Oleh:
Sarah Aprilia, S.Ked 04084821921073
Raudhah Simahate Bengi, S.Ked 04011181621051
Zahwan Maulana Mawardy, S.Ked 04011181621046
Pembimbing:
dr. Syarifah Aini, Sp.KJ
Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Gangguan Kecemasan Akibat Penggunaan Media Sosial”. Pada kesempatan ini
penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.
Syarifah Aini, Sp.KJ selaku pembimbing yang telah membantu dalam
penyelesaian laporan kasus ini.
Penulis
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Referat
Judul
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Provinsi
Ernaldi Bahar Fakultas Kedokteran Univesitas Sriwijaya.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi saat ini semakin pesat sehingga membuat
manusia lebih mudah, efektif dan efisien dalam melaksanakan kegiatan pada
keseharian mereka. Adapun teknologi yang memiliki perkembangan begitu pesat
saat ini yaitu teknologi komunikasi dari internet. Internet berdampak positif dan
negatif terhadap kehidupan manusia. Selain itu, internet juga telah mengubah cara
hidup manusia. Dampak positif dari internet yaitu dapat berbelanja dengan online,
bisa berkomunikasi antar saudara, sahabat di belahan bumi manapun pada waktu
yang diinginkan termasuk bisa berkomunikasi dengan orang yang belum pernah
bertemu serta memperoleh informasi yang dibutuhkan. Selain dampak positif,
internet juga berdampak negatif. Pengguna internet dapat terlibat dalam satu atau
lebih masalah pengabaian diri, menghindari orang lain, terisolasi secara social,
menurunnya produktivitas kerja akibat banyak bersosial media dll.1
Media sosial dipercaya sebagai satu-satunya cara dalam memperoleh
keinginan, seolah-olah individu tidak berdaya saat hidupnya tidak dilengkapi
media sosial.1 Ketergantungan media sosial menurut penelitian yang dilakukan
oleh Young (2011), bahwa individu dengan ketergantungan media sosial adalah
individu yang memiliki kecenderungan yang kuat dalam melakukan
aktivitas-aktivitas pada media sosial dan membatasi aktivitas sosialnya dalam
dunia nyata. Ketergantungan media sosial dapat terlihat dari intensitas waktu yang
digunakan oleh seseorang untuk terus terpaku pada media sosialnya yang berada
pada smartphone atau segala macam alat elektronik yang memiliki akses terhadap
media sosial. Akibatnya adalah banyak waktu yang digunakan untuk mengakses
media sosial membuat individu tidak peduli dengan kehidupan di dunia
nyatanya.2
Peningkatan penggunaan media sosial yang sangat pesat dalam beberapa
tahun terakhir, diketahui berdampak menimbulkan kecemasan pada seseorang.
Kecemasan sosial memiliki kaitan dengan kecemasan secara komunikatif. Hal ini
1
digambarkan seperti perasaan takut atau khawatir saat individu berada pada situasi
sosial. Individu yang mengalami kecemasan sosial akan mengembangkan
perasaan-perasaan negatif dan memprediksi hal-hal negatif saat berinteraksi dan
komunikasi dengan orang lain. Gangguan kecemasan akibat penggunaan media
sosial ini sendiri sering kali tidak diketahui dan tidak mendapatkan terapi, maka
dari itu dengan mengetahui bagaimana gejala yang ditimbulkan oleh gangguan
kecemasan akibat media sosial ini, diharapkan di masa yang akan dapat dapat
meningkatkan kewaspadaan dan deteksi gangguan kecemasan, serta dapat
dilakukan pencegahan dan terapi.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Kecemasan
2.1.1 Definisi
Kecemasan adalah suatu keadaan aprehensi atau keadaan khawatir
yang mengeluhkan bahwa sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Banyak hal
yang harus dicemaskan, misalnya kesehatan, relasi sosial, ujian, karir, kondisi
lingkungan dan sebagaianya. Adalah normal, bahkan adaptif, untuk sedikit
cemas mengenai aspek-aspek hidup tersebut. Kecemasan bermanfaat bila hal
tersebut mendorong untuk melakukan pemeriksaan medis secara reguler atau
memotivasi untuk belajar menjelang ujian. Kecemasan adalah respon yang
tepat terhadap ancaman, tetapi kecemasan bisa menjadi abnormal bila
tingkatannya tidak sesuai dengan proporsi ancaman, atau sepertinya datang
tanpa ada penyebabnya yaitu bila bukan merupakan respon terhadap
perubahan lingkungan.1
Gangguan kecemasan diklarifikasikan sebagai neurosis hampir
sepanjang abad ke-19. Istilah neurosis diambil dari akar kata yang berarti
‘suatu kondisi abnormal atau sakit dari sistem saraf’ dan ditemukan oleh
Cullen pada abad ke-18. Neurosisi dilihat sebagai suatu penyakit pada sistem
saraf. Anxiety disorder atau gangguan kecemasan merupakan gangguan yang
paling umum, atau sering terjadi berupa gangguan mental, dimana dalam hal
ini meliputi suatu kelompok kondisikondisi yang terbagi antara gangguan
cemas yang ekstrim atau patologis sebagai gangguan yang mengenai suasana
hati atau tekanan emosional. Gangguan kecemasan menyebabkan
penderitanya memiliki kecemasan berlebihan yang diikuti rasa takut dan
khawatir yang akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari.3
2.1.2 Etiopatologi
Terdapat beberapa teori yang mendasari kecemasan ditinjau dari
kontribusi 2 ilmu, yaitu ilmu psikologi dan ilmu biologi.3,4
3
2.1.2.1 Teori psikologis
a. Teori psikoanalitik
Definisi Freud, kecemasan dipandang sebagai hasil dari konflik
psikis antara keinginan seksual atau agresif sadar dan ancaman sesuai
dari realitas superego atau eksternal. Dalam menanggapi sinyal ini, ego
mengerahkan mekanisme pertahanan untuk mencegah pikiran dan
perasaan yang tidak dapat diterima dari muncul dalam kesadaran.
b. Teori perilaku
Teori-teori perilaku atau belajar dari kecemasan mendalilkan
bahwa kecemasan merupakan respon terkondisi terhadap rangsangan
lingkungan tertentu.
4
1. Norepinefrin Teori umum tentang peran norepinefrin pada gangguan
kecemasan adalah bahwa pasien yang terkena mungkin memiliki
sistem noradrenergik buruk diatur dengan semburan sesekali
aktivitas.
2. Serotonin Beberapa laporan menunjukkan bahwa
metachlorophenylpiperazine (MCPP), obat serotonergik dengan
beberapa efek dan nonserotonergic, dan fenfluramine (Pondimin),
yang menyebabkan pelepasan serotonin, lakukan menimbulkan
kecemasan meningkat pada pasien dengan gangguan kecemasan.
3. GABA Dari beberapa studi yang telah dilakukan menyebabkan
peneliti untuk berhipotesis bahwa beberapa pasien dengan gangguan
kecemasan memiliki fungsi abnormal reseptor GABA mereka,
meskipun sambungan ini belum terbukti secara langsung.
Berbagai studi pencitraan otak, hampir selalu dilakukan dengan
gangguan kecemasan tertentu, telah menghasilkan beberapa
kemungkinan mengarah pada pemahaman gangguan kecemasan. Dalam
satu studi MRI, cacat tertentu di lobus temporal kanan tercatat pada
pasien dengan gangguan panik.
b. Teori Genetika
Penelitian genetik telah menghasilkan bukti kuat bahwa
setidaknya beberapa komponen genetik berkontribusi terhadap
perkembangan gangguan kecemasan. Keturunan telah diakui sebagai
faktor predisposisi dalam pengembangan gangguan kecemasan. Hampir
setengah dari semua pasien dengan gangguan panik memiliki setidaknya
satu kerabat yang terkena dampak.
c. Pertimbangan Neuroanatomi
Lokus seruleus dan proyek inti raphe terutama ke sistem limbik
dan korteks serebral. Dalam kombinasi dengan data dari studi pencitraan
otak, daerah ini telah menjadi fokus dari banyak hipotesis tentang
pembentukan substrat neuroanatomi dari gangguan kecemasan. Dua
5
bidang sistem limbik telah menerima perhatian khusus dalam literatur:
peningkatan aktivitas di jalur 4 septohippocampal, yang dapat
menyebabkan kecemasan. Korteks serebral frontal terhubung dengan
wilayah parahippocampal, cingulate gyrus, dan hipotalamus dan, dengan
demikian, mungkin terlibat dalam produksi gangguan kecemasan.
Korteks temporal juga telah terlibat sebagai situs patofisiologi pada
gangguan kecemasan.
2.1.3 Klasifikasi
2.1.3.1 Gangguan Panik
Gangguan panik mencakup munculnya serangan panik yang berulang
dan tidak terduga. Serangan-serangan panik melibatkan reaksi kecemasan
yang intens disertai dengan simtom-simtom fisik, seperti jantung yang
berdebar-debar, nafas cepat, nafas tersengal atau kesulitan bernafas, banyak
mengeluarkan keringat, dan terdapat rasa lemas dan pusing.2
Suatu diagnosis gangguan panik didasarkan pada kriteria sebagai
berikut: 1) Mengalami serangan panik secara berulang dan tidak terduga
(sedikitnya dua kali. 2) Sedikitnya satu dari serangan tersebut diikuti oleh
setidaknya satu bulan rasa takut yang persisten dengan adanya serangan
berikutnya atau merasa cemas akan implikasi atau konsekuensi dari serangan
(misalnya, takut kehilangan akal „menjadi gila‟ atau serangan jantung) atau
perubahan tingkah laku yang signifikan. Gangguan panik biasanya dimulai
pada akhir masa remaja sampai pertengahan usia 30-an tahun. Perempuan
mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar untuk mengembangkan
gangguan panik.2
PPDGJ III menunjukkan pedoman diagnostik dari gangguan panik
sebagai berikut 5:
1. Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis gangguan utama bila
tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik (F40,-)
6
2. Untuk diagnosis pasti harus ditemukan adanya beberapa kali serangan
anxietas berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa sekitar
satu bulan:
a. Pada keadaan-keadaan di mana sebenarnya secara objektif tidak ada
bahaya
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat
diduga sebelumnya (unpredictable situations)
c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala-gejala anxietas pada
periode di antara serangan-serangan panik (tetapi umumnya dapat
terjadi juga “anxietas antisipatorik,” yaitu anxietas yang terjadi
setelah membayangkan sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi.
7
2. Setidaknya satu serangan telah diikuti dari satu bulan (atau lebih) dari
satu atau kedua hal berikut:
a. Khawatir tentang panik tambahan atau konsekuensinya (Seperti,
kehilangan kontrol, mengalami serangan jantung, “menjadi gila”)
b. Perubahan perilaku maladaptif yang signifikan terkait dengan
serangan tersebut (contohnya, perilaku yang dirancang untuk
menghindari serangan panik, seperti menghindari latihan atau
siatuasi yang tidak biasa.
Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek psikologis suatu zat
(pengobatan) atau kondisi medis lainnya (misalnya, hipertiroidisme,
gangguan kardiopulmoner). Gangguan ini tidak dijelaskan dengan baik
sebagaimental disfearedsocial situation, seperti dalam gangguan kecemasan
sosial, sebagai respon atas situasi atau objek fobia tertentu, seperti dalam
fobia spesifik; sebagai respon atas obsesi, seperti pada obsessive-compulsive
disorder; sebagai respon atas ingatan event traumatik, seperti pada gangguan
stress pasca-trauma; atau sebagai respon untuk pemisahan dari attachment
figure, seperti dalam separation anxiety disorder.
8
puluhan tahun dan kemudian berlangsung sepanjang hidup. Gangguan ini
muncul dua kali lebih banyak pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.3
Orang dengan GAD adalah pencemas yang kronis, mungkin mereka
mencemaskan secara berlebihan keadaan hidup mereka, seperti keuangan,
kesejahteraan anak-anak, dan hubungan sosial mereka. Anakanak dengan
gangguan ini mencemaskan prestasi akademik, atletik, dan aspek sosial lain
dari kehidupan sekolah. Ciri lain yang terkait adalah: 13 merasa tegang,
waswas, atau khawatir; mudah lelah; mempunyai kesulitan berkonsentrasi
atau menemukan bahwa pikirannya menjadi kosong; iritabilitas, ketegangan
otot; dan adanya gangguan tidur, seperti sulit untuk tidur, untuk terus tidur,
atau tidur yang gelisah dan tidak memuaskan.3
Meskipun GAD secara tipikal kurang intens dalam respon
fisiologisnya dibandingkan dengan gangguan panik, distress emosional yang
diasosiasikan dengan GAD cukup parah untuk menganggu kehidupan orang
sehari-hari. GAD sering ada bersama dengan gangguan lain seperti depresi
atau gangguan kecemasan lainnya seperti agoraphobia dan
obsesif-kompulsif.3
Ciri-ciri diagnostik Pedoman diagnostik untuk gangguan kecemasan
menyeluruh menurut PPDGJ-III (F41.1)5:
1. Penderita harus menunjukkan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa
bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi
khusus tertentu saja (sifatnya free floating atau mengambang).
2. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung
tanduk, sulit konsentrasi, dsb).
b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat
santai).
c. Over-aktivitas otonomi (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung
berdebar-debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut
kering, dsb).
9
3. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk
ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang
menonjol.
4. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnyadepresi, tidak membatalkan diagnosis utama gangguan
anxietas menyeluruh, selama haltersebut tidak memenuhi kriteria
lengkap dari episode depresi (F32), gankap dari episodedepresi (F32),
gangguan anxietas fobik (F40), gangguan panik (F41.0), gangguan
obsesif-kompulsif (F42). Kriteria Diagnostik menurut DSM-V (300.02),
sebagai berikut:
a. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir
setiap hari, sepanjang hari, terjadi sekurangnya 6 bulan, tentang
sejumlah aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan atau aktivitas
sekolah).
b. Individu sulit untuk mengendalikan kecemasan dan kekhawatiran.
c. Kecemasan diasosiasikan dengan 6 gejala berikut ini (dengan
sekurang-kurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi
dibandingkan tidak selama 6 bulan terakhir), yaitu kegelisahan,
mudah lelah, sulit berkonsentrasi atau pikiran kosong, iritabilitas,
ketegangan otot, dan gangguan tidur (sulit tidur, tidur gelisah atau
tidak memuaskan).
d. Kecemasan, kekhwatiran, atau gejala fisik menyebabkan distress
atau terganggunya fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi penting
lainnya.
e. Gangguan tidak berasal dari zat yang memberikan efek pada
fisiologis (memakai obat-obatan) atau kondisi medis lainnya
(seperti hipertiroid).
f. Gangguan tidak dapat dijelaskan lebih baik oleh gangguan mental
lainnya (seperti kecemasan dalam gangguan panik atau evaluasi
negatif pada gangguan kecemasan sosial atau sosial fobia,
kontaminasi atau obsesi lainnya pada gangguan obsesif-kompulsif,
10
mengingat kejadian traumatik pada gangguan stress pasca
traumatik, pertambahan berat badan pada anorexia nervosa, komplin
fisik pada gangguan gejala somatik atau delusi pada gangguan
schizophrenia.
11
menerus mencuci tangan supaya bersih, mengecek kembali berulangulang
saluran gas sebelum meninggalkan rumah. Mataix-Cols, do Rosario-Campos
dan Leckman menyebutkan bahwa terdapat empat dimensi utama dari
simtom OCD. Keempat dimensi tersebut adalah sebagai berikut1,4:
a. Obsesi yang diasosiasikan dengan kompulsi untuk memeriksa sesuatu
b. Kebutuhan akan hal yang simetris dan meletakkan sesuatu sesuai dengan
urutannya
c. Obsesi terhadap kebersihan yang kemudian diasosiasikan dengan
kompulsi untuk membersihkan
d. Perilaku individu yang menumpuk barang.
Adapun kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif
berdasarkan PPDGJ III sebagai berikut:5
1. Gejala yang timbul merupakan sumber penderitaan (distress) atau
mengganggu aktivitas penderita.
2. Gejala-gejala obsesif mencakup hal berikut:
a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
b. Sedikitnya ada 1 pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut bukan merupkan hal yang
memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari
anxietas)
d. Gagasan atau impuls tersebut merupakan pengulangan yang tidak
menyenangkan
e. Ada kaitan antara gejala obsesif-kompulsif dengan depresi. Penderita
OCD seringkali juga menunjukkan gejala depresif begitupun
sebaliknya.
12
tidak kehilangan kontak dengan realitas, mereka biasanya tahu bahwa
ketakutan mereka itu berlebihan dan tidak pada tempatnya. Orang dengan
phobia mengalami ketakutan untuk hal-hal yang biasa yang untuk orang lain
sudah tidak difikirkan lagi, seperti naik elevator atau naik mobil di jalan raya.
Fobia terdiri dari tiga tipe, yaitu fobia spesifik, fobia sosial dan
agoraphobia.2,3
Fobia spesifik adalah ketakutan yang beralasan dan disebabkan oleh
kehadiran atau antisipasi suatu objek atau situasi spesifik. DSM-V- membagi
fobia berdasarkan sumber ketakutannya, yaitu: Specific Phobia, Animal;
Specific Phobia, Natural Environment; Specific Phobia, Blood; Specific
Phobia,InjectionTransfusion;Specific Phobia,Other Medical Care; Specific
Phobia ,Injury; Specific Phobia,Situational; Specific Phobia,Other. Fobia
sosial adalah ketakutan menetap dan tidak rasional yang umumnya berkaitan
dengan keberadaan orang lain. Individu yang menderita fobia sosial biasanya
mencoba menghindari situasi yang membuatnya mungkin dinilai dan
menunjukkan tanda-tanda kecemasan atau berperilaku secara memalukan. 5
Fobia sosial dapat bersifat umum atau khusus, tergantung rentang
situasi yang ditakuti dan dihindari. Orang-orang dengan tipe umum
mengalami fobia ini pada usia yang lebih awal, lebih banyak komorbiditas
dengan berbagai gangguan lain, seperti depresi dan kecanduan alkohol, dan
hendaya (gangguan) yang lebih parah. Gangguan ansietas sosial cenderung
menjadi lebih kronis jika penanganannya tidak berhasil. Fobia sosial
umumnya bermula pada masa remaja dan menghambat pembentukan
hubungan persahabatan dengan teman-teman sebaya. Agoraphobia berasal
dari bahasa Yunani yang berarti takut kepada pasar, yang sugestif untuk
ketakutan berada ditempat-tempat terbuka dan ramai. 2
Agoraphobia melibatkan ketakutan terhadap tempat tempat atau situasi
yang memberi kesulitan atau membuat malu seseorang untuk kabur dari situ
bila terjadi simptom simptom panik atau serangan panik yang parah atau
ketakutan kepada situasi dimana bantuan tidak bisa didapatkan bila problem
terjadi. Agoraphobia dapat terjadi bersamaan atau tidak bersamaan dengan
13
gangguan panik yang menyertai. Pada gangguan panik dengan agoraphobia,
orang hidup dengan ketakutan terjadinya serangan yang berulang dan
menghindari tempat-tempat umum. Orang orang dengan agoraphobia yang
tidak punya gangguan panik dapat mengalami sedikit simptom panik seperti
pusing yang menghalangi mereka untuk keluar dari tempat mereka. 2
PPDGJ dan DSM-V mencantumkan beberapa simptom yang menjadi
landasan seseorang menderita gangguan fobia. Simptomsimptom tersebut
sebagai berikut5: PPDGJ – III F40.0
Agorafobia Pedoman Diagnostik: Semua kriteria dibawah ini harus
dipenuhi untuk diagnosis pasti:
1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari
gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif
2. Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam
hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut: banyak
orang/keramaian, tempat umum, bepergian keluar rumah, bepergian
keluar rumah, dan bepergian sendiri;
3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang
menonjol (penderita menjadi “house-bound”).
F40.1 Fobia Sosial Pedoman Diagnostik Semua kriteria dibawah ini
harus dipenuhi untuk diagnosis pasti5:
1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi sekunder dari anxietasnya dan bukan sekunder dari
gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif
2. Anxietas harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu
(outside the family circle)
3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang
menonjol.
Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia,
hendaknya diutamakan diagnosis agorafobia (F40.0). F40.2 Fobia Khas
14
(Terisolasi) Pedoman Diagnostik Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi
untuk diagnosis pasti5:
1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari
gejala-gejala lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif
2. Anxietas harus harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik
tertentu (highly specific situations)
3. Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya. Pada fobia khas ini
umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti halnya agorafobia
dan fobia sosial.
DSM-V 300.29 Fobia Spesifik Kriteria diagnosis5:
1. Menandai ketakutan atau kecemasan terhadap suatu objek atau situasi
tertentu (terbang, ketinggian, binatang, jarum suntik, darah).
2. Objek atau situasi fobia hampir selalu memancing ketakutan atau
kecemasan tiba-tiba.
3. Objek atau situasi fobia secara aktif dihindari atau diatasi dengan
ketakutan atau kecemasan yang kuat.
4. Ketakutan atau kecemasan itu tidak sesuai dengan bahaya sebenarnya
yang ditimbulkan oleh objek atau situasi tertentu dan pada konteks kultur
sosial.
5. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tersebut berlanjut, biasanya
berlangsung selama 6 bulan atau lebih.
6. Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran menyebabkan
gangguan-gangguan klinis yang signifikan pada kehidupan sosial,
pekerjaan, atau bidang penting lainnya.
7. Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh gejala dari gangguan
mental lainnya, seperti ketakutan, kecemasan, dan penghindaran
terhadap situasi dibantu dengan gejala seperti panik atau gejala
ketidakmampuan lainnya (seperti pada agorafobia); objek atau situasi
yang berkaitan dengan obsesi (seperti pada gangguan
obsesif-kompulsif); ingatan atas suatu trauma (seperti pada gangguan
15
stres pasca trauma); pemisahan dari rumah atau kasih sayang seseorang
(seperti pada gangguan kecemasan pemisahan); atau pada situasi sosial
(seperti pada gangguan kecemasan sosial).
16
10. Jika kondisi medis lainnya (penyakit parkinson, obesitas, cacat dari luka
bakar atau cidera) ada, maka ketakutan, kecemasan, atau penghindaran
jelas tidak terkait atau berlebihan.
2.1.3.5 Gangguan Stres Akut & Ganggua Stres Pasca Trauma
Gangguan stres akut adalah suatu reaksi yang diperkirakan dari
seseorang yang mengalami suatu trauma yang sangat berat, saat ini individu
membutuhkan jumlah dan jenis stres yang berbeda untuk menimbulkan
gangguan tersebut. Gangguan stress akut secara khas akan menghilang
setelah 1 hingga 2 minggu (apabila berlanjut), tetapi jika gangguan
berlangsung lebih dari sebulan, diagnosis perlu diubah menjadi gangguan
stres pasca trauma. Gangguan stress akut (acute stress disorder/ASD) adalah
suatu reaksi maladaptif yang terjadi pada bulan pertama sesudah pengalaman
traumatis. Gangguan stres pasca trauma(post traumatic stress disorder/PTSD)
adalah reaksi maladaptive yang berkelanjutan terhadap suatu pengalaman
traumatis. ASD adalah faktor resiko mayor untuk PTSD karena banyak orang
dengan ASD yang kemungkinan mengembangkan PTSD.3.4
Berlawanan dengan ASD, PTSD kemungkinan berlangsung
berbulanbulan, bertahun-tahun, atau sampai beberapa dekade dan mungkin
baru muncul setelah beberapa bulan atau tahun setelah adanya pemaparan
terhadap peristiwa traumatis (Zlotnick dkk dalam Nevid, dkk, 2005). Hampir
semua orang yang mengalami trauma mengalami stres, kadangkal hingga
tingkat yang sangat berat. Hal ini normal. Jika stressor menyebabkan
kerusakan signifikan dalam keberfungsian sosial dan pekerjaan selama
kurang dari satu bulan, diagnosis yang 43 ditegakkan adalah gangguan stres
akut. Walaupun beberapa orang dapat mengatasi gangguan stress akut yang
mereka alami, jumlah yang signifikan kemudian menderita PTSD.3,4
Dimasukkannya stress berat dalam DSM sebagai faktor penyebab
signifikan PTSD dimaksudkan untuk menunjukkan pengakuan resmi bahwa
penyebab PTSD yang utama adalah peristiwa yang terjadi, bukan orang yang
bersangkutan. Pada ASD dan PTSD, peristiwa traumatis tersebut melibatkan
kematian atau ancaman kematian atau cedera fisik yang serius, atau ancaman
17
terhadap keselamatan diri sendiri atau orang lain. Respons terhadap ancaman
tersebut mencakup perasaan takut yang intens, perasaan tak berdaya, atau
rasa ngeri (horor). Anak-anak dengan PTSD kemungkinan mengalami
ancaman ini dengan cara lain, misalnya dengan menunjukkan kebingungan
atau agitasi. ASD dan PTSD memiliki ciri yang sama yaitu mengalami
kembali peristiwa traumatis; menghindari petunjuk atau stimuli yang
diasosiasikan dengan peristiwa tersebut; mati rasa dalam resposifitas secara
umum atau dalam segi emosional; mudah sekali terangsang; gangguan fungsi
atau distress emosional yang penting. Perbedaan utama antara kedua
gangguan tersebut adalah pada ASD penekanannya ada pada disosiasi –
perasaan asing terhadap diri sendiri atau terhadap lingkungannya.
Orang-orang dengan gangguan stress akut mungkin merasakan
terbengong-bengong atau dunia ini dirasakan sebagai suatu tempat dalam
mimpi atau suatu tempat yang tidak nyata. Dalam gangguan stress akut,
orang mungkin juga tidak dapat melaksanakan tugas-tugas yang perlu,
misalnya mendapatkan bantuan medis atau bantuan hukum yang
diperlukan.3,4
Dalam gangguan stres akut atau pascatrauma, peristiwa traumatis
mungkin seakan dialami kembali dalam berbagai macam cara. Mungkin
dalam bentuk ingatan-ingatan yang intrusive, mimpi-mimpi mengganggu
yang berulang-ulang, dan perasaan bahwa peristiwa tersebut memang
terulang kembali (seperti “kilas balik” peristiwa tersebut). Pemaparan
terhadap peristiwa yang menyerupai pengalaman traumatis dapat
menyebabkan distress psikologis yang inrens. Orang-orang dengan reaksi
stress traumatis cenderung untuk menghindari stimuli yang membangkitkan
ingatan terhadap trauma. Misalnya, mungkin mereka tidak mampu
menghadapi tayangan televisi tentang hal tesebut atau keinginan teman untuk
membicarakannya. Mungkin mereka mempunyai perasaan terasing atau
terpisah dari orang lain. mereka mungkin menunjukkan sikap kurang
responsive terhadap dunia luar setelah peristiwa traumatis, kehilangan
18
kemampuan untuk menikmati aktifitas yang dahulu disukai atau kehilangan
perasaan mampu mengasihi. 3,4
19
organisasi. Media sosial adalah mengenai menjadi manusia biasa. Manusia
biasa yang saling membagi ide, bekerjasama, dan berkolaborasi untuk
menciptakan kreasi, berpikir, berdebat, menemukan orang yang bisa menjadi
teman baik, menemukan pasangan, dan membangun sebuah komunitas.
Intinya, menggunakan media sosial menjadikan kita sebagai diri sendiri.9
20
massif seperti kantor, gedung dan perangkat peliputan yang lain. Menurut
institusi Our World in Data tahun 2019 dari 7,7 miliar orang di dunia, sekitar
3,5 miliar menggunakan media sosial, artinya 1 dari 2 orang di dunia
menggunakan media sosial. Sedangkan di Indonesia sendiri, menurut data
Kominfo 63 juta warga indonesia pengguna internet dan 95% diantaranya
menggunakan internet untuk mengakses media sosial.10,12
21
beragam latar belakang budaya, sosial, ekonomi, keyakinan, tradisi dan
tendensi. Oleh karena itu, benar jika dalam arti positif, media sosial
adalah sebuah ensiklopedi global yang tumbuh dengan cepat. Dalam
konteks ini, pengguna media sosial perlu sekali membekali diri dengan
kekritisan, pisau analisa yang tajam, perenungan yang mendalam,
kebijaksanaan dalam penggunaan dan emosi yang terkontrol.
22
Media sosial berfaedah untuk melakukan kontrol organisasi dan
juga mengevaluasi berbagai perencanaan dan strategi yang telah
dilakukan. Ingat, respons publik dan pasar menjadi alat ukur, kalibrasi
dan parameter untuk evaluasi. Sejauh mana masyarakat memahami
suatu isu atau persoalan, bagaimana prosedur-prosedur ditaati atau
dilanggar publik, dan seperti apa keinginan dari masyarakat, akan bisa
dilihat langsung melalui media sosial. Pergerakan keinginan,
ekspektasi, tendensi, opsi dan posisi pemahaman publik akan dapat
terekam dengan baik di dalam media sosial. Oleh sebab itu, media
sosial juga dapat digunakan sebagai sarana preventif yang ampuh
dalam memblok atau memengaruhi pemahaman publik.
2.3.2 Epidemiologi
Penelitian menyebutkan bahwa prevalensi seumur hidup dari Social
Anxiety Disorder di Eropa adalah sebesar 6,6% dan prevalensi yang lebih
tinggi ditemukan di Amerika Serikat sebesar 12%. Prevalensi pada negara
23
lainnya adalah sebesar 6,6% di Jerman, 3,2% pada Finland, 10,6% pada anak
SMA di Swedia, dan sebesar 2,5% dari kasus self-report di Puerto Rico. Di
Indonesia, menurut data yang dihimpun WHO, kejadian keseluruhan kasus
gangguan kecemasan di Indonesia mencapai 8 juta atau 3,3% dari populasi.14
2.3.3 Etiologi
Aspek penggunaan media sosial yang secara langsung dapat
menimbulkan respons stres meliputi: (1) Menerima umpan balik negatif
atau cyber-bullying dari teman-teman di media sosial; (2) Menjadi lebih
tahu akan masalah yang terjadi oleh orang lain; dan (3) Memendam
perasaan tidak menyenangkan untuk mempertahankan social network
update.16,17,18 Penggunaan media sosial juga dapat berkontribusi terhadap
kelebihan komunikasi secara individu karena diberikan informasi dan
berita yang sangat banyak dari berbagai media elektronik, yang telah
diteliti berhubungan dengan stres psikologis.19 Penggunaan media sosial
menimbulkan perbandingan sosial pada penggunanya dimana mereka
merasa kehidupan orang lain lebih bahagia dibandingkan kehidupannya
yang dimana dapat menimbulkan gejala kecemasan dan menyebabkan
penurunan fungsi kehidupan sehari-hari.20
24
1. Faktor Neurokimiawi
2. Faktor Genetik
3. Faktor Temperamen
4. Faktor Sosial
25
Faktor sosial yang dapat mempengaruhi terjadinya SAD adalah
tekanan dari lingkungan terutama teman dengan usia sebaya. Tekanan
tersebut dapat berupa ancaman, penganiayaan, dan intimidasi.23 Gangguan
kecemasan dapat muncul setelah dipicu oleh kejadian traumatis.14
5. Faktor Keluarga
1. Durasi Penggunaan
Sampasa-Kanyinga dan Lewis pada tahun 2015 di Canada menyatakan
bahwa penggunaan sosial media selama lebih dari 2 jam per hari
berhubungan dengan stres psikologis.25 Penelitian yang dilakukan pada
10.930 remaja dari 6 negara di eropa yang dilakukan oleh Tsitsika didapatkan
hubungan yang bermakna antara durasi penggunaan media sosial yang berat
dengan depresi dan gangguan cemas.26 Yen pada tahun 2017 juga
mendapatkan bahwa durasi penggunaan media sosial berhubungan dengan
gangguan cemas pada remaja di China.27
2. Aktifitas
26
Penelitian yang dilakukan oleh Frison dan Eggermont pada tahun 2016
menyatakan bahwa pengguna media sosial khususnya facebook baik yang
aktif maupun pasif berhubungan dengan peningkatan frekuensi mood yang
depresi pada siswa di Belgia.28 Studi yang dilakukan pada 113 pasangan
orang tua dan anak menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat korelasi antara
aktifitas penggunaan media sosial seperti jumlah akun dan frekuensi
pengecekan media sosial dengan gangguan cemas dan depresi.29
3. Investasi
Studi oleh Neira dan Barber tahun 2014 dan Vernon et al. tahun 2017,
keduanya menggunakan data sekunder dari Studi Partisipasi Aktivitas
Pemuda di Australia, meneliti hubungan antara investasi di media sosial dan
perasaan tertekan. Penelitian cross-sectional yang dilakukan oleh Neira dan
Barber pada tahun 2014 menunjukkan bahwa investasi di situs media sosial
dikaitkan dengan peningkatan suasana hati depresi.29 Vernon et al. pada tahun
2017 melakukan penelitian longitudinal dan menemukan hubungan antara
investasi media sosial yang bermasalah dan suasana hati depresi dengan
gangguan tidur.30
4. Kecanduan
Hanprathet et al. pada tahun 2015 menemukan hubungan yang
signifikan antara kecanduan Facebook dan depresi pada 972 siswa sekolah
menengah distrik kaya di Thailand.31 Penelitian yang dilakukan pada siswa
sekolah menengah Tiongkok oleh Li et al. tahun 2017 menunjukkan
hubungan yang signifikan secara statistik antara kecanduan media sosial dan
depresi.32 Dalam penelitian lain di Tiongkok, Wang et al. tahun 2018
menemukan hubungan yang positif antara kecanduan situs jejaring sosial
dengan depresi.33
Dari penelitian-penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa beberapa
faktor yang dapat menyebabkan depresi, gangguan cemas, dan stres
psikologis dalam penggunaan media sosial adalah durasi penggunaan media
sosial, aktifitas seperti mengecek media sosial berulang, investasi dan
kecanduan pada media sosial.
27
2.3.5 Manifestasi Klinis
Peningkatan penggunaan media sosial yang sangat pesat dalam
beberapa tahun terakhir, diketahui berdampak menimbulkan kecemasan pada
seseorang.34 Gangguan kecemasan akibat penggunaan media sosial ini sendiri
sering kali tidak diketahui dan tidak mendapatkan terapi, maka dari itu
dengan mengetahui bagaimana gejala yang ditimbulkan oleh gangguan
kecemasan akibat media sosial ini, diharapkan di masa yang akan dapat dapat
meningkatkan kewaspadaan dan deteksi gangguan kecemasan, serta dapat
dilakukan pencegahan dan terapi.35
28
Setelah seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain, tentu
mereka merasa terpacu untuk membuat diri mereka menjadi lebih baik dari
pada orang tersebut untuk mendapatkan pengakuan. Pengakuan yang
biasanya dicari adalah berupa jumlah likes dan views yang banyak dan
komentar-komentar positif. Berbagai cara dilakukan untuk mencapai hal
tersebut, termasuk membuat dirinya menjadi bukan dirinya sendiri.
Orang-orang dengan kepribadian narsisistik tentu akan rentan terhadap hal
ini.35
29
profilnya. Hal ini menimbulkan fenomena berupa adanya close friend list
dan second account.35
2.3.6 Tatalaksana
30
Tatalaksana gangguan kecemasan akibat penggunaan media sosial
dapat bervariasi, namun kemungkianan dapat diobati secara efektif jika
ditatalaksana serupa dengan gangguan kecemasan sosial yaitu terapi perilaku
dan kognitif. Target dari terapi perilaku dan kognitif termasuk hal berikut:
31
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Perkembangan teknologi saat ini semakin pesat sehingga membuat
manusia lebih mudah, efektif dan efisien dalam melaksanakan kegiatan pada
keseharian mereka. Adapun teknologi yang memiliki perkembangan begitu pesat
saat ini yaitu teknologi komunikasi dari internet. Selain dampak positif, internet
juga berdampak negatif, dimana pengguna internet dapat terlibat dalam satu atau
lebih masalah pengabaian diri, menghindari orang lain, terisolasi secara sosial,
menurunnya produktivitas kerja. Peningkatan penggunaan media sosial yang
sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir, diketahui berdampak menimbulkan
gangguan kecemasan pada seseorang.1,2
32
sendiri belum termasuk kedalam diagnosis DSM V, namun beberapa penelitian
telah menyebutkan bahwa gejala gangguan kecemasan akibat penggunaan media
sosial bervariasi, diantaranya selalu membandingkan dirinya dengan orang lain,
adanya rasa ingin mendapat pengakuan dari orang lain, Staying Stuck/
Ruminations, adanya rasa takut terhadap penilaian orang lain, menginginkan
adanya privasi dan FOMO (Fear of Missing Out).35, 36
33
DAFTAR PUSTAKA
34
11. Tim Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI. (2014). Panduan
Optimalisasi Media Sosial Untuk Kemantrian Perdagangan RI. Jakarta : Pusat
Humas Kementerian Perdagangan RI, hal. 26
12. Newman, N. (2009). The rise of social media and its impact on mainstream
journalism.
13. Bebinger, Martha. (2012). Social Media Anxiety Disorder (SMAD): The
Next New Medical Condition
14. Cederlund, R. (2013). Social anxiety disorder in children and adolescents:
assessment, maintaining factors, and treatment (Doctoral dissertation,
Department of Psychology, Stockholm University).
15. Azka, F., Firdaus, D. F., & Kurniadewi, E. (2018). Kecemasan Sosial dan
Ketergantungan Media Sosial pada Mahasiswa. Psympathic: Jurnal Ilmiah
Psikologi, 5(2), 201-210.
16. Valkenburg, P. M., & Peter, J. (2009). Social consequences of the Internet for
adolescents: A decade of research. Current directions in psychological
science, 18(1), 1-5.
17. Hampton, K. N., Lu, W., & Shin, I. (2016). Digital media and stress: the cost
of caring 2.0. Information, Communication & Society, 19(9), 1267-1286.
18. Rose, C. A., & Tynes, B. M. (2015). Longitudinal associations between
cybervictimization and mental health among US adolescents. Journal of
Adolescent Health, 57(3), 305-312.
19. Chen, W., & Lee, K. H. (2013). Sharing, liking, commenting, and distressed?
The pathway between Facebook interaction and psychological distress.
Cyberpsychology, behavior, and social networking, 16(10), 728-734.
20. Chou, H. T. G., & Edge, N. (2012). “They are happier and having better lives
than I am”: The impact of using Facebook on perceptions of others' lives.
Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, 15(2), 117-121.
21. Fajriati, L., Yaunin, Y., & Isrona, L. (2018). Perbedaan Derajat Kecemasan
pada Mahasiswa Baru Preklinik dan Klinik Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 546-551.
35
22. Chhabra, V., Bhatia, M. S., Gupta, S., Kumar, P., & Srivastava, S. (2009).
Prevalence of social phobia in school-going adolescents in an urban area.
Delhi Psychiatry J, 12(1), 18-25.
23. Van Oort, F. V. A., Greaves‐Lord, K., Ormel, J., Verhulst, F. C., & Huizink,
A. C. (2011). Risk indicators of anxiety throughout adolescence: The
TRAILS study. Depression and anxiety, 28(6), 485-494.
24. Keles, B., McCrae, N., & Grealish, A. (2020). A systematic review: the
influence of social media on depression, anxiety and psychological distress in
adolescents. International Journal of Adolescence and Youth, 25(1), 79-93.
25. Sampasa-Kanyinga, H., & Lewis, R. F. (2015). Frequent use of social
networking sites is associated with poor psychological functioning among
children and adolescents. Cyberpsychology, Behavior, and Social
Networking, 18(7), 380-385.
26. Tsitsika, A. K., Tzavela, E. C., Janikian, M., Ólafsson, K., Iordache, A.,
Schoenmakers, T. M., ... & Richardson, C. (2014). Online social networking
in adolescence: Patterns of use in six European countries and links with
psychosocial functioning. Journal of adolescent health, 55(1), 141-147.
27. Yan, H., Zhang, R., Oniffrey, T. M., Chen, G., Wang, Y., Wu, Y., ... &
Moore, J. B. (2017). Associations among screen time and unhealthy
behaviors, academic performance, and well-being in Chinese adolescents.
International journal of environmental research and public health, 14(6), 596.
28. Frison, E., & Eggermont, S. (2016). Exploring the relationships between
different types of Facebook use, perceived online social support, and
adolescents’ depressed mood. Social Science Computer Review, 34(2),
153-171.
29. Barry, C. T., Sidoti, C. L., Briggs, S. M., Reiter, S. R., & Lindsey, R. A.
(2017). Adolescent social media use and mental health from adolescent and
parent perspectives. Journal of adolescence, 61, 1-11.
30. Vernon, L., Modecki, K. L., & Barber, B. L. (2017). Tracking effects of
problematic social networking on adolescent psychopathology: The mediating
36
role of sleep disruptions. Journal of Clinical Child & Adolescent Psychology,
46(2), 269-283.
31. Hanprathet, N., Manwong, M., Khumsri, J., Yingyeun, R., & Phanasathit, M.
(2015). Facebook addiction and its relationship with mental health among
Thai high school students. Journal of the Medical Association of Thailand,
98, S81–S90.
32. Li, J.-B., Lau, J. T. F., Mo, P. K. H., Su, X.-F., Tang, J., Qin, Z.-G., & Gross,
D. L. (2017). Insomnia partially mediated the association between
problematic Internet use and depression among secondary school students in
China. Journal of Behavioral Addictions, 6(4), 554–563.
33. Wang, P., Wang, X., Wu, Y., Xie, X., Wang, X., Zhao, F., . . . Lei, L. (2018).
Social networking sites addiction and adolescent depression: A moderated
mediation model of rumination and self-esteem. Personality and Individual
Differences, 127, 162–167.
34. Strickland, A. (2014). Exploring the effects of social media use on the mental
health of young adults.
35. Calancie, O., Ewing, L., Narducci, L. D., Horgan, S., & Khalid-Khan, S.
(2017). Exploring how social networking sites impact youth with anxiety: A
qualitative study of Facebook stressors among adolescents with an anxiety
disorder diagnosis. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on
Cyberspace, 11(4).
36. Shensa, A., Sidani, J. E., Dew, M. A., Escobar-Viera, C. G., & Primack, B. A.
(2018). Social media use and depression and anxiety symptoms: A cluster
analysis. American journal of health behavior, 42(2), 116-128.
37