Anda di halaman 1dari 25

GEREJA CALVINIS

Setiap gereja yang mererima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat; berpegang pada Firman
Allah di dalam Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai kewibawaan tertinggi di
dalam perkara-perkara iman dan kehidupan; mengakui kebutuhan akan pembaruan gereja yang am;
yang posisinya di dalam iman dart pewartaan Injil bersesuaian dengan pengakuan-pengakuan iman
Reforned yang historis, mengakui bahwa tradisi Reformed adalah alkitabiah, injili dan merupakan
etos doktrinal bukan sekedar definisi iman dan peraturan yang sempit dan eksklusif, dapat diterima
menjadi anggota.
(Pasal II Anggaran Dasar WARC 1970, diperbarui 1982 dan 1989; dikutip dalam Sen
991:2).

Di lingkungan gereja-gereja Protestan sedunia, aliran atau denominasi Calvinis (ebih sering
disebut Reformed ataupun Presbyterian) hampir sama tuanya dengan Lutheran. Jumlah
anggota gereja penganutnya merupakan yang kedua terbesar sesudah Lutheran tersebar di lima
benua. Sebagian besar daripadanya, yaitu 173 organisasi gereja hingga tahun 1990, bergabung
di dalam World Alliance of Reformed Churches (WARC). Sejak 1970 sebagian dari gereja-
gereja Kongregasional juga bergabung di dalamnya, yaitu sejak WARC bergabung dengan
International Congregational Council (ICC) (Prader Kendati di Indonesia tidak ada gereja yang
memakai nama Calvinis, namun di antara 72 gereja anggota PGI (sampai dengan 1994 yang
[sebagian besar) lazim dimasukkan ke dalam kategori 'aruvand 1975:212 dyb.)paling tidak
mengaku dipengaruhi Calvinisme. Kita ambil contok GPM, GMIM, GMIT, GPIB, GBKP, GKI
(Jabar, Jateng dan Jatin yang sejak Agustus 1994 menyatakan bersatu), GKP, GKJ, GKW
GKPB, GKS, GMIST, GKST, Gereja Toraja (Rantepao maupututama', sekurang-kurangnya
separoh mengaku sebagai Calvinis, atas dirintis RMG dari Jerman, lalu dilanjutkan BMG dari
Basel/SwislMamasa), GKSS, Gepsultra, GMIH; bahkan juga GKE atau GKI Irja yang di
dalamnya bergabung macam-macam tradisi dan aliran. Bahkan di antara gereja-gereja yang
dikategorikan 'arus sampingan' pun, misalnya gereja-gereja yang beraliran Injili (Evangelical
gaya Amerika) banyak yang mengaku Calvinis; misalnya Gereja Reformed Injili Indonesia dan
Gereja Presbyterian Injili Indonesia Apakah benar demikian, baiklah masing-masing gereja itu
memeriksa duri dan ajarannya. Tetapi memang pengakuan atau anggapan itu sangat wajar,
mengingat bahwa sebagian besar dari gereja-gereja itu, terutama yang masuk kategori 'arus
utama', lahir berkat pekerjaan gereja dan zending yang datang dari Belanda, yang gereja
Protestannya pada umumnya bercorak Calvinis.

Di lingkungan gereja-gereja Calvinis sedunia pun, sejauh penulis ketahui, tak ada organisasi
gereja yang memakai nama Calvin[is]. Yang lazim digunakan adalah Reformed (ataupun
terjemahannya dalam masing-masing bahasa), Presbyterian dan Congregational. Jadi walaupun

1
secara etimologis istilah Reformed bisa berlaku bagi semua gereja reformatoris atau Protestan,
tetapi dalam kenyataan dan perkembangan selanjutnya hanya gereja-gereja Calvinis-lah yang
menggunakan istilah itu. Gereja-gereja Protestan pengikut Luther, seperti telah kita lihat, lebih
suka menggunakan nama Lutheran. Penggunaan itu misalnya bisa juga kita lihat dalam nama
persekutuan gereja-gereja Calvinis sedunia: World Alliance of Reformed Churches (WARC),
di mana 26 organisasi gereja di Indonesia- semuanya anggota PGI- menjadi anggotanya
(dengan menghitung GKI Jabar, Jateng dan Jatim sebagai satu gereja) (Handbook 1989:48-57).
Sedangkan istilah Presbyterian dan Congregational, di samping punya makna historis tertentu.
lebih mengacu pada sistem organisasi dan pemerintahan gereja yang diberlakukan di
lingkungan gerejagereja Calvinis, di mana peranan dan kekuasaan para presbyter (penatua; tua-
tua; yang dipilih dari antara warga jemaat) ataupun congregatio (warga jemaat) sangat besar
(lebih lanjut lihat di bawah). Kita tidak akan terlalu banyak berbicara tentang aliran ini, karena
telah terbit karya utama dari pakar Calvinisme, Dr. Christiaan de Jonge, dengan judul APA IU
CALVINISME? Bahkan sebagian cukup besar isi pasal ini mengacu pada buku itu ataupun
tulisan-tulisan lain dari penulis yang sama. Kita hanya mencatat secara garis besar hal-hal
pokok menyangkut aliran ini.

LATAR BELAKANG DAN SEJARAHNYA

Caiatan mengenai latar belaknng Luther dan aliran Lutheran pada umumnya juga berlaku bagi
Calvin dan aliran Calvinis. Karena itu berikut ini hanya ditambahkan sodikis, khusus mengenai
latar belakang Calvin, dijalin dengan riwayat hidupnya secara singkat.

Latar Belakang dan Riwayat Hidup Calvin

Berbicara tentang Calvinisme ntau nliran Calvinis, dengan sendirinya harus berbicara tentang
Johannes Calvin (Jean Cauvin) 1509-1564). Tokoh Reformasi yang tak kalah besar dan
pentingnya dari Martin Luther ini lahir di Noyon, Perancis Utara, 10 Juli 1509. Semula ia
direncanakan keluarganya menjadi imam (GKR). Tetapi waktu ia mempersiapkan diri di Paris
untuk studi teologi, ayahmya berselisih paham dengan keuskupan Noyon, sehingga rencana itu
dibatalkan. Lalu ia belajar ilmu hukum di Orleans 1528-1529 dan di Bourges 1529-1531. Latar
belakangnya sebagai seorang sarjana hukum ini nanti cukup berperan memberi warna yang
kuat dalam pemi kiran dan karya-karya Calvin, baik dalam hal penyusunan tata gerei maupun
dalam perumusan wawasan teologis (sementara pengetahuan teologinya dipupuk lewat upaya
belajar sendiri, ditambah dengan belajar bahasa dan kesusasteraan Ibrani. Yunani dan Latin
secara formal).

2
Ketika in mempelajari bahasa dan kesusastrean klasik itu, ia sekaligus mempelajari dan
menyerap Humanisme Kristen (dengan t kohnya antara lain Erasmus: lihat pasal 2). Para
Humanis Kristen di Injili' dan gerakan Reformasi yang dicanangkan Luther, sementar
pemerintah setempat masih merupakan pendukung GKR Karens itu, ketika pemerintah
mencurigai Calvin sebagai pendukung Refor masi, terutama setelah khotbahnya di Paris 1533,
yang sangat tajan mengecam ajaran dan praktek GKR, ia terpaksa melarikan diri dari Perancis
itu juga bersentuhan dan berkenalan dengan semangat.1

Setelah Calvin memutuskan untuk terjun sepenuhnya dalam gerakan Reformasi, ia lebih
banyak bekerja di Swiss, mula-mula di Basel, kemudian di Jenewa. Sebab ternyata ia lebih
diterima di sana ketimbang di negeri asalnya. Dan ternyata memang gerakan Reformasi lebih
cepat mendapat tempat di negeri yang mungil dan makmur itu. Di Basel ia menulis
mahakaryanya, Religionis Christiange Institutio (kadang-kadang ditulis terbalik: Institutio
Christianae Religionis; Pengajaran Agama Kristen; disingkat Institutio). Versi pertama buku
ini selesai ditulis tahun 1535 dan terbit pada tahun 1536. Semula hanya terdiri dari satu jilid,
tetapi kemudian (pada edisi 1559) membengkak menjadi empat jilid (di dalam bahasa
Indonesia baru tersedia satu jilid berupa edisi ringkasan). Buku ini berisi uraian tentang pokok-
pokok iman Kristen, yang sekaligus mencerminkan ke khasan teologi Calvin, sehingga tak
heran bila kemudian menjadi bu ku pegangan pengajaran di lingkungan gereja-gereja Calvinis.
Khusus untuk pelajar katekisasi, dua orang pengikut Calvin dari Jerman Selatan (Zacharias
Ursinus dan Caspar Olevianus) menyusun Katekismus Heidelberg yang terkenal itu 2 Kendati
ia memulai karyanya sebagai reformator di Basel, namun di Jenewalah ia lebih banyak
berkarya sembari merumuskan buah pikiran dan pergumulan batinnya, yang dituangkan dalam
ratusan tulisan, yang kemudian mengalir ke berbagai negara di seantero benua Eropa, dan pada
gilirannya meluas ke benua lain. Kehadiran dan kiprahnya di Jenewa ini sebenarmya bersifat
agak kebetulan Pada suatu ketika di tahun 1536 ie meninggalkan Basel. Setelah mengunjung
Italia dan Perancis, ia berencana menuju ke Strasburg yang ketika itu masih masuk wilayah
Jerman. Karena alasan keamanan, ia mengambil jalan lewet Jenewa. Seorang pengkhotbah
Injili di sana, G. Farel, meminta bantuan Calvin menerapkan asas-asas Reformasi di kota itu.

1
Sejak kapan persisnya Calvin mendukung atau memihak pada gerakan Reformui tidak bisa
dipastikan. Di kemudian hari Calvin melukiskan pertobatannya bersilat k klismik, yakni berlangsung
secura tiba-tiba, seperti Rasul Paulus maupun Luther. Teei pelukisan dan kesaksian ini lebih
dimaksudkan sebagai dorongan kepada para pead kungnya agar berserah diri sepenuhnya kepada Allah,
karena itu tidak perlu dipersoulot secara ilmiah.

3
Semula Calvin menolak, tetapi Farel pintar menaklukkannya; ja mengancam bahwa Allah akan
menghukum Calvin kalau ia menolak. Sejak saat itu hingga akhir hidupnya Calvin lebih banyak
tinggal dan berkarya di Jenewa, kendati sempat juga meninggalkannya dan pindah ke
Strasburg. Ketika Calvin mulai menetap di Jenewa (1535), kota itu baru saja membebaskan diri
dari pemerintahan uskup GKR setempat seraya beralih ke Reformasi. Kota itu jadinya
diperintah oleh Dewan Kote dan dengan mereka yang duduk di lembaga inilah Calvin
bekerjasama untuk memberlakukan asas-asas Reformasi dalam kehidupan gereja dan
masyarakat, Untuk itu perlu ditegakkan disiplin yang keBuku ini diterbitkan BPK dengan judul
Pengajaran Agama Kristen dan sudah mengalami cetak ulang lebih dari dua puluh kali, karena
memang masih banyak gereja Calvinis] di Indonesia yang menjadikannya bahan pokok untuk
katekisasi.

Disiplin yang ketat ini, termasuk di bidang moral, nanti membuat jemaat dan Dewan Kota
Jenewa sempat 'memecat' Farel dan Calvin tahun 1538, karena tak tahan mengikuti peraturan-
peraturan bergereja yang disusun Calvin. Ini membuat Calvin sementara bermukim dan
melayani di Strasburg, kendati tiga tahun kemudian ia dipanggi kembali (Melton 1993:60 dyb.:
De Jonge 1994:6). Di Strasburg Calvin bekerjasama dengan Martin Bucer, reformator
setempat. Di situ ia belajar banyak tentang tata ibadah dan sistem organisasi gereja, yang kelak
dituangkannya ke dalam berbagai tulisan dan menjadi pedoman bagi gereja-gereja Calvinis
(lihat di bawah). Di kota itu juga ia menikah pada tahun 1540 dengan Idelette de Bure. Pada
tahun 1541 Calvin kembali lagi ke Jenewa atas permintaannDewan Kota setempat, dalam
rangka mengatasi upaya seorang kardinal untuk menggiring warga kota itu kembali ke GKR.
Calvin segera menyusun tata gereja yang baru, yang diberi nama Ordonnances Ecclesiastiques
(Peraturan-peraturan Gerejawi), yang sekaligus merupakan penerapan dari dasar-dasar teoritis
yang sudah dirumuskannya di dalam Institutio (seluk-beluk tata gereja itu lihat di bawah). Tata
gereja itu lagi-lagi sangat menekankan disiplin dan kemurnian, baik dalam ajaran maupun
perilaku, sehingga sejak 1541 itu tak jarang terjadi pengucilan, bahkan kadang-kadang
hukuman mati, terhadap mereka yang melanggarnya. Pengaruh Calvin tidak hanya terasa di
Jenewa, melainkan juga di seluruh Swiss. la bersama para pendukung Reformasi lainnya
berupaya menyatukan pendapat umat Protestan di negeri ini mengenai berbagai hal, antara lain
mengenai Perjamuan Kudus. Tetapi upaya ini pada gilirannya membuat perbedaan antara
mereka dengan pengikut-pengikut Luther jadi semakin tajam, dan perbedaan pemahaman
tentang Perjamuan Kudus itu lama sekali tak terdamaikan. Pertikaian ini baru diakhiri pada
tahun 1957, ketika para teolog dari kedua belah pihak menghasilkan kesepakatan bersama

4
dengan nama dalil-dalil Arnoldshain; De Jonge 1994:13. Calvin juga semakin terkemuka di
dunia Reformasi tingkat internasional. Ja menjalin hubungan dengan para tokoh Reformasi di
ber bagai negeri: Perancis, Inggris (England). Skotland, Polandia, Hongaria dan sebagainya
dan berhasil menanamkan pengaruhnya atas mereka (persebaran dan perkembangan
Calvinisme di berbagai negeri sepeninggal Calvin, lebih lanjut lihat di bawah). Dari berbagai
negeri itu banyak berdatangan calon pendeta Protestan untuk dididik di sebuah Akademi di
Jenewa, yang diprakarsai Calvin khusus untuk tujuan itu dan dipimpin oleh Theodorus Beza
(yang kelak menjadi pengganti Calvin memimpin gerakan dan gereja Reformasi di Swiss dan
sekitarnya). Para mahasiswa itu sekaligus mempelajari pola kehidupan gereja di Jenewa untuk
kemudian mereka contoh dan terap kan di negeri masing-masing. Calvin meninggal tanggal 27
Mei 1564. la mewariskan kepada dunia suatu wawasan teologi yang khas, yang secara cukup
lengkap dan jelas tersaji di dalam Institutio, terutama pada edisi terakhir. Dibanding Luther,
jalan hidup dan pergumulan batin Calvin tidak sedramatis Luther, dan kedua tokoh ini juga
rupanya punya temperamen yang berbeda. Calvin lebih kalem dan lebih 'njelimet', sehingga
terkadang tulisan-tulisannya terasa kering dan bertele-tele, tetapi di lain pihak jauh lebih rinci
dan sistematis. Sementara itu dalam hal-hal yang paling mendasar bagi reformasi gereja, di
antara Calvin dan Luther jauh lebih banyak persamaan ketimbang perbedaan. Banyak ahli yang
berpendapat bahwa Calvin 'duduk di bahu' Luther, mengembangkan secara lebih rinci dan
mendalam gagasan-gagasan pokok yang sudah dicanangkan Luther, atau membangun di atas
dasar yang sudah diletakkan Luther. Calvin menjadikan reformasi yang dicanangkan Luther
menjadi lebih konkret dan lebih jelas wujudnya dalam kehidupan bergereja. Dan menyangkut
hubungan pribadi, Calvin sendiri menyatakan bahwa ia- kendati tak pernah ber temu muka
langsung dengan Luther- sangat menghormati pendahulunya itu. Dalam pada itu, para pengikut
Calvin yang kelak menjelma menjadi gereja-gereja Calvinis (Reformed)- seperti halnya para
pengikut Luther dan gereja-gereja Lutheran-menyusun sejumlah dokumen Pengakuan Iman;
antara lain: Konfesi Helvetik (Swiss atau Jenewa) I (1536) dan II (1566), Pengakuan Iman
Belanda (Confessio Belgica, 1561), Kanon Synode Dordrecht (1619) dan Pengakuan Iman
West minster (1647) (tentang dua yang terakhir lihat juga antara lain Lane 1990:155-156 dan
172-174). Di dalam dokumen-dokumen yang dirumuskan pada abad ke-16 dan ke-17 ini- selain
di dalam Institutio, dirumuskan wawasan teologis gereja-gereja Calvinis, kendati pada abad-
abad berikutnya masih banyak karya teologi yang memuat dan mengembangkan wawasan dari
dua abad pertama ini, Perkembangar para pengikut dan gereja-gereja Calvinis, serta
pergumulan dan per tikaian di dalamnya dan upaya mereka mengembangkan (ataupun
menggeser beberapa penekanan) jaran Calvin, akan kita lihat dalam uraian berikut ini.
5
Perluasan Gereja-gereja Calvinis

Dibandingkan dengan Lutheran, aliran Calvinis (Reformed) mem punyai sejarah dan
perkembangan yang jauh lebih rumit. Karena itu perlu disajikan uraian khusus, Jemaat-jemaat
Protestan pengikut Calvin pertama terbentuk di Swiss dan Perancis, Pada tahun 1559 telah
berlangsung sidang sinode pertama Gereia Reformed Perancis. Di situ diterima pengakuan
iman dan tata gereja yang dirancang Calvin. Pada tahun-tahun berikutnya jemaat-jemaat
Reformed di Perancis ini, yang dikenal dengan nama kaum Hugenot, mengalami
penghambatan dari pihak pemerintah yang Katolik. Puncaknya terjadi pada suatu peristiwa
yang dikenal dengan nama malam pesta St Bartolomeus (23-24 Agustus 1572), di mana sekitar
30.000 orang Pro testan terbunuh.sehingea gereja Protestan di Perancis benar-benar bercorak
Calvinis. Setelah Edik Nantes yang diterbitkan Raja Henry IV tahun 1598 sempat ada masa
toleransi: tetapi tak berapa lama, terutama sejak Raja Louis XIV membatalkan edik itu pada
tahun 1685, kembali lagi terjadi penghambatan sampai diterbitkannya Konstitusi 1795 (sebagai
produk Revolusi Perancis 1789) yang menjamin kebebasan beragama. Perkembangan yang
sangat pesat justru berlangsung di Belanda Jemaat-jemaat Protestan Calvinis terbentuk segera
setelah Calvin membentuk jemaat di Jenewa. Selanjutnya menyusullah perang agama yang
mengakibatkan terbaginya negeri itu menjadi dua: Be landa yang Reformed dan Belgia yang
Katolik Roma. Pemisahan itu dituntaskan tahun 1579 oleh pangeran Willem van Oranje-
Nassau yang Calvinis. Tetapi di Belanda jugalah terjadi pertikaian besar di lingkungan
Calvinisme, yang mengakibatkan munculnya kelompok yang dianggap sesat, lalu dikucilkan
(atau memisahkan diri), yait pengikut Jacobus Arminius yang kemudian dikenal dengan nam
kaum Arminian (pertikaian ini, terutama menyangkut ajaran tentang predestinasi, lihat di
bawah; uraian lebih lengkap lihat dalam D. Jonge 1994:18-23). Seperti telah disinggung di atas
maupun pada pasal 1, dari Belanda Calvinisme antara lain dibawa ke Indonesia, belik oleh para
pendeta Gereformerde Kerk pada zaman VOC mauput oleh para zendeling dari berbagai badan
zending. Dalam buku ini kita tidak akan membicarakan perkembangan Calvinisme lebih lanjut
di Belanda dan Indonesin; uraian lebih rinci tentang ini lihat antara lain dalam Van Randwijck
1989, bab I; dan De Jongo 1934:24-35, Di daratan Eropa, selain di Swiss, Perancis dan
Belanda, jemaat-jemaat Calvinis (Reformed) juga hadir di Jerman, Italia, Cekoslowakin dan
Hongaria. Seperti telah disinggung di atas, Calvin menjalin hubungan baik dengan para
reformator di negeri-negeri ini. Khusus dengan yang di Jerman, Calvin menjalin hubungan
persahabatan dengan Philip Melanchthon, lalu kemudian Calvinisme masuk ke sana melalui
para pengungsi - korban penghambatan oleh GKR-dari Perancis dan Belanda. Para pengikut

6
Calvin ini terutama bermukim di bagian Barat, di daerah sepanjang aliran sungai Rhein (ingat
gereja di Rheinland yang bercorak Uniert, yaitu gabungan Lutheran dan Calvinis yang
diprakarsai Raja Friedrich Wilhelm III pada tahun 1817, tepat pada HUT ke-300 Reformasi),
dan di daerah Palatinat dengan ibukotanya Heidelberg (ingat Kalekismus Heidelberg). Masih
di kawasan Eropa, di luar daratan Eropa, Calvinisme yang ortodoks-jadi bukan menurut garis
Arminian tersebut di atas-berkembang cukup pesat sekaligus rumit di Inggris Raya (Britain).
Untuk itu perlu disajikan catatan khusus. Pusat aliran Reformed di Inggris Raya adalah
Skotland. Yang pertama mengembangkannya di sana adalah John Knox, pengikut setia Calvin.
la kembali ke Skolland pada tahun 1559, setelah dua belas tahun terbuang di daratan Eropa,
beberapa tahun di antaranya di Perancis, di lingkungan jemaat-jemaat Reformed.
Perkembangan Protestanisme menurut garis Calvin (yang di Inggris lebih populer dengan
istilah Presbyterian) didukung oleh situasi politik di sana Bersamaan waktu dengan kepulangan
Knox ke Skotland, Parlemen negara bagian itu menolak Katolisisme dan menerima
Presbyterianisme sebagai landasan kehidupan masyarakat. Kendati kemudian terlibat dalam
pertikaian yang berlarut-larut dengan kaum Anglican (Episcopal), Presbyterianisme toh bisa
tertanam dengan kokoh di Skotland, lalu dari sana menyebar ke negara-negara bagian lainnya
di Inggris Raya (antara lain England dan Irlandia), lalu ke Amerika. Di negara bagian England,
pemikiran Reformed-Presbyterian diberi nama Puritanisme. Nama ini muncul sebagai hasil
penyatuan pikiran yang berbeda di kalangan Reformed di sekitar pokok "pemurnian lebih lanjut
dari gereja", yaitu langkah lanjutan dari Reformasi sebagaimana dicetuskan oleh Ratu
Elizabeth I tatkala ia menawarkan gagasan uia media (ialan tengah) pada tahun 1558, untuk
meredakan pertikaian keagamaan (lebih lanjut lihat pasal 4). Di lingkungan kaum Puritan
sendiri ada dua kelompok besar: kaum Independen dan Presbyterian. Kebanyakan kaum
Puritan berpikiran Reformed, te tapi di luar itu mereka bervariasi, mulai dari yang melulu ingin
menyederhanakan busana pejabat gereia dan ibadah gereja, sampai pa da kaum Independen
yang ingin mendirikan gereja yang diorganisi secara kongregasional, di mana wewenang
tertinggi berada di tanga warga gereja di jemaat lokal, bukan pada badan pengurus di tingkat
regional atau nasional Periode 1558-1649 di Ingeris merupakan masa pergumulan,
penghambatan, perang, dan pasang-surut toleransi di antara tokoh pelbagai gereja di England.
Pada tahun 1649 Oliver Cromwell, seorang Puritan, berhasil memberontak terhadap kerajaan,
dan mendirikan Persemakmuran Puritan. Kendati Cromwell berasal dari kalangan Independen,
namun kaum Presbyterian dominan di dalam parlemen sehingga ketika pemerintahan
Cromwell dimulai, Presbyterianisme menjadi gereja atau aliran yang dominan di England.
Sampai pada waktu itu kaum Independen dan Presbyterian masih harus mempertahankan
7
kesatuan dalam menghadapi gereja-negara yang Episkopalian. Tetapi ketika Puritanisme
mengambil alih posisi sebagai gereja-negara, kedua fraksi di dalamnya-Independen dan
Presbyteriantidak merasa perlu lagi mempertahankan kesatuan mereka dalam menghadapi
Episkopalianisme, lalu pertikaian di antara keduanya menjadi semakin tajam. Kaum
Kongregasionalis, suatu kelompok d dalam fraksi Independen, mulai melancarkan tekanan agar
gereja-ne gara yang baru itu didasarkan pada sistem kongregasional ketimbang presbyterial.
Kaum Kongregasionalis juga ingin tetap dekat dengan Gereja Anglican, dalam arti bahwa
kaum Kongregasionalis ingin mengkhotbahkan ajaran Gereja Anglican, tetapi di lain pihak
ingin memilih pendeta mereka sendiri, memiliki harta benda sendiri, dan tidak mau tunduk di
bawah kuasa uskup-uskup Gereja Anglican. Kaum Kongregasionalis ditentang oleh kelompok
lain di kalangan Inde penden, yaitu Separatis. Yang terakhir ini ingin melepaskan diri dar ikatan
episkopal mana pun (tentang semua ini masih akan kita lihat lagi nanti pada pasal 4). Pada
tahun 1660 Presbyterianisme kehilangan posisinya sebagai gereja-negara, karena kekuasaan
kerajaan England dipulihkan (ni disebut Restorasi), dan Gereja Anglican kembali menjadi
gereja-nte gara. Akibatnya Presbyterianisme menjadi sebuah kelompok kecil d antara sejumlah
kelompok kecil lainnya. Jadi Restorasi berarti berakhirnya kekuasaan Presbyterian. Tetapi
teologi reformed tetap dominan di lingkungan Protestan England, termasuk di kalangan
Presbyterian, Kongregasionalis dan Separatis. Sebenarnya beberapa tahun sobelum Cromwell
mengambil alih kekuasaan, Parlomen England tolah merintis jalan bagi pemberlakuan
Presbyterianisme dengan menyingkirkan sistem keuskupan pada tahun 1642-43. Parlemen juga
mengundang Sidang Raya para rohaniwan di Westminster untuk menata-ulang Gereja
Anglican. Sidang Raya ini, yang berlangsung secara terputus-putus selama beberapa tahun,
menghasilkan tiga karya terpenting dalam sejarah aliran Reformed (di samping Institutio, dan
merupakan penjabaran karya uta ma Calvin ini), yaitu Katekismus Besar dan Kecil, Pengakuan
Iman Westminster, dan Tuntunan Ibadah Umum, Kendati dalam sidang ra va itu hanya empat
orang yang hadir dari Skotland, Gereja Skotland dengan segera menerima dokumen-dokumen
Westminster itu. Dokumen-dokumen ini tetap merupakan karya-karya mendasar dalam hal
ajaran dan merupakan standar bagi sebagian terbesar gereja-gereja Presbyterian sedunia.

Dalam perjalanan waktu, kelompok Separatis, yaitu suatu kelompok di lingkungan kaum
Independen, terbagi menjadi kelompok Brownis dan Baptis. Robert Browne tampil sebagai
salah seorang peJopor ke arah gagasan gereja 'sektarian', yaitu kelompok Kristen yang murni,
yang menolak gereja-negara atau gereja universal yang men cakupi seluruh warga negara yang
sudah dibaptis. Kelompok Baptis malah lebih radikal lagi dari Brownis. Kelompok Baptis

8
bersifat anti-liturgi dan tidak memiliki sakramen (mereka hanya menyebutnya ketetapan
Tuhan: ordinances). Mereka menganggap baptisan sebagai suatu ketetapan vang dikhususkan
bagi orang dewasa, dan tidak disediakan bagi anak-anak (lebih lanjut lihat pasal 6). Kelompok-
kelompok yang beranekaragam itu tampil sebagai partai-partai di lingkungan gerakan Puritan
di England sejak akhir abad ke-16 hingga 1689, ketika diterbitkan Akla Toleransi, yang
memberi mereka kebebasan untuk berkembang penuh sebagai kelompok-kelompok sektarian.
Namun kaum Brownis tidak berumur panjang. Dari Eropa daratan maupun dari Inggris, warga
kelompok-kelompok Reformed vang beraneka-ragam ini ikut bermigrasi ke 'dunia baru',
Amerika, khususnya Amerika Serikat, lalu mendirikan dan mengembangkan gereja masing-
masing. Karena itu ada beraneka-ragam gereja Reformed di Amerika Serikat. Kendati
belakangan ini sudah terjadi sejumlah penggabungan, toh masih terdapat puluhan organisasi
gereja Reformed di negara Paman Sam ini, mulai dari yang ultraliberal. Yang terbesar adalah
Presbyterian Church of USA. Dari anakonservatif dan ortodoks, yang bercorak 'Injili, sampai
yang dicapra mereka tampil sejumlah teolog besar, antara lain Horace Bushnell dan Niebuhr
bersaudara (Reinhold dan Richard. Khusus dari kalangan rohani, kita catat nama Jonathan
Edwards, tokoh Kebangunan Besaran Presbyterian yang bercorak Iniili' atau bersemangat
kebangunan di Amerika (tentang dia lihat Lane 1990:156-158, juga pasal 10). Bukan hanya
gereja-gereja Calvinis di Eropa yang mempunyai hubungan dengan gereja-gereja di Indonesia,
melainkan juga beberapa di antara gereja Reformed/Presbvterian di USA Bahkan beberapa di
antaranya memprakarsai pembentukan organisasi gereja baru di Indonesis, sehingga di dalam
daftar nama gereja-gereja di Indonesia kita menemukan beberapa gereja yang menggunakan
labei Presbyterian, di samping label Reformed atau Reformed Injili. Mengikuti uraian di atas,
kita bisa berkesimpulan bahwa di lingkungan gereja-gereja Calvinis terdapat kepelbagaian, dan
memang demikianlah kenyataannya. Namun sudah sejak masa hidup Calvin diupayakan
penyatuan pengikut-pengikutnya, bukan hanya untuk menghadapi GIKR, melainkan juga
Latheran. Pada tahun 1577 telah diadakan pertemuan internasional tokoh-tokoh Calvinis di
Frankfurt. Namun wadah oikumenis' khusus bagi gereja-gereja Calvinis yang lebih melembaga
baru terbentuk pada tahun 1877, yakni World Alliance of Reformed Churches (WARC), yang
sudah disebut-sebut pada awal pasal ini. Lembaga ini aktif mendukung dan bemperan dalam
kegiatan-kegiatan dan pembentukan lembaga-Jembaga oikumenis yang lebih luas, misalnya
International Missionary Conference (MC) sejak 1910 dan Dewan Gereja-gereja se-Dunia
sejak 1948. Kantornya sendiri berada di kompleks DGD di Jenewa. Dengan demikian ciri dari
Calvinis tidak dlilihat sebagai milik sendiri dalam rangka menciptakan persekutuan eksklusif,
melainkan sebagai warisan rohani dan teologi untuk memperkaya gerakan oikumenis.
9
Oikumenisitas dari Calvinisme tidak hanya nampak dalam wadah-wadah kesatuan yang
diciptakan atau diterjuni para penganutnya, melainkan juga dalam wawasan teologis tokoh-
tokohnya pada abad ini. Kita tidak sempat membahas soal ini secara terinci, karena begitu
banyaknya tokoh-tokoh gerakan oikumene yang tampil dari kalangan gereja-gereja Calvinis,
kendati di sana-sini mereka membarui pandangan Calvin. Mungkin cukup terwakili kalau kita
menyebut satu nama besar, Karl Barth (1886-1968), salah seorang tokoh dari aliran baru dalam
lingkungan Calvinisme, yakni Neo-Caluinisme yang kadang-kadang juga disebut Neo-
Ortodoksi, yang juga sangat berpengaruh di luar gereja-gereja Calvinis.Sama seperti Calvin,
Barth bertolak dari Allah dan penyataan-Nya di dalam Yesus Kristus, seraya menyangkal
kemampuan manusia untuk sendiri mengupayakan hubungan dengan Allah. Tetapi lebih lanjut
Barth juga berbeda dari Calvin. Dalam hal ajaran tentang predestinasi (lihat di bawah), ia
mengoreksi atau meninggalkan pandangan Calvin, bahwa webagian manusia sejak semula
sudah dipilih Allah, sedangkan sebagian lagi ditolak. Menurut Barth, di dalam Yesus Kristus
yang disalibkan seluruh umat manusia ditolak Allah, tetapi d dalam kebangkitan Kristus semua
umat manusia dipilih dan diterima Allah. Di samping itu Barth juga menerepken pemahaman
tentang Kristus sebega pusat penyataan Allah secara lebih konsekuen. Di dalam teologinya
tidak ada satu bidang kenyataan pun di mana Kristus tidak menjadi pemeran utamn Barth
menolak setiap pemahaman religius terlepes dari Kristus dan juga menolak pemahaman bahwa
Allah di dalam penciptean telah meletakkan semacam kerangka umum bagi etike manusin,
vang ikut menentukan keselamatannya Baci Barth. Allah menciptakan dunia dan manusia demi
Kristus dan itu sekaligus berarti demi koselamatan menusia (De Jonge 1994:76)

BEBERAPA POKOK AJARAN DAN PRAKTEKNYA


Berbicara tentang wawasan teologi atau ajaran dan praktek gereja-gereja atau aliran
Calvinis, kita harus mulai dengan meninjau selayang pandang inti dan titik-tolak teologi
Calvin. Sambil meninjaunya, kita coba catat juga beberapa pergeseran yang dilakukan para
peng ikutnya itu, yang kemudian diabadikan menjadi ajaran dan praktek gereja-gereja Calvinis
yang tidak selalu seragam itu. Inti dan Titik-tolak Teologi (Ajaran) Calvin Teologi Calvin,
sebagaimana diringkaskannya di dalam Instilutio, dibentuk oleh keyakinannya akan kedaulatan
Allah dalam perkara penciptaan dan keselamatan, dan kemuliaan Allah sebagai tujuan Karl
Barth patut disebut di sini, karena belakangan ini di Indonesia, terutama dari kalangan
'fundamentalis, muncul banyak tulisan yang mengecam dan mendakwa Karl Barth sebagai
salah seorang tokoh teologi liberal dan karena itu ikut bertanggung jawab atas berbagai
penyimpangan' yang terdapat di lingkungan gereja penganut pandangannya, termasuk gereja-

10
gereja yang sedang bertikai akhir-akhir ini. Informasi singkat tentang Barth di sini kiranya
dapat memperlihatkan bahwa dakwaan itu keliru. Informasi lebih lanjut tentang Karl Barth
lihat al. dalam Lane (1990:215-220) dari karya-Nya maupun dari hidup dan tugas manusia.
Pokok-pokok besar lainnya dalam teologi Calvin, seperti misalnya predestinasi atau penebusan
yaug terbatas, dibangun di atas keyakinan akan kedaulat an dan kemulinan Allah ini. Karena
itu tak salah kalau banyak pengmuliaan Allah. Namun semua keyakinan dan pengajaran ini
ber.amat menyebut teologi Calvin sebagai teologi kedaulatan dan kesumber dari Alkitab,
Karena itu kita perlu lebih dulu melihat pema haman Calvin atas Alkitab. Sama seperti Luther,
Calvin juga sangat menekankan otoritas Alkitab sebagai satu-satunya sumber ajaran gereja
yang benar (sola scriptura) dan karena itu Calvin juga menolak pemahaman dan penghargaan
GKR atas tradisi sebagai sumber keyakinan dan ajaran yang setara dengan Alkitab. Selanjutnya
Calvin memberi penekanan khusus; ia sangat menekankan aspek pedagogis Guga kognitif) dari
Alki tab, dan ini sangat tercermin dalam karya utamanya, Institutio. Me nurut Calvin, yang
harus dicari di dalam Alkitab adalah pengetahuan tentang Allah, dan pengetahuan itu hanya
dapat ditemukan di dalan Yesus Kristus. Dengan kata lain, Kristuslah kunci untuk memahami
Alkitab, baik Perjanjian Lama yang mengandung banyak janji tentang Dia maupun Perjanjian
Baru yang mengemukakan penggenapan janji-janji itu. Dalam rangka pencarian dan penemuan
itu, Alkitab tidak cukup hanya dibaca dan dipahami secara harfiah, melainkar harus diselidiki
sedalam-dalamnya, sambil mengingat bahwa penelitian itu harus berpusat pada Kristus yang
adalah pusat Alkitab itu. Da.lam hal ini teologi Calvin sangat dekat dengan teologi Luther,
yakni sama-sama berdasar dan bersumber pada Alkitab dan sama-sama berpusat pada Kristus.
Namun kemudian dari garis utama ini Calvin menarik garis lanjutan atau implikasi yang di
sana sini berbeda dari Luther, seperti yang akan kita lihat nanti. Berbicara mengenai kemuliaan
Allah (gloria Dei), Calvin menegaskan bahwa Allah menciptakan dunia dan manusia demi
untuk kemuliaan-Nya. Karena itu segala yang terjadi di dunia ini dan segala yang dikerjakan
manusia mestinya bertujuan memuliakan Dia. Tetapi karena dunia dan manusia jatuh ke dalam
dosa, mereka jadi tak mampu lagi melaksanakan tugas itu, Karena itulah Allah harus ter lebih
dulu mengampuni dan membenarkan manusia, agar manusia kembali dapat memuliakan Dia,
kendati tidak secara sempurna. Penekanan Calvin atas kemuliaan Allah ini disusul dengan
penekanan atas pengudusan. Manusia yang sudah diampuni dan dibenarkan karena iman harus
berusaha sedapat mungkin menjaga dan mengupayakan kekudusan hidupnya, kendati
kekudusan itu tak pernah sempuma dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh pengampunan
dan pembenaran dari Allah. Justru sebaliknya: manusia ber upaya memelihara kekudusan
karena sudah terlebih dulu diampuni dan dibenarkan. Dengan kata lain pengudusan
11
(sanctificatio) adalah buah dari pembenaran Gustificatio). Dalam hal ini sebenarnya Luther
sependapat dengan Calvin; yang berbeda hanyalah dalam hal penekanan: Kalau Luther
meletakkan tekanan yang lebih berat atas pembenaran, maka Calvin lebih meletakkannya atas
pengudusan. Berdasarkan perbedaan penekanan itu lebih lanjut Calvin menambahkan scsuatu
terhadap pemahaman Luther tentang hukum Taurat dan fungsinya, yang bagi Calvin sekaligus
merupakan dasar bagi etika Kristen. Menurut Luther, hukum Teurat-dalam arti hukum
kesusilaan- mempunyai dua fungsi menyatakan kehendak Allah dan menyadarkan manusia
atas dosanya. Calvin menambahkan fungsi ketiga: hukum Taurat juga merupakan pedoman
bagi manusia yang sudah diampuni dan dibenarkan Allah itu untuk mengatur kehidupannya
yang baru agar sesuai dengan kehendak Allah. Dengan kata lain: Taurat merupakan peraturan
untuk pengudusan atau petunjuk hidup baru bagi anak-anak Allah yang sudah dibebaskan-Nya
dari kutuk dosa. Tentang keselamatan, sama seperti Luther, Calvin sangat menekankan
kevakinan bahwa keselamatan diperoleh hanya karena kasih karunia melalui iman (sola gratia
dan sola fide). Karena itu mereka sama-sama melancarkan protes terhadap ajaran GKR yang
memahami keselamatan sebagai hasil kerjasama antara karunia Allah dan perbuatan baik
manusia. Karena itu pulalah penolakan GKR terhadap Calvin sama kerasnya dengan penolakan
terhadap Luther. Namun selanjutnya Calvin mengembangkan pemahaman dan ajaran tentang
keselamatan ini dalam suatu wawasan yang biasa dikenal dengan istilah predestinasi, kendati-
tidak seperti yang disangkakan banyak orang-pokok ini tidak menduduki tempat sentral dalam
teologi Calvin (argumen lebih rinci tentang ini lihat dalam De Jonge 1994:47-52). Secara
sederhana, predestinasi berarti bahwa jumlah dan jatidiri dari "orang-orang yang terpilih",
yakni mereka yang diselamatkan, sudah ditetapkan oleh Allah yang berdaulat itu sebelum dunia
diciptakan. Calvin sendiri mendefinisikankannya sebagai "keputusan Allah yang kekal, yang
dengannya la menetapkan untuk diri-Nya sendiri, apa yang menurut kehendak-Nya akan terjadi
atas setiap orang" Unstitutio, III, xoi, 5. Dengan demikian penebusan Kristus terbatas pada
orang-orang yang telah terpilih itu; keselamatan mustahi tersedia bagi semua manusia, itu
hanya disediakan bagi mereka yang teinh'dipredestinasikan' (ditetapkan sebelumnya) untuk
selamat termasuk di kalangan Calvinis, di Eropa maupun Amerika, terutama setelah para teolog
Calvinis menempatkan pokok ini di pusat ajaran mereka. Lalu sebagian menafsirkannya secara
ketat dan harfiah atau malah secara kehiru, seakan-akan dengan itu Calvin hendak membuat
orang beriman ragu akan keselamatannya. Padahal maksud Calvin justru untuk memantapkan
keyakinan dan kepastian dalam dini mereka, dan pada gilirannya mendorong mereka untuk
memuliakan Allah. Seperti telah dicatat, ajaran ini dikemukakan Calvin di dalam Institutio,

12
sedangkan kitab itu ditulisnya bagi orang-orang percaya yang sudah dipastikan menerima
keselamatan di dalam Kristus. Gagasan ini kemudian mengundang kontroversi dan pemisahan.

Salah scorang tokoh yang menolak wewasan predestinnsi yang ketat adalah Jacobus Arminius
(1560-1609), mantan profesor teologi di Universitas ciden. Belanda. Menurut Arminius
sebngeimena dirnumuskan olch pare pengikutnya (yang juga dikeral scbagai kaun Remonstran)
setahun setelah ia meninggal: (1) Kristus mati untuk semua orang: dengan kata lain, penebusan
yang Ia keriakan bersifet umum: (2) Pra-pengetahuan Allah tentang siepa yang akan menerimsa
kasih karunia Kristus telnh ada sebelum predestinnsi dan pemilihanNya atas mereka, (3) Kasih
karunin Allah di dalam Kristus dapat ditolak ma nusia, (4) Manusia memang jatuh ke dalam dosa
dan membutuhkan kasih karunia Allah, tetapi manusia punya kemampuan dan kebebasan untuk
menyata kan sambutannya atas kasih karunia itu; (5) Di satu pihak kasih karunia Allah memang
mungkin menang atas dosa, tetapi di lain pihak mungkin juga bagi orang-orang tertentu untuk tidak
kebagian kasih karunia. Lebih lanjut tentang Arminius lihat antare lein Lane 1990:153-155).
Menjawab kelima rumusan remonstran itu Synode Dordrecht (Belanda) 1618-1619 menegaskan
sebagai berikut: (1) Kristus hanya mati bagi mereka yang terpilih untuk selamat: (2) Predestinasi
dan pemilihan untuk selamat ditetapkan sebegai tindakan kehendak Allah yang berdaulat jadi bukan
hasil alamiah dari pre-pengetahuan-Nyo); (3) Kasih karunia Allah yang diberikan keade seseorang
tidak dapat ditolak; (4) Umat manusia sudah begitu rusak sehingga mereka tidak mungkin berbunt
epapun untuk mengupayakan keselamatan; (5) Pemilihan Allah akan berlangsung hingge akhir
zamen (Melton 1993.61: lebih lanjut lihat juga Lane 1990: 155 dyb.).

Hakikat Gereja

Pemahaman Calvin tentang keselamatan sebagaimana telah dikemukakan di atas


menentukan pemahaman Calvinlisl tentang gereja, yang pada dasarnya sama dengan
Lutherlan): gereja adalah perse kutuan orang-orang yang telah diselamatkan berkat kasih
karunia Allah di dalam Yesus Kristus, yang telah dibenarkan kendati tetap merupakan manusia
berdosa, yang kesemuanya disambut dan diterima manusia melalui iman. Sejalan dengan
pemahaman tentang Alkitab yang berpusat pada [Injill Yesus Kristus, maka ditegaskan bahwa
gereja adalah tempat yang bisa ditemukan di mana saja, asalkan di sana firman atau Injil yang
mumi diberitakan dan sakramen yang murni dilayankan (vakni Baptisan dan Periamuan Kudus,
yang merupakan firman dalam wujud tanda). Yang penjadi pengukur untuk menilai
pemberitaan firman dan pelayanan sakramen adalah Alkitab. Karena itu, di mana pun, selama
firman masih diperdengarkan dan sakramen yang dua itu masih dilayankan, kendati dengan
cara yang jauh dari sempurna, di situ gereja hadir dan nama atau status 'gereja' tidak boleh
dicabut daripadanya. Sehubungan dengan itu Calvin lebih lanjut menandaskan bahwa Allah
memanggil dan menyediakan orang-orang yang ditugaskan memberitakan firman dan
melayankan sakramen, serta gembala-gembala yang menuntun dan membina warga gereja. Ini
merupakan anugerah yang sangat besar, sebab sebenarnya manusia yang lemah dan berdosa
mustahil menyampaikan sesuatu yang berasal dari Allah. Dalam hal ini, sama seperti Luther,
Calvin menghubungkan pemahamannya tentang gereja dengan pemahaman tentang

13
keselamatan: di satu pihak keselamatan berasal dari Allah saja, sehingga tidak perlu ada
imamat khusus sebagai perantara untuk menyalurkan keselamatan itu kepada manusia. Namun
dilain pihak, lebih dari Luther, Calvin sangat menekankan perlunya pejabat atau jabatan
gerejawi. Ini mengingatkan kita pada semboyan 'imamat am semua orang percaya', yang
menurut Calvin penerapannya harus sangat dibatasi. karena ia sangat menekankan jabatan
pendeta sebagai pelaksana pemberitaan firman dan pelayanan sakramen, dua perkara kembar
yang merupakan pusat kehidupan gereja. Dengan demikian jelaslah bahwa menurut Calvin
gereja mempunyai peranan kunci dalam hubungan antara manusia dengan Allah sebagai sarana
atau saluran pemberitaan firman dan pelayanan sakramen. Gereja harus memiliki seperangkat
pejabat yang ditunjuk untuk memberitakan Firman (dalam wujud kata-kata maupun tanda) dan
membina orang percaya. Pelayanan firman dan sakramen merupakan pusat kehidupan gereja.
Bertolak dari sini Calvin menguraikan. pandangan atau ajarannya mengenai berbagai segi
kehidupan gereja: tata gereja, jabatan gereja, ibadah gereja (termasuk pemberitaan firman dan
pelayanan sakramen), disiplin gereja dan sebagainya.

Tata Gereja dan Jabatan

Di dalam Institutio Calvin telah meletakkan dasar-dasar teoritis bagi sistem pemerintahan
gereja, dan penjabarannya antara lain ia tuangkan dalam tulisan kecilnya, Ordonnances
Ecclesiastiques (Per aturan-peraturan Gereja), yang in tulis segera setelah kembali dari
Strasburg ke Jenewa tahun 1541 (ihat di atas). Dalam hal ini kita perlu memperhatikan konteks
penyusunan peraturan atau tata gereja ini, Peraturan ini pertama kali disusun Calvin untuk atau
sesuai dengan kebutuhan dan konteks jemaat Protestan di Jenewa, di mana pejabat gereja dan
pemerintah kota mempunyai hubungan yang sangat erat, untuk tidak mengatakan bahwa jemaat
atau gereja itu adalah gereja-negara. Tentu semua yang dikemukakan Calvin mengenai tata
gereja dan jabatan ini ia nyatakan berpedoman pada Alkitab. Tetapi kadang-kadang tak
terhindarkan kesan bahwa ia agak sewenang-wenang, karena ada sejumlah jabatan di dalam
Perijanjian Banu yang tidak ia sebut-sebut dalam peraturan yang ia susun, seperti misalnya
rasul atau nabi, karena menurutnya jabatan-jabatan ini bersi fat sementara, Dalam hal ini, ia
bertolak dari pandangan bahwa dalam Alkitab ada peraturan yang mengikat secara mutlak,
yakni ( di dalam gereja harus tercipta keteraturan; dan (2) gereja wajib memberitakan firman
dan melayankan sakramen. Untuk itu perlu ada tata gereja dan jabatan. Namun dalam hal
rincian jenis dan jumlah jabatan, gereja mempunyai kebebasan untuk menetapkan sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi masing-masing, karena Alkitab toh tidak menetapkan peraturan
mutlak tentang itu; De Jonge 1994:85.)

14
Dengan argumen itu, menurut Calvin, di dalam gereja ada empat jabatan: gembala atau pendeta
(pastor), pengajar (doctor) penatua (presbyter), dan syamas atau diaken (diacon). 2 Tugas
pendeta adalah memberitakan firman dan melayankan sakramen, dan bersama dengan para
penatua - mengawasi kehidupan jemaat, dan kalau perlu menegur warga gereja yang
menyimpang dari ajaran dan peraturan gereja (mengenai hal ini lebih lanjut lihat penjelasan
tentang disiplin gereja). Jabatan pengajar mencakup semua fungsionari gereja yang terlibat
dalam tugas pengajaran yang berhubungan d ngan iman kristiani, mulai dari guru lagama di]
sekolah, guru katekisasi, sampai dengan dosen-dosen teologi. Para peratun (di Jenewa) adalah
orang-orang yang ditunjuk pemerintah kota untuk-bersama pendeta-mengawasi kehidupan
gereja. Kepada para diaken atau berkemalangan dan sebagainya. Untuk itu mereka harus
mengumpulkan dan mengatur keuangan dan perbendaharaan jemaat serta menyalurkan uang
bantuan kepada mereka yang membutuhkannya, dan juga bekerja-sama dengan para petugas
rumah sakit.

Khusus tentang jabatan penatua, perlu diberi catatan tambahan. Dengan jabatan ini maka unsur
warga gereja masuk ke dalam sis tem pemerintahan gereja. Khusus di jemaat Jenewa pada
waktu itu, para penatua belum merupakan wakil jemaat atau yang dipilih oleh warga jemaat:
baru di kemudian hari gereja-gereja Calvinis menetapkan pembentukan majelis jemaat atas
dasar pemilihan oleh warga Jadi di jemaat Jenewa para penatua ditunjuk oleh dan merupakan
wakil pemerintah, sehingga dalam keria sama antara pendeta dan penatua tercermin kerja sama
antara gereja dan negara demi kesejahteraan rohani penduduk kota yang pada waktu itu identik
dengan warga jemaat. Mungkin ini sedikit-banyak bisa kita bandingkan dengan Gereja
Protestan di Indonesia pada zaman VOC dan Hindia-Belanda.

Di dalam Ordornances Ecclesiastiques juga diatur tata cara para pejabat gereja berkumpul
untuk membicarakan berbagai urusan gereja. Para pendeta membentuk kumpulannya sendiri
(dinamakan "Kumpulan yang Terhormat dari Para Pendeta), yang bertemu sekali seminggu,
antara lain untuk menguji para calon pendeta (terutama mengenai pengetahuan Alkitab dan
ajaran gereja), menelaah Alkitab dan mendalami ajaran gereja serta memeriksa penegakan
disiplin di kalangan pendeta. Kemudian ada kumpulan pendeta bersama penatua, yang disebut
consistorium atau majelis gereja, yang juga berkumpul sekali seminggu. Dalam Peraturan
tersebut Calvin tidak mengikut-sertakan syamas (diaken) di dalam majelis jemaat, karena tugas
majelis jemaat terutama adalah mengawasi kelakuan anggota jemaa atau menegakkan disiplin
gereja, yang bukan merupakan urusan atau kompetensi diaken.3

2
Karena itu agak mengherankan bahwa di Indonesia pada satu pihak ada beberapa gereja yang
mengaku Calvinis totapi tidak memiliki atau memfungsikan jabatan syamas atau diaken, sementara
pada lain pihak ada banyak gereja yang mengaku Lutheran teupi memberlakukan keempat jabetan ini.
3
Calvin tidak menyebut guru Sekolah Minggu', karena pada waktu itu fungsi itu belum dikenal,
atau dianggap termasuk dalam kategori guru katekisasi. Yang menarik untuk diperhatikan dalar hal ini

15
Melihat pentingnya jabatan penatua, baik di jemaat Jenewa pada masa Calvin (di mana
penatua merupakan wakil pemerintah) maupun di gereja-gereja Calvinis di kemudian hari, ada
anggapan bahwa di lingkungan gereja-gereja Calvinis vang paling besar wewenangnya adalah
para penatua. Tetapi sebenarnva tidak demikian, terutama bagi Calvin. Sebab Calvin justru
memberi wewenang terbesar pada pendeta, sesuai dengan tugasnya sebagai pengemban
perkara utama di dalam kehidupan gereja. Peraturan yang disusun Calvin justru mengarahkan
gereja itu menjadi gereja-pendeta, dan itu membuat pemerintah kota Jenewa kuatir kalau-kalau
gereja (dalam hal ini jemaat Jenewa) menjadi semacam negara di dalam negara. Itulah
sebabnya pemerintah kota Jenewa berupaya agar wewenang pendeta diba tasi dan agar
pemerintah (melalui para penatua yang duduk di dalam majelis jemaat) ikut dilibatkan dalam
pemilihan dan pengujian calon calon pendeta. Tetapi Calvin tidak menerima tuntutan itu dan
mem pertahankan hak gereja untuk sendiri menetapkan pelayan-pelayannya, sejalan dengan
hak gereja untuk menegakkan disiplin di lingkungannya.

Kita tidak punya waktu dan ruang yang cukup untuk membicarakan perkembangan tata gereja
dan jabatan di sepanjang sejaral gereja-gereja Calvinis di seluruh dunia (yang berminat dapat
membacanya antara lain dalam naskah De Jonge 1994:99-115). Di sini hanya bisa ditambahkan
beberapa catatan menyangkut lahirnya konsep atau pola dasar struktur presbyterial-synodal
yang konon dianut oleh hampir seluruh gereja yang mengaku Calvinis di Indonesia kalau bukan
di seluruh dunia).

Seperti sudah dicatat, pada tahun 1559 di Paris dilangsungkan sidang sinode yang pertama bagi
gereja-gereja Calvinis di Perancis. Di situ disepakati satu konsep tata gereja 'nasional', yang
kelak menjadi dasar bagi tata gereja presbyterial-synodal. Tata gereja ini bertolak dari prinsip
bahwa gereja Protestan di Perancis terdiri dari jemaatjemaat. Jemaat setempat, yang dipimpin
oleh majelis jemaat (yang di dalamnya diaken sudah ikut), merupakan unit terkecil di dalam
gereja jadi unit terkecil bukanlah warga gereja secara perorangan). Organisasi yang lebih luas
didasarkan pada prinsip bahwa semua jemaat dan semua jabatan mempunyai status yang sama,

adalah: di banyak gereja Calvinis (di Indonesia maupun di negeri-negeri lain) jabatan pengajar ini sering
kali ditiadakas atau biasanya dirangkap oleh pendeta, sedangkan di banyak gereja non-Calvinis jabatan
ini ditemukan. Tetapi hal tak perlu mengheraskan kita, sebab Calvin sendiri dalam Institutio edisi
terakhir (1559) sudah tidak membuat pemisahan di antara keduanya dan sudah sejak akhir abad ke-16
di lingkungan gereja-gereja Calvinis jabatan pengajar di gereja dan di sekolah-sekolah teologi
diperayakan kepada pendeta, sedangkan guru-guru sekolah- termasuk guru agama dimasukkan ke
dalam kategori warga jemaat yang tidak berjabatan gerejawi kecuali kalau mereka juga terpilih menjadi
penatua atau diaken (ihat De Jonge, 1994: 82-83).

16
sehingga tidak ada hierarki (penjenjangan pangkat atau jabatan) seperti di GKR. Jemaat di satu
wilayah dihimpun dalam suatu sidang yang kemudian disebut classis, sedangkan jemaat-jemaat
di satu propinsi membentuk suatu sinode provinsi. Kalau keadaan memungkinkan, sekali
setahun diadakan sinode nasional yang mengatur dan menetapkan hal-hal yang bersifat umum
dan mendasar, seperti misalnya tata gereja dan pengakuan gereja.

Jadi, terlihat di sini adanya jalan tengah atau kombinasi antara pola sentralistis dan pola
otonomi jemaat. Ada perkara-perkara yang harus dipercayakan pada badan atau instansi di atas
(atau di luar) jemaat, tetapi cukup besar wewenang dan kebebasan jemaat untuk mengatur
dirinya sendiri. Tata gereja ini disebut presbyterial-synodal karena semua keputusan jemaat
diambil pada tingkat presbyterium (majelis para penatua, termasuk pendeta sebagai presbyter
yang berkhotbah dan mengajar), sedangkan perkara-perkara yang menyangkut kepentingan
seluruh gereja diputuskan pada tingkat sinode, yang dalam hal ini diikuti oleh wakil-wakil
presbyterium dari setiap jemaat.

Dalam perkembangan selanjutnya, tidak semua gereja yang mengaku menganut teologi
Calvinlisl memberlakukan pola presbyterial-synodal. Gereja Anglican, misalnya, yang dalam
hal ajaran mengaku menganut Calvinisme, dalam hal struktur atau tata gereja menggunakan
pola episkopal yang sentralistis. Sementara itu kaum Puritan, juga salah satu kategori di
lingkungan Protestan di Inggris, menganut dan mengembangkan pola kongregasional yang
sangat menekankan otonomi jemaat serta hak dan kedaulatan warga jemaat yang tidak lebih
kecil dari pejabat gereja (sesuai dengan semboyan imamat am semua orang percaya). Semua
ini masih akan kita lihat pada pasal 4, namun menarik untuk kembali mencatat bahwa sejak
1970 perhimpunan gereja-gereja kongregasional bergabung bersama gereja-gereja Calvinis
yang menganut pola presbytrerial-synodal di dalam WARC.

Disiplin (Siasat) Gereja

Ada pendapat bahwa salah satu ciri gereja-gereja Calvinis adalah pelaksanaan disiplin
gereja-yakni penegakan ketertiban dan pengawasan ajaran maupun perilaku- secara ketat.
Pendapat ini tidak begitu tepat kalau yang dijadikan acuan adalah gereja-gereja yang mengaku
Calvinis (termasuk di Indonesia) pada masa kini, sebab dibanyak gereja seperti itu sering kali
kita melihat disiplin yang sangat longgar. Tetapi pendapat ini sangat benar kalau yang jadi
acuan adalah jemaat Calvinlisl yang pertama, yakni jemaat Jenewa yang langsung diasuh
Calvin. Karena itu dalam hal ini sejak dini harus kita catat dua hal mendasar:

17
(1) Disiplin gereja yang disusun Calvin memang pertama-tama dimaksudkan untuk
diberlakukan di jemaat Jenewa; belum terpikir olehnya untuk menyusun disiplin bagi gereja
sedunia.

(2) Calvin bukanlah orang yang pertama berpikir dan bertindak kita baca di dalam
Perjanjian Baru, gereja telah memberi perhatian besar terhadap soal ini. Augustinus,
sebagai wakil Gereja Lama, juga memberi perhatian terhadap hal ini, dan pandangan serta
cara-cara nya menjalankan disiplin bempengaruh besar pada Calvin. GKR pada Abad
Pertengahan (abad ke-6 hingga ke-15) bahkan menyusun hu kum disiplin yang sangat rinci
serta memiliki sarana dan aparat yang lengkap untuk menjalankannya, sampai dalam
bentuk hukuman yang paling berat sekalipun (yakni hukuman mati). Justru karena itu, salah
satu sasaran protes para reformator adalah penggunaan (atau lebih tepat: penyalahgunaan)
wewenang atau 'kuasa kunci (bnd. Mat. 16:19 dan 18:18) oleh para pemimpin GKR.

Salah satu bentuk dan sarana penegakan disiplin di lingkungan GKR adalah sakramen
pengakuan dosa. Luther menghargai segi-segi yang baik dari sakramen ini dan cenderung
mempertahankannya kendati tidak menyebutnya sebagai sakramen. Calvin, sebagaimana akan
kita lihat nanti, juga menghargai segi-segi yang baik itu, namun tidak menerima segi
sakramental upacara pengakuan dosa ini maupun tatacara pelaksanaannya yang bersifat pribadi
(satu imam berhar dapan dengan satu pedosa); ia menempatkannya sebagai urusan dan
tanggung jawab seluruh jemaat.

Dalam menyusun peraturan disiplin bagi jemaat Jenewa, Calvin harus memperhatikan warisan
gereja sejak zaman gereja perdana itu dan juga memperhatikan (sekaligus mengoreksi)
pandangan dan praktek gereja-gereja di sekitarnya. Dalam hal ini bukan hanya GKR saja yang
dikecam dan ditolaknya, melainkan juga kaum Anabaptis. Seperti sudah kita singgung pada
pasal 3 dan masih akan kita lihal pada pasal 5, kaum Anabaptis bercita-cita mewujudkan gereja
yang terdiri dari orang-orang suci dan untuk tujuan itu mereka tidak g gan-segan menggunakan
kekerasan. Bagi mereka kesucian gereja terletak pada kesucian warganya, Calvin, sependapat
dengan Luther, menekankan bahwa kesucian gereja bukan terletak pada manusianya,
melainkan pada Allah yang menetapkan kehadiran gereja itu dan yang mengaruniakan
pengampunan serta keselamatan melalui gereja-Nya.

18
Dari catatan barusan kita melihat bahwa disiplin berkait erat dengan pemahaman tentang
kesucian. Dalam tulisan-tulisannya Calvin mengikuti pendapat bahwa gereja adalah suci
karena Allah adalah suci dan memberikan atau mempercayakan kepada gerejaNya perkara-
perkara suci, yakni firman dan sakramen. Namun kesucian lahiriah, seperti yang dikejar oleh
kaum Anabaptis, tidnk mungkin dicapai manusia di dalam kehidupannya masa kini, kendati
manusia harus terus-menerus mengupayakannya di sepanjang hidup sebagai suatu proses yang
tak pernah selesai. Kesucian yang sempurna itu baru terwujud pada akhir zaman, ketika Allah
sendiri menga runiakannya kepada gereja-Nya, yaitu orang-orang yang beriman kepada-Nya.
Menuntut kesucian lahiriah pada masa kini berarti menyangkal kenyataan bahwa gereja- di
samping sebagai persekutuan orang-orang kudus-juga terdiri dari orang-orang berdosa, yang
setiap hari berjuang melawan dosa namun juga setiap hari membutuhkan pengampunan agar
layak menghadap Allah. Bila seseorang me misahkan diri dari gereja yang ada karena
menganggap gereja itu kurang suci (seperti yang dilakukan kaum Anabaptis), itu berarti bahwa
ia memisahkan diri dari pengampunan dosa yang dikarunia kan Allah pada gereja-Nya melalui
pemberitaan Injil maupun pela yanan sakramen. Sebab, hanya kepada gereja dan pelayan-
pelayannya sajalah Allah memberi kuasa kunci untuk mengampuni.

Dari kalimat terakhir ini kita melihat bahwa Calvin, seperti juga Luther, bahkan juga GKR,
masih meyakini bahwa gereja memegang kuasa kunci itu. Tetapi pemahamannya tentang
makna kuasa kunci dan tentang cara menjalankannya berbeda dari GKR. Sesuai dengan asas
Reformasi, memang keselamatan tidak bergantung pada upaya manusia, melainkan semata-
mata pada kasih karunia Allah. Tetapi itu tidak berarti bahwa gereja tidak punya kuasa. Namun
kuasa itu bukan berasal dari diri sendiri dan menjadi miliknya abadi, melain kan dari Allah dan
terikat pada firman-Nya. Jadi wewenang para pejabat gereja tidak bersumber dari dan
bergantung pada diri sendiri, melainkan pada Allah yang telah memanggil mereka dan harus
selalu berpedoman pada firman-Nya.

Lalu apa tujuan disiplin itu? Menurut Calvin tujuan utamanya adalah mempertahankan
kesucian gereja sebagai persekutuan yang merayakan Perjamuan Kudus, supaya nama Allah
tetap dimuliakan dan tidak dicemarkan. Di samping itu disiplin bertujuan melindungi orang-
orang baik di dalam gereja, supaya akhlak mereka tidak diru sak oleh pergaulan dengan orang-
orang jahat; di lain pihak orang orang jahat itu harus didorong untuk bertobat, melalui teguran
dan hukuman.

19
Penegakan disiplin dipercayakan Calvin sepenuhnya pada majelis jemaat sebagai kesatuan.
Dengan demikian keputusan tidak diambil oleh satu orang, seperti yang terjadi di GKR.
Pengakuan dosa secara pribadi kepada pendeta tentu bisa saja, terutama menjelang Perjamuan
Kudus, tetapi itu jadinya lebih merupakan penggembalaan ketimbang upacara tersendiri. Dan
kalau ada dari isi pengakuan itu yang sangat serius, pendeta harus membicarakannya dengan
seluruh majelis.

Lebih lanjut Calvin menetapkan tiga jenis atau tingkat tindakan sesuai dengan jenis dan tingkat
dosa atau kesalahan: (1) teguran oleh majelis jemaat; (2) larangan mengikuti Perjamuan Kudus;
dan (3) pengucilan dari jemaat, yang dilakukan atau diumumkan di depan seluruh jemaat pada
kebaktian umum. Dosa mana yang dikenakan kategori tindakan mana, yang diuraikan Calvin
dengan cukup rinci tak sempat kita bicarakan di sini. Kita juga tak sempat menelusuri
perkembangan seluk-beluk penegakan disiplin ini dalam sejarah Calvinisme sesudah Calvin
(uraian lebih lengkap lihat De Jonge 1994: 116-132). Yang perlu dicatat adalah bahwa upaya
Calvin untuk mene gakkan disiplin dengan menetapkan berbagai rincian kesalahan dan
penindakan mengundang kesan (dan bahaya!) bahwa disiplin gereja menjelma menjadi
semacam sistem hukum, seperti hukum gereja dalam GKR yang justru ditolak Calvin. Dalam
hal ini rupanya latar belakang Calvin sebagai seorang sarjana hukum cukup berperan.

Namun kesan dan bahaya itu tidak usah mengurangi penghargaan kita terhadap upayanya
menegakkan disiplin, terlebih bila kit memperhatikan makna disiplin itu dalam keseluruhan
upaya Calvi membarui kehidupan gereja dan dalam kaitan disiplin itu dengan hal hal yang
mendasar dalam kehidupan bergereja. Dalam hal ini, perta ma, perlu diingat bahwa bagi Calvin
disiplin bukan merupakan pe kara yang berdiri sendiri, melainkan berkait erat dengan Perjamua
Kudus. Di atas telah dicatat bahwa gereja bagi Calvin adalah perkutuan orang-orang beriman
yang berpusat pada pemberitaan firman dan pelayanan sakramen. Jadi pada hakikatnya jemaat
adalah persekutuan Perjamuan Kudus. Sehubungan dengan keyakinan dasarnya bahwa segala
sesuatu harus dilakukan untuk kemuliaan Allah, maka Perjamuan Kudus pun harus diiaga ketat
agar tidak diikui oleh orang-orang yang mencemarkan nama Allah lewat perilaku mereka yang
tidak pantas ataupun lewat ajaran sesat yang mereka anut, Jadi kesucian jemaat harus terus-
menerus dipelihara, agar jemaat tetap layak meravakan Periamuan Kudus.

Berikutnya juga harus dicatat bahwa bagi Calvin disiplin berkait erat dengan pengudusan
(sanctificatio) yang sudah kita lihat di atas. Pembenaran orang berdosa Gustificatio) oleh Allah
harus dijawab dengan kehidupan yang penuh ketaatan pada kehendak Allah, sebagai ungkapan

20
syukur atas kasih karunia yang diberi-Nya. Jadi disiplin gereja harus dipahami sebagai upaya
memelihara pengudusan di dalam gereja, dan sebagai alat untuk mendorong warga gereja agar
hidun dengan mengandalkan pembenaran Allah, seraya membantu mereka yang terancam
menyimpang atau tersesat untuk kembali ke jalan yang benar.

Ibadah dan Tata Ibadah

Bagi Calvin ibadah dan tata ibadah bukan hanya merupakan soal praktis dan insidental, yang
bisa disusun dan diselenggarakan menurut selera dan suasana sesaat (seperti yang sering terjadi
di banyak gereja, termasuk yang mengaku Calvinis). Baginya ibadah dan tata ibadah berkait
erat, bahkan merupakan satu kesatuan, dengan pokok-pokok ajaran mendasar yang telah kita
lihat di atas, sebab gereja mengungkapkan imannya melalui ibadah. Dengan kata lain, apa yang
diyakini gereja terungkap secara nyata di dalam ibadahnya. Justru karena hubungan erat antara
keyakinan atau ajaran dengan ibadah. Calvin bersama para reformator lainnya tidak hanya
melakukan pembaruan dalam hal ajaran, melainkan juga dalam hal ibadah Dan dibandingkan
dengan Luther (yang lebih banyak memusatkan perhatian dalam soal-soal ajaran; lihat pasal
2), Calvin memberi perhatian yang jauh lebih besar atas penataan ibadah, sejalan dengan
perhatian besarnya atas tata gereja dan jabatan yang sudah kita lihat tadi Kita tidak punya
banyak waktu dan ruang untuk membahas pokok ini (uraian sangat lengkap dan rinci lihat
dalam De Jonge 1994: 133-216). Karena itu berikut ini hanya disajikan garis besar atau sketsa
yang sangat sederhana.

Ibadah di dalam gereja-gereja Calvinis- sama seperti di dalam gereja-gereja Lutheran- berpusat
pada pemberitaan Firman atau khotbah dan perayaan Perjamuan Kudus. Ini berarti pergeseran
dari misa GKR yang hanya berpusat pada Perjamuan Kudus dan yang hanya melihat khotbah
(pemberitaan Firman) sebagai pengantar yang fungsinya tudak terlalu vital. Tetapi lebih dan
Luther (yang sangat hati-hat sehingga tata ibadahnya hampir tak berbeda dari misa GKR lihat
pasal 2), Calvin tidak hanya membarui makna dari unsur-unsur ibadah, melainkan juga seluruh
jalannya ibadah: doa, nyanyian, cara pemberitaan Firman dan pelayanan Perjamuan dan
seterusnya. Gagasan pembaruan menyeluruh ini dituangkan Calvin dalam naskah tata ibadah
yang digusunnya tahun 1540 (terbit 1542).

Sesuai dengan isi salah satu pengakuan iman Calvinis, yaitu Konfesi Helvetik II (1566), ciri-
ciri ibadah gereja Calvinis adalah: Firman Allah dikhotbahkan dengan sepatutnya kepada umat,
ruangan dan suasana ibadah harus dibersihkan dari segala sesuatu yang merusak kehidupan
gereja. Karena itu ketertiban dan disiplin di dalam beribadah sangat ditekankan. Benda-benda

21
dan perkara-perkara yang di dalam gereja Abad Pertengahan dianggap penting dan suci
(patung, relikwi, pesta-pesta untuk orang-orang suci, upacara penghapusan siksa [bnd. surat
aflat yang dikecam Luther], ziarah ke tempat-tempat suci dan sebagainya), dilarang. Tentang
hal ini Calvin dan para pengikutnya jauh lebih tegas dan keras dibandingkan Luther [an] (bnd.
sikap adiafora Lutherlanl pada pasal 2). Dari sini bisa muncul kesimpulan bahwa ibadah gereja-
gereja Calvinis diarahkan pada tataran kognitif: khotbah yang bercorak pengajaran, ibadah
yang harus dipahami warga jemaat biasa, penalaran yang logis, perilaku yang tertib, dan
suasana yang berdisiplin.

Khusus tentang khotbab, menurut Calvin idealnya khotbah merupakan kombinasi dari uraian
isi Alkitab dan penjelasan pokok pokok pemahaman iman atau ajaran gereja tentang kebenaran
yang dianut gereja. Dengan demikian khotbah juga mempunyai fungsi pengajaran (pedagogis).
Sejalan dengan itu doa dan nyanyian diatur sedemikian rupa untuk menyelang-nyelingi dan
mempertegas pe nyampaian pokok-pokok mendasar dari ajaran iman Calvinis: peng akuan
dosa, berita pengampunan (disusul dengan petunjuk hidup baru), dan pengakuan akan
kedaulatan Allah.

Tentang nyanyian, selama berabad-abad nyanyian hanya terbatas pada Mazmur, karena
menurut Calvin Mazmur adalah nyanyian yang paling layak untuk memuji Allah, mengingat
bahwa Mazmu terdapat di dalam Alkitab dan dengan demikian merupakan ciptaan Roh Kudus.
Agar melodinya tidak itu-itu saja, maka ada macam-ma cam versi nyanyian Mazmur yang
diciptakan di lingkungan gereja gereja Calvinis. (Sampai sekarang beberapa gereja di Belanda
masih memelihara tradisi 'tua' ini, yakni hanya menyanyikan mazmur di dalam ibadahnya.)
Sekarang sudah banyak disusun buku nyanyian baru, kendati mazmur tetap menduduki tempat
penting.

Mengenai Baptisan, yang dilayankan di dalam ibadah jemaat oleh pejabat yang diberi
wewenang oleh gereja, pandangan Calvin sangat ditentukan oleh diskusinya dengan kaum
Anabaptis. Dalam banyak hal penjelasan Calvin, seperti juga Luther, bersifat tradisional, dalam
arti: mirip dengan penjelasan gereja 'arus utama' sejak abadabad pertama, termasuk GKR, yang
membela dan memberlakukan Baptisan anak atau bayi. Menurut Calvin, Baptisan merupakan
tanda pengampunan dan hidup baru. Lebih lanjut, Baptisan menandakan bahwa kita telah ikut
serta dalam kematian dan kebangkitan Kristus dan bahwa kita juga telah menjadi satu dengan
Dia. Baptisan sekaligus pula merupakan tanda bahwa kita masuk ke dalam persekutuan gereja.
Jadi di sini baptisan dihubungkan Calvin dengan keanggotaan di dalam gereja. Ini sekaligus

22
mengungkapkan penolakan Calvin terhadap anggapan bahwa Baptisan merupakan syarat untuk
beroleh keselamatan. Menurut Calvin, Baptisan bukan syarat, melainkan meterai yang
menandakan bahwa seseorang telah memperoleh pengampunan dosa dan keselamatan pada
salib Kristus. Pengampunan itu telah dikaruniakan Allah pada kita sebelum kita lahir, sehingga
tidak ditentukan oleh Baptisan.

Mengenai Perjamuan Kudus, Calvin meyakini dan mengajarkan bahwa Periamuan Kudus
adalah tanda yang ditetapkan Allah melalui Anak-Nya Yesus Kristus, supaya melalui roti dan
anggur itu orang-orang beriman dipersatukan dengan tubuh dan darah Kristus Karena
kelemahan manusia maka tanda itu mutlak perlu ditambah kan kepada firman yang diberitakan,
karena persatuan dengan Kristus itu hanya dapat dimengerti orang percaya kalau diperagakan
dalam upacara makan roti dan minum anggur. Di dalam Perjamuan Kudus Kristus sungguh-
sungguh hadir untuk menjadi satu dengan orang-orang percaya sekaligus memperkuat iman
mereka. Kristus membuat makanan jasmani menjadi makanan rohani, sehingga me reka yang
mengikuti Perjamuan Kudus menerima apa yang disediakan Kristus di kayu salib, yaitu
pengampunan dosa dan kehidupan kekal. Jadi bagi Calvin Perjamuan Kudus lebih daripada
sekadar peringatan kematian Kristus. Perjamuan Kudus menambahkan sesuatu kepada iman
orang percaya dan kepada apa yang disampaikan dalam pemberitaan Firman.

Mengenai cara kehadiran Kristus dalam Perjamuan Kudus, Calvin mempunyai persamaan
maupun perbedaan pemahaman dengan Luther, Di satu pihak Luther dan Calvin sama-sama
menolak paham transsubstansiasi dari GKR, yaitu bahwa pada saat rumusan perja muan
diucapkan imam maka roti dan anggur serta-merta berubah menjadi tubuh dan darah Kristus.
Luther dan Calvin menegaskan bahwa keberadaan (eksistensi) roti dan anggur secara lahiriah
tidak dihilangkan oleh pengucapan rumusan perjamuan itu. Jadi, rumusan yang diucapkan
imam tidak punya khasiat bagaikan mantera, mengubah substansi unsur-unsur perjamuan itu.

Akan tetapi pada lain pihak Calvin berbeda pendapat dengan Lu ther tentang kehadiran Kristus
di dalam roti dan anggur itu. Bagi luther, kendati roti dan anggur tetap berada dalam
substansinya, tetapi -sesuai dengan janji Kristus- serempak dengan itu tubuh dan darah Kristus
hadir secara nyata, ketika rumusan penetapan perjamuan itu diucapkan. Bagi Calvin, pendapat
Luther itu tidak banyak bergeser dari ajaran GKR. Menurut Calvin, kehadiran Kristus di dalam
penjamuan hanyalah secara rohani dan dipahami di dalam iman. Serempak dengan itu Calvin
juga menolak pendapat Zwingli, reformator Swiss itu, yang mengajarkan bahwa Perjamuan
Kudus semata-mata merupakan peringatan akan tubuh dan darah Kristus. (Pendapat ini

23
kemudian dianut kaum Anabaptis, Baptis dan Mennonit, sehingga mereka tidak mengakui
adanya sakramen dan tidak menyebut Perjamuan Kudus sebagai sakramen.) Bagi Calvin,
Periamuan Kudus lebih dari sekadar peringatan; ketika Perjamuan Kudus dilayankan, tubul
Kritus tetap berada di sorga, tetapi Roh-Nya memenuhi roti dan ang gur sehingga para peserta
Perjamuan yang beriman menerima Kristus secara rohani (Backman Jr. 1983:101).

Pemahaman Calvin atas Perjamuan Kudus ini membawa dampak besar atas pemahamannya
tentang kehadiran Kristus. Calvin memahami bahwa Kristus tidak hanya hadir di alam
sakramental dan di dalam ibadah gereja, melainkan hadir di dunia nyata, di dalam segala segi
dan bidang kehidupan manusia. Dengan kata lain, menurut Cak vin kita harus hidup dan
berkarya di dunia nyata, dunia yang sekular. Allah hadir dan dapat dipahami oleh iman di dalam
seluruh aktivitas kehidupan Berdasarkan pemahaman inilah kita nanti melihat betapa besarnya
keterlibatan gereja-gereja Calvinis (melalui wang dan pengerjanya) di berbagai sektor
kehidupan: sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan seterusnya. Dan ini membedakannya
dengan tajam dari 'gereja-gereja bebas', antara lain Anabaptis dan Mennonit yang menarik diri
dari tanggungiawab di dalam bidang-bidang kehidupan nyata tersebut. (Sementara itu Luther
dan gereja-gereja Lutheran tidak dengan tegas menyatakan sikap dan posisinya, sehingga
sering terkesan sebagai 'gereja liturgis', atau 'gereja sakramental', yang hanya menghayati
aktivitasnya maupun kehadiran Allah di dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat liturgis dan
sakramental).

Gereja dan Dunia serta Hubungan


Gereja dengan Negara

Agaknya perhatian Calvin terhadap dunia dan seluruh bidang kehidupan di dalamnya, yang
disebutnya theatron gloria Dei (panggung kemuliaan Allah), menjadi daya dorong yang kuat
bagi tumbuhnya semangat berdagang dan berusaha di kalangan orang-orang Protestan Eropa
Barat pada abad-abad ke-16 dan seterusnya. Dalam hal ini kita jadi teringat pada buku Max
Weber yang terkenal: The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism (1930). (Yang Weber
maksudkan dengan 'etika Protestan' terutama adalah etika Calvinis, yang antara lain
menekankan kerajinan, kerja keras dan berhemat.)

Seperti telah kita lihat, jemaat pertama yang dilayani Calvin, yaitu jemaat di Jenewa,
sebenarnya dapat dikategorikan sebagai gereja negara, karena sepenuhnya didukung dan
dibiayai pemerintah kota itu. Tetapi dalam pemikirannya tentang hubungan antara gereja dan
negara, Calvin dengan tegas menghendaki agar ada pemisahan yang tegas antara gereja dan

24
negara. Memang sumber kekuasaan gereja dan negara adalah satu dan sama, yaitu Tuhan Allah.
Sesuai dengan 'wawasan dua pedang dan cita-cita teokrasi, menurut Calvin Allah menjadi Raja
dan Penguasa tertinggi baik dalam kehidupan negara maupun gereja. Selanjutnya Tuhan Allah
memberi 'pedang yang satu- pedang jasmani-kepada negara atau pemerintah sipil, sedangkan
pedang yang satu lagi, pedang rohani, kepada gereja. Negara harus membantu gereja untuk
memberlakukan kedaulatan Allah dan ketertiban di dalam kehidupan manusia, tetapi negara
tidak boleh mencampuri urusan gereja, termasuk dalam hal organisasi, peribadahan, upacara-
upacara dan penetapan jabatan gerejawi.

Ini bisa berarti bahwa gereja memiliki lebih banyak wewenang dibandingkan dengan negara
karena gereja bisa berbicara dalam segala bidang kehidupan, termasuk politik dan
pemerintahan, sementara sebaliknya negara tidak boleh berbicara dalam urusan keagamaan.
Tetapi dalam kenyataan sejarah, seperti sudah berulang kali disinggung

25

Anda mungkin juga menyukai