Anda di halaman 1dari 31

MENTAL ACCOUNTING DALAM PERPAJAKAN

(Studi pada Kota Pati Jawa Tengah)

Oleh :
OKTAVIANA ANGGUN PERMATASARI
NIM : 232013077
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Guna Memenuhi Sebagian dari
Persyaratan-Persyaratan untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ekonomi
FAKULTAS : EKONOMI DAN BISNIS
PROGRAM STUDI : AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS


UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018

i
PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki anggaran pendapatan


bertumpu pada sektor perpajakan. Menurut Kementrian Keuangan komposisi
pajak dalam pendapatan negara tergolong paling besar dibanding pendapatan dari
sektor lain, yaitu 85,6% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2017 (www.kemenkeu.go.id). Oleh karena itu, perkembangan dan pembangunan
negara sangat bergantung pada pemasukan dari sektor perpajakan dan menuntut
masyarakat untuk berpartisipasi dalam membayar pajak. Berbagai peraturan
dikeluarkan untuk mencapai anggaran penerimaan negara melalui pajak. Diatmika
(2013) menunjukkan adanya celah kebocoran dari permainan oknum petugas
pajak dengan pengusaha dan konsultan, masih belum menunjukkan akuntabilitas
dan transparasi.

Pemerintah dalam rangka meningkatkan kontribusi masyarakat dalam


pembangunan mengeluarkan peraturan yang mulai berlaku tanggal 1 Juli 2013
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013. Pokok pengaturan dalam PP
Nomor 46 Tahun 2013 adalah pengenaan PPh dengan tarif sebesar 1% dari
peredaran bruto setiap bulan atas penghasilan dari usaha Wajib Pajak yang
memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.8 miliar dalam satu tahun. PP
Nomor 46 tahun 2013 sejatinya mengandung tiga tujuan utama kemudahan tertib
administrasi, transparasi dan peningkatan kontribusi masyarakat dalam
pembangunan. Meski tidak secara eksplisit dinyatakan dalam PP 46 tahun 2013,
sulit dipungkiri bahwa yang menjadi target pemajakan dalam ketentuan
perpajakan baru ini adalah UMKM. Hal ini terlihat dari batasan peredaran usaha
Rp4,8 miliar dalam PP tersebut yang masih dalam lingkup pengertian UMKM
(Diatmika, 2013). Tambunan (2013) juga menjelaskan batasan peredaran usaha
Rp 4,8 miliar masih masuk dalam pengertian UMKM sesuai dengan UU Nomor
20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yaitu suatu
usaha yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan usaha dengan peredaran
maksimal Rp 50 miliar dalam satu tahun.

16
Keunggulan dari peraturan PP No.46 Tahun 2013 ini adalah kemudahan
perhitungan pajak, karena didasarkan atas omset penjualan. Pajak dikenakan
dengan menggunakan tarif 1% dari omset. Prinsip kesederhanaan ini diterapkan
mengingat karakteristik UMKM di Indonesia yang belum baik dalam menyusun
pembukuannya. Meskipun sudah dibuat dengan sederhana, pembayaran pajak
seringkali dirasa sebagai beban. Penerapan PP Nomor 46 Tahun 2013
menimbulkan kebingungan bagi wajib pajak pelaku UMKM, sebab belum semua
wajib pajak pelaku UKM memiliki penghasilan yang sama setiap bulannya.
Wicaksono (2016) menunjukkan pelaku UMKM memiliki penghasilan yang tidak
selalu sama sehingga dengan adanya PP Nomor 46 Tahun 2013 ini dirasa
memberatkan pelaku UMKM. Masih banyak UMKM yang belum mapan, yang
terbebani pajak semacam itu terlebih dengan adanya sanksi denda atas
keterlambatan pembayaran pajak sebesar 2% menambah beban bagi pelaku
UMKM itu sendiri.

Penelitian Ningrum (2016) menyatakan bahwa pelaksanaan PP No. 46 Tahun


2013 berdampak kepada kepatuhan pajak namun masih ada kendala dalam
implementasinya antara lain kurangnya pengetahuan dalam pengelolaan
pembukuan keuangan untuk Wajib Pajak, ketidaktahuan Wajib Pajak dalam
melakukan pembukuan ini biasanya terjadi pada UMKM yang memang kurang
paham mengenai pembukuan dan menghitung, menyetor dan melaporkan pajak
terhutangnya. Diduga, ketidakpatuhan UMKM terhadap aturan tersebut adalah
bahwa sebagian besar UMKM tidak ada pemisahan rekening antara untuk usaha
dan untuk kebutuhan pribadi, tidak memiliki perencanaan keuangan yang matang,
dan tidak memiliki laporan keuangan. Penelitian Kaludia, Riwayanti dan
Aminatunnisa (2017) mencoba menggali realitas kepatuhan wajib pajak pemilik
UMKM. Hasil penelitian menunjukkan ketidakpatuhan wajib pajak UMKM
disebabkan karena mereka menafsirkan bahwa pembayaran pajak dapat diganti
melalui penerapan zakat, serta sosialisasi perpajakan belum maksimal sehingga
ada ketidakpercayaan dari UMKM untuk membayar pajak. Lain halnya dengan
penelitian Rohman, dkk (2011) yang mengkaji kapabilitas pembukuan Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam mendukung perilaku kepatuhan
17
wajib pajak. Hasil penelitian menunjukkan pembukuan yang baik akan memberi
kemudahan bagi wajib pajak pelaku UMKM dalam membuat keputusan mengenai
berapa pajak yang akan mereka bayar, walaupun penyelenggaraan pembukuan
tidak semata-mata untuk perhitungan pajak saja, namun keinginan melihat kinerja
operasi serta besarnya keuntungan yang mereka peroleh.
Sumber dimana memperoleh uang ternyata mempengaruhi dalam penggunaan
dan pemanfaatannya. Damayanti dan Supramono (2011) menunjukkan secara
mental, seseorang cenderung memilah pendapatan dan pengeluaran dalam pos-pos
tertentu. Kondisi tersebut dikenal sebagai mental accounting. Thaler dan Shefrin
(1981) mengemukakan bahwa istilah “mental acounting” adalah sebuah
fenomena perilaku ekonomi bilamana seseorang menggolongkan penerimaan dan
pengeluaran berdasarkan pos-pos tertentu. Dalam penelitian ini mental accounting
pelaku UMKM dilihat dari sejauh mana pelaku UKM tersebut mengelompokkan
penerimaan dari hasil penjualan dan pengeluaran, khususnya untuk pembayaran
pajak karena mental accounting penting bagi perencanaan keuangan dalam UKM.

Melihat fenomena di atas, penerapan PP Nomor 46 Tahun 2013 dan mental


accounting pelaku UKM dalam memilah penerimaan dan pengeluaran kas
menjadi menarik untuk diteliti karena melihat dalam praktiknya wajib pajak orang
pribadi pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) belum familiar dalam
penerapan aturan baru tersebut. Pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
menjadi fokus penelitian ini, dengan pertimbangan penghasilan yang didapat oleh
para pelaku UKM tidak selalu sama pada setiap bulannya.
Penelitian tentang mental accounting sebelumnya pernah dilakukan oleh
Damayanti dan Supramono (2011) tentang perlakuan pendapatan dan alokasi
pemanfaat pendapatan ekstra yang berasal dari gaji ke 13 dan tunjangan sertifikasi
guru. Kemudian Marteniawati (2012) yang meneliti mental accounting mahasiswa
pada perlakuan uang saku dan uang hasil kerja. Penelitian di atas hanya
menunjukkan pembahasan mental accounting pada rumah tangga dan belum ada
penelitian tentang mental accounting pada pembayaran pajak.
Penelitian dilakukan untuk menganalisis bagaimana mental accounting
pelaku UKM di Kota Pati dalam melakukan kewajiban perpajakan, dilihat dari
18
cara perhitungan pajaknya. Hasil penelitian ini diharapkan untuk memberi
pengetahuan pada pelaku UKM tentang bagaimana cara mengelola keuangan agar
efektif dan efisien dalam penggunaannya selain itu dapat menghitung pajak yang
benar sesuai dengan peraturan yang ada, dan agar kantor pajak setempat lebih baik
lagi dalam melakukan sosialisasi tentang peraturan pajak UKM serta menjadi
pengembangan literatur di bidang akuntansi khususnya mental accounting.

19
TINJAUAN PUSTAKA
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013

Sebagian besar pelaku UKM tentunya sudah mengetahui adanya peraturan


perpajakan yang berlaku untuk seluruh UMKM yaitu PP Nomor 46 Tahun 2013
dimana dengan tujuan dikeluarkannya peraturan tersebut adalah memberi
kemudahan untuk masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan,
meningkatkan pengetahuan perpajakan bagi masyarakat, dan terciptanya kondisi
social dalam memenuhi kewajiban perpajakan. PP Nomor 46 Tahun 2013 sendiri
merupakan pajak penghasilan yang bersifat final yaitu dengan tarif 1% dari
peredaran bruto dalam satu tahun. Menurut pemerintah, peraturan tersebut sudah
disederhanakan sehingga dengan harapan pelaku UKM dapat membayar pajak
secara tepat waktu, patuh dalam membayar pajak dan dapat meningkatkan
penerimaan sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

PP Nomor 46 Tahun 2013 ditetapkan untuk memberi kesempatan pada


masyarakat berkontribusi dalam penyelenggaraan negara dan memberi pelatihan
kepada masyarakat agar tertib administrasi dan transparasi. Meskipun pemahaman
wajib pajak masih terbatas, namun sebagian wajib pajak merasa tidak kesulitan
dalam mematuhi peraturan tersebut sehingga banyak pro dan kontra karena
adanya peraturan ini (Susilo dan Betri 2013).

Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan PP Nomor 46 Tahun 2013


adalah penghasilan yang diperoleh wajib pajak dengan peredaran bruto kurang
dari Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak dengan tarif 1% dari peredaran bruto
tersebut. Peredaran bruto tersebut dimaksudkan peredaran bruto dari semua gerai,
counter, atau outlet dan sejenisnya. Tetapi tidak semua wajib pajak baik orang
pribadi maupun badan termasuk Badan Usaha Tetap dapat menjadi bagian wajib
pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

Namun menurut Brodjonegoro (2015) upaya pemerintah mendorong


penerimaan pajak dan kepatuhan wajib pajak UMKM melalui penerapan tarif
PPh final sebesar 1 persen ternyata tidak mencatatkan hasil signifikan, hingga

20
pertengahan 2014, potensi penerimaan yang baru tergarap sekitar 7 persen,
adapun total penerimaan pajak dari UMKM sejak Juli 2013 hingga Juni 2014
hanya sekitar Rp 2 triliun, angka tersebut jauh dari potensinya sekitar Rp 30
triliun, dengan asumsi kontribusi UMKM terhadap PDB sebesar Rp 3.000 triliun.
Sedangkan Ningrum (2016) menyatakan bahwa pelaksanaan PP No. 46 Tahun
2013 berdampak kepada kepatuhan pajak namun masih ada kendala dalam
implementasinya antara lain kurangnya pengetahuan dalam pengelolaan
pembukuan keuangan untuk Wajib Pajak, ketidaktahuan Wajib Pajak dalam
melakukan pembukuan ini biasanya terjadi pada UMKM yang memang kurang
paham mengenai pembukuan dan menghitung, menyetor dan melaporkan pajak
terhutangnya.

Mental Accounting

Seperti yang sudah dijelaskan pada latar belakang masalah, bahwa Mental
accounting adalah perilaku ekonomi dimana seseorang menggolongkan masukan
dan keluaran finansial yang dilakukan berdasarkan pos-pos seperti halnya yang
ada pada akuntansi (Benny,2009).

Mental accounting terdiri dari tahap mengkode, mengktegorikan, dan


mengevaluasi. Menurut Cheema dan Soman (2006) mental accounting adalah
perilaku individu maupun entitas yang berhubungan dengan
mengkode/mengidentifikasi, membuat kategori rekening, dan mengevaluasi
aktivitas finansialnya. Gou (2013) melihat suatu perilaku mental accounting yaitu
serangkaian operasi kognitif yang digunakan untuk mengorganisasi,
mengevaluasi, dan melacak aktivitas keuangannya.

Tahap pertama yaitu mengkode. Thaler dan Shefrin (1981) serta Thaler
(1990) mengatakan bahwa tahap mengkode pada mental accounting terlihat dari
pemikiran seseorang ataupun suatu entitas memiliki kecenderungan untuk
memposkan kebutuhan. Contohnya pos A untuk aset, pos B untuk laba usaha, dan
pos lainnya. Kedua, tahap mengkategori terlihat dari perilaku memilah pos apa
yang dipilih untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu. Yang terakhir pada tahap
21
mengevaluasi, mental accounting juga memicu seorang untuk membedakan dari
mana uang itu berasal serta mempengaruhi penggunaannya. Pemisahan kebutuhan
ke dalam pos-pos inilah yang memungkinkan timbulnya mental accounting yang
mengakibatkan bias atau kecenderungan salah prediksi atau error. Purnomo
(2009) mental accounting menunjukkan konsekuensi yang lebih serius atas
perilaku pengambilan keputusan.

Fenomena mental accounting yang lain yaitu ada kalanya seseorang


merasa sudah berusaha berhemat berbagai jenis pengeluaran dengan cara tidak
membeli banyak hal, tetapi disisi lain tidak berhemat untuk jenis pengeluaran
tertentu, misalnya untuk kepentingan memuaskan hobynya meskipun mungkin
dari frekuensi pembeliannya relatif jarang tetapi dari segi jumlahnya relatif besar.
Sebaliknya juga dapat terjadi seseorang melakukan penghematan di pos
pengeluran yang besar saja sehingga menganggap pos-pos pengeluaran kecil
tidak ada artinya. Padahal ketika melakukan pembayaran-pembayaran kecil dan
rutin seringkali jika tidak disadari dan dikelola dengan baik akan mengarah pada
akumulasi pengeluaran yang besar sehingga tanpa disadari akan mengeluh bahwa
dirinya bukanlah pemboros (Supramono dan Damayanti 2013).

Mental accounting dalam Perpajakan

Seperti penelitian yang sebelumnya, tentang mental accounting keputusan


hutang versus tabungan, bahwa UKM masih belum melakukan pembukuan
sehingga mereka masih merasa kesulitan untuk mengatur keuangan mereka.
Ditambah lagi, bagaimana cara mereka memperbesar usahanya, apakah
menggunakan dana sendiri atau melakukan peminjaman dari bank dengan kredit
lunak yang diberikan pemerintah (Luhsasi 2015).

Dari penelitian sebelumnya, bahwa UKM belum melakukan pembukuan


sesuai dengan standart akuntansi. Terkait dengan sikap mental accounting,
bagaimana seseorang memposkan mana yang menjadi pendapatan dan
pengeluaran finansial, maka akan menyulitkan UKM itu sendiri dalam mengatur
keuangan, sehingga dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pajak.

22
Meskipun demikian, mental accounting merupakan perilaku irasional yang
dapat menyebabkan bias dalam pengambilan keputusan. Namun hal ini
bergantung pada bagaimana sikap kita terhadap pengelolaan uang. Jika kita adalah
orang yang sangat rasional, kita akan dapat mengelola uang kita dengan efektif
untuk setiap kategorinya. Namun jika kita tidak selalu rasional, optimalisasi
mental accounting menjadi sangat penting dalam manajemen keuangan.

UKM umumnya masih melakukan pencatatan atas transaksi yang dilakukan


menyangkut jumlah barang yang masuk (dibeli) dan yang keluar (dijual).
Sehingga butuh waktu yang tidak sebentar untuk menghitung pendapatan bruto
maupun netto, belum lagi keakuratannya. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa UKM kurang memahami akan pentingnya pembukuan. Padahal
pembukuan sebagai alat untuk mengetahui perkembangan usaha melalui laporan
keuangan dan juga sebagai sumber data untuk menghitung pajak. Pertimbangan
pemerintah atas pengenaan PPh dengan tarif 1% dari peredaran usaha tiap
bulannya dan bersifat final terhadap UMKM sebagaimana yang tercantum dalam
penjelasan umum PP No.46 Tahun 2013 adalah kesederhanaan dalam
pemungutan perpajakan. Namun salah satu alasan ketidak patuhan dalam
membayar pajak itu sendiri adalah karena tidak adanya pembukuan yang jelas dari
wajib pajak UKM.

Mental accounting dalam perpajakan bagi pelaku UKM di lihat dari


bagaimana cara mereka memisahkan penghasilan usaha (hasil penjualan) dengan
uang pribadi, darimana pelaku UKM mengalokasikan dana untuk membayar
pajak, serta apakah penghasilan usaha (hasil penjualan) yang didapat dialokasikan
pada pos-pos kebutuhan tertentu. Selain itu, mental accounting pelaku UKM juga
melihat bagaimana cara perhitungan pajak yang dilakukan pelaku UKM, apakah
hanya sebatas perkiraan atau estimasi, atau dengan perhitungan 1 % dari total
omset perbulan.

23
METODA PENELITIAN

Untuk kemudahan akses memperoleh data maka yang menjadi populasi


penelitian ini adalah seluruh pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
di Kota Pati yang merupakan Binaan Dinas Koperasi dan UMKM Kota Pati per
triwulan I Tahun 2017 sebanyak 1389 pelaku usaha, dengan jumlah pelaku Usaha
Kecil dan Menengah (UKM) 167 orang. Peneliti akan menganalisis bagaimana
perilaku mental accounting UKM terhadap perpajakan. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif sebagai penelitian berbentuk
kata, skema dan gambar untuk mendeskripsikan objek tertentu (Sugiyono 2013).

Teknik pengambilan sampel ini adalah purposive sampling dengan


kriteria atau karakterisik tertentu. Peneliti menjumpai secara langsung responden
pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) di Kota Pati yang sudah pernah membayar
pajak. Perhitungan sampel penelitian menggunakan rumus Slovin dengan rumus
sebagai berikut (Sanusi 2013):
n= N

1 + Ne 2

= 167 = 167 = 167 = 62.5 = 63


1+167(0.10) 2 1+1.67 2.67
Keterangan :
n : ukuran sampel
N : ukuran seluruh populasi
e : toleransi terjadinya ketidaktelitian sebesar 10%
Metode pengumpulan data penelitian dilakukan dengan cara membagikan
kuesioner kepada pelaku UKM di Kota Pati. Menurut Sugiyono (2013), kuesioner
merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan memberi sejumlah
pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawab. Data penelitian
menggunakan data primer dengan pertanyaan terbuka pada responden serta
memberikan kesempatan pada responden untuk memberikan pendapat.

24
Tabel 1
Variabel, Definisi Operasional dan Indikator Empirik Penelitian
Variabel Definisi Operasional Indikator
PP No.46 tahun 2013 Pajak atas penghasilan  Sudah atau belum
dari usaha yang diterima membayar pajak
atau diperoleh Wajib  Mengetahui atau
Pajak yang memiliki tidak peraturan PP
peredaran bruto tertentu, Nomor 46 Tahun
dikenai Pajak Penghasilan
2013
yang bersifat final 1%
(satu persen) dari  Pengetahuan PP
peredaran bruto yang tidak Nomor 46 Tahun
melebihi Rp 4,8 milyar 2013
dalam satu tahun pajak  Sumber informasi
tentang PP No. 46
Tahun 2013
 Jenis pajak yang
dibayarkan
 Cara perhitungan
pajak
 Periode pembayaran
pajak
Pembukuan  Sudah melakukan
pembukuan atau
belum
 Transaksi dalam
pembukuan
 Periode pembukuan
 Yang melakukan
pembukuan
Mental Accounting Suatu rangkaian operasi  Sumber membayar
kognitif yang digunakan pajak
individu maupun  Yang melakukan
kelompok dalam perhitungan
mengkode, membuat  Penggunaan
kategori dan mengevaluasi
penghasilan usaha
aktivitas finansialnya.
(Thaler 1999)

Teknik Analisis
Data yang diperoleh akan diolah dan disajikan dalam bentuk perhitungan
tabel sederhana dan crosstabulation SPSS. Penelitian ini akan disajikan dalam
bentuk deskriptif untuk melihat gambaran dari hasil kuesioner yang diberikan
pada pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Pati.

25
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Analisis Data
Karakteristik Responden
Penulis akan membahas Mental accounting dalam pembayaran
pajak UKM di Kota Pati. Data diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan pada
pelaku UKM yang berada di Kota Pati yaitu sebanyak 63 responden. Berikut
adalah Tabel 2 yang menunjukkan karakteristik responden:
Tabel 2
Karakteristik Responden
Jumlah
Prosentase
Responden
A. Jenis Kelamin
Laki-laki 35 55,56%
Perempuan 28 44,44%
B. Usia
30-45 tahun 20 31,74%
46-61 tahun 35 55,56%
62-77 tahun 8 12,70%
C. Jenis Usaha
Jasa 4 6,34%
Dagang 48 76,20%
Konveksi 11 17.46%
D. Aset
> Rp 50 juta-100 juta 43 68,25%
> Rp 100 juta-200 juta 16 25,39%
> Rp 200 juta-300 juta 4 6,36%
E. Omset / bulan
> Rp 3 juta-10 juta 40 63,50%
> Rp 10 juta-50 juta 11 17,50%
> Rp 50 juta-100 juta 9 14,30%
> Rp100 juta-200 juta 3 4,70%
Sumber: Data Primer diolah, 2018.

26
Berdasarkan Tabel 2, 55,56% responden berjenis kelamin laki-laki dengan
usia 46-61 tahun (55,56%). Jenis usaha sebanyak 76,20% yang didominasi
mempunyai jenis usaha dagang, dengan perolehan asset sebesar >Rp 50 juta-100
juta (67,25%) dan omset penjualan perbulan sebanyak >Rp 3 juta-10 juta
(63,50%).
Mental accounting adalah perilaku ekonomi dimana seseorang
menggolongkan masukan dan keluaran finansial yang dilakukan berdasarkan pos-
pos seperti halnya yang ada pada akuntansi (Santosa 2009). Dalam penelitian ini
penulis melihat pengelolaan masukan dan pengeluaran keuangan pada UKM
sudah dilakukan berdasarkan penggunaannya, oleh karena itu dalam penelitian ini
akan dibagi menjadi dua bagian yaitu bagaimana perlakuan atas penghasilan
usaha dan alokasi penghasilan usaha untuk membayar pajak.

Perlakuan atas Penghasilan Usaha


Damayanti dan Supramono (2011) mengemukakan bahwa mental
accounting memiliki kecenderungan mengelompokkan dan memperlakukan uang
secara berbeda tergantung darimana uang tersebut berasal. Individu akan
mengalokasikan dana pada pos-pos tertentu berdasarkan sumber dana yang
diperoleh dan mengalokasikan biaya berdasarkan tujuan penggunaannya.
Berdasarkan teori mental accounting tersebut, pelaku Usaha Kecil Menengah
(UKM) cenderung memperlakukan penghasilan usaha yang mereka dapatkan
secara berbeda dan dipisahkan dari uang pribadi. Berikut Tabel 3 menunjukkan
perlakuan pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) atas penghasilan usaha yang
mereka peroleh:
Tabel 3
Perlakuan Atas Penghasilan Usaha
Jumlah
Prosentase
Responden
A. Memisahkan penghasilan usaha dengan uang pribadi
Ya 50 79,36%
Tidak 13 20,64%
B. Mengalokasikan penghasilan usaha pada pos-pos
kebutuhan
Ya 53 84,13%
Tidak 10 15,87%

27
Sumber: Data Primer diolah, 2018.
Dilihat dari tabel 3 menunjukkan bahwa 79,36% responden sudah
memisahkan penghasilan usaha dengan uang pribadi. Sisanya 20,64% responden
belum memisahkan penghasilan usaha dengan uang pribadi, karena dalam
memenuhi kebutuhan sehari-harinya responden hanya bergantung pada usaha
yang dimiliki sehingga tidak dapat memisahkan penghasilan dengan uang pribadi.
Disamping memisahkan penghasilan dengan uang pribadi, pelaku UKM
juga mengalokasikan penghasilan usaha berdasarkan pos-pos kebutuhan tertentu.
Dari tabel 3 menunjukkan bahwa 84,13% responden sudah mengalokasikan
penghasilan usaha pada pos-pos kebutuhan usaha. Namun, ada 15,87% responden
belum mengalokasikan penghasilan usaha pada pos-pos tertentu.
Tabel 4
Mental Accounting dalam pembayaran pajak
Langsung
Pembayaran Membayar
Mental Accounting Pajak Total
Pajak
Ya Tidak
Alokasi Ya 43 5 48
Penghasilan
Ya Usaha Tidak 0 2 2
Pengasilan Total 43 7 50
Usaha Alokasi Ya 5 3 8
Penghasilan
Tidak Usaha Tidak 2 3 5
Total 7 6 13
Sumber: Hasil olah SPSS, 2018
Tabel 4 diatas menunjukkan bahwa dalam pembayaran pajak, pelaku
UKM menggunakan uang dari hasil usaha sendiri. Terdapat 43 responden
melakukan pemisahan atas penghasilan usaha dan mengalokasikan penghasilan
tersebut langsung digunakan untuk membayar pajak. Sedangkan sisanya pelaku
usaha tidak melakukan pemisahan atas penghasilan usaha namun melakukan
alokasi untuk pembayaran pajak. Data diatas juga menunjukkan responden tidak
memisahkan dan tidak mengalokasikan penghasilan usaha untuk pembayaran
pajak.

28
Tabel 5
Perlakuan Atas Penghasilan Usaha Berdasarkan Omset/bulan
Alokasi
Penghasilan
Pemisahan Penghasilan Total
Usaha
Ya Tidak
> Rp 3 juta-10 juta 42 1 43
> Rp 10 juta-50 juta 2 0 2
Omset per > Rp 50 juta-100
2 0 2
Ya bulan juta
> Rp 100 juta-200
3 0 3
juta
Total 49 1 50
> Rp 3 juta-10 juta 4 2 6
> Rp 10 juta-50 juta 3 1 4
Omset per > Rp 50 juta-100
1 1 2
Tidak bulan juta
> Rp 100 juta-200
1 0 1
juta
Total 9 4 13
Sumber: Hasil olah SPSS, 2018.
Dari tabel 5 diatas, menunjukkan responden memiliki omset >Rp 3 juta-10
juta perbulan melakukan pemisahan penghasilan usaha (dari hasil penjualan)
dengan uang pribadi dan mengalokasikan penghasilan usaha dalam pos-pos
kebutuhan. Pemisahan pengalokasian tersebut, tidak lain bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar perkembangan usaha tersebut dan mengetahui
seberapa besar keuntungan yang diperoleh.
Benny (2009) menjelaskan bahwa Mental accounting adalah perilaku
ekonomi dimana seseorang menggolongkan masukan dan keluaran finansial yang
dilakukan berdasarkan pos-pos seperti halnya yang ada pada akuntansi. Dalam
penelitian ini, terlihat adanya mental accounting dalam perlakuan atas penghasilan
usaha dari omset perbulannya akan tetapi, terdapat pula responden yang tidak

29
melakukan pemisahan penghasilan maupun pengalokasian penghasilan usaha.
Responden tidak melakukan pemisahan penghasilan usaha dikarenakan hasil
penjualan tersebut juga digunakan untuk kebutuhan pribadi. Sedangkan dalam hal
pengalokasian, responden mendahulukan kebutuhan yang lebih penting sehingga
cenderung tidak melakukan pengalokasian.

Alokasi Penghasilan Usaha Untuk Membayar Pajak


Berikut tabel 6 yang menunjukkan pengetahuan pelaku UKM mengenai
aturan perpajakan PP Nomor 46 Tahun 2013:
Tabel 6
Pengetahuan Pelaku UKM Tentang PP Nomor 46 Tahun 2013
Jumlah
Prosentase
Responden
A. Membayar Pajak
Ya 63 100%
Tidak 0 0%
B. Mengetahui PP Nomor 46 Tahun
2013
Ya 52 82,54%
Tidak 11 17,46%
C. Perhitungan Pajak yang
Dilakukan
Hanya perkiraan saja 12 19,05%
Menghitng total omset 1% dari
51
omset 80,95%
D. Perhitungan Pembayaran Pajak
Sendiri 51 80,95%
Keluarga 7 11,11%
Karyawan 5 7,94%

Sumber: Data primer diolah, 2018.


Seluruh responden pelaku UKM dalam penelitian ini sudah membayar
pajak. Sebanyak 82,54% responden pelaku UKM mengetahui mengenai aturan
perpajakan PP Nomor 46 Tahun 2013 dan dalam perhitungan perpajakan, pelaku
UKM sudah melakukan perhitungan pembayaran pajak sesuai dengan PP Nomor
46 Tahun 2013 tersebut (80,95%) yaitu perhitungan dengan tarif sebesar 1% yang
didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak

30
terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan, sisanya 19,05% hanya
menghitung berdasarkan estimasi atau perkiraan saja. Pembayaran pajak pelaku
UKM tersebut sudah dilakukan secara rutin yaitu setiap bulan dan rutin setiap
tahun. Perhitungan pembayaran pajak pada pelaku UKM sudah dilakukan sendiri
oleh pelaku UKM (80,95%), dibantu oleh karyawan (11,11%) dan dibantu oleh
anggota keluarga lain (7,94%).
Dalam perhitungan dan pembayaran pajak perlu pelaku UKM melakukan
pembukuan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui penghasilan yang didapat dari
hasil penjualan karena seperti yang yang tercantum pada PP nomor 46 Tahun
2013 pajak dikenakan 1% dari omset bruto. Data menunjukkan responden pelaku
UKM 93,65% sudah melakukan pembukuan.
Tabel 7
Pembukuan, Membayar Pajak dan Perhitungan Pajak
Pembukuan
Membayar Pajak Total
Ya Tidak
Hanya perkiraan
Perhitungan 9 2 11
saja
Ya Pajak 1% dari omset bruto 50 2 52
Total 59 4 63
Sumber: Hasil olah SPSS, 2018.
Tabel 7 menunjukkan 59 responden melakukan pembukuan tetapi tidak
seluruh responden melakukan perhitungan berdasarkan tarif 1% dari omzet.
Terdapat 50 responden melakukan perhitungan, dan 9 responden tidak melakukan
perhitungan atau berdasarkan estimasi saja. Sedangkan 4 respoden yang lain tidak
melakukan pembukuan, tetapi tetap membayar pajak meskipun dengan
perhitungan sesuai dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 ataupun dengan estimasi
saja.
Pembukuan merupakan salah satu hal yang terpenting bagi pelaku UKM.
Selain untuk membantu perhitungan menegnai perpajakan, pembukuan juga dapat
digunakan untuk mengetahui seberapa besar pendapatan dan keuntungan yang
mereka peroleh. Selain itu dapat pula untuk mengetahui transaksi apa saja yang
dilakukan dan dapat mengalokasikan untuk apa saja penghasilan tersebut sesuai
dengan kemampuan yang telah tercatat di pembukuan.
Pada tabel 8 menunjukkan mental accounting berdasarkan pembukuan:
31
Tabel 8
Mental accounting dan Pembukuan
Mental
Accounting Total
Ya Tidak
Ya 49 10 59
Pembukuan
Tidak 1 3 4
Total 50 13 63
Sumber: Hasil olah SPSS, 2018.
Dari tabel 8 responden yang melakukan pembukuan cenderung akan
melakukan pemisahan pendapatan juga. Terdapat pula responden yang melakukan
pembukuan, tetapi tidak melakukan pemisahan penghasilan. Sedangkan
responden yang tidak melakukan pembukuan, cenderung tidak melalukan
pemisahan pada penghasilannya. Tetapi terdapat responden yang tidak melakukan
pembukuan namun memisahkan penghasilan usahanya.
Dalam membayar pajak, seluruh pelaku UKM menggunakan penghasilan
usaha dari hasil penjualan. Sebagian besar pelaku UKM (88,89%) secara langsung
menggunakan penghasilan dari hasil penjualan yang didapat untuk membayar
pajak. Akan tetapi tidak semua pelaku UKM melakukan hal tersebut. Berikut
tabel 9 menunjukkan kepentingan membayar pajak oleh pelaku UKM:
Tabel 9
Kepentingan Pembayaran Pajak Usaha Kecil dan Menengah (UKM)

Jumlah
Prosentase
Responden
A. Menggunakan uang dari mana
Penghasilan usaha (hasil penjualan) 63 100%
Uang pribadi 0 0%
B. Langsung digunakan membayar
pajak
Ya 56 88,89%
Tidak 7 11,11%
Sumber: Data primer yang diolah, 2018.
Seluruh pelaku UKM menggunakan penghasilan usaha dari hasil
penjualan untuk keperluan membayar pajak walaupun penghasilan usaha dari
hasil penjualan tidak langsung dibayarkan untuk membayarkan pajak atau mereka
sisihkan terlebih dulu. Hal ini dikarenakan pelaku UKM melakukan pembayaran

32
secara kumulatif pada periode berikutnya. Perilaku pelaku UKM sudah sesuai
dengan mental accounting dalam penggunaan penghasilan usaha.
Tabel 10
Perhitungan Pajak, Pemisahan Penghasilan Usaha, Langsung Membayar Pajak,
Alokasi Penghasilan Usaha
Alokasi
Perhitunga
n Pemisahan Penghasilan Usaha penghasilan
usaha Total
dan Pribadi
Pajak Ya Tidak
Langsung Ya 8 8
untuk
Ya membayar Tidak 1 1
pajak
Hanya Total 9 9
perkiraan
Langsung
saja
untuk Ya 1 1 2
Tida membayar Tidak 1 1 2
k pajak
Total 2 2 4
Langsung Ya 37 0 37
untuk
Ya membayar Tidak 3 4 7
pajak
Total Total 40 4 44
omset 1% Langsung Ya 4 1 5
untuk
Tida membayar
Tidak 1 2 3
k pajak
Total 5 3 8
Sumber: Hasil olah SPSS, 2018.
Dari tabel 10 pembayaran pajak yang dilakukan responden adalah dengan
melakukan pemisahan penghasilan usaha dengan uang pribadi, penghasilan usaha
tersebut langsung digunakan untuk membayar pajak. Di sisi lain, responden juga
membagi penghasilan kedalam pos-pos sesuai kebutuhan. Selanjutnya, masih ada
responden yang menggunakan estimasi atau perkiraan saja. Namun, sebagian
besar sudah melakukan pemisahan terhadap penghasilan usaha dengan uang
pribadi dan langsung menggunakan penghasilan usaha tersebut untuk kepentingan
membayar pajak dan melakukan alokasi. Dalam pembayaran pajak, responden
cenderung menggunakan pemisahan penghasilan, mengalokasikan pendapatan,
dan langsung menggunakan penghasilan usaha untuk membayar pajak. Hal

33
tersebut menunjukkan perilaku mental accounting dalam kepentingan membayar
pajak oleh responden.

PEMBAHASAN
Pemisahan keuangan atas penghasilan usaha pada pelaku UKM sebagian
besar menunjukkan adanya mental accounting, selain itu pelaku UKM dapat
mengalokasikan pendapatan tersebut ke dalam pos-pos tertentu seperti, untuk
memenuhi kebutuhan usaha, kebutuhan pribadi dan kepentingan dalam membayar
pajak. Kebutuhan usaha itu sendiri meliputi pembayaran gaji karyawan, membeli
bahan baku untuk persediaan, servis kendaraan untuk operasional usaha. Untuk
kebutuhan pribadi meliputi biaya sekolah anak, untuk kebutuhan sehari-hari,
untuk membayar arisan RT, dan kegiatan social lainnya. Pelaku UKM juga
mengalokasikan penghasilannya untuk membayar pajak.
Sebagian besar pelaku UKM sudah melakukan pemisahan penghasilan
usaha sesuai kebutuhan masing-masing dan dapat mengendalikan sesuai dengan
penggunaannya. Selain itu pelaku UKM juga mengalokasikan penghasilannya
untuk tertib administrasi. Disamping itu, masih ditemukan adanya pelaku UKM
yang belum memisahkan penghasilan usaha karena mereka mengaku bahwa lebih
mementingkan kebutuhan yang mendesak terlebih dahulu.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pelaku UKM di Kota Pati sudah
membayar pajak. Selain membayar pajak penghasilan, beberapa pelaku usaha juga
sudah membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan pajak kendaraan bermotor. Dalam perhitungan pajak, pelaku UKM
banyak yang melakukan perhitungan pembayaran pajak secara mandiri sesuai
dengan PP Nomor 46 Tahun 2013 yaitu dengan tarif sebesar 1% yang didasarkan
pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir
sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. Pengetahuan mengenai PP Nomor 46
Tahun 2013 mereka dapatkan dari berbagai sumber diantaranya dari sesama
pelaku UKM, media massa dan penyuluhan petugas kantor pajak.
Pelaku UKM membayarkan pajaknya langsung dari penghasilan usaha
mereka, karena jika mereka menunda pembayaran pajak mereka takut jika

34
uangnya digunakan untuk kebutuhan yang lain dan dapat tercampur ke kebutuhan
yang lain. Akan tetapi masih terdapat beberapa pelaku UKM yang tidak langsung
membayarkan pajaknya dengan alasan digunakan untuk keperluan yang mendesak
terlebih dahulu sehingga pajak tersebut dibayarkan pada bulan berjalan
berikutnya.

35
SIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN PENELITIAN
MENDATANG
Simpulan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa seluruh responden telah
melakukan kewajiban pembayaran pajak. Beberapa UKM melakukan perhitungan
pembayaran pajak berdasarkan perkiraan dan beberapa berdasarkan PP Nomor 46
Tahun 2013 yaitu sebesar 1% dari peredaran bruto. Meskipun tidak semua
responden tidak langsung membayar pajak, namun mereka sudah melakukan
pemisahan pengalokasian penghasilan dari usaha. Pelaku UKM sudah melakukan
pengelolaan dan pemisahan penghasilan usaha sesuai dengan pos-pos kebutuhan
mereka baik untuk kebutuhan usaha, kebutuhan pribadi dan kewajiban untuk
membayar pajak. Ini menunjukkan bahwa adanya mental accounting bagi seluruh
pelaku UKM yang menjadi responden.
Keterbatasan dan Saran
Keterbatasan penelitian ini adalah kurang melihat profil responden apakah
sudah memiliki NPWP atau belum artinya tidak dapat mengetahui secara pasti
apakah responden benar-benar membayar pajak atau tidak.
Saran penulis untuk penelitian selanjutnya adalah dengan menambahkan
pertanyaan pada kuesioner penelitian bahwa sudah memiliki NPWP atau belum,
mengkonfirmasi langsung jawaban dari responden agar lebih jelas dan memberi
sedikit pengetahuan tentang PP Nomor 46 Tahun 2013 agar pelaku UKM tidak
menghitung pajaknya dengan cara perkiraan saja.

36
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Sanusi. 2013. Metodologi Penelitian Bisnis. Cetakan Ketiga. Jakarta:


Salemba Empat.

Brodjonegoro, Bambang. 2015. Realisasi Penerimaan Pajak Per Oktober 2015.


Diakses pada 17 Juli 2017, dari :
http://www.pajak.go.id/content/article/realisasi-penerimaan-pajak-31-
oktober- 2015

Benny Santosa, 2009.http://www.ebahana.com/warta-1781-Mental-


Accounting- yangTepat.html/ download Tgl. 12 Juni 2017 Jam 09.17

Cheema, Amar dan Soman, Dilip. 2006. Malleable Mental Accounting: The
Effect of Flexibility on the Justification of Attractive Spending and
Consumption Decisions. Journal of Consumer Psychology, 16(1), 33–44

Damayanti, T. W, dan Supramono, 2011, Realitas Mental Accounting Pada


Perlakukan Pendapatan Ekstra, Jurnal Manajemen Usahawan Indonesia,
Vol. 40 No. 2 Maret-April 2011.

Diatmika, I. P. G. 2013. Penerapan akuntansi pajak atas pp no. 46 tahun 2013


Tentang PPh Atas Penghasilan Dari Usaha Wajib Pajak Yang Memiliki
Peredaran Bruto Tertentu. Jurnal Akuntansi Profesi, Vol. 3 No.2
Desember 2013

Gou, Yuntong. 2013. The Nonfungibility Of Mental Accounting: A Revision.


Social Behavior And Personality, 2013, 41(4), 625-634

Klaudia, S; D. R. Riwayanti dan Aminatunnisa. 2017. Menggali realitas


kepatuhan wajib pajak pemilik UMKM. Jurnal PETA, Vol. 2 No. 1,
Januari 2017: hal 50-64

Luhsasi, Dwi Iga. 2015. Mental Accounting: Keputusan Hutang Versus


Tabungan untuk Pendanaan Modal Kerja dan Investasi UMKM.Salatiga.
37
Marteniawati, Risvina.2012 . Mental Accounting dalam Pengelolaan Uang
Saku pada Mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana.Salatiga.

Ningrum, Leli Oktavia. 2016. Prngaruh Pemahaman dan Kesadaran Wajib


Pajak Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak UMKM Terkait
Pelaksanaan PP Nomor 46 Tahun 2013.Surabaya.

Purnomo, Budi S. 2009. Bagaimana Pelaku pasar Memilah dan Memanfaatkan


Informasi untuk Pengambilan Keputusan di Tengah Banjir Informasi.
Jurnal Ekonomi dan Bisnis Terapan Vo. 5 No. 1, Februari

Rohman, A; Zulaikha; S. N. Raharjo dan P. Harto. 2011. Kajian Terhadap


kapabilitas pembukuan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam
mendukung perilaku kepatuhan wajib pajak. Jurnal Akuntansi, Vol XV,
No. 03, September 2011: hal 327-343.

Shefrin, H. M. and Richard H. Thaler. (1981). “An Economic Theory of Self-


Control. “ Journal of Political Economy. Vol. 89 No. 2
Sugiyono. 2013, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfa Beta.

Supramono dan Damayanti, Theresia Woro. 2013. Identifikasi Fenomena


Mental Accounting: Antara Evaluasi Segregasi dan Integrasi. Jurnal Bina
Akuntansi Vol. 1 No. 1 April, Hal. 39-50

Susilo, E. J dan Betri, S. 2014. Pemahaman wajib pajak terhdap Peraturan


Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang pajak UKM (Studi Kasus Pada
Wajib Pajak Pratama Palembang Ilir Barat, hal : 1-10.

Tambunan, R. 2013. Ketentuan Terbaru Pajak Penghasilan Atas UMKM:


Sederhana Tapi Tidak Adil.

Thaler, Richard H. 1990. Anomalies Saving, Fungibility, and Mental Accounts.


Journal of Economic Perspectives Vol. 4 No. 1 Hal. 193-205

38
Wicaksono. R . 2016. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam membayar pajak
sesuai PP No.46 Tahun 2013 Pada UMKM di Kabupaten Bantul. Jurnal
Fokus Bisnis Vol. 15, No 02, bulan Desember 2016.

www.kemenkeu.go.id

akuntansiumkm.wordpress.com 18 februari 2010

39
LAMPIRAN 1

KUESIONER PENELITIAN

MENTAL ACCOUNTING DALAM PERPAJAKAN

(Studi Pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Pati)

Kepada Yth,

Bapak/Ibu

Pemilik Usaha Kecil dan Menengah

Di tempat

Saya mahasiswa dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Kristen


Satya Wacana Salatiga:

Nama : Oktaviana Anggun Permatasari

NIM : 232013077

Sedang melakukan penelitian mengenai mental accounting dalam perpajakan di


kota Pati. Bersama ini, saya memohon kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi
kuesioner yang tersedia. Informasi tersebut digunakan untuk penelitian.

Atas bantuan dan kerjasama Bapak/Ibu, Saya ucapkan terimakasih.

40
Petunjuk Cara Pengisian :

1. Isilah identitas anda pada tempat yang disediakan.


2. Jawablah pertanyan dibawah ini dengan memberikan tanda centang ()
pada alternatif jawaban yang telah disediakan!
3. Anda diperbolehkan mengisi lebih dari satu pilihan jawab.

Identitas responden

Nama Wajib Pajak :…………………………………………..(Boleh tidak diisi)

Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan

Nama usaha :…………………………….

Jenis usaha :Jasa Dagang Lain-lain:………

Aset : Rp ……………………

Omset (penghasilan) : Rp ……………………/bulan

I. Informasi perpajakan PP Nomor 46 Tahun 2013

1. Apakah Anda membayar pajak?


 Ya
 Tidak

2. Apakah Anda mengetahui aturan perpajakan bagi UKM (PP Nomor 46


Tahun 2013)?
 Ya
 Tidak
 Lain-lain:…………

3. Jika anda tahu, sejauh mana Anda mengetahui tentang artutan pajak UKM
dalam PP Nomor 46 Tahun 2013?
………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………

41
4. Darimana Anda mengetahui dan memperoleh informasi tentang peraturan
PP Nomor 46 Tahun 2013?
 Sesama pelaku UKM
 Media masa, sebutkan:……………..
 Fiskus
 Lain-lain:…………………….

5. Pajak apa yang Anda bayarkan?


 Pajak Pertambahan Nilai (PPn)
 Pajak Penghasilan (PPh)

6. Bagaimana cara perhitungan pajak yang dilakukan?


 Hanya perkiraan saja
 Menghitung total omset  membayar pajak 1% dari total omset/bulan
 Lain-lain:…………………….

7. Kapan Anda membayar pajak tersebut


 Rutin setiap bulan
 Rutin setiap tahun
 Lain-lain:…………………….

II. Manajemen Kas


1. Apakah Anda melakukan pebukuan dalam setiap transaksi?
 Ya, alasan…………………………………………...
 Tidak, alasan………………………………………..

2. Dalam melakukan pembukuan transaksi, catatan seperti apa yang anda


catat?
 Pembelian
 Penjualan
 Kas masuk

42
 Kas keluar
 Piutang
 Utang

3. Kapan Anda melakukan pembukuan transaksi?


 Setiap ada transaksi
 2 hari sekali
 Setiap minggu
 Lain-lain:……………………

4. Siapa yang melakukan pembukuan transaksi


 Diri sendiri
 Keluarga
 Lain-lain:……………………

III. Mental Accounting


1. Anda memisahkan penghasilan usaha (hasil penjualan) dengan uang
pribadi?
 Ya
 Tidak

2. Bagaimana Anda memperlakukan penghasilan usaha (hasil penjualan)?


………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………........

3. Untuk kepentingan membayar pajak, Anda menggunakan uang dari mana?


 Penghasilan usaha (hasil penjualan)
 Uang pribadi

4. Siapa yang melakukan perhitungan pembayaran pajak


 Sendiri

43
 Keluarga
 Lain-lain:……………………
5. Apakah penghasilan usaha (hasil penjualan) yang didapat saat itu
LANGSUNG digunakan untuk membayar pajak?
 Ya, alasan…………………………………………...
 Tidak, alasan………………………

6. Apakah penghasilan usaha yang di dapat, Anda alokasikan (pisah-


pisahkan) pada pos kebutuhan usaha, pos pembayaran pajak, pos biaya?
 Ya, alasan…………………………………………...
 Tidak, alasan………………………

44
45

Anda mungkin juga menyukai