Anda di halaman 1dari 3

BIOGRAFI KIRAS BANGUN

Pahlawan Nasional Asal Karo

Kiras Bangun adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang telah menggalang
kekuatan lintas agama, lintas etnis di Sumatra Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan
Belanda. Kiras Bangun adalah ulama yang lahir sekitar tahun 1852 di kampung Batu Karang,
Kabupaten Karo, Sumatra Utara. Beliau dijuluki Garamata yang bermakna Mata Merah.

Kiras Bangun alias Garamata lahir dari seorang ayah yang menguasai adat-istiadat Karo di
daerahnya Batukarang, ayahnya memiliki 3 orang istri. Kiras Bangun memiliki 5
bersaudara,1 orang perempuan dan 4 orang laki-laki. Saat masih muda, Kiras gemar sekali
berkunjung dari satu kampung ke kampung lain dalam rangkaian kunjungan kekeluargaan
untuk terwujudnya ikatan kekerabatan warga Merga Silima serta terpeliharanya norma-norma
adat budaya Karo dengan baik.

Kiras Bangun mengenyam pendidikan di Binjai, sampai menguasai bahasa Melayu serta
aksara Karo. Sejak berusia muda, Kiras Bangun dikenal sebagai Tokoh yang bijak melakukan
pembelaan, terhadap hak-hak rakyat yang ingin dirampas oleh penjajahan kolonial Belanda,
yang menjajah bangsanya. Selama hidupnya, Kiras Bangun mempunyai 4 jabatan yaitu:
Sebagai Sesepuh dan Ketua Adat Karo, Urung Lima Senina; Penghulu Lima Senina Batu
Karang; Juru damai perang antar desa; Pemimpin Urung Tanah Karo.

Awal Permusuhan Dengan Penjajah Belanda

Pada tahun 1870, Belanda telah menduduki Sumatera Timur yaitu di Langkat dan
sekitar Binjai membuka perkebunan tembakau dan karet. Belanda ingin memperluas usaha
perkebunan ke Tanah Karo dengan alasan tanah di sekitar Binjai telah habis ditanami.
Kepopuleran Kiras Bangun sendiri akhirnya diketahui oleh Belanda dari penduduk Langkat
dan lebih jelas lagi dari Nimbang Bangun yang masih ada ikatan keluarga dengannya. Untuk
itu timbul keinginan dari Belanda untuk menjalin persahabatan dengan Garamata agar
diperbolehkan masuk ke Tanah Karo guna membuka usaha perkebunan.

Persetujuan Garamata atas kedatangan Belanda akan diberi imbalan uang, pangkat dan
senjata. Untuk melancarkan niatnya ini, pihak Belanda mengutus Nimbang Bangun yang
sudah berkali-kali membujuk Kiras Bangun agar Belanda diberi ijin masuk ke Tanah Karo.
Namun keinginan Belanda untuk memasuki Tanah Karo tetap ditolak. Keputusan ini diambil
setelah dilakukan musyawarah dengan raja-raja Tokoh Karo yang lainnya.

Pada tahun 1902, akhirnya pihak Belanda berhasil memasuki Tanah Karo dengan mengirim
Guillaume bersama sejumlah serdadu Belanda sebagai pengawalnya setelah sebelumnya
mendapat izin dari salah seorang Kepala Urung lain.

Melihat hal ini, Garamata pun berulang kali memberikan peringatan pada pihak Belanda
untuk segera meninggalkan Tanah Karo tetapi Guillaume tidak mau beranjak. Situasi di
Tanah Karo sendiri sudah semakin memanas semenjak Guillaume dan sejumlah pengawalnya
bersenjata lengkap menduduki Kabanjahe. Garamata dan pengikutnya berupaya untuk
menghimpun segenap kekuatan.

Pertemuan Urung atau Rapat pimpinan merupakan satu-satunya sarana yang paling mudah
untuk menyampaikan berbagai macam situasi kepada segenap tokoh Urung/Pasukan Urung
serta melaksanakan rencana-rencana. Bekerja sama dengan beberapa Urung, Garatama
akhirnya berhasil mengusir Guillaume, setelah 3 bulan bermukim di Kabanjahe. Peristiwa
pengusiran itulah yang menjadi puncak permusuhan dengan Belanda.

Perjuangan Melawan Penjajah

Tahun 1904 Kiras Bangun dan pasukannya mengadakan perang terbuka menghadapi Belanda
di desa Lingga, Batu Karang, Negeri dan Liren, Tahun 1905 ke Aceh untuk bergabung
dengan Pejuang Aceh melakukan gerilya dan sabotase pada saat Belanda membuka jalan
Medan-Kotacane. Dalam melakukan perjuangannya, Kiras Bangun terkenal dengan sumpah
perjuangannya dengan para pasukannya yang berbunyi:
Tangar ko nakan si nipan kami enda,
Tangar ko bengkau si nipan kami enda,
Tang m kami enda,
Kami ersumpah bekas arih – arih kami ersada ngelawan Belanda
Adi ia reh ku Tanah Karo njajah kami
Ras ipelawes sienggo ringan I kabanjahe si bagi
Mara – mata Belanda.
Ndigan pagi kami engkar ibas perbelawanen kami enda
Mate kami ibunuh nakan, ibunuh bengkau, ibunuh lau
Si ni inem kami enda janah keturunen kami
La nai b4nci selamat merjak Tanah Karo enda.
Arti Sumpah Perjuangan Garamata:

Nasi yang kami makan lah lauk yang kami makanlah air yang kami minum
Kami Bersumpah atas kata sepakat Bersumpah bersatu melawan Belanda Kalau mereka
datang menjajah Tanah Karo. Diusir bersama mata mata mereka yang tinggal di Kaban
JaheKalau kami Ingkari sumpah ini Maka Matilah kami karena nasi, lauk dan air yang kami
minum Dan keturunan kami tidak akan selamat menginjak Tanah Karo.

Melalui kerja keras, Kiras Bangun berhasil menggalang kekuatan lintas agama di Sumatra
Utara dan Aceh untuk menentang penjajahan Belanda. Kerjasama yang digalang tersebut
menghasilkan pasukan yang disebut pasukan Urung yang beberapa kali terlibat pertempuran
dengan Belanda di Tanah Karo
Kiras gugur pada 22 Oktober 1942 dan jenazahnya dimakamkan di Desa Batukarang,
Kecamatan Payung. Kiras Bangun dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh
presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan November 2005 dalam kaitan peringatan
Hari Pahlawan 10 November 2005, dengan dikeluarkannya Keppres No. 82/TK/2005.

Anda mungkin juga menyukai