Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, dan kasih-Nya, serta taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah Kehidupan Masyarakat Sungai yang berjudul "Jenis atau Unsur Budaya Material
yang dihasilkan" ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
ilmu pengetahuan tentang "Jenis atau Unsur Budaya Material yang dihasilkan". Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini mungkin masih ada terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik positif
serta saran yang membangun untuk memperbaiki dan menyempurnakan makalah yang kami buat
ini.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya.

Banjarmasin, 17 Februari 2020

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
DAFTAR ISI...................................................................................................................................2
BAB I...............................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................3
A. Latar Belakang......................................................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................................3
C. TUJUAN PENULISAN........................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN..............................................................................................................................4
A. Rumah Lanting.....................................................................................................................4
B. Pasar Terapung.....................................................................................................................5
C. Rakit Bambu.........................................................................................................................8
D. Jamban..................................................................................................................................9
E. Batang dan Rakit Sebagai Tempat......................................................................................10
F. Keramba Ikan / Sungai Paiwakan.......................................................................................12
BAB III..........................................................................................................................................14
PENUTUP.....................................................................................................................................14
A. Kesimpulan.........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................15

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sungai mempunyai nilai strategis bagi suatu kota. Secara ekologis sungai sarana
berlangsungnya sumber keanekaragaman hayati. Sungai tidak hanya digunakan sebagai sarana
transportasi tetapi sungai juga menjadi suatu kebudayaan bagi masyarakat tertentu seperti
kehidupan masyarakat sungai yang ada di kota Banjarmasin. Kota Banjarmasin adalah kota yang
terdiri dari banyak sungai, sehingga kota Banjarmasin mendapat julukan sebagai “ Kota Seribu
Sungai”, dikatakan banyaknya sungai dikota Banjarmasin itu terdiri dari sungai besan dan
sungai-sungai kecil, yang sering didengar itu salah satunya sungai Martapura. Sungai Martapura
merupakan sungai yang membelah kota Banjarmasin menjadi dua bagian dan sangat berperan
dalam dan menjadi urat kehidupan masyarakat kota Banjarmasin.
Kota Banjarmasin bertumbuh dimulai dari permukiman-permukiman vernakular yang
terbentuk disepanjang sungainya. Permukiman vernakular tepian sungai di Banjarmasin
merupakan permukiman yang tumbuh berdasarkan karakter dan unsur lokalitasyang tergambar
dari budaya sungai dan struktur lainnya. Budaya sungai masyarakat kota Banjarmasin tersebut
menghasilkan berbagai macam produk asitektur yang mereka hasilkan mulai dari asitektur
berupa rumah lanting sebagai tempat tinggal, jukung atau klotok, lanting atau batang dan
berbagai macam lainnya yang digunakan sebagai tempat untuk menunjang kehidupan mereka.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Menjelaskan tentang budaya material yang dihasilkan daei rumah lanting
2. Menjelaskan tentang manfaat sungai untuk pemukiman, perdangangan, dan transportasi
bagi masyarakat
3. Menjelaskan tentang manfaat sungai untuk keperluan tambak ikan

C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui tentang budaya material yang dihasilkan dari rumah lanting
2. Mengetahui manfaat sungai untuk pemukiman, perdagangan, dan transportasi bagi
masyarakat
3. Mengetahui manfaat sungai untuk keperluan tambak ikan

3
BAB II
PEMBAHASAN

Macam-Macam Jenis Material Budaya yang di Hasilakan

A. Rumah Lanting
Rumah lanting merupakan rumah terapung dipinggiran sungai yang menunjukan
budaya bermukim dengan kehidupan sungai bagi masyarakat Banjar. Sungai dalam
masyarakat banjar memberikan peranan besar dalam kehidupan sehari-hari.rumah lanting
sendiri merupakan istilah yang digunakan untuk menamai salah satu rumah tradisional
Kalimantan Selatan. Rumah ini berbahan dasar kayu dan bagian bawahnya menggunakan
batang kayu gelendongan atau drum sebagai pondasi untuk mengapungkan rumah ini.
Rumah lanting merupakan satu-satunya rumah adat Banjar yang dibangun diatas air,
rumah lanting bersifat fleksibel, karena dapat mengikuti perubahan pasang surut air
sungai.

Pada awalnya rumah lanting merupakan rumah bagi para pedagang-pedagangyang


berada disungai, mereka memanfaatkan rumah lanting sebagai wadah untuk menunjang
aktifitas mereka sebagai pedagang, selain sebagai tempat berdagang rumah lanting juga
sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal bagi para pedagang. Pada awal terbentuknya
masyarakat Banjar sebagian masi ada yang tinggal secara nomaden diperahu-perahu
mereka. Karena mereka memiliki mata pencaharian meramu hasil hutan dan menangkap
ikan. Hasil dari meramu dan menangkapikan tersebut selain sebagai kebutuhan sendiri
mereka juga menjualnya. Aktifitas tukar menukar ini dilakukan antar perahu, yang mana
sisa-sisa dari kebudayaan ini masih ada berupa pasar terapung yang salah satunya itu

4
pasar terapung Lokbaintan. Untuk mempermudah akses dan mengurangi energy pada saat
mengayuh perahu untuk berjualan maka beberapa orang perahu memusatkan aktifitas
mereka pada suatu tempat.
Orang-orang perahu pada saat ini jarng terlihat, dan sebagian gantinya terdapat
kumpulan rumah-rumah yang mengapung diatas sungai dengan fungsi sebagai tempat
berjualan. Perkembangan populasi menyebabkan perahu tidak dapat lagi menampung
keluarga yang semakin banyak. Sehingga dibuatlah rumah lanting ditepian sungai yang
sebagian besar rumah lanting ini dibangun oleh orang-orang perahu yang awalnya hidup
di sungai, karena mereka membutuhkan hunian sebagai wadah aktifitas dan tempat
tinggal bagi keluarganya.

B. Pasar Terapung
Banjarmasin mempunyai kebudayaan sungai yang mewadahi aktivitas
masyarakat dahulu hingga sekarang. Budaya tersebut meliputi pemukiman, perdagangan
dan transportasi. Sungai menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat Banjar pada
umumnya. Banjar memang memiliki kondisi alam yang dikenal dengan negeri beribu
sungai sehingga hanya memiliki prasarana transportasi sungai. Dengan membuka lapak
di sungai ini akan memudahkan para pedagang yang membawa barang dagangan berupa
hasil bumi dari arah hulu untuk melakukan jual-beli.

5
Pasar tradisional yang kita kenal pada umumnya adalah sebuah tempat berjual-beli di atas
tanah dan kita akan menemui macam-macam warung di dalamnya. Namun, pasar
terapung ini memang berbeda dan unik karena kegiatan jual-belinya berada di atas sungai
menggunakan perahu-perahu kecil atau yang biasa disebut masyarakat Banjarmasin
jukung sebagai lapaknya. Biasanya di pasar terapung pedagang akan menjual
dagangannya dengan menggunakan jukung yaitu sebutan untuk perahu kayu di daerah
Banjarmasin. Para pedagang biasanya akan menjual hasil perkebunan dan juga hasil
pertanian, namun ada juga pedagang yang menjual pakaian, kue tradisional, ikan dan
makanan khas Banjar, untuk pedagang wanita yang menjual hasil dari produksinya
sendiri biasanya disebut dengan dukuh, sedangkan untuk pedagang yang membeli barang
dagangan dari dukuh lalu kemudian dijual lagi disebut dengan penyambangan. Pasar
terapung juga memiliki keistimewaan lain, yaitu pada pasar ini masih sering terjadi
transaksi barter antar pedagang yang juga disebut dengan istilah bapanduk dalam bahasa
Banjar.
Menurut penuturan salah seorang keturunan Khatib Dayan, ulama Kerajaan Banjar
bernama Syarif Bistamy SE, keberadaan Pasar Terapung memang tak lepas dengan
berdirinya Kerajaan Banjar sekitar tahun 1595. Awalnya pasar ini memang sudah ada
sejak abad ke-14, sebelum Kerajaan Banjar berdiri. Namun, dengan berdirinya Kerajaan
Banjar, pasar ini menjadi semakin hidup. Kawasan pasar apung ini merupakan bagian
dari pelabuhan sungai Bandarmasih. Pelabuhan sungai ini meliputi aliran Sungai Barito,
dari Sungai Kuin hingga Muara Sungai Kelayan. Berdasarkan catatan sejarahnya Pasar
Terapung merupakan pasar yang tumbuh secara alami karena posisinya yang berada di
pertemuan beberapa anak sungai sehingga menjadikan kawasan ini sebagai tempat
perdagangan.
Pasar Terapung semakin ramai sejak didirikannya Kerajaan Banjar dengan kenaikan
Pangeran Samudera sebagai raja oleh para patih yang dipelopori oleh Patih Masih pada
tahun 1526. Pasar inipun menjadi aset penting bagi ibukota kerajaan dan pasar terapung
pun berkembang hingga saat ini.

6
Selain berfungsi sebagai wadah aktivitas dalam memperoleh pendapatan sehari-hari bagi
para pedagang, pasar terapung juga aset pariwisata di daerah Kalimantan Selatan. Pada
pasar terapung sendiri memiliki nilai-nilai luhur sebagai kearifan lokal yang berlaku
dalam tata kehidupan masyarakat, khususnya para pedagang di pasar terapung ini, hal ini
dapat dilihat pada beberapa kekhasan pasar terapung, yaitu diantaranya:
1. Sungai; sebagai jalur vital Banjarmasin, para pedagang pasar terapung sudah
menganggap sungai sebagai urat nadi kehidupan mereka, sungai dianggap sebagai
salah satu tempat untuk pemenuhan kebutuhan hidup seharihari, jalur transportasi,
dan juga untuk kegiatan ekonomi. Nilai kearifan lokal yang terkait sungai ini
adalah yaitu nilai adaptasi dimana pedagang wanita mampu dalam beradaptasi
dengan sungai pada saat pasang dan juga surut, serta kemampuan mengendalikan
jukung disaat air sungai bergelombang dan juga adanya nilai kedekatan dengan
alam.
2. Jukung; bagi para pedagang pasar terapung khususnya para perempuan jukung
sendiri merupakan sarana utama dalam berdagang. Jukung merupakan
peninggalan budaya yang berasal dari nenek moyang masyarakat Kalimantan
Selatan dan jukung juga mengandung nilai-nilai kearifan lokal diantaranya adalah
seperti nilai ekonomi, karena keberadaan jukung dapat menjadi alat transportasi
dan berdagang, jukung juga memiliki nilai identitas budaya dan nilai seni karena
jukung memiliki bentuk dan jenis yang khas serta unik.
3. Adanya jual beli sistem barter; keistemewaan dari pasar terapung ini yaitu masih
adanya transaksi dengan sistem barter antar para pedagang (bapanduk). Nilai
kearifan lokalnya yaitu adanya nilai saling percaya, kerja sama dan juga gotong
royong antara penjual serta pembeli.
4. Tanggui; merupakan warisan budaya daerah suku Banjar yang juga merupakan
ciri khas daerah tersebut. Tanggui merupakan topi bundar (caping) yang terbuat
dari anyaman daun nipah dan befungsi melindungi kepala dari panas dan hujan.
Penggunaan tanggui ini mengandung nilai kearifan lokal yaitu nilai kedekatan
dengan alam, nilai seni serta nilai identitas budaya.
Selain itu nilai-nilai kearifan lokal pedagang perempuan pasar terapung lainnya yaitu
nilai semangat dan pantang menyerah, nilai kerja keras, nilai pemberani dan nilai ulet

7
serta nilai tanggung jawab. Para pedagang perempuan pasar terapung berperan dalam
mencari nafkah untuk keluarga serta untuk melanjutkan tradisi turun temurun. Adapun
nilai kearifan lokal pada pasar terapung yaitu meliputi nilai ekonomi, nilai kedekatan
dengan alam, nilai identitas budaya, dan nilai pariwisata.
a. Nilai ekonomi; pasar terapung menjadi tempat para pedagang untuk
mencari nafkah dan memenuhi perekomonian keluarga.
b. Nilai kedekatan dengan alam; transaksi jual beli pasar terapung yang
terjadi di sungai serta penggunaaan perahu kayu yang ramah terhadap
lingkungan menunjukkan adanya nilai kedekatan dengan alam.
c. Nilai identitas budaya, pasar terapung yang merupakan pasar tradisional
yang melakukan kegiatan jual beli di atas air dan telah menjadi ciri khas
serta sudah menjadi identitas bagi budaya suku Banjar.
d. Nilai pariwisata; pasar terapung menjadi daya tarik bagi para wisatawan
yang datang ke Kalimantan Selatan khusunya Banjarmasin. Oleh karena
itu pemerintah kota Banjarmasin menjadikan pasar terapung sebagai ikon
pariwisata di kota Banjarmasin.

C. Rakit Bambu
Awalnya, rakit bambu dikenal sebagai angkutan hasil kebun masyarakat Dayak
Loksado di Sungai Amandit, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Namun, kini, rakit digunakan untuk wisata menyusuri sungai sambil menikmati
keindahan alam di Pegunungan Meratus bahkan digunakan juga di daerah lainnya.
Dalam bahasa Banjar, lanting paring digunakan untuk menyebut sebuah rakit bambu,
yang terdiri atas 16-20 batang bambu dengan panjang lebih dari 6 meter. Batang-batang
bambu itu disatukan secara berjajar dan diikat dengan tali. Rakit bambu itu dinaiki lima
penumpang ditambah seorang joki, yang berfungsi mengendalikan arah dan tujuan rakit
bambu itu,
Joki yang berdiri di bagian depan rakit memegang peranan sangat penting. Sembari
memegang galah sepanjang sekitar 3 meter, sang joki berusaha keras mengendalikan laju
rakit agar bisa melintasi jeram dengan selamat. Adakalanya, joki harus melompat ke
sungai guna mengarahkan ujung rakit agar bisa bermanuver di sela-sela bebatuan.

8
Namun, jadi joki tak bisa sembarangan. Ia juga harus tangkas. Tak jarang, saat di tengah
perjalanan, bilah bambu yang diikat dengan tali untuk menyatukan bambu-bambu itu
terputus akibat gesekan antara rakit dan bebatuan. Di sinilah peranan joki, yang harus
terus menjaga agar bambu tidak tercerai-berai dan penumpangnya jatuh ke sungai.
Sepanjang perjalanan rakit bambu banyak pemandangan indah yang bisa dinikmati.
Dengan menggunakan rakit bambu sebagai alat transportasi dan pariwisata maka setiap
orang yang berada diatasnya dapat melihat berbagai pemandangan yang menarik untuk
diamati, baik yang ada di perkampungan, ladang, maupun pinggir sungai.

D. Jamban
Sebagian besar masyarakat Indonesia yang hidup di desa-desa, masih hidup dalam
pola-pola tradisional, tidak menjaga kesehatan lingkungan, terutama penggunaan air
sungai untuk keperluan mandi, cuci, dan kakus. menggunakan jamban umum yang sangat
tradisional di saat membuang hajat. Masyarakat di Kalimantan Selatan pada umumnya
tinggal di pinggir aliran sungai. Pola kebiasaan hidup seperti ini telah berlangsung lama,
pada saat ini masyarakat Indonesia sudah memasuki era revolusi industry 4.0 yang
seharusnya sudah hidup modern dan meninggalkan kebiasaan seperti ini.
Kegunaan aliran sungai bagi, masyarakat di Kalimantan Selatan umum digunakan
sebagai untuk mandi, cuci dan sekaligus buang hajat (berak dan kencing), serta buang
sampah. Terkhusus untuk buang hajat, masyarakat di daeah ini masih menggunakan
sarana jamban-jamban tradisional yang dibangun di atas sungai atau pun di bantaran
sungai atau di atas sungai Bahkan masih ada masyarakat yang pola hidupnya sangat
tradisional, yaitu buang hajat tidak menggunakan jamban atau dilakukan di tempat-
tempat terbuka. Masyarakat yang hidup dan tinggal di pinggir sungai belum semuanya
memiliki jamban pribadi atau jamban keluarga di rumah mereka.
Paramita dan Sulistyorini (2015) menemukan bahwa penggunaan jamban tidak
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, pengetahuan, jarak rumah
dengan sungai, dukungan keluarga, dukungan masyarakat. Kebiasaan buruk membuang
hajat di sungai ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: budaya masyarakat yang hidup
dan bertempat tinggal di pinggir sungai, pola hidup instan, akibat dari rendahnya

9
pendidikan sebagian besar anggota masyarakat, dan minimnya informasi kesehatan
lingkungan yang diterima oleh masyarakat.
Kebersihan air sungai dan ketersediaan jamban sehat merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan. Pembangunan Jamban Keluarga sebagai sarana tempat membuang hajat,
diperkirakan efektif memutuskan mata rantai penularan penyakit dan pencemaran
lingkungan. Penggunaan jamban yang baik tidak hanya nyaman pada saat buang hajat,
melainkan juga turut melindungi kesehatan keluarga dan masyarakat dari ancaman
berbagai macam penyakit. Hal ini dirasakan penting untuk diteliti dan dicarikan solusinya
agar masyarakat hidup sehat dalam lingkungan yang sehat pula.
Pemerintah daerah telah membuat program pembangunan jamban keluarga dengan tujuan
untuk menggugah masyarakat di daerah untuk membudayakan hidup bersih, dengan
menggunakan jamban keluarga sebagai tempat sarana membuang hajat. Pemerintah
daerah melalui Bidang Kesling yang di Puskesmas menciptakan kesehatan lingkungan,
dengan cara memotivasi masyarakat bagaimana dampak kesehatan lingkungan dan
manfaatnya. Masyarakat dan aparat pemerintah saling bantu membantu dalam
menciptakan kesehatan lingkungan, melalui pemberian penyuluhan dan pembinaan untuk
kesehatan terutama kesehatan lingkungan. Sebagian masyarakat di daeah sudah mulai
meninggalkan kebiasaan membuang hajat di jamban umum yang ada di pinggir sungai,
meskipun penggunaan jamban tradisonal masih tetap terjadi. Masih ada sekelompok
masyarakat yang masih memilih membuang hajat di sungai sebagai tempat pavorite.
Memang meninggalkan kebiasaan yang sudah turun temurun ini membutuhkan waktu
yang lama.

E. Batang dan Rakit Sebagai Tempat


Kebiasaan masyarakat Banjarmasin dalam hal membuang hajat (tinjadan air seni),
mandi, cuci, di sungaimerupakan tradisi turun temurun, yang keberlangsunganya telah
berabad-abadlamanya, yaitu dari sejak jaman nenek moyang mereka. Sungai beserta
airnya merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat, karena di sungailah masyarakat
bisa mencari kehidupan sebagai nelayan dan petani; tempat mandi dan mencuci; tempat
tinggal bagi masyarakat di sekitaran sungai ,sebagai sarana transportasi; dan
termasuktempat buang hajat, buang sampah, dan lain sebagainya. Secara umum, sungai

10
merupakan bagian dari kehidupan, oleh sebab itu sungai harus selalu terjaga
kebersihannya. Sungai yang kotor akan berdampak kepada kesehatan masyarakat dan
keberlangsungan hidup manusia. Agar kelestariaan sungai-sungai yang bersih tetap
terjaga, maka pola kebiasaan buruk masyarakat terhadap sungai harus segera diubah atau
bila mungkin dihentikan sama sekali. Meskipun hal ini agak sulit, karena pola hidup
instan seperti ini sudah menjadi tradisi atau budaya masyarakat yang hidup dan tinggal di
pinggir sungai.
“Batang dan Rakit” sebagai Tempat Mandi, Cuci, dan Kakus Masyarakat Banjarmasin
yang tinggal di sepanjang tepian sungai membangun tempat mandi, cuci, dan buang hajat
di suatu media yang disebut “batang” atau “rakit”. Disebut “batang” karena tepian mandi
ini terbuat dari susunan batang kayu atau balok-balok kayu dan bambu atau buluh yang
dirangkai seperti rakit. Di atas susunan batang kayu tersebut disusun papan sebagai
lantainya.

Setiap batang terdiri dari enam batang kayu yang disusun secara berjajar, yaitu tiga
batang sebelah luar dan tiga batangsebelah dalam. Sedangkan batang yang terbuat dari
bambu terdiri paling sedikit 20batang bambu yang disusun berjajar. “Batang ataupun
rakit” dibagi ke dalam dua sisi, yaitu sebelah luar dan sisi sebelah dalam. Sisi sebelah
luar adalah bagian yang bersisian dengan tengah sungai, sedangkan bagian sebelah dalam
bersisian dengan tebing sungai. Bagian tengah dari batang sengaja di kosongkan sebagai
celah tempat mandi atau mencuci. Bagian tengah batang ini disebut “tangguk”. Di bagian
belakang batang atau pun rakit ini ada satu tempat yang berukuran sekitar 1 x 1
metertempat sarana buang hajat (berak dan kencing) yang sering disebut kakus atau
“bong”. Jadi setiap satu “batang atau rakit” memiliki tiga fungsi utama, yakni sebagai

11
tempat mandi, tempat cuci, maupun tempat kakus. Semakin bagus bentuk batang atau
rakit yang dibuat, menunjukkan status sosial pemiliknya. Masyarakat desa yang memiliki
batang yang bagus menunjukkan tingkat sosialnya yang tinggi di mata masyarakat
setempat. Biasanya batang yang pemiliknya orang kaya ditandai dengan adanya
bangunan seperti rumah di atas batang tersebut. Fungsi dari pada bangunan seperti rumah
ini unuk melindungi pemiliknya dari sinar matahari pada saat mereka mandi, mencuci,
dan buang hajat di siang hari.

F. Keramba Ikan / Sungai Paiwakan


Sungai paiwakan ini merupakan anak sungai besar yang sengaja digali menuju
daerah rawa tempat ikan rawa berkembang biak. Sungai paiwakan ini menampung ikan
di rawa di sekitar sungai tersebut, menggabungkan musim kemarau dengan mahalatnya
(membelatnya) dengan hampang panghalat (belat) dari bambu, musim kemarau. Pada
saat musim penghujan panghalat atau belat dibuka.

Sungai paiwakan ini banyak terdapat di aliran sungai Negara dari Margasari di
Kabupaten Tapin sampai dengan Nagara di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Ikan yang
ditampung di sungai paiwakan ini pada musim kemarau jalah ikan rawa yang ada di
sungai paiwakan tersebut seperti: gabus atau haruan, papuyu, sepat atau sapat, jalikit atau
pintit atau lat dan sepat siam atau sapat siam. Sapat siam ini muncul pada zaman
pendudukan Jepang. Selanjutnya yang hidup di daerah rawa ini hanya sepat biasa
bersama haruan atau gabus dan pupuyu atau betok bersama dengan jalikit atau pintit atau
lele. Ikan yang diambil atau diambil dari sungai paiwakan tersebut pada musim kemarau,
sebelumnya diawetkan dengan dikeringkan atau dijemur di musim panas setelah diasini
dengan garam. Yang dijemur tadi disebut di garih, ini dimaksudkan untuk ikan haruan
atau gabus, sedangkan yang diasini disebut wadi, ini umumnya untuk ikan pupuyu atau
betok. Pada saat itu, sulit dipasarkan. Sekarang hasil sungai paiwakan ini sebagian besar
dipasarkan di dalam hidup karena harganya cukup mahal dan banyak digemari orang.

12
Contoh nya seperti di tepian Sungai Martapura sepanjang Jalan Banua Anyar
Banjarmasin berjejer keramba milik warga. Kotak-kotak jaring yang mengapung itu
berkelompok-kelompok. Ada yang puluhan, ada juga yang hanya beberapa.
Itulah Kawasan Keramba Ikan Banua Anyar. Para petaninya membudidayakan beberapa
jenis ikan. Mayoritas patin dan bawal.
dari puluhan penggiat budidaya ikan metode keramba jaring apung di Kelurahan
Benua Anyar. Sejak puluhan tahun, daerah ini dikenal sebagai sentra pengembangan
tambak ikan sungai di Kota Banjarmasin. Selain itu membudidayakan bawal, menurut
mereka, lebih mudah dibandingkan ikan lain seperti patin. Ini antara lain karena bawal
lebih tahan penyakit, tahan hidup di air yang kadang kurang baik dan pakannya lebih
bervariasi.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejak jaman dahulu kala, sungai menjadi tumpuan hidup bagi masyarakat yang
berdiam di sekitar alirannya. Ia menjadi sumber hidup dan kehidupan masyarakat yang
bermukim di sekitar bantaranya. Sungai menjadi ruang sosial yang cukup representatif
bagi masyarakat karena bisa digunakan untuk mandi, mencuci, transportasi, mencari ikan,
menambak ikan, bahkan bisa dijadikan sebagai sarana pariwisata yang menunjang
perekonomian suatu daerah. Dapat dipahami banyak sekali fungsi sungai dan manfaatnya
bagi manusia terutama untuk melakukan kebutuhan rumah tangga dan menjadi sumber
penghasilan bagi masyarakat.
Dengan demikian, keberadaan sungai menjadi sangat penting bagi kehidupan
bahkan sampai sekarang. Oleh karena itu, kita semua harus mulai peduli dengan
pelestarian dan kebersihan sungai. Sungai yang terawat serta terjaga kebersihannya, akan
membawa dampak positif bagi masyarakat yang hidup di sekitarnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

Amar Rizky Afdholy. 2017. Rumah Lanting Arsitektur Verbakular Suku Banjar yang Mulai
Punah. Jurnal Lokal Wisdom. Vol. 09. No. 1. Hal. 104-105.

Budi. A. Mengapa ada pasar apung di Banjarmasin. Via Wetan Gulon Blogspot.
Diakses tanggal 18 Februari 2020. https://www.goodnewsfromindonesia.id/u/arifinabudi.
M. Aulia Ur Rahman. 2014. Pelestarian Rumah Lanting Berlandaskan Budaya Sungai
Masyarakat Kota Banjarmsin. E-Jurnal Graduate Unpar. Vol. 1. No. 2. Hal. 221

Otaya, Lian G. 2012. Pengatahuan, Sikap dan Tindakan Masyarakat terhadap Pengunggunaan
Jamban Keluarga. Jurnal Health and Sport Vol. 5. No. 2.

Paramita, Renita Diah., dan Sulistyorini, Lilis. 2015. The Household’s Attitude Impacts The Lo
Use of Latrines in RW 02 Gempolklutuk, Tarik, Sidoarjo. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Vol. 8. No. 2. Hal. 184–194.

Tanjaya, Wardani, Risky, 2018. Jurnal Intra. Vol. 06. No. 02. Hal. 266-275

Werdiono, D. Rakit Bambu, Upaya Mengenalkan Loksado. Via Kompas. Diakses tanggal 18
Februari 2020.
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/travel/read/2013/01/23/14371099/rakit.
bambu.upaya.mengenalkan.loksado

15

Anda mungkin juga menyukai