Anda di halaman 1dari 97

IMPLEMENTASI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

PENAWARAN TENAGA LISTRIK UNTUK SISTEM


UTILITAS REGULATED-MARKET

Disusun untuk Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Regulasi dan Ekonomi Sistem Energi
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Jangkung Raharjo

Oleh:
I GEDE PUTU OKA INDRA WIJAYA
2101221012

MASTER OF ELECTRICAL ENGINEERING


TELKOM UNIVERSITY
BANDUNG
2023
Daftar Isi

DAFTAR ISI.............................................................................................................................1

ABSTRAK................................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4

1.1 Latar Belakang..............................................................................................................4

1.2 Identifikasi Masalah......................................................................................................7

1.3 Tujuan dan Manfaat.....................................................................................................7


1.3.1 Tujuan:...........................................................................................................................7
1.3.2 Manfaat:.........................................................................................................................7

1.4 Batasan Masalah...........................................................................................................8

1.5 Metodologi Penelitian...................................................................................................8

BAB II TINJAUAN LITERATUR.......................................................................................10

2.1 Model pasar energi elektrik.......................................................................................10

2.2 Pasar Tenaga Listrik di Indonesia.............................................................................18

2.3 Regulated Market.........................................................................................................22

2.4 Regulasi dan Ekonomi Ketenagalistrikan................................................................23

2.5 Perkembangan Sistem Ketenagalistrikan dan Regulasi..........................................25

2.6 Deregulated Market......................................................................................................28

2.7 Era Deregulasi Sistem Tenaga...................................................................................29

2.8 Sistem Ketenagalistrikan Dunia................................................................................33

2.9 Pengalaman Deregulasi Negara Eropa.....................................................................36

2.10 Economic Dispatch......................................................................................................38

2.11 Distributor Company....................................................................................................40

2.12 Generating Company...................................................................................................42

2.13 Ramp Rate Pembangkit...............................................................................................45

2.14 Algoritma Lamda Iteration.........................................................................................46


1
BAB III METODOLOGI......................................................................................................49

3.1 Desain Sistem...............................................................................................................49

3.2 Desain Perangkat Lunak............................................................................................51


3.2.1 Jupyter Notebook.........................................................................................................51
3.2.2 Microsoft Excel............................................................................................................52

BAB IV HASIL DAN ANALISIS.........................................................................................54

4.1 Dataset..........................................................................................................................54

4.2 Hasil dan Analisis Economic Dispatch.......................................................................56

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI..............................................................101

5.1 Kesimpulan................................................................................................................101

5.2 Rekomendasi..............................................................................................................101

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................102

2
Abstrak

Struktur industri listrik di banyak negara telah berubah secara dramatis untuk saat ini,
dari monopoli ke struktur persaingan. Perubahan ini disebabkan oleh banyak hal, terutama
karena meningkatnya efisiensi, transparansi dan alasan keterbatasan dana oleh pemerintah.
Perubahan struktur industri listrik dari monopoli menjadi struktur persaingan adalah tren
yang terjadi di banyak negara. Ada beberapa faktor yang telah mendorong perubahan ini.
Pertama, meningkatnya efisiensi adalah salah satu faktor utama yang memicu perubahan ini.
Dalam struktur monopoli, satu perusahaan mengendalikan seluruh pasokan listrik di suatu
wilayah atau negara. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya insentif untuk meningkatkan
efisiensi operasional dan mengurangi biaya. Namun, dengan adanya persaingan, perusahaan-
perusahaan listrik harus berkompetisi untuk mendapatkan pelanggan dan mengoptimalkan
operasi mereka. Ini mendorong mereka untuk mencari cara-cara baru untuk meningkatkan
efisiensi, mengurangi biaya produksi, dan menyediakan layanan yang lebih baik.
Penawaran tenaga listrik diimplementasikan dalam pasar utilitas regulated market
dengan adanya bidding oleh GENCO tiap jamnya. Untuk memilih GENCO mana yang
dipilih, diperlukan metode yang mutakhir dan andal dalam menghitung economic dispatch
oleh pemegang utilitas sistem kelistrikan di negara yang menerapkan regulated market.
Dalam hal ini di Indonesia adalah PLN (Perusahaan Listrik Negara). Dalam makalah ini
digunakan algoritma Lambda Iteration dalam menghitung economic dispatch 42 pembangkit
di wilayah JAMALI yang disimulasikan pada aplikasi Jupyter Notebook.
Selain itu, untuk ramp rate pembangkit tiap jamnya disesuaikan dengan bantuan
aplikasi Microsoft Excel. Dalam makalah ini economic dispatch disimulasikan selama 24 jam
dengan syarat beban pengujian harus lebih besar nominalnya daripada jumlah nominal
minimum 42 pembangkit. Dalam simulasi ini diperhatikan juga biaya bahan bakar, ramp
rate, dan kapasitas tiap pembangkitnya. Dari hasil simulasi didapatkan pembangkit mana saja
yang harus dipilih sehingga mencapai biaya produksi yang minimal dan memenuhi
permintaan listrik dengan efisien.

Kata Kunci: Monopoli, Regulated-Market, Bidding, GENCO, Economic Dispatch,


Lambda Iteration

3
BAB I
Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Struktur industri listrik di banyak negara telah berubah secara dramatis untuk saat ini,
dari monopoli ke struktur persaingan. Perubahan ini disebabkan oleh banyak hal [1], terutama
karena meningkatnya efisiensi, transparansi dan alasan keterbatasan dana oleh pemerintah.
Perubahan struktur industri listrik dari monopoli menjadi struktur persaingan adalah tren
yang terjadi di banyak negara. Ada beberapa faktor yang telah mendorong perubahan ini.
Pertama, meningkatnya efisiensi adalah salah satu faktor utama yang memicu perubahan ini.
Dalam struktur monopoli, satu perusahaan mengendalikan seluruh pasokan listrik di suatu
wilayah atau negara. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya insentif untuk meningkatkan
efisiensi operasional dan mengurangi biaya. Namun, dengan adanya persaingan, perusahaan-
perusahaan listrik harus berkompetisi untuk mendapatkan pelanggan dan mengoptimalkan
operasi mereka. Ini mendorong mereka untuk mencari cara-cara baru untuk meningkatkan
efisiensi, mengurangi biaya produksi, dan menyediakan layanan yang lebih baik.
Selanjutnya, meningkatnya transparansi juga berperan dalam perubahan ini. Dalam
struktur monopoli, sering kali kurangnya transparansi tentang biaya produksi dan harga listrik
dapat menghambat persaingan yang sehat. Namun, dengan struktur persaingan, regulasi yang
lebih baik dan persyaratan pelaporan yang ketat dapat meningkatkan transparansi dalam
industri listrik. Ini memungkinkan konsumen dan perusahaan pesaing untuk mendapatkan
akses yang lebih baik ke informasi dan membuat keputusan yang lebih cerdas. Terakhir,
keterbatasan dana pemerintah juga dapat menjadi faktor dalam perubahan struktur industri
listrik. Dalam beberapa kasus, pemerintah tidak lagi mampu atau tidak ingin
menginvestasikan dana besar untuk membangun dan mengoperasikan infrastruktur listrik.
Dalam struktur persaingan, perusahaan swasta dapat berperan dalam investasi dan
pengelolaan infrastruktur tersebut, mengurangi beban keuangan pada pemerintah.
Namun, penting untuk dicatat bahwa perubahan struktur industri listrik tidak terjadi di
semua negara dengan cara yang sama. Setiap negara memiliki kebijakan dan konteks yang
unik, yang mempengaruhi bagaimana perubahan tersebut terjadi. Beberapa negara mungkin
telah meliberalisasi sepenuhnya industri listrik mereka, sementara negara lain mungkin masih
memiliki beberapa elemen monopoli atau kepemilikan pemerintah. Jadi, diharapkan

4
perusahaan swasta dapat berpartisipasi di dalamnya. Bisnis ketenagalistrikan dengan struktur
persaingan akan menciptakan persaingan pada penyediaan dan sisi permintaan dengan
strategi penawaran yang komprehensif [2]. Dalam struktur persaingan dalam bisnis
ketenagalistrikan, perusahaan swasta memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan bersaing
di pasar. Dengan adanya persaingan, perusahaan-perusahaan ini akan berusaha untuk
menyediakan layanan listrik yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih terjangkau bagi
konsumen.
Persaingan dalam penyediaan listrik akan mendorong perusahaan untuk
mengembangkan strategi penawaran yang komprehensif. Mereka akan berusaha untuk
menawarkan tarif yang lebih baik, layanan pelanggan yang lebih baik, dan teknologi yang
lebih canggih. Perusahaan dapat mengembangkan produk dan paket penawaran yang inovatif
untuk menarik pelanggan dan memenuhi kebutuhan mereka. Dalam hal sisi permintaan,
persaingan akan mendorong perusahaan untuk lebih memahami kebutuhan konsumen dan
menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan preferensi dan tuntutan pasar. Mereka mungkin
menawarkan opsi energi terbarukan atau program efisiensi energi yang dapat membantu
konsumen mengurangi biaya dan dampak lingkungan mereka.
Dalam struktur persaingan, perusahaan juga akan mengadopsi praktik bisnis yang
lebih efisien dan inovatif. Mereka akan mencari cara untuk mengoptimalkan produksi,
distribusi, dan manajemen operasional mereka. Hal ini dapat mencakup penggunaan
teknologi yang lebih maju, seperti sistem manajemen jaringan yang cerdas atau integrasi
energi terbarukan. Secara keseluruhan, persaingan dalam struktur industri listrik dapat
mendorong inovasi, efisiensi, dan peningkatan kualitas layanan. Ini dapat memberikan
manfaat bagi konsumen, karena mereka memiliki lebih banyak pilihan, harga yang lebih baik,
dan layanan yang lebih baik. Namun, penting untuk tetap memastikan ada regulasi dan
pengawasan yang memadai untuk memastikan persaingan yang adil dan melindungi
kepentingan konsumen.
Namun, komoditas listrik memiliki karakteristik khusus dibanding yang lain yaitu
tidak dapat disimpan, saluran transmisi terbatas, kerugian dan karena masalah kontrak
bilateral. Oleh karena itu, kompetisi listrik harus berdasarkan kerangka kerja tertentu yang
dapat mengakomodir [3-6]. Komoditas listrik memiliki karakteristik khusus yang
mempengaruhi persaingan dalam industri ini. Beberapa karakteristik tersebut termasuk
ketidakmampuan untuk disimpan secara efisien, saluran transmisi terbatas, kerugian dalam
transmisi, dan permasalahan kontrak bilateral. Karena listrik tidak dapat disimpan dengan
mudah, pasokan dan permintaan harus seimbang secara real-time. Ini berarti bahwa

5
penawaran dan permintaan harus selalu cocok secara tepat pada setiap saat untuk menjaga
keseimbangan jaringan listrik. Dalam konteks ini, kerangka kerja yang baik harus
mempertimbangkan mekanisme yang memungkinkan fleksibilitas dalam penawaran dan
permintaan, seperti perdagangan energi di pasar spot atau pasar day-ahead.
Saluran transmisi listrik juga memiliki batasan fisik dan kapasitas tertentu. Jaringan
transmisi membutuhkan investasi dan pemeliharaan yang signifikan, dan perencanaan yang
baik diperlukan untuk memastikan pengiriman listrik yang efisien dan andal. Dalam kerangka
persaingan, regulasi harus mengakomodasi akses yang adil dan non-diskriminatif ke jaringan
transmisi bagi semua peserta pasar. Kerugian dalam transmisi listrik juga perlu diperhatikan.
Ketika listrik dikirim melalui saluran transmisi, sebagian kecil energi dapat hilang karena
resistansi dan gangguan lainnya. Hal ini dapat berdampak pada efisiensi dan biaya sistem
secara keseluruhan. Dalam konteks persaingan, regulasi harus mempertimbangkan cara untuk
mengelola dan meminimalkan kerugian transmisi ini, serta memastikan pembebanan yang
adil di antara peserta pasar.
Masalah kontrak bilateral juga dapat menjadi tantangan dalam kompetisi listrik.
Kontrak bilateral adalah perjanjian jangka panjang antara produsen dan konsumen yang
mempengaruhi aliran listrik dan harga. Dalam kerangka persaingan, penting untuk
memastikan kejelasan, keadilan, dan keterbukaan dalam perjanjian ini serta untuk mencegah
praktik monopoli atau kecurangan. Kerangka kerja yang efektif dalam persaingan listrik
harus mempertimbangkan semua karakteristik khusus ini dan mengakomodir mereka secara
memadai. Ini melibatkan peraturan dan regulasi yang jelas untuk memastikan akses yang adil
ke jaringan, pengelolaan efisiensi dan kerugian transmisi, serta transparansi dan integritas
dalam kontrak bilateral. Tujuannya adalah untuk menciptakan pasar yang efisien, adil, dan
berkelanjutan untuk komoditas listrik.
Dalam makalah ini, operator sebagai pembeli atau penjual energi harus menetapkan
harga energi minimum atau yang tidak menguntungkan. Untuk melaksanakan persaingan
listrik, diperlukan perhitungan harga energi yang optimal dan pemisahan perhitungan rugi-
rugi. Proses perhitungan disini harus dilakukan dengan sangat cepat, karena selang waktu
kompetisi adalah sekitar satu jam saja. Tulisan ini akan mewujudkan persaingan dengan
kerangka dan penetapan harga energi melalui metode ekonomi pengiriman langsung
dikombinasikan dengan perhitungan aliran beban. Sepanjang perhitungan aliran beban,
kerugian total dapat ditentukan. Langkah selanjutnya menghitung secara terpisah kerugian
dan memberikan kontribusi kerugian kepada semua peserta kompetisi. Metode yang dibahas

6
di sini akan disimulasikan untuk sistem kecil. Dengan simulasi ini harga energi dan biaya lain
seperti transmisi, kemacetan dan susut ditentukan.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana pengimplementasian penawaran tenaga listrik di negara yang


menggunakan utilitas regulated-market?
2. Bagaimana pengembangan model penghitungan economic dispatch untuk GENCO
yang banyak?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1.3.1 Tujuan:
1. Memahami bagaimana penawaran tenaga listrik diimplementasikan dalam pasar
utilitas yang diatur (regulated-market).
2. Mengidentifikasi tantangan dan hambatan yang mungkin muncul dalam
pengimplementasian penawaran tenaga listrik dalam konteks regulated-market.
3. Mencari solusi dan strategi untuk memastikan implementasi yang efektif dan efisien
dari penawaran tenaga listrik di negara yang menggunakan regulated-market.
4. Mengembangkan model penghitungan economic dispatch yang efisien dan efektif
untuk Generators Companies (GENCO) yang beroperasi dalam jumlah yang banyak.
5. Menemukan metode atau algoritma yang dapat mengoptimalkan alokasi daya antara
GENCO yang berbeda untuk mencapai biaya produksi yang minimal dan memenuhi
permintaan listrik dengan efisien.

1.3.2 Manfaat:
1. Memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang regulasi dan kebijakan yang
mempengaruhi pasar tenaga listrik dalam konteks regulated-market.
2. Mengidentifikasi peluang dan risiko yang terkait dengan penawaran tenaga listrik
dalam regulated-market.
3. Memberikan wawasan tentang bagaimana mengoptimalkan penggunaan sumber
daya energi dan memastikan ketersediaan energi yang andal dan terjangkau dalam
regulated-market.
4. Membantu perumusan kebijakan yang sesuai untuk meningkatkan efisiensi dan
transparansi dalam implementasi penawaran tenaga listrik dalam regulated-market.

7
5. Meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi biaya produksi GENCO
dengan mengoptimalkan alokasi daya.
6. Meningkatkan koordinasi dan kerja sama antara GENCO dalam pengelolaan dan
alokasi daya listrik.
1.4 Batasan Masalah

1. Simulasi Economic Dispatch menggunakan metode Algoritma Lambda Iteration.


2. Dataset pembangkit yang digunakan adalah 42 pembangkit di daerah JAMALI (Jawa,
Madura, dan Bali).
3. Dataset beban pengujian yang digunakan adalah 24 jam secara konstan.
4. Simulasi dibantu dengan aplikasi Jupyter Notebook dan Microsoft Excel.

1.5 Metodologi Penelitian

8
Gambar 1.1 Metode Penelitian dalam Lambda Iteration.
Algoritma Lambda Iteration beroperasi dengan mengulangi langkah-langkah berikut:
1. Langkah Awal: Inisialisasi nilai lambda (λ) awal. Lambda adalah parameter yang
menentukan tingkat biaya penawaran pembangkit listrik.
2. Perhitungan Produksi: Dalam setiap iterasi, hitung produksi pembangkit listrik
berdasarkan harga penawaran saat ini (yang dihitung dari lambda) dan kebutuhan
daya sistem.
3. Penentuan Harga Penawaran: Hitung harga penawaran (p) untuk setiap pembangkit
berdasarkan biaya produksi dan lambda saat ini.

9
4. Evaluasi Keseimbangan: Evaluasi keseimbangan pasokan dan permintaan listrik
dengan membandingkan total produksi dengan total permintaan. Jika ada
ketidakseimbangan, lanjutkan ke langkah berikutnya.
5. Penyesuaian Lambda: Jika terdapat ketidakseimbangan pasokan dan permintaan,
ubah nilai lambda dengan menggunakan formula yang menghitung perubahan lambda
berdasarkan ketidakseimbangan tersebut.
6. Iterasi: Kembali ke langkah 2 dan ulangi proses tersebut dengan nilai lambda yang
baru. Lanjutkan iterasi hingga keseimbangan pasokan dan permintaan tercapai.
7. Berhenti: Iterasi telah mencapai titik keseimbangan pasokan dan permintaan.

10
BAB II
Tinjauan Literatur

2.1 Model pasar energi elektrik

Sesuai hukum yang berlaku dalam ekonomi pasar komoditi sebuah produk
(contohnya: elektrik, minyak dll), maka biaya ditentukan antara persedian dan permintaan
komoditi tersebut [7]. Sekiranya persedian barang terbatas, maka berdasarkan persaingan
pasar dalam sistem pasar bebas maka biaya akan cenderung meningkat. Sebaliknya bilamana
permintaan daya menurun maka biaya akan ikut menurun pula sesuai Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Kurva hunbungan antara permintaan dan harga listrik.

Dalam rektururisasi terdapat ketentuan yang mengatur setiap pelaku industri elektrik
hingga ke semua pihak harus memperoleh manfaat. Produsen energi elektrik dapat
memperoleh peluang investasi dalam jangka panjang, sementara pemilik transmisi
mendapatkan biaya untuk merawat fasilitas transmisi yang handal sedangkan pelanggan
memperoleh biaya elektrik yang kompetitif dan memuaskan. Oleh itu, diperlukan tatacara
dan sistem pendukung agar diperoleh biaya elektrik berdasarkan biaya yang optimum dan

11
kompetitif dan adil kepada semua peserta industri penyediaan daya, seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Kurva keseimbangan pasar.

Pada Gambar 2.3 menunjukkan biaya elektrik sewaktu terdapat perubahan dalam
pasar daya listrik dimana terdapat perubahan pasokan tegangan elektrik dan permintaan
berlaku.

12
Gambar 2.3 Keseimbangan pasar listrik.

Tabel 2.1 Struktur model pasaran daya elektrik beberapa negara [8]

No Utility Struktur model pasar


1 New Zealand Single buyer dengan retail kompetisi
2 Brazil Kombinasi capacity market dengan single
buyer model
3 China Vertically integrated monopoly, dengan
sedikit keterlibatan pihak swasta
4 India Vertically integrated monopoly dengan
kompetisi pembangkit.
5 Indonesia Vertically integrated monopoly dengan
kompetisi pembangkit
6 Italia Kompetisi penuh pembangkit dan retail.
7 Jepang Vertically integrated monopoly dengan
sedikit kompetisi pembangkit.
8 Malaysia Vertically integrated monopoly dengan
sedikit kompetisi pembangkit.
9 Mexico Vertically integrated monopoly dengan

13
sedikit kompetisi pembangkit.
10 Pakistan Vertically integrate monopoly dengan
beberapa kompetisi pembangkit.
11 Ontario (Canada) Single buyer model
12 Vietnam Vertically integrated monopoly dengan
sedikit kompetisi pembangkit.
13 Korea Vertically integrated utility tanpa single
buyer model
14 Virginia (USA) Bukan single buyer model. Pasar dengan
perdagangan bebas.

Gambar 2.4 Model monopoly dari pasar kelistrikan (Berdasarkan Hunt and Shuttleworth)
dengan submodel masing masing (a), Utility digabungkan seluruhnya secara vertikal,

14
sementara pada submodel (b), Pendistribusian dilaksanakan melalui satu atau lebih
perusahaan yang terpisah.

Gambar 2.1 Model kompetisi retail pasar elektrik (dengan Hunt and Shuttleworth).

15
Gambar 2.2 Model agen pembelian pasar elektrik (Hunt and Shuttleworth, 1996).

(a) secara integrasi; (b) secara tidak terintegrasi.

Gambar 2.3 Model pembeli tunggal (single buyer)

Model ini bertujuan dalam meningkatkan investasi untuk memperoleh bagian dalam
industri tenaga elektrik [9]. Pada model ini, hanya ada satu perusahaan yang membeli elektrik
dari beberapa IPP (independent power producer) yang ada. IPP dikenal pula sebagai “Non
Utility Generator” yang biasanya dimiliki oleh perusahaan swasta (publik). Pembelian daya
elektrik dari generator / IPP dilakukan melalui perjanjian jual beli (Power Purchase

16
Agreements). Model yang dibahas di atas sedemikian dapat dilihat pada Gambar 2.7. Ciri dari
model single buyer:
1. Terdapat persaingan di sisi pembangkitan, semua pembangkit bersaing dan
mendapatkan biaya pasaran.
2. Hanya pembeli tunggal dapat membeli dari pembangkit.
3. Memerlukan kontrak jangka panjang antara pembangkit dan pembeli tunggal.
4. Risiko pasaran dan risiko perkembangan teknologi penyaluran daya ke pelanggan.
5. Diperlukan peranan penting kerajaan bagi mewujudkan institusi dan peraturan bagi
menghasilkan pasaran elektrik yang berkesan.

Gambar 2.4 Menerangakan model transaksi pembelian daya elektrik dengan sistem pool.

(a) Langsung antara IMO dengan pengguna. (b). Secara tidak langsung dengan perantaraan
distribustion company (Discos) ke pengguna.

Dalam sistem pool, semua transaksi pembelian daya elektrik antara pembekal daya
(Gencos / IPP) dengan pelanggan dalam sistem deregulasi dan dilakukan oleh suatu
pengendali sistem yang disebut sebagai Independent Market Operator (IMO). Sementara
sistem penyaluran daya didukung oleh semacam perusahaan; Independent Sistem Operator
(ISO).

17
Gambar 2.5 Sistem transaksi daya dengan kombinasi pool dan bilateral.

18
Gambar 2.6 Sistem transaksi energi dengan model multilateral.

Secara umum, model perdagangan bilateral terdapat satu kordinator penjadwalan


(Schedule Coordinator) atau broker daya bersama dengan pelanggan mengadakan perjanjian
[9]. Perbedaan sistem perdagangan bilateral dengan model pool adalah terletak pada strategi
setiap pelaku transaksi yang dilakukan. Biasanya, dalam model ini terdapat koordinasi antar
operator transmisi dengan broker yang disesuaikan melalui lembaga ISO.

2.2 Pasar Tenaga Listrik di Indonesia

19
Bahwa tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk memajukan kesejahteraan umum
dan mencerdaskan kehidupan bangsa, guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur
yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tenaga
listrik sebagai bagian dari cabang produksi yang penting bagi negara sangat menunjang upaya
tersebut. Sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup
orang banyak, tenaga listrik perlu dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih merata, adil, dan untuk
lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga listrik, dapat diberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Koperasi atau Swasta untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik. Untuk penyediaan tenaga listrik skala kecil, prioritas diberikan
kepada Badan Usaha kecil dan menengah.
Bahwa dalam rangka meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan di sektor ketenagalistrikan, diperlukan upaya untuk secara optimal
dan efisien memanfaatkan sumber energi domestik serta energi yang bersih dan ramah
lingkungan, dan teknologi yang efisien guna menghasilkan nilai tambah untuk pembangkitan
tenaga listrik sehingga menjamin tersedianya tenaga listrik yang diperlukan.
Undang-undang ini merupakan landasan dan acuan bagi pelaksanaan restrukturisasi
sektor ketenagalistrikan agar pengelolaan usaha di sektor ini dapat dilaksanakan secara lebih
efisien, transparan dan kompetitif. Kompetisi usaha penyediaan tenaga listrik dalam tahap
awal diterapkan pada sisi pembangkitan dan di kemudian hari sesuai dengan kesiapan
perangkat keras dan perangkat lunaknya akan diterapkan di sisi penjualan. Hal ini
dimaksudkan agar konsumen listrik memiliki pilihan dalam menentukan pasokan tenaga
listriknya yang menawarkan harga paling bersaing dengan mutu dan pelayanan lebih baik.
Perkembangan penerapan kompetisi di sisi penjualan dimulai pada konsumen besar
yang tersambung pada tegangan tinggi, yang kemudian pada konsumen tegangan menengah.
Untuk mengatur dan mengawasi penyediaan tenaga listrik di daerah yang telah menerapkan
kompetisi dibentuk Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik. Badan ini yang mengeluarkan
aturan yang diperlukan dalam menunjang mekanisme pasar meliputi aturan jaringan (Grid
Code), aturan distribusi (Distribution Code), aturan pentarifan (Tariff Code), aturan untuk
lelang pengadaan instalasi/sarana penyediaan tenaga listrik (Procurement and Competitive
Tendering Code) dan lain-lain, termasuk penegakan hukumnya (law enforcement). Dengan
adanya Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik, akan mengurangi peranan Pemerintah dalam

20
penetapan regulasi bisnis ketenagalistrikan, namun tidak mengurangi kewenangan
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan.
Dalam Undang-undang ini selain diatur hak dan kewajiban pengusaha dan masyarakat
yang menggunakan tenaga listrik, juga diatur sanksi terhadap tindak pidana yang menyangkut
ketenagalistrikan mengingat sifat bahaya dari tenaga listrik dan akibat yang ditimbulkannya.
Di samping itu, untuk menjamin keselamatan manusia di sekitar instalasi, keselamatan
pekerja, keamanan instalasi dan kelestarian fungsi lingkungan, usaha penyediaan tenaga
listrik dan pemanfaatan tenaga listrik harus memenuhi ketentuan mengenai keselamatan
ketenagalistrikan [10].

Gambar 2.7 PT PLN (Persero).

Untuk melakukan pengembangan proyek pembangkit listrik di Indonesia, badan usaha


terlebih dahulu harus mengikuti tahap pelelangan proyek pembangkit listrik yang
diselenggarakan oleh PT PLN (Persero). Untuk melakukan pengembangan proyek
pembangkit listrik di Indonesia, badan usaha harus mengikuti tahap pelelangan proyek yang
diselenggarakan oleh PT PLN (Persero). PT PLN merupakan perusahaan listrik negara yang
bertanggung jawab atas pengaturan, pengoperasian, dan pengembangan sektor
ketenagalistrikan di Indonesia. Tahap pelelangan proyek pembangkit listrik yang
diselenggarakan oleh PT PLN memiliki beberapa tujuan dan manfaat, antara lain:

21
1. Transparansi dan keadilan
Proses pelelangan dilakukan secara terbuka dan transparan, memastikan
bahwa kesempatan yang adil diberikan kepada semua calon badan usaha untuk
berpartisipasi dalam proyek pembangkit listrik. Ini meminimalkan potensi korupsi,
nepotisme, atau praktik tidak adil lainnya.
2. Efisiensi penggunaan sumber daya
PT PLN melalui tahap pelelangan dapat menentukan badan usaha dengan
tawaran terbaik dalam hal biaya investasi, biaya operasional, dan efisiensi teknis. Hal
ini membantu dalam memastikan penggunaan sumber daya yang efisien dan
mengurangi biaya pembangunan serta operasional.
3. Kualitas dan kehandalan infrastruktur
Melalui tahap pelelangan, PT PLN dapat menentukan badan usaha dengan
kemampuan dan pengalaman yang terbaik untuk mengembangkan dan
mengoperasikan pembangkit listrik. Ini dapat berdampak positif terhadap kualitas dan
kehandalan infrastruktur ketenagalistrikan di Indonesia.
4. Stimulasi pertumbuhan ekonomi
Proyek pembangkit listrik yang dikembangkan melalui tahap pelelangan dapat
memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi lokal. Pembangunan pembangkit
listrik akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan investasi, dan
memberikan dampak positif pada industri terkait seperti konstruksi, logistik, dan
penyediaan bahan bakar.
5. Diversifikasi energi
Melalui tahap pelelangan, PT PLN dapat mendorong diversifikasi energi
dengan memberikan kesempatan kepada badan usaha yang ingin mengembangkan
pembangkit listrik berbasis sumber energi terbarukan. Ini sejalan dengan upaya global
untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil dan mengurangi dampak
lingkungan.

Pelelangan proyek pembangkit listrik yang diselenggarakan oleh PT PLN adalah


mekanisme yang penting untuk memastikan pengembangan infrastruktur ketenagalistrikan
yang terencana, efisien, dan berkualitas. Dengan melalui proses pelelangan yang transparan,
pemerintah dapat menjaga keadilan, meminimalkan risiko, dan memastikan penggunaan
sumber daya yang optimal dalam pembangunan pembangkit listrik di Indonesia.

22
Pelelangan proyek dapat diselenggarakan melalui dua mekanisme, yaitu mekanisme
Pemilihan Langsung untuk pengembangan proyek pembangkit listrik serta mekanisme
Penunjukan Langsung untuk pengembangan proyek pembangkit listrik. Akan tetapi, perlu
menjadi catatan bahwa pengembangan proyek pembangkit listrik dapat dilaksanakan melalui
mekanisme Penunjukan Langsung pada kondisi tertentu. Pada pelelangan melalui mekanisme
Pemilihan Langsung, badan usaha harus terlebih dahulu mengikuti proses kualifikasi Daftar
Penyedia Terseleksi (DPT) yang diselenggarakan oleh PT PLN (Persero). Badan usaha yang
telah terdaftar sebagai DPT selanjutnya berhak mengikuti lelang proyek pembangkit listrik
atas dasar undangan lelang dari PT PLN (Persero). Sedangkan pada pelelangan melalui
mekanisme Penunjukan Langsung, PT PLN (Persero) akan menginisiasi proses pelelangan
pembangkit listrik atas dasar Surat Penugasan dari Menteri ESDM [11].
Selanjutnya, PT PLN (Persero) akan mengundang badan usaha pembangkit listrik
untuk mengikuti proses lelang proyek pembangkit listrik. Secara umum, badan usaha yang
mengikuti pelelangan melalui mekanisme Pemilihan Langsung ataupun Penunjukan
Langsung akan mengikuti serangkaian proses evaluasi administrasi, teknis, dan kemampuan
keuangan. Selanjutnya, dalam pedoman ini, badan usaha yang telah ditunjuk sebagai
pemenang pelelangan proyek akan disebut sebagai calon pengembang.
Pada saat akan mengikuti lelang proyek pembangkit listrik yang diselenggarakan oleh
PT PLN (Persero), badan usaha diwajibkan menyusun studi perencanaan yang mencakup
Studi Kelayakan dan Studi Penyambungan. Kedua dokumen tersebut merupakan persyaratan
wajib yang harus diserahkan sebagai lampiran dokumen penawaran ke PT PLN (Persero).
Setelah ditetapkan sebagai pemenang lelang, calon pengembang umumnya akan mengajukan
permohonan pendanaan ke pihak penyedia dana (bank atau lembaga pembiayaan). Selain
mempersyaratkan Studi Kelayakan dan Studi Penyambungan, pihak penyedia dana juga dapat
mempersyaratkan Studi Perencanaan Rinci.
PJBL dilakukan antara pengembang dan PT PLN (Persero) sebagai bukti penjualan
dan pembelian tenaga listrik. Pengembang harus melengkapi persyaratan dan memenuhi
ketentuan yang ada di dokumen PJBL, yang kemudian akan diverifikasi dan dievaluasi oleh
PT PLN (Persero). Setelah persyaratan dinyatakan lengkap dan terpenuhi, akan dilakukan
penandatanganan PJBL antara pengembang dan PT PLN (Persero).

2.3 Regulated Market

23
Regulated market ketenagalistrikan adalah suatu sistem di mana sektor
ketenagalistrikan diatur dan diawasi oleh pemerintah atau otoritas terkait. Tujuan utama dari
regulated market ini adalah untuk menjaga keberlanjutan, efisiensi, keadilan, dan keamanan
dalam penyediaan energi listrik kepada masyarakat.
Berikut adalah beberapa komponen utama yang terlibat dalam regulated market
ketenagalistrikan:
1. Kebijakan Regulasi
Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan untuk mengatur pasar
ketenagalistrikan. Ini mencakup hukum, peraturan, dan peraturan yang berkaitan
dengan pembangkit listrik, transmisi, distribusi, tarif listrik, dan kualitas layanan.
Kebijakan ini biasanya ditetapkan oleh badan regulasi khusus yang bertanggung
jawab atas sektor ketenagalistrikan.
2. Pembangkit Listrik
Regulated market ketenagalistrikan melibatkan berbagai jenis pembangkit
listrik, termasuk pembangkit tenaga panas, pembangkit tenaga air, pembangkit tenaga
nuklir, dan pembangkit tenaga angin. Pemerintah biasanya memiliki peran dalam
mengatur pembangkit listrik dengan menetapkan persyaratan teknis, lingkungan, dan
keamanan yang harus dipatuhi.
3. Transmisi dan Distribusi
Sistem transmisi dan distribusi menghubungkan pembangkit listrik dengan
pelanggan akhir. Pemerintah mengatur perusahaan transmisi dan distribusi untuk
memastikan penyediaan listrik yang andal dan efisien. Regulasi ini meliputi
persyaratan untuk perencanaan, konstruksi, pemeliharaan, dan operasi jaringan
transmisi dan distribusi.
4. Tarif Listrik
Pemerintah atau badan regulasi menetapkan tarif listrik yang adil dan wajar
untuk pelanggan. Tarif ini dapat mencakup biaya pembangkitan, transmisi, distribusi,
dan faktor lainnya yang terkait dengan penyediaan listrik. Tujuannya adalah untuk
memastikan keberlanjutan sektor ketenagalistrikan dan untuk melindungi kepentingan
pelanggan serta mendorong efisiensi dalam penggunaan energi listrik.

5. Perlindungan Konsumen

24
Regulated market ketenagalistrikan juga mencakup perlindungan konsumen.
Pemerintah dan badan regulasi mengawasi dan menetapkan kebijakan yang
melindungi hak-hak konsumen, seperti hak atas informasi yang jelas, hak atas
pelayanan yang handal, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Tujuannya adalah
untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan kepuasan pelanggan.
6. Keberlanjutan dan Pengembangan
Regulated market ketenagalistrikan biasanya mencakup inisiatif keberlanjutan
dan pengembangan energi terbarukan. Pemerintah dapat memberikan insentif dan
dukungan untuk pengembangan sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya,
tenaga angin, dan biomassa. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada
sumber energi fosil, mengurangi emisi gas rumah kaca, dan mencapai tujuan energi
bersih.

Regulated market ketenagalistrikan memberikan kerangka kerja yang jelas dan teratur
untuk mengelola sektor ketenagalistrikan. Dengan regulasi yang tepat, diharapkan dapat
tercapai efisiensi operasional, penyediaan energi yang andal, perlindungan konsumen, serta
promosi penggunaan energi terbarukan dalam menyediakan listrik yang berkelanjutan bagi
masyarakat.

2.4 Regulasi dan Ekonomi Ketenagalistrikan

Berbeda dibanding beberapa dekade yang lalu, sistem ketenagalistrikan modern


memisahkan (unbundle) sub-sistem pembangkitan dari sub-sistem transmisi dan sub-sistem
distribusi. Joscow (1997) menyatakan bahwa pemisahan sektor pembangkitan adalah karena
pembangkitan tenaga listrik tidak lagi natural monopoly sebagai akibat dari perkembangan
teknologi. Dengan demikian, tingkat kompetisi dari masing-masing proses menjadi berbeda-
beda. Pada sub-sistem pembangkitan tenaga listrik yang tidak lagi natural monopoly terjadi
kompetisi secara penuh. Harga energi listrik di sisi pembangkitan tidak lagi diatur oleh
pemerintah tetapi lebih ke arah persaingan usaha atau kompetisi. Sedangkan sistem transmisi
dan distribusi masih diregulasi (regulated) karena masih dianggap bersifat monopoli alami
(natural monopoly). Harga listrik di sistem transmisi dan distribusi ditentukan oleh institusi
yang independen (regulator) [12].
Konsep unbundling juga mensyaratkan sistem transmisi bersifat terbuka (shared
infrastructure) untuk mendorong kompetisi di sisi pembangkitan. Adanya kesetaraan akses

25
akan sistem transmisi mempercepat produksi listrik sampai ke konsumen, yang pada akhirnya
meningkatkan jumlah kapasitas pembangkit tenaga listrik. Jenis struktur pasar (market
structure) dari sebuah sistem ketenagalistrikan dapat ditentukan dari pihak yang memiliki
pilihan atau untuk dapat memilih. Berdasarkan hal tersebut dapat di bagi empat jenis struktur
yaitu (1) monopoly; (2) single buyer; (3) wholesale competition; dan (4) retail competition.
Tipe yang pertama adalah bentuk monopoli secara keselurahan (vertically integrated utility)
dimana tidak ada kompetisi sama sekali dan pemerintah mengendalikan secara penuh
penyediaan tenaga listrik (biasanya melalui badan usaha milik negara).
Pada jenis yang kedua kompetisi mulai dibuka namun hanya di sistem pembangkitan
sehingga hanya satu vertically integrated public utility yang memiliki pilihan untuk membeli
energi listrik dari berbagai suppliers (monopsoni). Evolusi selanjutnya adalah jenis yang
ketiga dimana sistem transmisi dipisahkan (independent) sehingga distributorlah yang
memiliki pilihan untuk menentukan supplier energi baik melalui energy market (energy
power pool) maupun bilateral contract. Jenis yang terakhir adalah level kompetisi paling
tinggi dimana konsumen dapat memilih supplier energi yang sesuai.

Gambar 2.8 Alternatif struktur pasar ketenagalistrikan.

26
Paradigma struktur-perilaku-kinerja dalam suatu industri mengandung pengertian
bahwa ada hubungan atau keterkaitan sebab akibat dari ketiga unsur tersebut. Struktur suatu
industri menentukan perilaku (conduct) dari pelaku (badan usaha) dalam industri dimaksud
yang kemudian akan menentukan kinerja (performance) dari industri. Walaupun demikian,
hubungan ketiganya tidak searah namun ada keterkaitan timbal balik dimana perilaku badan
usaha dapat mempengaruhi struktur industri. Selain itu, ada pengaruh kebijakan pemerintah
(government policy) yang mempengaruhi struktur dan perilaku dari suatu industri. Proses
timbal balik juga terjadi dimana perilaku dari agen-agen ekonomi mempengaruhi kebijakan
pemerintah. Terkait dengan konsentrasi pasar, ukuran dilakukan dengan melihat pangsa pasar
(market share) dari masing-masing badan usaha yang terlibat dari suatu industry, baik
product market maupun geographic market. Relevansi suatu produk dilihat dari elastisitasnya
apakah produk tersebut bersifat substitute atau complement.

Gambar 2.9 Model Struktur-Perilaku-Kinerja (SPK).

2.5 Perkembangan Sistem Ketenagalistrikan dan Regulasi

Pelayanan ketenagalistrikan di Indonesia sudah dimulai sejak jaman kolonial Belanda.


Pada tahun 1965 pemerintah membentuk perusahaan umum milik negara Perusahaan Listrik
Negara (Perum PLN), sebuah badan usaha yang memiliki tugas mengelola ketenagalistrikan
nasional. Selanjutnya peraturan pemerintah (PP) Nomor 17 tahun 1972 mengubah Perum
PLN menjadi PT. PLN, sekaligus melimpahkan kewenangan pembangunan ketenagalistrikan
pada PT. PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) untuk seluruh
wilayah Indonesia. Keputusan Presiden No. 37/1992 tentang Usaha Penyediaan Tenaga
Listrik oleh Swasta telah membuka kesempatan bagi pihak swasta untuk berpartisipasi dalam
penyedian tenaga listrik, terutama di sisi pembangkitan. Badan usaha Swasta dan Koperasi

27
dimungkinkan untuk berperan dalam penyediaan tenaga listrik baik pada proyek-proyek yang
ditentukan oleh Pemerintah maupun atas prakarsa sendiri. Peran serta badan usaha meliputi
pembangunan pembangkit listrik dan transmisi sertajaringan distribusi dengan skema
membangun, memiliki, dan mengoperasikan (build, own, operate/BOO). Beberapa ketentuan
khusus lainnya dalam peraturan tersebut diantaranya adalah (a) harga jual tenaga listrik,
harga sewa jaringan transmisi dan harga sewa jaringan distribusi dinyatakan dalam mata uang
rupiah; (b) usaha penyediaan tenaga listrik oleh swasta hanya dapat dilaksanakan dengan
pembiayaan tanpa jaminan Pemerintah; dan (c) Pemerintah memberikan fasilitas (insentif)
berupa pembebasan bea masuk dan pajak atas impor barang modal. Dengan demikian
Keppres dimaksud telah mengubah struktur industri ketenagalistrikan Indonesia dimana
konsep pembangkit listrik swasta (independent power producer) diperkenalkan. Namun
konsep tersebut tidak dapat berjalan dengan mulus akibat terjadinya krisis moneter pada akhir
dekade 90-an [12].
Selanjutnya pada tahun 2002, pemerintah (bersama DPR) mengesahkan UU 21/2002
tentang Ketenagalistrikan. UU ini mencoba merestrukturisasi sistem ketenagalistrikan
melalui pemisahan (unbundling) sub-sistem pembangkitan, transmisi, dan distribusi. Namun,
UU ini pun akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena dianggap melepas
kewenangan Negara atas komoditas yang penting (tenaga listrik). Pada tahun 2009 melalui
UU 30/2009 pemerintah sekali lagi mencoba melakukan restrukturisasi sistem
ketenagalistrikan. Fitur-fitur utama dari UU tersebut adalah: (a) dibukanya kesempatan badan
usaha (swasta, koperasi maupun BUMD) untuk membangun pembangkit listrik, transmisi,
distribusi, dan penjualan (retailer); (b) dibukanya kesempatan sebagai badan usaha
terintegrasi ketenagalistrikan selain PT. PLN; (c) dimungkinkannya tarif regional yang
ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan persetujuan DPRD; dan (d) PT. PLN tidak lagi
menjadi pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan (PKUK). Skema sederhana struktur industri
ketenagalistrikan sesuai dengan UU 30/2009.

28
Gambar 2.10 Struktur Ketenagalistrikan Sesuai UU 30 Tahun 2009.

Dalam kenyataannya, restrukturusisasi sebagaimana harapan UU 30/2009 masih jalan


di tempat. Peran PT. PLN masih sangat dominan bahkan tetap memonopoli penyediaan
tenaga listrik untuk kepentingan umum di seluruh Indonesia. Struktur industri
ketenagalistrikan di Indonesia yang sesungguhnya.

Gambar 2.11 Struktur ketenagalistrikan di Indonesia.

29
Pada akhir tahun 2016, UU 30/2009 kembali menghadapi tantangan dimana MK
memutuskan bahwa pasal 10 ayat 2 UU dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar (UUD) 1945, secara bersyarat tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, apabila
rumusan dalam Pasal 10 ayat 2 Undang-Undang ketenagalistrikan tersebut menjadi
dibenarkannya praktik unbundling dalam usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan
umum sedemikian rupa sehingga menghilangkan kontrol negara sesuai dengan prinsip
dikuasai negara. Hal serupa berlaku untuk pasal 11 ayat 1 UU yang sama.

2.6 Deregulated Market

Deregulated market ketenagalistrikan adalah sistem di mana sektor ketenagalistrikan


dibuka untuk persaingan dan tidak lagi diatur oleh pemerintah secara langsung. Dalam sistem
ini, perusahaan swasta memiliki kebebasan untuk memasuki pasar dan bersaing dalam
berbagai aspek industri ketenagalistrikan, termasuk pembangkitan, transmisi, distribusi, dan
penjualan energi listrik kepada konsumen. Berikut adalah beberapa karakteristik dan
komponen utama dalam deregulated market ketenagalistrikan:
1. Pembangkit Listrik
Dalam deregulated market, perusahaan swasta dapat memasuki pasar
pembangkitan listrik. Mereka dapat mengembangkan, memiliki, dan mengoperasikan
pembangkit listrik menggunakan berbagai sumber energi, termasuk tenaga panas,
tenaga air, tenaga nuklir, tenaga angin, dan energi terbarukan lainnya. Persaingan
dalam pembangkitan mendorong efisiensi, inovasi, dan penawaran harga yang lebih
kompetitif.
2. Transmisi dan Distribusi
Meskipun pasar ketenagalistrikan telah dideregulasi, sebagian besar negara
masih mempertahankan sistem transmisi dan distribusi yang terpusat dan diatur oleh
otoritas terkait. Ini bertujuan untuk memastikan keadilan, koordinasi, dan keamanan
jaringan listrik yang melibatkan berbagai pembangkit dan konsumen. Pemerintah atau
badan regulasi tetap bertanggung jawab dalam mengawasi aspek transmisi dan
distribusi untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan ketersediaan listrik yang
andal.
3. Penjualan dan Penyediaan Energi
Dalam deregulated market, konsumen dapat memilih penyedia energi listrik
mereka. Perusahaan energi listrik bersaing untuk menawarkan berbagai paket tarif,

30
kontrak, dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Hal ini memberikan
fleksibilitas kepada konsumen untuk memilih sumber energi, harga, dan kualitas
layanan yang mereka inginkan. Kompetisi antara perusahaan energi mendorong
inovasi dan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen.
4. Trading dan Bursa Energi
Dalam deregulated market, terdapat juga perdagangan energi listrik yang
dilakukan di bursa energi atau lewat kontrak bilateral antara perusahaan energi. Bursa
energi adalah tempat di mana penjual dan pembeli energi listrik dapat bertemu dan
melakukan transaksi. Melalui bursa energi, harga energi listrik ditentukan berdasarkan
kekuatan pasar dan permintaan serta penawaran.
5. Regulasi dan Pengawasan
Meskipun pasar ketenagalistrikan telah dideregulasi, pemerintah atau badan
regulasi tetap memiliki peran dalam mengatur dan mengawasi sektor ini. Mereka
memastikan adanya aturan dan kebijakan yang melindungi kepentingan publik,
termasuk perlindungan konsumen, keberlanjutan energi, keamanan jaringan, dan
persaingan yang sehat. Regulasi tetap diperlukan untuk menjaga keseimbangan antara
kepentingan bisnis dan kepentingan masyarakat.

Deregulated market ketenagalistrikan bertujuan untuk mendorong persaingan,


efisiensi, dan inovasi dalam sektor ketenagalistrikan. Dengan adanya persaingan, diharapkan
harga energi listrik dapat lebih kompetitif dan konsumen memiliki pilihan yang lebih baik.
Namun, implementasi deregulasi memerlukan perencanaan dan pengawasan yang cermat
agar kepentingan publik tetap terlindungi dan penyediaan energi listrik tetap andal dan
berkelanjutan.

2.7 Era Deregulasi Sistem Tenaga

Rektururisasi dan deregulasi pasar tenaga elektrik telah banyak dilakukan di banyak
negara dengan pemisahan komponen komponen sistem daya pada masing masing sektor yaitu
pembangkitan, transmisi dan distribusi [13-16]. Gelombang rektururisasi semula ini
dipelopori Chile (1986) dan Inggris (1990). Rektururisasi semula yang dilakukan oleh Inggris
bertujuan bagi memperoleh sumber dana baru melalui program privatisasi, memperkenalkan
adanya komptisi dalam indsutri kelistrikan, dan dapat memberikan rasa adil bagi semua
pengguna elektrik [17]. Adapun langkah-langkah yang telah ditempuh oleh Inggris dalam

31
penyusunan semula elektrik tersebut adalah: (a) Melakukan unbundling fungsi-fungsi
pembangkitan, transmisi dan pengdistribusi, (b) Mewujudkan pasaran elektrik kompetitif
dengan Pool (c). Persaingan pada sisi retail dilakukan sistem merit setiap komponen sistem
misalnya transmisi, pendistribusian, unit pengatut tegangan dan manajemen sistem seperti
hanya unit pembangkitan. Unbundling Fungsi yaitu Inggris melakukan pemisahan fungsi-
fungsi utama dalam sektor ketenagalistrikan. Fungsi-fungsi tersebut meliputi pembangkitan
(generation), transmisi, dan distribusi. Dengan pemisahan ini, perusahaan dapat fokus pada
area bisnis spesifik mereka dan meningkatkan efisiensi serta mendorong persaingan yang
sehat.
Pembentukan pasar listrik kompetitif (Pool) yaitu Inggris mewujudkan pasar listrik
kompetitif dengan mengenalkan sistem yang disebut "Pool". Sistem ini adalah suatu
mekanisme yang mengatur perdagangan energi listrik antara produsen dan pengecer. Pool
berfungsi sebagai pusat perdagangan energi listrik di mana harga energi ditentukan
berdasarkan permintaan dan penawaran. Ini mendorong persaingan dalam penentuan harga
dan efisiensi di sektor pembangkitan.
Persaingan pada sisi retail yaitu Inggris mendorong persaingan dalam sektor ritel
dengan menerapkan sistem merit untuk komponen-komponen sistem tertentu seperti
transmisi, distribusi, pengatur tegangan, dan manajemen sistem. Dalam sistem merit, unit-
unit pembangkitan bersaing berdasarkan biaya dan efisiensi, di mana unit-unit dengan biaya
produksi yang lebih rendah memiliki keunggulan dalam penawaran harga. Hal ini mendorong
efisiensi operasional dan memberikan keuntungan bagi konsumen dalam bentuk harga yang
lebih kompetitif.
Langkah-langkah yang diambil oleh Inggris ini bertujuan untuk menciptakan pasar
listrik yang kompetitif, meningkatkan efisiensi, memberikan pilihan yang lebih baik bagi
konsumen, dan mendorong inovasi dalam sektor ketenagalistrikan. Masing-masing
komponen sistem dikelolah secara bisnis yang mempunyai manajemen tersendiri yang juga
memerlukan persaingan dan melibatkan peserta pasaran dalam sistem daya yang telah
terderegulasi yang ditunjukkan pada Gambar 2.16. Oleh karena itu, dalam sistem pasar daya
elektrik yang modern dewasa ini, biaya elektrik sangat bergantung keadaan keseimbangan
pasokan daya elektrik dan permintaan daya bagi pelanggan. Biaya energi elektrik kemudian
dihitung dengan mempertimbangkan bagaiaman daya listrik dikirim dari sumber ke
pelanggan.

32
Gambar 2.16 Model deregulasi pasar energi elektrik.

Model deregulasi pasar energi elektrik menurut De Vries, 2012 pada Gambar 2.16,
yang dikelompokkan menjadi dua bagian utama yaitu secara fisik berupa kemudahan mulai
dari daya dibangkitkan hingga ke beban. Sedangkan bagian kedua merupakan pendukung
yang berkaitan masalah finansial (ekonomi) yang menetapkan model pasar energi listrik [18].
Faktor fisik adalah bagian pertama dari model ini berkaitan dengan aspek fisik dalam
penyediaan energi listrik dari pembangkitan hingga ke beban. Beberapa elemen yang
termasuk dalam faktor fisik ini antara lain:
1. Pembangkitan listrik
Model ini mengatur pembangkitan energi listrik dari berbagai sumber, seperti
tenaga panas, tenaga air, tenaga nuklir, tenaga angin, dan energi terbarukan lainnya.
Pembangkitan harus efisien, andal, dan sesuai dengan kebutuhan permintaan energi
listrik.
2. Transmisi
Faktor fisik juga mencakup sistem transmisi yang menghubungkan
pembangkit listrik dengan jaringan distribusi dan beban akhir. Infrastruktur transmisi

33
harus mampu mengirimkan energi listrik dari sumber pembangkit ke area beban
dengan kehilangan daya yang minimal.
3. Distribusi
Bagian ini berkaitan dengan jaringan distribusi yang menghubungkan jaringan
transmisi dengan konsumen akhir. Jaringan distribusi harus dapat mengirimkan energi
listrik dengan aman dan andal ke berbagai lokasi konsumen.

Faktor Ekonomi adalah bagian kedua dari model ini mencakup aspek finansial dan
ekonomi dalam operasi pasar energi listrik. Beberapa elemen yang termasuk dalam faktor
ekonomi ini meliputi:
1. Model Pasar
Model ini mencakup mekanisme perdagangan energi listrik, penetapan harga,
dan persaingan di pasar. Model pasar ini dapat berupa pasar bebas, di mana harga
energi ditentukan oleh permintaan dan penawaran, atau dapat melibatkan lembaga
yang mengatur harga energi.
2. Regulasi dan Kebijakan
Faktor ekonomi juga melibatkan regulasi dan kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah atau badan regulasi. Regulasi ini meliputi pengawasan, penetapan tarif,
perlindungan konsumen, dan keberlanjutan energi.
3. Investasi dan Keuangan
Faktor ekonomi juga mencakup masalah investasi dan keuangan dalam sektor
energi listrik. Investasi yang diperlukan untuk pembangunan infrastruktur dan
pembangkit listrik harus didukung oleh kebijakan yang menguntungkan dan kepastian
pasar.

Dalam model ini, faktor fisik dan faktor ekonomi saling terkait dan saling
mempengaruhi dalam menciptakan pasar energi listrik yang efisien, andal, dan berkelanjutan.
faktor fisik dan faktor ekonomi saling terkait dan saling mempengaruhi dalam menciptakan
pasar energi listrik yang efisien, andal, dan berkelanjutan. Berikut ini adalah beberapa
hubungan antara faktor fisik dan faktor ekonomi dalam model deregulasi pasar energi listrik.
Efisiensi operasional adalah faktor fisik yang mencakup pembangkitan, transmisi, dan
distribusi energi listrik mempengaruhi efisiensi operasional secara keseluruhan.
Pembangkitan listrik yang efisien dan andal akan menghasilkan pasokan energi yang
memadai, sedangkan transmisi dan distribusi yang efisien akan mengurangi kerugian daya

34
dan pemadaman yang tidak diinginkan. Efisiensi operasional ini berkontribusi pada
kestabilan pasokan energi listrik dan mengurangi biaya operasional.
Keandalan jaringan adalahf aktor fisik dalam penyediaan energi listrik yang meliputi
transmisi dan distribusi mempengaruhi keandalan jaringan. Infrastruktur transmisi dan
distribusi yang baik, termasuk pemeliharaan yang tepat, pemantauan yang akurat, dan
perencanaan yang baik, akan meningkatkan keandalan jaringan. Hal ini penting untuk
menghindari gangguan pasokan energi dan menjaga ketersediaan energi yang stabil bagi
konsumen.
Penetapan harga adalah faktor ekonomi dalam model pasar energi listrik mencakup
mekanisme penetapan harga. Harga energi listrik dapat dipengaruhi oleh biaya produksi,
permintaan dan penawaran, serta faktor ekonomi lainnya. Faktor fisik seperti biaya
pembangkitan, biaya transmisi, dan biaya distribusi berkontribusi pada penetapan harga
energi listrik. Efisiensi operasional yang baik dalam faktor fisik dapat membantu mengurangi
biaya produksi, sehingga mempengaruhi harga yang ditawarkan kepada konsumen.
Investasi dan pengembangan adalah faktor fisik dan faktor ekonomi juga saling terkait
dalam hal investasi dan pengembangan infrastruktur energi listrik. Faktor fisik yang
mencakup pembangkitan, transmisi, dan distribusi membutuhkan investasi yang signifikan
untuk memperluas, memperbaiki, atau memodernisasi infrastruktur. Faktor ekonomi, seperti
kebijakan dan regulasi yang mengatur pasar energi listrik, dapat mempengaruhi kepastian
investasi dan menarik minat investor. Dalam hal ini, hubungan antara faktor fisik dan faktor
ekonomi berperan penting dalam menciptakan lingkungan investasi yang menguntungkan.
Dengan adanya keterkaitan dan saling pengaruh antara faktor fisik dan faktor ekonomi,
regulasi dan kebijakan yang tepat perlu diterapkan untuk menciptakan pasar energi listrik
yang efisien, andal, dan berkelanjutan. Dalam rangka mencapai tujuan ini, penting untuk
mengoptimalkan pengaturan fisik serta kebijakan ekonomi yang mempromosikan efisiensi,
inovasi, dan keberlanjutan dalam sektor ketenagalistrikan.

2.8 Sistem Ketenagalistrikan Dunia

Amerika Serikat mulai merestrukturisasi sistem ketenagalistrikannya sekitar 4 dekade


lalu melalui Public Utility Regulatory Policy Act (PURPA, 1978) dimana Federal Energy
Regulatory Comission (FERC) menciptakan kategori baru untuk produsen tenaga listrik yang
disebut qualifying facilities (QF) dan independent power producer (IPP). Restrukturisasi
dilanjutkan pada tahun 1992 melalui Energy Policy Act (EPA) dimana harga energi listrik di

35
sisi pembangkitan menggunakan harga pasar (market pricing) atau tidak lagi menggunakan
cost-based pricing. Selanjutnya, FERC melalui Order 888/889 (1996) dan Order 2000 (1999)
melakukan restrukturisasi dengan mengamanatkan bahwa jaringan transmisi harus dibuka ke
semua pihak dengan pemisahan (unbundling) tarif untuk pembangkitan, transmisi, dan
ancillary services. Selain itu diamanatkan pembentukan independent sistem operator (ISO)
atau regional transmission organization (RTO) sebagai pelaksana sistem transmisi yang
independen. Dibukanya jaringan transmisi melalui Order 888/889, FERC mengamanatkan
bahwa jaringan transmisi harus dibuka bagi semua pihak. Artinya, pemilik jaringan transmisi
harus memberikan akses yang setara kepada produsen listrik, distributor, dan pengecer.
Langkah ini bertujuan untuk mendorong persaingan sehat dan efisiensi dalam penyediaan
energi listrik. Pemisahan tarif yaitu FERC juga memerintahkan pemisahan (unbundling) tarif
untuk pembangkitan, transmisi, dan layanan pendukung (ancillary services). Dengan
memisahkan tarif ini, FERC berupaya menciptakan transparansi dalam biaya dan memastikan
bahwa setiap komponen sistem dikenai tarif yang adil dan berdasarkan biaya sebenarnya.
Pembentukan Independent System Operator (ISO) atau Regional Transmission Organization
(RTO) yaitu FERC mewajibkan pembentukan ISO atau RTO sebagai pelaksana sistem
transmisi yang independen. ISO atau RTO bertanggung jawab untuk mengelola dan
mengoperasikan jaringan transmisi secara efisien, adil, dan tidak diskriminatif. Mereka
mengawasi aliran energi listrik, menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan, serta
memfasilitasi perdagangan energi listrik antarpihak.
Langkah-langkah ini bertujuan untuk mengurangi kendala akses dan memfasilitasi
persaingan dalam sektor ketenagalistrikan di Amerika Serikat. Dengan membuka akses ke
jaringan transmisi, memisahkan tarif, dan memperkenalkan ISO atau RTO, FERC berharap
dapat menciptakan lingkungan yang lebih kompetitif, efisien, dan berkeadilan dalam
penyediaan energi listrik. Dengan demikian, konsumen tidak lagi tergantung pada pada
supplier unggal namun memiliki kebebasan untuk memilih dari berbagai supplier. Peran ISO
menjadi sangat penting selain menjaga keandalan sistem juga sebagai tempat bertemunya
penjual dan pembeli (market place). Pada tahap awal, konsumen yang memiliki hak untuk
memilih supplier energi terbatas hanya untuk distributor namun sekarang telah berkembang
dengan memasukkan konsumen tertentu sebagai konsumen yang berhak memilih (tingkar
retailer). Hasil dari proses penyempurnaan regulasi tersebut adalah terbentuknya tujuh
RTO/ISO yaitu PJM interconnection, Southwest Power Pool (SPP) dan Electric Reliability
Council of Texas (ERCOT), Californa ISO, Midwest ISO, New York ISO, dan New England

36
ISO. Di sisi distribusi terdapat sekitar 3.170 Public Utilities yang berada di bawah
pengawasan regulator di tingkat negara bagian (state level).
Jepang sampai tahun 1995 menganut sistem single buyer, dimana sepuluh perusahaan
penyedia listrik regional (electric power company/EPCO) yang dibentuk dari perusahaan
distribusi menyediakan listrik ke seluruh penduduk di wilayah masing-masing dengan tarif
yang diatur pemerintah. Untuk itu, perusahaan tersebut diberikan hak monopoli dan
monopsoni. Sembilan perusahaan yaitu Hokkaido EPCO, Tohoku EPCO, Tokyo EPCO
(TEPCO), Hokuriku EPCO, Chubu EPCO, Kansai EPCO (KEPCO), Chugoku EPCO,
Shikoku EPCO, dan Kyushu EPCO dibentuk pada tahun 1951, sementara Okinawa EPCO
dibentuk tahun 1972. Restrukturisasi sistem ketenagalistrikan di Jepang kembali dilakukan
pada tahun 2002 dimana extra-high voltage customers dengan konsumsi di atas 20 kV
diliberalisasi. Hal ini berarti struktur pasar telah berubah menjadi retail competition yaitu
konsumen (dalam kategori tertentu) diberikan hak untuk memilih suplier yang sesuai.
Kesempatan bagi pendatang baru (new entries) di sisi retail mulai dibuka, namun monopoli
(oleh EPCO) tetap dipertahankan, namun jaringan transmisi dibuka untuk seluruh pengguna
(open access). Pembukaan sisi retail terus dilakukan; sampai dengan saat ini yang
diliberalisasi adalah (1) konsumen tegangan tinggi (6 kV) dengan konsumsi 500 kW atau
lebih dan (2) seluruh konsumen tegangan tinggi dengan konsumsi 50kW atau lebih. Sebagai
bagian dari restrukturisasi, dibentuk dua lembaga baru yaitu Electric Power Sistem Council
of Japan (ESCJ) dan Japan Electric Power Exchange (JPEX). ESCJ dibentuk pada tahun
2004 untuk memastikan terjaganya prinsip keadilan dan transparansi di sisi transmisi dan
distribusi yang masih dikuasai EPCO. Tugas dari ESJC itu sendiri adalah memformulasikan
aturan-aturan baku dan juga memonitor pasar serta menangani perselisihan yang mungkin
timbul. Sedangkan
JPEX dibentuk pada tahun 2003 yang dimaksudkan untuk menjalankan pasar jual beli tenaga
listrik wholesale [12].

37
Gambar 2.12 Struktur ketenagalistrikan di Jepang.

2.9 Pengalaman Deregulasi Negara Eropa

Deregulasi Sistem tenaga listrik Inggris dan Wales sebagai pelopor di Eropa di mana
privatisasi dan restrukturisasi melalui UU Listrik 1989. Norwegia menyusul dengan
diterapkannya Undang-Undang Energi 1990. Selanjutya mengikut negara-negara Skandinavia
lainnya dan Finlandia pada tahun 1990-an. Sementara itu, Spanyol dan Belanda masing-
masing juga membangun pasar yang kompetitif penuh pada tahun 1998 dan 1999. Jerman
telah pula memperkenalkan sistem akses eceran penuh, tetapi unsur-unsur tertentu sebelum
pasar Jerman bersifat kompetitif adalah tetap sama. Disisi lain, Dewan Uni Eropa
mengeluarkan Petunjuk Pasar Listrik tahun 1996 (96/92 / EC) yang menetapkan tujuan untuk
pembukaan bertahap dari pasar listrik untuk semua negara anggota.
Industri listrik di Inggris telah mengalami dua perubahan radikal: privatisasi hampir
semua perusahaan listrik dan pengenalan kompetisi. Perubahan kepemilikan itu sendiri
memiliki dampak besar pada industri, yang menghabiskan 40 tahun di sektor publik. Lebih
penting lagi, seluruh industri telah secara fundamental mengalami restrukturisasi. Hal ini
dilakukan dengan sejumlah tujuan dalam harapan, yaitu penciptaan pasar listrik yang
kompetitif; kemandirian finansial dari Pemerintah; kepemilikan saham yang lebih luas; dan
keterlibatan yang lebih besar bagi karyawan dalam keberhasilan masa depan perusahaan
tempat mereka bekerja. Untuk memudahkan persaingan, sistem direstrukturisasi di UK

38
meliputi pembangkit, transmisi, distribusi dan pasokan di Inggris dan Wales , dan dalam
sistem Irlandia Skotlandia utara.
Sebelum kompetisi diperkenalkan di UK , struktur listrik dari industri nasional di
Inggris dan Wales didominasi oleh satu pembangkit dan transmisi perusahaan besar, Central
Electricity Generating Board (CEGB), yang terjual listrik dalam jumlah besar untuk 12
papan distribusi wilayah, yang masing-masing disajikan area supply tertutup atau waralaba.
Sebuah badan koordinasi, Dewan Listrik, berurusan dengan masalah kebijakan secara
keseluruhan. Struktur ini dilihat sebagai monopoli pemerintah dikendalikan. Beberapa tahun
sebelum tahun 1990, opini publik dan kekuatan politik mulai critising monopoli ini
dikendalikan dan diundang untuk memprivatisasi industri listrik, termasuk privatisasi stasiun
nuklir. Gerakan ini berakhir melalui UU Listrik pada tahun 1989, yang disebut transisi
kepemilikan industri listrik dari pemerintah kepada investor swasta. Pada bulan April 1990,
pemerintah memperkenalkan empat perubahan secara bersamaan: privatisasi, persaingan
dalam generasi, persaingan dalam pasokan dan harga spot. Pusat Pembangkit Listrik Dewan
rusak menjadi empat entitas: The pembangkit listrik dibagi antara dua generator fosil-dipecat
besar, Tenaga Nasional dan PowerGen, dan generator milik pemerintah, Nuklir listrik.
Kepemilikan dan pengoperasian sistem transmisi dipindahkan ke yang baru dibuat Nasional
Grid Perusahaan (NGC), yang diberi kewenangan khusus untuk memfasilitasi persaingan di
generasi dan pasokan listrik. NGC juga diberi tanggung jawab untuk mengelola penyelesaian
keuangan menyusul perdagangan listrik di pasar yang kompetitif grosir melalui NGC
Settlement Ltd Sementara itu, Inggris & Wales telah berpengalaman dengan dua pengaturan
perdagangan listrik yang berbeda karena pada saat restrukturisasi. Pro dan kontra dari ini
pengaturan perdagangan, yaitu Poolco.
Ide deregulasi dimulai pada tahun 1997, ketika ada evaluasi pengaturan Sistem Pool
yang ditemukan tidak memuaskan, tidak kompetitif dan rentan terhadap manipulasi. Di
bawah NETA, energi listrik diperdagangkan melalui kontrak bilateral juga diperdagangkan
pada Sistem pasar berjangka dan melalui pertukaran daya. Selain itu, NETA juga membantu
NGC untuk memastikan permintaan pasokan terpenuhi setiap saat dan mengindentifikasi
semua pelaku baik yang surplus atau defisit energi listrik. Selama tahun pertama NETA
beroperasi, dilaporkan bahwa pengaturan ini telah bernasib dalam tiga ukuran kinerja utama
seperti likuiditas dan transparansi pasar grosir, perkembangan harga grosir dan eceran dan
menyeimbangkan kinerja. NETA saat ini hanya berlaku di Inggris dan Wales akan diganti
dengan Perdagangan Inggris Listrik dan Pengatur Transmission yang telah dilaksanakan pada
bulan April 2005. Skotlandia akan dimasukkan dalam pengaturan ini.

39
Dalam kontrak bilateral antara generator dan pelanggan harus diserahkan kepada
opetrator system pada sisi pembangkit. Kontrak disampaikan di titik sambung terdekat
membentuk Pemberitahuan Fisik Akhir (FPN), yang merupakan jumlah semua perdagangan
bilateral antara pihak. Dalam transaksi ini, adalah tanggung jawab peserta pasar untuk
memastikan transaksi mereka tidak menyebabkan masalah keamanan. Setiap transaksi yang
menyebabkan masalah akan ditolak oleh SO. Namun, jika masalah keamanan terjadi setelah
gerbang penutupan, SO akan mengamankan sistem menggunakan sumber daya BM. Biaya
yang terjadi diperlakukan sebagai bagian dari TSUoS (Transmisi Penggunaan Sistem) biaya,
yang termasuk dalam BSUoS (Balancing Jasa Penggunaan Sistem) biaya. Generator dan
beban berbagi biaya ini pada 50-50 dasar. biaya tersebut kemudian dialokasikan untuk
peserta pasar pada pro-rata, berdasarkan meteran mereka konsumsi dan dibangkitkan.

2.10 Economic Dispatch

Economic dispatch adalah konsep dalam operasi sistem tenaga listrik yang melibatkan
penentuan alokasi optimal sumber daya pembangkit yang tersedia untuk memenuhi
permintaan listrik sambil meminimalkan biaya produksi secara keseluruhan. Ini adalah
komponen penting dalam operasi sistem tenaga listrik yang efisien dan ekonomis. Tujuan
dari economic dispatch adalah untuk menemukan cara yang paling hemat biaya dalam
menghasilkan listrik dengan memanfaatkan sumber daya pembangkit yang tersedia, dengan
mempertimbangkan faktor seperti biaya bahan bakar, batasan operasional, pembatasan
transmisi, dan persyaratan keandalan sistem. Keputusan dispatch biasanya dibuat oleh
operator sistem atau pusat dispatch, yang bertanggung jawab untuk menyeimbangkan
pasokan dan permintaan listrik secara real-time. Proses economic dispatch melibatkan
langkah-langkah berikut:
1. Peramalan Permintaan
Langkah pertama adalah meramalkan permintaan listrik yang diharapkan
selama periode waktu tertentu. Hal ini membantu dalam menentukan kapasitas
pembangkitan yang diperlukan untuk memenuhi beban.
2. Pemodelan Sumber Daya Pembangkit
Sumber daya pembangkit yang tersedia, termasuk pembangkit listrik termal,
pembangkit listrik hidro, pembangkit listrik tenaga angin, pembangkit listrik tenaga
surya, dll., dimodelkan dengan karakteristik masing-masing seperti biaya operasional,

40
tingkat perubahan produksi, batas produksi minimum dan maksimum, dan waktu
start-up/shut-down.
3. Fungsi Biaya dan Batasan
Setiap sumber daya pembangkit dikaitkan dengan fungsi biaya yang
mencerminkan hubungan antara produksi pembangkitan dan biaya yang terkait,
biasanya termasuk biaya bahan bakar, biaya operasional variabel, dan biaya start-up.
Fungsi biaya juga mempertimbangkan batasan operasional seperti batasan perubahan
produksi, tingkat produksi minimum yang stabil, dan pembatasan transmisi.
4. Algoritma Optimisasi
Algoritma optimisasi digunakan untuk menyelesaikan masalah economic
dispatch dan menentukan produksi optimal untuk setiap sumber daya yang tersedia.
Tujuan optimisasi adalah meminimalkan total biaya pembangkitan sambil memenuhi
permintaan dan batasan operasional.
5. Solusi dan Instruksi Dispatch
Setelah algoritma optimisasi mencapai konvergensi, itu memberikan solusi
dispatch optimal yang menentukan produksi untuk setiap sumber daya. Instruksi
dispatch kemudian dikomunikasikan ke pusat kendali pembangkit listrik terkait untuk
dilaksanakan.
6. Pemantauan dan Penyesuaian Real-Time
Selama operasi real-time, operator sistem secara terus-menerus memantau
produksi, beban, dan parameter sistem lainnya. Setiap penyimpangan dari rencana
dispatch ditangani melalui tindakan kontrol, seperti menyesuaikan produksi,
mengaktifkan cadangan, atau menerapkan langkah tanggapan permintaan.

Dengan mengoptimalkan economic dispatch, operator sistem tenaga listrik dapat


meminimalkan biaya pembangkitan, mengurangi ketergantungan pada sumber daya
pembangkit yang mahal, dan mendorong pemanfaatan yang efisien dari sumber daya yang
tersedia. Economic dispatch membantu mencapai keseimbangan antara hemat biaya,
keandalan, dan pertimbangan lingkungan dalam operasi sistem tenaga listrik. Minimalkan
biaya pembangkitan yaitu dengan menganalisis dan memperhitungkan faktor biaya yang
terkait dengan setiap sumber daya pembangkit, economic dispatch membantu operator sistem
menentukan alokasi yang paling efisien dari sumber daya yang tersedia. Dengan demikian,
biaya pembangkitan dapat diminimalkan, menghasilkan penghematan yang signifikan dalam
operasi sistem tenaga listrik.

41
Kurangi ketergantungan pada sumber daya pembangkit yang mahal yaitu economic
dispatch memungkinkan operator sistem untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya
pembangkit yang berbeda-beda. Dengan mengalokasikan sumber daya yang paling efisien
dan hemat biaya, operator sistem dapat mengurangi ketergantungan pada sumber daya
pembangkit yang mahal atau berbiaya tinggi, seperti pembangkit listrik yang menggunakan
bahan bakar fosil yang mahal atau bahan bakar fosil beremisi tinggi. tingkatkan efisiensi
penggunaan sumber daya yaitu dengan melakukan pengaturan yang optimal dalam economic
dispatch, operator sistem dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya yang
tersedia. Hal ini berarti bahwa setiap unit pembangkit akan bekerja pada tingkat produksi
yang lebih efisien, memaksimalkan output listrik yang dihasilkan dengan menggunakan
jumlah bahan bakar yang minimal.
Dukung keandalan sistem economic dispatch memperhitungkan batasan operasional
dan persyaratan keandalan sistem dalam alokasi sumber daya pembangkit. Dengan
memastikan pemenuhan permintaan listrik yang stabil dan mempertimbangkan kemampuan
sistem untuk menangani situasi darurat atau kegagalan peralatan, economic dispatch
membantu menjaga keandalan sistem tenaga listrik secara keseluruhan. Pertimbangan
lingkungan yiatu dalam proses economic dispatch, operator sistem dapat memasukkan faktor-
faktor lingkungan seperti emisi gas rumah kaca dan dampak lingkungan lainnya. Dengan
mempertimbangkan dampak lingkungan dalam pengambilan keputusan dispatch, operator
sistem dapat memprioritaskan penggunaan sumber daya yang lebih bersih dan ramah
lingkungan, seperti pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Secara keseluruhan,
economic dispatch merupakan alat penting dalam menjalankan sistem tenaga listrik secara
efisien, ekonomis, dan berkelanjutan. Dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya
pembangkit, operator sistem dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara biaya,
keandalan, dan pertimbangan lingkungan dalam memenuhi permintaan listrik yang terus
meningkat.

2.11 Distributor Company

Distributor Company (DisCo) atau perusahaan distribusi adalah perusahaan yang


bertanggung jawab untuk mendistribusikan listrik dari jaringan transmisi ke pelanggan akhir
atau konsumen. Tugas utama dari DisCo adalah mengoperasikan, memelihara, dan mengelola
jaringan distribusi yang mencakup gardu distribusi, saluran distribusi, dan metering.
Perusahaan distribusi bertindak sebagai penghubung antara produsen listrik dan pelanggan

42
akhir. Mereka menerima daya listrik dari pembangkit melalui jaringan transmisi dan
mendistribusikannya ke rumah tangga, bisnis, dan industri melalui jaringan distribusi mereka
sendiri. DisCo juga bertanggung jawab untuk membaca meter, menghitung tagihan, dan
memberikan layanan pelanggan kepada konsumen. Tugas dan tanggung jawab utama
perusahaan distribusi meliputi:
1. Operasi dan Pemeliharaan Jaringan Distribusi
DisCo bertanggung jawab untuk menjaga kinerja yang baik dari jaringan
distribusi listrik. Mereka melakukan operasi rutin seperti pemantauan, perawatan, dan
perbaikan jaringan untuk memastikan kelancaran aliran listrik dan menghindari
pemadaman yang tidak terduga.
2. Pemasangan dan Pemeliharaan Meter
DisCo memasang dan memelihara meter di rumah pelanggan untuk mengukur
konsumsi listrik. Mereka membaca meter secara berkala untuk menghitung
penggunaan listrik dan menghasilkan tagihan yang akurat untuk pelanggan.
3. Penyediaan Layanan Pelanggan
Perusahaan distribusi menyediakan layanan pelanggan yang meliputi
penanganan keluhan, pelayanan pemutusan dan penyambungan listrik, penanganan
perubahan alamat atau nama pelanggan, dan memberikan informasi mengenai tagihan
dan penggunaan listrik kepada pelanggan.
4. Perencanaan dan Pengembangan Jaringan Distribusi
DisCo juga terlibat dalam perencanaan dan pengembangan jaringan distribusi
sesuai dengan pertumbuhan permintaan listrik. Mereka melakukan studi untuk
memperkirakan kebutuhan jaringan baru, mengatur penambahan gardu distribusi, dan
memperluas jaringan distribusi guna memenuhi kebutuhan pelanggan baru.
5. Kepatuhan Regulasi
Perusahaan distribusi harus mematuhi peraturan dan kebijakan yang
ditetapkan oleh badan regulasi ketenagalistrikan setempat atau nasional. Mereka harus
menjalankan operasi mereka sesuai dengan standar keselamatan, keandalan, dan
efisiensi yang ditetapkan. Dalam beberapa negara, industri distribusi listrik dapat
mengalami restrukturisasi atau deregulasi, yang memungkinkan adanya lebih dari satu
perusahaan distribusi yang bersaing di wilayah yang sama. Namun, di negara lain,
distribusi listrik masih dijalankan oleh satu perusahaan tunggal yang diatur oleh badan
regulasi.

43
Sistem industri distribusi listrik dapat mengalami restrukturisasi atau deregulasi di
berbagai negara, dengan skenario yang berbeda tergantung pada kebijakan dan regulasi
setempat. Berikut adalah dua model yang umum ditemui, yaitu pertama model deregulasi
atau persaingan adalah model industri distribusi listrik mengalami deregulasi, yang
memungkinkan adanya lebih dari satu perusahaan distribusi yang bersaing di wilayah yang
sama. Dalam lingkungan ini, perusahaan distribusi bersaing untuk melayani pelanggan dan
menjalankan operasi jaringan distribusi mereka sendiri. Persaingan ini diharapkan akan
mendorong efisiensi, inovasi, dan pilihan yang lebih baik bagi pelanggan. Biasanya, ada
badan regulasi yang mengawasi persaingan ini dan memastikan kepatuhan terhadap aturan
yang berlaku.
Kedua adalah model monopoli teratur adalah industri distribusi listrik masih
dijalankan oleh satu perusahaan tunggal yang diatur oleh badan regulasi. Dalam model ini,
perusahaan distribusi memiliki monopoli atas penyediaan listrik di wilayah tertentu.
Perusahaan tersebut bertanggung jawab untuk melayani pelanggan dan menjalankan operasi
jaringan distribusi dengan mengikuti aturan dan regulasi yang ditetapkan oleh badan regulasi.
Tujuan dari model ini adalah memastikan keandalan pasokan listrik, menjaga harga yang
wajar, dan memenuhi standar layanan yang ditetapkan.
Pilihan antara model persaingan atau monopoli teratur bergantung pada sejumlah
faktor, termasuk kebijakan pemerintah, karakteristik pasar, dan tujuan yang ingin dicapai.
Beberapa negara mungkin memilih untuk menerapkan restrukturisasi dan membuka industri
distribusi untuk persaingan dengan harapan meningkatkan efisiensi dan kepuasan pelanggan.
Di sisi lain, negara lain mungkin memilih untuk mempertahankan model monopoli teratur
untuk menjaga stabilitas dan pengawasan yang ketat terhadap industri distribusi listrik.
Tujuan utama dari kedua model tersebut tetap sama, yaitu memastikan pasokan listrik yang
andal, efisien, dan terjangkau bagi pelanggan. Meskipun ada perbedaan dalam struktur dan
mekanisme operasional, baik model persaingan maupun monopoli teratur bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan energi listrik masyarakat dengan standar yang ditetapkan.

2.12 Generating Company

GENCO adalah singkatan dari "Generating Company" atau perusahaan pembangkit


listrik. GENCO adalah perusahaan yang bertanggung jawab untuk menghasilkan atau
membangkitkan energi listrik dari berbagai jenis sumber daya, seperti pembangkit listrik
tenaga termal (batubara, gas, minyak), pembangkit listrik tenaga air, pembangkit listrik

44
tenaga surya, pembangkit listrik tenaga angin, dan lain-lain. Tugas utama GENCO adalah
memproduksi listrik dengan menggunakan sumber daya yang ada. Mereka beroperasi dan
memelihara pembangkit listrik serta memastikan ketersediaan daya yang memadai untuk
memenuhi permintaan listrik dari distributor atau pelanggan akhir. GENCO dapat memiliki
satu atau beberapa pembangkit listrik di berbagai lokasi. Peran dan tanggung jawab utama
GENCO meliputi:
1. Operasi Pembangkitan Listrik
GENCO bertanggung jawab untuk mengoperasikan pembangkit listrik secara
efisien dan aman. Mereka menjaga kinerja dan ketersediaan pembangkit listrik serta
mengoptimalkan produksi listrik dengan mempertimbangkan faktor seperti
permintaan, bahan bakar, biaya operasional, dan keandalan sistem.
2. Perawatan dan Perbaikan
GENCO melakukan perawatan rutin dan perbaikan pada pembangkit listrik
untuk memastikan kinerja yang optimal dan mencegah gangguan dalam produksi
listrik. Hal ini mencakup pemeliharaan mesin, sistem kontrol, turbin, generator, dan
komponen lainnya.
3. Pengadaan Bahan Bakar
GENCO mengelola pengadaan bahan bakar yang diperlukan untuk
mengoperasikan pembangkit listrik termal, seperti batubara, gas, minyak, atau bahan
bakar lainnya. Mereka menjaga pasokan bahan bakar yang stabil dan efisien, serta
mengelola persediaan bahan bakar untuk menghindari gangguan dalam operasi.
4. Pengaturan Beban
GENCO bertanggung jawab untuk mengatur produksi listrik sesuai dengan
permintaan dan kebutuhan sistem. Mereka bekerja sama dengan distributor atau
operator sistem untuk memastikan pasokan listrik yang memadai untuk memenuhi
beban listrik yang berubah-ubah.
5. Pemeliharaan dan Peningkatan Pembangkit
GENCO melakukan penelitian dan pengembangan untuk meningkatkan
efisiensi dan kinerja pembangkit listrik. Mereka dapat melakukan investasi dalam
teknologi baru, peningkatan kapasitas, atau penggunaan sumber daya yang lebih
bersih dan ramah lingkungan.
6. Kepatuhan Regulasi
GENCO harus mematuhi peraturan, kebijakan, dan standar yang ditetapkan
oleh badan regulasi ketenagalistrikan setempat atau nasional. Mereka harus

45
menjalankan operasi pembangkitan listrik sesuai dengan persyaratan lingkungan,
keselamatan kerja, dan standar keandalan yang ditetapkan.

Perusahaan GENCO dapat beroperasi secara terpisah atau menjadi bagian dari
perusahaan energi yang lebih besar yang juga memiliki sektor distribusi dan transmisi.
GENCO berperan penting dalam memastikan pasokan listrik yang andal, efisien, dan
berkelanjutan kepada masyarakat. perusahaan GENCO dapat beroperasi secara mandiri
sebagai entitas terpisah atau menjadi bagian dari perusahaan energi yang lebih besar yang
memiliki sektor distribusi dan transmisi. Struktur perusahaan GENCO dapat bervariasi
tergantung pada kebijakan dan regulasi yang berlaku di suatu negara atau wilayah.
Ketika GENCO menjadi bagian dari perusahaan energi yang lebih besar, biasanya
terdapat integrasi vertikal dalam rantai pasokan listrik. Ini berarti perusahaan tersebut
memiliki kendali atas berbagai tahapan produksi, distribusi, dan transmisi energi listrik.
Integrasi vertikal memungkinkan perusahaan energi untuk mengoptimalkan operasi mereka
secara keseluruhan. Perusahaan dapat mengelola pembangkit listrik, distribusi energi, dan
transmisi dalam satu entitas yang terkoordinasi dengan baik. Hal ini dapat membantu dalam
mencapai efisiensi operasional, koordinasi yang lebih baik antara berbagai bagian bisnis, dan
meminimalkan kerugian daya dalam proses transfer energi.
Perusahaan GENCO, baik yang beroperasi secara independen maupun yang
terintegrasi, memainkan peran penting dalam memastikan pasokan listrik yang andal, efisien,
dan berkelanjutan kepada masyarakat. Mereka bertanggung jawab untuk memproduksi listrik
dengan menggunakan sumber daya yang tersedia, mengelola operasi pembangkitan dengan
efisiensi, melakukan perawatan dan perbaikan yang diperlukan, serta memenuhi persyaratan
regulasi dan standar lingkungan. Dalam era transisi energi menuju sumber daya yang lebih
bersih dan ramah lingkungan, perusahaan GENCO juga berperan dalam mengintegrasikan
energi terbarukan ke dalam portofolio pembangkitan mereka. Mereka dapat
menginvestasikan dalam teknologi energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya,
tenaga angin, atau energi hidroelektrik untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya
fosil dan mengurangi dampak lingkungan negatif. Secara keseluruhan, perusahaan GENCO
berperan penting dalam menyediakan pasokan listrik yang handal, efisien, dan berkelanjutan
kepada masyarakat. Dengan mengoptimalkan operasi mereka, mengadopsi teknologi yang
lebih bersih, dan mematuhi regulasi yang berlaku, mereka berkontribusi pada transformasi
sektor energi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.

46
2.13 Ramp Rate Pembangkit

Ramp rate pembangkit adalah tingkat perubahan produksi daya pembangkit listrik
dalam jangka waktu tertentu. Hal ini mengacu pada kemampuan pembangkit untuk
meningkatkan atau menurunkan produksi listrik dengan cepat sesuai dengan kebutuhan
sistem.
Ramp rate penting karena adanya fluktuasi permintaan listrik sepanjang hari. Pada saat
permintaan meningkat, pembangkit harus dapat meningkatkan produksi daya secara cepat
untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Sebaliknya, saat permintaan menurun, pembangkit
harus dapat menurunkan produksi daya dengan cepat agar tidak menghasilkan kelebihan
produksi yang tidak diperlukan. Tingkat ramp rate yang tinggi menunjukkan kemampuan
pembangkit untuk menyesuaikan produksi daya secara cepat. Hal ini dapat dicapai dengan
menggunakan teknologi pembangkit yang responsif dan sistem kontrol yang canggih.
Contohnya, pembangkit listrik tenaga gas alam atau pembangkit listrik tenaga surya memiliki
ramp rate yang relatif tinggi, karena mereka dapat mengubah produksi daya dengan cepat
sesuai dengan fluktuasi pasokan bahan bakar atau intensitas sinar matahari.
Ramp rate yang tinggi memungkinkan sistem tenaga listrik untuk mengatasi
perubahan permintaan dengan lebih efisien dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya.
Hal ini membantu menjaga kestabilan sistem, menghindari pemadaman atau kelebihan
produksi, dan mengurangi biaya operasional yang terkait dengan penyesuaian produksi daya.
Namun, ramp rate yang terlalu tinggi juga dapat menimbulkan tantangan. Misalnya, jika
ramp rate terlalu tinggi, pembangkit mungkin menghadapi tekanan yang berlebihan pada
peralatan dan mesin, yang dapat mengurangi masa pakai mereka atau meningkatkan risiko
kerusakan. Oleh karena itu, penting bagi operator sistem tenaga listrik untuk melakukan
perencanaan dan pengendalian yang cermat dalam mengatur ramp rate agar tetap dalam batas
yang aman dan sesuai dengan karakteristik pembangkit. Dalam kesimpulannya, ramp rate
pembangkit adalah tingkat perubahan produksi daya pembangkit listrik dalam jangka waktu
tertentu. Tingkat ramp rate yang tinggi memungkinkan pembangkit untuk menyesuaikan
produksi daya dengan cepat sesuai dengan fluktuasi permintaan. Hal ini penting untuk
menjaga kestabilan sistem tenaga listrik dan mengoptimalkan penggunaan sumber daya.

47
Namun, ramp rate yang terlalu tinggi juga memerlukan perencanaan dan pengendalian yang
hati-hati untuk menjaga keandalan dan keamanan operasi pembangkit.

2.14 Algoritma Lamda Iteration

Algoritma Lambda Iteration, juga dikenal sebagai Metode Newton-Raphson


Modifikasi atau Metode Pengulangan Load Following, adalah metode numerik yang
digunakan untuk menghitung kurva biaya penawaran optimal dalam pasar daya yang diatur
atau diberi aturan. Algoritma Lambda Iteration beroperasi dengan mengulangi langkah-
langkah berikut:
1. Langkah Awal
Inisialisasi nilai lambda (λ) awal. Lambda adalah parameter yang menentukan
tingkat biaya penawaran pembangkit listrik.
2. Perhitungan Produksi
Dalam setiap iterasi, hitung produksi pembangkit listrik berdasarkan harga
penawaran saat ini (yang dihitung dari lambda) dan kebutuhan daya sistem.
3. Penentuan Harga Penawaran
Hitung harga penawaran (p) untuk setiap pembangkit berdasarkan biaya
produksi dan lambda saat ini.
4. Evaluasi Keseimbangan
Evaluasi keseimbangan pasokan dan permintaan listrik dengan
membandingkan total produksi dengan total permintaan. Jika ada ketidakseimbangan,
lanjutkan ke langkah berikutnya.
5. Penyesuaian Lambda
Jika terdapat ketidakseimbangan pasokan dan permintaan, ubah nilai lambda
dengan menggunakan formula yang menghitung perubahan lambda berdasarkan
ketidakseimbangan tersebut.
6. Iterasi
Kembali ke langkah 2 dan ulangi proses tersebut dengan nilai lambda yang
baru. Lanjutkan iterasi hingga keseimbangan pasokan dan permintaan tercapai.

48
Algoritma Lambda Iteration berusaha untuk mencapai keseimbangan antara
penawaran dan permintaan listrik dengan mengiterasi nilai lambda dan menghitung ulang
produksi dan harga penawaran pembangkit. Tujuan utama adalah mencapai harga penawaran
yang meminimalkan total biaya produksi sambil memenuhi permintaan listrik yang ada.
Metode ini mengasumsikan bahwa biaya produksi pembangkit listrik bersifat kuadratik
terhadap produksi dan karenanya, kurva biaya dapat didekati sebagai fungsi kuadratik.
Dengan menggunakan algoritma ini, pasar daya dapat mencapai harga penawaran dan
produksi pembangkit yang optimal untuk mencapai efisiensi operasional.
Pada setiap iterasi, algoritma ini menghitung harga penawaran berdasarkan lambda
saat ini dan memperbarui nilai lambda berdasarkan ketidakseimbangan pasokan dan
permintaan. Proses ini terus diulang hingga keseimbangan tercapai. Algoritma Lambda
Iteration merupakan salah satu metode yang umum digunakan dalam optimasi harga
penawaran di pasar daya yang diatur. Dengan mengoptimalkan harga penawaran, diharapkan
dapat mencapai efisiensi dalam operasi sistem tenaga listrik dan mengurangi biaya produksi
secara keseluruhan.
Dalam algoritma Lambda Iteration untuk Economic Dispatch, terdapat persamaan
umum yang digunakan untuk menghitung nilai lambda (λ) saat ini. Persamaan ini
memperhitungkan keseimbangan pasokan dan permintaan listrik, serta mengoptimalkan
kurva biaya pembangkit. Berikut adalah persamaan umum untuk setiap pembangkit i,
persamaan umum Lambda Iteration dalam Economic Dispatch dapat dinyatakan sebagai
berikut:

2
Biaya Produksi ( Cost ) =a i x ( P i ) +b i x Pi+c i (2.1)

Di mana:
 ai, bi, dan ci adalah koefisien biaya produksi untuk pembangkit i.
 Pi adalah produksi pembangkit i.

Lambda (λ) dihitung menggunakan persamaan berikut:

(Total Permintaan−Total Produksi)


Lambda (λ)= (2.2)
∑(2 x ai x Pi +bi)

49
Di mana:

 Total Permintaan adalah total daya yang diminta oleh sistem.


 Total Produksi adalah total daya yang diproduksi oleh semua pembangkit.
 ∑ (2 x ai x Pi+ bi) adalah jumlah dari persamaan biaya produksi untuk semua
pembangkit.

Dalam setiap iterasi, nilai lambda dihitung menggunakan persamaan di atas. Kemudian,
harga penawaran (pi) untuk setiap pembangkit dihitung berdasarkan nilai lambda dan
koefisien biaya produksi pembangkit tersebut. Proses ini diulang untuk mencapai nilai
lambda dan harga penawaran yang konvergen yang mengoptimalkan biaya produksi total dan
memenuhi permintaan listrik. Selama iterasi, nilai lambda diperbarui berdasarkan perubahan
keseimbangan pasokan dan permintaan. Dengan menggunakan nilai lambda yang diperbarui,
iterasi berlanjut hingga konvergensi tercapai dan keseimbangan pasokan dan permintaan
listrik terpenuhi dengan harga penawaran yang optimal. Persamaan umum Lambda Iteration
dalam Economic Dispatch memungkinkan pengoptimalan biaya produksi pembangkit listrik
dengan mempertimbangkan keseimbangan pasokan dan permintaan. Dengan mengiterasi
nilai lambda dan menghitung ulang harga penawaran pembangkit, algoritma ini membantu
mencapai efisiensi operasional dan penggunaan sumber daya yang optimal dalam sistem
tenaga listrik.

50
BAB III
Metodologi

3.1 Desain Sistem

51
End

Gambar 3.1 Algoritma untuk proses iterasi dalam memecahkan masalah economic load dispatch.

Metodologi algoritma Lambda Iteration dalam Economic Dispatch melibatkan


serangkaian langkah untuk mengoptimalkan biaya produksi dan mencapai keseimbangan
pasokan dan permintaan listrik. Berikut adalah metodologi umum yang digunakan dalam
algoritma Lambda Iteration:

52
1. Inisialisasi adalah langkah pertama adalah melakukan inisialisasi nilai lambda awal
dan mengatur iterasi awal.
2. Hitung produksi pembangkit adalah menghitung produksi pembangkit listrik untuk
setiap pembangkit berdasarkan harga penawaran saat ini (yang dihitung dari nilai
lambda) dan kebutuhan daya sistem. Ini melibatkan memecahkan persamaan
kuadratik yang menggambarkan biaya produksi pembangkit.
3. Hitung harga penawaran adalah hitung harga penawaran (p i) untuk setiap pembangkit
berdasarkan biaya produksi dan nilai lambda saat ini.
4. Evaluasi keseimbangan adalah mengevaluasi keseimbangan pasokan dan permintaan
listrik dengan membandingkan total produksi dengan total permintaan. Jika ada
ketidakseimbangan, lanjutkan ke langkah berikutnya.
5. Perbarui nilai lambda adalah jika terdapat ketidakseimbangan pasokan dan
permintaan, perbarui nilai lambda menggunakan persamaan yang menghitung
perubahan lambda berdasarkan ketidakseimbangan tersebut.
6. Ulangi langkah 2 hingga 5 adalah mengulangi langkah-langkah 2 hingga 5 dengan
nilai lambda yang baru. Terus lakukan iterasi hingga keseimbangan pasokan dan
permintaan tercapai.
7. Konvergensi adalah memonitor konvergensi algoritma dengan memeriksa perubahan
nilai lambda dari iterasi ke iterasi. Jika perubahan nilai lambda sudah mencapai
ambang batas konvergensi yang ditentukan, maka algoritma dihentikan.
8. Output solusi optimal adalah setelah konvergensi tercapai, hasil akhir dari algoritma
Lambda Iteration adalah nilai lambda optimal dan harga penawaran pembangkit yang
mengoptimalkan biaya produksi serta memenuhi permintaan listrik yang ada.

Metodologi ini melibatkan iterasi berulang untuk mencapai solusi yang konvergen dengan
mengoptimalkan kurva biaya pembangkit. Dengan memperbarui nilai lambda dan
menghitung ulang harga penawaran pembangkit, algoritma ini mencapai keseimbangan
pasokan dan permintaan yang efisien dalam Economic Dispatch. Selama proses iterasi,
parameter seperti ambang batas konvergensi, batas maksimum dan minimum produksi
pembangkit, serta aturan pembatasan lainnya dapat diterapkan untuk memastikan solusi yang
realistis dan sesuai dengan kondisi operasional sistem tenaga listrik.

53
3.2 Desain Perangkat Lunak
3.2.1 Jupyter Notebook

Jupyter Notebook adalah sebuah aplikasi web open-source yang memungkinkan Anda
menulis dan menjalankan code Python (serta beberapa bahasa pemrograman lainnya) secara
interaktif. Jupyter Notebook sering digunakan untuk analisis data, visualisasi, pembelajaran
mesin, dan dokumentasi proyek-proyek pemrograman.
Berikut adalah langkah-langkah untuk menggunakan Jupyter Notebook dalam Anaconda3:
1. Install Anaconda
Pertama, pastikan sudah menginstal Anaconda di komputer. Anaconda adalah
distribusi Python yang sudah mencakup banyak paket dan lingkungan yang berguna,
termasuk Jupyter Notebook.
2. Buka Jupyter Notebook
Setelah menginstal Anaconda, buka terminal atau command prompt, lalu
ketikkan perintah "jupyter notebook" dan tekan Enter. Hal ini akan membuka Jupyter
Notebook dalam browser.
3. Buat notebook baru
Setelah Jupyter Notebook terbuka, akan terlihat antarmuka pengguna berbasis
web. Di sana, dapat membuat notebook baru dengan mengklik tombol "New" di sudut
kanan atas dan memilih "Python 3" atau bahasa pemrograman lainnya yang
diinginkan.
4. Tulis dan jalankan code
Ketika membuat notebook baru, akan melihat sel kosong yang dapat diisi
dengan code. Tuliskan code Python di dalam sel tersebut dan menjalankannya dengan
menekan tombol Shift + Enter atau menggunakan menu Run di atas.
5. Tambahkan kode tambahan
Selain code, juga dapat menambahkan teks, gambar, formula matematika, dan
elemen-elemen lain ke dalam notebook. Ini memungkinkan untuk membuat
dokumentasi yang interaktif dan menjelaskan proses dan hasil dari code yang ditulis.

6. Simpan dan eksekusi notebook

54
Notebook dapat disimpan dengan mengklik tombol "Save" atau menggunakan
menu File. Notebook juga dapat dieksekusi kembali dari awal hingga akhir dengan
mengklik tombol "Run All" di menu Cell.

Itulah langkah-langkah umum untuk menggunakan Jupyter Notebook dalam


Anaconda3. Pastikan telah menginstal Anaconda dengan benar dan mengikuti langkah-
langkah di atas untuk mulai menulis dan menjalankan code Python dengan Jupyter Notebook.

Gambar 3.2 Tulis dan jalankan code python dengan Jupyter Notebook untuk economic dispatch.

3.2.2 Microsoft Excel

Jika telah menjalankan code di Jupyter Notebook untuk perhitungan economic dispatch
dan ingin menyesuaikan ramp rate pembangkit untuk setiap jam berdasarkan hasil
perhitungan tersebut, dapat menggunakan Microsoft Excel untuk melakukan tugas tersebut.
Berikut adalah langkah-langkah umumnya:
1. Ekspor hasil perhitungan
Dari Jupyter Notebook, dapat menyimpan hasil perhitungan economic
dispatch ke dalam format yang bisa dibaca oleh Excel. Misalnya, menyimpan hasil
dalam bentuk file CSV (Comma-Separated Values) atau Excel (.xlsx).
2. Buka Microsoft Excel
Buka program Microsoft Excel di komputer.

3. Impor data

55
Buka file hasil perhitungan yang telah Anda ekspor dari Jupyter Notebook.
Anda dapat mengimpor file CSV dengan memilih "Open" dan memilih file yang
sesuai. Jika menggunakan file Excel, cukup buka file tersebut langsung di Excel.
4. Sesuaikan ramp rate pembangkit
Di Excel, dapat memanipulasi data dan menyesuaikan ramp rate pembangkit
sesuai dengan kebutuhan. Dapat menggunakan rumus, fungsi, dan operasi matematika
Excel untuk menghitung ramp rate yang sesuai untuk setiap jam berdasarkan hasil
perhitungan economic dispatch.
5. Simpan perubahan
Setelah melakukan penyesuaian ramp rate pembangkit di Excel, pastikan
untuk menyimpan perubahan yang telah dibuat ke file yang sama atau file baru.

Dengan menggunakan Microsoft Excel, dapat memanipulasi data hasil perhitungan


dari Jupyter Notebook, termasuk ramp rate pembangkit, dan mengatur ulang nilai-nilai
tersebut sesuai dengan hasil perhitungan economic dispatch. Excel menyediakan berbagai
fitur dan kemampuan matematika yang berguna untuk melakukan perubahan dan penyesuaian
data dengan mudah. Setelah tabel ramp rate pembangkit pada Excel disesuaikan, maka bisa
diekspor kembali ke Jupyter Notebook untuk menghitung economic dispatch di jam-jam
berikutnya.

Gambar 3.3 Penyesuaian tabel ramp rate pembangkit pada Microsoft Excel.

56
BAB IV
Hasil dan Analisis

4.1 Dataset

Tabel 4.1 Koefisien biaya bahan bakar 42 pembangkit listrik dari sistem kelistrikan JAMALI, Indonesia.

Power a b c Daya Daya Ramp Ramp


Plant min maks Up Down
(IDR) (IDR/MW) (IDR/MW²) (MW) (MW/h)
1 1,06 -796,5 500770,41 250 371,5 300 300
2 1,06 -796,5 500770,41 250 371,5 300 300
3 1,06 -796,5 500770,41 250 371,5 300 300
4 1,06 -796,5 500770,41 250 371,5 300 300
5 0,53 -580,731 548169,063 408 575 300 300
6 0,53 -580,731 548169,063 408 575 300 300
7 0,53 -580,731 548169,063 408 575 300 300
8 0 0 10000 87,5 174,6 720 720
9 0 0 10000 87,5 174,6 720 720
10 0 0 10000 87,5 174,6 720 720
11 0 0 10000 87,5 174,6 720 720
12 -29,86 2116,1058 578259,403 40 80 60 60
13 -29,86 2116,1058 578259,403 40 80 60 60
14 -1,88 253,0934 437774,976 75 170 120 120
15 -1,88 253,0934 437774,976 75 170 120 120
16 1,661 -1475,578 674957,404 220 480 300 300
17 1,661 -1475,578 674957,404 220 480 300 300
18 1,661 -1475,578 674957,404 220 480 300 300
19 967,659 -26243,28 837352,902 5 16 120 120
20 967,659 -26243,28 837352,902 5 16 120 120
21 0 0 15000 60 118,5 7200 7200
22 0 0 15000 60 118,5 7200 7200
23 0 0 15000 60 118,5 7200 7200
24 0 0 15000 60 118,5 7200 7200

57
25 0 0 15000 60 118,5 7200 7200
26 0 0 15000 60 118,5 7200 7200
27 0 0 15000 60 118,5 7200 7200
28 0 0 15000 60 118,5 7200 7200
29 0,67 -803,4 664191,82 400 661 180 180
30 0,67 -803,4 664191,82 400 661 180 180
31 0,67 -803,4 664191,82 400 661 180 180
32 0,67 -803,4 664191,82 400 661 180 180
33 -5,98 61,9058 620176,752 120 140 240 240
34 2,429 -2101,891 934134,238 200 459 240 240
35 2,429 -2101,891 934134,238 200 459 240 240
36 0,536 -727,78 828790,263 345 640 1200 1200
37 1,071 -1494,774 1142590,01 180 274 300 300
38 4,045 -3723,275 1659160,91 200 420 540 540
39 4,045 -3723,275 1659160,91 200 420 540 540
40 13,045 -5341,694 1068419,16 180 214 420 420
41 1,36 -963,92 541408,16 250 370 240 240
42 1,36 -963,92 541408,16 250 370 240 240

Pada makalah ini digunakan dataset 42 pembangkit di sistem kelistrikan JAMALI


yang ditunjukkan pada Tabel 4.1 untuk dilakukan economic dispatch dengan algortima
Lambda Iteration dalam desain sistem dan perangkat lunak yang sudah dijelaskan pada bab
metodologi sebelumnya. Pengujian bebannya akan digunakan dataset yang ditunjukkan pada
Tabel 4.2 dimana memenuhi kriteria nominal lebih besar daripada jumlah nominal daya
minimum 42 pembangkit di atas.
Tabel 4.2 Beban pengujian.

Jam Load
1 8761,4
2 8712,1
3 8613,1
4 8573,3
5 8508,7
6 8462,1

58
7 8379,0
8 8526,6
9 8617,1
10 8759,6
11 8876,1
12 8753,6
13 8755,9
14 8863,1
15 9234,1
16 9471,0
17 9848,9
18 10023,5
19 10143,6
20 10264,1
21 10395,5
22 10411,1
23 10340,4
24 10030,3
Berikut hasil simulasi economic dispatch pada aplikasi Jupyter Notebook
berkolaborasi dengan penyesuaian ramp rate tiap jam pada aplikasi Microsoft Excel. Hasil
simulasi economic dispatch selama 24 jam ditunjukkan pada Tabel 4.3 sampai dengan Tabel
4.26 yang disertai jumlah total daya yang dihasilkan dan biaya bahan bakar.

4.2 Hasil dan Analisis Economic Dispatch

Tabel 4.3 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 1.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51

59
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 157.012 Rp 10,792,404,034.46
15 157.012 Rp 10,792,404,034.46
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13

60
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8761.424 Rp 1,408,695,239,637.08

Tabel 4.4 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 2.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 132.356 Rp 7,669,023,425.61
15 132.356 Rp 7,669,023,425.61
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00

61
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8712.112 Rp 1,402,448,478,419.38

Tabel 4.5 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 3.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 70.16738 Rp 2,847,186,346.29
13 70.16738 Rp 2,847,186,346.29

62
14 92.68661 Rp 3,760,864,335.93
15 92.68661 Rp 3,760,864,335.93
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8613.108 Rp 1,392,924,474,057.04

Tabel 4.6 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 4.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)

63
1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 61.59056 Rp 2,193,697,636.88
13 61.59056 Rp 2,193,697,636.88
14 81.35744 Rp 2,897,667,461.53
15 81.35744 Rp 2,897,667,461.53
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23

64
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8573.296 Rp 1,389,891,102,889.43

Tabel 4.7 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 5.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 40 Rp 925,299,659.14
13 40 Rp 925,299,659.14
14 75 Rp 2,462,503,220.13
15 75 Rp 2,462,503,220.13
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 11.674 Rp 113,810,865.52
20 11.674 Rp 113,810,865.52

65
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8508.748 Rp 1,386,283,713,346.00

Tabel 4.8 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 6.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51

66
8 172.83 Rp 298,702,088.52
9 172.83 Rp 298,702,088.52
10 172.83 Rp 298,702,088.52
11 172.83 Rp 298,702,088.52
12 40 Rp 925,299,659.14
13 40 Rp 925,299,659.14
14 75 Rp 2,462,503,220.13
15 75 Rp 2,462,503,220.13
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 5 Rp 20,803,573.81
20 5 Rp 20,803,573.81
21 115.22 Rp 199,134,725.68
22 115.22 Rp 199,134,725.68
23 115.22 Rp 199,134,725.68
24 115.22 Rp 199,134,725.68
25 115.22 Rp 199,134,725.68
26 115.22 Rp 199,134,725.68
27 115.22 Rp 199,134,725.68
28 115.22 Rp 199,134,725.68
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36

67
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8462.08 Rp 1,385,981,108,522.14

Tabel 4.9 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 7.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 163.9256 Rp 268,715,928.95
9 163.9256 Rp 268,715,928.95
10 163.9256 Rp 268,715,928.95
11 163.9256 Rp 268,715,928.95
12 40 Rp 925,299,659.14
13 40 Rp 925,299,659.14
14 75 Rp 2,462,503,220.13
15 75 Rp 2,462,503,220.13
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 5 Rp 20,803,573.81
20 5 Rp 20,803,573.81
21 109.2837 Rp 179,143,952.63
22 109.2837 Rp 179,143,952.63
23 109.2837 Rp 179,143,952.63
24 109.2837 Rp 179,143,952.63
25 109.2837 Rp 179,143,952.63
26 109.2837 Rp 179,143,952.63
27 109.2837 Rp 179,143,952.63

68
28 109.2837 Rp 179,143,952.63
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8378.972 Rp 1,385,701,237,699.41

Tabel 4.10 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 8.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 44.606 Rp 1,150,654,082.97
13 44.606 Rp 1,150,654,082.97
14 75 Rp 2,462,503,220.13

69
15 75 Rp 2,462,503,220.13
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8526.612 Rp 1,386,934,687,298.80

Tabel 4.11 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 9.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06

70
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 71.02222 Rp 2,916,980,793.89
13 71.02222 Rp 2,916,980,793.89
14 93.81577 Rp 3,853,056,210.33
15 93.81577 Rp 3,853,056,210.33
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23

71
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8617.076 Rp 1,393,248,446,701.04

Tabel 4.12 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 10.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 156.086 Rp 10,665,480,252.77
15 156.086 Rp 10,665,480,252.77
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00

72
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8759.572 Rp 1,408,441,392,073.70

Tabel 4.13 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 11.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 267.165 Rp 35,743,344,811.76
2 267.165 Rp 35,743,344,811.76
3 267.165 Rp 35,743,344,811.76
4 267.165 Rp 35,743,344,811.76
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00

73
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36

74
Total 8876.06 Rp 1,433,420,404,820.27

Tabel 4.14 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 12.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 153.104 Rp 10,261,848,977.99
15 153.104 Rp 10,261,848,977.99
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00

75
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8753.608 Rp 1,407,634,129,524.15

Tabel 4.15 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 13.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 250 Rp 31,297,951,501.06
2 250 Rp 31,297,951,501.06
3 250 Rp 31,297,951,501.06
4 250 Rp 31,297,951,501.06
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 154.238 Rp 10,414,425,145.12
15 154.238 Rp 10,414,425,145.12

76
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 120 Rp 8,930,552,651.52
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8755.876 Rp 1,407,939,281,858.39

Tabel 4.16 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 14.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 263.928 Rp 34,882,448,928.57
2 263.928 Rp 34,882,448,928.57

77
3 263.928 Rp 34,882,448,928.57
4 263.928 Rp 34,882,448,928.57
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 220 Rp 32,667,613,728.10
17 220 Rp 32,667,613,728.10
18 220 Rp 32,667,613,728.10
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01

78
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 250 Rp 33,837,769,021.36
42 250 Rp 33,837,769,021.36
Total 8863.112 Rp 1,429,976,821,287.51

Tabel 4.17 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 15.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 320.3111 Rp 51,378,391,486.01
2 320.3111 Rp 51,378,391,486.01
3 320.3111 Rp 51,378,391,486.01
4 320.3111 Rp 51,378,391,486.01
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 237.6486 Rp 38,119,113,913.44
17 237.6486 Rp 38,119,113,913.44
18 237.6486 Rp 38,119,113,913.44
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00

79
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 296.2689 Rp 47,521,962,302.38
42 296.2689 Rp 47,521,962,302.38
Total 9234.128 Rp 1,539,683,478,635.33

Tabel 4.18 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 16.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 349.6412 Rp 61,218,384,219.59
2 349.6412 Rp 61,218,384,219.59
3 349.6412 Rp 61,218,384,219.59
4 349.6412 Rp 61,218,384,219.59
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00

80
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 259.4094 Rp 45,419,688,981.42
17 259.4094 Rp 45,419,688,981.42
18 259.4094 Rp 45,419,688,981.42
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 200 Rp 37,364,949,144.23
35 200 Rp 37,364,949,144.23
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180 Rp 37,019,647,265.75
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 180 Rp 34,615,819,292.13
41 323.3975 Rp 56,623,371,478.76
42 323.3975 Rp 56,623,371,478.76
Total 9470.988 Rp 1,619,147,993,126.37

81
Tabel 4.19 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 17.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 371.5 Rp 69,112,155,118.83
2 371.5 Rp 69,112,155,118.83
3 371.5 Rp 69,112,155,118.83
4 371.5 Rp 69,112,155,118.83
5 408 Rp 91,250,177,965.51
6 408 Rp 91,250,177,965.51
7 408 Rp 91,250,177,965.51
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 306.2119 Rp 63,287,412,441.30
17 306.2119 Rp 63,287,412,441.30
18 306.2119 Rp 63,287,412,441.30
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67

82
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 221.2533 Rp 45,728,232,485.41
35 221.2533 Rp 45,728,232,485.41
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 180.8873 Rp 37,385,507,691.73
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 193.4465 Rp 39,980,851,348.16
41 370 Rp 74,118,420,454.96
42 370 Rp 74,118,420,454.96
Total 9848.876 Rp 1,761,773,804,219.75

Tabel 4.20 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 18.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 371.5 Rp 69,112,155,118.83
2 371.5 Rp 69,112,155,118.83
3 371.5 Rp 69,112,155,118.83
4 371.5 Rp 69,112,155,118.83
5 412.2233 Rp 93,149,060,439.96
6 412.2233 Rp 93,149,060,439.96
7 412.2233 Rp 93,149,060,439.96
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 334.7893 Rp 75,651,341,667.59

83
17 334.7893 Rp 75,651,341,667.59
18 334.7893 Rp 75,651,341,667.59
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 241.9019 Rp 54,661,772,478.21
35 241.9019 Rp 54,661,772,478.21
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 197.7687 Rp 44,689,199,742.92
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 211.4998 Rp 47,791,573,849.44
41 370 Rp 74,118,420,454.96
42 370 Rp 74,118,420,454.96
Total 10023.51 Rp 1,837,543,733,860.00

Tabel 4.21 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 19.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 371.5 Rp 69,112,155,118.83
2 371.5 Rp 69,112,155,118.83
3 371.5 Rp 69,112,155,118.83

84
4 371.5 Rp 69,112,155,118.83
5 428.8117 Rp 100,796,813,026.05
6 428.8117 Rp 100,796,813,026.05
7 428.8117 Rp 100,796,813,026.05
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 348.2617 Rp 81,862,491,207.29
17 348.2617 Rp 81,862,491,207.29
18 348.2617 Rp 81,862,491,207.29
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 251.6363 Rp 59,149,630,003.00
35 251.6363 Rp 59,149,630,003.00
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 205.7272 Rp 48,358,286,057.77

85
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 214 Rp 48,928,180,741.89
41 370 Rp 74,118,420,454.96
42 370 Rp 74,118,420,454.96
Total 10143.62 Rp 1,892,901,848,494.26

Tabel 4.22 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 20.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 371.5 Rp 69,112,155,118.83
2 371.5 Rp 69,112,155,118.83
3 371.5 Rp 69,112,155,118.83
4 371.5 Rp 69,112,155,118.83
5 445.8008 Rp 108,941,956,565.69
6 445.8008 Rp 108,941,956,565.69
7 445.8008 Rp 108,941,956,565.69
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 362.0594 Rp 88,477,598,583.94
17 362.0594 Rp 88,477,598,583.94
18 362.0594 Rp 88,477,598,583.94
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00

86
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 261.6058 Rp 63,929,366,705.17
35 261.6058 Rp 63,929,366,705.17
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 213.8778 Rp 52,266,000,691.24
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 214 Rp 48,928,180,741.89
41 370 Rp 74,118,420,454.96
42 370 Rp 74,118,420,454.96
Total 10264.07 Rp 1,950,649,789,280.97

Tabel 4.23 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 21.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 371.5 Rp 69,112,155,118.83
2 371.5 Rp 69,112,155,118.83
3 371.5 Rp 69,112,155,118.83
4 371.5 Rp 69,112,155,118.83
5 464.3371 Rp 118,189,894,976.28
6 464.3371 Rp 118,189,894,976.28
7 464.3371 Rp 118,189,894,976.28
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00

87
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 377.1137 Rp 95,988,344,748.32
17 377.1137 Rp 95,988,344,748.32
18 377.1137 Rp 95,988,344,748.32
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 272.4833 Rp 69,356,245,976.90
35 272.4833 Rp 69,356,245,976.90
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 222.7708 Rp 56,702,792,269.01
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 214 Rp 48,928,180,741.89
41 370 Rp 74,118,420,454.96
42 370 Rp 74,118,420,454.96
Total 10395.49 Rp 2,016,216,393,127.10

88
Tabel 4.24 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 22.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 371.5 Rp 69,112,155,118.83
2 371.5 Rp 69,112,155,118.83
3 371.5 Rp 69,112,155,118.83
4 371.5 Rp 69,112,155,118.83
5 466.5389 Rp 119,313,389,598.76
6 466.5389 Rp 119,313,389,598.76
7 466.5389 Rp 119,313,389,598.76
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 378.9019 Rp 96,900,794,913.09
17 378.9019 Rp 96,900,794,913.09
18 378.9019 Rp 96,900,794,913.09
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
89
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 273.7754 Rp 70,015,535,583.72
35 273.7754 Rp 70,015,535,583.72
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 223.8271 Rp 57,241,800,127.56
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 214 Rp 48,928,180,741.89
41 370 Rp 74,118,420,454.96
42 370 Rp 74,118,420,454.96
Total 10411.1 Rp 2,024,181,814,561.02

Tabel 4.25 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 23.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 371.5 Rp 69,112,155,118.83
2 371.5 Rp 69,112,155,118.83
3 371.5 Rp 69,112,155,118.83
4 371.5 Rp 69,112,155,118.83
5 456.5612 Rp 114,264,566,976.14
6 456.5612 Rp 114,264,566,976.14
7 456.5612 Rp 114,264,566,976.14
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 370.7985 Rp 92,800,375,612.71
17 370.7985 Rp 92,800,375,612.71
18 370.7985 Rp 92,800,375,612.71

90
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 267.9203 Rp 67,052,783,279.28
35 267.9203 Rp 67,052,783,279.28
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 219.0402 Rp 54,819,576,633.50
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05
40 214 Rp 48,928,180,741.89
41 370 Rp 74,118,420,454.96
42 370 Rp 74,118,420,454.96
Total 10340.36 Rp 1,988,386,360,689.08

Tabel 4.26 Hasil economic dispatch dengan beban pengujian jam 24.

Unit Power Produced (MW) Fuel Cost (Rp)


1 371.5 Rp 69,112,155,118.83
2 371.5 Rp 69,112,155,118.83
3 371.5 Rp 69,112,155,118.83
4 371.5 Rp 69,112,155,118.83
5 413.1164 Rp 93,553,110,922.11

91
6 413.1164 Rp 93,553,110,922.11
7 413.1164 Rp 93,553,110,922.11
8 174.6 Rp 304,851,600.00
9 174.6 Rp 304,851,600.00
10 174.6 Rp 304,851,600.00
11 174.6 Rp 304,851,600.00
12 80 Rp 3,701,029,437.77
13 80 Rp 3,701,029,437.77
14 170 Rp 12,651,739,830.40
15 170 Rp 12,651,739,830.40
16 335.5146 Rp 75,979,492,707.78
17 335.5146 Rp 75,979,492,707.78
18 335.5146 Rp 75,979,492,707.78
19 16 Rp 213,943,418.09
20 16 Rp 213,943,418.09
21 118.5 Rp 210,633,750.00
22 118.5 Rp 210,633,750.00
23 118.5 Rp 210,633,750.00
24 118.5 Rp 210,633,750.00
25 118.5 Rp 210,633,750.00
26 118.5 Rp 210,633,750.00
27 118.5 Rp 210,633,750.00
28 118.5 Rp 210,633,750.00
29 400 Rp 106,270,369,840.67
30 400 Rp 106,270,369,840.67
31 400 Rp 106,270,369,840.67
32 400 Rp 106,270,369,840.67
33 140 Rp 12,155,473,000.03
34 242.4259 Rp 54,898,877,559.25
35 242.4259 Rp 54,898,877,559.25
36 345 Rp 98,646,509,970.01
37 198.1971 Rp 44,883,047,030.46
38 200 Rp 66,365,691,749.05
39 200 Rp 66,365,691,749.05

92
40 211.958 Rp 47,998,878,231.93
41 370 Rp 74,118,420,454.96
42 370 Rp 74,118,420,454.96
Total 10030.3 Rp 1,840,615,700,259.13

Dengan hasil simulasi ini akan memberikan jawaban kepada pihak pemegang sistem
utilitas kelistrikan suatu negara yang menerapkan regulated market, dalam hal ini di
Indonesia adalah PLN untuk memutuskan pembangkit mana yang akan digunakan untuk
melistriki daerah JAMALI (Jawa, Madura, dan Bali). Dengan memperhatikan biaya bahan
bakar, ramp rate, dan kapasitas tiap pembangkit tersebut.

93
BAB V
Kesimpulan dan Rekomendasi

5.1 Kesimpulan

Penawaran tenaga listrik diimplementasikan dalam pasar utilitas regulated market dengan
adanya bidding oleh GENCO tiap jamnya. Untuk memilih GENCO mana yang dipilih,
diperlukan metode yang mutakhir dan andal dalam menghitung economic dispatch oleh
pemegang utilitas sistem kelistrikan di negara yang menerapkan regulated market. Dalam hal
ini di Indonesia adalah PLN. Dalam makalah ini digunakan algoritma Lambda Iteration
dalam menghitung economic dispatch 42 pembangkit di wilayah JAMALI yang
disimulasikan pada aplikasi Jupyter Notebook.
Selain itu, untuk ramp rate pembangkit tiap jamnya disesuaikan dengan bantuan aplikasi
Microsoft Excel. Dalam makalah ini economic dispatch disimulasikan selama 24 jam dengan
syarat beban pengujian harus lebih besar nominalnya daripada jumlah nominal minimum 42
pembangkit. Dalam simulasi ini diperhatikan juga biaya bahan bakar, ramp rate, dan
kapasitas tiap pembangkitnya. Dari hasil simulasi didapatkan pembangkit mana saja yang
harus dipilih sehingga mencapai biaya produksi yang minimal dan memenuhi permintaan
listrik dengan efisien.

5.2 Rekomendasi

1. Perlu penelitian lebih lanjut dalam menghitung economic dispatch secara lebih praktis
dan cepat sehingga memungkinkan terjadinya pasar day-ahead.
2. Penentuan beban pengujian sebaiknya ditinjau kembali dengan beban riil pada
wilayah tersebut.
3. Sangat direkomendasikan untuk memperbaiki metode algoritma Lambda Iteration
pada makalah ini agar bisa menghitung economic dispatch yang diuji dengan beban
yang lebih kecil nominalnya daripada jumlah nominal daya minimum semua
pembangkit. Ataupun yang diuji dengan beban yang lebih besar nominalnya daripada
jumlah nominal daya maksimum semua pembangkit.

94
Daftar Pustaka

[1] Gibson HMS. Masalah-Masalah Restrukturisasi Sistem Tenaga Listrik dan Upaya
Pemecahannya:Hambatan Penerapan di Indonesia. Procceding SSTE-1ITB.
Bandung. 2000.A3-3.
[2] CW Richter Jr, et al. Coprehensive Bidding Strategies with Generic
Programming/Finite State Autmata.IEEE Transaction on Power System.1999; 9:
1207-1212.
[3] WW Hogan. Independent System Operator (ISO) for A Competitive Electricity
Market. Center for Business and government. JF Kennedy School of Gaverment.
Harvard University. June 1998.
[4] H Zareipoura, Claudio A. Cañizares. The Operation of Ontario's Competitive
Electricity Market: Overview, Experiences, and Lessons. IEEE Trans. Power Syst.
2007; 22(4): 1783-1982.
[5] Y Chien-Ninga, A Cohen, B Danai. Multi-Intervaloptimiza-Tionforreal-Time Power
System Scheduling in the Ontario Electricity Market. IEEE Proc. Power Eng. Soc.
Gen. Meeting Jun.12-16. 2005; 2717-2723.
[6] Mensah-Bonsu. C. Third Generation California Electricity Market Desain.IEEE PES
San Francisco Chapter Meeting. November 14, 2006.
[7] Alturki, Y.A, Towards reactive power markets, Generation, Transmission &
Distribution, IET, Volume: 2 , Issue: 4, 2008,pp. 516 – 529.
[8] Shirmohammedi, D., Gribik, P.R., Law, E.T.K., Malinowaski, J.H., and O’Donnell,
R.E.: ‘Evaluation of transmission network capacity use for wheeling transactions’,
IEEE Trans. Power Syst., 1989,(4), pp. 1405–1413.
[9] Janusz Bialek. Allocation of Transmission Supplementary Charge to Real and
Reactive Beban, IEEE Transaction on Power System, Vol. 13, No. 3, 1998.,pp.749-
754.
[10] Presiden Republik Indonesia. (2002). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Jakarta, Indonesia.: Jaringan Dokumentasi dan
Informasi Hukum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
[11] DJEBTKE-KESDM. 2021. Pedoman Investasi Pembangkit Listrik Tenaga Aneka ET.
Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi, Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta.

95
[12] Suryanto, Yusuf. (2017). Analysis of Economic Regulations of National Electrical
Systems. The Indonesian Journal of Dev. Planning, Vol. 1 No. 1, 46-58.
[13] Pantos, M., Verbic, G., & Gubina.F, Modified topological generation and beban
distribution faktors. IEEE Transactions on Power Systems, 20(4)2005,pp. 1998-
2005.
[14] Lim, V. S. C., McDonald, J. D. F., & Saha, T. K. Development of a new loss
allocation method for a hybrid electricity market using graph theory. Electric Power
Systems Research,2009.
[15] Shareef, Hussain et al, "Real and Reactive Power Transfer Allocation Utilizing
Modified Titikal Equations," International Journal of Emerging Electric Power
Systems: Vol. 9: Issue 6,
[16] Abdelkader, S, Determining pembangkits' kontribusi to bebans and saluran flows &
losses considering loop flows. International Journal of Electrical Power & Energy
Systems, 30(6-7),2008.pp. 368-375.
[17] Ching-Tzong Su, Ji-Horng Liaw, Complex power flow tracing considering
convection line using nominal-T model, International Journal of Electrical Power &
Energy, Volume 29, Issue 1, 2007, pp. 28–35.
[18] Nojeng Dkk. Deregulasi dan Restrukturisasi Industri Ketenagalistrikan/Nojeng
Dkk; Penyunting, Nur Amin Saleh; -cet. I -Makassar: Nas Media Pustaka, 2017.

96

Anda mungkin juga menyukai