RSUD AROSUKA
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan gizi
kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Stunting
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak. Anak stunting juga memiliki
risiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di masa dewasanya. Bahkan, stunting
dan malnutrisi diperkirakan berkontribusi pada berkurangnya 2-3% Produk
Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya.
Prevalensi stunting selama 10 tahun terakhir menunjukkan tidak adanya
perubahan yang signifikan dan ini menunjukkan bahwa masalah stunting perlu
ditangani segera. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan
30,8% atau sekitar 7 juta balita menderita stunting. Masalah gizi lain terkait dengan
stunting yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat adalah anemia pada
ibu hamil (48,9%), Berat Bayi Lahir Rendah atau BBLR (6,2%), balita kurus atau
wasting (10,2%) dan anemia pada balita.
Penurunan stunting memerlukan intervensi yang terpadu, mencakup intervensi
gizi spesifik dan gizi sensitif. Sejalan dengan inisiatif Percepatan Penurunan
Stunting, pemerintah meluncurkan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi
(Gernas PPG) yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 42 tahun 2013
tentang Gernas PPG dalam kerangka 1.000 HPK. Selain itu, indikator dan target
penurunan stunting telah dimasukkan sebagai sasaran pembangunan nasional dan
tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019 dan Rencana Aksi Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 2017-
2019.
Permasalahan gizi kurang pada balita selama tahun 1994-2004 tidak banyak
mengalami perubahan, bahkan masalah gizi di Indonesia semakin kompleks dengan
meningkatnya masalah kegemukan pada anak-anak selain permasalahan gizi yang
sudah ada seperti BBLR, anak balita pendek, gizi kurang, anemia dan GAKY7 . Hasil
Riskesdas 2010 menunjukkan besaran masalah gizi kurang adalah 17,9%, kategori
pendek 35,6%Q, dan kurus 13,3%.8 Angka ini terdistribusi secara tidak merata di
seluruh wilayah Indonesia. Bila dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007,
menunjukkan adanya sedikit penurunan prevalensi gizi kurang pada balita yaitu
sebesar 0,5% (dari 18,4%) selama kurun waktu tiga tahun9 . Meskipun menurun,
tetapi prevalensi tersebut masih di atas target Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional tahun 2010-2014, yaitu 15% dan Millenium Development Goals
pada 2015, yaitu 15,5%.
Untuk mendukung terintegrasinya pelaksanaan intervensi penurunan stunting
dan wasting di kabupaten/kota, maka buku pedoman ini disusun sebagai panduan
bagi kabupaten/kota dalam melaksanakan 8 aksi integrasi yang akan memperkuat
efektivitas intervensi penurunan stunting mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi. Selain itu, buku panduan ini dapat digunakan oleh
provinsi dalam mengawal dan membina kabupaten/kota untuk melaksanakan
intervensi penurunan stunting terintegrasi.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
masukan sehingga pedoman pelaksanaan intervensi penurunan stunting
terintegrasi ini dapat diterbitkan. Selanjutnya, pedoman ini akan dimutakhirkan
secara periodik berdasarkan pembelajaran dari penerapannya.
Arosuka, 2023
Wassalamualaikum
TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 09
1.1. Latar Belakang 09
1.2. Tujuan 09
1.3. Permasalahan 09
1.4. Sasaran
BAB II PEMBAHASAN
10
BAB III PENUTUP
19
V
DAFTAR ISTILAH
VI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat kekurangan
gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) 1. Kondisi gagal
tumbuh pada anak balita disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu
lama serta terjadinya infeksi berulang, dan kedua faktor penyebab ini dipengaruhi
oleh pola asuh yang tidak memadai terutama dalam 1.000 HPK2. Anak tergolong
stunting apabila panjang atau tinggi badan menurut umurnya lebih rendah dari
standar nasional yang berlaku. Standar dimaksud terdapat pada buku Kesehatan
Ibu dan Anak (KIA) dan beberapa dokumen lainnya.
Penurunan stunting penting dilakukan sedini mungkin untuk menghindari
dampak jangka panjang yang merugikan seperti terhambatnya tumbuh kembang
anak. Stunting mempengaruhi perkembangan otak sehingga tingkat kecerdasan
anak tidak maksimal. Hal ini berisiko menurunkan produktivitas pada saat
dewasa. Stunting juga menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit. Anak
stunting berisiko lebih tinggi menderita penyakit kronis di masa dewasanya.
Bahkan, stunting dan berbagai bentuk masalah gizi diperkirakan berkontribusi
pada hilangnya 2-3% Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya3. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan pada 2018 menemukan 30,8%
mengalami stunting. Walaupun prevalensi stunting menurun dari angka 37,2%
pada tahun 2013, namun angka stunting tetap tinggi dan masih ada 2 (dua)
provinsi dengan prevalensi di atas 40%. Mengacu pada “The Conceptual Framework
of the Determinants of Child Undernutrition” 4, “The Underlying Drivers of Malnutrition”
5
, dan “Faktor Penyebab Masalah Gizi Konteks Indonesia” 6 penyebab langsung
masalah gizi pada anak termasuk stunting adalah rendahnya asupan gizi dan
status kesehatan. Penurunan stunting menitikberatkan pada penanganan
penyebab masalah gizi, yaitu faktor yang berhubungan dengan ketahanan pangan
khususnya akses terhadap pangan bergizi (makanan), lingkungan sosial yang
terkait dengan praktik pemberian makanan bayi dan anak (pengasuhan), akses
terhadap pelayanan kesehatan untuk pencegahan dan pengobatan (kesehatan),
serta kesehatan lingkungan yang meliputi tersedianya sarana air bersih dan
sanitasi (lingkungan). Keempat faktor tersebut mempengaruhi asupan gizi dan
status kesehatan ibu dan anak. Intervensi terhadap keempat faktor tersebut
diharapkan dapat mencegah masalah gizi, baik kekurangan maupun kelebihan
gizi (Gambar 1.2.).
Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan
faktor keturunan. Penelitian Dubois, et.al pada tahun 2012 menunjukkan bahwa
faktor keturunan hanya sedikit (4-7% pada wanita) mempengaruhi tinggi badan
seseorang saat lahir. Sebaliknya, pengaruh faktor lingkungan pada saat lahir
ternyata sangat besar (74-87% pada wanita). Hal ini membuktikan bahwa kondisi
lingkungan yang mendukung dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan
anak.
01
1.2 Permasalahan
1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Membuat pedoman pencegahan, deteksi dini, dan tata laksana segera stunting.
2. Tujuan Khusus
1.4 Sasaran
A. Definisi Stunting
Malnutrisi adalah kondisi yang dapat berupa defisiensi, kelebihan
dan/atau ketidakseimbangan asupan energi dan zat gizi, yaitu:
1. Kekurangan gizi (undernutrition), meliputi gizi kurang (berat badan rendah
menurut panjang/tinggi badan), stunting (tinggi/panjang badan rendah
menurut usia dan jenis kelamin), dan berat badan kurang/underweight (berat
badan rendah menurut usia dan jenis kelamin).
2. Malnutrisi terkait zat gizi mikro mencakup kekurangan atau kelebihan zat gizi
mikro yang penting (vitamin dan mineral).
3. Gizi lebih dan obesitas yang dapat berisiko menjadi penyakit tidak menular di
kemudian hari seperti penyakit jantung, stroke, diabetes dan kanker.
Stunting merupakan perawakan pendek atau sangat pendek berdasarkan
panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari -2 Standar Deviasi (SD)
pada kurva pertumbuhan WHO, disebabkan kekurangan gizi kronik yang
berhubungan dengan status sosioekonomi rendah, asupan nutrisi dan
kesehatan ibu yang buruk, riwayat sakit berulang dan praktik pemberian makan
pada bayi dan anak yang tidak tepat. Stunting menyebabkan hambatan dalam
mencapai potensi fisik dan kognitif anak. Kurva pertumbuhan yang digunakan
untuk diagnosis stunting adalah kurva WHO child growth standard tahun 2006
yang merupakan baku emas pertumbuhan optimal seorang anak.
B. Epidemiologi Stunting
World Health Organization (WHO) memperkirakan 22,2% atau 149,2 juta
anak di bawah 5 tahun menderita stunting pada tahun 2020. Wilayah Asia
memiliki angka stunting tertinggi yaitu sebanyak 79 juta anak (52,9%), terutama
di Asia Tenggara (54,3 juta anak), diikuti oleh Afrika 61,4 juta anak (41,1%) dan
Amerika Latin 5,8 juta anak (3,8%).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan
prevalensi baduta dan balita dengan status pendek dan sangat pendek di
Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2018. Studi Status Gizi Indonesia
(SSGI) 2021 di 34 provinsi menunjukkan angka stunting jdih.kemkes.go.id - 14 -
nasional juga menurun dibandingkan tahun 2019. Sampel diambil dari survei
yang menyasar rumah tangga yang memiliki anak balita, namun metode
pengukuran Berat Badan (BB) dan Tinggi Badan (TB) pada anak tidak
dijelaskan.
C. Intervensi Penurunan Stunting dan wasting Terintegrasi
Upaya penurunan stunting dan wasting dilakukan melalui dua intervensi,
yaitu intervensi gizi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung dan
intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung. Selain
mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung, diperlukan prasyarat
pendukung yang mencakup komitmen politik dan kebijakan untuk pelaksanaan,
keterlibatan pemerintah dan lintas sektor, serta kapasitas untuk melaksanakan.
Penurunan stunting memerlukan pendekatan yang menyeluruh, yang harus dimulai
dari pemenuhan prasyarat pendukung. Kerangka konseptual Intervensi
penurunan stunting dan wasting terintegrasi.
05
Kerangka konseptual intervensi penurunan stunting terintegrasi di atas
merupakan panduan bagi pemerintah kabupaten/kota dalam menurunkan
kejadian stunting dan wasting. Pemerintah kabupaten/kota diberikan
kesempatan untuk berinovasi untuk menambahkan kegiatan intervensi efektif
lainnya berdasarkan pengalaman dan praktik baik yang telah dilaksanakan di
masing-masing kabupaten/kota dengan fokus pada penurunan stunting. Target
indikator utama dalam intervensi penurunan stunting terintegrasi adalah:
1) Prevalensi stunting pada anak baduta dan balita
2) Persentase bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
3) Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita
4) Prevalensi wasting (kurus) anak balita
5) Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif
6) Prevalensi anemia pada ibu hamil dan remaja putri
7) Prevalensi kecacingan pada anak balita
8) Prevalensi diare pada anak baduta dan balita
06
Intervensi Gizi Spesifik Percepatan Penurunan Stunting dan wasting
Intervensi gizi sensitif mencakup: (a) Peningkatan penyediaan air bersih dan sarana
sanitasi; (b) Peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan; (c)
Peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak; (c); serta
(d) Peningkatan akses pangan bergizi. Intervensi gizi sensitif umumnya dilaksanakan di
luar Kementerian Kesehatan. Sasaran intervensi gizi sensitif adalah keluarga dan
masyarakat dan dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan sebagaimana
tercantum di dalam Tabel 1-2. Program/kegiatan intervensi di dalam tabel tersebut
dapat ditambah dan disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.
05
Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Penurunan Stunting dan wasting
Peningkatan
penyediaan air
minum dan sanitasi
Peningkatan akses
dan kualitas
pelayanan gizi dan
kesehatan
Peningkatan
kesadaran,
komitmen, dan
praktik pengasuhan
dan gizi ibu dan
anak
Peningkatan
akses pangan
bergizi
06
anak dan pengendalian penyakit dengan pendekatan berbagai program dan kegiatan
yang dilakukan lintas sektor. Implementasi perbaikan gizi juga dituangkan ke dalam
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2015-2019.
Penyusunan dan implementasi rencana aksi pangan dan gizi dalam bentuk Rencana
Aksi Pangan dan Gizi Daerah (RAD-PG) sedang berlangsung di provinsi dan
kabupaten/kota. Sebagai panduan dalam mengintegrasikan pembangunan pangan dan gizi,
pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2017 tentang Kebijakan
Strategis Pangan dan Gizi yang selanjutnya diikuti penetapan Peraturan Menteri
PPN/Kepala Bappenas Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Rencana Aksi Nasional
Pangan dan Gizi yang menetapkan RAN-PG, Pedoman Penyusunan RAD-PG, dan Pedoman
Pemantauan dan Evaluasi RAN/RAD-PG.
Selain itu, pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2017
tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Upaya
percepatan perbaikan gizi merupakan bagian dari TPB tujuan dua yaitu mengakhiri
kelaparan, memcapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik dan
mendukung pertanian berkelanjutan. Stunting telah ditetapkan sebagai prioritas
nasional dalam dokumen perencanaan dan TPB. Adapun strategi percepatan
perbaikan gizi dalam dokumen perencanaan RPJMN 2015-2019 adalah sebagai
berikut:
05
E.Analisis Situasi Program Penurunan Stunting
a. Definisi
Analisis situasi program penurunan stunting dan wasting adalah proses untuk
mengidentifikasi sebaran prevalensi stunting dan wasting dalam wilayah
kabupaten/kota, situasi ketersediaan program, dan praktik manajemen layanan
saat ini, untuk memahami permasalahan rendahnya integrasi intervensi gizi
prioritas pada sasaran prioritas (Rumah Tangga 1.000 HPK). Proses ini sebagai
dasar perumusan rekomendasi kegiatan yang harus dilakukan untuk
meningkatkan integrasi intervensi gizi prioritas bagi rumah tangga 1.000 HPK.
b. Tujuan
Analisis situasi dimaksudkan untuk membantu kabupaten/kota dalam
menentukan program/kegiatan yang diprioritaskan alokasinya dan menentukan
upaya perbaikan manajemen layanan untuk meningkatkan akses rumah tangga
1.000 HPK secara simultan terhadap intervensi gizi prioritas, baik berupa intervensi gizi
spesifik maupun intervensi gizi sensitif.
Tujuan analisis situasi ini adalah untuk memberikan informasi bagi keputusan strategis
kabupaten/kota dalam hal:
1. Memprioritaskan alokasi sumber daya yang dikelola kabupaten/kota
bagi peningkatan cakupan layanan pada intervensi gizi prioritas,
2. Memprioritaskan upaya perbaikan manajemen layanan bagi peningkatan
akses rumah tangga 1.000 HPK secara simultan terhadap intervensi gizi
prioritas,
3. Meningkatkan efektivitas sistem manajemen data untuk menunjang
keputusan alokasi program dan lokasi fokus, dan
4. Menentukan kegiatan yang diperlukan dalam memberdayakan
kecamatan dan desa untuk meningkatkan integrasi layanan di
tingkat desa
c.Output
Output analisis situasi ini meliputi:
1. Rekomendasi kebutuhan program/kegiatan yang akan
direkomendasikan perbaikan alokasinya, baik melalui realokasi ataupun
penambahan alokasi program,
2. Rekomendasi tindakan perbaikan penyampaian layanan yang perlu
diprioritaskan untuk memastikan rumah tangga 1.000 HPK mengakses
layanan, dan
3. Rekomendasi kebutuhan kegiatan untuk penguatan koordinasi, baik
koordinasi antar OPD dalam hal sinkronisasi program/kegiatan maupun
koordinasi antara kabupaten/kota dan desa dengan dukungan oleh
Kecamatan.
06
F.Penyusunan Rencana Kegiatan
a. Definisi
Penyusunan rencana kegiatan didefinisikan sebagai rencana tindak lanjut
kabupaten/kota dalam merealisasikan rekomendasi hasil analisis situasi. Rencana ini
berisikan program dan kegiatan OPD untuk meningkatkan cakupan layanan
intervensi dan kegiatan untuk meningkatkan integrasi intervensi oleh
kabupaten/kota dan desa pada tahun berjalan dan/atau satu tahun mendatang.
Pemerintah kabupaten/kota selanjutnya mengintegrasikan Rencana Kegiatan ke
dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan Rencana Kerja OPD.
b. Tujuan
Penyusunan Rencana Kegiatan bertujuan untuk:
1. Menindaklanjuti rekomendasi yang dihasilkan analisis situasi ke dalam:
a) program dan kegiatan OPD untuk meningkatkan cakupan intervensi,
b) kegiatan OPD untuk meningkatkan integrasi intervensi gizi pada rumah
tangga 1.000 HPK. Kegiatan dapat berupa kegiatan yang memerlukan
anggaran atau tidak memerlukan anggaran yang akan dilaksanakan pada
tahun berjalan dan/satu tahun mendatang.
2. Memberikan acuan bagi kabupaten/kota untuk pengintegrasian ke dalam
dokumen perencanaan dan penganggaran kabupaten/kota dan OPD (khususnya
RKPD dan Rencana Kerja OPD).
c.Output
Output penyusunan Rencana Kegiatan ini adalah rencana program/kegiatan untuk
peningkatan cakupan dan integrasi intervensi gizi pada tahun berjalan dan/atau
satu tahun mendatang.
a. Rembuk Stunting
a. Definisi
Rembuk stunting merupakan suatu langkah penting yang harus dilakukan
pemerintah kabupaten/kota untuk memastikan terjadinya integrasi pelaksanaan
intervensi penurunan stunting dan wasting secara bersama-sama antara OPD
penanggung jawab layanan dengan sektor/lembaga non-pemerintah dan
masyarakat.
Pemerintah kabupaten/kota secara bersama-sama akan melakukan konfirmasi,
sinkronisasi, dan sinergi hasil analisis situasi dan rancangan rencana kegiatan
dari OPD penanggung jawab layanan di kabupaten/kota dengan hasil
perencanaan partisipatif masyarakat yang dilaksanakan melalui Musrenbang
kecamatan dan desa dalam upaya penurunan stunting dan wasting di lokasi
fokus.
Isu utama dalam kegiatan rembuk stunting adalah:
1. Program/kegiatan penurunan stunting yang akan dilakukan pada tahun
berjalan, dan
2. Komitmen Pemerintah Daerah dan OPD terkait untuk program/kegiatan
penurunan stunting dan wasting yang akan dimuat dalam RKPD/Renja
tahun berikutnya.
b.Tujuan
Rembuk stunting dan wasting bertujuan untuk:
1. Menyampaikan hasil analisis situasi dan rancangan rencana kegiatan
05
intervensi penurunan stunting kabupaten/kota terintegrasi.
2.Mendeklarasikan komitmen pemerintah daerah dan menyepakati rencana
kegiatan intervensi penurunan stunting dan wasting terintegrasi.
3. Membangun komitmen publik dalam kegiatan penurunan stunting dan wasting
secara terintegrasi di kabupaten/kota.
a. Definisi
Kader Pembangunan Manusia (KPM) adalah kader yang berfungsi untuk
membantu desa dalam memfasilitasi pelaksanaan integrasi intervensi
penurunan stunting dan wasting di tingkat desa. Kader tersebut berasal dari
masyarakat sendiri seperti kader Posyandu, guru PAUD, dan kader lainnya
yang terdapat di desa.
b. Tujuan
Dukungan pemerintah kabupaten/kota dalam hal ini BPMD atau OPD yang
bertanggung jawab terhadap urusan pemberdayaan masyarakat dan desa
sangat penting untuk memastikan mobilisasi kader pembangunan manusia
(untuk selanjutnya disebut dengan kader) di seluruh desa berjalan dengan
baik dan kinerja kader dapat optimal sesuai dengan tugas dan perannya.
06
Sistem manajamen data adalah bagian dari manajemen sumber daya informasi
yang mencakup semua kegiatan mulai dari identifikasi kebutuhan data,
pengumpulan data hingga pemanfaatan data, untuk memastikan adanya
informasi yang akurat dan mutakhir. Kegiatan-kegiatan dalam sistem
manajemen data akan bersinggungan dengan aspek kebijakan, akan
menggunakan dan mendukung mekanisme yang berjalan di kabupaten/kota,
serta tidak terlepas dari dukungan teknologi informasi dalam pengumpulan dan
pengelolaan data.
b. Tujuan
Sistem manajemen data secara umum bertujuan untuk membantu
menyediakan dan mempermudah akses data untuk pengelolaan program
penurunan stunting dan wasting terintegrasi. Secara khusus, sistem
manajemen data ini harus dapat memastikan terpenuhinya kebutuhan data
pada Aksi Integrasi lainnya, yaitu: Aksi #1 (Analisis Situasi), Aksi #2
(Penyusunan Rencana Kegiatan), dan Aksi #8 (Reviu Kinerja).
05
J.Reviu Kinerja Tahunan
a. Definisi
Reviu Kinerja Tahunan adalah reviu yang dilakukan oleh pemerintah
kabupaten/kota terhadap kinerja pelaksanaan program dan kegiatan terkait
penurunan stunting dan wasting selama satu tahun terakhir.
Reviu dilakukan dengan:
1. Membandingkan antara rencana dan realisasi capaian output (target kinerja),
capaian outcome, penyerapan anggaran, dan kerangka waktu penyelesaian,
2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat pencapaian target kinerja output
dan outcome, dan
3. Merumuskan tindak lanjut perbaikan agar target kinerja dapat dicapai pada tahun
berikutnya.
b. Tujuan
Tujuan reviu kinerja tahunan adalah:
1. Mendapat informasi tentang capaian kinerja program dan kegiatan terkait
penurunan stunting dan wasting.
2. Mendapat informasi tentang kemajuan pelaksanaan Rencana Kegiatan
penurunan stunting yang telah disepakati pada Rembuk stunting dan
wasting, dan
3. Mengidentifikasi pembelajaran dan merumuskan masukan perbaikan
sebagai umpan balik untuk perencanaan dan penganggaran
program/kegiatan prioritas, penetapan lokasi fokus, serta desain dan
upaya perbaikan penyampaian layanan pada tahun berikutnya.
c.Output
Output dari kegiatan ini adalah dokumen yang berisikan informasi mengenai:
1. Kinerja program/kegiatan terkait penurunan stuntin dalam hal realisasi output
(target kinerja cakupan intervensi gizi spesifik dan sensitif),
2. Realisasi rencana kegiatan penurunan stunting dan wasting,
3. Realisasi anggaran program/kegiatan penurunan stunting dan wasting,
4. Faktor-faktor penghambat pencapaian kinerja dan identifikasi alternatif solusi,
5. Perkembangan capaian outcome (prevalensi stunting), dan
6. Rekomendasi perbaikan.
Adapun cakupan reviu kinerja tahunan meliputi:
1. Pelaksanaan 8 (delapan) Aksi Integrasi kabupaten/kota
2. Realisasi rencana kegiatan penurunan stunting dan wasting tahunan daerah.
3. Pelaksanaan anggaran program dan kegiatan intervensi stunting dan wasting.
06
RANGKUMAN PERINGKAT BUKTI DAN DERAJAT REKOMENDASI
05
pemeriksaan lanjutan dan intervensi multidisiplin termasuk program rehabilitasi
medis.
P. Alergi susu sapi, bayi lahir Kecil Masa Kehamilan (KMK), penyakit jantung
bawaan, dan kelainan metabolisme bawaan termasuk kondisi-kondisi yang
terbukti berisiko mengalami stunting.
Q. Efek jangka panjang stunting meliputi penurunan kemampuan kognitif dan
kapasitas kerja serta peningkatan risiko terjadinya penyakit degeneratif.
R. Pada semua anak pendek perlu dilakukan evaluasi: Langkah pertama:
membedakan antara pendek yang merupakan varian normal dengan kondisi
patologis. Perawakan pendek patologis dikategorikan menjadi proporsional dan
disproporsional. Langkah kedua adalah menentukan stunting atau bukan melalui
penilaian laju pertumbuhan (weight dan length increment < persentil 5) dan
menghitung potensi tinggi genetik (PTG).
S. Pemeriksaan penunjang dilakukan berdasarkan indikasi medis yang
ditemukan, sedangkan pemeriksaan usia tulang (bone age) dilakukan pada anak
usia dua tahun ke atas.
T. Mengingat tingginya prevalensi TBC pada anak stunting, maka perlu dilakukan
skrining TBC pada semua anak stunting. Pemeriksaan lanjutan untuk
menentukan ada tidaknya TBC dilakukan pada anak stunting yang terindikasi.
U. Tatalaksana PKMK berupa Human Milk Fortifier dan susu formula prematur
diindikasikan pada BBLSR (berat lahir
06
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Stunting merupakan suatu kondisi pada anak yang ditandai panjang atau
tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin kurang dari -2 SD berdasarkan
kurva pertumbuhan World Health Organization (WHO), disebabkan kekurangan
gizi kronis yang berhubungan dengan kondisi sosioekonomi rendah, asupan
nutrisi dan kesehatan ibu yang buruk, riwayat sakit berulang, dan/atau praktik
pemberian makan pada bayi dan anak yang tidak tepat. Prevalensi stunting di
Indonesia menunjukkan tren menurun, namun masih tergolong tinggi karena
lebih dari 20%. Stunting menyebabkan perubahan patologis ditandai gangguan
pertumbuhan linier yang dapat menimbulkan dampak jangka pendek dan jangka
panjang yang menetap. Dampak jangka pendek antara lain meningkatnya
morbiditas dan mortalitas, serta risiko menderita penyakit-penyakit infeksi.
Sedangkan jangka panjang dapat menurunkan kemampuan kognitif, rendahnya
Intelligence Quotion (IQ) dan kapasitas fisik. Hal-hal tersebut akan memengaruhi
indeks sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Diagnosis stunting
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan antropometri
dan penunjang. Pencegahan dan tata laksana bersifat berjenjang dimulai dari
deteksi oleh kader di posyandu lalu dirujuk ke dokter di Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) untuk diagnosis, pemberian konseling dan edukasi. Bayi
dan balita stunting kemudian dirujuk ke dokter spesialis anak di Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) untuk mengidentifikasi faktor-
faktor medis atau red flags penyebab stunting. Tata laksana stunting meliputi
tata laksana medis sesuai kondisi yang mendasari, tata laksana nutrisi, non-
nutrisi, perbaikan kualitas tidur dan aktivitas fisik. Tata laksana nutrisi diberikan
menurut langkah-langkah asuhan nutrisi pediatrik dengan memberikan
komposisi makanan yang seimbang, mengutamakan protein hewani dengan PER
10-15% dan pemberian Pangan untuk Keperluan Medis Khusus (PKMK) atas
indikasi. Tata laksana non-nutrisi berupa pemberian imunisasi, stimulasi
perkembangan dan hormon pertumbuhan jika terindikasi. jdih.kemkes.go.id - 52
- Evaluasi dan pemantauan dilakukan setiap dua minggu meliputi akseptabilitas,
toleransi dan efektifitas terapi. Jika tidak didapatkan perbaikan setelah dilakukan
terapi nutrisi dan pengobatan kondisi yang mendasari, anak harus dirujuk ke
konsultan nutrisi dan penyakit metabolik. Anak dapat dirujuk balik ke FKTP jika
PB/U atau TB/U ≥ -2 SD menurut umur dan jenis kelamin.
05
Untuk mendukung terintegrasinya pelaksanaan intervensi penurunan
stunting dan wasting di kabupaten/kota, maka buku pedoman ini disusun
sebagai panduan bagi kabupaten/kota dalam melaksanakan 8 aksi integrasi
yang akan memperkuat efektivitas intervensi penurunan stunting mulai dari
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Selain itu, buku
panduan ini dapat digunakan oleh provinsi dalam mengawal dan membina
kabupaten/kota untuk melaksanakan intervensi penurunan stunting
terintegrasi.
DIREKTUR,
06