Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

INDUSTRIALISASI DAN KEUNGGULAN KOMPARATIF


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ekonomi Industri
Dosen Pengampu:
Ana M. Maghfiroh, M. Pd.

Disusun Oleh: Kelompok 7

1. Refina Aulida Hijri (126402211051)


2. Siti Muhjatun Naziyah (126402211058)
3. Firda Nafi’ul Hawa (126402211072)
4. Bibin Imam Kalyubi (126402212097)
5. Risma Ayu Rianti (126402212099)

KELAS 5B
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
(UIN TULUNGAGUNG)
OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT di mana telah
memberikan kelancaran dan kemurahan-Nya sehingga kami dapat menyusun
makalah Ekonomi Industri dengan judul “Industrialisasi dan Keunggulan
Komparatif”. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita
Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan
menuju zaman terang benderang yakni agama islam. Tidak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M. Ag. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung;
2. Bapak Dr. H. Dede Nurrohman, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung;
3. Ibu Binti Nur Asiyah, M. Si. selaku Koorprodi Ekonomi Syariah Universitas
Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung;

4. Ibu Ana M. Maghfiroh, M.Pd. selaku Dosen mata kuliah Ekonomi Industri;

5. Teman-teman Ekonomi Syariah 5B.

Penulis menyadari bahwa, makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat kontruktif kami harapkan demi penyempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi
pembacanya. Aamiin. Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Tulungagung, 17 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang ........................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... 2

A. Industrialisasi dan Pembangunan Ekonomi ............................................ 2


B. Keunggulan Komparatif .......................................................................... 7

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 25

A. Kesimpulan ........................................................................................... 25

DAFTAR RUJUKAN

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Industrialisasi merupakan salah satu penggerak utama pembangunan
ekonomi, dan keunggulan komparatif. Industrialisasi dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi suatu negara dengan memanfaatkan sumber daya
manusia dan sumber daya alam secara optimal. Sedangkan keunggulan
komparatif adalah kondisi di mana suatu negara mempunyai keunggulan yang
lebih besar pada suatu barang tertentu dibandingkan negara lain. Teori
keunggulan komparatif menjelaskan bahwa suatu negara harus fokus pada
barang atau jasa yang mempunyai keunggulan komparatif dan memberi barang
atau produk lain yang berasal dari negara lain. Teori ini penting untuk
menjelaskan perdagangan internasional dan juga spesialisasi dalam produksi.1
Pemahaman ini akan sangat penting untuk menganalisis arti penting strategi
yang berbasis keunggulan komparatif terhadap keberhasilan industrialisasi di
suatu negara. Pada makalah ini, terlebih dahulu akan dijelaskan tentang
pembangunan ekonomi serta hubungannya dengan industrialisasi. Selanjutnya,
dijelaskan konsep dan metode pengukuran keunggulan komparatif, serta
strategi industrialisasi dilihat dari sisi pemanfaatan keunggulan komparatifnya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah industrialisasi dan pembangunan ekonomi?
2. Bagaimanakah keunggulan komparatif?

1
Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan Edisi ke-2, (Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka, 2019), Hal. 7.2.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Industrialisasi dan Pembangunan Ekonomi


a. Pembangunan Ekonomi
Sebelum dekade 1960-an, pembangunan ekonomi didefinisikan
sebagai kemampuan ekonomi nasional, ketika keadaan ekonominya mula-
mula relatif statis selama jangka waktu yang cukup lama, untuk dapat
menaikkan dan mempertahankan laju pertumbuhan pendapatan nasional
(GNP)-nya hingga mencapai angka 5 sampai 7 persen atau lebih per
tahun.2 Pengertian ini sangat bersifat ekonomis. Meskipun demikian,
pengertian pembangunan ekonomi mengalami perubahan karena
pengalaman pada tahun 1950-an dan 1960-an menunjukkan bahwa
pembangunan yang berorientasikan pada pertumbuhan GNP saja tidak
akan mampu memecahkan permasalahan- permasalahan pembangunan
secara mendasar di negara sedang berkembang (NSB). Hal ini tampak
pada taraf dan kualitas hidup sebagian besar masyarakat di NSB yang tidak
mengalami perbaikan, meskipun target pertumbuhan GNP per tahun telah
tercapai. Dengan kata lain, ada tanda-tanda kesalahan besar dalam
mengartikan istilah pembangunan ekonomi secara sempit.
Oleh karena itu, Todaro & Smith menyatakan bahwa keberhasilan
pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan oleh tiga nilai pokok,
yaitu:3
1. Berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya (sustenance)
2. Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai
manusia

2
Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan Edisi ke-2, (Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka, 2019), Hal. 7.2.
3
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi, (Bandung: Erlangga,
2006), Hal 42.

2
3. Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from
servitude) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia.
Akhirnya disadari bahwa definisi pembangunan ekonomi itu sangat
luas, bukan hanya sekedar bagaimana meningkatkan GNP per tahun saja.
Pembangunan ekonomi itu bersifat multidimensi yang mencakup berbagai
aspek dalam kehidupan masyarakat, bukan hanya salah satu aspek
(ekonomi) saja. Pembangunan ekonomi dapat didefinisikan sebagai setiap
kegiatan yang dilakukan suatu negara dalam rangka mengembangkan
kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya. Dengan adanya batasan
tersebut, maka pembangunan ekonomi pada umumnya dapat didefinisikan
sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per
kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh
perbaikan sistem kelembagaan.4 Dari definisi di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa pembangunan ekonomi mempunyai unsur-unsur pokok
dan sifat sebagai berikut.
1. Suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi secara kontinu.
2. Usaha untuk meningkatkan pendapatan per kapita.
3. Peningkatan pendapatan per kapita itu harus terus berlangsung dalam
jangka panjang.
4. Perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang (misalnya, ekonomi,
politik, hukum, sosial, dan budaya). Sistem kelembagaan ini bisa
ditinjau dari dua aspek, yaitu:
1) Aspek perbaikan di bidang aturan main (rule of the games), baik
aturan formal maupun informal
2) Organisasi (players) yang mengimplementasikan aturan main
tersebut.
Oleh karena itu, pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai
suatu proses, agar pola keterkaitan dan saling memengaruhi antara faktor-
faktor dalam pembangunan ekonomi dapat diamati dan dianalisis. Dengan

4
Lincolin Arsyad, Ekonomi Pembangunan Edisi ke-2, (Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka, 2019), Hal. 7.2

3
cara tersebut dapat diketahui rentetan peristiwa yang terjadi dan
dampaknya pada peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan
masyarakat dari satu tahap pembangunan ke tahap pembangunan
berikutnya.
Selanjutnya, pembangunan ekonomi juga perlu dipandang sebagai
suatu proses kenaikan dalam pendapatan per kapita karena kenaikan
tersebut mencerminkan tambahan pendapatan dan adanya perbaikan dalam
kesejahteraan ekonomi masyarakat. Biasanya laju pembangunan ekonomi
suatu negara ditunjukkan oleh tingkat pertambahan GDP atau GNP.
Namun demikian, proses kenaikan pendapatan per kapita secara
terus-menerus dalam jangka panjang saja tidak cukup bagi kita untuk
mengatakan telah terjadi pembangunan ekonomi. Perubahan struktur
sosial, sikap, dan perilaku masyarakat, serta sistem kelembagaan juga
merupakan komponen penting dari pembangunan ekonomi, selain masalah
pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan pengentasan
kemiskinan. Artinya, tujuan pembangunan harus difokuskan kepada
tingkat kesejahteraan individu (masyarakat) moril dan material yang
disebut dengan istilah depoperisasi (depauperization) oleh Adelman
(1975). Sementara itu, pertumbuhan ekonomi hanya didefinisikan sebagai
kenaikan GDP atau GNP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih
besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, dan apakah
terjadi perubahan struktur ekonomi atau perbaikan sistem kelembagaan
atau tidak.
Namun demikian, ada beberapa ekonom memberikan definisi yang
sama untuk kedua istilah tersebut, khususnya dalam konteks negara maju.
Secara umum, istilah pertumbuhan ekonomi biasanya digunakan untuk
menyatakan perkembangan ekonomi di negara-negara maju, sedangkan
istilah pembangunan ekonomi untuk menyatakan perkembangan ekonomi
di NSB.

4
b. Hubungan Antara Industrialisasi dan Pembangunan Ekonomi
Industrialisasi, seperti telah disampaikan pada materi sebelumnya
adalah proses perubahan atau transformasi pola aktivitas dan struktur
perekonomian dari yang berbasis pada sektor pertanian pada tahap pra-
industri menuju perekonomian yang berbasis sektor industri dengan
disertai transformasi sosial, proses perubahan ini terjadi karena adanya
interaksi antara pengembangan teknologi, organisasi, institusi, sistem
produksi (melalui mekanisasi dan spesialisasi), dan perdagangan
antarnegara. Arsyad menyatakan bahwa pengertian industrialisasi sering
kali dianggap sama dengan pembangunan industri, keduanya merupakan
alur kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya tingkat
hidup yang lebih maju dan taraf hidup yang lebih berkualitas.
Pola perkembangan industri menunjukkan adanya keterkaitan, baik
keterkaitan di dalam industri (internal linkages) maupun keterkaitan antara
industri dengan sektor lainnya (external linkages), sehingga industri perlu
dikembangkan. Konsep keterkaitan ini dijelaskan oleh Albert O.
Hirschman. Dalam pembahasannya, Hirschman menyatakan bahwa
pertumbuhan yang sangat cepat dari satu atau beberapa industri dapat
mendorong perluasan industri-industri lainnya yang terkait dengan sektor
industri yang terlebih dahulu tumbuh tersebut. Hal ini dipicu oleh adanya
keterkaitan antara sektor industri tersebut. Keterkaitan ini bisa berupa
keterkaitan ke belakang (backward linkages) ataupun keterkaitan ke depan
(forward linkages). Keterkaitan ke belakang terjadi apabila pertumbuhan
suatu industri, misalnya industri tekstil menyebabkan perkembangan
industri-industri yang menyediakan input produksi industri tekstil,
misalnya industri kapas dan industri pewarna tekstil. Sementara itu,
keterkaitan ke depan terjadi apabila perkembangan industri tekstil
mendorong perkembangan industri yang menjadikan output industri tekstil
sebagai input produksinya, misalnya industri pakaian jadi atau industri
vitrage.

5
Arsyad (2010) menyatakan bahwa dalam model dua sektornya,
Arthur Lewis mengemukakan dua peran penting dari industri. Pertama,
industri menyumbangkan produktivitas yang relatif lebih besar dibanding
sektor lainnya sehingga menjadi kunci untuk meningkatkan pendapatan
per kapita. Kedua, industri pengolahan (manufaktur) memberikan
kemungkinan-kemungkinan yang lebih besar bagi industri substitusi
impor untuk lebih efisien dan meningkatkan ekspornya daripada hanya
berkutat pada pasar “primer” saja.
Terkait dengan argumen pertama Lewis tentang peran industri
dalam peningkatan produktivitas, Griibler (1995) menyatakan bahwa
kenaikan produktivitas akan menjadi pendorong utama pertumbuhan
ekonomi, peningkatan pendapatan nasional, dan pendapatan per kapita,
kemudian selanjutnya menyediakan basis pasar yang lebih luas bagi
produk industri. Kerangka pemikiran Griibler ini dapat dijelaskan melalui
beberapa jalur. Untuk mempermudah penjelasan terkait hal ini, misalkan
kasus yang menggambarkan hubungan antara sektor industri dan
pertanian. Dalam hal ini, industri menyediakan input-input produktif bagi
sektor pertanian, misalnya pupuk dan peralatan pengolahan pertanian. Hal
ini akan meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan dapat
mendorong peningkatan pendapatan pelaku ekonomi di sektor pertanian.
Peningkatan pendapatan di sektor pertanian, apabila dapat didistribusikan
secara merata, akan mendorong pembangunan sektor pertanian lebih jauh
dan sekaligus pembangunan pedesaan, sebagai wilayah operasi sektor
pertanian. Hal ini mendorong penciptaan pasar bagi industri yang lebih
luas, baik bagi industri yang menghasilkan barang produksi maupun
konsumsi.
Peran industri dalam pembangunan juga tampak dalam
kemampuannya menciptakan lapangan kerja Lewis (1954) dalam Tran dan
Doan (2010), menyatakan bahwa akumulasi kapital dan ekspansi produksi
di sektor industri akan menciptakan lebih banyak kesempatan kerja bagi
pekerja di pedesaan yang menganggur akibat keterbatasan tawaran

6
pekerjaan (redundant workers). Lewis menyatakan bahwa industrialisasi
akan menyediakan banyak lapangan pekerjaan nonpertanian dengan
tingkat pendapatan yang lebih tinggi, dibandingkan dengan pendapatan
yang bisa mereka peroleh dari sektor pertanian. Argumen Lewis di atas,
berbeda dengan argumen Harold dan Todaro (1970) dalam Tran dan Doan
(2010). Harris dan Todaro menjelaskan bahwa pada periode awal
industrialisasi, tingkat pengangguran di wilayah perkotaan di negara
berkembang relatif tinggi. Akibatnya penduduk yang melakukan
urbanisasi ke wilayah perkotaan cenderung mengalami kesulitan untuk
mendapatkan pekerjaan di daerah perkotaan. Mereka juga meyakini bahwa
lapangan kerja di sektor nonpertanian pada masa industrialisasi perlu
disertai dengan pembangunan industri padat karya (labour-intensive
industries) daripada industri padat modal (capital-intensive industries).
Terkait dengan hal ini, peran industri ini memerlukan upaya pengendalian
dari pemerintah, misalnya dengan mencegah kecenderungan untuk
pengembangan industri yang memanfaatkan modal terlalu banyak dan
teknologi yang terlalu modern karena pada gilirannya nanti justru akan
menurunkan peran industri sebagai pencipta lapangan kerja.
B. Keunggulan Komparatif
a. Konsep Keunggulan Komparatif
Keunggulan komparatif adalah konsep dalam ekonomi yang
menjelaskan kemampuan suatu individu, perusahaan, atau negara dalam
menghasilkan barang atau jasa dengan biaya peluang yang lebih rendah
dibandingkan dengan kompetitornya. Dapat dikatakan bahwa output dunia
akan meningkat ketika prinsip keunggulan komparatif diterapkan oleh
negara-negara untuk menentukan barang dan jasa apa yang harus mereka
produksi secara khusus. Keunggulan komparatif adalah istilah yang
diasosiasikan dengan ekonom Inggris abad ke-19, David Ricardo. Ricardo
mempertimbangkan barang dan jasa apa yang harus diproduksi oleh suatu
negara, dan menyarankan bahwa mereka harus berspesialisasi dengan

7
mengalokasikan sumber daya mereka yang langka untuk memproduksi
barang dan jasa yang memiliki keunggulan biaya komparatif.
keunggulan komparatif berkaitan dengan seberapa produktif atau
hemat biaya satu negara daripada negara lain.Menurut konsep keunggulan
komparatif, daya saing suatu negara dapat menguat ataupun melemah dapat
disebabkan oleh perluasan areal usaha, efisiensi usaha, bencana alam,
kemam-puan sumber daya manusia, dan iklim/cuaca. Menurut konsep
keunggulan kompetitif, faktor kebijakan ekonomi seperti kebijakan nilai
tukar, kebijakan penetapan tarif pajak, pemasaran serta faktor kebijakan
negara lain sebagai mitra usaha dapat menyebabkan penguatan atau
pelemahan suatu komoditas.5
Wijaya (2000) menjelaskan alasan pentingnya pemahaman
keunggulan komparatif dalam konteks perdagangan internasional di suatu
negara. Wijaya menyatakan bahwa dengan mendasarkan pada konsep
keunggulan komparatif yang dimiliki masing-masing negara, suatu negara
dapat menentukan komoditas atau produk apa yang akan menjadi
spesialisasinya. Berdasarkan Wijaya (2000), hal ini dapat terjadi karena
adanya perbedaan distribusi kepemilikan sumber daya alam, tenaga kerja,
modal, peralatan produksi, dan teknologi dari masing-masing negara.
Widodo (2009) menyatakan bahwa keunggulan komparatif cenderung lebih
bersifat dinamis, bukan bersifat statis. Dengan kata lain, keunggulan
komparatif suatu negara cenderung dinamis atau berubah dari waktu ke
waktu. Widodo (2009) berdasarkan sejumlah pakar, menyatakan bahwa
keunggulan kompastif ditentukan oleh perubahan teknologi dan inovasi
(Redding, 2004); perdagangan input produksi (Jones, 2000); hambatan
dalam perdagangan internasional, aliran investasi secara geografis, institusi,
transportasi, dan biaya untuk mencari informasi (Venables, 2001), transmisi
pengetahuan antarwilayah (Treffler, 1995); kompetisi monopolistik dengan
peningkatan skala ekonomi (Krugman 1997).

5
Suhardi dan Afrizal. Keunggulan Komparatif Ekspor Indonesia (STIE Pertiba
Pangkalpinang, 2021), Hlm.32-33

8
David Ricardo (1817) merupakan orang yang pertama kali
memperkenalkan konsep keunggulan komparatif dengan asumsi yang
sangat ketat melalui suatu model yang dikenal sebagai Ricardian model
(Widodo, 2009). Prinsip utama keunggulan komparatif adalah suatu negara
akan mengekspor barang dan jasa ang memiliki dan memberikan
keunggulan komparatif paling tinggi dan mengimpor barang dan jasa yang
memiliki keunggulan komparatif paling rendah (Ricardo dalam Widodo,
2009). Asumsi yang digunakan dalam Ricardian Model adalah:6

1. Analisis dibatasi pada dua negara yang menghasilkan dua komoditas


yang berbeda;
2. Sumber daya identik yang digunakan dalam proses produksi tersedia
dalam jumlah yang terbatas dan tetap (fixed endowment of identical
resources),
3. Faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi bersifat mobile
dalam suatu negara,
4. Faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi bersifat
immobile antarnegara;
5. Model didasarkan pada teori nilai, dalam hal ini harga produk
ditentukan oleh banyaknya unit input yang digunakan dalam proses
produksi (misalnya, jam kerja);
6. Biaya per unit output konstan;
7. Perekonomian berada dalam kondisi full-employment ,
8. Adanya kompetisi yang bersifat sempurna di pasar
9. Tidak ada hambatan (intervensi) pemerintah dalam aktivitas ekonomi,
10. Biaya transportasi nol (baik dalam konteks internal maupun eksternal).

Untuk mempermudah memahami Model Ricardian ini, kita gunakan


contoh sederhana berikut.

6
Tri Widodo, “Comparative Advantage: Theory, Empirical Measures And Case Studies”,
Review of Economic and Business Studies, Hal 59-60

9
1. Misalnya, dalam perekonomian hanya ada dua negara penghasil
mesin perang, Amerika Serikat dan Indonesia. Kemudian di pasar
mesin perang hanya ada dua komoditas, pesawat terbang dan tank.
2. Indonesia maupun Amerika Serikat, masing-masing dapat
menghasilkan pesawat tempur ataupun tank berdasarkan kurva
kemungkinan produksinya (Production Possibility Frontier) masing-
masing. Misalkan, fungsi kemungkinan produksi Amerika Serikat
adalah P = -0,33 T + 800 dan fungsi kemungkinan produksi
Indonesia adalah P=-0,1T+200 (T adalah produksi tank dan P adalah
produksi pesawat tempur). Nilai koefisien T pada kurva
kemungkinan produksi Indonesia yang lebih besar daripada Amerika
Serikat menunjukkan adanya perbedaan kombinasi (karakteristik)
sumber daya dan teknologi yang berbeda dari proses produksi di
kedua negara. Perbedaan nilai koefisien tersebut juga
sekaligus menunjukkan adanya biaya oportunitas (harga relatif)
yang berbeda antara kedua negara dalam memproduksi barang.
3. Misalkan, pada kondisi awal sebelum spesialisasi dan perdagangan
internasional dilakukan, Amerika Serikat (melalui optimasi fungsi
kemungkinan produksinya) memilih untuk memproduksi 400
pesawat tempur dan 1200 tank. Sementara itu, Indonesia memilih
untuk memproduksi 100 pesawat tempur dan 1000 tank. Kondisi ini
dapat direpresentasikan melalui tabel 7.1 sebagai berikut.

Berdasarkan informasi pada Tabel 7.1, dapat diketahui bahwa secara


absolut, Amerika Serikat memang lebih unggul daripada Indonesia
karena produktivitas Amerika Serikat dalam menghasilkan pesawat

10
tempur maupun tank dalam jumlah yang lebih banyak daripada
Indonesia. Meskipun demikian, secara komparatif, ternyata
Indonesia lebih unggul dibandingkan dengan Amerika Serikat untuk
produksi tank. Berdasarkan perhitungan di atas, dapat dilihat bahwa
Indonesia dan Amerika Serikat, secara komparatif memiliki
keunggulan masing-masing. Oleh karena itu, berdasarkan Ricardian
model, agar sumber daya yang dimiliki masing-masing negara dapat
dialokasikan secara efisien dan output yang dihasilkan dalam
perekonomian bisa maksimal, maka setiap negara tersebut sebaiknya
melakukan spesialisasi. Dalam hal ini, masing-masing negara
tersebut menggunakan seluruh sumber daya yang dimilikinya untuk
memproduksi produk yang memiliki keunggulan komparatif saja.
Sementara itu, untuk memenuhi kebutuhan barang yang tidak
mereka produksi, mereka bisa mengimpor dari negara yang
memproduksi barang tersebut.

b. Pengukuran Keunggulan Komparatif


Berikut ini adalah sejumlah pendekatan yang dapat digunakan
sebagai proksi untuk mengukur keunggulan komparatif (berdasarkan
Gonel, 2001 dan Cai, et al., 2009).
1. Balassa's Index of Revealed Comparative Advantage
Salah satu ukuran yang paling banyak digunakan untuk menunjukkan
keunggulan komparatif adalah indeks yang dibangun oleh Balassa
(1989). Sebenarnya, Balassa memanfaatkan dua indeks yang berbeda,
yaitu rasio ekspor-impor dan indeks kinerja ekspor.
a) Rasio ekspor-impor. Indeks ini membandingkan antara nilai
perbandingan ekspor dan impor yang telah dinormalisasi dengan
perbandingan ekspor dan impor dunia. Perhitungan indeks ini
adalah sebagai berikut:

11
Jika nilai RCA lebih dari 1, maka rasio ekspor-impor industri i di
negara j lebih besar daripada rasio ekspor-impor industri i di
seluruh dunia. Oleh karena itu, negara j memiliki keunggulan
komparatif pada industri.
b) Indeks kinerja ekspor. Indeks ini hanya didasarkan pada data
ekspor dan dihitung dengan membagi share ekspor barang
komoditas tertentu (i) di suatu negara dalam perekonomian dunia
dengan share ekspor seluruh barang manufaktur di suatu negara
dalam perekonomian dunia. Perhitungan indeks ini adalah
sebagai berikut:

Jika nilai RCA lebih dari 1, maka share industri i terhadap ekspor
manufaktur di negara j lebih besar daripada ekspor industri i di
seluruh dunia. Oleh karena itu, negara j memiliki keunggulan
komparatif pada industry.
2. The Donges and Riedel Measure
Alternatif dari alat pengukur keunggulan komparatif adalah model
Revealed Comparative Advantage (RCA) yang dibangun oleh Donges
dan Riedel (1977). Donges dan Riedel mendefinisikan indeks RCA
sebagai rasio ekspor neto industri i terhadap total volume perdagangan
industri i di negara j dibagi rasio ekspor netto manufaktur terhadap

12
total volume perdagangan manufaktur di negara j. Perhitungan indeks
ini adalah sebagai berikut:

Jika nilai RCA lebih dari 1, maka negara j memiliki keunggulan


komparatif pada industri.
3. Wolter Index
Wolter (1977) menyarankan penggunaan indeks RCA yang lebih
sederhana daripada pengukuran sebelumnya. Perhitungan indeks ini
adalah sebagai berikut:

Jika nilai RCA lebih dari 1, maka negara j memiliki keunggulan


komparatif pada industri i.
4. Michaely Index
Indeks Michaely merupakan selisih antara share sektor i terhadap total
ekspor negara j dan share impor sektor i terhadap total impor negara
j. Perhitungan indeks ini adalah sebagai berikut:

Range nilai ukuran ini berkisar antara -1 hingga 1. Jika nilai RCA
positif, maka negara j memiliki keunggulan komparatif pada industry.

13
5. Bowen Index
Indeks Bowen (1983) membandingkan rasio volume perdagangan
industri i di negara j terhadap GNP negara j dengan rasio produksi
industri i di negara j terhadap total GNP dunia. Perhitungan indeks ini
adalah sebagai berikut:

Jika nilai RCA lebih dari 1, maka negara j memiliki keunggulan


komparatif pada industri.
6. Vollrath Index
Indeks ini didasarkan pada data ekspor dan impor produk domestik
dan di seluruh dunia. Perhitungan indeks ini adalah sebagai berikut:

Range nilai ukuran ini berkisar antara -1 hingga 1. Jika nilai RCA
positif, maka negara j memiliki keunggulan komparatif pada industri.
7. Export Share Ratio
Rasio share ekspor membandingkan share industri i di negara j
terhadap total ekspor negara dengan share industri i di dunia terhadap
total ekspor dunia. Perhitungan indeks ini adalah sebagai berikut:

14
Jika nilai RCA lebih dari 1, maka negara j memiliki keunggulan
kornparatif pada industri.
c. Keunggulan Komparatif,Viabilitas Industri & Kinerja Perekonomian
Lin (2012) menyatakan bahwa ketidaktepatan strategi pembangunan
yang diterapkan di negara berkembang menjadi faktor penting yang
mampu menjelaskan mengapa negara berkembang (less developed
countries) gagal untuk mengejar ketertinggalan perekonomiannya dari
negara maju. Lin menyatakan bahwa, setelah Perang Dunia II sebagian
besar negara berkembang menetapkan rencana pembangunan yang
memprioritaskan pada pembangunan industri yang bersifat padat modal.
Menurut Hughes (1992), tidak ada negara berkembang selain Hong Kong
yang pada masa awal proses industrialisasinya memanfaatkan keunggulan
komparatifnya. Terkait dengan hal ini, justru industri yang menjadi
prioritas pengembangan di negara berkembang tidak sesuai dengan
keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu negara. Padahal, struktur
industri yang optimal seharusnya ditentukan oleh faktor endowment dan
keunggulan komparatif suatu negara. Di samping itu, sering kali muncul
upaya- upaya pengembangan industri padat modal yang berlebihan
(misalnya melalui proteksi dan subsidi terhadap industri padat modal).
Akibatnya, proses pengalokasian sumber daya dalam perekonomian
menjadi tidak efisien, meningkatkan peluang terjadinya aktivitas
mengambil keuntungan sendiri atau rent seeking (contohnya: otoritas yang
bertanggungjawab menyalurkan dana subsidi industri prioritas, cenderung
menyalurkan bantuan hanya kepada perusahaan tertentu yang menjadi
interest-nya atau yang memberikan keuntungan material bagi
lembaganya), ketidakstabilan perekonomian, dan sebagainya (Lin, 2012).

15
Lin menyatakan bahwa jika saja negara berkembang mau
mengembangkan industri yang sesuai dengan keunggulan komparatifnya,
maka mereka sangat mungkin memperoleh surplus ekonomi yang lebih
besar dan memiliki kemampuan untuk mengumpulkan tabungan nasional
sehingga mereka mampu meng-upgrade struktur endowment, teknologi,
dan struktur industrinya. Dengan kata lain, negara-negara tersebut dapat
meningkatkan keunggulan komparatifnya pada tingkatan yang lebih tinggi
(pada industri yang lebih padat modal) secara bertahap. Melalui proses ini,
negara berkembang akan mampu mengejar ketertinggalannya dari negara
maju.
Untuk menjelaskan pendapat Lin (2012) tersebut, mari kita lihat
bagaimanakah faktor endowment dan strategi industrialisasi terkait faktor
endowment dapat memengaruhi kinerja industri dan selanjutnya
perekonomian. Lin menyatakan bahwa pendapatan per kapita suatu negara
merupakan fungsi dari teknologi dan karakteristik industri di suatu negara.
Dalam hal ini, kinerja industri ditentukan oleh viabilitas perusahaan-
perusahaan dalam industri. Viabilitas perusahaan disini didefinisikan
sebagai ekspektasi profit yang diharapkan terhadap suatu perusahaan di
dalam struktur pasar yang terbuka, bebas, dan kompetitif, manakala
perusahaan dapat beroperasi (survive) tanpa adanya subsidi ataupun
bentuk proteksi lainnya (Lin, 2012).
Viabilitas perusahaan ditentukan oleh pilihan faktor produksi dan
teknologi yang digunakan dalam proses produksi perusahaan tersebut.
Dalam kondisi pasar yang kompetitif, terbuka, dan bebas suatu perusahaan
(industri) akan dapat mempertahankan viabilitasnya, jika perusahaan
(industri) tersebut mengadopsi teknologi yang menimbulkan biaya paling
rendah (paling efisien). Pilihan teknologi yang paling efisien ditentukan
oleh kombinasi faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi.
Sebagai ilustrasi, kita gunakan perekonomian sederhana dengan dua faktor
endowment (tenaga kerja dan modal) yang sebagai faktor produksi.
Teknologi menggambarkan kombinasi faktor produksi yang digunakan

16
dalam proses produksi. Teknologi yang dipilih perusahaan dapat
digambarkan melalui grafik di bawah ini.

BLA dan BLB merupakan budget line yang menggambarkan


teknologi yang digunakan oleh negara A dan negara B untuk menghasilkan
suatu barang (misalkan barang X). Setiap titik dalam kurva BL
merepresentasikan harga relatif modal terhadap tenaga kerja (sekaligus
harga relatif tenaga kerja terhadap modal). Pada gambar di atas, dapat
dilihat bahwa BLA lebih curam dibandingkan dengan BLB. Hal ini
menunjukkan bahwa harga relatif modal terhadap tenaga kerja di negara A
lebih murah daripada yang ada di negara B (Di negara A, untuk
mendapatkan modal sebanyak M unit diperlukan L1 unit tenaga kerja,
sementara di negara B, untuk mendapatkan modal sebanyak M unit
diperlukan L2 unit tenaga kerja, L1 L2). Hal ini terjadi karena faktor
produksi modal di negara A, lebih melimpah daripada negara B. Oleh
karena itu, negara A memiliki keunggulan komparatif pada faktor produksi
modal. Dan dalam kondisi ini, industri yang cenderung mampu
mempertahankan viabilitasnya adalah industri yang berproduksi dengan
kombinasi faktor produksi yang isokuan-nya bersinggungan dengan BLA
(digambarkan dengan kurva II).
Sementara itu, BLB yang lebih landai dibandingkan dengan BLA
menunjukkan bahwa harga relatif tenaga kerja terhadap modal di negara B
lebih murah daripada yang ada di negara A (Di negara A, untuk

17
mendapatkan tenaga kerja sebanyak L unit diperlukan M1 unit modal,
sementara di negara B, untuk mendapatkan tenaga kerja sebanyak L unit
diperlukan M2 unit tenaga kerja, M2<M1 ). Hal ini terjadi karena faktor
produksi tenaga kerja di negara B lebih melimpah daripada negara A. Oleh
karena itu, negara B memiliki keunggulan komparatif pada faktor produksi
tenaga kerja. Dalam kondisi ini, industri yang cenderung mampu
mempertahankan viabilitasnya adalah industri yang berproduksi dengan
kombinasi faktor produksi yang isokuan-nya bersinggungan dengan BLB
(digambarkan dengan kurva 12).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa viabilitas
suatu industri ditentukan oleh kemampuan industri tersebut untuk
mengadopsi teknologi yang mempertimbangkan faktor endowment dan
keunggulan komparatif di suatu negara. Secara spesifik, apabila industri
yang dikembangkan di suatu negara sesuai dengan faktor endowment dan
keunggulan komparatif di negara tersebut maka kemungkinan besar
industri-industri yang ada di negara tersebut akan viable dan berkontribusi
positif dalam mendukung kinerja perekonomian.
d. Strategi Pembangunan Industri dengan dan Tanpa Berbasis
Keunggulan Komparatif serta Dampaknya Bagi Pembangunan
Menganalisis strategi pengembangan industri yang dilaksanakan
pemerintah dan mengklasifikasikannya menjadi dua kelompok besar, yaitu
strategi melawan keunggulan komparatif (strategies menantang
keunggulan komparatif/CAD) dan strategi mengikuti keunggulan
komparatif (strategies Following Comparative Advantage/CAF). Strategi
CAD cenderung mengabaikan keuntungan relatif ilmu ekonomi dalam
menentukan jenis industri yang akan dikembangkan dan teknologi yang
digunakan di dalamnya. Sebaliknya, strategi CAF bertujuan untuk
menggunakan keunggulan komparatif dalam menentukan industri yang
akan dikembangkan dalam perekonomian dan teknologi yang digunakan
di dalamnya. Pada bagian selanjutnya, kita membahas alasan penegasan
strategis ini secara lebih rinci.

18
Terkait dengan strategi CAD, penerapan strategi ini di negara-
negara berkembang sebagian besar didorong oleh pendapat para politisi
dan pemikir, yang sering menyamakan industrialisasi dengan
modernisasi, mendorong negaranya untuk membangun industri berat yang
padat modal, dan merekomendasikan untuk mengadopsi teknologi tinggi.
. , seperti di negara maju menjangkau negara maju secepat mungkin dalam
proses produksi industri dalam negeri. Namun seringkali, struktur dana di
negara-negara berkembang tidak sesuai dengan industri berat dan
teknologi tinggi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, ketimpangan
ini menyebabkan industri yang dikembangkan dengan strategi CAD
menjadi tidak berkelanjutan bahkan merugi ketika harus bersaing di pasar
yang kompetitif, bebas, dan terbuka.
Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung kegagalan ini sebagai
bentuk tanggung jawab negara, setidaknya pada tahap awal pengenalan
industri dan teknologi baru (walaupun dalam praktiknya, di banyak negara,
pemerintah harus mendukungnya dalam jangka waktu yang lama).
Tanggung jawab negara ini telah diwujudkan dalam berbagai bentuk
kebijakan, antara lain pemberian subsidi untuk mengkompensasi kerugian
yang ditimbulkan, penurunan suku bunga kredit, kebijakan nilai tukar
untuk memperlancar impor barang modal (misalnya revaluasi mata uang
dalam negeri). dan devaluasi nilai tukar), perlindungan tarif, pemotongan
pajak dan status monopoli hukum. Pada dasarnya, berbagai kebijakan ini
merupakan sarana untuk melindungi industri-industri baru berteknologi
tinggi, yang diterapkan sebagai wujud strategi CAD. Terkait dengan
strategi CAF, penerapan strategi ini di negara berkembang didasarkan
pada pandangan bahwa pengembangan industri dan penggunaan teknologi
berdasarkan keunggulan komparatif (berdasarkan ketersediaan sumber
daya keuangan) di negara berkembang dapat mendorong tercapainya
kelangsungan hidup. di negara-negara berkembang negara perusahaan
yang bergerak dalam perekonomian nasional. Ketika kelangsungan hidup
ini tercapai, maka akan terjadi surplus ekonomi yang akan mendorong

19
lebih banyak tabungan nasional. Dalam hal ini terjadi proses akumulasi
modal yang kemudian dapat berkontribusi pada proses perbaikan struktur
dana (meningkatkan ketersediaan dana untuk kegiatan produksi). Setelah
reformasi struktur pondasi selesai, perusahaan dapat melakukan proses
perbaikan teknologi, dengan kata lain beralih ke praktik industri yang lebih
padat modal.
1. Akumulasi modal
Akumulasi modal saja tidak cukup untuk mendukung keberhasilan
proses reformasi. Beberapa faktor penting lainnya yang mendukung
proses inovasi adalah ketersediaan informasi (misalnya tentang
ketersediaan teknologi), yang dapat dipromosikan melalui
peningkatan koordinasi dengan pemerintah dan perusahaan lain,
ketersediaan sumber daya manusia (sumber daya manusia berkualitas
yang mampu mendukung) . proses modernisasi) dan ketersediaan
industri pendukung (seperti lembaga keuangan, lembaga yang
menyediakan jasa perdagangan, pemasaran dan distribusi.)
Karakteristik utama yang membedakan strategi CAF dengan strategi
CAD adalah terbatasnya intensitas dan durasi subsidi yang tersedia
bagi perusahaan. perusahaan (terutama pada tahap awal
industrialisasi) dan kemampuan perusahaan untuk bertahan. ) dalam
jangka panjang tanpa intervensi langsung pemerintah (subsidi dan
perlindungan). Strategi CAF mampu mendukung pembangunan
ekonomi negara-negara berkembang terutama untuk meningkatkan
pendapatan dan mengejar ketertinggalan negara-negara maju,
sedangkan strategi CAD cenderung memperlambat pembangunan
ekonomi. Hal ini terlihat dari perbandingan dampak masing-masing
strategi terhadap beberapa faktor penting pembangunan ekonomi,
khususnya akumulasi modal, transfer teknologi, keterbukaan
ekonomi, pendalaman keuangan, stabilitas makroekonomi, dan
distribusi pendapatan.

20
2. Transfer Teknologi
Upaya untuk mengejar ketertinggalan negara berkembang dari negara
maju memerlukan proses upgrading struktur industri dan teknologi.
Teknologi yang harus diadopsi dalam proses upgrading ini merupakan
hal baru bagi perusahaan- perusahaan di negara berkembang maupun
pekerja yang terlibat di dalamnya. Terkait dengan hal ini, perusahaan
baru dapat memanfaatkan teknologi yang sudah pernah digunakan
ataupun sedang digunakan oleh negara maju melalui transfer
teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Dalam kaitannya
dengan transfer teknologi, strategi CAF akan lebih menguntungkan
daripada strategi CAD. Hal ini karena strategi CAF memerlukan biaya
pembelajaran (learning cost) dan biaya adopsi (acquisition cost) yang
lebih rendah daripada strategi CAD. Biaya yang lebih rendah ini dapat
terjadi karena proses upgrading dalam rangkaian strategi CAF
dilakukan secara bertahap sehingga teknologi yang diadopsi juga
tidak meningkat secara drastis dalam waktu yang singkat. Sementara
itu, dalam strategi CAD proses upgrading dilakukan secara singkat
dengan tujuan untuk melakukan modemisasi, agar secepat mungkin
menyamai pola produksi dan teknologi yang dipakai di negara maju.
Perbedaan ini membuat learning cost pada strategi CAF lebih murah
karena jarak antara teknologi awal dan teknologi baru yang diterapkan
pada proses upgrading tidak terlalu jauh, dibandingkan dengan jarak
yang terjadi pada strategi CAD.
3. Keterbukaan Perekonomian
Banyak studi telah menunjukkan bahwa keterbukaan perekonomian
dapat mendorong pembangunan di berbagai negara karena dapat
memfasilitasi proses penyebaran teknologi. menyatakan bahwa
keterbukaan pasar juga ditentukan oleh strategi pembangunan industri
dalam suatu negara. Ketika strategi CAF diterapkan dalam suatu
negara maka negara tersebut akan mengekspor komoditas/produk
yang menjadi keunggulan komparatif negaranya dan mengimpor

21
produk yang tidak menjadi keunggulan komparatif negaranya.
Melalui proses inilah, tingkat keterbukaan perekonomian menjadi
semakin tinggi dan proses penyebaran teknologi serta pengembangan
pasar terjadi. Sebaliknya, dalam penerapan strategi CAD, negara akan
mendorong perusahaan untuk memproduksi sendiri barang-barang
yang bersifat padat modal (seperti mesin-mesin industri) dan tentunya
dengan mengadopsi teknologi yang padat modal dalam proses
produksi domestik. Hal ini berdampak negatif pada pembangunan
industri melalui dua hal. Pertama, impor produk yang bersifat padat
modal menurun. Kedua, ekspor produk domestik yang memiliki
keunggulan komparatif tidak maksimal, bahkan mungkin menurun
karena sumber daya yang ada dialokasikan untuk membangun industri
padat modal. Akibatnya, tingkat keterbukaan perekonomian semakin
menurun dan proses difusi teknologi serta perluasan pasar sulit terjadi.
4. Pendalaman Finansial
Berdasarkan McKinnon (1973), pendalaman finansial cenderung
menentukan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang Dalam
penerapan strategi CAD, perusahaan-perusahaan yang dikembangkan
(menjadi perhatian pemerintah) adalah industri berat skala besar yang
memerlukan modal sangat besar. Pembiayaan perusahaan-perusahaan
ini dikuasai oleh bank-bank berskala besar yang mampu menyediakan
modal besar. Bahkan, tidak jarang perusahaan-perusahaan ini harus
dinasionalisasi (dibeli) pemerintah dan dibiayai melalui anggaran
pemerintah karena tidak viable. Sementara itu, sektor-sektor yang
bersifat padat karya berskala kecil dan menengah, yang sebenarnya
merupakan sektor yang kompetitif dan sesuai keunggulan komparatif
negara berkembang, tidak terlalu diperhatikan dan sering kali tidak
mampu jasa finansial dari bank-bank besar. Kondisi inilah yang
membuat sektor finansial tidak berkembang. Hal ini ditambah lagi
dengan adanya banyak kasus yang menunjukkan bahwa perusahaan-
perusahaan yang padat modal ini, tidak memiliki kinerja yang baik

22
dan tidak viable sehingga tidak mampu memberikan tingkat
pengembalian yang cukup bahkan merugi dan sering kali tidak
memiliki kemampuan membayar pinjaman. Akibatnya, bank-bank
menanggung pinjaman berstatus buruk (bad loans). Hal seperti inilah
yang menimbulkan risiko dalam perekonomian, menghambat
pengembangan sektor finansial, dan mendorong terjadinya krisis
ekonomi. Berbeda dengan strategi CAD, strategi CAF akan berfokus
pada pengembangan industri yang sesuai dengan keunggulan di suatu
negara untuk mendukung terciptanya viabilitas perusahaan yang
beroperasi di dalamnya, serta meningkatkan peran sektor finansial
swasta yang semakin luas dalam aktivitas pembiayaan target industri
dalam strategi CAF. Kondisi ini akan membuat strategi CAF lebih
mampu mendorong pendalaman sektor finansial.
5. Stabilitas Makroekonomi
Banyak studi empiris telah menunjukkan bahwa kestabilan
perekonomian menentukan pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang. Penerapan strategi CAD yang tidak memperhatikan
keunggulan komparatif di negara berkembang cenderung akan
mendorong terjadinya industri ysng tidak vialble dan terus tergantung
pada proteksi pemerintah. Hsl ini membuat perekonomian tersebut
menjadi tersusun dari industri-industri yang tidak kompetitif, negara
luar memburuk, sektor finansial tidak terbangun, kinerja menjadi
memburuk.
6. Distribusi pendapatan
Merupakan salah satu aspek utama yang harus diperhatikan dalam
pembangunan ekonomi. Menurut Lin (2012), strategi CAF cenderung
lebih mampu mendukung upaya mengatasi ketidakmerataan
pendapatan di negara berkembang, jika dibandingkan dengan strategi
CAD. Dalam hal ini, strategi CAF lebih mendorong pengembangan
industri padat karya (meskipun pada tahap selanjutnya meningkat
menjadi pengembangan industri yang lebih padat modal) sehingga

23
mampu menyediakan lebih banyak peluang kerja bagi masyarakat
miskin yang pada umumnya tidak memiliki keahlian tinggi.
Selanjutnya, hal ini akan mendorong kenaikan tingkat upah yang
diterima masyarakat miskin. Hal ini akan berdampak pada
pengurangan ketimpangan pendapatan. Sebaliknya, penerapan
strategi CAD lebih mendorong pengembangan industri padat modal
sehingga justru mengurangi peluang kerja bagi masyarakat miskin
yang pada umumnya tidak memiliki keahlian tinggi. Selanjutnya, hal
ini akan menekan tingkat upah yang diterima masyarakat miskin. Hal
ini akan berdampak pada peningkatan ketimpangan pendapatan
Mengenai efektivitas penerapan strategi CAD dan CAF, sejumlah
observasi dan studi empiris yang dirangkum dalam
menunjukkan hasil yang tidak seragam. Meskipun demikian, praktik
di sejumlah negara yang berhasil melewati tahapan industrialisasi
menunjukkan bahwa strategi CAF cenderung lebih efektif daripada
strategi CAD. Jika melihat pengalaman dari beberapa negara maju
Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, negara-negara tersebut
melakukan perubahan teknologi produksi, dari yang bersifat padat
karya ke padat modal secara bertahap seiring dengan peningkatan
ketersediaan modal dan peningkatan upah Contoh lainnya adalah 4
negara Asia (Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura)
yang berhasil melakukan industrialisasi dan mendapatkan status
negara industri baru (new industrializing countries) seiring dengan
kemampuannya menyaingi negara maju (jika dilihat dari pencapaian
pembangunan industri dan ekonominya).

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pemaparan materi di atas dapat disimpulkan:
1. Pembangunan ekonomi pada umumnya dapat didefinisikan sebagai suatu
proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk
suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem
kelembagaan. Industrialisasi dipandang sebagai salah satu cara yang
ampuh untuk mencapai keberhasilan pembangunan ekonomi. Meskipun
demikian, industrialisasi bukan merupakan suatu obat mujarab yang
mampu mengatasi masalah-masalah pembangunan, namun merupakan
salah satu strategi yang dapat ditempuh untuk mendukung proses
pembangunan ekonomi.
2. Keunggulan komparatif dapat diartikan sebagai keunggulan suatu
produsen terhadap produsen lain yang diperoleh karena adanya perbedaan
opportunity cost atau harga relatif yang harus ditanggung oleh masing-
masing produsen dalam memproduksi suatu komoditas atau produk.
Dalam konteks perekonomian antarnegara, keunggulan komparatif
menjadi basis suatu negara untuk melakukan spesialisasi dan basis untuk
mengadakan perdagangan internasional yang saling menguntungkan
antarnegara. Praktik di berbagai negara berkembang, serta sejumlah
argumen teoritis menunjukkan bahwa strategi pengembangan industri
yang berbasis pada keunggulan komparatif di masing-masing negara lebih
mampu mendukung proses akumulasi kapital, proses transfer dan
upgrading teknologi, keterbukaan perekonomian, pendalaman finansial,
kestabilan makroekonomi, dan distribusi pendapatan. Melalui peran
tersebut strategi pengembangan industri yang berbasis pada keunggulan
komparatif akan mampu mendukung proses pembangunan ekonomi di
negara berkembang dan kemampuan negara berkembang untuk mengejar
ketertinggalan ekonominya dari negara maju.

25
DAFTAR RUJUKAN

Arsyad, Lincolin. 2019. Ekonomi Pembangunan Edisi ke-2. Tangerang Selatan:


Universitas Terbuka.
Hughes, Hellen (ed). 1992. Keberhasilan Industrialisasi di Asia Timur. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Lin, Justin Yifu. 2012. New Structural Economics: A framework for rethinking
development. International Bank for Reconstruction and Development.

Suhardi dan Afrizal. 2021. Keunggulan Komparatif Ekspor Indonesia. STIE Pertiba
Pangkalpinang.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi. Bandung:
Erlangga.
Widodo, Tri. 2009. “Comparative Advantage: Theory, Empirical Measures And
Case Studies”, Review of Economic and Business Studies.

Anda mungkin juga menyukai