitas perkampungan di
sepanjang sungai biasanya disebut berdasarkan nama tempat kediaman mereka yang umumnya di
tepian sungai, seperti orang Nagara, orang Barito, orang Alabio, orang Amuntai, atau bubuhan
Sungai Jingah, bubuhan Sungai Mesa, bubuhan Alalak, dan sebagainya.
Berbagai permukiman penduduk di sepanjang Sungai Tabalong dan Sungai Martapura itu
kemudian juga berfungsi sebagai pelabuhan sungai yang kemudian juga menjadi pusat-pusat
kerajaan seperti Tanjung Puri, Negara Dipa, Negara Daha, dan Bandarmasih (Banjarmasin).
Sebagaimana dikatakan Sartono Kartodirjo et al (1975) pusat kota pemerintahan kerajaan, bandar
dan pasar adalah tiga fungsi daerah tempat pembentukan kerajaan di tepian sungai dan pesisir
pantai.
Begitu banyaknya sungai yang mengaliri kawasan geografis Kalimantan Selatan, sehingga
menjadikan sungai menjadi berperan terhadap kehidupan masyarakat Banjar khususnya dan
Kalimantan Selatan umumnya. Karena sungai berperan menjadi wahana lintas transportasi dan
perhubungan antara daerah pedalaman dengan daerah tepian sungai dan pesisir pantai. Melalui
sungai pula terbentuk interaksi-interaksi antara manusia yang aneka ragam suku, agama, budaya dan
latar ekonomi. Interaksi antara manusia demikian, pada gilirannya membentuk hubungan-hubungan
yang bersifat ekonomi, sosial-budaya, dan politik.

B. Kebudayaan Sungai
Kebudayaan secara umum adalah keseluruhan yang kompleks termasuk di dalamnya
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat dan segala kemampuan dan kebiasaan lain
yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat. Pengertian budaya sungai meliputi
cara hidup, berperilaku, dan adaptasi manusia yang hidup ditepi sungai, hal itu telah menjadi tradisi
yang dilakukan secara turun temurun (Hartatik, 2004).
Salah satu bentuk budaya sungai adalah pasar terapung (floating market) yang masih eksis
hingga sekarang ini di kampung Kuin, Banjarmasin dan terutama sekali di Lok Baintan, kabupaten
Banjar. Keberadaan pasar terapung tidak terlepas dari kebudayaan sungai suku Banjar. Karena
sungai bagi masyarakat Banjar, khususnya yang tinggal di tepian sepanjang sungai, tidak hanya
sebagai tempat arus transportasi atau mobilisasi manusia, namun tempat pemasaran komoditas
perdagangan dan pemenuhan kebutuhan rumah tangga, seperti air minum, mandi, dan lain-lain.
Keberadaan pasar terapung di Kuin dapat ditelusuri sejak munculnya keraton kesultanan Banjar
yang berada di pinggiran sungai Kuin. Keraton dahulu selalu tidak berjauhan dengan bandar, alun-
alun, dan masjid. Bandar pada masa Kesultanan Banjar dahulu adalah di muara sungai Kuin. Di
sinilah terjadi interaksi antara pedagang dan pembeli dalam bentuk jual-beli di atas perahu, atau
antara penduduk yang tinggal di pinggiran sungai dengan pedagang berperahu. Dapat dikatakan,
bahwa keberadaan pasar terapung hanya dapat ditelaah dari aspek kebudayaan sungai, yang
menghasilkan perilaku manusia dalam mengatasi kebutuhan ekonomi, dan disandarkan pada
dominasi transportasi perahu di sungai, sehingga membentuk pusat interaksi pembeli dan penjual,
yang dikenal sebagai pasar terapung.
Adanya dominasi transportasi melalui sungai merupakan faktor penentu keberlangsungan pasar
terapung, baik di Kuin maupun Lok Baintan sekarang ini. Jika dahulu masyarakat kota Banjarmasin
lekat dengan transportasi sungai, sehingga memunculkan budaya pasar terapung atau banyaknya
warga yang menjajakan dagangannya dengan perahu. Akan tetapi, ketika orientasi kegiatan ekonomi
perdagangan berpindah dari sungai ke daerah daratan, seiring dengan semakin membaiknya lintas
tranportasi jalan di sekitar pasar terapung tersebut, maka kini aktivitas pasar terapung di Muara Kuin
mulai meredup; tidak seramai dahulu lagi.
Penggunaan sungai bagi masyarakat Banjarmasin yaitu :
1. Sungai sebagai jalur transportasi,
Sejak dulu sungai memegang peranan penting sebagai jalur transportasi di kota ini, hal ini di
buktikan dengan adanya aktivitas hilir mudik perahu-perahu yang melintas di sungai-sungai Kota
Banjarmasin. Meskipun frekuensi transportasi sungai mulai berkurang, namun masih ada sebagian
warga yang menggunakan jalur sungai, seperti taksi klotok, jukung dan klotok pengangkut barang.
2. Sumber air untuk kebutuhan MCK,
Penggunaan air sungai untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus (MCK) masih dilakukan oleh
masyarakat Banjarmasin yang tinggal di pemukiman di sepanjang tepian sungai. Mereka umumnya
melakukan aktivitas MCK tersebut di jamban terapung atau yang biasa disebut batang. Aktivitas ini
selalu terlihat di sungai kuin dan sungai alalak setiap pagi dan sore hari.
3. Sumber mata pencaharian,
Keberadaan siring di tepian sungai menjadi berkah tersendiri bagi para penjual makanan dan
minuman. Banyaknya warga Banjarmasin yang senang menghabiskan waktu bersantai di siring Jl.
R.E. Martadinata memberikan kesempatan bagi para penjual es kelapa dan jagung bakar untuk
berjualan di sore hari. Serupa dengan siring di Jl. Jenderal Sudirman yang banyak terlihat para
penjual es kelapa, kripik, dan pentol.
Selain itu, juga ada masyarakat yang membuka usaha di tepian sungai seperti penjualan balok
kayu dan penjualan kambing. Alasannya adalah untuk memudahkan pengangkutan barang jualan
melalui sungai.
4. Memancing
Banyak masyarakat Banjarmasin yang menghabiskan waktunya untuk memancing di sungai-
sungai yang ada di Banjarmasin, baik karena hobi atau sekedar menghabiskan waktu luang ataupun
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aktivitas memancing biasanya dilakukan di siring Jl. R.E.
Martadinata dan Jl. Jenderal Sudirman serta di sungai martapura di depan Museum Wasaka. Selain
itu, pada malam hari banyak juga pemancing yang memancing di Jembatan Merdeka dan Jembatan
Pasar Lama, yaitu jembatan yang melintasi sungai Martapura.
5. Siring
Siring yang dibangun di tepian sungai Martapura menjadikan siring sebagai open space. Pada
sore hari, siring dijadikan tempat bersantai bagi sebagian masyarakat Banjarmasin. Duduk-duduk
bersama keluarga atau teman-teman sambil memandang sungai Martapura serta melihat klotok dan
jukung lalu lalang bisa menjadi cara tersendiri untuk bersantai. Keberadaan siring juga menjadi
wadah bagi berbagai komunitas seperti komunitas breakers, skaters, geng motor dan automobile,
serta bikers. Sehingga tepian sungai memberikan peran tersendiri dalam merekatkan hubungan
sosial masyarakat Banjarmasin yang memiliki kesamaan hobi.

C. Penutup
Sejak dulu, ketika kita berbicara tentang Banjarmasin, maka salah satu keunikan geografis yang
mencuat terhadap daerah ini adalah sungai-sungainya, sehingga Banjarmasin mendapat julukan kota
seribu sungai. Dengan menyesuaikan pada kondisi lingkungan yang ada, maka tidaklah
mengherankan jika banyak aktivitas masyarakat Banjarmasin yang berlangsung di sungai dan tepian
sungai.
Bagi warga Kota Banjarmasin, khususnya yang tinggal di tepian sungai, sungai bukan hanya
sekedar sumber air bagi mereka, tetapi sungai sudah menjadi orientasi hidup dan identitas diri.
Dikatakan sebagai orientasi hidup karen banyak kegiatan sehari-hari masyarakat yang dilakukan
disungai, mulai dari mandi, mencuci, menangkap ikan, berdagang, jalur transportasi hingga sebagai
tempat bermain anak-anak. Demikian pula halnya mengenai sungai sebagai identitas diri. Sungai
sebagai identitas diri direfleksikan dengan menyebut perkampungan-perkampungan dengan nama
sungai yang melintas di daerahnya. Bahkan dalam masyarakat Banjar petunjuk arah diberikan sesuai
dengan arah aliran sungai ataupun posisinya terhadap sungai misalnya hulu hilir.

Referensi

https://bubuhanbanjar.wordpress.com/2012/11/12/orang-banjar-dan-budaya-sungai/amp/
https://www.academia.edu/20119623/SUNGAI_DAN_KEHIDUPAN_MASYARAKAT_BANJARMASIN

Anda mungkin juga menyukai