Anda di halaman 1dari 8

Serambi Akademica Vol. 7, No.

3, Juli 2019 pISSN 2337–8085


Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora eISSN 2657- 0998

Tindak Pidana Mengedarkan Uang Palsu


Dewi Astini, Miranda Sari

Fakultas Hukum Universitas Abulyatama


Email: dewiastini@abulyatama.co.id

ABSTRAK
Uang yang merupakan alat digunakan sebagai alat transaksi maupun alat
pembayaran dalam kehidupan sehari-hari banyak di palsukan atau di tiru
menyerupai uang aslinya dan beredar luas di masyarakat. Meskipun Undang-
Undang melarang dan mengancam dengan ancaman pidana yang berat terhadap
tindak pidana mengedarkan uang palsu, namun dalam kenyataannya di Wilayah
Hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh tindak pidana tersebut masih saja terjadi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak
pidana mengedarkan uang palsu, upaya yang dilakukan untuk mencegah dalam
menanggulangi terjadinya tindak pidana mengedarkan uang palsu.Untuk
memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan penelitian
kepustakaandilakukan dengan mempelajari Peraturan Perundang-undangan, dan
literatur-literatur,dan penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa faktor yang menyebabkan
terjadinya tindak pidana mengedarkan uang palsu disebabkan oleh faktor
ekonomi, faktor lingkungan (pergaulan), serta faktor rendahnya tingkat
pendidikan. Upaya-upaya yang dilakukan dalam mencegah terjadinya tindak
pidana mengedarkan uang palsu yaitu berupa upaya preventif (pencegahan)
dengan melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi mengenai mata uang, dan
upaya represif (penindakan) yang dilakukan dengan melaksanakan dan
menerapkan seluruh kebijakan yang telah dibuat dengan melaksnakan penegakkan
hukum tanpa pandang bulu.
Kata Kunci : Uang Palsu, Tindak Pidana

PENDAHULUAN

Uang mempunyai peran penting dalam perjalanan kehidupan moderen. Uang yang
kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Awalnya
manusia menggunakan dengan cara barter (saling tukar menukar barang), benda-benda
yang dipilih bernilai tinggi, langkah, dan dapat di terima secara umum sebagai alat tukar,
Barang-barang yang dianggap indah dan bernilai, seperti kerang, pernah dijadikan sebagai
alat tukar sebelum manusia menemukan uang logam (logam mulia), kemudian muncul apa
yang dinamakan dengan uang. Uang dapat berfungsi sebagai alat tukar menukar, alat
satuan hitung, alat penyimpanan kekayaan, dan alat penyelesaian utang piutang (Budiono,

350
Serambi Akademica Vol. 7, No. 3, Juli 2019 pISSN 2337–8085
Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora eISSN 2657- 0998

1990). Dari perkembangan inilah, uang kemudian bisa dikatagorikan dalam tiga jenis,
yaitu uang barang, uang kertas dan uang giral atau uang kredit (Achmadi, 2007)..
Keaslian uang dapat dikenalai melalui ciri ciri yang terdapat baik pada bahan bahan
yang digunakan untuk membuat uang, desain dan warna masing masing pecahan, maupun
pada teknik pencetakannya (Kuswandhi, 2015). Uang yang merupakan alat digunakan
sebagai alat transaksi maupun alat pembayaran dalam kehidupan sehari-hari banyak
dipalsukan atau di tiru menyerupai uang aslinya dan beredar luas di masyarakat.
Pemalsuan uang terutama pada uang kertas telah di lakukan orang sejak pertama kali uang
kertas di pergunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Menurut Wiryono Projodikoro
(dalam Wijayanto, 2017) pemalsuan adalah suatu perbuatan yang disengaja meniru suatu
karya orang lain untuk suatu tujuan tertentu tanpa izin yang bersangkutan/melanggar hak
cipta orang lain.
Cara maupun teknik pemalsuan uang kertas tersebut di mulai melalui cara-cara
sederhana maupun dengan cara teknologi modern yang bisa di gunakan pada zaman
sekarang ini. Pemalsuan dan peredaran uang tersebut umumnya dilakukan secara bersama-
sama oleh para pelaku pemalsuan uang dengan tujuan dan maksud tertentu.
Berkaitan dengan pengedaran mata uang palsu dapat dilihat dari beberapa ketentuan
Pasal yang mengaturnya, yaitu Pasal 244, Pasal 245, Pasal 247, dan Pasal 249 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP), serta Pasal X dan Pasal XI
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dalam Pasal 245
Kitab Undang-undang Hukum Pidana disebutkan : “Barang siapa dengan sengaja
mengedarkan mata uang atau uang kertas negara atau bank seolah-olah mata uang atau
uang kertas yang asli dan tidak palsu, padahal telah ditiru atau dipalsu olehnya sendiri,
atau waktu diterimanya diketahui tidak asli atau palsu, ataupun (barangsiapa) mempunyai
persediaan atau memasukkan ke Indonesia mata uang kertas yang demikian,dengan
maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan seolah-olah asli dan tidak
dipalsu, diancam dengan penjara maksimum 15 (lima belas) tahun”.
Perkara pengedaran uang palsu yang saat ini menjadi fenomena yang tidak dianggap
lagi mustahil. Motif yang digunakan dalam tindak pidana ini semakin beragam mengikuti
pekembangan zaman. Jenis kejahatan seperti ini pasti sangat meresahkan masyarakat,
sehingga diperlukan usaha ekstra dan ditangani dengan lebih serius karena uang sebagai
alat bayar suatu transaksi yang memiliki harga dan memang uang menajdi prioritas alat
perekonomian suatu negara.
Meskipun undang-undang telah melarang dan mengancam dengan ancaman
hukuman pidana yang berat terhadap pelaku tindak pidana mengedarkan uang palsu,
namun dalam kenyataannya di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh tindak
pidana mengedarkan uang palsu masih saja terjadi.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya tindak
pidana mengedarkan uang palsu, upaya yang dilakukan untuk mencegah dalam
menanggulangi terjadinya tindak pidana mengedarkan uang palsu

351
Dewi astini, Miranda Sari

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
diskriptif. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini dilakukan
penelitian kepustakaandilakukan dengan mempelajari Peraturan Perundang-undangan, dan
literatur-literatur,dan penelitian lapangan dilakukan dengan wawancara.

PEMBAHASAN
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang telah mengatur kewajiban
penggunaan rupiah pada setiap transaksi di Indonesia. Kewajiban penggunaan rupiah
dimana rupiah wajib digunakan untuk segala transaksi yang ada di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, penggunaan alat pembayaran lain selain rupiah di Indonesia
dapat dikenakan sanksi pidana baik kurungan maupun denda kecuali pada perbuatan-
perbuatan yang dikecualikan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata
Uang.
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang
termuat dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 41. Tindak pidana yang tertuang dalam Pasal
33 dan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 adalah pelanggaran, sedangkan
tindak pidana yang tertuang dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2011 adalah kejahatan. Adapun yang terkait dengan kegiatan pemalsuan
uang terkandung dalam Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang menyatakan
bahwa:
(1) Setiap orang yang memalsu Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
(2) Setiap orang yang menyimpan secara fisik dengan cara apa pun yang
diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
(3) Setiap orang yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang
diketahuinya merupakan Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp.50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Adapun pidana yang diberikan dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) adalah pidana
maksimum dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Sedangkan untuk Pasal 36 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 unsur-unsur pidananya diantaranya unsur “setiap
orang” dan unsur “yang mengedarkan dan/atau membelanjakan Rupiah yang diketahuinya
merupakan Rupiah Palsu”. Adapun pidana lebih berat dari pada Pasal 36 ayat (1) dan ayat
(2) yaitu pidana maksimum dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Selanjutnya, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 menyatakan bahwa:
352
Serambi Akademica Vol. 7, No. 3, Juli 2019 pISSN 2337–8085
Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora eISSN 2657- 0998

(1) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor,


menyimpan, dan/atau mendistribusikan mesin, peralatan, alat cetak, pelat cetak atau
alat lain yang digunakan atau dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama seumur hidup dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah);
(2) Setiap orang yang memproduksi, menjual, membeli, mengimpor, mengekspor,
menyimpan, dan/atau mendistribusikan bahan baku Rupiah yang digunakan atau
dimaksudkan untuk membuat Rupiah Palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup, dan pidana
denda paling banyak Rp.100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Tindak Pidana Mengedarkan Uang Palsu


Pasal 245 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menyatakan dengan
tegas, Barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang
dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak
dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri atau waktu diterima diketahuinya
bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke
Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk
mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, secara garis besar terdapat 3
(tiga) faktor utama penyebab terjadinya terjadinya tindak pidana mengedarkan uang palsu
di wilayah hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh, yaitu Faktor Ekonomi, Faktor
Lingkungan (pergaulan) pelaku, Rendahnya Tingkat Pendidikan.

Faktor ekonomi;
Keadaan masyarakat yang bersifat heterogen kemampuan ekonominya
kecenderungan munculnya kejahatan adalah sangat besar. Oleh karena itu, maka peranan
keluarga dalam membentuk kepribadian seseorang sangatlah penting, apabila interaksi
seseorang dengan masyarakat sekitar juga tidak akan lancar atau tidak wajar.

Faktor lingkungan;
Dalam ruang lingkup lingkungan, seseorang dibesarkan memperoleh perlindungan
dan pada lingkungan inilah seseorang pertama kali belajar berinteraksi dengan orang lain.
Selain itu, pada lingkungan inilah pertama kali seseorang dikenalkan dengan norma sosial
dan pengetahuan bahwa seseorang tidak akan bisa sendiri tanpa adanya orang lain, hal ini
dikarenakan adanya kodrat manusia sebagai makhluk sosial.
Pergaulan merupakan salah satu faktor yang juga menentukan kepribadian, tingkah
laku, dan pola hidup seseorang. Pergaulan bebas tanpa batas dapat membuat seseorang
terjerumus dalam kehidupan yang bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku dalam
masyarakat apabila tidak diarahkan dengan tepat.

353
Dewi astini, Miranda Sari

Faktor Rendahnya Tingkat Pendidikan


Tidak dapat disangkal bahwa peranan pendidikan sangat besar pengaruhnya yang
dilakukan oleh pembentukan watak pribadi seseorang. Individu yang berpendidikan
kemungkinan lebih tabah dalam menghadapi problema sosial disekitarnya. Sebaliknya,
individu yang tidak atau kurang berpendidikan sangat potensial berpengaruh oleh kondisi
sosial dimana dia berada. Hal ini kemungkinan disebabkan dalam mencari nafkah,
kemudian ditambah kurang berfikir kritis dalam menyikapi sekitarnya.
Dalam kajian kriminologi kejahatan dan deliguensi dapat pula merupakan akibat dari
pada kurang pendidikan dan kegagalan lembaga pendidikan, sama halnya dengan
kegagalan yang disebabkan oleh kondisi lingkungan keluarga. Memang jika
membicarakan masalah pendidikan maka lambat laun akan sampai pada suatu kesan
bahwa, misi atau tujuan utama pendidikan adalah untuk mewujudkan realisasi
transformasi nila-nilai budaya yang baik dan benar, dari generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian, sekolah memegang peranan penting dalam kehidupan setiap diri
manusia dibandingkan lembaga-lembaga lainnya. Hal ini juga sering dikemukakan ahli
kriminlogi bahwa, sekolah merupakan wadah untuk memupuk manusia-manusia yang
kelak akan berguna bagi pembangunan dan kesejahteraan bangsa.

Upaya yang Dilakukan dalam Mencegah dan Menanggulangi Terjadinya Tindak


Pidana Mengedarkan Uang Palsu
Kejahatan selalu ada seperti halnya penyakit dan kematian yang selalu berulang
seperti juga dengan musim yang akan berganti dari tahun ke tahun. Kejahatan di dunia
tidak dapat dihapuskan sekaligus, namun manusia hanya dapat berusaha untuk
memperkecil atau mengurangi kejahatan sebagai penyakit dalam masyarakat. Kejahatan
dalam masyarakat sama halnya dengan pergantian musim yang tidak dapat dihindari
manusia sebagai keadaan alamiah.
Guna menanggulangi tindak pidana mengedarkan uang palsu, tidaklah mudah untuk
mencari upaya atau cara yang terbaik. Namun dalam hal ini baik pemerintah maupun
masyarakat dapat bekerjasama secara sistematis, berencana, seperti membuat lembaga-
lembaga ditiap kelurahan atau organisasi-organisasi yang membuat anak melakukan hal-
hal positif dan terarah kepada tujuan untuk menjaga agar tidak dapat menimbulkan
kejahatan.
Upaya penanggulangan yang telah dilakukan dalam mencegah dan menanggulangi
terjadinya tindak pidana mengedarkan uang palsu.

Upaya preventif (pencegahan)


Upaya preventif yang di maksud adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya
tindak pidana mengedarkan uang palsu dengan cara menangani faktor-faktor pendorong
terjadinya tindak pidana mengedarkan uang palsu. Penanggulangan melalui upaya
preventif (pencegahan) misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka
mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan jiwa masyarakat
melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya. Penanganan yang dilakukan oleh aparat
Kepolisian Resor Kota Banda Aceh adalah sebagai berikut:
a) Melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi, antara lain :
354
Serambi Akademica Vol. 7, No. 3, Juli 2019 pISSN 2337–8085
Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora eISSN 2657- 0998

1) Dalam kegiatan ini diupayakan masyarakat tahu dan kenal ciri-ciri mata
uang asliRepublik Indonesia untuk dapatkan partisipasi dan
menimbulkan kekebalan masyarakatjangan sampai mudah dilibatkan
dalam giat kejahatan upal, sehingga dapat terwujud sikappartisipasi
dalam tanggulangi kejahatan uang palsu sebagai deteksi dini bila tahu
adanya uangpalsu.
2) Penyuluhan yang berkaitan dengan mesin multifungsi.
b) Melakukan pengamanan dan pengawasan, antara lain :
1) Pengamanan dan pengawasan di tempat pembuatan uang yang resmi dan
sah;
2) Pengamanan dan pengawasan terhadap perusahaan percetakan, penjualan
dan perdagangan alat dan prasarana cetak (data,dan lain-lain);
3) Pengamanan dan pengawasan terhadap deteksi di tempat pusat
perdagangan dan perekonomian;
4) Pemeriksaan ketat di pintu masuk melalui Republik Indonesia dan lintas
batas untuk menjaga penyelundupan uang palsu;
5) Pelayanan yang baik terhadap masyarakat yang melapor tentang
ditemukannya uang palsu; serta.
6) Masyarakat umum agar melaporkan uang palsu kepada Bank Indonesia,
Bank Umum atau pihak kepolisian. Bank umum agar melaksanakan
kegiatan sebagai berikut:
a) Menahan uang palsu tersebut dan tidak diganti;
b) Tidak boleh merusak fisik uang;
c) Mencatat identitas pelapor dan penyetor;
d) Membuat laporan ke bank Indonesia”.

Upaya Represif (penindakan)


Upaya represif adalah suatu upaya yang dilakukan untuk mengatasi suatu tindakan
kejahatan, dalam hal ini kejahatan yang dilakukan berupa tindak pidana mengedarkan
uang palsu di Wilayah Hukum pengadilan Negeri Banda Aceh, setelah tindakan kejahatan
terjadi. Yang dimaksud dengan upayarepresif adalah setiap upaya dan pekerjaan untuk
melakukan pemberantasan dan pengungkapan kejahatan uang palsu oleh penegak Hukum
dengan langkah-langkah:
1) Melaksanakan dan menerapkan seluruh kebijakan yang telah dibuat dengan
melaksnakan penegakkan hukum tanpa pandang bulu terhadap setiap tindak
pidana mata uang dengan aturan hukum yang telah ditentukan dan tegas.Yaitu
melakukan penyelidikan sesuai dengan kronologis yang terjadi dalam kasus
peredaran uang palsu yang dilakukan oleh orang ataupun kelompok dalam
masyarakat. Tidak terlepas apabila mendapatkan bukti-bukti baru dalam upaya
untuk penegakkan hukum positif Indonesia.
2) Penetapan kebijakan perundang-undangan (dapat juga disebut kebijakan
legislasi) yang didalamnya berisikan penetapan kebijkan mengenai:

355
Dewi astini, Miranda Sari

a) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana (kebijakan


kriminalisasi); dan
b) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar
(kebijakan penalisasi/kebijakan pemidanaan).
3) Penerapan pidana oleh badan pengadilan (disebut juga kebijakan yudikasi).
4) Pelaksanaan pidana oleh aparat pelaksana pidana (disebut juga kebijakan
eksekusi).Yaitu melakukan upaya penegakan hukum yang adil sesuai dengan
tindakan peredaran uang palsu yang dilakukan masyarakat dalam bentuk strata
apapun. Hakim wajib memutuskan seadil-adilnya hukuman terhadap pelaku
tindak pidana peredaran uang palsu sesuai dengan undang-undang yang
berlaku, yang termasuk dalam hukum positif Indonesia.

PENUTUP
Berdasarkan uraian dan permasalahan yangtelah disebut diatas, maka dapatlah
ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana mengedarkan uang palsu di
Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Banda Aceh yaitu disebabkan oleh faktor
ekonomi, faktor lingkungan (pergaulan), serta faktor rendahnya tingkat pendidikan
2. Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam mencegah terjadinya tindak pidana
mengedarkan uang palsu yaitu berupa upaya preventif (pencegahan) dengan
melakukan kegiatan penyuluhan dan sosialisasi mengenai mata uang.dan upaya
represif (penindakan) yang dilakukan dengan melaksanakan dan menerapkan
seluruh kebijakan dan putusan Hakim yang telah dibuat dengan melaksnakan
penegakkan hukum tanpa pandang bulu.

Saran
1. Disarankan kepada masyarakat dan pelaku khususnya guna melakukan hal-hal yang
positif sehingga tidak bertentangan dengan aturan hukum.
2. Disarankan sanksi hukum yang diberikan agar lebih berat dari padaapa yang sudah
diputus pada putusan pada hasil pembahasan sebelumnya, karena nantinyaakan
memberikan efek jera.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, G. (2007). Mengenal seluk beluk uang. Jakarta : Yudhistira.

Budiono, (1990). Ekonomi Moneter. Yogyakarta : BPFE.

Kuswandhie, R. (2015). Alat Pendeteksi Nominal dan Keaslian Mata Uang Kertas.
Availiable at : http://jurnal-stmik.muralinggau.ac.id/
index.php/jti/article/view/217

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang

356
Serambi Akademica Vol. 7, No. 3, Juli 2019 pISSN 2337–8085
Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora eISSN 2657- 0998

Wijayanto, A.A., (2017). Pemalsuan Uang sebagai Kejahatan di Indonesia. Available at :


http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/view/ 2306/1734

357

Anda mungkin juga menyukai