Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

BELAJAR BERBASIS MASALAH (BBM)


EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
SKENARIO 3 “KHAWATIR…DIA SUKA MENGAMUK…”

Oleh Kelompok 1:

Ghina Aristawidya Sedar 2010912220013


Icha Apriliya Donata 2010912320005
Lathifah Nurul ‘Aini 2010912220010
Lutfhi Hana 2010912120023
Nida Munirah 2010912220015

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2023
HALAMAN PENGESAHAN

MAKALAH
BELAJAR BERBASIS MASALAH (BBM)
EPIDEMIOLOGI PENYAKIT TIDAK MENULAR
SKENARIO 3 “KHAWATIR…DIA SUKA MENGAMUK…”

Oleh Kelompok 1:

Ghina Aristawidya Sedar 2010912220013


Icha Apriliya Donata 2010912320005
Lathifah Nurul ‘Aini 2010912220010
Lutfhi Hana 2010912120023
Nida Munirah 2010912220015

Telah disahkan dan diterima dengan baik oleh:


Banjarbaru, 10 Mei 2023

Koordinator BBM-EPTM Tutor,


PSKM FK ULM

Noor Ahda Fadillah SKM.,M.Kes (Epid) Noor Ahda Fadillah SKM.,M.Kes (Epid)
NIP. 19880318201709209001 NIP. 19880318201709209001

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN................................................................................. ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Skenario........................................................................................................ 1
B. Analisa Kasus ............................................................................................... 1
Langkah 1. Identifikasi/Klarifikasi Istilah (Clarity Term)............................... 1
Langkah 2. Membuat Daftar Masalah (Define the Problem) .......................... 2
Langkah 3. Menganalisis Masalah (Analyze the Problem).............................. 3
Langkah 4. Problem Tree ................................................................................ 4
Langkah 5. Menetapkan Sasaran Belajar (Formulative Learning Objective) . 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5
A. Tinjauan Kasus berdasarkan Sasaran Belajar .............................................. 5
1. Definisi Psikosis........................................................................................ 5
2. Klasifikasi Psikosis ................................................................................... 5
3. Patofisiologi Psikosis ................................................................................ 6
4. Gejala Psikosis .......................................................................................... 7
5. Faktor Risiko Psikosis............................................................................... 7
6. Dampak Psikosis ....................................................................................... 9
7. Distribusi dan Frekuensi Psikosis ........................................................... 10
8. Penanganan Pertama Psikosis ................................................................. 11
9. Diagnosis Psikosis .................................................................................. 12
10. Pengobatan Psikosis ................................................................................ 13
11. Peran Berbagai Pihak dalam Mencegah dan Menanggulangi Psikosis .. 17
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 23
A. Kesimpulan ................................................................................................ 23
B. Saran ........................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Skenario
Khawatir… Dia Suka Mengamuk…
Saudara A berjenis kelamin laki-laki, berusia 25 tahun, dia seorang karyawan
swasta dan saat ini dibawa ke UGD Rumah Sakit Jiwa “Sumber Waras” oleh kakak
nya dan orang tua nya karena mengamuk, merusak barang-barang di rumah, dan
mengancam akan membakar rumah nya dan rumah tetangganya. Pasien juga merasa
dimusuhi oleh orangtuanya dan juga saudaranya yang lain, bahkan khawatir
makanan atau minumannya diberi racun oleh mereka. Menurut orang tuanya,
saudara A mulai tampak ada perubahan perilaku sejak 2 minggu sebelumnya karena
merasa rekan-rekan kerjanya tidak suka dan memusuhinya, sehingga dia tidak mau
masuk kerja. Orang tuanga menduga dia mengalami stress yang berat setelah tidak
bekerja. Dari Riwayat keluarga diketahui bahwa adik laki-laki ibunya juga pernah
mengalami gangguan yang serupa. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan
kelainan. Perlu ada nya Tindakan pemeriksaan mental untuk memastikan gangguan
yang dialami saudara A tersebut. Kasus serupa juga meningkat di Indonesia
semenjak kejadian pandemic covid-19 melanda dunia.
Kata kunci: perubahan perilaku; riwayat keluarga; pemeriksaan mental; stress berat.

B. Analisa Kasus
Langkah 1. Identifikasi/Klarifikasi Istilah (Clarity Term)
Pada tahap ini anggota kelompok mengidentifikasi istilah asing yang terdapat
pada skenario dan memastikan semua anggota sudah satu pengertian tentang
istilahistilah tersebut. Maka istilah asing dan klarifikasi yang didapatkan dari hasil
tutorial kelompok adalah sebagai berikut:
a. Mengamuk
Menurut KBBI, mengamuk yaitu menyerang dengan membabi buta karena
marah, mata gelap, dan sebagainya.

1
b. Dimusuhi
Dimusuhi adalah keadaan seseorang tidak diterima oleh lingkungan sekitarnya.
c. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku merupakan sebuah respons atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan luar).
d. Pemeriksaan Mental
Pemeriksaan mental adalah bagian dari pemeriksaan klinis yang
menggambarkan tentang keseluruhan pengamatan pemeriksa dan kesan tentang
pasien psikiatrik saat wawancara, yang meliputi penampilan, pembicaraan,
tindakan, persepsi dan pikiran selama wawancara.
e. Pandemi Covid-19
Pandemi covid-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus SARS-
CoV-2.
f. Riwayat Keluarga
Dalam ilmu genetika, riwayat keluarga diartikan sebagai terdapat faktor-faktor
genetik dan riwayat penyakit dalam keluarga.
g. Stress Berat
Stress berat didefinisikan sebagai ketidakmampuan mengatasi tekanan mental
atau emosional yang berlebihan dalam kehidupan sehari-hari.
Langkah 2. Membuat Daftar Masalah (Define the Problem)
Pada tahap ini anggota kelompok melontarkan pertanyaan-pertanyaan
sebanyak mungkin terhadap istilah, konsep, fakta, atau fenomena yang didapat dari
permasalahan pada skenario tersebut. Daftar masalah yang didapatkan dari hasil
tutorial kelompok 1 dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Apakah gangguan yang dialami saudara A?
b. Apa maksud dari saudara A merasa dimusuhi dan khawatir
makanan/minumannya diracuni? Selain gejala di atas, apakah terdapat gejala
lain yang menjadi indikasi gangguan tersebut?
c. Apakah gangguan tersebut dapat dipengaruhi oleh riwayat keluarga? Lalu,
apakah terdapat faktor risiko lain yang mempengaruhi kejadian ini?
d. Bagaimana dampak dari gangguan yang dialami saudara A?

2
e. Apakah gangguan tersebut bisa disembuhkan?
f. Mengapa kejadian tersebut meningkat pada pandemi COVID-19?
g. Bagaimana upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat dilakukan?
Langkah 3. Menganalisis Masalah (Analyze the Problem)
Pada tahap ini kelompok berdiskusi mengenai masalah-masalah yang sudah
didapat dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki masing-masing
(prior knowledge):
a. Berdasarkan gejala yang dirasakan oleh Saudara A pada skenario, gejala
tersebut mengarah pada penyakit psikosis.
b. Kondisi Saudara A merasa dimusuhi dan khawatir makanan/minumannya
diracuni merupakan bentuk halusinasi atau waham yang tidak dapat
membedakan halusinasi dengan kenyataan. Gejala dari psikosis yaitu terdapat
gangguan perilaku, perubahan suasana hati, pikiran terganggu, dan berbicara
tidak nyambung.
c. Riwayat keluarga menjadi faktor risiko psikosis, sehingga terdapat hubungan
antara riwayat keluarga dengan gangguan yang dialami oleh Saudara A. Faktor
risiko psikosis diantaranya yaitu pernikahan, lingkungan, pekerjaan, keuangan,
hukum, penyakit fisik atau cidera, faktor keluarga, dan hubungan interpersonal.
d. Dampak dari gangguan yang dialami Saudara A diantaranya yaitu kesulitan
berinteraksi dengan orang lain, gangguan suasana hati, bicara melantur, dan
kesulitan berpikir jernih.
e. Gangguan yang dialami Saudara A dapat disembuhkan. Dalam proses
penyembuhan psikosis tidak dapat dilakukan sendiri oleh penderita, tetapi juga
harus dibantu oleh pihak lain.
f. Kasus psikosis meningkat saat pandemi covid-19 disebabkan karena kurangnya
interaksi antar individu, kehilangan orang yang disayang (meninggal) akibat
covid-19, dan kecemasan berlebih yang dapat menyebabkan stress berat bagi
masyarakat.
g. Upaya pencegahan dan penanggulangan yang dapat dilakukan diantaranya yaitu
advokasi dan sosialisasi dengan stakeholder terkait upaya peningkatan
kesehatan jiwa masyarakat, mengoptimalkan peran kerja Dinas Kesehatan

3
dalam upaya kesehatan jiwa, meningkatkan cakupan dan pelayanan kesehatan
jiwa, membangun kemitraan yang efektif dengan lintas sektor, dan mendorong
pemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam upaya kesehatan jiwa.
Langkah 4. Problem Tree

Meningkatnya
angka kematian

Meningkatnya Menjadi ancaman Menurunnya


beban ekonomi sosial kesehatan fisik

Meningkatnya
kejadian psikosis

Adanya riwayat Memiliki pengalaman


Mengalami stress berat
keluarga traumatis

Langkah 5. Menetapkan Sasaran Belajar (Formulative Learning Objective)


a. Konsep psikosis (definisi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, faktor risiko, dan
dampak)
b. Distribusi dan frekuensi psikosis (global, nasional, dan kota)
c. Tatalaksana psikosis (diagnosis, penanganan pertama dan pengobatan)
d. Peran pihak terkait dalam mencegah dan menanggulangi psikosis (kesehatan
Masyarakat, lintas sektor, dan masyarakat)

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus berdasarkan Sasaran Belajar


1. Definisi Psikosis
Psikosis atau gangguan psikotik adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh
gangguan menilai realitas dengan adanya halusinasi, waham, perilaku kataton,
perilaku kacau, pembicaraan kacau yang pada umumnya disertai tilikan yang buruk
(1,2). Penderita psikosis tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang
tidak nyata. Ciri utama dari penyandang gangguan psikosis yaitu mereka
mengalami delusi dan halusinasi (3).
Psikosis berbeda dengan neurosis karena neurosis hanya terjadi pada sebagian
kepribadian, masih dapat kontak dengan realitas, jarang terjadi disorientasi, sadar
mengalami gangguan jiwa, jarang membahayakan diri dan orang lain, gejalanya
variative, temporer, dan ringan, serta tidak terlalu memerlukan perawatan rumah
sakit karena mampu secara permanen dan semula untuk sembuh. Sedangkan
psikosis merupakan kebalikan atau versi lebih berat dari neurosis, dimana terjadi
disorientas orang, tempat, dan waktu, serta gejala variasi lebih luas dengan waham
dan halusinasi juga kedangkalan emosi secara kontinu (3).
2. Klasifikasi Psikosis
Beberapa jenis psikosis di antaranya yaitu (4):
1. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan psikosis yang paling umum. Penderita
skizofrenia memiliki perubahan persepsi, pemikiran, emosi, dan perilaku
yang signifikan. Gejalanya antara lain delusi, halusinasi, gangguan pikiran,
dan ketidakmampuan untuk merasakan kebahagiaan atau kesedihan.
2. Gangguan delusional
Gangguan delusional merupakan kondisi di mana penderita memiliki
delusi yang kuat dan tidak rasional. Delusi yang dialami dapat berupa ide-ide
yang tidak wajar, misalnya merasa dikejar, dianiaya, atau memiliki kekuatan
supranatural.

5
3. Gangguan bipolar
Penderita gangguan bipolar mengalami perubahan suasana hati yang
ekstrem dan cepat, dari mania hingga depresi. Selama episode mania,
penderita merasa sangat euforia dan memiliki banyak energi, sementara pada
episode depresi, penderita merasa sedih dan tidak bersemangat.
4. Gangguan paranoid
Penderita gangguan paranoid cenderung curiga dan tidak percaya pada
orang lain. Mereka merasa bahwa orang-orang di sekitarnya ingin melukai
atau merugikan mereka.
5. Gangguan disosiatif
Merupakan kondisi di mana penderita mengalami pemisahan dari
kenyataan. Gejala yang dapat muncul antara lain hilang ingatan,
depersonalisasi (merasa bahwa diri sendiri tidak nyata), dan derealisasi
(merasa bahwa lingkungan sekitar tidak nyata).
6. Psikosis induksi obat
Psikosis dapat juga diinduksi oleh penggunaan obat-obatan tertentu,
seperti narkotika, stimulan, atau alkohol. Penderita dapat mengalami delusi,
halusinasi, dan perubahan perilaku yang signifikan.
PPDGJ‐3 menyebutkan beberapa jenis gangguan psikotik, antara lain:
psikosis organik, skizophrenia, gang‐ guan skizotipal, gangguan waham menetap,
psikosis akut dan sementara, gangguan waham induksi dan skizoafektif
3. Patofisiologi Psikosis
Patofisiologi gangguan psikotik akut terdiri dari peranan faktor biologis dan
psikodinamik. Faktor biologis berupa peningkatan respons sistem dopamin
sedangkan faktor psikodinamik berupa mekanisme adaptasi yang mengarah pada
gangguan psikotik. Sistem dopamin berperan pada patofisiologi gangguan psikotik
akut. Gangguan aktivitas hippocampal dan peningkatan respons dopamin diikuti
penurunan parvalbumin interneuron di hippocampus dan hiperaktivitas regio
hippocampal ventral yang menyebabkan disinhibisi neuron firing dopamin di
mesolimbik. Sehingga muncul peningkatan dua kali lipat dopamin di area ventral

6
tegmental. Stimulus eksternal menyebabkan peningkatan respons sistem dopamine
(5).
4. Gejala Psikosis
Menurut Pedoman Penggolongan Dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ-
III) gangguan jiwa ditandai dengan adanya gejala klinis yang bermakna, dapat
berupa suatu sindrom atau pola perilaku atau pola psikologik yang menimbulkan
distress atau penderitaan pada seseorang, antara lain dapat berupa: rasa nyeri, rasa
tidak nyaman, rasa tidak tenteram, dan disfungsi organ tubuh, serta dapat
menimbulkan kecacatan atau keterbatasan sesorang dalam melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari (6).

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder V (DSM-V),


gangguan psikosis ditandai dengan delusi, halusinasi, disorganisasi dalam
berbicara, sikap motorik abnormal, dan berbagai gejala negatif (apatis, menarik diri,
penurunan daya pikir, dan penurunan afek) (7). DSM-V mengkategorikan gejala
psikotik ke dalam spektrum skizoprenia dan gangguan psikotik lain. Mereka disebut
abnormal ketika terlihat satu atau beberapa gejala yaitu adanya delusi, halusinasi,
disorganisasi fikiran, perilaku motorik yang abnormal, dan simptom negatif yaitu
keadaan abnormal yang berasosiasi dengan skizoprenia namun kurang terlihat pada
gangguan psikotik yang lain (3).

5. Faktor Risiko Psikosis


Beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu gangguan psikosis adalah (3):
1. Faktor Biologi
Salah satu faktor biologi yang dianggap mempengaruhi kemunculan
gangguan mental psikotik adalah komponen genetika. Kerentanan genetik
adalah konsep yang mengacu pada gen yang meningkatkan resiko seseorang
mengalami gangguan mental tertentu. Namun lebih jauh faktor kerentanan
genetik ini juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan yang
mungkin memperburuk potensi dan perkembangan gangguan.
Gangguan psikotik seperti skizoprenia ditenggarai karena dipengaruhi
oleh adanya aktivitas berlebih dari neurotranmiter dopamin. Saat level

7
dopamin terlalu rendah, seseorang mengalami depresi, dan saat kadar
dopamin terlalu tinggi sesorang menjadi manic dan memunculkan keadaan
psikotik.
Ada pula faktor eksternal yang dapat mempengaruhi sistem biokimia
tubuh sehingga muncul gangguan psikotik, yaitu karena penggunaan
beberapa zat dan obat-obatan. Beberapa zat adiktif misalnya berasosiasi
dengan halusinasi. Penggunaan zat seperti alkohol atau kokain dapat
membuat seseorang mengalami delusi, halusinasi, atau kebingungan.
Seseorang yang mengalami ketergantungan pada obat-obatan terlarang akan
memiliki keadaan buruk pada aspek fisiologis, perilaku, dan kognitif mereka.
2. Faktor Psikososial Stres dan Gangguan Kognitif
Gangguan stres dapat melengkapi kerentanan biologis untuk
memunculkan gangguan psikotik. Stres merupakan reaksi yang muncul
akibat seseorang berada dalam lingkungan dengan tekanan yang tidak bisa
ditoleransi oleh orang tersebut. Artinya kemampuan orang dalam ketahanan
terhadap stres akan sangat berbeda. Saat gangguan psikotik sudah muncul,
maka penyandang gangguan menjadi sangat rentan terhadap stres. Mereka
lebih reaktif terhadap berbagai stresor yang dihadapi dalam kehidupan
keseharian.
3. Faktor Lingkungan Terdekat
Penyebab stres adalah karena adanya stresor (pemicu) yang datang dari
lingkungan sekitar. Fenomena stres ini menggambarkan bagaimana aspek
psikologis dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Perspektif psikososial
dalam pekerjaan sosial dapat menjelaskan bagaimana penyandang gangguan
psikotik terlibat dengan keadaan lingkungan yang beresiko sehingga
menempatkan mereka pada situasi yang buruk.
Faktor lingkungan yang berkaitan dengan gangguan psikotik dapat
dikategorikan pada dua kategori yaitu lingkungan pengasuhan (nurturing
environment) dan struktur sosial yang lebih luas. Pada kondisi lingkungan
pengasuhan, lingkungan keluarga merupakan faktor penting dalam
berkontribusi pada gangguan ini.

8
4. Faktor Kesulitan Ekonomi dan Sosial
Berdasarkan strata sosial ekonomi, secara umum gangguan mental terjadi
lebih banyak pada strata sosial ekonomi yang rendah. Korelasi yang konsisten
antara status sosial ekonomi dengan terjadinya sakit mental telah diungkap
oleh banyak hasil riset. Meski alasan tingginya kejadian pada strata rendah
ini belum secara seksama teridentifikasi, namun hal ini dapat dipahami
mengingat orang-orang dari kelompok marginal lebih banyak dihadapkan
pada berbagai kesulitan hidup.
Selain dihadapkan pada bebagai kesulitan sosial ekonomi, terjadinya
perubahan yang memunculkan keadaan yang tidak dikehendaki juga dapat
berkontribusi pada keadaan gangguan mental. Kejadian yang terkait
perubahan ini diantaranya pada perubahan peran yang disebabkan seperti oleh
kematian pasangan hidup, perceraian dan pernikahan, situasi berhenti dari
bekerja atau situasi pekerjaan baru yang penuh tekanan.
6. Dampak Psikosis
Gangguan psikosis memiliki berbagai dampak negatif pada individu yang
mengalaminya. Individu dengan gangguan psikosis memiliki resiko di atas 10%
seumur hidupnya untuk melakukan percobaan bunuh diri, angka ini 12 kali lebih
beresiko daripada populasi pada umumnya. pengidap gangguan psikosis
mengalami disabilitas sosial seperti kemampuan merawat diri yang menurun, tidak
dapat berkerja, penurunan fungsi dalam keluarga, dan fungsi pada konteks yang
lebih luas yakni partisipasi sosial. Gangguan psikosis mengurangi kemampuan
seseorang untuk berpikir logis, merencanakan, dan menyelesaikan masalah (7).
Gangguan psikosis juga disertai dengan stigma sosial. Berbagai stigma
negatif yang masyarakat berikan di antaranya adalah penggunaan bahasa yang
merendahkan, halangan untuk mendapatkan pekerjaan, batasan dalam
menggunakan fasilitas publik, berkurangnya kesempatan untuk menikah, dan
meningkatnya kesalahan perawatan. Gangguan ini juga berdampak pada tingkat
sosial yang lebih luas seperti negara. Besarnya biaya dan kerugian yang dihabiskan
terkait gangguan ini oleh negara, mungkin erat hubungannya dengan biaya

9
perawatan gangguan psikosis yang dua kali lebih mahal daripada biaya perawatan
penyakit fisik kronis lainnya (7).
7. Distribusi dan Frekuensi Psikosis
Kasus psikosis di dunia terjadi pada rentang usia 15-29 tahun dimana usia
puncak untuk pria dan wanita berada di rentang usia 20-24 tahun. Usia remaja
hingga dewasa muda banyak menderita psikosis karena pada usia tersebut
cenderung memperoleh tekanan yang cukup banyak dari beban pendidikan,
ekonomi, pekerjaan, tuntutan memiliki pasangan dan anak, dan lain sebagainya.
Selain itu, pria cenderung lebih banyak menderita psikosis ketimbang wanita.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2022, terdapat 23 juta
orang yang menderita psikosis di dunia. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 31,3%
penderita yang telah memperoleh layanan spesialis jiwa (8,9).
Sementara di Indonesia, data Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018
mencatat penderita dari penduduk berusia lebih dari 15 tahun sebanyak 9,8% atau
lebih dari 20 juta orang terkena gangguan mental emosional. Selain itu, sebanyak
6,1% atau sekitar 12 juta orang mengalami depresi dan 450.000 menderita psikosis
yang merupakan gangguan jiwa berat. Hasil Riskesdas 2018 juga menyebutkan,
prevalensi psikosis di Indonesia sebanyak 6,7 per 1.000 rumah tangga. Artinya dari
1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai anggota rumah
tangga penderita psikosis. Gangguan ini mempunyai prevalensi yang kecil
dibandingkan gangguan jiwa lainnya bahkan dengan penyakit fisik, tetapi
mempunyai beban penyakit yang cukup tinggi dengan perhitungan Years Of Life
Lost To Disability (YLD) untuk menghitung Global Burden Of Diseases (GBD)
tahun 2016, skizofrenia menempati rangking ke-15 menimbulkan beban ekonomi
Kesehatan (10).
Hasil Riskesdas (2018) menyebutkan Provinsi Bali menempati posisi pertama
sebagai provinsi dengan prevalensi psikosis tertinggi, yakni sebesar 11,1% diikuti
Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 10,4%, dan Nusa Tenggara Barat sebesar
9,6%. Sementara Kalimantan Selatan menduduki peringkat 27 sebagai provinsi
dengan kasus psikosis terbanyak di Indonesia. Prevalensi di Kalimantan Selatan
sebanyak 5,1% pada 2018 silam (10).

10
Namun, berdasarkan data jumlah orang dengan gangguan jiwa yang
mendapatkan pelayanan sesuai standar, 5.001 kasus, 81% pada tahun 2020.
Sedangkan yang dilaporkan oleh masing-masing kabupaten/kota di Kalimantan
Selatan lebih banyak lagi, yaitu 6.193 kasus skizofrenia dan gangguan psikosis di
13 kabupaten/kota pada 2020 dengan jumlah penduduk 4.303.979 dimana sebagian
kasus bisa ditindaklanjuti di puskesmas, sehingga tidak dirujuk ke rumah sakit.
Kemudian kasus pasung ODGJ yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan tahun 2021 mengalami penurunan sebanyak
53 kasus dari tahun 2020 sebanyak 76 kasus. Data Riskesdas juga mencantumkan
prevalensi tertinggi ditempati Kabupaten Hulu Sungai Tengah sebesar 13,58%.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Kalsel dengan lintas sektor terus berupaya
meningkatkan pelayanan rehabilitasi dan pengobatan bagi ODGJ di Kalimantan
Selatan (11).
8. Penanganan Pertama Psikosis
Serangan pertama kali yang muncul pada diri penderita dapat dihadapi orang
sekitarnya dengan menjaga emosi (tidak balik membentak) karena emosi penderita
tidak stabil sehingga orang terdekat tidak dianjurkan sama-sama emosi. Orang
terdekat lebih baik memberikan kata-kata penenang dan tidak berbuat kasar untuk
menahan pergerakan penderita (jika mengamuk). Selain itu, budaya pasung
penderita yang diduga mengalami gangguan kejiwaan tidak seharusnya dilakukan.
Orang terdekat lebih baik segera menghubungi psikiater/psikolog/tenaga kesehatan
terdekat untuk menentukan langkah selanjutnya terhadap penanganan penderita
(12).
Diagnosis pribadi (self-diagnose) yang kini marak dilakukan orang awam
juga tidak tepat. Penegakan diagnosis sebaiknya dilakukan oleh tenaga ahli
sehingga penentuan masalah kesehatan jiwa yang dialami penderita sesuai dengan
penanganan yang seharusnya dilaksanakan. Dengan begitu, sebab-akibat terjadinya
gangguan pada penderita dapat ditemukan secara lebih ilmiah dan jelas. Hal ini
dilakukan untuk menghindari pemikiran-pemikiran bahwa penderita menerima
gangguan mistis khususnya bagi daerah-daerah terpencil yang masih kuat tradisi
dan pemahamannya disertai pengetahuan yang kurang (12).

11
Sementara tahapan penanganan pertama penderita psikosis bagi tenaga
profesional kejiwaan adalah dengan melakukan penapisan dan tindakan pertama
kasus yang perlu dirujuk dan kegawatdaruratan psikiatrik. Setelah itu, tenaga
profesional kejiwaan melakukan komunikasi yang baik dengan pasien dan
keluarganya. Kemudian, tenaga profesional kejiwaan mengenali dan melakukan
penatalaksanaan kasus psikososial dalam keluarga penderita gangguan psikiatrik,
di institusi-institusi khusus, dan di masyarakat (12,13).
9. Diagnosis Psikosis
Kejadian psikosis perlu ditegakkan dengan diagnosis yang tepat. Tindakan
penegakan diagnosis meliputi evaluasi medis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
status mental pasien, dan tes lainnya yang sesuai. Evaluasi medis dan pemeriksaan
fisik dilakukan untuk melihat adanya kerusakan otak yang berpotensi menyebabkan
gangguan kejiwaan (disebut psikosis organik). Beberapa tes yang dapat menunjang
diagnosa skizofrenia meliputi (14,15):
a. MRI (Magnetic Resonance Imaging) adalah gambaran otak yang dibuat
dengan magnet khusus untuk memeriksa tumor atau perubahan struktur otak
lainnya.
b. CAT (Computed Axial Tomography) atau CT scan merupakan gambaran otak
yang menggunakan teknik sinar-X khusus untuk memeriksa beberapa
perubahan tidak biasa seperti tumor.
c. EEG (Electroencephalogram) digunakan untuk memeriksa gelombang otak
dan kejang-kejang.
d. Skrining obat ialah tindakan untuk memastikan diagnosis psikosis bukan
berasal dari zat kimia obat.
e. Tes darah untuk memastikan tidak ada virus, bakteri, atau penyakit lain yang
muncul dalam darah yang mungkin menyebabkan gejala.
Apabila tidak ditemukan kerusakan jaringan otak saat pemeriksaan fisik,
maka selanjutnya penderita akan diarahkan untuk melakukan pemeriksaan mental.
Pemeriksaan mental dilakukan dengan cara observasi dan wawancara kepada
penderita oleh tenaga medis kejiwaan/tenaga kesehatan profesional terkait (dokter
kejiwaan/psikolog klinis). Dokter kejiwaan tersebut bertugas dalam mengawasi

12
perbuatan, perkataan, pola pikir, tata bahasa, dan aspek lain yang mampu diamati
untuk mengetahui penderita menderita suatu gangguan kejiwaan atau tidak (14,15).
Diagnosis psikosis dimulai dengan pengumpulan gejala khasnya. Tenaga
medis kejiwaan akan menyelidiki masalah pribadi pasien dari perspektif pasien dan
keluarganya, serta catatan medis individu dan keluarga. Prosesnya sederhana dan
bersifat sangat rahasia. Tes kesehatan akan direkomendasikan jika dokter menduga
bahwa gejala tersebut disebabkan oleh kondisi fisik lainnya. Secara umum, pasien
bisa meminta pendapat dokter umum terlebih dahulu untuk menentukan apakah
rujukan ke psikiater atau psikolog untuk diagnosis dan perawatan lebih lanjut
diperlukan atau tidak. Sebagai alternatif, keluarga atau teman pasien atau petugas
kesehatan bisa meminta bantuan EASY (Early Assessment Service for People with
Psychosis - Layanan Pemeriksaan Dini untuk Penderita Psikosis) yang memiliki
sistem rujukan terbuka dan langsung melalui (2928-3283) atau (
http://www3.ha.org.hk/easy/eng/help.html ). Jika kondisinya serius, pasien juga
dapat mencari bantuan langsung dari departemen A&E di rumah sakit. Selain itu,
pemerintah dan beberapa organisasi publik juga menyediakan paket layanan yang
relevan kepada masyarakat dengan diagnosis dan tindak lanjut professional (14,
15,16).
10. Pengobatan Psikosis
Pengobatan psikosis disesuaikan dengan jenis gangguan dan kondisi yang
dialami pasien. Secara umum, pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala
target, menghindari efek samping, memperbaiki fungsi dan produktivitas
psikososial, mencapai kepatuhan terhadap rejimen yang ditentukan, serta
melibatkan pasien dalam perencanaan pengobatan. Sebelum melakukan perawatan,
pasien diarahkan tenaga medis untuk melakukan pemeriksaan status mental, fisik,
dan neurologis, riwayat keluarga dan sosial yang lengkap, wawancara diagnostik
kejiwaan, serta pemeriksaan laboratorium (hitung darah lengkap, elektrolit, fungsi
hati, fungsi ginjal, elektrokardiogram, puasa glukosa serum, lipid serum, fungsi
tiroid, dan layar obat kencing) (17).
Pengobatan psikosis dapat bervariasi, mulai dari hanya memberikan obat-
obatan khusus hingga konsultasi pasien dan/atau orang terdekat pasien. Pengobatan

13
dilakukan oleh tenaga medis kejiwaan. Jumlah pengobatan melalui terapi fisik dan
mental cukup banyak. Beberapa macam pengobatan pada psikosis, antara lain
(17,18,19):
a. Terapi Awal
Terapi dilaksanakan selama 7 hari pertama setelah mengalami penurunan
agitasi, permusuhan, kecemasan, serta agresi dan normalisasi tidur juga makan.
Kisaran dosis obat-obatan terapi awal mencapai 50% dari pasien sakit kronis. Obat
harus digunakan dengan dosis yang optimal selama 4-6 minggu sebelum
memutuskan keefektifan obat. Setelah 20 minggu pada dosis yang stabil, maka
peningkatan dosis yang sederhana dapat dipertimbangkan. Pasien harus selalu
dipantau terkait efektivitas pengobatan, efek samping, kepatuhan pasien, dan
kesehatan fisik). Pasien dengan resiko kardiovaskular dapat bermasalah dengan
pengobatan antipsikotik atipikal, maka pasien harus dipantau secara teratur terkait
berat badan, profil lipid dan glukosa, serta EKG. Jika tidak ada perbaikan dalam
waktu 3-4 minggu pada dosis terapeutik, maka antipsikotik alternatif harus
dipertimbangkan.
b. Terapi Stabilisasi
Terapi berlangsung selama minggu 2 dan 3 guna meningkatkan sosialisasi,
perawatan diri, dan mood penderita. Perbaikan dalam gangguan pemikiran formal
umumnya memerlukan waktu 6-8 minggu tambahan. Titrasi dosis dapat berlanjut
setiap 1-2 minggu selama pasien tidak memiliki efek samping. Jika perbaikan gejala
tidak memuaskan setelah 8-12 minggu terapi dengan dosis cukup, maka penderita
dapat dipertimbangkan masuk pada tahap algoritma berikutnya.
c. Terapi Pemeliharaan
Terapi pemeliharaan merupakan lanjutan pengobatan yang berlangsung
paling sedikit selama 12 bulan setelah penggunaan generasi psikotik pertama.
Farmakoterapi seumur hidup diperlukan pada sebagian besar penderita psikosis.
Secara umum, apabila beralih dari satu antipsikotik ke antipsikotik yang lain, maka
obat pertama harus diturunkan bertahap dosisnya sebelum penghentian dan
dihentikan selama 1-2 minggu sementara antipsikotik kedua dimulai dan digunakan

14
secara bertahap. Hal ini bertujuan agar penderita tidak mengalami gejala kolinergik
rebound.
d. Terapi Non Farmakologi
Perawatan psikologis untuk pengelolaan psikosis berupa terapi ECT
(Electroconvulsive), terapi perilaku kognitif, pendekatan berbasis keluarga, beserta
rehabilitasi dalam psikosis. Terapi ECT efektif untuk penderita gangguan psikosis
terutama penderita yang memiliki tingkat mood atau gejala positif lebih tinggi,
memiliki ciri khas katatonik, memiliki penyakit baru-baru ini, atau yang
memerlukan respons cepat (misalnya pasien kekurangan gizi atau agresif). Selain
itu terdapat terapi perilaku kognitif pada individual dan keluarga signifikan dalam
mengurangi kekambuhan, masuk ke rumah sakit, tingkat keparahan gejala dan
kesusahan, kekerasan dan agresi, penggunaan zat, serta angka bunuh diri dan
tunjangan untuk keluarga dan perawat sekaligus meningkatkan fungsi dan kinerja
kognitif serta pengobatan. Terapi penderita juga perlu didukung pendekatan
berbasis keluarga untuk penderita karena dapat membantu mengurangi emosi yang
diekspresikan penderita secara berlebihan dan mencegah kekambuhan. Model
intervensi keluarga mencakup pendidikan psikososial, pendidikan keluarga, dan
konsultasi keluarga. Terapi non farmokologi juga mencakup rehabilitasi agar
membantu penderita membangun keterampilan emosional, sosial, dan intelektual
yang dibutuhkan untuk hidup dengan sedikit dukungan profesional.
e. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi, meliputi algoritma dan guideline terapi, antipsikotik,
penstabil mood, antidepresan, dan antianxietas. Algoritma dan guideline terapi
berisi pilihan antipsikotik yang mempertimbangkan karakteristik klinis pasien dan
profil efek samping dan efek obat (tahapan dapat dilewatkan tergantung pada
gambaran klinis atau riwayat kegagalan antipsikotik) dan episode pertama atau
sebelumnya tidak pernah diobati dengan SGA. Obat antipsikotik mampu
mengurangi gejala psikosis dalam berbagai kondisi, memperbaiki mood, dan
mengurangi kecemasan dan gangguan tidur. Penstabil mood seperti lithium dan
agen antikonvulsan (termasuk asam valpoatdan karbamazepin) telah banyak
digunakan dan terbukti hasilnya. Antidepresan memiliki fungsi yang sangat luas,

15
seperti untuk pengobatan gangguan panik, kecemasan umum, stress pasca trauma,
dan gangguan obsesif-kompulsif. Selain itu, antidepresan dapat digunakan untuk
mengobati nyeri neuropatik dan fibromyalgia. Antianxietas salah satunya
Benzodiazepin direkomendasikan untuk pengobatan Generalized Anxiety Disorder
(GAD) akut jika diperlukan bantuan jangka pendek, sebagai tambahan saat
memulai terapi antidepresan, atau untuk memperbaiki tidur dengan peningkatan
signifikan pada 65-75% pasien GAD dalam 2 minggu. Jenis obat-obatan
antianxietas lainnya, yaitu Alprazolam, Diazepam, Lorazepam, Nitrazepam, dan
Midazolam.
Sebagian besar pasien psikosis diobati sebagai pasien rawat jalan dan tidak
perlu dirawat di rumah sakit. Penderita memperoleh perawatan di tengah-tengah
masyarakat akan memungkinkan penderita untuk merasakan dukungan dan
dorongan dari anggota keluarga dan teman yang dapat membantu pemulihan diri.
Pada saat yang sama, penderita juga mampu belajar lebih banyak tentang kondisi
kejiwaan dan mendapatkan pemeriksaan rutin di klinik rawat jalan. Namun,
beberapa pasien dengan psikosis memang perlu dirawat di rumah sakit untuk
dilakukan pemeriksaan kesehatan terperinci dan intervensi intensif. Rumah sakit
juga memberikan lingkungan yang lebih nyaman dan santai agar pasien dapat
merasakan tingkat keamanan dan stabilitas yang lebih baik (17,18,19).
Perawatan komprehensif yang dilalui penderita psikosis memerlukan
dukungan dari anggota keluarga dan teman. Penderita juga harus terlibat aktif
dalam rencana perawatan diri, belajar lebih banyak tentang psikosis dan proses
pemulihannya, serta mengerti bagaimana cara membantu diri sendiri untuk
melanjutkan kehidupan normal. Oleh karena itu, penderita harus merencanakan
perawatan diri sendiri dalam kemitraan bersama dengan para tenaga psikiatri
profesional. Psikosis mampu mengganggu perkembangan personal, sosial,
akademik, atau pekerjaan penderitanya sehingga penting dilakukan pertimbangan
rincian bagaimana cara penderita dapat melanjutkan studi dan karier normal
setelahnya dan bagaimana penderita harus mengatasi kekhawatiran dan tekanan
yang disebabkan oleh kondisi mental penderita. Para tenaga psikiatri profesional
mendukung penderita dengan memahami hak dan tanggung jawab penderita

16
sekaligus mendorong penderita untuk mencari saran profesional yang bersifat
relevan (17,18,19).
11. Peran Berbagai Pihak dalam Mencegah dan Menanggulangi Psikosis
Psikosis yang prevalensinya terus bertambah tiap tahun perlu dicegah dan
ditanggulangi dengan maksimal karena berdampak besar pada individu, keluarga
hingga negara dalam berbagai aspek. Pihak kesehatan masyarakat fokus pada
bidang preventif dan promotif. Oleh karena itu, pihak kesehatan masyarakat yang
dikelola atau diarahkan oleh Dinas Kesehatan dan Puskesmas mampu melakukan
edukasi masyarakat ke seluruh kalangan mengenai konsep psikosis, cara
penanganan pada penderita, alur pengobatan, dan lain-lain. Kesehatan masyarakat
juga dapat memegang andil dalam melakukan pendekatan berbasis keluarga pada
pasien dengan memberikan informasi-informasi yang telah dikaji pihak psikologi
dan kedokteran terkait psikosis melalui psikoedukasi. Peran promotif pun dapat
dilakukan dengan menyebarkan informasi secara masif menggunakan media online
maupun offline. Sementara Dinas Kesehatan (yang lebih spesifik dikelola Bidang
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Seksi Penyakit Tidak Menular dan
Kesehatan Jiwa (P2P PTM dan Keswa) mampu mengelola pencatatan dan
pelaporan kasus serta penyiapan penyusunan kebijakan prosedur mengenai
pencegahan dan pengendalian kesehatan jiwa yang dibantu Kementerian
Kesehatan, unit Puskesmas dan instansi kesehatan masyarakat lain (13).
Selain itu, lintas sektor kesehatan masyarakat yang berperan besar dalam
kasus psikosis adalah psikiater dan psikolog dari bidang psikologi/kedokteran
kejiwaan. Psikolog berfungsi dalam pelaksanaan konsultasi atau keluh kesah tahap
awal hingga menengah yang dirasakan masyarakat umum yang merasa kesehatan
jiwanya sedang atau telah terganggu. Sementara psikiater berperan dalam
mendiagnosis dan menangani gangguan kejiwaan penderita serta memberikan
terapi pengobatan untuk mencegah kekambuhan penderita. Instansi lain seperti
Dinas Sosial juga membantu menyaring orang-orang dengan gangguan kejiwaan
yang kerap berkeliaran di sekeliling masyarakat guna memberikan bantuan
rehabilitasi, pemenuhan sandang, pangan, dan papan, serta wadah penderita
gangguan kejiwaan untuk memulihkan keterampilan bertahan hidup. Peran

17
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki visi, misi, dan tujuan untuk
menangani penderita gangguan kejiwaan di masyarakat. LSM membantu pihak
pemerintah dalam meningkatkan pencarian kasus psikosis (13).
Proses psikoterapi individu dan kelompok pada penderita psikosis turut
melibatkan peran banyak pihak. Konsep terapi yang mendasari mampu
diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari penderita untuk membantu
pemulihan. Misalnya penderita didorong untuk kembali ke sekolah atau tempat
kerja agar dapat berinteraksi dengan lebih banyak orang dan tetap berhubungan
dengan kenyataan hidup. Layanan semacam ini bisa diberikan oleh tim
multidisiplin yang mencakup psikiater, petugas intervensi, psikolog, terapis
okupasi, pekerja sosial medis, pekerja sosial, dan petugas layanan kesehatan dari
berbagai layanan Lembaga Swadaya Masyarakat (13,20).
Sementara masyarakat termasuk keluarga dan orang terdekat penderita
diharapkan untuk terus mendukung penderita secara emosional (emotional
support). Masyarakat juga dapat saling mengingatkan untuk tidak mengejek,
mempermalukan, dan mendiskriminasi para penderita psikosis. Hal ini dilakukan
terutama pada penderita tingkat berat yang tinggal di jalanan (tunawisma) dan tidak
memiliki keluarga lagi). Dukungan dan dorongan dari keluarga dan teman sangatlah
penting bagi pemulihan psikosis episode pertama pasien (13).
Pemerintah sendiri telah mengatur kebijakan terkait psikosis dalam Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa; Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang PIS-PK (Program Indonesia Sehat
dengan Pendekatan Keluarga); Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor HK.02.02/Menkes/73/2015 tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Jiwa; dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 4 Tahun
2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar. Dengan demikian,
pemerintah daerah wajib menyediakan program dan sarana prasarana untuk
menjamin penderita gangguan jiwa berat ini ditangani dengan baik. Psikosis juga
menjadi salah satu dari 12 indikator Keluarga Sehat Indonesia. Berdasarkan
Permenkes Nomor 39 Tahun 2016 tentang PIS-PK, orang dengan gangguan jiwa
berat (psikosis) tidak boleh ditelantarkan dan harus mendapatkan pengobatan sesuai

18
standar. Keluarga wajib membawa keluarganya yang menderita gangguan jiwa
berat untuk diobati secara medis dan rutin (13).
Pihak stakeholder juga telah mengeluarkan Rencana Aksi Kegiatan Masalah
Kesehatan Jiwa dan NAPZA Tahun 2020-2024. Rencana berisi target kasus
kesehatan jiwa (mencakup psikosis) di Indonesia tersebut berjumlah 5 butir yang
berbunyi sebagai berikut (13):
1) Sebanyak 514 kabupaten/kota telah melaksanakan deteksi dini masalah
kejiwaan dan NAPZA pada akhir 2024.
2) Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang telah mendapatkan layanan
sebesar 100% pada akhir 2024.
3) Penyalahguna NAPZA telah melakukan rehabilitasi sebanyak 11.500 orang
pada akhir 2024.
4) Penderita depresi berusia ≥ 15 tahun yang telah mendapatkan layanan sebesar
50% pada akhir 2024.
5) Penderita gangguan mental emosional ≥ 15 tahun yang telah mendapatkan
layanan sebesar 50% pada akhir 2024.

B. Analisis Kasus pada Skenario Lebih Mendalam


Pada skenario di sebutkan seorang saudara A berjenis kelamin laki-laki,
berusia 25 tahun, dia seorang karyawan swasta dan saat ini dibawa ke UGD Rumah
Sakit Jiwa “Sumber Waras” oleh kakak nya dan orang tua nya karena mengamuk,
merusak barang-barang di rumah, dan mengancam akan membakar rumah nya dan
rumah tetangganya. Kasus yang terjadi menurut keterangan tersebut bisa
disebabkan karena adanya gangguan kejiwaan yang biasa disebut dengan psikosis.
Dimana psikosis adalah suatu kondisi mental yang tidak normal yang sering disertai
dengan delusi, halusinasi, dan kemampuan bicara yang tidak terorganisir. Selain itu
juga disertai dengan pikiran, emosi, dan perasaan orang yang menderita psikosis
seringkali tidak berhubungan dengan kenyataan. Dapat diketahui bahwa umur
saudara A berumur 25 diamana rentan umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1,8
kali lebih besar menderita psikosis dibandingkan umur 17-24 tahun. Selain itu juga
Jenis kelamin Proporsi psikosis terbanyak adalah laki-laki (72%) dengan

19
kemungkinan laki-laki berisiko 2,37 kali lebih besar mengalami kejadian psikosis
dibandingkan perempuan. Hal ini dikarenakan laki-laki lebih mudah terkena
gangguan jiwa karena laki-laki yang menjadi penopang utama rumah tangga
sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup.
Berdasarkan keterangan dari keluarga pasien, pasien juga merasa dimusuhi
oleh orangtuanya dan juga saudaranya yang lain, bahkan khawatir makanan atau
minumannya diberi racun oleh mereka. Hal tersebut merupakan gejala yang khas
untuk penyakit psikosis yang biasa disebut sebagai waham, yaitu dimana
keyakinan/pikiran/persepsi yang salah terhadap sesuatu hal yang tidak sesuai
dengan kenyataan, seperti merasa ada yang mengejar-ngejar, memperhatikan,
berniat jahat, merasa diomongin dan dijauhi oleh teman-teman, atau merasa punya
kekuatan/kehebatan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataannya. Sehingga
pasien merasakan bahwa dirinya akan dilukai oleh orang sekitar yang nantinya akan
menyebabkan pasien mudah emosi dan mengamuk kepada orang sekitar karena rasa
ketakutan yang ditimbulkan oleh waham tersebut.
Menurut orang tuanya, saudara A mulai tampak ada perubahan perilaku sejak
2 minggu sebelumnya karena merasa rekan-rekan kerjanya tidak suka dan
memusuhinya, sehingga dia tidak mau masuk kerja. Orang tuanya menduga dia
mengalami stres yang berat setelah tidak bekerja. Menurut pengakuan dari keluarga
dapat dilihat bahwa penderita menarik diri dari lingkungan sosial sehingga
terisolasi dan tidak berhubungan dengan orang luar, hal ini bisa dikarenakan
terdapat gejala halusinasi yang menyebabkan gangguan persepsi panca indra,
mendengar suara suara bisikan, melihat bayangan. Terkait stres berat berdasarkan
keterangan dari keluarga itu hanyalah asumsi saja, dimana gejala tersebut hanya
baru dirasakan oleh keluarganya saja sehingga hanya asumsi oleh karena itu perlu
adanya diagnosis lebih lanjut dari tenaga kesehatan seperti psikiater.
Dari Riwayat keluarga diketahui bahwa adik laki-laki ibunya juga pernah
mengalami gangguan yang serupa. Dari pemeriksaan fisik tidak didapatkan
kelainan. Pernyataan tersebut memperkuat faktor risiko yang memicu terjadinya
penyakit psikosis karena faktor genetik turut menentukan timbulnya psikosis.
Dimana kemungkinan bagi saudara A terkena psikosis karena dari keluarga pernah

20
memiliki riawayat tersebut sebesar 7-15%. Diperkirakan bahwa yang diturunkan
adalah potensi untuk mendapatkan psikosis melalui gen yang resesif. Potensi ini
mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi selanjutnya tergantung pada lingkungan
individu itu apakah akan terjadi manifestasi psikosis atau tidak.
Sehingga pada skenario di sebutkan bahwa perlu ada nya tindakan
pemeriksaan mental untuk memastikan gangguan yang dialami saudara A tersebut
dengan cara diagnosis dari psikosis ditegakkan melalui pemeriksaan status mental.
Kemudian dokter akan melakukan beberapa pemeriksaan penunjang jika dicurigai
gejala psikosis yang muncul diakibatkan suatu kelainan organik yang diidap oleh
penderita. Misalnya dengan pemeriksaan CT scan atau MRI. Karena dari gangguan
yang dialami saudara A tersebut merujuk pada gejala dari penyakit psikosis, adapun
penegakan diagosis dengan cara yang dilakukan oleh psikiater.
Pada skenario juga menyebutkan bahwa kasus serupa meningkat di Indonesia
semenjak kejadian pandemic Covid-19 melanda dunia. Hal tersebut dapat dipicu
karena adanya kecemasan berlebih yang diawali karena adanya situasi yang
mengancam sebagai suatu stimulus yang berbahaya. Pada keadaan pandemi ini juga
dapat menyebabkan kecemasan masyarakat meningkat karena cemas tertular,
pendidikan terganggu, pekerjaan terancam, dan lainnya. Selain itu anak dapat
menjadi kecanduan/adiksi menggunakan internet akibat terus-menerus
menggunakan handphone sampai tidak terkontrol. Hal-hal tersebut dapat
mempengaruhi dan mengganggu perkembangan kesehatan jiwa mereka karena
hanya berinteraksi dengan internet saja tidak bersama teman-teman sebaya seperti
biasanya. Bila masalah kesehatan jiwa pada anak dan remaja akibat dampak Covid-
19 ini tidak ditangani dengan baik, maka dapat mengakibatkan gangguan stres
paska trauma, gangguan jiwa atau masalah psikososial lainnya pada anak dan
remaja kedepannya.

21
C. Rekomendasi
Rekomendasi yang utama dapat dilakukan adalah advokasi di tingkat
pemerintah agar mampu membuat keputusan dan ketetapan berupa peraturan
tertulis terkait penyakit kejiwaan yang akan digunakan sebagai acuan pembuatan
program dan mendukung keberhasilan program yang akan dilaksanakan, selaian itu
juga bisa dilakukan kolaborasi tenaga kesehatan antara pihak puskesmas setempat
dengan psikiater untuk pencegahan maupun penanganan penyakit kejiwaan, dan
juga dapat dibantu oleh kader untuk membantu memantau masyarakat yang diduga
memiliki gangguan kejiwaan dengan harapan agar penemuan kasus lebih cepat dan
ditangani dengan baik. Selain itu juga bisa bekerja sama dengan pihak keamanan
seperti polisi maupun penjaga keamanan di desa tersebut untuk memastikan tidak
adanya tindak kekerasan atau diskriminasi terhadap penderita penyakit kejiwaan
dan juga memastikan tidak adanya tindakan pemasungan pada penderita karena hal
tersebut justru dapat memperparah penyakit yang dialaminya.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Jenis gangguan yang dialami adalah gangguan jiwa psikosis. Gangguan
psikosis adalah adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh gangguan menilai realitas
dengan adanya halusinasi, waham, perilaku kataton, perilaku kacau, pembicaraan
kacau yang pada umumnya disertai tilikan yang buruk. Psikosis terbagi beberapa
jenis, diantaranya skizofrenia, gangguan delusional, bipolar, paranoid, disosiatif,
dan psikosis induksi obat. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder V (DSM-V), gangguan psikosis ditandai dengan delusi, halusinasi,
disorganisasi dalam berbicara, sikap motorik abnormal, dan berbagai gejala negatif
(apatis, menarik diri, penurunan daya pikir, dan penurunan afek). Pengobatan
psikosis disesuaikan dengan jenis gangguan dan kondisi yang dialami pasien.
Pengobatan ditujukan untuk mengurangi gejala target, menghindari efek samping,
memperbaiki fungsi dan produktivitas psikososial, mencapai kepatuhan terhadap
rejimen yang ditentukan, serta melibatkan pasien dalam perencanaan pengobatan.

B. Saran
1. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada penderita yang mengalami
gangguan jiwa agar diketahui lebih pasti terkait diagnosis gangguan yang
dialami
2. Pemberian penyuluhan dan edukasi kepada masyarakat luas terkait gangguan
jiwa agar masyarakat mengetahui dan menyadari gangguan jiwa yang terjadi
di lingkungan sekitar sehingga dapat memberikan pertolongan kepada
penderita.
3. Perlu adanya peran berbagai lintas sektor dalam membantu penanganan
gangguan kejiwaan

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Idaiani S, Yunita I, Tjandrarini DH, Indrawati L, Darmayanti I,


Kusumawardani N, et al. Prevalensi Psikosis di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar 2018. J Penelit dan Pengemb Pelayanan Kesehat.
2019;3(1):9–16.
2. Lumingkewas PE, Pasiak TF, Ticoalu SHR. Indikator yang Membedakan
Gejala Psikotik dengan Pengalaman Spiritual dalam Perspektif Neurosains
(Neuro-Anatomi). J e-Biomedik. 2017;5(2).
3. Taftazani BM. Pelayanan Sosial Bagi Penyandang Psikotik. In: Prosiding
Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. 2017. p. 129.
4. Subandi. Kaget , Bingung , Dan Teror : Dimensi Psikokultural Dalam
Pengalaman Psikotik. J Fak Psikol Univ Gadjah Mada. 2017;34(1):40–54.
5. Gaebel W, Zielasek J. Focus on psychosis. Dialogues Clin Neurosci.
2022;17(1):9–18.
6. Rachmani S, Mayasari D. Kombinasi Farmakoterapi dan Psikoterapi Pada
Pengobatan Episode Depresif Sedang Dengan Gejala Somatis Combination Of
Pharmacotherapy And Psychotherapy On The Treatment Of Moderate
Depressive Episode With Somatic Symptoms. J medula unila. 2017;7(2):133–
9.
7. Salsabila Hanan KAT. Pemetaan Remaja dengan Status Mental Beresiko
Gangguan Psikosis Berdasarkan faktor Genetik dan Trauma Masa Lalu. J
Psikol Klin dan Kesehat Ment. 2016;6(2):42–56.
8. Barajas A, Ochoa S, Obiols JE, Lalucat-Jo L. Gender differences in individuals
at high-risk of psychosis: A comprehensive literature review. Sci World J.
2015;2015.
9. Tan W, Lin H, Lei B, Ou A, He Z, Yang N, et al. The psychosis analysis in
real-world on a cohort of large-scale patients with schizophrenia. BMC Med
Inform Decis Mak [Internet]. 2020;20(Suppl 3):1–19. Available from:
http://dx.doi.org/10.1186/s12911-020-1125-0
10. Idaiani S, Yunita I, Tjandrarini DH, Indrawati L, Darmayanti I,
Kusumawardani N, et al. Prevalensi Psikosis di Indonesia berdasarkan Riset

24
Kesehatan Dasar 2018. J Penelit dan Pengemb Pelayanan Kesehat.
2019;3(1):9–16.
11. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Provinsi Kalimantan Selatan RISEKDAS
[Internet]. Laporan Riskesdas Nasional 2019. 2020. 493 p. Available from:
https://ejournal2.litbang.kemkes.go.id/index.php/lpb/issue/view/253
12. Taftazani BM. Pelayanan Sosial Bagi Penyandang Psikotik. Pros Penelit dan
Pengabdi Kpd Masy. 2017;4(1):129.
13. Kemenkes RI. Rencana Aksi Kegiatan 2020 - 2024 Direktorat P2 Masalah
Kesehatan Jiwa dan Napza. Ditjen P2P Kemenkes [Internet]. 2020;29.
Available from: https://e-renggar.kemkes.go.id/file2018/e-performance/1-
401733-4tahunan-440.pdf
14. Perdahli Fis N, Gumustas F. Early-onset psychosis: What is the diagnostic
outcome? Eur J Psychiatry. 2018;32(4):159–65.
15. Stoyanov D. Advances in the diagnosis and management of psychosis. Curr
Infect Dis Rep. 2023;4(3):1–3.
16. Putri, G., V., G. Sistem pakar diagnosa mental ilness sikosis dengan
menggunakan metode certainty factor. J Inovtek Polbeng - Seri Inform.
2018;3(2):164–8.
17. Taylor PJ, Perry A, Hutton P, Tan R, Fisher N, Focone C, et al. Cognitive
Analytic Therapy for psychosis: A case series. Psychol Psychother Theory, Res
Pract. 2019;92(3):359–78.
18. Rachmani S, Mayasari D. Kombinasi Farmakoterapi dan Psikoterapi Pada
Pengobatan Episode Depresif Sedang Dengan Gejala Somatis Combination Of
Pharmacotherapy And Psychotherapy On The Treatment Of Moderate
Depressive Episode With Somatic Symptoms. J medula unila. 2017;7(2):133–
9.
19. Pratiwi D, Salman. Penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia. Syntax
Lit. 2021;7(11):16351–7.
20. Dini P, Anda J. Psikosis Dini. 2018;1–7.

25

Anda mungkin juga menyukai