Anda di halaman 1dari 112

LAPORAN PPG JORONG BATU HAMPA KECAMATAN KOTO XI

TARUSAN, PESISIR SELATAN TAHUN 2021

Disusun Oleh Kel. 3 :

Adelia pradipta 182210697

Beautifa syaftia 182210708

Dwi auliani darma putri 182210700

Michellia honesty 182210712

DOSEN PEMBIMBING :

EDMON, SKM, M.Kes

ANDRAFIKAR, SKM, M.Kes

RINA HASNIYATI, SKM, M.Kes

Ir. ZULFERI, M.Pd

NOVELASARI, SKM, M.Kes

MARNI HANDAYANI, S.SiT, M.Kes

DR. GUSNEDI, S. TP, MPH

DR. HERMITA BUS UMAR, SKM, M.KM

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI PADANG

TAHUN AJARAN 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah kami ucapkan atas kehadiran Tuhan Yang Maha
Esa,karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga
kami dapat menyelesaikan laporan PPG ini dengan tepat waktu.

Terimakasih juga kami ucapkan pada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga laporan PPG ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga proposal PPG ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca.Namun terlepas dari itu,kami memahami bahwa laporan PPG ini masih jauh dari
kata sempurna,sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptantanya laporan PPG selanjutnya yang lebih baik lagi.

Padang, 15 April 2021

Kelompok 3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Pembangunan kesehatan diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,


dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
setinggi-tingginya.Dukungan data dan informasi kesehatan yang akurat, tepat, dan cepat
dalam pengelolaan pembangunan kesehatan menjadi penting.
Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat adalah meningkatkan
kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan yang optimal, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang
ditandai oleh meningkatnya derajat kesehatan masyarakat pada setiap tahunnya.
Pembangunan kesehatan merupakan integrasi dari pembangunan nasional.
Pembangunan kesehatan sangat kompleks karena kesehatan terkait dan menyentuh segala
aspek kehidupan manusia seperti demografi, social ekonomi, pendidikan serta perkembangan
fisik dan biologi.
Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh banyak
faktor, sehingga penanggulangannya tidak cukup dengan pendekatan medis maupun
pelayanan kesehatan saja (Supariasa dkk, 2012).
Salah satu indikator kesehatan yang dinilai keberhasilannya dalam Millenuim
Development Goals (MDGs) adalah status gizi (SDKI, 2012). Status gizi adalah ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam
bentuk variabel tertentu (Supariasa, dkk, 2012).
Status gizi berat-kurang merupakan gabungan gizi buruk dan kurang (underweight)
pada balita, membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan fisik maupun mental, yang
selanjutnya akan menghambat prestasi belajar (Rahim, 2014). Status gizi pendek merupakan
gabungan dari pendek dan sangat pendek (stunting) sangat berhubungan dengan prestasi
pendidikan yang buruk, lamanya waktu pendidikan dan pendapatan yang rendah sebagai
orang dewasa. Status gizi kurus merupakan gabungan dari kurus dan sangat kurus (wasting)
merupakan salah satu masalah kesehatan yang memerlukan penanganan serius. Dampak
wasting pada balita dapat menurunkan kecerdasan, produktifitas dan kreatifitas yang sangat
berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia.
Menurut Depkes RI status gizi adalah tingkat keadaan gizi seseorang yang dinyatakan
menurut jenis dan beratnya keadaan gizi ; contohnya gizi lebih, gizi baik, gizi kurang, dan
gizi buruk. Sedangkan menurut Jellife dan Beck status gizi adalah keadaan yang seimbang
antara kebutuhan zat gizi dan konsumsi makanan. Menurut Waspadji yang dikatakan status
gizi optimal adalah adanya keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi.
Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian pada bayi dan
anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat (zat tenaga) dan protein (zat
pembangun) akan mengakibatkan anak menderita kekurangan gizi yang disebut Kurang
Energi dan Protein (KEP) tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka akan
berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya perkembangan mental dan terganggunya
sistem pertahanan tubuh, sehingga dapat menjadikan penderita KEP tingkat berat dan sangat
mudah terserang penyakit infeksi.
Anak usia dibawah lima tahun (balita) merupakan golongan yang rentan terhadap
masalah gizi dan kesehatan, seperti masalah kurang energi dan protein (KEP), sehingga masa
balita merupakan masa kehidupan yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian yang
serius (Anggraeini & Aviarini, 2010). Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur, berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB).Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam
bentuk tiga indeks antropometri konvensional, yaitu BB/U, TB/U dan BB/TB (Kemenkes,
2013).
Kombinasi dari parameter disebut indeks antropometri. Indeks antropometri tersebut
mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Indikator status gizi berdasarkan
indeks BB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena
berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan. Indikator status gizi
berdasarkan indeks TB/U memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai
akibat dari keadaan yang berlangsung lama. Indikator status gizi berdasarkan indeks BB/TB
memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai akibat dari peristiwa yang
terjadi dalam waktu yang singkat. Untuk menilai status gizi anak balita, maka angka berat
badan dan tinggi badan setiap anak balita dikonversikan ke dalam nilai standar (z-score)
menggunakan baku antropometri anak balita WHO 2005 (Kemenkes, 2013).

Tingkat konsumsi merupakan faktor langsung yang mempengaruhi status gizi balita.
Defisiensi gizi secara progresif menyebabkan kerusakan mukosa, menurunnya resisten
terhadap kolonisasi dan invasi kuman patogen. Menurunnya imunitas dan kerusakan mukosa
memegang peranan utama dalam mekanisme pertahanan tubuh, sehingga pada akhirnya akan
mempengaruhi insiden penyakit. Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi
zat gizi yang terdapat pada makanan sehari-hari. Status gizi atau tingkat konsumsi pangan
merupakan bagian terpenting dari status kesehatan seseorang. Tidak hanya status gizi yang
mempengaruhi kesehatan seseorang, tetapi status kesehatan juga mempengaruhi status gizi.
Maka, tingkat konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status gizi balita. Pola
pemberian makan pada anak yang berhubungan dengan status gizi. Oleh karena itu dapat
mempengaruhi tingkat konsumsi energi dan protein pada balita, sehingga berimplikasi pada
status gizi underweight pada balita jika tingkat konsumsinya kurang (Rahim, 2014).

Upaya peningkatan status gizi masyarakat termasuk penurunan prevalensi balita


pendek menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional yang tercantum di dalam sasaran
pokok Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2015 –2019. Target penurunan
prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek) pada anak baduta (dibawah 2 tahun) adalah
menjadi 28% (Bappenas, 2014).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang
Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan sangat pendek
adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan
severely stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita
sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya
berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan
Panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHO
MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD
dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD (Kemenkes, 2016).
Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari
kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita
selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan,
namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi
kesehatan.
Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia, yang
tidak hanya terjadi di Negara berkembang tetapi juga di Negara maju. Penderita anemia
diperkirakan dua miliar, dengan prevalensi terbanyak di wilayah Asia dan Afrika.
Bahkan WHO menyebutkan bahwa anemia merupakan 10 masalah kesehatan
terbesar di abad modern ini. Kelompok yang berisiko tinggi menderita adalah wanita
usia subur, ibu hamil, anak usia sekolah dan remaja. Meskipun demikian kelompok
pria juga tidak terlepas dari kejadian anemia. Anemia merupakan masalah gizi yang
paling utama di Indonesia. ( Dodik Briawan, 2012)
Anemia selama kehamilan dapat berakibat fatal, memiliki efek negatif pada kapasitas
kerja, motorik dan perkembangan mental pada bayi, anakanak, dan remaja. Pada ibu hamil,
anemia dapat menyebabkan berat lahir rendah, kelahiran prematur, keguguran, partus lama,
atonia uteri dan menyebabkan perdarahan serta syok (Rai, dkk, 2016).
Anemia pada remaja putri merupakan masalah gizi yang diperhatikan oleh tenaga
kesehatan. Pola makan, tingkah laku aktifitas fisik dan pembatasan jenis makanan
dengan cara berdiet dilakukan oleh para remaja putri dan tekanan sosial juga
mempengaruhi agar mereka tampak menarik. (Merryana Adriani, 2012)
Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan
yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi
badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari
WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor
seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya
asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan
dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.

Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization


(WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional
Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di
Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi
Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir,
pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi
kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016
yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.

Berdasarkan data laporan e-PPBGM terakhir bulan September tahun 2020 didapatkan
bahwa tiga daerah lokus stunting yaitu Kabupaten Pesisir Selatan 33,3% , Kabupaten
Pasaman Barat 27,6% dan Kabupaten Sinjunjung 25,2%, maka didapatkan data yang tertinggi
adalah Kabupaten esisir Selatan dengan presentase 33,3%. Sedangkan, berdasarkan data
Riskesdas 2018 bahwa presentase stunting di Kabupaten Pesisir Selatan 26,54%. Kemudian,
berdasarkan data penimbangan massal presentase dari Kabupaten Pesisir Selatan 15,2%.
Kesimpulannya bahwa daerah lukos stunting yang diambil adalah Kab. Pesisir Selatan.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa prevalensi stunting di Kabupaten
Pesisir Selatan merupakan salah satu daerah tertinggi yang mengalami kejadian stunting.
Maka dari itu peneliti tertarik untuk mengetahui “Faktor-Faktor Yang Berhubungan
Dengan Kejadian Stunting di Kabupten Pesisir Selatan Tahun 2021”

B. Rumusan masalah
Apa saja faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting di Kabupaten
Pesisir Selatan pada tahun 2021?

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting di
Kabupaten Pesisir Selatan pada tahun 2021
2. Tujuan khusus
1. Diketahuinya distribusi frekuensi status gizi pada balita (0-59 bulan), remaja,
ibu hamil di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
2. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan balita (0-59 bulan),di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
3. Diketahuinya distribusi frekuensi penyakit infeksi balita (0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
4. Diketahuinya distribusi frekuensi pola asuh balita (0-59 bulan) di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
5. Diketahuinya distribusi frekuensi pola konsumsi balita (0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
6. Diketahuinya distribusi frekuensi pelayanan kesehatan balita (0-59) bulan
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
7. Diketahuinya hubungan asupan dengan status gizi balita (0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
8. Diketahuinya hubungan penyakit infeksi dengan status gizi balita (0-59 bulan)
di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
9. Diketahuinya hubungan pola konsumsi dengan status gizi balita (0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
10. Diketahuinya hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita (0-59
bulan) di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
11. Diketahuinya ketersediaan pangan rumah tangga dengan status gizi balita (0-59
bulan) di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
12. Diketahuinya hubungan pola asuh dengan status gizi balita (umur 0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
13. Diketahuinya hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita
(0-59 bulan) di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
14. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan remaja putri, di Kabupaten Pesisir
Selatan tahun 2021.
15. Diketahuinya distribusi frekuensi pola konsumsi remaja putri di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
16. Diketahuinya hubungan asupan Fe dengan status gizi remaja putri di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
17. Diketahuinya hubungan pola konsumsi dengan status gizi remaja putri di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
18. Diketahuinya distribusi frekuensi penyakit infeksi ibu hamil di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
19. Diketahuinya distribusi frekuensi pola konsumsi ibu hamil di Kabupaten Pesisir
Selatan tahun 2021.
20. Diketahuinya distribusi frekuensi asupan ibu hamil, di Kabupaten Pesisir
Selatan tahun 2021.
21. Diketahuinya distribusi frekuensi tingkat pendidikan ibu hamil di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
22. Diketahuinya distribusi frekuensi tingkat pengetahuan ibu hamil di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
23. Diketahuinya hubungan asupan dengan status gizi ibu hamil di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
24. Diketahuinya hubungan penyakit infeksi dengan status gizi ibu hamil di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
25. Diketahuinya hubungan pola konsumsi dengan status gizi ibu hamil di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
26. Diketahuinya hubungan tingkat pendidikan ibu hamil dengan status gizi balita
(0-59 bulan) di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
27. Diketahuinya distribusi frekuensi ketersedian pangan rumah tangga di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
28. Diketahuinya distribusi frekuensi tingkat pendapatan keluarga di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Petugas Kesehatan


Dapat dijadikan sebagai masukan dan menambah pengetahuan tentang status gizi
anak balita, remaja, ibu hamil dan lansia, serta faktor yang berhubungan dengan
kejadian stunting pada anak balita di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.

2. Bagi Akademik/Institusi
Memberikan informasi dan masukan tentang kejadian stunting pada anak balita di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.

3. Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang kejadian stunting pada
anak balita serta faktor yang berhubungan dengan kejadian tersebut di pada anak
balita di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN TEORI
1. Status Gizi
a. Pengertian
Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel
tertentu, perwujudan dari nutriture dalam bentuk variable tertentu.Keadaan gizi
merupakan akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan
penggunaan zat-zat gizi tersebut, atau fisiologis akibat dari tersedianya zat gizi dalam
seluler tubuh (Supariasa, Bachyar dan Ibnu, 2012).
Status gizi yang baik adalah status kesehatan yang dihasilkan dari
keseimbangan intakedan kebutuhan.Parameter status gizi dapat dilakukan dengan
pengukuran antropometri, pemeriksaan biokimia dan anamnesa riwayat
gizi.Intakeberkaitan dengan zat gizi yang masuk dalam tubuh.Zat gizi sendiri
diartikan sebagai zat-zat makanan yang terkandung dalam suatu bahan pangan yang
dapat dimanfaatkan oleh tubuh.Makanan yang kita makan harus memenuhi kebutuhan
fisik berupa kenyang dan memenuhi kebutuhan kimia tubuh (Kristiyanasari,2010).
Status gizi pada anak sangat berpengaruh pada kehidupan dewasanya.
Perkembangan dan pertumbuhan anak sejalan dengan kecukupan nutrisi dan stimulasi
yang ia dapat dari keluarga serta lingkungan.
The United Nations Children’s Fund (UNICEF) mengklasifikasikan malnutrisi
pada anak dalam empat jenis yaitu stunting, wasting, gizi kurang dan kekurangan
mikronutrien.Keempat malnutrisi ini yang terus menjadi fokus pembahasan ialah
stunting.

b. Metode Penilaian Status Gizi


Penilaian status gizi merupakan interprestasi dari data yang didapatkan dengan
menggunakan berbagai metode untuk mengidentifikasi populasi atau individu yang
berisiko atau dengan status gizi buruk. Metode dalam penilaian status gizi dibagi
menjadi dua kelompok.
1) Penilaian Secara Langsung
a. Antropometri
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Antropometri gizi
berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi
tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Secara umum digunakan untuk
melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi yang terlihat pada pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah air
dalam tubuh.
Indikator BB/TB memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya akut sebagai
akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang singkat, misalnya terjadi wabah
penyakit dan kelaparan yang mengakibatkan anak menjadi kurus. Disamping untuk
identifikasi masalah kekurusan, indikator ini dapat juga memberikan indikasi
kegemukan. (Litbangkes, 2010)
Indikator status gizi berdasarkan BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara
umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya
kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan
tinggi badan. Indikator BB/U yang rendah dapat disebabkan karena pendek
(masalah gizi kronis) atau sedang menderita diare atau penyakit infeksi lain (masalah
gizi akut). (Riskesdas, 2013)
Indikator status gizi berdasarkan TB/U memberikan indikasi masalah gizi
yang sifatnya kronis sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama.
Seperti :kemiskinan, perilaku hidup tidak sehat, dan pola asuh/pemberian makan
yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi
pendek. (Riskesdas, 2013)

Tabel 2.1
Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks
Indeks Kategori Ambang Batas (Z-score)
Status Gizi
Berat Badan menurut Umur Berat badan < -3 SD
(BB/U) sangat kurang
Anak umur 0-60 bulan (severely
underweight)
berat badan -3 SD sampai dengan< - 2
kurang SD
(underweight)
berat badan -2 SD sampai dengan +1
normal SD
risiko berat badan >+ 1 SD
lebih
Panjang Badan menurut Umur Sangat Pendek < -3 SD
(PB/U) (severely stunted)
Anak umur 0-60 bulan Pendek (stunted) -3 SD sampai dengan< - 2
SD
Normal -2 SD sampai dengan +3
SD
Tinggi >+3 SD
Berat Badan menurut Panjang gizi buruk < -3 SD
Badan (BB/PB) (severely wasted
Anak umur 0-60 bulan gizi kurang -3 SD sampai dengan< - 2
(wasted) SD
gizi baik (normal) -2 SD sampai dengan +1
SD
berisiko gizi lebih >+1 SD
(possible risk of
overweight)
Indeks Massa Tubuh menurut Gizi buruk < -3 SD
Umur (IMT/U) (severely wasted)
Anak umur 0-60 bulan Gizi kurang -3 SD sampai dengan< - 2
(wasted) SD
Gizi baik (normal) -2 SD sampai dengan + 1
SD
Berisiko gizi lebih >+1 SD
(possible risk of
overweight)
Gizi lebih > + 2 SD sd +3 SD
(overweight)
Obesitas (obese) > + 3 SD
Gizi
Indeks Massa Tubuh menurut Gizi buruk <-3 SD
Umur (IMT/U) (severely thinness)
Anak umur 5-18 tahun Gizi kurang -3 sampai dengan < -2 SD
(thinness)
Gizi baik (normal) -2 SD sampai dengan + 1
Gizi SD
Gizi lebih > + 1 SD sampai dengan +
(overweight) 2 SD
Obesitas (obese) > +2 SD
Sumber :Peraturan Menkes RI Nomor 2 Tahun 2020

b. Klinis
Pemeriksaan klinis merupakan metode penting untuk menilai status gizi yang
didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi dan dihubungkan dengan
ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel kulit, mata, rambut,
dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjer tiroid. Metode ini umumnya untuk mendeteksi secara tepat tanda-tanda klinis
umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi. Disamping itu digunakan untuk
mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik yaitu
tanda dan gejala atau riwayat penyakit.
c. Biokimia
Penilaian status gizi dengan biokimia merupakan pemeriksaan spesimen yang
diuji secara laboratori yang dilakukan pada berbagai macam anggota tubuh. Jaringan
tubuh yang digunakan antara lain darah, urin, tinja, dan beberapa jaringan tubuh
seperti hati dan otot. Penggunaan metode digunakan untuk suatu peringatan bahwa
kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi. Penentuan kimia
dapat lebih banyak untuk menolong kekurangan gizi yang lebih spesifik.
d. Biofisik
Penentuan status gizi secara biofisik merupakan metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi jaringan dan melihat perubahan struktur jaringan.
Umumnya digunakan dalam situasi tertentu.
2) Penilaian secara tidak langsung
a. Survei konsumsi makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan
data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat
gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini dapat mengidentifikasikan
kelebihan dan kekurangan zat gizi.
b. Statistik vital
Pengukuran status gizi statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa
statistik kesehatan dan kematian akibat penyebab tertentu dan lainnya yang
berhubungan dengan gizi. Penggunaanya dipertimbangkan sebagai bagian dari
indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat
c. Faktor ekologis
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai
hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah
makanan yang tersedia sangat tergantung keadaan ekologis dipandang sangat penting
untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar untuk
melakukan program intervensi gizi.
2. Stunting
a. Pengertian
Kepmenkes RI Nomor : 1995/MENKES/SK/XII/2010 telah diatur
mengenai standar antropometri penilaian status gizi anak dengan mengukur
berat badan dan/atau panjang/tinggi badan menurut umur. Pengukuran dengan
panjang badan menurut umur dapat melihat status gizi dan disimpulkan dalam
kategori tinggi, normal, pendek dan sangat pendek. Stunting merupakan suatu
keadaan dimana tinggi badan anak yang terlalu rendah. Stunting berdasarkan
umur adalah tinggi badan yang berada di bawah minus dua standar deviasi
Standar Deviasi) dari tabel status gizi Child Growth Standard(WHO 2013)
b. Patofisiologi Stunting
Janin berkembang sejak awal kehamilan, berat dan panjang pun terus bertambah.
Cunningham (2010) mengemukakan mengenai pertumbuhan panjang badan janin
sebagai berikut
Tabel 2.2
Pertumbuhan dan perkembangan janin
Usia Kehamilan Panjang Janin Ciri khas
Organogenesis
- Terbentuk hidung telinga
4 minggu 7,5-10 mm dan
mata
- Kepala flesi ke dada
8 minggu 2,5 cm - Hidung, kuping dan jari
terbentuk
- Kuping lebih jelas
- Kelopak mata terbentuk
12 minggu 9 cm
- Genetalia eksterna
terbentuk
Usia fetus
- Genital jelas terbentuk
- Kulit merah tipis
16 minggu 16-18 cm - Uterus telah penuh,
desidua
parietalis dan kapsularis
- Kulit tebal dengan rambut
20 minggu 25 cm
lanugo
- Kelopak mata jelas, alis
24 minggu 30-32 cm dan bulu
tampak
Masa parietal
- Berat badan 1000 gram
28 minggu 35 cm
- Menyempurnakan janin
40 minggu 50-55 cm - Bayi cukup bulan
- Kulit berambut dengan
baik
- Kulit kepala tumbuh baik
- Pusat penulangan pada
tibia
proksimal

Lissauer (2013) berpendapat bahwa pertumbuhan panjang janin tersebut


disebabkan karena insufisiensi uteroplasental dengan berkurangnya transfer oksigen
pada janin. Adaptasi janin terhadap keadaan hipoksia, misal otak jantung, kelenjar
adrnal, adalah mempertahankan pasokan darah pada organ penting dengan demikian
mengorbankan pasokan pada organ lain. Kekurangan makanan yang berkelanjutan
dan terjadi selama periode pertumbuhan, dengan model hewan menunjukkan bahwa
perubahan yang relatif besar pada otak, jantung, ginjal, timus, dan terutama otot-otot,
dengan kemungkinan konsekuensi pada saat dewasa.
c. Dampak Stunting
Dampak stunting terbagi menjadi dua yang terdiri dari jangka pendek dan jangka
panjang. Dampak jangka pendek dari stunting adalah di bidang kesehatan yang dapat
menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas, di bidang perkembangan berupa
penurunan perkembangan kognitif, motorik, dan bahasa, dan di bidang ekonomi
berupa peningkatan pengeluaran untuk biaya kesehatan (WHO, 2013)
Masalah konkuren & konsekuensi jangka pendek terbagi menjadi tiga:
 Kesehatan : meningkatkan kematian dan kesakitan
 Pembangunan : menurunkan kognitif, motorik, dan bahasa pengembangan
 Ekonomis : meningkatkan biaya perawatan kesehatan
Sedangkan masalah jangka panjang dibagi menjadi tiga bidang :
 Kesehatan : meningkatkan potensi obesitas pada masa dewasa, morbiditas,
menurunkan kesehatan reproduksi
 Pembangunan : menurunkan prestasi sekolah, tidak tercapainya kapasitas
belajar dan potensi
 Ekonomis : menurunkan kapasitas dan produktivitas kerja

d. Faktor Penyebab Stunting


1) Penyebab Langsung
a. Intake Zat Gizi Ibu dan Balita (Kualitas Pangan dan ASI)
Berupa nutrisi yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi
badan ibu yang rendah, infeksi, kehamilan pada usia remaja, kesehatan mental,
Intrauterine Growth Restriction(IUGR) dan kelahiran preterm, jarak kelahiran yang
pendek.
Asupan energi dan protein yang tidak mencukupi pada ibu hamil dapat
menyebabkan ibu hamil mengalami Kurang Energi Kronis (KEK).Wanita hamil
berisiko mengalami KEK jika memiliki Lingkar Lengan Atas (LILA) <23,5cm. Ibu
hamil KEK berisiko melahirkan bayi berat lahir rendah (BBLR) yang jika tidak
tertangani dengan baik akan berisiko mengalami stunting (Kemenkes,RI 2016).
Periode 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK) adalah periode 9 bulan janin
dalam kandungan (270 hari) hingga anak usia 2 tahun (730 hari). Pada 20 minggu
pertama dibutuhkan kecukupan protein dan zat gizi mikro untuk pembentukan sel dan
menentukan jumlah sel otak dan potensi tinggi badan.
Seorang ibu hamil harus berjuang menjaga asupan nutrisinya agar pembentukan,
pertumbuhan dan perkembangan janinnya optimal. Selanjutnya pada 20 minggu
sampai dengan bayi lahir dibutuhkan kecukupan energi, protein dan zat gizi mikro
untuk pembentukan dan pembesaran sel. Idealnya, berat badan bayi saat dilahirkan
adalah tidak kurang dari 2500 gram, dan panjang badan bayi tidak kurang dari 48 cm.
Inilah alasan mengapa setiap bayi yang baru saja lahir akan diukur berat dan
panjang tubuhnya, dan dipantau terus menerus terutama di periode emas
pertumbuhannya, yaitu 0 sampai 2 tahun. Dalam kurun waktu 2 tahun ini, orang tua
harus berupaya keras agar bayinya tidak memiliki tinggi badan atau panjang badan
yang stunting. Selama 6 bulan setelah bayi lahir, bayi memerlukan zat gizi makro dan
mikro yang hanya cukup diperoleh dari ASI eksklusif. Di atas 6 bulan bayi mulai
membutuhkan makanan pendamping ASI yang cukup dan berkualitas untuk mencapai
pertumbuhan dan perkembangan yang optimal (Kemenkes RI, 2016)
b. Penyakit infeksi
Keadaan gizi dipengaruhi oleh asupan gizi dan penyakit infeksi yang saling
terkait. Apabila seseorang tidak mendapat asupan gizi yang cukup akan mengalami
kekurangan gizi dan sakit. Demikian juga bila seseorang sering sakit akan
menyebabkan gangguan nafsu makan dan selanjutnya akan mengakibatkan gizi
kurang (Depkes RI, 2007).
Infeksi dapat menyebabkan anak tidak merasa lapar dan tidak mau
makan.Penyakit ini juga menghabiskan sejumlah protein dan kalori yang seharusnya
dipakai untuk pertumbuhan.Diare dan muntah dapat menghalangi penyerapan
makanan.Penyakit-penyakit umum yang memperburuk keadaan gizi adalah diare,
infeksi saluran pernafasan atas, tuberculosis, campak, batuk rejan, malaria kronis, dan
cacingan (Marimbi, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Fatimah, dkk (2008), diketahui bahwa seluruh
anak dengan gizi kurang (100%) memiliki riwayat penyakit infeksi.Asupan nutrisi
yang rendah dan terdapatnya penyakit infeksi pada anak balita dalam penelitian ini
paling dominan disebabkan oleh rendahnya kemampuan keluarga untuk membeli
bahan makanan yang memenuhi standar gizi dan untukpemenuhan kebutuhan yang
berkaitan dengan kesehatan.Antara kecukupan gizi dan penyakit infeksi terdapat
hubungan sebab akibat yang timbal balik dan sangat erat.Gizi buruk menyebabkan
mudahnya terjadi infeksi karena daya tahan tubuh yang menurun. Sebaliknya pula
infeksi yang sering diderita akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan gizi
sedangkan nafsu makan biasanya menurun jika terjadi penyakit infeksi, sehingga
dapat menyebabkan anak yang tadi gizinya baik akan menderita gangguan gizi.
Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi
merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Infeksi bisa menjadi gangguan gizi
melalui beberapa cara yaitu mempengaruhi nafsu makan, kehilangan makanan karena
diare dan muntah-muntah atau mempengaruhi metabolisme makanan. Berdasarkan
penelitian Yuliana Hidayat, dkk (2010), terdapat pengaruh antara penyakit infeksi
pada balita dengan kejadian gizi buruk pada balita.Penyakit infeksi yang sering terjadi
pada anak-anak adalah diare dan ISPA.Diare dapat menyebabkan anak tidak
mempunyai nafsu makan sehingga terjadi kekurangan jumlah makanan dan minuman
yang masuk ke dalam tubuhnya yang dapat menyebabkan gizi kurang.
Penyakit anak yang berbahaya antara lain adalah tuberkulosis, tetanus, polio
dan campak. Penyakit-penyakit tersebut dapat dicegah dengan imunisasi.
Pemerintah bahkan secara nasional memiliki program imunisasi wajib untuk
penyakit-penyakit tersebut. Selain itu, ada penyakit berbahaya lain seperti
Hepatitis A/B, MMR, meningitis, pneumonia, dan tifoid yang juga dapat dicegah
dengan vaksinasi.
1. Diare
Diare, yang mungkin juga disertai muntah, bukanlah penyakit tetapi gejala dari
penyakit tertentu.Penyebab diare paling umum adalah infeksi virus.Penyebab lainnya
adalah infeksi bakteri, efek samping antibiotik, dan keracunan.
Diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak
seperti biasanya ditandai dengan peningkatan volume, keenceran serta frekuensi lebih
dari 3 kali sehari dan pada neonates lebih dari 4 kali sehari dengan tanpa lender
darah. (Aziz, 2006)
2. Tetanus
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang ditemukan di
dalam tanah dan kotoran hewan.Tetanus dapat menyebabkan otot dan tendon
pecah, sendi terkunci, sesak napas dan kematian. Gejala dari tetanus kejang
bertambah berat seama 3 hari pertama dan menetap 5-7 hari, seteah 10 hari kejang
muai berkejang frekuensinya, seteah 2 minggu kejang mulai hilang, biasanya
didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dari leher. Kemudian timbul
kesukaran membuka mulut selanjutnya kejang otot berlanjut ke kaku kuduk
(J.Glickman, 1995)
3. Polio
Polio adalah penyakit virus yang sangat mudah menular dan menyerang sistem
saraf, khususnya pada balita yang belum melakukan vaksinasi polio.Penyebab
Penyakit Polio Virus penyebab polio adalah polio virus, Virus ini menyebar ketika
makanan, air atau tangan yang terkontaminasi dengan kotoran (tinja penderita) atau
dahak dan ingus dari orang yang terinfeksi kemudian masuk ke mulut orang yang
sehat. Gejala penyakit polio akan muncul dalam waktu tiga sampai 21 hari setelah
virus polio masuk dan orang ini akan bisa menularkan pada tujuh sampai 10 hari
sebelum dan setelah gejala muncul. Seseorang yang terinfeksi akan tetap menular
selama virus terus dibuang melalui kotorannya, yang bisa berlanjut selama beberapa
minggu. Biasanya, virus tetap di tenggorokan selama satu sampai dua minggu.Gejala
Polio Meskipun gejala yang paling parah bisa menyebabkan kelumpuhan dan bahkan
kematian, kebanyakan kasus polio memiliki gejala yang lebih ringan.Bahkan
beberapa orang yang terkena polio tidak menderita gejala apapun dan tidak pernah
tahu mereka terinfeksi.Gejala penyakit polio diklasifikasikan menjadi non-paralitik
atau paralitik dan pasien dapat menderita sindrom pasca-polio selama bertahun-tahun
setelah terkena penyakit polio.
4. Disentri
Disentri adalah infeksi pada usus yang menyebabkan diare yang disertai darah
atau lendir.Diare merupakan buang air besar encer dengan frekuensi yang lebih sering
dari biasanya.Di samping diare, gejala disentri lainnya meliputi kram perut, mual atau
muntah, serta demam.
Menjaga kebersihan merupakan faktor utama dalam pencegahan disentri
Penyakit ini termasuk sangat mudah menular, terutama pada anggota keluarga.
5. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah suatu penyakit menular yang
disebabkan oleh virus Dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang
ditandai dengan demam mendadak dua sampai tujuh hari tanpa penyebab yang
jelas, lemah atau lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai dengan tanda-tanda
perdarahan di kulit berupa bintik perdarahan (petechia), ruam (purpura). Kadang-
kadang mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun.(Mubin, 2009:
19)
6. Campak
Campak pernah menjadi penyakit anak yang paling umum sebelum
vaksinnya ditemukan. Campak dimulai seperti pilek yang disertai demam, lalu
muncul ruam setelah dua hari. Pada kasus yang serius, campak dapat
menyebabkan bronkitis, bronkiolitis, infeksi telinga dan gangguan sistem saraf.gejala-
gejala eksantem akut, demam, kadang kataral selaput lendir dan saluran pernapasan,
gejala-gejala mata, kemudian diikuti erupsi makulopapula yang berwarna merah dan
diakhiri dengan deskuamasi dari kulit.
7. Cacingan
Cacingan merupakan penyakit yang ditimbulkan karena banyaknya larva
cacing yang bersarang dalam tubuh, (terutama pada perut). Penyebabnya paling utama
adalah kurangnya menjaga kesehatan dan kebersihan..  terutama pada anak-anak yang
sering dibiarkan bermain tanah. Gejala Cacingan yaitu Pantat gatal, merupakan salah
satu gejala untuk jenis cacing Enterobius vermicularis.Pada spesies cacing ini, indung
cacing keluar dari lubang anus, biasanya di malam hari ketika kita tidur, dan
meletakkan telurnya di daerah peri-anal (sekeliling anus).Dengan menggunakan
selotip, contoh telur-telur dapat diambil dan dapat dilihat dengan bantuanmikroskop
untuk diagnosa.
8. Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah infeksi bakteri pada paru-paru yang
diperkirakan memengaruhi sekitar sepertiga penduduk dunia. Kuman TB
menyebar ketika penderita TB batuk atau bersin. tanda-tanda seperti di bawah
ini :
 Batuk-batuk berdahak lebih dari dua minggu.
 Batuk-batuk mengeluarkan darah atau pernah mengeluarkan darah.
 Dada terasa sakit atau nyeri.
 Terasa sesak pada waktu bernafas. (Hiswani .usu.2004)
9. Malaria
Malaria adalah penyakit yang menyebar melalui gigitan nyamuk yang sudah
terinfeksi parasit.Infeksi malaria bisa terjadi hanya dengan satu gigitan nyamuk.Jika
tidak ditangani dengan benar, penyakit ini bisa menyebabkan kematian.
Gejala malaria biasanya akan muncul antara satu sampai dua minggu setelah
tubuh terinfeksi. Gejala juga bisa muncul setahun setelah gigitan nyamuk, namun
kasus ini jarang terjadi.Gejala-gejala malaria umumnya terdiri dari demam,
berkeringat, menggigil atau kedinginan, muntah-muntah, sakit kepala, diare, dan nyeri
otot.

2) Penyebab tidak langsung


a. Pola asuh
Pola asuh adalah perlakuan orang tua dalam rangka memenuhi kebutuhan,
memberi perlindungan dan mendidik anak-anak dalam kehidupan sehari-hari. Pola
asuh merupakan cara pengasuh anak yang merupakan kegiatan dalam usaha
memelihara, membimbing, membina, dan melindungi anak dalam memberi
makanan anaknya untuk kelangsungan hidup, berkembang dan mencapai
pertumbuhan yang serasi, selaras, dan seimbang baik fisik maupun mental..
( Shochib, 2010.)
pola asuh menurut Sunarti (2004) adalah suatu model atau cara mendidik anak
yang merupakan suatu kewajiban dari setiap orang tua dalam usaha membentuk
pribadi anak yang sesuai dengan harapan masyarakat pada umumnya.
Ibu yang bekerja di luar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih terbatas
untuk melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan ibu yang tidak bekerja.
Bila ini terjadi pada keluarga berpenghasilan rendah dan tidak mencukupi
membayar pengasuh, maka pola asuh makan anak tersebut akan berpegaruh dan
pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu terutama
pada masa pra sekolah.
Anak yang tinggi badannya tidak normal dijumpai sering dijumpai pada
keluarga miskin.Pola asuh keluarga yang efektif seperti kebiasaan pemberian
makan, kebiasaan pengasuhan, kebiasaan kebersihan dan kebiasaan mendapatkan
pelayanan kesehatan merupakan suatu pendekatan yang bagus.
b. Sanitasi lingkungan
Kesehatan perumahan dan lingkungan permukiman adalah kondisi fisik,
kimia, dan biologi di dalam rumah, di lingkungan rumah dan perumahan sehingga
memungkinkan penghuni mendapatkan kesehatan yang optimal.Persyaratan
kesehatan perumahan dan permukiman adalah ketentuan teknis kesehatan yang
wajib di penuhi dalam rangka melindungi masyarakat yang bermukim di
perumahan atau masyarakat sekitar dari bahaya atau gangguan kesehatan
(Soedjadi, 2005).
Pada penelitian zairinayati disebutkan bahwa daerah yang kurang sumber dan
penggunaan air bersih, tidak ada jamban yang layak, rendahnya akses rumah
tangga ke jamban sehat, umumnya mempunyai angka stunting yang tinggi.
c. Pola konsumsi
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran
mengenai jumlah dan jenis bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu
orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola
makan juga dikatakan sebagai suatu cara seseorang atau kelompok orang atau
keluarga memilih makanan sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologis,
psikologis, kebudayaan dan sosial. (Suhardjo, 1989)
Pola makan yang baik mengandung makanan pokok, lauk-pauk, buah-
buahan dan sayur-sayuran serta dimakan dalam jumlah cukup sesuai dengan
kebutuhan.Dengan pola makan yang baik dan jenis hidangan yang beraneka
ragam dapat menjamin terpenuhinyakecukupan sumber tenaga, zat pembangun
dan zat pengatur bagi kebutuhan gizi seseorang. Sehingga status gizi seseorang
akan lebih baik dan memperkuat daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit.
( Baliwati, 2004)
d. Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah sebuah konsep yang digunakan dalam


memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat.Definisi pelayanan kesehatan
menurut Soekidjo Notoatmojo adalah sebuah sub system pelayanan kesehatan
yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan) dan promotif
(peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat.
Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri/secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatan
kesehatan, mencegah, mensembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan
perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.(Notoatmodjo, 2008)
Pelayanan kesehatan adalah ilmu atau seni yang bertujuan untuk mencegah
penyakit, memperpanjang umur dan meningkatkan efisiensi hidup melalui upaya
kelompok-kelompok masyarakat yang terkordinasi, perbaikan kesehatan
lingkungan, mencegah dan memberantas penyakit menular dan memberikan
pendidikan kesehatan kepada masyarakat atau perorangan.(Budiharto. 2004)
Definisi pelayanan kesehatan menurut Depkes RI (2009) adalah setiap upaya
yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi
untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan
penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, dan
ataupun masyarakat.Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa
bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya. Karena
kesemuanya ini ditentukan oleh:
 Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara
bersama-sama dalam suatu organisasi.
 Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan
kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan
atau kombinasi dari keduanya.
Pelayanan kesehatan dapat diterapkan untuk memelihara, meningkatkan, dan
sekaligus memperbaiki tingkat kesehatan, maka ini sistem sistem pelayanan
kesehatan dapat dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu:
1. Faktor pemerintah (policy maker) sebagai penentu kebijaksanaan dimasyarakat.
2. Faktor masyarakat sebagai pengguna pelayanan kesehatan.
3. Faktor penyedia atau pemberi pelayanan kesehatan (health provider) (Djoko RS.
2008)
Azwar menjelaskan suatu pelayanan kesehatan harus memiliki berbagai
persyaratan pokok, yaitu persyaratan pokok yang memberi pengaruh kepada
masyarakat dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan jasa pelayanan
kesehatan dalam hal ini puskesmas, yakni:
1. Ketersediaan dan Kesinambungan
Pelayanan Pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang tersedia di
masyarakat (acceptable) serta berkesinambungan (sustainable).Artinya semua
jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat ditemukan serta
keberadaannya dalam masyarakat adalah ada pada tiap saat dibutuhkan.
2. Kewajaran dan Penerimaan Masyarakat
Pelayanan kesehatan yang baik adalah bersifat wajar (appropriate) dan dapat
diterima (acceptable) oleh masyarakat. Artinya pelayanan kesehatan tersebut
dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, tidak bertentangan dengan
adat istiadat, kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat
tidak wajar, bukanlah suatu keadaan pelayanan kesehatan yang baik.
3. Mudah dicapai oleh Masyarakat
Pengertian dicapai yang dimaksud disini terutama dari letak sudut lokasi
mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga distribusi sarana kesehatan menjadi
sangat penting.Jangkauan fasilitas pembantu untuk menentukan permintaan yang
efektif. Bila fasilitas mudah dijangkau dengan menggunakan alat transportasi
yang tersedia maka fasilitas ini akan banyak dipergunakan. Tingkat pengguna di
masa lalu dan kecenderungan merupakan indikator terbaik untuk perubahan
jangka panjang dan pendek dari permintaan pada masa akan datang.
4. Terjangkau
Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan yang terjangkau (affordable)
oleh masyarakat, dimana diupayakan biaya pelayanan tersebut sesuai dengan
kemampuan ekonomi masyarakat.Pelayanan kesehatan yang mahal hanya
mungkin dinikmati oleh sebagian masyarakat saja.
5. Mutu
Mutu (kualitas) yaitu menunjukkan tingkat kesempurnaan pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan dan menunjukkan kesembuhan penyakit serta
keamanan tindakan yang dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan yang
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.( Azwar, Saifuddin. 1999)

Status imunisasi pada anak adalah salah satu indikator kontak dengan pelayanan
kesehatan. Karena diharapkan bahwa kontak dengan pelayanan kesehatan akan
membantu memperbaiki masalah gizi baru, sehingga imunisasi juga diharapkan
akan memberikan efek positif terhadap status gizi jangka panjang .(Mugianti,
2018)
e. Ketahanan pangan dan ketersediaan pangan
Dalam penelitian masrin,2018 disebutkan bahwa , ada hubungan yang signifikan antara
ketahanan pangan rumah tangga dengan kejadian stunting pada anak baduta.
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Jika kebutuhan
tersebut tidak terpenuhi, baik jumlah maupun mutunya pada tingkat individu dan
rumah tangga akan mengganggu tercapainya kualitas hidup sehat, aktif, dan
berkesinambungan serta dapat menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan
dan gizi. Baduta stunting merupakan salah satu masalah gizi kronis yang
disebabkan oleh akses dan keterjangkauan terhadap pangan masih rendah.
Gizi seimbang pada 1000 HPK terkait dengan ketersediaan pangan rumah
tangga. Keadaan sosial ekonomi keluarga akan berpengaruh terhadap kualitas
maupun kuantitas bahan makanan yang dikonsumsi keluarga. Kurangnya variasi
dan jumlah makanan yang dikonsumsi terutama bahan pangan yang berfungsi
untuk menunjang pertumbuhan seperti sumber protein, lemak, vitamin, dan
mineral akan meningkatkan risiko kekurangan gizi yang berdampak pada
pertumbuhan anak.(Aryati, 2018)
3) Penyebab Utama

a. Ekonomi
Salah satau yang penyebab dasar dari wasting dan stunting adalah kondisi
ekonomi keluarga yang rendah (miskin).Kondisi keluarga yang miskin dapat
menyebabkan keluarga tersebut mengalami keterbatasan dalam memenehu
kebutuhan gizi keluarga dari segi kualitas maupun kuantitas. Keadaan sosial
ekonomi yang tergolong rendah akan mempengaruhi tingkat Pendidikan renda,
kualitas sanitasi dan air minum yang rendah, daya beli yang rendah serta layanan
Kesehatan yang terbatas. Semuanya dapat berkontribusi terkena penyakit dan
rendahnya asupan zat gizi dapat berpeluang untuk terjadinya stunting (Fikadu,
dkk, 2014 dalam lainua, 2016)
Besarnya pendapatan yang diperoleh atau diterima dalam rumah tangga
dapat menggambarkan kesejahteraan suatu masyarakat.Namun data pendapatan
yang akurat sulit diperoleh, sehingga dilakukan pendekatan melalui pengeluaran
rumah tangga.Pengeluaran rumah tangga ini dapat dibedakan menurut
pengeluaran makan dan bukan makan, dimana menggambarkan bagaimana
penduduk mengalokasikan kebutuhan rumah tangganya.Pengeluaran untuk
konsumsi makanan dan buka makan berkaitan denga tingkat pendapatan
masyarakat. Di Indonesia, pemenuhan kebutuhan makanan masih menjadi
prioritas utama, dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan gizi (Consumption and
Cost, wiyogowati, 2012).
Persentase pengeluaran pangan yang tinggi (≥ 70%) merupakan faktor
yang paling dominan berhubungan dengan kejadian stunting pada anak balita
dengan riwayat berat lahir rendah pada tahun 2010 di Indonesia. Persentase
pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total yang tinggi (≥70%)
menggambarkan ketahanan pangan keluarga yang rendah, artinya semakin tinggi
pengeluaran untuk konsumsi pangan ada kecenderungan bahwa rumah tangga
tersebut miskin dan memiliki tingkat ketahanan pangan yang rendah. Keluarga
yang miskin dan ketahanan pangan keluarga rendah rentan memiliki anak stunting
karena keluarga tidak mampu mencukupi kebutuhan asupan gizi anak dalam
jangka waktu yang lama, sehingga permasalahan gizi akut ini tidak dapat
terhindarkan (Rosha,dkk, 2013).
b. Pendidikan
Pendidikan adalah modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga yang
juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, perawatan anak dan
pengasuhan keluarga. Keluarga yang memiliki tingkat Pendidikan yang tinggi
akan mendapatkan informasi Kesehatan yang lebih mudah khususnya dibidang
gizi, sehingga dapat menambahkan pengetahuannya dan mampu menerapkannya
dalam kehidupan sehari-hari (Depkes RI, 2015).
Menurut Hidayat (2009), tingkat Pendidikan keluarga yang rendah akan
sulit dalam menerima arahan dalam pemenuhan gizi. Mereka sering tidak
meyakini pentingnya pemenuhan gizi dan pentingnya pelayanan Kesehatan yang
dapat menunjang pertumbuhan anak, sehingga dapat berpeluang terhadap
terjadinya stunting. Semakin tingginya Pendidikan, pengetahuan dan keterampilan
memungkinkan makin baiknya tingkat ketahanan pada pangan keluarga, makin
baik pola asuh pada anak dan keluarga, makin banyak memanfaatkan pelayanan
yang ada. Ketahanan pangan keluarga juga terkait dengan ketersediaan pangan,
harga pangan, dan daya beli keluarga, serta pengetahuan tentang gizi dan
Kesehatan (Waryana, 2010)
Menurut Anisa (2012) kecendrungan kejadian stunting pada balita lebih
banyak terjadi pada ayah yang memiliki tingkat Pendidikan yang rendah.
Pendidikan yang tinggi dapat mencerminkan pendapatang yang lebih tinggi dan
ayah akan lebih memperhatikan gizi istri saat hamil. Sehingga tidak akan
terjadinya kekurangan gizi data kehamilan yang dapat menyebabkan anak yang
akan dilahirkan mengalami stunting. Keluarga dengan ayah yang berpendidikan
rendah dengan pendapatan yang rendah biasanya memiliki rumah yang kurang
layak, kurang dalam memanfaatkan fasilitas Kesehatan dan kebersihan lingkungan
kurang terjaga, selain itu konsumsi makanan tidak seimbang, keadaan ini akan
menghambat perkembangan pada anak (Mugianti et al, 2018).
Menurut Astuti (2017), ibu dengan tingkat Pendidikan tinggi akan
cenderung memiliki pengetahuan yang luas dan mudahnya menangkap informasi
dari Pendidikan formal yang mereka tempuh maupun dari media massa (cetak dan
eletronik) untuk menjaga Kesehatan anak dalam mencapai status gizi yang baik
sehingga perkembangan anak menjadi lebih optimal. Semakin tinggi Pendidikan
ibu maka pengetahuannya tentang gizi akan lebih baik, sebaliknya semakin
rendahnya Pendidikan ibu maka pengetahuan tentang gizi akan kurang biak.
Pendidikan ibu yang rendah saat kehamilan akan mempengaruhi pengetahuan gizi
ibu saat mengandung. Ibu hamil yang mengalami kurang gizi dapat
mengakibatkan janin yang dikandung juga mengalami kekurangan gizi. Jika
kekurangan gizi pada kehamilan terjadi terus menerus akan melahirkan anak yang
mengalami kekurangan gizi. Jika kondisi ini terus berlangsung dalam kurun yang
cukup lama maka akan menyebabkan anak mengalami kegagalan dalam
pertumbuhan (stunting) (Ni’mah dan Muniroh, 2016).

3. Anemia Pada Remaja Putri


Anemia merupakan masalah gizi yang banyak terdapat di seluruh dunia, yang
tidak hanya terjadi di Negara berkembang tetapi juga di Negara maju. Penderita anemia
diperkirakan dua miliar,dengan prevalensi terbanyak di wilayah Asia dan Afrika.
Bahkan WHO menyebutkan bahwa anemia merupakan 10 masalah kesehatan
terbesar di abad modern ini. Kelompok yang berisiko tinggi menderita adalah wanita
usia subur, ibu hamil, anak usia sekolah dan remaja. Meskipun demikian kelompok
pria juga tidak terlepas dari kejadian anemia. Anemia merupakan masalah gizi yang
paling utama di Indonesia. ( Dodik Briawan, 2012)
Pada remaja wanita puncak pertumbuhan terjadi sekitar 12-18 bulan.
Sebelum mengalami menstruasi pertama, atau sekitar usia 10-14 tahun
pertumbuhan tinggi badan terus berlangsung selama 7 tahun setelah mentruasi.
Maksimal tinggi badan wanita diperoleh paling awal pada usia16 tahun, atau paling akhir 23
tahun. Beberapa tahun setelah selesai pertumbuhan gingi badan (2-3 tahun), tulang
pinggul masih tumbuh sedangkan puncak masa tulang akan tercapai hingga usia 23 tahun.
(Merryana Adriani,2012)
Kebutuhan zat besi terabsorpsi pada remaja wanita diperkirakan 1,9 mg (hari
berdasarkan rata-rata kebutuhan untuk tumbuh 0,5 mg. Dalam keadaan basal 0,75 mg dan
kehilangan darah saat menstruasi 0,6 mg. Apabila AKG zat besi 15 mg/hari, dengan asumsi
penyerapan zat besi 10-15 % akan menghasilkan asupan zat besi sekitar 1,5-2,2
mg/hari. Jumlah ini cukup untuk mempertahankan keseimbangan zat besi di dalam tubuh
termasuk untuk penyimpanan sebesar 300 mg (Arisman, MB, 2010)
Anemia pada remaja putri merupakan masalah gizi yang diperhatikan oleh tenaga
kesehatan. Pola makan, tingkah laku aktifitas fisik dan pembatasan jenis makanan
dengan cara berdiet dilakukan oleh para remaja putri dan tekanan sosial juga
mempengaruhi agar mereka tampak menarik. (Merryana Adriani, 2012)
Klasifikasi dari anemia disampaikan Kodiyat,2000 dikutip oleh Dodik Briawan,
2012 , menggolongkan anemia menjadi dua tipe ,yaitu anemia gizi dan anemia non gizi
dIbagi menjadi beberapa jenis yaitu:
1. Anemia pernisiosa merupakan anemia yang disebabkan defisiensi vitamin B12
dalam darah
2. Anemia defesiensi folat (asam folat) yang disebabkan defisiensi asam folat di
dalam darah.
3. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan defisiensi besi di dalam
darah

Gejala anemia secara umum (Dodik Briawan, 2012):


1. Cepat lelah
2. Pucat ( kulit, bibir, gusi, mata, kulit kuku, dan telapak tangan)
3. Jantung berdenyut kencang saat melakukan aktivitas ringan
4. Nyeri dada
5. Napas tersenggal/ pendek saat melakukan aktifitas ringan
6. Pusing dan mata berkunang
7. Cepat marah
8. Tangan dan kaki dingin atau mati rasa
Penyebab Anemia pada remaja
Menurut WHO (2001), batas ambang anemia untuk wanita usia 11 tahun keatas
adalah apabila konsentrasi atau kadar hemoglobin dalah darah kurang dari 12 g/dl.
Penggolongan jenis anemia menjadi ringan, sedang, dan berat belum ada keseragaman
mengenai batasannya, namun untuk mempermudah pelaksanaan pengobatan dan
mensukseskan program lapangan, menurut ACC/SCN (1991), anemia dapat digolongkan
menjadi tiga :
1. Anemia Ringan hb 10.0 – 11.9 g/dl
2. Anemia Sedang hb 7.0 – 9.9 g/dl
3. Anemia Berat hb < 7.0 g/dl
Sebelum terjadi anemia biasanya terjadi kekurangan zat besi secara perlahanlahan.
Pada tahap awal, simpanan zat besi yang berbentuk ferritin dan hemosiderin menurun dan
absorpsi besi meningkat. Daya ikat besi (iron binding capacity) meningkat seiring dengan
menurunnya simpanan zat besi dalam sumsum tulang dan hati. Ini menandakan berkurangnya
zat besi dalam plasma. Selanjutnya zat besi yang tersedia untuk pembentukan sel-sel darah
merah (sistem eritropoesis) di dalam sumsum tulang berkurang dan terjadi penurunan jumlah
sel darah merah dalam jaringan. Pada tahap akhir, hemoglobin menurun (hypocromic) dan
eritrosit mengecil (microcytic) dan terjadi anemia gizi besi (Wirakusumah 1998).
Menurut Biesalski dan Erhardt (2007), Penyebab utama anemia yang paling umum
diketahui adalah:
1. Kurangnya kandungan zat besi dalam makanan
2. Penyerapan zat besi dari makanan yang sangat rendah
3. Adanya zat-zat yang menghambat penyerapan zat besi
4. Adanya parasit di dalam tubuh seperti cacing tambang atau cacing pita, atau
kehilangan banyak darah akibat kecelakaan atau operasi.

Pada umumnya anemia sering terjadi pada wanita dan remaja putri daripada pria hal ini di
karenakan:
1. Wanita dan remaja putri pada umumnya lebih sering mengkonsumsi makanan
nabati yang kandungan zat besinya sedikit dibandingkan dengan makanan
hewani sehingga kebutuhan tubuh akan zat besi tidak terpenuhi.
2. Remaja putri biasanya lebih ingin tampil langsing, sehingga membatasi asupan
makanan.
3. Setiap hari manusia kehilangan zat besi 0,6 mg di ekstraksi, khususnya melalui
feses.
4. Remaja putri mengalami haid setiap bulan, dimana kehilanganzat besi ±1.3 mg
per hari, sehingga kebutuhan zat besi lebih banyak dari pada pria.
Penyebab anemia gizi pada remaja putri juga dapat terjadi karena asupan besi
yang tidak cukup, kehilangan darah yang menetap, penyakit dan kebutuhan
meningkat.

4. Masalah Gizi pada Ibu Hamil


Masalah Gizi pada Ibu Hamil Saat ini masih banyak ibu hamil di Indonesia yang
mengalami masalah gizi khususnya gizi kurang seperti Kurang Energi Kronik (KEK), anemia
dan GAKY (Kementerian Kesehatan, 2014).
Masalah gizi pada ibu hamil yang lain adalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium
(Almatsier, 2004).
a. Kekurangan Energi Kronis (KEK)
Kekurangan Energi Kronis (KEK) adalah keadaan dimana ibu menderita
keadaan kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang
mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu (Depkes RI, 2002).
KEK merupakan gambaran status gizi ibu di masa lalu yaitu kekurangan gizi
kronis pada masa anak-anak baik disertai sakit yang berulang ataupun tidak. Kondisi
tersebut akan menyebabkan bentuk tubuh yang pendek (stunting) atau kurus (wasting)
pada saat dewasa (Soetjiningsih, 2009).
Di Indonesia, prevalensi KEK pada ibu hamil di Indonesia sebanyak 24,20%
(Riskesdas, 2013) Status KEK pada Wanita Usia Subur (WUS) ditentukan
menggunakan Lingkar Lengan Atas atau disebut LILA. Supariasa, dkk. (2001)
menyebutkan pengukuran LILA pada kelompok WUS adalah salah satu cara deteksi
dini yang mudahdilakukan masyarakat. WUS yang berisiko KEK di Indonesia jika
hasil pengukuran LILA kurang dari atau sama dengan 23,5 cm. Apabila hasil
pengukuran lebih dari 23,5 cm makaWUS tersebut tidak beresiko menderita KEK
(Supariasa, dkk., 2001).

b. Anemia
Anemia dalam kehamilan adalah kondisi ibu dengan kadar hemoglobin (Hb) <
11 gr% pada trimester I dan III sedangkan pada trimester II kadar hemoglobin < 10,5
gr%. Anemia selama kehamilan memerlukan perhatian serius karena berpotensi
membahayakan ibu dan anak (Manuaba, 2009). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2013 menyebutkan anemia pada kehamilan umumnya bersifat fisiologis.
Anemia merupakan keadaan ketika jumlah sel darah merah atau konsentrasi
pengangkut oksigen dalam darah (Hb) tidak mencukupi untuk kebutuhan fisiologis
tubuh. Wanita hamil rentan mengalami anemia defisiensi besi karena kebutuhan
oksigen pada ibu hamil lebih tinggi sehingga memicu peningkatan
produksieritopoitin. Volume plasma bertambah dan sel darah merah meningkat.
Peningkatan volume plasma lebih besar dari peningkatan eritrosit sehingga
menyebabkan penurunan konsentrasi hemoglobin (Rai, dkk, 2016).
Anemia selama kehamilan dapat berakibat fatal, memiliki efek negatif pada
kapasitas kerja, motorik dan perkembangan mental pada bayi, anakanak, dan remaja.
Pada ibu hamil, anemia dapat menyebabkan berat lahir rendah, kelahiran prematur,
keguguran, partus lama, atonia uteri dan menyebabkan perdarahan serta syok (Rai,
dkk, 2016). Hasil penelitian Amalia (2011) di RSU Dr. MM Dunda Limboto
Kabupaten Gorontalo menunjukkan ibu hamil yang mengalami anemia berisiko
melahirkan bayi BBLR sebesar 4,643 kali dibandingkan dengan ibu yang tidak
anemia.

c. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY)


Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) adalah setiap kelainan yang
ditemukan akibat defisiensi yodium (Bachtiar, 2009). Yodium merupakan salah satu
mineral yang diperlukan tubuh dalam jumlah kecil tetapi mempunyai fungsi penting
untuk kehidupan. Yodium yang ada di kelenjar tiroid digunakan untuk menyintesis
hormon tiroksin, tetraiodotironin (T4), dan triiodotironin (T3). Hormon tersebut
diperlukan untuk pertumbuhan normal, perkembangan fisik, dan mental manusia
(Almatsier, 2004).
Kekurangan yodium pada ibu hamil menyebabkan abortus, lahir mati,
kelainan bawaan pada bayi, meningkatnya angka kematian perinatal dan melahirkan
bayi kretin (Supariasa, dkk. 2001). Perkembangan otak terjadi dengan pesat pada
janin dan anak sampai usia 2 tahun. Karena itu ibu hamil penderita GAKY meskipun
masih pada tahap ringan dapat berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak
(Arisman, 2007). Hasil penelitian Hartono (2002) menunjukkan perkembangan bayi
yang dilahirkan oleh ibu hamil yang kekurangan yodium mengalami
keterlambatansampai usia 2 tahun. Keterlambatannya meliputi perkembangan motorik
kasar maupun halus, personal-sosial, adaptasi, serta komunikasi.

B. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep

Intake zat gizi*

Langsung

Penyakit Infeksi**

Pola Asuh **

Sanitasi lingkungan **

Pola Konsumsi** Tidak Langsung Status Gizi *

Pelayanan Kesehatan **

Ketersediaan Pangan***

L**
Tingkat Pendapatan Keluarga***
Utama
Tingkat Pendidikan Ibu****
L**
L**
Keterangan:
* : balita, remaja, ibu hamil
** : balita
*** : keluarga
**** : ibu

D. Definisi Operasional

Skala
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur
Ukur
Status gizi Status gizi adalah ukuran Antropometri - BB/U Kategori Z-Score Indeks BB/U
pada balita keberhasilan dalam pemenuhan - TB/U  Berat Badan Sangat Kurang : < -3
(0-59 bln) nutrisi untuk anak yang diindikasikan - BB/TB SD
- TB/U oleh TB dan BB (Almatsier,2003).  Dacin  Berat Badan Kurang : > -3 Sd s/d < Ordinal
- BB/U  Timbangan -2 SD
- BB/TB digital  Berat Badan Normal : > -2 SD s/d
- IMT/U  Form tanggal < +1 SD
lahir  Resiko Berat Badan Lebih : > +1
 AUPB SD
 Mikrotoise (Peraturan Menkes,2020)
Status gizi Status giziadalah status kesehatan Antropometri  IMT/U Kategori Z-Score Indeks IMT/U Ordinal
pada remaja yang dihasilkan oleh keseimbangan Hb  Timbangan  -3 s/d – 2 SD Gizi Kurang
putri antara kebutuhan dan masukan digital  -2 s/d + 1 SD Gizi Baik (normal)
nutrient.(Beck,2000:1)
(12-18thn)  Mikrotoa  +1 s/d +2 SD Gizi Lebih
 Form  > +2 SD Obesitas
penimbangan  Perempuan : 12-16gr/dL
 alat Cek Hb (Peraturan Menkes, 2020)

Status gizi ibu Status gizi adalah suatu keadaan Antropometri  LILA 1. KEK < 23,5 cm Ordinal
hamil keseimbangan dalam tubuh sebagai Hb  alat cek Hb 2. Normal ≥23,5 cm
alat pemasukan kosumsi makanan 3. Hb > 11gr/dL
dan penggunaan zat-zat gizi yang Trimester 1 : 11,6-13,9 gr/dL
digunakan oleh tubuh unutk Trimester 2 : 9,7 – 14,8 gr/dL
kelansungan hidup dalam Trimester 3 : 9,5-15 gr/dL
mempertahankan fungsi-fungsi
organ. (Depkes RI,2013)

Penyakit Penyakit infeksi merupakan satu Wawancara  Kuesioner Dikategorikan menjadi : Nominal
infeksi balita kumpulan jenis-jenis penyakit yang  Pernah Terinfeksi
mudah menyerang khususnya anak- Jika mengalami salah satu dari
anak di indonesia yang disebabkan penyakit infeksi dalam 3 bulan
oleh infeksi virus, infeksi bakteri, terakhir
infeksi parasit. Penyakit infeksi yang  Tidak pernah Terinfeksi
mempengaruhi status gizi balita sejak Jika tidak pernah mengalami
3 bulan terakhir. (Rampengan, keluhan dari semua penyakit infeksi
1997). dalam 3 bulan terakhir
Contoh dari penyakit infeksi,
yaitu : ISPA, diare, pneumonia,
difteri, campak, TBC, cacar air,
tetanus, demam tifoid).
Asupan balita  Asupan adalah semua jenis Wawancara  Form SQ-FFQ Baik : Ordinal
makanan dan minuman yang (Semi  Makanan pokok : 3p x hari
dikonsumsi tubuh setiap hari. Quantitative-  Protein Nabati : 1p x hari
(sumarno, dkk dalam Gizi Food Frequency  Protein Hewani :1p x hari
Indonesia 1990) Questioners)  Sayuran : 1,5 p x hari
 Buah : 3p x hari

Cukup : Jika asupan yang dikonsumsi


≥80% AKG
Kurang : Jika asupan yang
dikonsumsi <80% AKG
Asupan  Asupan adalah semua jenis Wawancara  Form SQ-FFQ Baik : Ordinal
remaja putri makanan dan minuman yang (Semi  Makanan pokok : 5 x hari
dikonsumsi tubuh setiap hari. Quantitative-  Protein Nabati : 3 x hari
(sumarno, dkk dalam Gizi Food Frequency  Protein Hewani : 3 x hari
Indonesia 1990) Questioners)  Sayuran : 3 x hari
 Buah : 4 x hari

Cukup : Jika asupan yang dikonsumsi


≥80% AKG
Kurang : Jika asupan yang
dikonsumsi <80% AKG
Asupan ibu  Asupan adalah semua jenis Wawancara  Form SQ-FFQ Baik : Ordinal
hamil makanan dan minuman yang (Semi  Makanan pokok : 6p x hari
dikonsumsi tubuh setiap hari. Quantitative-  Protein Nabati : 4p x hari
(sumarno, dkk dalam Gizi Food Frequency  Protein Hewani :3p x hari
Indonesia 1990) Questioners)  Sayuran : 4p x hari
 Buah : 4p x hari
 Susu : 1p

Cukup : Jika asupan yang dikonsumsi


≥80% AKG
Kurang : Jika asupan yang
dikonsumsi <80% AKG
Pola konsumsi Pola konsumsi merupakan informasi Wawancara  Form SQ-FFQ Baik : Ordinal
anak tentang jenis dan frekuensi pangan (Semi  Makanan pokok : 3p x hari
yang di konsumsi oleh seseorang atau Quantitative-  Protein Nabati : 1p x hari
kelompok orang pada waktu tertentu. Food Frequency  Protein Hewani :1p x hari
(Baliwati,dkk.2004:69-70). Questioners)  Sayuran : 1,5 p x hari
 Buah : 3p x hari
Cukup : Jika asupan yang dikonsumsi
≥80% AKG
Kurang : Jika asupan yang dikonsumsi
<80% AKG

Pola konsumsi Pola konsumsi merupakan informasi Wawancara  Form SQ-FFQ Baik : Ordinal
dan konsumsi tentang jenis dan frekuensi pangan (Semi  Makanan pokok : 5 x hari
fe remaja putri yang di konsumsi oleh seseorang atau Quantitative-  Protein Nabati : 3 x hari
kelompok orang pada waktu tertentu. Food Frequency  Protein Hewani : 3 x hari
(Baliwati,dkk.2004:69-70). Questioners)  Sayuran : 3 x hari
 Buah : 4 x hari

Cukup : Jika asupan yang dikonsumsi


≥80% AKG
Kurang : Jika asupan yang dikonsumsi
<80% AKG
Pola konsumsi Pola konsumsi merupakan informasi Wawancara  Form SQ-FFQ Baik : Ordinal
ibu hamil tentang jenis dan frekuensi pangan (Semi  Makanan pokok : 6p x hari
yang di konsumsi oleh seseorang atau Quantitative-  Protein Nabati : 4p x hari
kelompok orang pada waktu tertentu. Food Frequency  Protein Hewani :3p x hari
(Baliwati,dkk.2004:69-70). Questioners)  Sayuran : 4p x hari
 Buah : 4p x hari
 Susu : 1p

Cukup : Jika asupan yang dikonsumsi


≥80% AKG
Kurang : Jika asupan yang dikonsumsi
<80% AKG
Pola asuh Pola asuh merupakan cara pengasuh Wawancara Kuesioner Dikelompokkan dalam 2 kategori : Nominal
anak anak yang merupakan kegiatan dalam 1. Baik,bila > 75% jawaban benar
usaha memelihara, membimbing, 2. Rendah, bila <75% jawaban benar
membina, dan melindungi anak
dalam memberi makanan anaknya
untuk kelangsungan hidup,
berkembang dan mencapai
pertumbuhan yang serasi, selaras, dan
seimbang baik fisik maupun mental. .
( Shochib, 2010.)
Pola asuh ini terbagi :
a. Pola Asuh Makan
Adalah cara makan seseorang
atau sekelompok orang dalam
memilih makanan dan
memakanannya sebagai
tanggapan terhadap pengaruh
fisiologi, psikologi, budaya, dan
sosial ( Waryana, 2010 ). Untuk
kebutuhan pangan atau gizi
balita, ibu menyiapkan diri sejak
prenatal dalam mengatur dietnya
selama kehamilan, masa
neonatal berupa pemberian ASI,
menyiapkan makanan tambahan
berupa maknan padat yang lebih
bervariasi bahannya atau
makanan yang diperkaya, dan
dukungana emosional untuk
anak ( Kartini, 2006 )

b. Pola asuh hygiene dan sanitasi


Cara seseorang atau sekelompok
orang dalam mengambil
tindakan atau upaya untuk
meningkatkan kebersihan dan
keehatan melalui pemeliharaan
dini setiap individu
c. Pola asuh kesehatan
ada atau tidaknya bayi dan balita Wawancara Kuisioner Baik jika : ya
dating ke posyandu. Kurang jika : tidak
- Imunisasi
Wawancara Kuisioner Imunisasi :
- Baik jika lengkap melakukan
imunisasi sesuai umur
Tidak baik jika imunisasi tidak
lengkap sesuai umur

Pelayanan Upaya yang dalam suatu organisasi


Kesehatan untuk memelihara dan meningkatkan Posyandu:
Balita kesehatan, mencegah dan  Baik jika ≥ 4 kali selama 6 bulan
menyembuhkan penyakit perorangan,  Kurang jika < 4 kali selama 6 bulan
keluarga, kelompok dan ataupun
masyarakat (Notoatmodjo, 2008). Wawancara Kuesioner Ordinal

 Penimbangan /posyandu
 PMT Wawancara Kuesioner  Baik :Jika diberikan PMT pada Ordinal
balita
 Tidak baik : Jika tidak diberikan
PMT pada balita

 Penyuluhan atau konsultasi Wawancara Kuesioner  Baik : Jika pernah mendapatkan Ordinal
gizi penyuluhan/konsultasi gizi
 Tidak baik : Jika tidak pernah
mendapatkan
penyuluhan/konsultasi gizi
 Pemberian vitamin A Wawancara Kuesioner  Baik :Jika diberikan sesuai umur Ordinal
dan jadwal pemberian vit A setiap
bulan Februari dan Agustus.
 Tidak baik :Jika tidak diberikan
sesuai umur dan jadwal pemberian
vit A setiap bulan Februari dan
Agustus.
Ketersediaan  Ketersediaan pangan adalah Wawancara Kuesioner Dikelompokkan dalam 3 kategori : Ordinal
Pangan tersedianya pangan di tingkat Besar sama 60% (18 poin) : baik
Rumah Rumah tangga untuk beberapa 59-50% (15 poin) : cukup
Tangga hari dalam segi jumlah dan Kecil dari 50% (dibawah 15 poin) :
mutu yang memadai serta buruk
merata,aman dan terjangkau
(Badan Urusan Logistic,
2001)
Tingkat  Tingkat pendidikan adalah Wawancara Kuesioner Dikelompokkan dalam 6 kategori : Ordinal
Pendidikan tahapan pendidikan 1. Tidak sekolah
Ibu berkelanjutan, yang sudah 2. Tidak tamat SD
ditetapkan oleh lembaga 3. SD
terkait berdasarkan tingkat 4. SMP
perkembangan peserta didik, 5. SMA
tingkat kesulitan bahan 6. Pendidikan Tinggi
pengajar, dan cara penyajian
bahan pelajaran.
Tingkat  Tingkat pendidikan adalah Wawancara Kuesioner Dikelompokkan dalam 6 kategori : Ordinal
Pendidikan tahapan pendidikan 7. Tidak sekolah
Ibu hamil berkelanjutan, yang sudah 8. Tidak tamat SD
ditetapkan oleh lembaga 9. SD
terkait berdasarkan tingkat 10. SMP
perkembangan peserta didik, 11. SMA
tingkat kesulitan bahan 12. Pendidikan Tinggi
pengajar, dan cara penyajian
bahan pelajaran.
Tingkat  Pendapatan keluarga adalah Wawancara Kuesioner Dinyatakan dalam satuan rupiah : Interval
Pendapatan Rata-rata jumlah penghasilan 1. Golongan Atas : Rp 2.600.000 –
Keluarga keluarga dalam 1 bulan 3.500.000 / bulan
(Badan Pusat Statistik,2012) 2. Golongan Menengah : Rp
1.500.000 - Rp 2.500.000 / bulan
Golongan Bawah :  Rp 1.500.000
E. Hipotesis

1. Ada hubungan asupan dengan status gizi balita (0-59 bulan) di Kabupaten Pesisir
Selatan tahun 2021.
2. Ada hubungan penyakit infeksi dengan status gizi balita (0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
3. Ada hubungan pola konsumsi dengan status gizi balita (0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
4. Ada hubungan pelayanan kesehatan dengan status gizi balita (0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
5. Ada ketersediaan pangan rumah tangga dengan status gizi balita (0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
6. Ada hubungan pola asuh dengan status gizi balita (umur 0-59 bulan) di
Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
7. Ada hubungan tingkat pendapatan keluarga dengan status gizi balita (0-59 bulan)
di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
8. Ada hubungan asupan Fe dengan status gizi remaja putri di Kabupaten Pesisir
Selatan tahun 2021.
9. Ada hubungan pola konsumsi dengan status gizi remaja putri di Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
10. Ada hubungan asupan dengan status gizi ibu hamil di Kabupaten Pesisir Selatan
tahun 2021.
11. Ada hubungan penyakit infeksi dengan status gizi ibu hamil di Kabupaten Pesisir
Selatan tahun 2021.
12. Ada hubungan pola konsumsi dengan status gizi ibu hamil di Kabupaten Pesisir
Selatan tahun 2021.
13. Ada hubungan tingkat pendidikan ibu hamil dengan status gizi balita (0-59
bulan) di Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

1. Design penelitian
PKL PPG (Program Perencanaan Gizi) ini bersifat analitik dengan desain
cross sectional study yaitu jenis penelitian yang mengamati data-data populasi
atau sampel satu kali saja pada saat yang sama dengan mempelajari faktor-faktor
yang berhubungan dengan status gizi pada keluarga yang memiliki balita (0-59
bulan), remaja wanita dan ibu hamil di Kecamatan XI Koto Tarusan , Kabupaten
Pesisir Selatan tahun 2021.
2. Lokasi dan waktu
PKL PPG (Program Perencanaan Gizi) ini akan dilaksanakan di
Kecamatan XI Koto Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021, di
Kecamatan ini terdapat dua wilayah kerja Puskesmas yakni Wilayah Kerja
Puskesmas Tarusan dan Wilayah Kerja Puskesmas Barung-barung Balantai.
Wilayah kerja Puskesmas Tarusan diantaranya terdapat Nagari Setara Nanggalo
dengan kampung Teluk Raya, dan Sungai Tawar, dan Nagari Batu Hampar
dengan Kampung Batu Hampa dan Parak Batu Patah. Serta Wilayah Kerja
Puskesmas Barung-barung balantai terdapat Nagari Siguntur Tua, Nagari Duku
dengan Kampung Duku, Benteng dan Koto Lua.
Waktu pelaksanaan PKL PPG (Program Perencanaan Gizi) ini dilakukan
pada tanggal 8 –14 Februari 2020.
Tahap-tahap Penyusunan PKL PPG (Program Perencanaan Gizi) ini
yaitu, pada minggu I pembekalan, minggu II-III pembuatan proposal, minggu
IV-V pembuatan kuisoner, minggu VI uji coba di lapangan dan pembuatan
template, minggu VII memvalidasi kuisioner terkait uji coba yang dilakukan,
minggu IX pengumpulan data di lapangan, minggu X- XII pengolahan data,
mingguXIII- XVI persentasi hasil PKL PPG (Program Perencanaan Gizi).
3. Populasi dan sampel
a) Populasi
Populasi pada pengumpulan data dasar ini adalah seluruh keluarga yang
memiliki balita (0-59 bulan), dan remaja wanita serta semua ibu hamil di
Kecamatan Koto XI Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan tahun 2021.
b) Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel pada penelitian ini adalah
balita (0-59 bulan), ibu hamil, remaja putri.
Rumus pengambilan sampel yang digunakan adalah :

n=

Keterangan :
n= jumlah sampel
d= presisi / derajat akurasi yang diinginkan (15%)
Z1-α/2 = nilai kurva normal pada CI (Confidence interval ) 95% = 1,96
P= Prevalensi balita kecamatan
Dari hasil perhitungan besar sampel adalah X. Jadi besar sampel minimal
adalah X orang. Bagi jorong yang mencukupi jumlah sampel, setiap mahasiswa
diharuskan mendapatkan sampel X KK balita.
Pengambilan sampel menggunakan teknik Simple Random Sampling.

Sampel dalam penelitian ini diambil dari jumlah populasi yang memenuhi
kriteria sampel yang ditetapkan oleh peneliti. Sampel adalah KK yang
mempunyai anak balita, di dalam KK yang mempunyai anak SD, remaja (SMP
dan SMA). Sedangkan ibu hamil diambil secara keseluruhan.

Kriteria inklusi yaitu :

a. Bersedia menjadi responden.


b. Berada ditempat saat penelitian berlangsung.
c. Tinggal di Kecamatan X selama lebih dari 6 bulan.
d. Balita umur 0 – 59 bulan.
Kriteria eksklusi yaitu :
a. Balita (umur 6-59 bulan) yang ibunya telah meninggal dunia.
b. Keluarga balita yang hanya singgah dan tidak ingin menetap disana.
4. Teknik pengumpulan data
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari responden.
Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti mahasiswi tingkat III S1
Terapan Jurusan Gizi sebanyak 33 orang yang terbagi dalam jorong.
Adapun pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Teknik pengumpulan data primer

No. Variabel Cara Pengumpulan

Pengukuran antropometri dengan menggunakan alat


1. Data status gizi microtoise, AUPB, dacin, timbangan digital berat badan,
form tanggal lahir

2. Data asupan Wawancara dengan Recall 24 jam secara berulang

3. Data penyakit infeksi Wawancara dengan menggunakan kuesioner

4. Data pola asuh anak Wawancara dengan menggunakan kuesioner

5. Data pola konsumsi Wawancara dengan menggunakan format SQ-FFQ

6. Data pelayanan kesehatan Wawancara dengan menggunakan kuesioner

Data Ketersediaan pangan


7. Wawancara dengan menggunakan kuesioner
rumah tangga

Data tingkat pendidikan


8. Wawancara dengan menggunakan kuesioner
ibu

9. Data tingkat pendapatan Wawancara dengan menggunakan kuesioner


keluarga

Dalam mengumpulkan data antropometri kita menggunakan timbangan digital


untuk mengukur berat badan sedangkan untuk mengukur tinggi badan kita
menggunakan mikrotoa dan AUPB. 

Saat melakukan pengukuran berat badan dipastikan terlebih dahulu timbangan


digital yang dipakai sudah di kalibrasi dan penimbangan dilakukan dengan benar.
Sebelum responden ditimbang dilihat terlebih dahulu apakah terdapat aksesoris yang
memberatkan seperti dompet, jam tangan dsb diletakkan terlebih dahulu serta alas kaki
dilepaskan, angka pada timbangan digital sudah menunjukan angka nol, barulah
responden ditimbang dan di dapatkan pengukuran berat badan. Sedangkan untuk
melakukan pengukuran tinggi badan anak dibawah 2 tahun menggunakan alat AUPB,
dipastikan sebelum menggunakan alat, alat tidak macet agar bisa digunakan dengan
baik. Anak yang akan di ukur tinggi badannya dipastikan tidak memakai aksesoris
kepala dan alas kaki. AUPB diletakkan di tempat yang datar lalu anak di letakkan,
dipastikan kepala anak menyentuh ujung AUPB, kaki dalam keadaan lurus dan ujung
telapak kaki menyentuh ujung bawah AUPB. Untuk pengukuran tinggi badan anak
diatas 2 tahun dan orang dewasa dapat menggunakan mikrotoa. Sebelum menggunakan
alat dipastikan alat tersebut sudah dikalibrasi. Mikrotoa tidak macet dan skala nya
berada di angka nol. Mikrotoa di pasang pada dinding yang datar serta lantai nya juga
datar. Responden yang akan di ukur melepas alas kaki dan sanggul, responden berdiri
lurus. Saat pengukuran kepala bagian belakang, bahu, panggul dan tumit menyentuh
pada dinding. Ujung mikrotoa membentuk sudut 90 derajat pada saat menyentuh
kepala. 

b. Data sekunder
Data sekunder adalah data pelengkap dari data primer yang ada relevansinya
dengan penelitian. Data sekunder mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
status gizi keluarga di Kecamatan X, Kabupaten Pesisir selatan. Data yang  di dapat
meliputi jumlah balita pada tahun 2020, status gizi, serta kenaikan prevalensi status gizi
setiap tahun di Kecamatan X, Kabupaten Pesisir Selatan Tahun 2020. Data gambaran
umum lokasi yang dijadikan tempat penelitian dan data mengenai jumlah balita diperoleh
dari data puskesmas dan dinas kesehatan kabupaten.
5. Teknik pengolahan data

Pengolahan data hasil penelitian dilakukan secara manual dan komputerisasi


dengan menggunakan program yang sesuai. Pengolahan data dapat dilakukan setelah
terkumpulnya data primer yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Editing (Pemeriksaan Data)

Setelah kuesioner diisi, maka setiap jawaban pada kuesioner diperiksa


kelengkapan isi jawaban dari setiap pertanyaannya. Hal ini bertujuan untuk
melengkapi data yang kurang sebelum pengolahan data.

2. Coding (Pemberian Kode)

Setelah editing selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah pemberian kode


dan skor pada item-item jawaban dilembaran kuesioner dan kemudian dimasukkan
kedalam master tabel.

3. Entry

Setelah dilakukan pengskoran sesuai pertanyaan kuesioner maka data diolah


dengan program komputer SQ-FFQ dan SPSS, dan dicari distribusi frekuensi 

4. Cleaning (Pembersihan data)

Setelah itu, data yang sudah dimasukkan diteliti kembali untuk menghindari
kemungkinan terjadinya kesalahan yang bisa saja terjadi saat memasukkan data ke
komputer dengan mempertimbangkan kesesuaian jawaban dengan maksud kuesioner.

6. Analisis data

Untuk menganalisis data dilakukan dengan dua tahap yaitu analisis univarat
dan analisis bivariat
a.  Analisis Univariat

Bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik dari masing-masing variabel


penelitian. Data tersebut meliputi karakteristik status gizi yang diteliti diantaranya
pola konsumsi, penyakit infeksi, pola asuh, pelayanan kesehatan, dan ketersediaan
pangan dan tingkat pengetahuan ibu, tingkat ekonomi keluarga melalui hasil
pengukuran antropometri, pengisian kuesioner dan format SQ-FFQ makanan
balita.remaja putrid an ibu hamil. Data-data tersebut akan dijelaskan dengan
menggunakan tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil yang diperoleh. 

b.  Analisis Bivariat

Dilakukan terhadap dua variable yang diduga berhubungan, yaitu variable


independen dan variable dependen dengan menggunakan uji chi square dengan
tingkat kepercayaan 95%.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi


1. Geografis
Jorong Batu Hampa Kecamatan Koto XI Tarusan merupakan salah satu
jorong yang terdapat di Pesisir Selatan Provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
2. Demografi
Jumlah penduduk yang ada di Jorong Batu Hampa yaitu - orang. Pada
umumnya penduduk Jorong Batu Hampa merupakan penduduk asli Minang.
Pekerjaan penduduk Jorong Batu Hampa pada umumnya nelayan, petani, buruh dan
wiraswasta.
3. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang terdapat di Jorong Batu Hampa adalah sebagai
berikut :
1. Sarana Jalan
2. Sarana Kesehatan
a. Posyandu
b. Praktik bidan desa
c. Puskesmas
3. Sarana pendidikan
a. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
b. TK
c. SD
d. SMP
e. SMA
4. Sarana Peribadatan
a. Masjid
b. Musholla

4. Identitas Sampel
Jumlah sampel balita di Jorong Batu Hampa sebanyak 46 orang balita, 43
orang ibu hamil dan 25 remaja putri.
a. Segmen Balita
4.1.1

DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI PENYAKIT


INFEKSI DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Penyakit

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Ya 1 2.2 2.2 2.2

Tidak 45 97.8 97.8 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.1 diperoleh sebanyak 1 orang (2,2%) dengan kategori penyakit
infeksi dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.2
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KETERSEDIAAN KH DI
NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Ketersediaan KH

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Agak Sulit 9 19.6 19.6 19.6

Tidak Sulit 37 80.4 80.4 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.2 diperoleh sebanyak 37 orang (80,4%) dengan kategori tidak
sulit dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.3
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KETERSEDIAAN PROTEIN
DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Kategori Ketersediaan Protein

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Agak Sulit 15 32.6 32.6 32.6

Tidak Sulit 31 67.4 67.4 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.3 diperoleh sebanyak 31 orang (67,4%) dengan kategori tidak
sulit dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.4
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KETERSEDIAAN LEMAK DI
NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Ketersediaan Lemak

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Agak Sulit 10 21.7 21.7 21.7

Tidak Sulit 36 78.3 78.3 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.4 diperoleh sebanyak 36 orang (78,3%) dengan kategori tidak
sulit dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.5
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KETERSEDIAAN SAYUR DI
NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Ketersediaan Sayur

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Agak Sulit 46 100.0 100.0 100.0


Berdasarkan Tabel 4.1.5 diperoleh sebanyak 46 orang (100%) dengan kategori agak sulit
dari total 46 di Jorong Batu Hampa.

4.1.6
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KETERSEDIAAN BUAH DI
NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Ketersediaan Buah

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Agak Sulit 44 95.7 95.7 95.7

Tidak Sulit 2 4.3 4.3 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.6 diperoleh sebanyak 2 orang (4,3%) dengan kategori tidak sulit
dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.7

DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KETERSEDIAAN SERBA


SERBI DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Ketersediaan Serba-Serbi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Agak Sulit 22 47.8 47.8 47.8

Tidak Sulit 24 52.2 52.2 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.7 diperoleh sebanyak 24 orang (52,2%) dengan kategori tidak
sulit dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.
4.1.8

DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KETERSEDIAAN GULA DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Kategori ketersediaan gula

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Agak Suit 24 52.2 52.2 52.2

Tidak Sulit 22 47.8 47.8 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.8 diperoleh sebanyak 22 orang (47,8%) dengan kategori tidak
sulit dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.9
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KETERSEDIAAN MINYAK
DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Ketersediaan Minyak

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Agak Sulit 30 65.2 65.2 65.2

Tidak Sulit 16 34.8 34.8 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.9 diperoleh sebanyak 16 orang (34,8%) dengan kategori tidak
sulit dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.10
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN TINGKAT EKONOMI
KELUARGA DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Tingkat Ekonomi Keluarga

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Rendah 41 89.1 91.1 91.1

Cukup 4 8.7 8.9 100.0

Total 45 97.8 100.0

Total 46 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.10 diperoleh sebanyak 41 orang (89,1%) dengan kategori rendah
dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.11
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN
ENERGI DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Energi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Defisit 9 19.6 22.0 22.0

Sedang 4 8.7 9.8 31.7

Ringan 4 8.7 7.3 39.0

Normal 14 30.4 34.1 73.2

Lebih 11 23.9 26.8 100.0

Total 42 91.3 100.0

Missing System 4 8.7

Total 46 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.11 diperoleh sebanyak 9 orang (19,6%) dengan kategori kurang,
diperoleh sebanyak 4 orang (8,7%) dengan kategori sedang dan ringan, sebanyak 14 orang
(30,4%) dengan kategori normal, diperoleh sebanyak 11 orang (23,9%) dengan kategori lebih
dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.12
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN
PROTEIN DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Protein

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Defisit 2 4.3 4.8 4.8

Sedang 1 2.2 2.4 7.1

Ringan 1 2.2 2.4 9.5

Normal 8 17.4 19.0 28.6

Lebih 30 65.2 71.4 100.0

Total 42 91.3 100.0

Missing System 4 8.7

Total 46 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.12 diperoleh sebanyak 2 orang (4,3%) dengan kategori kurang,
diperoleh sebanyak 1 orang (2,2%) dengan kategori sedang dan ringan, sebanyak 8 orang
(17,4%) dengan kategori normal, diperoleh sebanyak 30 orang (65,2%) dengan kategori lebih
dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.13

DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN


LEMAK DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Kategori Asupan Lemak

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Defisit 22 47.8 52.4 52.4

Sedang 6 13.0 14.3 66.7

Normal 4 8.7 9.5 76.2

Lebih 10 21.7 23.8 100.0

Total 42 91.3 100.0

Missing System 4 8.7

Total 46 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.13 diperoleh sebanyak 22 orang (47,8%) dengan kategori kurang,
diperoleh sebanyak 6 orang (13,0%) dengan kategori sedang, diperoleh sebanyak 4 orang
(8,7%) dengan kategori normal, sebanyak 10 orang (21,7%) dengan kategori lebih dari total
46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

4.1.14
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN KH DI
NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Kategori Asupan KH

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Defisit 14 30.4 34.1 34.1

Sedang 3 6.5 7.3 41.5

Ringan 2 4.3 4.9 46.3

Normal 9 19.6 22.0 68.3

Lebih 13 28.3 31.7 100.0

Total 42 91.3 100.0

Missing System 4 8.7

Total 46 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.14 diperoleh sebanyak 14 orang (30,4%) dengan kategori kurang,
diperoleh sebanyak 3 orang (6,5%) dengan kategori sedang, diperoleh sebanyak 2 orang
(4,3%) dengan kategori ringan, diperoleh sebanyak 9 orang (19,6%) dengan kategori normal,
sebanyak 13 orang (28,3%) dengan kategori lebih dari total 46 orang balita di Jorong Batu
Hampa.

4.1.15

DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN


VITAMIN A DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Vitamin A

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 42 91.3 100.0 100.0

Missing System 4 8.7

Total 46 100.0
Berdasarkan Tabel 4.1.15 diperoleh diperoleh sebanyak 42 orang (91,3%) dengan
kategori kurang dari total 46 orang balita di Jorong Batu Hampa.

Tabel 4.1.16
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN FE DI
NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan FE

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 34 73.9 73.9 73.9

Cukup 12 26.1 26.1 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.16 diperoleh sebanyak 34 orang (73,9%) dengan kategori kurang,
diperoleh sebanyak 12 orang (26,1%) dengan kategori cukup, di Jorong Batu Hampa
Tabel 4.1.17

DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN ZINK


DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Zink

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 22 47.8 47.8 47.8

Cukup 24 52.2 52.2 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.17 diperoleh sebanyak 22 orang (47,8%) dengan kategori kurang,
diperoleh sebanyak 24 orang (52,2%) dengan kategori cukup, di Jorong Batu Hampa

Tabel 4.1.18
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN
MAGNESIUM DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Magnesium

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 46 100.0 100.0 100.0

Total 46 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.18 diperoleh sebanyak 46 orang (100%) dengan kategori kurang
di Jorong Batu Hampa.

Tabel 4.1.19
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI IMT DI NAGARI
BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori IMT

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Gizi Buruk 1 2.2 2.2 2.2

Gizi Kurang 3 6.5 6.5 8.7

Gizi Normal 38 82.6 82.6 91.3

Gizi Lebih 3 6.5 6.5 97.8

Obesitas 1 2.2 2.2 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.19diperoleh sebanyak 1 orang (2,2%) dengan kategori gizi buruk,
diperoleh sebanyak 3 orang (6,5%) dengan kategori gizi kurang, sebanyak 38orang (82,6%)
dengan kategori normal, sebanyak 3 orang (6,5%) dengan kategori gizi, dan sebanyak1 orang
(2,2%) dengan kategori obesitas, di Jorong Batu Hampa

Tabel 4.1.20
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI BB DI NAGARI
BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori BB

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 11 23.9 23.9 23.9

Normal 31 67.4 67.4 91.3

Resiko Lebih 4 8.7 8.7 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.20 diperoleh sebanyak 11 orang (23,9%) dengan kategori kurang,
sebanyak 31orang (67,4%) dengan kategori normal, dan sebanyak 4 orang (8,7%) dengan
kategori resiko lebih di Jorong Batu Hampa.

Tabel 4.1.21

DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI TB DI NAGARI


BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori TB

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Sangat Pendek 10 21.7 21.7 21.7

Pendek 8 17.4 17.4 39.1

Normal 28 60.9 60.9 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.21 diperoleh sebanyak 10 orang (21,7%) dengan kategori sangat
pendek, diperoleh sebanyak 8 orang (17,4%) dengan kategori pendek, dan sebanyak 28 orang
(60,91%) dengan kategori normal di Jorong Batu Hampa
Tabel 4.1.22
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN SKOR PENGETAHUAN IBU
DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Total Skor Pengetahuan Ibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid 1 1 2.2 2.2 2.2

7 1 2.2 2.2 4.3

8 2 4.3 4.3 8.7

9 4 8.7 8.7 17.4

10 11 23.9 23.9 41.3

11 6 13.0 13.0 54.3

12 9 19.6 19.6 73.9

13 2 4.3 4.3 78.3

14 5 10.9 10.9 89.1

15 5 10.9 10.9 100.0

Total 46 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.22 diperoleh bahwa frequensi terendah yaitu 1 orang (2,2%)
sedangkan diperoleh frekuensi tertinggi sebanyak 11 orang (23,9%) dimana data tersebut
dimana jumlah frequensi balita sebanyak 46 orang di Jorong Batu Hampa

Tabel 4.1.23
DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN KATEGORI FREKUENSI
ASI DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Kategori Frekuensi ASI

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 36 78.3 81.8 81.8

Cukup 10 21.7 18.2 100.0

Total 46 100.0 100.0

Total 46 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.23 diperoleh sebanyak 36 orang (78,3%) dengan kategori kurang,
diperoleh sebanyak 10orang (21.7%) dengan kategori cukup, di Jorong Batu Hampa
Tabel 4.1.24

DISTRIBUSI FREKUENSI BALITA BERDASARKAN POLA ASUH IBU DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Pola Asuh Ibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Rendah 43 93.5 97.7 97.7

Baik 3 6.5 2.3 100.0

Total 46 100.0 100.0

Total 46 100.0

Berdasarkan Tabel 4.1.24 diperoleh 43 orang (93,5%) dengan kategori pola asuh ibu
kurang dari total 46 balita, dengan kategori pola asuh ibu baik diperoleh sebanyak 3 orang
(6,5%) di Jorong Batu Hampa.

Tabel 4.1.25

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN ENERGI BALITA DI NAGARI


BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori Asupan
Kategori IMT Energi

Kategori IMT Pearson Correlation 1 -.254

Sig. (2-tailed) .109

N 46 41

Kategori Asupan Energi Pearson Correlation -.254 1

Sig. (2-tailed) .109

N 41 41

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan asupan
energi yaitu -0.254< r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
status gizi dengan asupan energi balita atau korelasi antara kedua variabel. Sejalan dengan
hubungan asupan energi balita dengan asupan dengan kategori IMT yaitu -0.254< r tabel
0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan asupan energi balita sebesar 0,109> 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang
signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan karbohidrat balita
terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.26

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN PROTEIN BALITA DI NAGARI


BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori Asupan
Kategori IMT Protein

Kategori IMT Pearson Correlation 1 -.077

Sig. (2-tailed) .629

N 46 42

Kategori Asupan Protein Pearson Correlation -.077 1

Sig. (2-tailed) .629

N 42 42

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan asupan
protein yaitu -0.077< r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara status gizi dengan asupan protein balita atau korelasi antara kedua variabel. Sejalan
dengan hubungan asupan protein balita dengan kategori IMT yaitu -0,077 < r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan asupan Protein balita sebesar 0,629> 0,05 maka tidak terdapat korelasi
yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan protein balita
dengan kategoriIMT.

Tabel 4.1.27

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN LEMAK BALITA DI NAGARI


BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori Asupan
Kategori IMT Lemak

Kategori IMT Pearson Correlation 1 -.163

Sig. (2-tailed) .303

N 46 42

Kategori Asupan Lemak Pearson Correlation -.163 1

Sig. (2-tailed) .303

N 42 42

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan asupan
lemak yaitu -0.163< r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
status gizi dengan asupan lemak balita atau korelasi antara kedua variabel. Sejalan dengan
hubungan asupan lemak balita dengan kategori IMT yaitu -0,163< r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan asupan Protein balita sebesar 0,303> 0,05 maka tidak terdapat korelasi
yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan lemak balita
dengan kategoriIMT.

Tabel 4.1.28
HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN KH BALITA DI NAGARI BATU
HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori Asupan
Kategori IMT KH

Kategori IMT Pearson Correlation 1 -.071

Sig. (2-tailed) .657

N 46 41

Kategori Asupan KH Pearson Correlation -.071 1

Sig. (2-tailed) .657

N 41 41

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan asupan
karbohidrat yaitu -0.071< r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara status gizi dengan asupan karbohidrat balita atau korelasi antara kedua variabel.
Sejalan dengan hubungan asupan karbohidrat balita dengan asupan karbohidrat yaitu -0.071<
r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan asupan karbohidrat balita sebesar 0,657> 0,05 maka tidak terdapat korelasi
yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan karbohidrat balita
terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.29

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN PENYAKIT BALITA DI NAGARI BATU


HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Kategori IMT Penyakit

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .000

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Kategori Penyakit Pearson Correlation .000 1

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan penyakit
yaitu 0< r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi
dengan penyakit balita atau korelasi antara kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara
penyakit balita dengan status gizi yaitu 0< r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan penyakit balita sebesar 1> 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang
signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara penyakit balita terhadap status
gizi balita.

Tabel 4.1.30

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN FREKUENSI ASI BALITA DI NAGARI


BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Kategori IMT Frekuensi ASI

Kategori IMT Pearson Correlation 1 -.104

Sig. (2-tailed) .500

N 46 44

Kategori Frekuensi ASI Pearson Correlation -.104 1

Sig. (2-tailed) .500

N 44 44

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan frekuensi
ASI balita yaitu -0,104< r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara status gizi dengan frekuensi ASI balita atau korelasi antara kedua variabel. Sejalan
dengan hubungan antara frekuensi ASI balita dengan status gizi yaitu -0,104< r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan frekuensi ASI balita sebesar 0,5> 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang
signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara frekuensi ASI balita terhadap
status gizi balita.

Tabel 4.1.31

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN FREKUENSI MAKAN BALITA DI NAGARI


BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Frekuensi
Kategori IMT Makan

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .249

Sig. (2-tailed) .112

N 46 42

Kategori Frekuensi Makan Pearson Correlation .249 1

Sig. (2-tailed) .112

N 42 42

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan frekuensi
makan balita yaitu 0.249 < r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara status gizi dengan frekuensi makan balita atau korelasi antara kedua variabel. Sejalan
dengan hubungan antara frekuensi makan balita dengan status gizi yaitu 0.249 < r tabel
0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan frekuensi makan balita sebesar 0,112 > 0,05 maka tidak terdapat korelasi
yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara frekuensi makan balita
terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.32

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KETERSEDIAAN KH BALITA DI NAGARI


BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Kategori IMT Ketersediaan KH

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .199

Sig. (2-tailed) .186

N 46 46

Kategori Ketersediaan KH Pearson Correlation .199 1

Sig. (2-tailed) .186

N 46 46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan
ketersediaan karbohidrat balita yaitu 0.199 > r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan antara status gizi dengan ketersediaan karbohidrat balita atau adanya korelasi
antara kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara ketersediaan karbohidrat balita
dengan status gizi yaitu 0.199 > r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan ketersediaan karbohidrat balita sebesar 0,186 > 0,05 maka terdapat korelasi
yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara ketersediaan karbohidrat
balita terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.33

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KETERSEDIAAN PROTEIN BALITA DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Ketersediaan
Kategori IMT Protein

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .000

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Kategori Ketersediaan Pearson Correlation .000 1


Protein
Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan
ketersedian protein balita yaitu 0.000 > r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan antara status gizi dengan ketersedian protein balita atau adanya korelasi antara
kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara ketersediaan protein balita dengan status gizi
yaitu 0.000 > r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan ketersediaan protein balita sebesar 1,000 < 0,05 maka tidak terdapat
korelasi yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara ketersediaan
protein balita terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.34

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KETERSEDIAAN LEMAK BALITA DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Ketersediaan
Kategori IMT Lemak

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .000

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Kategori Ketersediaan Pearson Correlation .000 1


Lemak
Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan
ketersedian lemak balita yaitu 0.000 > r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan antara status gizi dengan ketersedian lemak balita atau adanya korelasi antara
kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara ketersediaan lemak balita dengan status gizi
yaitu 0.000 > r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan ketersediaan protein balita sebesar 1,00 > 0,05 maka tidak terdapat
korelasi yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara ketersediaan
lemak balita terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.35

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KETERSEDIAAN SAYUR

BALITA DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021


Correlations

Kategori
Ketersediaan
Kategori IMT Sayur

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .a

Sig. (2-tailed) .

N 46 46

Kategori Ketersediaan Sayur Pearson Correlation .a .a

Sig. (2-tailed) .

N 46 46

a. Cannot be computed because at least one of the variables is constant.

Tidak dapat dihitung

Tabel 4.1.35

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KETERSEDIAAN BUAH BALITA DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Ketersediaan
Kategori IMT Buah

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .000

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Kategori Ketersediaan Buah Pearson Correlation .000 1

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan
ketersedian buah balita yaitu 0.000 < r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan antara status gizi dengan ketersedian buah balita atau korelasi antara kedua
variabel. Sejalan dengan hubungan antara ketersediaan buah balita dengan status gizi yaitu
0.000 < r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan ketersediaan buah balita sebesar 1,000 > 0,05 maka terdapat korelasi yang
signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara ketersediaan buah balita
terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.36

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KETERSEDIAAN SERBA SERBI BALITA DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Ketersediaan
Kategori IMT Serba-Serbi

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .000

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Kategori Ketersediaan Pearson Correlation .000 1


Serba-Serbi
Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan
ketersedian serba-serbi balita yaitu 0.000 > r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa
tidak ada hubungan antara status gizi dengan ketersedian serba-serbi balita atau adanya
korelasi antara kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara ketersediaan serba-serbi
balita dengan status gizi yaitu 0.000 > r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan ketersediaan serba-serbi balita sebesar 1,000 < 0,05 maka tidak terdapat
korelasi yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara ketersediaan
serba-serbi balita terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.37

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KETERSEDIAAN GULA BALITA DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
ketersediaan
Kategori IMT gula

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .000

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Kategori ketersediaan gula Pearson Correlation .000 1

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan
ketersedian gula balita yaitu 0.000 > r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara status gizi dengan ketersedian gula balita atau adanya korelasi antara kedua
variabel. Sejalan dengan hubungan antara ketersediaan gula balita dengan status gizi yaitu
0.000 > r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan ketersediaan protein balita sebesar 1,000 < 0,05 maka tidak terdapat
korelasi yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara ketersediaan gula
balita terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.38

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KETERSEDIAAN MINYAK BALITA DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Ketersediaan
Kategori IMT Minyak

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .083

Sig. (2-tailed) .585

N 46 46

Kategori Ketersediaan Pearson Correlation .083 1


Minyak
Sig. (2-tailed) .585

N 46 46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan
ketersedian minyak balita yaitu 0.083 > r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada hubungan antara status gizi dengan ketersedian minyak balita atau adanya korelasi antara
kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara ketersediaan minyak balita dengan status
gizi yaitu 0.083 > r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan ketersediaan minyak balita sebesar 0,585 < 0,05 maka tidak terdapat
korelasi yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara ketersediaan
minyak balita terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.39

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU BALITA DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Kategori IMT Pengetahuan Ibu

Kategori IMT Pearson Correlation 1 -.208

Sig. (2-tailed) .166

N 46 46

Kategori Pengetahuan Ibu Pearson Correlation -.208 1

Sig. (2-tailed) .166

N 46 46

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui hubungan satus gizi balita dengan tingkat
pengetahuan ibu balita yaitu -0208 > r tabel 0.113. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada
hubungan antara status gizi dengan tingkat pengetahuan ibu balita atau adanya korelasi antara
kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara tingkat pengetahuan ibu balita dengan status
gizi yaitu -0.046 > r tabel 0.113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan tingkat pengetahuan ibu balita sebesar 0,166 < 0,05 maka tidak terdapat
korelasi yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara tingkat
pengetahuan ibu balita terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.40

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN POLA ASU IBU BALITA DI NAGARI BATU
HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori Pola
Kategori IMT Asuh Ibu

Kategori IMT Pearson Correlation 1 -.274

Sig. (2-tailed) .071

N 46 44

Kategori Pola Asuh Ibu Pearson Correlation -.274 1

Sig. (2-tailed) .071

N 44 44

Dari tabel diatas dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan pola asuh Ibu
menghasilkan angka sebesar -0,274 < r tabel 0,113. Maka dapat disimpulkan bahwa antara
status gizi dengan pola asuh Ibu tidak mempunyai hubungan atau korelasi antara kedua
variabel. Sejalan dengan hubungan antara pola asuh Ibu dengan status gizi, yaitu sebesar -
0,274 < r tabel 0,113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan pola asuh Ibu sebesar 0,071 > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang
signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara pola asuh Ibu terhadap status
gizi balita

Tabel 4.1.41

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN TINGKAT EKONOMI KELUARGA BALITA


DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Tingkat Ekonomi
Kategori IMT Keluarga

Kategori IMT Pearson Correlation 1 -.140

Sig. (2-tailed) .359

N 46 45

Tingkat Ekonomi Keluarga Pearson Correlation -.140 1

Sig. (2-tailed) .359

N 45 45

Dari tabel diatas dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan tingkat ekonomi
keluarga menghasilkan angka sebesar -0,140 < r tabel 0,113. Maka dapat disimpulkan bahwa
antara status gizi dengan tingkat ekonomi keluarga mempunyai hubungan atau korelasi antara
kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara tingkat ekonomi keluarga dengan status gizi,
yaitu sebesar -0,140 < r tabel 0,113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan tingkat ekonomi keluarga sebesar 0,359 > 0,05 maka tidak terdapat
korelasi yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara tingkat ekonomi
keluarga terhadap status gizi balita.

Tabel 4.1.42

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KETERSEDIAAN PANGAN DI NAGARI


BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Ketersediaan
Kategori IMT Pangan

Kategori IMT Pearson Correlation 1 .000

Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Kategori Ketersediaan Pearson Correlation .000 1


Pangan
Sig. (2-tailed) 1.000

N 46 46

Dari tabel diatas dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan ketersediaan
pangan menghasilkan angka sebesar 0 < r tabel 0,113. Maka dapat disimpulkan bahwa antara
status gizi dengan tingkat ketersediaan pangan mempunyai hubungan atau korelasi antara
kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara ketersediaan pangan dengan status gizi,
yaitu sebesar 0 < r tabel 0,113.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan ketersediaan pangansebesar 1 > 0,05 maka terdapat korelasi yang
signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara ketersediaan pangan terhadap
status gizi balita.

b. Segmen Remaja Putri


Tabel 4.2.1

DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI STATUS GIZI


DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Status Gizi Remaja Putri

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurus 7 28.0 28.0 28.0

Normal 14 56.0 56.0 84.0

Overweight 3 12.0 12.0 96.0

Obesitas 1 4.0 4.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.1 diperoleh remaja puteri dengan kategori sangat kurus
sebanyak 7 orang ( 28,0 % ), remaja puteri sebanyak 14 orang (56 %) dengan kategori
normal, sebanyak 3 orang ( 12 %) dengan kategori overweight dan sebanyak 1 orang (4%)
dengan kategori obesitas. Frekuensi yang didapat sebesar 25 orang remaja puteri di Jorong
Batu Hampa.
Tabel 4.2.2

DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI KEK


REMATRI DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA

TAHUN 2021
KEK Rematri

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid KEK 16 64.0 64.0 64.0

Normal 9 36.0 36.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.2 diperoleh remaja puteri dengan kategori KEK sebanyak 16
orang (64%), remaja puteri sebanyak 9 orang (36%) dengan kategori normal. Frekuensi yang
didapat sebesar 25 orang remaja puteri di Jorong Batu Hampa.

Tabel 4.2.3

DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI


PENGETAHUAN DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA

TAHUN 2021

Kategori Skor

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 2 8.0 8.0 8.0

Baik 23 92.0 92.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.3 diperoleh remaja puteri dengan pengetahuan kurang


sebanyak 2 orang ( 8 % ), remaja puteri dengan pengetahuan baik sebanyak 92 orang (92 %).
Frekuensi yang didapat sebesar 25 orang remaja puteri di Jorong Batu Hampa.

Tabel 4.2.4
DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN
ENERGI DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA

TAHUN 2021

Kategori Asupan Energi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Defisit 7 28.0 28.0 28.0

Sedang 2 8.0 8.0 36.0

Ringan 2 8.0 8.0 44.0

Normal 6 24.0 24.0 68.0

Lebih 8 32.0 32.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.4 diperoleh remaja puteri terbanyak dengan asupan energi
defisit sebanyak 7 orang ( 28 % ), sementara itu remaja puteri dengan asupan energi normal
sebanyak 6 orang (24 %). Sedangkan untuk remaja puteri dengan asupan energi lebih sebesar
8 orang ( 32 % ). Frekuensi yang didapat sebesar 25 orang remaja puteri di Jorong Batu
Hampa.
Tabel 4.2.5

DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN


PROTEIN DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Kategori Asupan Protein

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent

Valid Defisit 3 12.0 12.0 12.0

Sedang 3 12.0 12.0 24.0

Normal 16 64.0 64.0 88.0

Lebih 3 12.0 12.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 4.2.5 diperoleh remja puteri terbanyak dengan


asupan protein deficit sebanyak 3 orang (12,0%), sementara itu remaja puteri dengan
asupan protein normal sebanyak 16 orang (64%). Sedangkan untuk remaja puteri dengan
asupan protein lebih sebanyak 3 orang (12%). Frekuensi yang didapat sebesar 25 orang
remaj puteri di Jorong Batu Hampa.
Tabel 4.2.6

DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN


LEMAK DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Lemak

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent

Valid Defisit 13 52.0 52.0 52.0

Sedang 2 8.0 8.0 60.0

Ringan 5 20.0 20.0 80.0

Normal 3 12.0 12.0 92.0

Lebih 2 8.0 8.0 100.0

Total 25 100.0 100.0


Berdasarkan Tabel 4.2.6 diperoleh remaja puteri terbanyak dengan asupan lemak
defisit sebanyak 13 orang (52%), sementara itu remaja puteri dengan asupan lemak normal
sebanyak 3 orang (12%). Sedangkan untuk remaja puteri dengan asupan lemak lebih
sebanyak 2 orang (2%). Frekuensi yang didapat sebanyak 25 orang remaja puteri di Jorong
Batu Hampa.

Tabel 4.2.7
DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN KH
DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan KH

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent

Valid Defisit 7 28.0 28.0 28.0

Sedang 2 8.0 8.0 36.0

Ringan 2 8.0 8.0 44.0

Normal 6 24.0 24.0 68.0

Lebih 8 32.0 32.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.7 diperoleh remaja puteri terbanyak dengan asupan


karbohidrat defisit sebanyak 7 orang (28%), sementara itu remaja puteri dengan asupan
karbohidrat normal sebanyak 6 orang (24%). Sedangkan untuk remaja puteri dengan
asupan karbohidrat lebih sebesar 8 orang (32%). Frekuensi yang didapat sebesar 25
orang remaja puteri di Jorong Batu Hampa.

Tabel 4.2.8

DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN


VITAMIN A DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Kategori Asupan Vitamin A

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent

Valid Kurang 25 100.0 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.8 diperoleh seluruh remaja puteri mengalami kurang


asupan vitamin A, yaitu sebanyak 25 orang (100%)

Tabel 4.2.9
DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN FE
DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Fe

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent

Valid Kurang 22 88.0 88.0 88.0

Cukup 3 12.0 12.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.9 diperoleh remaja puteri terbanyak untuk asupan Fe dengan
kategori kurang sebanyak 22 orang (88%), sementara itu remaja puteri dengan asupan Fe
kategori cukup sebanyak 3 orang (12%). Frekuensi yang didapat sebesar 25 orang remaja
puteri di Jorong Batu Hampa,.
Tabel 4.2.10

DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN Zn


DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Zink

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent

Valid Kurang 19 76.0 76.0 76.0


Cukup 6 24.0 24.0 100.0

Total 25 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.10 diperoleh remaja puteri terbanyak untuk asupan Zn dengan
kategori kurang sebanyak 19 orang (76%), sementara itu remaja puteri dengan asupan Zn
kategori cukup sebanyak 6 orang (24%). Frekuensi yang didapat sebesar 25 orang remaja
puteri di Jorong Batu Hampa.

Tabel 4.2.11

DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN


KALSIUM DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Kalsium

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent

Valid Kurang 25 100.0 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.11 diperoleh seluruh remaja puteri mengalami kurang


asupan kalsium, yaitu sebanyak 25 orang (100%)

Tabel 4.2.12

DISTRIBUSI FREKUENSI REMATRI BERDASARKAN KATEGORI ASUPAN


MAGNESIUM DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Kategori Asupan Magnesium

Valid Cumulative
Frequency Percent Percent Percent

Valid Kurang 25 100.0 100.0 100.0

Berdasarkan Tabel 4.2.12 diperoleh seluruh remaja puteri mengalami kurang


asupan magnesium, yaitu sebanyak 25 orang (100%)
Tabel 4.2.13

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN FE PADA REMAJA PUTRI DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021

Correlations

Status Gizi Kategori


Remaja Putri Asupan Fe

Status Gizi Remaja Pearson


1 .205
Putri Correlation

Sig. (2-tailed) .325

N 25 25

Kategori Asupan Fe Pearson


.205 1
Correlation

Sig. (2-tailed) .325

N 25 25

Dari tabel diatas dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan asupan Fe
menghasilkan angka sebesar 0,205 > r tabel 0,138. Maka dapat disimpulkan bahwa antara
status gizi dengan asupan Fe mempunyai hubungan atau korelasi antara kedua variabel.
Sejalan dengan hubungan antara asupan Fe dengan status gizi, yaitu sebesar 0,205 > r tabel
0,138.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig.(2-tailed), diketahui nilai Sig.(2-tailed) antara status


gizi dengan asupan Fe sebesar 0,325 > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang signifikan.
Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan Fe terhadap status gizi remaja.

Tabel 4.2.14

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN ENERGI PADA REMAJA PUTRI


DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Status Gizi Asupan
Remaja Putri Energi

Status Gizi Remaja Pearson


1 .279
Putri Correlation

Sig. (2-tailed) .176

N 25 25

Kategori Asupan Pearson


.279 1
Energi Correlation

Sig. (2-tailed) .176

N 25 25

Dari tabel diatas dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan asupan energi
menghasilkan angka sebesar 0,279 > r tabel 0,138. Maka dapat disimpulkan bahwa antara
status gizi dengan asupan energi mempunyai hubungan atau korelasi antara kedua variabel.
Sejalan dengan hubungan antara asupan energi dengan status gizi, yaitu sebesar 0,279 > r
tabel 0,138.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig.(2-tailed), diketahui nilai Sig.(2-tailed) antara status


gizi dengan asupan energi sebesar 0,176 > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang signifikan.
Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan energi terhadap status gizi remaja.

Tabel 4.2.15

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN PROTEIN PADA REMAJA PUTRI


DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Status Gizi Asupan
Remaja Putri Protein

Status Gizi Remaja Pearson


1 .136
Putri Correlation

Sig. (2-tailed) .518

N 25 25

Kategori Asupan Pearson


.136 1
Protein Correlation

Sig. (2-tailed) .518

N 25 25

Dari tabel diatas dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan asupan protein
menghasilkan angka sebesar 0,136 < r tabel 0,138. Maka dapat disimpulkan bahwa antara
status gizi dengan asupan protein tidak mempunyai hubungan atau korelasi antara kedua
variabel. Sejalan dengan hubungan antara asupan protein dengan status gizi, yaitu sebesar
0,136 < r tabel 0,138.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig.(2-tailed), diketahui nilai Sig.(2-tailed) antara status


gizi dengan asupan protein sebesar 0,518 > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang signifikan.
Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan protein terhadap status gizi remaja

Tabel 4.2.16

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN LEMAK PADA REMAJA PUTRI


DI NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Kategori
Status Gizi Asupan
Remaja Putri lemak

Status Gizi Remaja Pearson


1 -.027
Putri Correlation

Sig. (2-tailed) .900

N 25 25

Kategori Asupan Pearson


-.027 1
lemak Correlation

Sig. (2-tailed) .900

N 25 25

Dari tabel diatas dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan asupan lemak
menghasilkan angka sebesar -0,027 < r tabel 0,138. Maka dapat disimpulkan bahwa antara
status gizi dengan asupan lemak tidak mempunyai hubungan atau korelasi antara kedua
variabel. Sejalan dengan hubungan antara asupan lemak dengan status gizi, yaitu sebesar -
0,027 < r tabel 0,138.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig.(2-tailed), diketahui nilai Sig.(2-tailed) antara status


gizi dengan asupan lemak sebesar 0,900 > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang signifikan.
Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan lemak terhadap status gizi remaja.

Tabel 4.2.17

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN KH PADA REMAJA PUTRI DI


NAGARI BATU HAMPA, JORONG BATU HAMPA TAHUN 2021
Correlations

Status Gizi Kategori


Remaja Putri Asupan KH

Status Gizi Remaja Pearson


1 .279
Putri Correlation

Sig. (2-tailed) .176

N 25 25

Kategori Asupan KH Pearson


.279 1
Correlation

Sig. (2-tailed) .176

N 25 25

Dari tabel diatas dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan asupan
karbohidrat menghasilkan angka sebesar 0,279 > r tabel 0,138. Maka dapat disimpulkan
bahwa antara status gizi dengan asupan karbohidrat mempunyai hubungan atau korelasi
antara kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara asupan kerbohidrat dengan status gizi,
yaitu sebesar 0,279 < r tabel 0,138.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig.(2-tailed), diketahui nilai Sig.(2-tailed) antara status


gizi dengan asupan karbohidrat sebesar 0,176 > 0,05 maka tidak terdapat korelasi yang
signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan karbohidrat terhadap
status gizi remaja.

c). Segmen Ibu Hamil

Tabel 4.3.1
DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI KEK
DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021
Kategori KEK Ibu Hamil

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid KEK 6 14.0 14.0 14.0

Normal 37 86.0 86.0 100.0

Total 43 100.0 100.0

Kategori KEK Frekuensi Persentase (%)

KEK 6 14

Normal 37 86

Total 43 100

Berdasarkan tabel 4.3.1 diperoleh sebanyak 6(14%) orang kategori KEK, dan
43(86%) kategori normal dari 43 keseluruhan ibu hamil di Kecamatan Koto XI Tarusan
Tahun 2021.

Tabel 4.3.2
DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERDASARKAN KATEGORI STATUS
GIZI DI KECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Status Gizi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurus 1 2.3 2.3 2.3

Normal 15 34.9 34.9 37.2

Overweight 6 14.0 14.0 51.2

Obes 21 48.8 48.8 100.0

Total 43 100.0 100.0

Kategori status gizi Frekuensi Persentase (%)

Kurus 1 2,3

Normal 15 34,9

Overweight 6 14

Obes 21 48,8
Total 43 100

Berdasarkan tabel 4.3.2 diperoleh sebanyak 1(2,3%) orang kategori status gizi kurus,
15(34,9%) kategori status gizi normal, 6(14%) kategori status gizi overweight, dan
21(48,8%) orang kategori status gizi obes dari 43 keseluruhan ibu hamil di Kecamatan Koto
XI Tarusan Tahun 2021.

Tabel 4.3.3
DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI ASUPAN
ENERGI DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Asupan Energi

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Defisit 13 30.2 30.2 30.2

Sedang 4 9.3 9.3 39.5

Ringan 3 7.0 7.0 46.5

Normal 14 32.6 32.6 79.1

Lebih 9 20.9 20.9 100.0

Total 43 100.0 100.0

Kategori Asupan Frekuensi Persentase (%)


Energi

Defisit 13 30,2

Sedang 4 9,3

Ringan 3 7

Normal 14 32,6

Lebih 9 20,9

Total 43 100

Berdasarkan tabel 4.3.3 diperoleh sebanyak 13(30,2%) orang asupan energi kategori
defisit, 4(9,3%) orang asupan energi kategori sedang, 3(7%) orang asupan energi kategori
ringan, 14(32,6%) orang asupan energi kategori normal, dan 9(20,9%) orang asupan energi
ketegori lebih dari 43 keseluruhan ibu hamil di Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021.

Tabel 4.3.4
DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI ASUPAN
PROTEIN DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Asupan Protein

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Defisit 17 39.5 39.5 39.5

Sedang 3 7.0 7.0 46.5

Ringan 2 4.7 4.7 51.2

Normal 9 20.9 20.9 72.1

Lebih 12 27.9 27.9 100.0

Total 43 100.0 100.0

Kategori Asupan Frekuensi Persentase (%)


Protein

Defisit 17 39,5

Sedang 3 7

Ringan 2 4,7

Normal 9 20,9

Lebih 12 27,9

Total 43 100

Berdasarkan tabel 4.3.4 diperoleh sebanyak 17(39,5%) orang asupan protein kategori
defisit, 3(4,7%) orang asupan protein kategori sedang, 2(4,7%) orang asupan protein kategori
ringan, 9(20,9%) orang asupan protein kategori normal, dan 12(27,9%) orang asupan protein
ketegori lebih dari 43 keseluruhan ibu hamil di Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021.
Tabel 4.3.5
DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI ASUPAN
LEMAK DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Asupan Lemak

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Defisit 12 27.9 27.9 27.9

Sedang 3 7.0 7.0 34.9

Ringan 6 14.0 14.0 48.8

Normal 10 23.3 23.3 72.1

Lebih 12 27.9 27.9 100.0

Total 43 100.0 100.0

Kategori Asupan lemak Frekuensi Persentase (%)

Defisit 12 27,9

Sedang 3 7

Ringan 6 14

Normal 10 23,3

Lebih 12 27,9

Total 43 100

Berdasarkan tabel 4.3.5 diperoleh sebanyak 12(27,9%) orang asupan lemak kategori
defisit, 3(7%) orang asupan lemak kategori sedang, 6(14%) orang asupan lemak kategori
ringan, 10(23,3%) orang asupan lemak kategori normal, dan 12(27,9%) orang asupan lemak
ketegori lebih dari 43 keseluruhan ibu hamil di Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021.
Tabel 4.3.6
DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI ASUPAN
KH DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Asupan KH

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Defisit 17 39.5 39.5 39.5

Sedang 7 16.3 16.3 55.8

Ringan 2 4.7 4.7 60.5

Normal 9 20.9 20.9 81.4

Lebih 8 18.6 18.6 100.0

Total 43 100.0 100.0

Kategori Asupan Frekuensi Persentase (%)


Karbohidrat

Defisit 17 39,5

Sedang 7 16,3

Ringan 2 4,7

Normal 9 20,9

Lebih 8 18,6

Total 43 100

Berdasarkan tabel 4.3.6 diperoleh sebanyak 17(39,5%) orang asupan karbohidrat


kategori defisit, 7(16,3%) orang asupan karbohidrat kategori sedang, 2(4,7%) orang asupan
karbohidrat kategori ringan, 9(20,9%) orang asupan karbohidrat kategori normal, dan
8(18,6%) orang asupan karbohidrat ketegori lebih dari 43 keseluruhan ibu hamil di
Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021.
Tabel 4.3.7

DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI ASUPAN


VITAMIN A DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Asupan Vitamin A

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 38 88.4 88.4 88.4

Cukup 5 11.6 11.6 100.0

Total 43 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 4.3.7 diperoleh sebanyak 38 (88,4%) orang asupan vitamin A


kategori kurang dan 5 (11,6%) orang asupan vitamin A kategori cukup dari 43 keseluruhan
ibu hamil di Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021.

Tabel 4.3.8

DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI ASUPAN Fe


DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Asupan Fe

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 42 97.7 97.7 97.7

Cukup 1 2.3 2.3 100.0

Total 43 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 4.3.8 diperoleh sebanyak 42 (97,7%) orang asupan Fe kategori


kurang dan 1 (2,3%) orang asupan Fe kategori cukup dari 43 keseluruhan ibu hamil di
Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021.
Tabel 4.3.9

DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI ASUPAN


Zn DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Asupan ZN

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 39 90.7 90.7 90.7

Cukup 4 9.3 9.3 100.0

Total 43 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 4.3.9 diperoleh sebanyak 39 (90,7%) orang asupan Zn kategori


kurang dan 4 (9,3%) orang asupan Zn kategori cukup dari 43 keseluruhan ibu hamil di
Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021.

Tabel 4.3.10

DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI ASUPAN


CALSIUM DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Asupan Calcium

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 40 93.0 93.0 93.0

Cukup 3 7.0 7.0 100.0

Total 43 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 4.3.10 diperoleh sebanyak 40 (93%) orang asupan calsium kategori
kurang dan 3 (7,0%) orang asupan calsium kategori cukup dari 43 keseluruhan ibu hamil di
Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021
Tabel 3.4.11

DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI ASUPAN


MAGNESIUM DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Asupan Magnesium

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 33 76.7 76.7 76.7

Cukup 10 23.3 23.3 100.0

Total 43 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 4.3.12 diperoleh sebanyak 33 (76,7%) orang asupan magnesium


kategori kurang dan 10 (23,3%) orang asupan magnesium kategori cukup dari 43 keseluruhan
ibu hamil di Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021

Tabel 3.4.12

DISTRIBUSI FREKUENSI TINGKAT PENGETAHUAN IBU HAMIL


DIKECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Total Skor

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Kurang 13 30.2 30.2 30.2

Baik 30 69.8 69.8 100.0

Total 43 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 4.3.11 diperoleh sebanyak 13 (30,2%) orang tingkat pengetahuan


kategori kurang dan 30 (69,8%) orang tingkat pengetahuan kategori cukup dari 43
keseluruhan ibu hamil di Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021
Tabel 4.3.13
DISTRIBUSI FREKUENSI IBU HAMIL BERSDASARKAN KATEGORI
PENDIDIKAN HAMIL DI KECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Kategori Pendidikan Ibu

Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent

Valid Rendah 17 39.5 39.5 39.5

Tinggi 26 60.5 60.5 100.0

Total 43 100.0 100.0

Berdasarkan tabel 4.3.13 diperoleh sebanyak 17 (39,5%) orang pendidikan kategori


rendah dan 26 (60,5%) orang pendidikan kategori tinggi dari 43 keseluruhan ibu hamil di
Kecamatan Koto XI Tarusan Tahun 2021

Tabel 4.3.14

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN ENERGI IBU HAMIL DI


KECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Correlations

Kategori Asupan
Status Gizi Energi

Status Gizi Pearson Correlation 1 -.173

Sig. (2-tailed) .268

N 43 43

Kategori Asupan Energi Pearson Correlation -.173 1

Sig. (2-tailed) .268

N 43 43

Dari tabel 4.3.14 dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan asupan energi
ibu hamil menghasilkan angka sebesar -0,173 < r tabel 0,301. Maka dapat disimpulkan bahwa
antara status gizi dengan asupan energi ibu hamil tidak mempunyai hubungan atau korelasi
antara kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara asupan energi ibu hamil dengan status
gizi, yaitu sebesar -0,173 < r tabel 0,301.
Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan asupan energi ibu hamil sebesar 0,268 > 0,005 maka tidak terdapat korelasi
yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan energi ibu hamil
terhadap status gizi.

Tabel 4.3.15

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN PROTEIN IBU HAMIL DI


KECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Correlations

Kategori Asupan
Status Gizi Protein

Status Gizi Pearson Correlation 1 -.178

Sig. (2-tailed) .255

N 43 43

Kategori Asupan Protein Pearson Correlation -.178 1

Sig. (2-tailed) .255

N 43 43

Dari tabel 4.3.15 dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan asupan protein
ibu hamil menghasilkan angka sebesar -0,178 < r tabel 0,301. Maka dapat disimpulkan bahwa
antara status gizi dengan asupan protein ibu hamil tidak mempunyai hubungan atau korelasi
antara kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara asupan energi ibu hamil dengan status
gizi, yaitu sebesar -0,178 < r tabel 0,301.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan asupan protein ibu hamil sebesar 0,255 > 0,005 maka tidak terdapat
korelasi yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan protein ibu
hamil terhadap status gizi.
Tabel 4.3.16

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN LEMAK IBU HAMIL DI


KECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021

Correlations

Kategori Asupan
Status Gizi Lemak

Status Gizi Pearson Correlation 1 -.041

Sig. (2-tailed) .796

N 43 43

Kategori Asupan Lemak Pearson Correlation -.041 1

Sig. (2-tailed) .796

N 43 43

Dari tabel 4.3.16 dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan asupan lemak
ibu hamil menghasilkan angka sebesar -0,041 < r tabel 0,301. Maka dapat disimpulkan bahwa
antara status gizi dengan asupan lemak ibu hamil tidak mempunyai hubungan atau korelasi
antara kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara asupan energi ibu hamil dengan status
gizi, yaitu sebesar -0,041 < r tabel 0,301.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan asupan lemak ibu hamil sebesar 0,796 > 0,005 maka tidak terdapat korelasi
yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan lemak ibu hamil
terhadap status gizi.

Tabel 4.3.17

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN ASUPAN KARBOHIDRAT IBU HAMIL DI


KECAMATAN KOTO XI TARUSAN TAHUN 2021
Correlations

Kategori Asupan
Status Gizi KH

Status Gizi Pearson Correlation 1 -.235

Sig. (2-tailed) .129

N 43 43

Kategori Asupan KH Pearson Correlation -.235 1

Sig. (2-tailed) .129

N 43 43

Dari tabel 4.3.17 dapat diketahui hubungan antara status gizi dengan asupan
karbohidrat ibu hamil menghasilkan angka sebesar -0,235 < r tabel 0,301. Maka dapat
disimpulkan bahwa antara status gizi dengan asupan karbohidrat ibu hamil tidak mempunyai
hubungan atau korelasi antara kedua variabel. Sejalan dengan hubungan antara asupan energi
ibu hamil dengan status gizi, yaitu sebesar -0,235 < r tabel 0,301.

Berdasarkan nilai signifikansi Sig. (2-tailed), diketahui nilai Sig. (2-tailed) antara
status gizi dengan asupan karbohidrat ibu hamil sebesar 0,129 > 0,005 maka tidak terdapat
korelasi yang signifikan. Korelasi tersebut sejalan dengan hubungan antara asupan
karbohidrat ibu hamil terhadap status gizi.
BAB V
PENUTUP
A. Saran
1. Bagi Tim Penyusun
Sebaiknya lebih ditingkatkan lagi keahlian dalam pengumpulan data, baik
keahlian dalam wawancara ataupun pengukuran antropometri. Lebih teliti lagi dalam
mengumpulkan data, agar data yang terkumpul dapat dipertanggungjawabkan hasilnya.

2. Bagi Perangkat Daerah dan Tenaga Kesehatan


Sebaiknya perlu dilakukan intervensi spesifik maupun sensitif untuk mengatasi
masalah gizi yang sedang terjadi di Kecamatan Koto XI Tarusan ini, agar masalah gizi
dapat diselesaikan segera dan mengurangi angka morbiditas dan mortalitas setiap
tahunnya.
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Arisman, 2007. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Penerbit Buku. Kedokteran

Arisman, M.B. 2010. Buku Ajar Ilmu Gizi dalam Daur Kehidupan. Penerbit Buku
Kedokteran. EGC: Jakarta.

Adriana Merryana, SKM,M.Kes. dan Wirjadmadi Bambang, M.S. MCN. PHD.2012.


Pengantar Gizi Masyarakat. Kencana. Jakarta

Aryati, Norma budi., dkk. 2018. Hubungan Ketersediaan Pangan Keluarga Miskin, Asupan
Proten, dan Zink dengan Pertumbuhan Anak Umur 12-24 Bulan Pada Siklus 1000 Hari
Pertama Kehidupan. Jurnal MGMI. Vol 9(2) : 99-112.

Bachtiar H. Faktor Determinan Kejadian Gondok di Daerah Pantai Jawa Timur. Bagian lmu
Kesehatan Masyarakat FK Unand. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Maret September2009,
vol 03, No.2.

Badan Litbangkes. 2010. Depkes RI. Jakarta

Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik Kesejahteraan Rakyat Tahun 2017. Jakarta.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2014. Rencana Pembangunan


Jangka MenengahNasional (RPJMN) 2015-2019. Jakarta.

Balita.Nuha Medika. Jogjakarta

Biesalski, HK dan Erhardt, JG. 2007. Vitamin A in Nutritional Anemia. In Kraemer, K and
Zimmermann, M.B Nutritional Anemia. Basel, Switzerland. Sight and Life Press.
www.sightandlife.org. Diakses 13 September 2011
Bella,febriani dwi, dkk. 2019. Pola Asuh Positive Deviance dan Kejadian Stunting Balita di
Kota Palembang. Jurnal Kesehatan Vokasional. Vol 4 (4). Palembang: FKM Univeristas
Sriwijaya.

Briawan, Dodik. 2012. Anemia: Masalah Gizi Pada Remaja Wanita. Jakarta:Penerbit Buku
Kedokteran EGC

Cunningham, dkk. 2010. Williams Obstetrics, Twenty-Third Edition. The


McGraw-Hill Companies : Amerika Serikat

Departemen Kesehatan RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta.

Fatimah, Sari.2008. Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Terhadap Status Gizi Pada Balita Di
Kecamatan Ciawi Kabupaten Tasikmalaya.

Isa M, Soedjadi K, dan Hari B. 2005. Faktor Sanitasi Lingkungan Yang Berperan Terhadap
Prevalensi Penyakit Skabies (studi Pada Santri di Pondok Pesantren Kabupaten
Lamongan). Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol 2 (1): 11-18. Surabaya: FKM Universitas
Air Langga.

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Jakarta.

Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor1995/MENKES/SK/XII/2010


tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Direktorat Bina Gizi: Jakarta

Kementerian Kesehatan RI .2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2016. Situasi Balita Pendek. Jakarta : Kemenkes RI.

Kementerian Kesehatan RI. 2016. INFODATIN Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI Situasi Balita Pendek. Jakarta Selatan
Kristiyanasari, Weni. 2010.Gizi Ibu Hamil. Nuha Medika: Yogyakarta

Lissauer, Avroy. 2013. Selayang neonatologi edisi kedua. Jakarta : indeks 150-156

Manuaba, Ida Bagus. 2009. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita. Jakarta: EGC

Marimbi, Hanum. 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar pada

Masrin, dkk. 2014. Ketahanan pangan rumah tangga berhubungan dengan stunting pada anak
usia 6-23 bulan. Jurnal Gizi dan Dietetik Indonesia. Vol 2(3) : 103-115.

Mugianti, Sri., dkk. 2018. Faktor penyebab anak Stunting usia 25-60 bulan di Kecamatan
Sukorejo Kota Blitar. Jurnal Ners dan Kebidanan. Vol 5(3) : 268-278. Poltekkes
Kemenkes Malang.

Sartika, R.A. 2010. Analisis Pemanfaatan Program Pelayanan Kesehatan Status Gizi Balita.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 5, No. 2, Oktober 2010. Departemen Gizi
Kesehatan Masyarakat, FKM Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok. hal.76-83.

SDKI. Survei Demografi Kesehatan Indonesia: Jakarta; 2012.

Shochib, Moh, Pola Asuh Orang Tua Dalam Membantu Anak Mengembangkan Displin Diri,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010

Soetjiningsih, 2004. Buku Ajar: Tumbuh Kembang Remaja dan Permasalahannya. Jakarta:
Sagung Seto.

Supariasa. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC

Supariasa IDN. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002.

Supariasa I DN, Bachyar B, dan Ibnu F. 2012. Penilaian Status Gizi. EGC : Jakarta
Rahim, F. 2014. Faktor Risiko Underweight Balita umur 7-59 bulan. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Kesmas 9 (2) (2014), hal.115-121.

WHO. 2013. Childhood Stunting: Context, Causes and Consequences Conceptual


Framework 2013. Diunduh dari http://www.who.int/nutrition/events/2013_
ChildhoodStunting_colloqium_14Oct_ConceptualFramework_colour.pdf

Zairinayati dan Rio Purnama. 2019. Hubungan Hygieni dan Sanitasi Lingkungan dengan
Kejadian Stunting Pada Balita. Jurnal Ilmiah Multi Science Kesehatan. Vol 10(1).
Palembang : Stikes Muhammadiyah.

Anda mungkin juga menyukai