Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

BELAJAR BERDASARKAN MASALAH (BBM)


PENILAIAN STATUS GIZI
SKENARIO MALANGNYA NASIB MU

Oleh :
KELOMPOK I

Akbar Maulana 1610912110002


Alpiannor 1610912110003
An’nisa Aulia Nafarin 1610912320005
Aulia Rizky Maulida 1610912220003
Aulia Ulfa 1610912220003
Cindana Amalia Paramitha 1610912320007
Mutia Ardiyanti 1610912120022
Netty Hidayatie 1610912120024
Ninda Maulina 1610912320033

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2018
MAKALAH
BELAJAR BERDASARKAN MASALAH (BBM)
PENILAIAN STATUS GIZI
SKENARIO MALANGNYA NASIB MU

Disusun Oleh :
KELOMPOK I

Akbar Maulana 1610912110002


Alpiannor 1610912110003
An’nisa Aulia Nafarin 1610912320005
Aulia Rizky Maulida 1610912220003
Aulia Ulfa 1610912220003
Cindana Amalia Paramitha 1610912320007
Mutia Ardiyanti 1610912120022
Netty Hidayatie 1610912120024
Ninda Maulina 1610912320033

Telah disahkan dan diterima dengan baik oleh :

Banjarbaru, 02 Mei 2018

Koordinator BBM-PSG Tutor,


PSKM FK UNLAM

Fahrini Yulidasari, SKM., MPH Ihya Hazairin Noor, SKM.,MPH


NIP. 19850215 200812 2 006 NIK. 1990.2017.2.230

ii
DAFTAR ISI
Halaman

JUDUL …………………………………………...................................... i

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….. . ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Skenario......................................................................................... 1

B. Analisis Kasus................................................................................ 1

1. Langkah 1............................................................................... 1

2. Langkah 2................................................................................ 3

3. Langkah 3................................................................................ 3

4. Langkah 4................................................................................ 8

5. Langkah 5................................................................................ 9

BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan Khusus berdasarkan sasaran belajar yang mengacu pada

pustaka yang relevan dengan khusus........................................... 10

B. Analisis Kasus pada skenario lebih mendalam........................... 13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................. 23

B. Saran........................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA

iii
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Skenario
Malangnya nasib mu.....
Mahasiswa PSKM telah melakukan survei terhadap Kabupaten X.
Hasil survei diperoleh bahwa Kabupaten X termasuk dalam kategori makmur
dengan melihat ketersediaan pangan tingkat rumah tangganya. Berdasarkan
data dinas kesehatan Kabupaten X ternyata sejumlah 2% balitanya mengalami
gizi buruk dan beberapa 10 indikator PHBS belum tercapai. Hal ini
mengejutkan kepala dinkes, mengingat kegiatan surveilans gizi selalu rutin
dilakukan. Namun ini sudah terlambat, karena seharusnya dengan sistem
infomasi yang baik, kejadian gizi buruk dapat dicegah. Selanjutnya kepala
dinas kesehatan melakukan kajian agar kasus dapat diatasi serta memperbaiki
manajemennya selama ini?

B. Analisa Kasus
1. Klasifikasi/Identifikasi Istilah (Clarify term)
Dalam tahapan ini, kelompok mendaftarkan beberapa istilah/konsep yang
dirasa masih asing atau bermakna ambigu, kemudian istilah/konsep tersebut
diklarifikasi oleh anggota kelompok untuk menyamakan pendapat dan
persepsi. Adapun klasifikasi /identifikasi istilah yang diidentifikasi oleh
kelompok 1 adalah sebagai berikut:
a. Balita mengalami gizi buruk
1) Balita yang mengalami gizi buruk adalah balita yang berat badan < -3
standar defisiasi.
2) Balita yang mengalami gizi buruk juga dapat dilihat dari pengukuran
BB/TB.
3) Balita yang mengalami gizi buruk dapat dilihat dari terdapat tanda-tanda
marasmus.
3

4) Gizi buruk  adalah keadaan kurang gizi tingkat  berat  yang disebabkan
oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam waktu yang cukup
lama.
b. Sistem informasi
1) Sistem informasi adalah proses pengumpulan atau pemantauan tentang gizi
anak menurut BB dan TB.
2) Sistem informasi adalah proses pengukuran secara terus menerus pada
masyarakat.
3) Sistem informasi adalah proses pengolahan data secara sistematis.
c. Surveilans gizi
1) Surveilans gizi adalah teknik pengumpulan data secara terus menerus
tentang gizi .
2) Surveilans gizi adalah proses pengamatan kepada masyarakat mengenai
gizi.
3) Surveilans gizi adalah pemantauan dari rumah ke rumah kepada
masyarakat tentang status gizi.
d. Ketersediaan pangan tingkat rumah tangga
1) ketersediaan pangan tingkat rumah tangga adalah terpenuhinya bahan yang
ingin dikonsumsi.
2) ketersediaan pangan tingkat rumah tangga adalah terpenuhinya gizi di
tingkat rumah tangga.
3) ketersediaan pangan tingkat rumah tangga adalah pangan yang cukup dan
tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah
tangga.
2. Membuat Daftar Masalah (define the problem)
Dalam tahapan ini, kelompok mendaftarkan beberapa masalah yang ada di
dalam skenario. Masalah dapat berupa semua istilah, fakta atau fenomena yang
oleh kelompok masih perlu dijelaskan lebih lanjut. Adapun daftar masalah
yang disusun oleh kelompok 1 adalah sebagai berikut:
a. Faktor apa saja yang mempengaruhi gizi buruk?
b. Bagaimana cara sistem surveilans gizi yang baik?
4

c. Mengapa masih ada kasus 2% gizi buruk padahal sistem informasi baik?
d. Apakah gizi buruk dapat dicegah dengan sistem informasi yang baik?
e. Bagaimana konsep ketahanan pangan dan gizi?
f. Bagaimana langkah untuk mencapai elemen gizi dari 10 indikator PHBS?
g. Apakah kasus 2% sudah termasuk kejadian luar biasa (KLB)?

3. Menganalisis Masalah (analyze th problem)


Dalam tahapan ini, mahasiswa berdiskusi mengenai masalah-masalah yang
sudah didaftarkan sebelumnya dan berusaha menjawab beberapa pertanyaan
menggunakan pengetahuan awal yang dimiliki oleh masing-masing anggota
kelompok. Adapun analisis masalah yang dilakukan oleh kelompok 1
diantaranya adalah:
a. Faktor yang mempengaruhi gizi buruk yaitu:
Adapun penjelasan menurut kelompok mengenai faktor yang
mempengaruhi gizi buruk adalah sebagai berikut:
1) Tingkat pendidikan dan kurangnya informasi tentang gizi kepada
masyarakat juga mempengaruhi kejadian gizi buruk.
2) Walaupun dikatakan bahwa kabupaten tersebut dalam kategori makmur
dari ketersediaan pangannya namun belum tentu masyarakatnya tergolong
mampu. Jadi, salah satu faktornya adalah kemiskinan keluarga.
3) Dalam skenario tersebut tidak dikatakan tentang sistem pelayanan
kesehatan. Jadi salah satu faktor terjadinya kejadian gizi buruk adalah
faktor sistem pelayanan kesehatan yang kurang memadai termasuk akses
ketempat fasilitas kesehatan.
4) Tidak tercapainya beberapa indikator dari PHBS yang berhubungan
dengan gizi yaitu persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan, memberi
asi eksklusif, menimbang bayi dan balita, menggunakan air bersih dan
makan buah dan sayur setiap hari.
5) Pengumpulan informasi yang kurang dan tidak efektif karena
permasalahan dalam proses pengumpulan dan pengolahan.
5

6) Manajemen surveilans yang kurang baik sehingga masih terdapat kasus


gizi buruk.
7) Kurangnya informasi mengenai cara pengolahan pangan yang baik kepada
masyarakat.
8) Walaupun dikatakan bahwa kabupaten tersebut dalam kategori makmur
dari ketersediaan pangannya namun belum tentu masyarakat
mengkonsumsi pangan yang beragam dan sesuai dengan jumlah gizi yang
seharusnya dikonsumsi.
b. Cara untuk memperbaiki sistem surveilans gizi:
Adapun penjelasan menurut kelompok mengenai cara untuk
memperbaiki sistem surveilans gizi adalah sebagai berikut:
1) Pengamatan terhadap masyarakat secara langsung.
2) Mengumpulkan informasi yang akurat.
3) Melakukan pengolahan data dengan baik.
4) Menganalisa faktor keadaan gizi masyarakat.
5) Menyebarkan informasi tentang gizi kepada masyarakat.
c. Sistem informasi baik, namun masih ada 2% gizi buruk
Adapun penjelasan menurut kelompok mengapa masih ada angka 2%
kejadian gizi buruk padahal sistem informasi sudah baik, adalah sebagai
berikut :
1) Langkah mendapatkan informasi yang keliru, hal ini bisa terjadi pada
teknisi surveilans kejadian gizi buruk itu sendiri yang tidak benar-benar
melakukan kegiatan surveilans dengan baik. Hal itu bisa dikarenakan
jangkauan daerah yang cukup jauh dan sulitnya mendapatkan sarana
prasarana menuju kesana sehingga digunakanlah data sekunder yang
sedikit diragukan kebenarannya.
2) Informasi yang tidak diterima dengan baik, hal seperti ini jika terjadi pada
teknisi surveilans gizi buruk itu berarti informasi yang mereka dapatkan
dari data sekunder belum tercover kepada seluruh masyarakat dari daerah
tersebut. Bisa saja data sekunder diambil dari puskesmas pembantu tetapi
pustu itu pun hanya mendata orang yang berkunjung ke puskesmas saja
6

tidak seluruh masyarakat yang ada disekitar pustu tersebut. Jika dari data
primer yang diperoleh teknisi surveilans juga tidak diterima dengan baik
berarti kemungkinan dari masyarakat sendiri yang tidak transparan dalam
memberikan informasi.
3) Faktor perilaku dan pengetahuan, ini berarti dari masyarakat itu sendiri
yang masih kurang mengetahui mengenai gizi buruk, faktor penyebab,
serta dampak yang ditimbulkan dari gizi buruk itu sendiri dan sikap
mereka juga mengenai gizi buruk. Hal ini juga mungkin terjadi karena
informasi mengenai gizi buruk yang tidak transparan mengakibatkan
kurangnya data dan informasi yang didapatkan masyarakat mengenai gizi
buruk menjadi kurang sehingga mereka tidak mengetahui informasi yang
berkaitan dengan masalah gizi buruk.
4) Bias informasi, dalam melakukan surveilans gizi para teknisi yang
melakukan pengamatan langsung kepada masyarakat mungkin sebagian
merasakan kesulitan karena informasi yang mereka dapatnya dari
masyarakat langsung itupun terkadang bias, karena keraguan masyarkat
dalam menjawab pertanyaan atau bahkan ada ketidak jujuran yang
menyebabkan bias informasi dalam surrveilans gizi.
d. Gizi buruk apakah hanya dapat dicegah dengan sistem informasi yang baik
Adapun penjelasan menurut kelompok mengenai gizi buruk apakah
hanya dapat dicegah dengan sistem informasi yang baik, adalah sebagai
berikut :
Jawabannya tidak, sistem informasi yang baik hanya sebagai
penunjang untuk memperoleh data agar bisa mengcover seluruh
masyarakat di suatu daerah. Sedangkan untuk mencegah gizi buruk dapat
dengan cara :
Primer : Misalnya pada balita dengan pemberian vitamin A
Sekunder : Orang tua dengan pemberian penyuluhan gizi
Tersier : Pemangku kebijakan dengan mengelola manajemen
7

Selain itu, cara mencegah gizi buruk yaitu dengan menerapkan


beberapa elemen dari 10 indikator PHBS rumah tangga yang berkaitan
dengan gizi, seperti :
1) Memberikan ASI eksklusif pada bayi sehingga gizi bayi tercukupi dari
makanan alami dari sang Ibu.
2) Memberikan makanan yang bervariasi dan seimbang sesuai dengan
kebutuhan gizi menurut umur, berat badan dan tinggi badan. Membiasakan
konsumsi buah dan sayur.
3) Rutin menimbang berat badan dan mengukur tinggi anak ke pelayanan
kesehatan terdekat
4) Rutin ke posyandu untuk melakukan imunisasi, pemberian vitamin A dan
garam beryodium.
5) Persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan
e. Kategori makmur (Konsep pangan dan gizi)
Adapun penjelasan menurut kelompok mengenai kategori makmur,
adalah sebagai berikut :
Kategori makmur bisa dlihat dari tiga bagian yaitu pengolahan,
kualitas dan kuantitas pangan itu sendiri, yang meliputi :
1) Pengolahan, dalam skenario masyarakat di daerah tersebut sudak
termasuk dalam kategori makmur, yang mana dalam hal tersebut memuat
bagaimana pengolahan pangan yang ada.
2) Kualitas dari pangan yang ada apakah bagus atau tidak, mungkin memang
pangan di daerah tersebut ada tapi bagaimana kualitasnya apakah sempat
terserang hama sehingga sebagian besar mengalami busuk.
3) Kuantitas, jumlah pangan yang tersedia di daerah tersebut juga perlu
dilihat apakah mencukupi untuk didistribusikan keseluruh penjuru
masyarakat yang ada didaerah tersebut atau mungkin kuantitasnya
berkrang yang bisa dikarenakan gagal panen sehingga berkurang
jumlahnya.
f. Langkah untuk mencapai elemen tentang gizi dari 10 PHBS
8

Adapun penjelasan menurut kelompok mengenai langkah untuk


mencapai elemen tentang gizi dari 10 PHBS adalah sebagai berikut :
Hal tersebut bisa dilakukan penyuluha ke posyandu sebagai upaya
untuk mencapai beberapa elemen dari 10 indikator PHBS rumah tangga
yang berkaitan tentang gizi, yang mana disana akan diberikan edukasi
kepada orang tua terutama ibu mengenai status gizi untuk balita. Baik dari
penimbangan berat badan, pengukuran tinggi badan, pemberian vitamin A,
imunisasi, dan lain sebagainya.
g. Dua persen gizi buruk termasuk KLB atau tidak
Adapun penjelasan menurut kelompok mengenai langkah untuk
mencapai elemen tentang gizi dari 10 PHBS adalah sebagai berikut :
Sebelumnya dilihat dulu jumlah masyarakat yang ada di daerah
tersebut. Jika jumlah masyarakat besar mungkin 2% itu termasuk sedikit,
tapi sebaliknya jika jumlah masyarakat sedikit maka 2% itu bisa dikatakan
banyak. Tapi mengenai gizi buruk tidak memandang banyak atau tidaknya
orang yang menderita baru dikatakan kejadian luar biasa (KLB), tapi
walaupun satu orang saja terkena gizi buruk maka itu sudak bisa dikatakan
KLB.
4. Mendaftar semua penjelasan terhadap poin 3 diatas secara sistematis
lalu meringkaskan menjadi problem tree (make a systematic inventory
to the various explanations founds in step 3, and then summarize them)
Pada tahap ini, kelompok menetapkan inti masalah (core
problem/focal problem), sebab timbulnya masalah (causes) dan dampak
(effect) dari masalah itu sendiri sesuai dengan skenario ke dalam bentuk
pohon masalah (problem tree). Adapun pohon masalah yang disusun oleh
kelompok disajikan dalam gambar berikut
9

Meningkat Immunitas Citra Indikator Tumbuh


kan rendah daerah kemakmur kenbang
mortalitas sehingga yang an daerah balita
rawan memiliki menjadi
terinfeksi kasus terganggu
penyakit menjadi
buruk

Terdapat 2 %Gizi Buruk


di Kabupaten X pada
Balita

Beberapa Pengetahu Sarana Pola asuh Budaya


indikator an dan prasarana orang tua masyarakat
PHBS perilaku (media) yang salah dan status
tentang gizi tentang informasi ekonomi
belum gizi masih tentang
tercapai kurang gizi masih
kurang

Problem Tree

5. Menetapkan sasaran belajar (formulate learning objective)


10

Adapun apa saja yang harus dipelajari sebagai sasaran belajar untuk
kegiatan mandiri diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Mahasiswa mampu menjelaskan konsep gizi buruk (pengertian,
faktor risiko, jenis dan macam, serta pencegahannya).
b) Mahasiswa mampu menjelaskan kaitan surveilans gizi dan
manajemen informasi dengan kejadian gizi buruk.
c) Mahasiswa mampu mengetahui teknik surveilans gizi yang baik
dan benar.
d) Mahasiswa mampu menyebutkan teknik promosi kesehatan yang
tepat dalam menangani gizi buruk.
e) Mahasiswa dapat mengetahui konsep ketahanan pangan.
f) Mahasiswa mampu menjelaskan konsep KLB (Kejadian Luar
Biasa) gizi buruk.
g) Mahasiswa mampu menjelaskan 5 dari 10 elemen PHBS (Perilaku
Hidup Bersih dan Sehat) rumah tangga yang berhubungan dengan
skenario.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Kasus berdasarkan Sasaran Belajar yang Mengacu Pada


Pustaka yang Relevan dengan Kasus
1. Pengertian Gizi Buruk
Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam waktu yang
cukup lama. Selain itu, kekurangan gizi juga mengganggu pertumbuhan
dan perkembangan, dapat pula mengkibatkan balita rentan terhadap
penyakit infeksi bahkan dapat mengakibatkan kematian (1).
Bayi dan anak-anak adalah kelompok masyarakat yang paling
rentan terhadap masalah gizi karena memerlukan nutrisi tambahan untuk
pertumbuhan dan perkembangan. Selain itu status gizi bayi dan balita
merupakan salah satu indicator yang menggambarkan tingkat
kesejahteraan masyarakat. Cara penilaian status gizi pada bayi dan balita
adalah dengan antropometri yang diukur melalui indeks berat badan
terhadap tinggi badan (BB/TB) atau berat badan menurut umur (BB/U).
Keadaan gizi buruk pada anak ditandai dengan satu atau lebih tanda sangat
kurus, minimal pada kedua punggung kaki BB/PB atau BB/TB < - 3 SD,
LILA < 11,5 cm pada usia 6-59.
Macam-macam gizi buruk pada anak adalah (1,2) :

a. BBLR
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir <
2500 gram).
b. Anak Balita Pendek
Salah satu jenis kurang gizi yang disebabkan oleh selama 1000 hari
kehamilan kurang mendapatasupan gizi, pola asuh yang tidak baik, dan
buruknya sanitasi lingkungan.

10
11

c. Anemia Anak
Anemia anak terjadi akibat kekurangan zat besi (Fe) pada anak.
Gejala dari anemia ini kadang tidak disadari.

d. GAKY
GAKY adalah singkatan dari Gangguan Akibat Kekurangan
Yodium, yaitu sekumpulan gejala yang timbul karena tubuh kekurangan
unsur yodium secara terus menerus dalam kurun waktu yang cukup lama.
Menurut Depkes RI (2008) keadaan gizi buruk adalah keadaan
kurang gizi tingkat berat pada anak yang berdasar indeks berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda
klinis marasmus, kwashiorkor, dan marasmus-kwashiorkor (3).
Faktor risiko gizi buruk antara lain :
Persediaan pangan yang cukup secara nasional maupun regional
tidak menjamin adanya ketahanan pangan rumah tangga/individu. Studi
Saliem et al. (2001) menunjukkan bahwa walaupun ketahanan pangan di
tingkat regional (provinsi) tergolong tahan pangan terjamin namun di
provinsi yang bersangkutan masih ditemukan rumah tangga yang
tergolong rawan pangan dengan proporsi relatif tinggi. Dampak dari
kerawanan pangan dan kekurangan gizi dapat terjadi pada semua umur,
baik orang tua, dewasa, anak-anak, bayi maupun ibu hamil. Hasil analisis
BPS (4) menunjukkan lebih dari setengah jumlah kabupaten/kota di
Indonesia memiliki prevalensi balita kurang gizi lebih dari 25 persen,
sementara proporsi penduduk yang mengkonsumsi energi kurang dari
2.100 kkal/kap/hari sebesar 64 persen. Kasus gizi buruk yang muncul di
Provinsi Nusa Tenggara Barat yang selama ini dikenal sebagai daerah
lumbung beras menunjukkan bahwa ketahanan pangan regional tidak
menjamin ketahanan pangan rumah tangga. Di Nusa Tenggara Barat, anak
balita yang menderita gizi buruk atau bahkan busung lapar mencapai 10
persen dari total anak balita, atau sekitar 49.000 anak balita.
12

Terjadinya kasus rawan pangan dan gizi buruk di beberapa daerah


menunjukkan bahwa masalah ketahanan pangan bukan masalah yang
sederhana dan dapat diatasi sesaat saja, melainkan merupakan masalah
yang cukup kompleks karena tidak hanya memperhatikan situasi
ketersediaan pangan atau produksi di sisi makro saja melainkan juga harus
memperhatikan program-program yang terkait dengan fasilitasi
peningkatan akses terhadap pangan dan asupan gizi, baik di tingkat rumah
tangga maupun bagi anggota rumah tangga itu sendiri. Dalam era
desentralisasi, diperlukan sinkronisasi dan koordinasi yang baik antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan program-
program penanggulangan rawan pangan dan gizi buruk tersebut (5).

1. Asupan makanan
Asupan makanan yang kurang disebabkan oleh berbagai faktor,
antara lain tidak tersedianya makanan secara adekuat, anak tidak cukup
atau salah mendapat makanan bergizi seimbang, dan pola makan yang
salah.2 Kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan balita adalah air, energi,
protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral.Setiap gram protein
menghasilkan 4 kalori, lemak 9 kalori, dan karbohidrat 4 kalori.Distribusi
kalori dalam makanan balita dalam keseimbangan diet adalah 15% dari
protein, 35% dari lemak, dan 50% dari karbohidrat.
2. Sosial ekonomi
Rendahnya ekonomi keluarga, akan berdampak dengan rendahnya
daya beli pada keluarga tersebut. Selain itu rendahnya kualitas dan
kuantitas konsumsi pangan, merupakan penyebab langsung dari
kekurangan gizi pada anak balita.12Balita dengan gizi buruk pada
umumnya hidup dengan makanan yang kurang bergizi.
3. Pendidikan Ibu
Rendahnya pendidikan dapat mempengaruhi ketersediaan pangan
dalam keluarga, yang selanjutnya mempengaruhi kuantitas dan kualitas
konsumsi pangan yang merupakan penyebab langsung dari kekurangan
13

gizi pada anak balita.Tingkat pendidikan terutama tingkat pendidikan ibu


dapat mempengaruhi derajat kesehatan karena pendidikan ibu berpengaruh
terhadap kualitas pengasuhan anak.
4. Penyakit Penyerta
Balita yang berada dalam status gizi buruk, umumnya sangat rentan
terhadap penyakit.Penyakit penyerta biasanya merupakan penyakit infeksi
seperti diare, TB paru, HIV.
5. Pengetahuan ibu
Pengetahuan yang dimiliki ibu berpengaruh terhadap pola konsumsi
makanan keluarga.Kurangnya pengetahuan ibu tentang gizi menyebabkan
keanekaragaman makanan yang berkurang (6,7).

B. Analisis Kasus Pada Skenario Lebih Mendalam


Berikut akan dijelaskan lebih lanjut analisis sesuai dengan skenario
yakni:
Pada kalimat “Mahasiswa PSKM telah melakukan survey terhadap
Kabupaten X. Hasil survey diperoleh bahwa Kabupaten X termasuk dalam
kategori makmur dengan melihat ketersediaan pangan tingkat rumah
tangganya”.
Dari kalimat pembuka skenario diatas dapat diketahui bahwa daerah
pada Kabupaten X merupakan daerah yang mencukupi dari segi ketahanan
pangan. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi
rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau (8). Hubungannya
dengan gizi masyarakat ialah bahwa status gizi masyarakat pasti
berhubungan erat dengan tersedianya yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau, dengan kata lain ketahanan
pangan itu sendiri.
Namun makmur dalam artian ketahanan pangan itu sendiri tidak
menjamin status gizi yang baik dalam masyarakat. Tanpa pengetahuan
yang benar mengenai pola konsumsi pangan dan pengolahannya dalam
14

kehidupan sehari-hari, status gizi seseorang dapat terganggu. Karena


dengan pengetahuanlah, perilaku konsumsi pangan yang benar akan
terbentuk. Sehingga tidak dengan hanya ketahanan pangan saja, suatu
masyarakat dapat memenuhi status gizi yang baik. Lingkungan juga
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap status gizi seseorang, karena
jika lingkungannya buruk maka rentan terjadi infeksi penyakit.
Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan
yang mempengaruhi kesehatan individu. Oleh sebab itu, dalam rangka
membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, intervensi yang
ditunjukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis. Pemberdayaan
masyarakat harus dimulai dari rumah tangga, karena rumah tangga yang
sehat merupakan aset pembangunan di masa depan yang perlu dijaga,
ditingkatkan dan dilindungi kesehatannya. Semua anggota keluarga dapat
menjadi rawan terkena penyakit infeksi, salah satunya adalah balita.
Infeksi dapat menyebabkan kurang gizi atau sebaliknya (9).
Perilaku kesehatan di tingkat keluarga merupakan salah satu
manifestasi gaya hidup keluarga yang dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku gizi di keluarga antara
lain pendapatan, pendidikan, lingkungan hidup (tempat tinggal, faktor
fisiologis/umur), pekerjaan, suku bangsa, kepercayaan dan agama
(budaya), sikap tentang kesehatan, dan pengetahuan gizi. Perilaku hidup
bersih dan sehat seseorang berhubungan dengan tindakanya dalam
memelihara dan meningkatkan status kesehatan dan pencegahan penyakit
infeksi antara lain: kebersihan diri, pemilihan makanan sehat dan bergizi,
kebersihan lingkungan, penggunakan air bersih yang memenuhi syarat
kesehatan dan penggunaan jamban yang sehat serta tidak merokok dalam
rumah. Rendahnya status gizi disebabkan oleh berbagai faktor yang saling
berkaitan, yaitu: ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, kesehatan
lingkungan, status ekonomi dan penyakit infeksi. Perilaku hidup bersih
dan sehat merupakan faktor tidak langsung yang menyebabkan penurunan
status gizi pada balita (9).
15

Dalam kalimat skenario berikutnya terdapat dua masalah berbeda


dalam satu kalimat sehingga dipisah tiap permasalahan: “Berdasarkan
data dinas Kesehatan Kabupaten X ternyata sejumlah 2% balitanya
mengalami gizi buruk …………….”
Meskipun dalam kalimat skenario sebelumnya dikatakan bahwa
Kabupaten X makmur, namun ternyata ditemukan permasalahan gizi
buruk sebanyak 2%. Jumlah 2% dalam kasus merupakan Kejadian Luar
Biasa (KLB) yang harus segera ditangani. Dapat dikaitkan dengan kalimat
skenario sebelumnya, bahwa makmur dalam artian ketahanan pangan tidak
menjamin akan tercapainya status gizi baik. Terdapat faktor pengetahuan,
perilaku dan lingkungan. Serta ini berarti kinerja tenaga kesehatan di
kabupaten tersebut perlu dievaluasi lebih dalam. Karena menandakan
bahwa Sistem Kewaspadaan Gizi (SKG) dan Sistem Kewaspadaan Dini
KLB Gizi Buruk (SKD-KLB) yang dilakukan di kabupaten tersebut tidak
berjalan. Padahal sistem tersebut ialah sasaran penting dalam surveilans
epidemiologi kesehatan terkait gizi masyarakat.
Sebagaimana Surat Edaran Menteri Kesehatan RI Nomor
1209/Menkes/X/1998 tanggal 19 Oktober 1998 mengatakan bahwa setiap
kasus gizi kurang berat (gizi buruk) dinyatakan sebagai Kejadian Luar
Biasa (KLB), sehingga dalam waktu 1x24 jam sudah harus terlaporkan
penangannnya. Berdasarkan surat edaran tersebut, maka kasus gizi buruk
di wilayah kerja Kabupaten X sudah termasuk dalam kategori KLB (10).
Upaya penanggulangan gizi buruk dan gizi kurang sangat penting
untuk dilakukan. Hal ini karena dampak yang ditimbulkan dari
permasalahan gizi buruk dan gizi kurang sangat luas dan kompleks.
Beberapa dampak negatif gizi buruk dan gizi kurang pada balita adalah
mengganggu pertumbuhan fisik dan mental, hilangnya masa hidup sehat,
serta dapat menimbulkan kecacatan, tingginya angka kesakitan, dan
percepatan kematian (11).
Masa balita adalah masa kritis atau critical period, karena dapat
menimbulkan dampak yang sangat serius, terutama pada periode dua tahun
16

pertama kehidupan, dimana 80% otak mengalami pertumbuhan yang


sangat pesat, gangguan gizi yang terjadi pada periode ini bersifat
permanen, tidak dapat dipulihkan walaupun kebutuhan gizi pada masa
selanjutnya terpenuhi. Balita usia 24-59 bulan sangat tinggi intensitas
aktivitasnya, pada usia ini mulai terjadi pergeseran status gizi sedang ke
gizi kurang (12).
Salah satu strategi/model untuk meningkatkan optimalisasi hasil
penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk adalah penanggulangan
balita gizi kurang dan gizi buruk berbasis prakarsa dan pemberdayaan
masyarakat melalui Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi. Program ini
merupakan model/strategi baru sebagai salah satu alternatif dalam
penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk. Program ini merupakan
wahana peningkatan status gizi anak balita di masyarakat (posyandu)
melalui edukasi (pembelajaran/penyuluhan/KIE) dan rehabilitasi gizi
(pemberian PMT, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, serta pemberian
zat gizi mikro). Program ini dilakukan secara bermitraan dengan lintas
program dan lintas sektor serta melibatkan ibu balita dan komponen
masyarakat untuk memberikan kontribusi berupa bahan makanan, tenaga
atau uang (11).
Lanjutan dari kalimat skenario sebelumnya: ”………….dan
beberapa 10 indikator PHBS belum tercapai”.
Terkait belum tercapainya indikator PHBS merupakan masalah
krusial dalam terjadinya KLB gizi buruk di Kabupaten X. Ketahanan
pangan dan kemakmuran suatu daerah masih tidak bermakna tanpa adanya
perilaku hidup bersih dan sehat dari masyarakat itu sendiri. PHBS sangat
berperan penting karena mutu gizi perseorangan dan masyarakat dapat
tercapai jika indikator PHBS terlaksana.
Capaian PHBS setiap indikator ialah sebagai berikut. Indikator 1
untuk persalinan oleh tenaga kesehatan sebesar 100%. Indikator 2 untuk
pemberian ASI Eksklusif sebesar 50%. Indikator 3 untuk penimbangan
balita setiap bulan sebesar 100%. Indikator 4 untuk cuci tangan dengan air
17

dan sabun sebesar 94%. Indikator 5 untuk penggunaan air bersih sebesar
100%. Indikator 6 untuk penggunaan jamban sehat sebesar 88%. Indikator
7 untuk Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) sebesar 62%. Indikator 8
untuk diet sayur dan buah setiap hari hanya sebesar 50%. Indikator 9
untuk aktivitas fisik setiap hari sebesar 90% dan indikator 10 untuk tidak
merokok sebesar 54% (12).
Terdapat beberapa indikator PHBS yang berkaitan erat dengan status
gizi masyarakat terutama balita yang berkaitan dengan skenario. Yaitu
indikator 1,2,3,4 dan 8. Untuk indikator 1 yaitu persalinan oleh tenaga
kesehatan sebesar 100%. Jika hal ini tidak terpenuhi dapat memicu kasus
gizi buruk karena bayi yang dilahirkan dengan bantuan tenaga kesehatan
beresiko BBLR yang menyebabkan anak akan menderita gangguan gizi
saat tumbuh besar. Indikator penggunaan air bersih turut mempengaruhi
karena berkaitan dengan lingkungan yaitu sanitasi masyarakat. Jika
sanitasi tidak sehat akan menimbulkan banyak agen penyakit hidup dan
infeksi penyakit terjadi yang menyebbakan gangguan status gizi.
Beberapa indikator PHBS yang masih jauh dari target nasional
penting untuk terus ditingkatkan mengingat pentingnya perilaku tersebut.
Perilaku diet sayur dan buah setiap hari ditujukan agar kebutuhan gizi
seimbang dapat terpenuhi. Pemberian ASI (Air Susu Ibu) secara eksklusif
artinya memberikan ASI saja pada bayi dari usia 0–6 bulan. Pemberian
ASI saja maksudnya adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa ada makanan
tambahan baik itu air, madu ataupun makanan seperti bubur dan lainnya
(12).
Salah satu penyebab rendahnya PHBS adalah rendahnya
pelaksanaan promosi kesehatan di puskesmas. Pedoman pembinaan PHBS
tahun 2011 menjelaskan bahwa pembinaan PHBS dilaksanakan melalui
penyelenggaraan promosi kesehatan di puskesmas. Upaya meningkatkan
PHBS dilakukan melalui promosi kesehatan di luar gedung puskesmas
yang terdiri dari kunjungan rumah, pembentukan kemitraan serta
pemberdayaan masyarakat melalui UKBM. Penyelenggaraan promosi
18

kesehatan melalui serangkaian kegiatan tersebut akan memberikan


pembelajaran untuk membantu masyarakat dari tingkat individu, keluarga,
maupun kelompok agar memiliki pengetahuan, kemauan dan kemampuan
untuk berPHBS. Namun promosi kesehatan di puskesmas belum berjalan
optimal (8).
Dalam rangka mewujudkan perilaku Keluarga Sadar Gizi dan
Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) keluarga sejumlah aspek perlu
dicermati. Aspek ini berada di semua tingkatan yang mencakup tingkat
keluarga, tingkat masyarakat dan tingkat pelayanan kesehatan. Ditingkat
keluarga, aspek tersebut adalah pengetahuan dan keterampilan keluarga.
Sementara ditingkat masyarakat yang perlu diperhatikan sebagai faktor
pendukung perubahan perilaku keluarga adalah norma yang berkembang
di masyarakat, dukungan pemangku kepentingan yang mencakup
eksekutif, legislatif, tokoh masyarakat dan media massa. Sedangkan
ditingkat pelayanan kesehatan mencakup pelayanan preventif dan promotif
terhadap timbulnya penyakit (11).
Pada kalimat “...Hal ini mengejutkan kepala dinkes,mengingat
kegiatan surveilans gizi selalu rutin dilakukan...“
Berdasarkan kalimat diatas, dapat diketahui bahwa surveilans gizi
selalu rutin dilakukan. Kegiatan surveilans gizi sudah rutin dilakukan
tetapi masih terjadi kasus gizi buruk. Surveilans gizi adalah suatu proses
pengumpulan, pengolahan dan diseminasi informasi hasil pengolahan data
secara terus menerus dan teratur tentang indikator yang terkait dengan
kinerja pembinaan gizi masyarakat. Dapat dilihat bahwa surveilans gizi
yang berjalan perlu dilakukan monitoring dan evaluasi, apakah sudah
sesuai dengan pedoman pelaksaan surveilans gizi yang dibuat oleh
kemenkes RI atau tidak. Kegiatan rutin surveilans gizi sesuai pedoman
oleh kemenkes RI yaitu penimbangan bulanan, pemantauan dan pelaporan
kasus gizi buruk, pendistribusian tablet Fe ibu hamil, pendistribusian
kapsul vitamin A balita, dan pemberian ASI Eksklusif. Disamping itu
surveilans gizi diperlukan untuk memperoleh tambahan informasi yang
19

tidak termasuk dalam kegiatan rutin, seperti konsumsi garam beriodium,


pendistribusian MP-ASI dan PMT, pemantauan status gizi anak dan ibu
hamil dan Wanita Usia Subur (WUS) risiko Kurang Energi Kronis (KEK)
atau studi yang berkaitan dengan masalah gizi lainnya. Petunjuk
Pelaksanaan Surveilans Gizi ini dimaksudkan sebagai acuan petugas
kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota dalam melaksanakan surveilans
gizi untuk meningkatkan efektifitas kegiatan pembinaan gizi masyarakat
dengan mempertajam upaya penanggulangan masalah gizi secara tepat
waktu, tempat, sasaran dan jenis tindakannya. Dalam pelaksanaan
pengumpulan data, bila ada puskesmas yang tidak melapor atau melapor
tidak tepat waktu, data laporan tidak lengkap dan atau tidak akurat maka
petugas Dinkes Kabupaten/Kota perlu melakukan pembinaan secara aktif
untuk melengkapi data. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui telepon,
Short Message Service (SMS) atau kunjungan langsung ke puskesmas
(13).
Informasi yang dihasilkan dari kegiatan surveilans gizi berguna
sebagai dasar dalam pengambilan keputusan, perencanaan dan pengelolaan
program yang berkaitan dengan perbaikan gizi masyarakat. Tanpa sistem
surveilans yang memadai mulai dari tingkat nasional sampai tingkat lokal,
kemungkinan masalah gizi yang timbul di masyarakat akan berlangsung
terus-menerus tanpa diketahui perkembangannya dan tentu akan
mempersulit dalam perumusan program yang tepat untuk
menanggulanginya. Tanpa data dan informasi memadai, kejadian kasus
gizi masih akan terus berlangsung dan menimbulkan ketidaksiapan yang
berkelanjutan dalam menanggulanginya (14)
Salah satu faktor penyebab timbulnya masalah gizi buruk pada balita
yaitu kurangnya asupan makanan pada balita karena ketidak cukupan
mendapatkan makanan yang bergizi seimbang dan pola makanan yang
salah, kurangnya persediaan makanan pada balita yang sangat
membutuhkan makanan bergizi seimbang yang mengandung zat-zat gizi
yang diperlukan untuk proses pertumbuhan serta perkembangan balita,
20

terbatasnya akan suatu informasi, kurangnya perawatan terhadap balita dan


kurangnya pelayanan kesehatan sehingga dapat menimbulkan berbagai
macam penyakit infeksi, status ekonomi yang serba kekurangan yang
dapat mengakibatkan kondisi lingkungan tempat tinggalnya menjadi
kurang bagus. Disamping itu dapat dipengaruhi juga oleh kurangnya
konsumsi energi, protein, vitamin dan gangguan lainnya yaitu kekurangan
yodium (15).
Sebaiknya surveilans gizi bisa dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar yang terdapat pada pedoman surveilans gizi yaitu : (1)
Tersedia data yang akurat dan tepat waktu, (2) Ada proses analisis atau
kajian data,(3) Tersedianya informasi yang sistematis dan terus menerus,
(4) Ada proses penyebarluasan informasi, umpan balik dan pelaporan, (5)
Ada tindak lanjut sebagai respon terhadap perkembangan informasi (14).
Pada kalimat “...Namun ini sudah terlambat, karena seharusnya
dengan sistem informasi yang baik, kejadian gizi buruk dapat dicegah...”
Berdasarkan kalimat diatas, dapat diketahui bahwa sistem informasi
informasi tidak berjalan dengan baik. Banyak yang faktor yang
mempengaruhi kejadian gizi buruk. Salah satunya adalah informasi
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Keberadaan sebuah informasi
yang realtime,cepat, dan akurat menjadi hal yang sangat penting bagi
kelangsungan hidup manusia saat ini. Data dan informasi yang diperlukan
tentu harus mudah diakses dengan efektif dan efisien oleh berbagai pihak
yang berkepentingan. Penyakit merupakan masalah yang sering kali
dihadapi dalam masyarakat (16).
Perkembangan zaman yang semakin canggih, serta dengan
meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi sangatlah jelas
mempengaruhi kehidupan masyarakat secara luas serta mendorong
manusia untuk melakukan aktifitas dengan cara-cara yang mudah, efektif
dan efisien. Peran teknologi sekarang ini sudah dapat dikatakan sangat
membantu aktifitas manusia dalam melaksanakan kegiatan kesehariannya,
baik dibidang kesehatan, pendidikan, bisnis, serta dibidang-bidang
21

lainnya. Sistem informasi adalah alat untuk menyajikan informasi


sedemikian rupa sehingga bermanfaat bagi penerimanya. Tujuannya
adalah untuk memberikan informasi dalam perencanaan, memulai,
pengorganisasian, operasional sebuah perusahaan yang melayani sinergi
organisasi dalam proses mengendalikan pengambilan keputusan (17).
Secara nasional upaya pencegahan gizi buruk jangka pendek
dilaksanakan dengan sistem kewaspadaan dini secara intensif, pelacakan
kasus dan penemuan kasus baru serta menangani kasus gizi buruk dengan
perawatan di Puskesmas dan Posyandu dengan mengaktifkan kegiatan
preventif dan promotif. Dalam jangka panjang, dilakukan dengan
mengintegrasikan program peningkatan status gizi dan ketahanan pangan
dalam program penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan keluarga
untuk menerapkan perilaku sadar gizi (18).
Pada kalimat “...Selanjutnya kepala dinas kesehatan melakukan
kajian agar kasus dapat diatasi serta memperbaiki manajemennya selama
ini?...”
Berdasarkan kalimat diatas program yang berjalan harus diperbaiki.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya kepala dinas Kesehatan bisa
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap program surveilans gizi. Juga
melakukan surveilans gizi yang sesuai dengan pedoman dari Kemenkes
RI. Memantau kegiatan rutin surveilans gizi. Umpan balik hasil kegiatan
surveilans disampaikan secara berjenjang dari Pusat ke Provinsi setiap 3
bulan atau setiap saat bila terjadi perubahan kinerja, dari Provinsi ke
Kabupaten/Kota dan dari Kabupaten/Kota ke Kecamatan (Puskesmas)
serta Desa/Kelurahan (Posyandu) sesuai dengan frekuensi pelaporan pada
setiap bulan berikutnya(13)
Kualitas sumber daya manusia suatu negara sangat tergantung dari
derajat kesehatan dan salah satu penentunya adalah status gizi penduduk.
Indonesia merupakan negara dengan permasalahan gizi yang masih tinggi,
terutama kasus gizi buruk yang mengharuskan pemerintah merumuskan
program perbaikan gizi. Perbaikan gizi adalah kebutuhan dasar bagi
22

perencanaan kesehatan secara keseluruhan an perencanaan pangan dan


gizi. Penanggulangi permasalahan gizi diperlukan perencanaan jangka
panjang dan disusun dengan mengacu pada informasi yang memadai baik
secara kualitas maupun kuantitas. Salah satunya melalui kegiatan suveilans
gizi (14).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 23 tahun 2014 pasal
7 dikatakan bahwa pemerintah daerah kabupaten bertugas dan
bertanggung jawab dalam penyelenggaraan dan fasilitasi gizi,
penyelenggaraan penanggulangan gizi buruk, perbaikan gizi keluarga,
memenuhi kecukupan dan perbaikan gizi pada masyarakat terutama pada
keluarga miskin, rawan gizi dan dalam situasi darurat, meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan
pengaruhnya terhadap peningkatan status gizi, menyelenggarakan
pelayanan upaya perbaikan gizi di fasilitas pelayanan kesehatan di wilayah
setempat dan melaksanakan fasilitasi, perizinan, koordinasi, monitoring
dan evaluasi. Perkembangan keadaan gizi masyarakat dapat dipantau
melalui hasil pencatatan dan pelaporan program perbaikan gizi masyarakat
yang tercermin dalam hasil penimbangan bayi dan balita setiap bulan di
posyandu. Pada tahun 2014, melalui Peraturan Menteri Kesehatan nomor
23 tentang upaya perbaikan gizi, pemerintah mengupayakan melalui
kerjasama dengan berbagai pihak, mulai dari pemerintah sampai dengan
masyarakat dalam upaya perbaikan gizi di masyarakat (18).
BAB III
PENUTUP
B. Kesimpulan
Balita yang mengalami gizi buruk adalah balita yang berat badan < -3
standar defisiasi. Balita gizi buruk juga dapat dilihat dari pengukuran
BB/TB dan tidak terdapat tanda-tanda marasmus. Keadaan gizi buruk pada
anak ditandai dengan satu atau lebih tanda sangat kurus, Edema, minimal
pada kedua punggung kaki BB/PB atau BB/TB < - 3 SD, LILA < 11,5 cm
pada usia 6-59. Macam-macam gizi buruk pada anak adalah BBLR, Anak
Balita Pendek, Gizi Kurang, Anemia Anak dan GAKY.
Klasifikasi Gizi Buruk antara lain marasmus, kwashiorkor dan
marasmus-kwashiorkor. Adapun faktor risiko gizi buruk antara lain:
asupan makanan, sosial ekonomi, pendidikan Ibu, penyakit penyerta serta
pengetahuan ibu.
Sistem informasi adalah proses pengumpulan, pengolahan dan
interpretasi data secara terus menerus. Surveilans gizi adalah proses
pengamatan masalah dan program gizi secara terus menerus baik situasi
normal maupun darurat, meliputi: pengumpulan, pengolahan, analisis dan
pengkajian data secara sistematis serta penyebarluasan informasi untuk
pengambilan tindakan sebagai respons segera dan terencana.
Ketersediaannya pangan tingkat rumah tangga adalah terpenuhinya
bahan yang ingin dikonsumsi dan terpenuhinya gizi di tingkat rumah
tangga. Ketersediaan pangan yang cukup berarti terpenuhinya pangan yang
cukup, bukan hanya beras melainkan juga mencakup pangan yang berasal
dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan pangan.
Faktor penyebab gizi buruk dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu
penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Faktor konsumsi
makanan merupakan penyebab langsung dari kejadian gizi buruk pada
balita. Hal ini disebabkan karena konsumsi makanan yang tidak memenuhi
jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang yaitu

23
24

beragam, sesuai kebutuhan, bersih dan aman sehingga akan berakibat


secara langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan balita.

C. Saran
1. Pemerintah sebaiknya lebih meningkatkan program gerakan tuntas gizi
buruk, perawatan balita gizi buruk dan sangat kurus serta upaya
pemulihan dan tindakan lanjut bagi balita gizi buruk dan sangat kurus
paska perawatan.
2. Pemerintah sebaiknya juga menyediakan Pemberian Makanan
Tambahan (PMT), membentuk kadarzi, pos gizi dan pedamping balita
gizi buruk.
3. Petugas kesehatan melakukan monitoring dan evalusi serta diberikan
pelatihan agar program yang telah di rencanakan pemerintah dapat
terjalin dengan baik dan dapat mencegah adanya gizi buruk bagi balita.
4. Meningkatkan Penyuluhan kepada masyarakat tentang masalah gizi
agar tidak terjadi lagi masalah gizi buruk.
5. Masyarakat sebaiknya diberikan pengetahuan tentang makanan yang
bergizi yang baik dikonsumsi anak balita agar kecukupan gizinya
tercukupi dan  petugas kesehatan senantiasa memperbaiki pola asuh
anak balita dengan membekali ibu-ibu ilmu tentang penata laksanaan
makan pada anak yaitu berupa gizi seimbang.
6. Dengan adanya masalah gizi kurang dan gizi buruk pada anak balita di
masyarakat maka diperlukan ketahanan pangan di tingkat Rumah
Tangga.
7. Diharapkan bagi masyarakat agar tidak tinggal diam jika melihat anak
yang mengalami gizi buruk, dan sekiranya dapat di laporkan ke
posyandu atau puskesmas terdekat agar dapat segera di tangani.
DAFTAR PUSTAKA

1. Baculu EPH, Juffrie M, Helmyati S. Faktor Risiko Gizi Buruk pada Balita di
Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Gizi dan Dietetik
Indonesia. 2015; 3(1): 51-59.

2. Kalsum U, Jahari AB. Strategi Menurubkan Pravelensi Gizi Kurang pada Balita
di Provinsi Jambi. JMU. 2015; 3(1): 45-59.

3. Depkes RI. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk. Direktorat


Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 2008.

4. Wardhani. Gizi Dasar Plus 30 Resep Masakan Lezat Nan Praktis Untuk Pemula.
Yogyakarta: Diandra Kreatif. 2018.

5. Nurpalah R, Dewi W, Eva L, Lidya M. Gambaran Kadar Glukosa, Protein, Dan


Natrium Pada Anak Dengan Status Gizi Buruk. Jurnal Kesehatan Bakti Husada,
2015. 1(14): 113-118.

6. Dewi N.A. F. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita Yang
Dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Skripsi. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. 2012.

7. Ariningsih E. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan


Pangan. Jurnal analisis kebijakan pertanian. 2016. 239-255.

8. Undang-Undang RI Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan.

9. Hartono, Widjarnako B, Setiawati MEM.. Hubungan perilaku Keluarga Sadar


Gizi (KADARZI) dan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PBHS) pada tatanan rumah
tangga dengan status gizi balita usia 24-59 bulan. Jurnal Gizi Indonesia, 2017.
5(2): 88-97.

10. Ariska Y, Kustiyah L, Widodo Y. Perubahan status gizi balita pada Program
edukasi dan rehabilitasi gizi. Jurnal Gizi Pangan, 2015; 10(3):157-164.

11. Pratiwi H, Bahar H, Rasma. Peningkatan Pengetahuan, Sikap, Dan Tindakan Ibu
Dalam Upaya Pencegahan Gizi Buruk Pada Balita Melalui Metode Konseling
Gizi Di Wilayah Kerja Puskesmas Wua-Wua Kota Kendari Tahun 2016. Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Masyarakat, 2016. 1(3): 1-8.
12. Sari IIK, Sulistyowati M. Analisis Promosi Kesehatan Di Puskesmas Kalijudan
Terhadap Phbs Rumah Tangga Ibu Hamil. Jurnal Promkes, 2015. 3(2): 159–170.

13. Direktorat Bina Gizi Kemenkes RI. Petunjuk Pelaksanaan Surveilans Gizi.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2012.

14. Mulyani EDS, Erwandi D, Aryanti N. Sistem Pakar Diagnosis Gizi Buruk Pada
Balita Menggunakan Metode Forward Chaining di Puskesmas Tinewati.
Konferensi Nasional Sistem & Informatika. 2015.

15. Yasa IWRP, Putra IGLAR, Swastika IPA. Sistem Informasi Geografis Pemetaan
Penyakit Kronis dan Demam Berdarah di Puskesmas 1 Baturiti Berbasis
Website. SNATIKA, 2017 ; 4 : 43-49.

16. Tri Hasanah B.A & Edo Prasetyo. Sistem informasi angka kesehatan masyarakat
pada Puskesmas Sumberharta berbasis Web Mobile. Jutim. 2017 ; 2(2) : 122-127

17. Erien Luthfia , Yanti , Warsiti. Pengalaman pemeliharaan kesehatan keluarga


positive deviance dalam upaya peningkatan status gizi balita di Puskesmas
Ngumpakdalem Kabupaten Bojonegoro. Jurnal PPKM II. 2017:129- 132

18. Dinar Aditya, Hartuti Purnaweni. Implementasi program perbaikan gizi alita di
Puskesmas Wonosalam I Kabupaten Demak. Journal of Public Policy and
Management Review. 2017 ; 6(4) : 1-10
Lampiran Lembar Penilaian Makalah

LEMBAR PENILAIAN MAKALAH


BELAJAR BERDASARKAN MASALAH
PENILAIAN STATUS GIZI

KELOMPOK :I

NAMA TUTOR : Ihya Hazairin Noor, SKM.,


MPH JUDUL SKENARIO : “Malangnya Nasibmu...”
TANGGAL DITERIMA :

A. FORMAT (60-80)

1. Kesesuaian format :

2. Kelengkapan bagian-bagian makalah :


B. ISI (60-100)
1. Materi tulisan :

2. Tata bahasa :

3. Kesesuaian isi dengan sasaran belajar :


C. KEPUSTAKAAN (60-80)

1. Kemuktakhiran sumber referensi* :

2. Prosentase penggunaan Kepustakaan

Primer sebagai rujukan** :

Total Nilai A+ (2 x B) + C =
Rata-rata nilai Total nilai = Banjarbaru, 02 Mei 2018
Penilai.
4

(...........................................)
NIP/NIK. 1990.2017.2.230
Keterangan :

1. Rentang nilai :

A. FORMAT : 60-80, B. ISI : 60-100, C. KEPUSTAKAAN : 60-80

2. *>100% Kepustakaan 10 tahun terakhir (kecuali undang-undang,


kebijakan pemerintah atau sejenisnya)

3. ** Sumber kepustakaan

a. Minimal 10 artikel ilmia atau jurnal


b. Minimal 2 buku teks
c. Artikel populer (non jurnal dan non
buku teks)

Anda mungkin juga menyukai