Anda di halaman 1dari 23

BAGAIMANA PROSES HUKUM PADA PENERAPAN TINDAK PIDANA DI INDONESIA,

DAN ALASAN APA YANG MENDASARI PERBUATAN TINDAK PIDANA TERSEBUT


BISA TERJADI.

MATA KULIAH : HUKUM PIDANA KHUSU TINDAK PIDANA KHUSUS

DOSEN PENGAMPU : M.FATTAN RIYADI, S.H.,M.H.

DISUSUN OLEH :

ANANDA PUTRIANI NURSAMSUN (31121018)


HASLINDA (31121023)
SOKA RICKY (31121003)
SOFIA NATALIA TAMPUBOLON (31121030)

FAKULTAS HUKUM
PRODI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BATAM
2023/2024

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………….……………………………………………………………..….1

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………2

BAB 1 PENDAHULUAN …..………………………………………………………………………… 3

1.1 LATAR BELAKANG……………………………………………………..……….…………………3

1.2 RUMUSAN MASALAH……………………………………………………..…………….………. 3

1.3 TUJUAN PENELITIAN……………………………………………………..………………………3

BAB ll PEMBAHASAN…………………………………………………..…………………………… 4

2.1 PENGERTIAN TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI, DAN SIFAT DARI


KORUPSI………….……………………………………………………..………………………….4
2.2 HUKUM KONSTITUSI YANG BERLAKU YANG MENGATUR MENGENAI TINDAK
PIDANA KORUPSI.…………………………………………………..…………….………………9
2.3 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERHENTIAN PENYIDIKAN SUATU
TINDAK PIDANA KORUPSI.………………………………………..…………………….…… 11
2.4 UNSUR EKSPLISIT YANG MENJADI FAKTOR TERJADINYA TINDAK PIDANA
KORUPSI.…………………………………………..……………………………………………….15
2.5 INDIKATOR PENYEBAB TERJADINYA KORUPSI ………………………………………. 18

BAB lll PENUTUP……………………………………..………………………………………………22

3.1 KESIMPULAN……………………………………..………………………………………….……22

3.2 SARAN……………………………………..………………………………………….……….……22

DAFTAR PUSTAKA ……………………………..……………..………………………….……….…23

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Korupsi adalah tindakan melanggar hukum yang dalam penerapannya sudah melanggar
ketertiban kehidupan berbangsa, dan bernegara. Korupsi sudah menjajah Indonesia sejak
lama ,dan hampir menjajah semua aspek kehidupan masyarakat, bahkan kehidupan
berbangsa, dan bernegara. Sepertinya korupsi sudah sampai pada apa yang disebut sebagai
‘budaya korupsi’. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah di dalam pemberantasan
korupsi dengan menetapkan berbagai strategi nasional, lebih-lebih di era reformasi.
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan UU No. 30 Tahun 2002,
tidak serta merta dapat melakukan penindakan terhadap tindak pidana korupsi karena
kewenangan tersebut ada pada penyidik dan penuntut umum yang masing-masing diambil
dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI. Lantas bagaimana penerapan hukum yang nyata dalam
kasus ini?

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Pengertian mengenai Tindak Pidana Korupsi.
2. Tindak Pidana Korupsi dari perspektif filsafat hukum
3. HUKUM POSITIF YANG BERLAKU YANG MENGATUR MENGENAI TINDAK
PIDANA KORUPSI,SERTA MEKANISME PENYELESAIANNYA SECARA HUKUM.
4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERHENTIAN PENYIDIKAN SUATU
TINDAK PIDANA KORUPSI
5. PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI

1.3 TUJUAN

Adapun tujuan dari penulisan karya ilmiah ini adalah untuk memahami penyebab terjadinya
korupsi serta untuk mengetahui pertanggung jawaban pidana dalam tindak pidana korupsi.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI, DAN SIFAT KORUPSI.

A.PENGERTIAN TINDAK PIDANA

Sebelum menguraikan mengenai pengertian korupsi, terlebih dahulu mengetahui pengertian


tentang tindak pidana. Pembentuk undang-undang kita menggunakan istilah straafbaarfeit untuk
menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai
straafbaarfeit tersebut. Dalam bahasa Belanda straafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata
yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan,
sedang straafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan straafbaarfeit berarti
sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.

Pengertian dari perkataan straafbaarfeit menurut para ahli :

1.) Simons

Dalam rumusannya straafbaarfeit itu adalah

"Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja
oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya, dan oleh undang-undang
telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum."

Alasan dari Simon mengapa straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas Karena :

a. Untuk adanya suatu straafbaarfeit disyaratkan bahwa di situ terdapat suatu


tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang- undang di mana
pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai
tindakan yang dapat dihukum
b. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi
semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;
c. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban

4
menurut undang-undang itupada hakikatnya merupakan tindakan melawan
hukum, atau suatu onrechtmatige handeling.

Jadi, sifat melawan hukum timbul dari suatu kenyataan bahwa tindakan manusia bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan, hingga pada dasarnya sifat tersebut bukan suatu unsur
dari delik yang mempunyai arti tersendiri seperti halnya dengan unsur lain

2.) E. Utrecht

Menerjemahkan straafbaarfeit dengan istilah peristiwa pidana yang sering juga IA sebut
delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen-positif atau suatu melalaikan
nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan
itu). Peristiwa pidana merupakan suatu peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa
kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.

Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur yang
mutlak, dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur-unsur mutlak suatu
tindak pidanaYaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur melawan hukum),
oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat dalam arti kata
bertanggung jawab.

B.PENGERTIAN KORUPSI

Dalam Ensiklopedia Indonesia disebut "korupsi" (dari bahasa Latin : corruptio =


penyuapan,corruptore : merusak) gejala dimana para pejabat badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan pemalsuan serta ketidak beresan
lainnya adapun arti harfiah dari korupsi dapat berupa :

a. kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan,dan ketidakt ujuran


(SWojowasito-W.J.SPoerwadarminta, Kamus Lengkap Inggris- IndonesiaIndonesia-
InggrisPenerbitHastaBandung)

5
b. perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogokdan
sebagainya(W.J.SPoerwadarminta, Kamus Umum Bahasa IndonesiaPenerbitBalai
Pustaka1976

1. korup (busuk suka menerima uang suap uang/sogokmemakai kekuasaan untuk


kepentingan sendiri dan sebagainya);
2. korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uangpenerimaan uang sogok, dan
sebagainya);
3. koruptor (orang yang korupssi)(Muhammad AliKamus Lengkap Bahasa Indonesia
ModernPenerbit Pustaka Amani Jakarta)
Secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan merusak.

Jika membicarakan tentang korupsi memang akan menemukan kenyataan semacam itu karena
korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau
aparatur pemerintahpenyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor ekonomi
dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam kedinasan di bawah kekuasaan
jabatannya.

Dengan demikian secara harfiah dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya istilah korupsi
memiliki arti yang sangat luas

1. Korupsi penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk
kepentingan pribadi dan orang lain.

2. Korupsi: busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang dipercayakan kepadanya dapat
disogok (melalui kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Adapun menurut Subekti ,dan
Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukumyang dimaksud curruptie adalah korupsiperbuatan
curangtindak pidana yang merugikan keuangan negaraBaharuddin Lopa mengutip pendapat dari
David MChalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidangyakni yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomidan
yang menyangkut bidang kepentingan umum.

Kesimpulan ini diambil dari definisi yang dikemukakan antara lain berbunyifinancial
manipulations and deliction injuri- ous to the economy are often labeled corrupt (manipulasi dan

6
keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan
perbuatan korupsi).

Selanjutnya ia menjelaskan the term is often applied also to misjudgements by officials in the
public economies (istilah ini sering juga digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat
yang menyangkut bidang perekonomian umum).

Dikatakan puladisguised payment in the form of gifts. legal fees, employment, favors to relatives,
social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the
implied payment of moneyis usually considered corrupt (pembayaran terselubung dalam bentuk
pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga
pengaruh kedudukan social, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan,dan
kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang. biasanya dianggap sebagai perbuatan
korupsi.

Dan menguraikan pula bentuk korupsi yang lain, yang diistilahkan political corruption (korupsi
politik) adalah electoral corruption includes purchase of vote with moneypromises of office or
special favors, coercionintimidation, and interference with administrative of judicial decision, or
governmental appointment (korupsi pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan
uang, janji dengan jabatan atau hadiah khususpaksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap
kebebasan memilihKorupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislative
keputusan administrasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan).

C. SIFAT KORUPSI

Baharuddin Lopa dalam bukunya Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum membagi korupsi

7
menurut sifatnya dalam 2 (dua) bentuk, yaitu sebagai berikut :

a.Korupsi yang Bermotif Terselubung

yakni korupsi secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi
sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata. Contoh : seorang pejabat menerima uang
suap dengan janji akan menerima si pemberi suap menjadi pegawai negeri atau diangkat dalam
suatu jabatan. Namun, dalam kenyataannya setelah menerima suap pejabat itu tidak
mempedulikan lagi janjinya kepada orang yang memberi suap tersebut yang dikarenakan adalah
mendapatkan uang tersebut.

b. Korupsi yang Bermotif Ganda

Yaitu seseorang melakukan korupsi secara lahiriah. Kelihatannya hanya bermotifkan


mendapatkan uang tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik. Contoh:
seseorang yang membujuk ,dan menyogok seorang pejabat agar dengan menyalahgunakan
kekuasaannya, pejabat itu dalam mengambil keputusannya memberikan suatu fasilitas pada si
pembujuk itu, meskipun sesungguhnya si pembujuk (penyogok) tidak memikirkan apakah
fasilitas itu akan memberikan hasil kepadanya.

2.2 HUKUM POSITIF YANG BERLAKU YANG MENGATUR MENGENAI TINDAK


PIDANA KORUPSI, SERTA MEKANISME PENYELESAIANNYA SECARA HUKUM.

8
A.JENIS PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999jenis penjatuhan pidana yang


dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut;

Terhadap Orang yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Pidana Mati

a.) Dapat dipidana mati

kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam keadaan tertentu"Adapun yang dimaksud dengan
"keadaan tertentu" adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlakupada waktu terjadi bencana alam nasionalsebagai
pengulangan tindak pidana korupsiatau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi
(moneter).

b.) Pidana Penjara

1.) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar ru- piah) bagi
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara(Pasal 2 ayat (1))
2.) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan

9
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal
3)
3.) Pidana penjara paling singkat (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda
paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 209 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana(Pasal 5)
4.) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap
orang yang melakukan tindak pidana sebagai dimaksud dalam Pasal 210 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana(Pasal 6)
5.) Pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun, dan/atau
denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp350.000.000,00 tiga ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387,atau Pasal 388
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. (Pasal 7)
6.) Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan/atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap
orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana(Pasal 8).
7.) Pidana penjara paling singkat (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun,dan/atau
denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dan paling banyak
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) bagi setiap orang yang
melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana(Pasal 9).

2.3 FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBERHENTIAN PENYIDIKAN SUATU


TINDAK PIDANA KORUPSI.

10
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan secara terbatas
alasan yang dipergunakan penyidik untuk melakukan penghentian penyidikan., yang
diatur dalam Pasal 109 ayat (2) yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidikan memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau
keluarganya”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP di atas, terdapat beberapa keadaan
dimana sebuah penyidikan terhadap kasus pidana dapat dihentikan. Keadaan tersebut
adalah:
1. Tidak terdapat cukup bukti;
2. Peristiwa ternyata bukan tindak pidana;
dan
3. Perkara tersebut ditutup demi hukum.
Ketiga keadaan yang terdapat/tercantum dalam Pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) ini akan dibahas satu persatu sebagai berikut dibawah
ini.

A. Tidak Terdapat Cukup Bukti

Apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti
yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka jika
diajukan ke depan sidang pengadilan, maka penyidik berwenang melakukan penghentian
penyidikan. Untuk dapat mengetahui bahwa dalam suatu penyidikan tidak terdapat cukup
bukti, maka harus diketahui kapankah hasil penyidikan dipandang sebagai cukup bukti.
Untuk dapat dinyatakan sebagai cukup bukti ialah tersedianya minimal dua alat bukti
yang sah untuk membuktikan bahwa benar telah suatu tindak pidana dan tersangkalah
sebagai pelaku yang bersalah melakukan tindak pidana tersebut.

11
Untuk memahami pengertian ‘cukup bukti’ sebaiknya penyidik memperhatikan dan
berpedoman kepada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang menegaskan prinsip “batas
minimal pembuktian” (sekurang- kurangnya ada dua alat bukti), dihubungkan dengan
Pasal 184 dan seterusnya, yang berisi penegasan dan penggaraisan tentang alat-alat bukti
yang sah di depan sidang pengadilan. Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang
dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Saksi;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Kepada ketentuan Pasal 184 KUHAP , inilah penyidik berpijak menentukan apakah alat
bukti yang ada di tangan benar- benar cukup untuk membuktikan kesalahan tersangka
dimuka persidangan. Kalau alat bukti tidak cukup dan memadai, penyidikan perkara
tersebut haruslah dihentikan. Tetapi apabila di kemudian hari penyidik dapat
mengumpulkan bukti yang lengkap dan memadai, dapat lagi kembali memulai
penyidikan terhadap tersangka yang telah pernah dihentikan pemeriksaan perkaranya.

B. Peristiwa Ternyata Bukan Tindak Pidana

Apabila dari hasil penyidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa apa yang
disangkakan terhadap tersangka bukan merupakan perbuatan pidana seperti yang diatur
dalan KUHP, maka penyidik berwenang untuk menghentikan penyidikan. Memang
diakui, kadang-kadang sangat sulit untuk menarik garis yang tegas tentang apakah suatu
tindakan yang dilakukan oleh seseorang termasuk dalam lingkup tindak pidana baik itu
kejahatan atau pelanggaran. Kesulitan ini sering dijumpai dalam peristiwa-peristiwa yang
dekat hubungannya dengan ruang lingkup hukum perdata.

Misalnya, antara perjanjian utang-piutang dengan penipuan. Penyidik dalam mennetukan


sebuah peristiwa merupakan tindak pidana atau bukan, harus berpegang pada unsur delik

12
dari tindak pidana yang disangkakan. Karena dalam sebuah definisi tindak pidana
terdapat unsur delik yang harus dipenuhi, sehingga penyidik dapat memutuskan sebuah
peristiwa sebagai tindak pidana.

Terhadap penghentian penyidikan dengan alasan bahwa peristiwa tersebut bukan


merupakan tindak pidana, maka penyidik tidak dapat mengadakan penyidikan ulang,
karena perkara tersebut bukan merupakan lingkup hukum pidana, kecuali bila ditemukan
indikasi yang kuat membuktikan sebaliknya. Apabila suatu perkara ditutup demi hukum
berarti perkara tersebut tidak bisa dituntut atau dijatuhkan pidana. Ketentuan tersebut
dicantumkan dalam Bab VIII Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 76
sampai dengan Pasal 85 yang mengatur tentang ‘hapusnya kewenangan’

Menuntut pidana dan menjalankan pidana diantaranya;

1.) Nebis in idem

Seseorang tidak dapat lagi dituntut untuk kedua kalinya atas dasar perbuatan yang sama,
terhadap maana atas perbuatan itu orang yang bersangkutan telah pernah diadili dan telah
diputus perkaranya oleh hakim atau pengadilan yang berwenang untuk itu di Indonesia,
serta putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.11 Azas nebis in idem ini
termasuk saah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi hukum dan sekaligus
dimaksudkan untuk tegaknya kepastian hukum. Bahwa seseorang tidak diperkenankan
mendapat beberapa kali hukuman atas suatu tindak pidana yang dilakukannya. Apabila
terhadapnya telah pernah diputus suatu tindak pidana baik putusan itu berupa
pemidanaan, pembebasan, ataupun pelepasan dari tuntutan hukum, dan putusan itu telah
memeperoleh keputusan hukum yang tetap, terhadap orang tersebut tidak lagi dapat
dilakukan pemriksaan, penuntutan dan peradilan untuk kedua kalinya atas peristiwa yang
bersangkutan.

2.) Tersangka meninggal dunia

13
Dengan meninggalnya tersangka, dengan sendirinya penyidikan harus dihentikan. Hal ini
sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal pada abad modern, yakni kesalahan
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya
dari pelaku yang bersangkutan. Prinsip hukum ini adalah penegasan pertanggung
jawaban dalam hukum pidana, yang mengajarkan bahwa tanggung jawab seseorang
dalam hukum pidana, hanya ditimpakan kepada si pelaku tindak pidananya.

Tanggung jawab itu tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Dengan meninggalnya
tersangka, penyidikan dengan sendirinya berhenti dan hapus menurut hukum. Penyidikan
dan pemeriksaan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris. Di dalam ilmu pengetahuan
hukum pidana, pertanggung jawaban pidana itu adalah pertanggun gjawaban personal
atau individual, artinya tidk bisa dibebankan kepada orang lain.

3.) Kedaluwarsa

Setelah melampaui tenggang waktu tertentu, terhadap suatu tindak pidana tidak dapat
dilakukan penuntutan dengan alasan tindak pidana tersebut telah melewati batas waktu
atau daluwarsa, (Pasal 78 KUHP). Logikanya, jika terhadap seseorang pelaku tindak
pidana telah hapus wewenang untuk menuntut di muka sidang pengadilan, tentu percuma
melakukan penyidikan dan pemeriksaan terhadap orang itu. Karena itu, jika penyidik
menjumpai keadaan seperti ini, harus segera menghentikan penyidikan dan pemeriksaan.
Mengenai cara penghitungan tenggang waktu kedaluwarsa, mulai dihitung dari keesokan
harinya sesudah perbuatan tindak pidana dilakukan. Dalam Rancangan undang-undang
Hukum acara Pidana, diatur juga mengenai mekanisme penghentian penyidikan yang
menjadi bagian dari wewenang penyidik yang diatur dalam Pasal 14.

Dalam ketentuan Pasal 14 Rancangan undang- undang Hukum Acara Pidana ini secara
tegas disebutkan bahwa penyidik berwenang menghentikan penyidikan karena:
a. Nebis in idem;

14
b. Tersangka meninggal dunia;
c. Sudah lewat waktu;
d. Tidak ada pengaduan pada tindak pidana aduan;
e. Undang-undang atau pasal yang yang
menjadi dasar tuntutan sudah dicabut atau dinyatakan tidak mempunyai daya laku
berdasarkan putusan pengadilan; dan
f. Bukan tindak pidana atau terdakwa masih di bawah umur 8 tahun pada waktu
melakukan tindak pidana. Ketentuan dalam Rancangan Undang-
undang Hukum Acara Pidana ini mengeliminir ketentuan “tidak cukup bukti” yang
semula menjadi ketentuan yang memudahkan penghentian penyidikan bagi tersangka
pidana. Penghentian penyidikan tidak dapat dilakukan ketika tidak ditemukan cukup
bukti guna melanjutkan proses penyidikan tindak pidana tersebut. Dengan demikian
aparat penegak hukum akan lebih berhati-hati dalam menentukan sebuah peristiwa
sebagai tindak pidana yang berakibat menemptkan seseorang sebagai tersangka.

2.4 UNSUR EKSPLISIT YANG MENJADI FAKTOR TERJADINYA TINDAK PIDANA


KORUPSI.

Permasalahan dalam Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Korupsi


Dalam Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana
korupsi, dituliskan secara eksplisit beberapa tindakan yang dianggap sebagai tindak
pidana korupsi dalam Bab II yaitu:
1. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara secara melawan hukum (Pasal 2)
2. Bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuanagan negara atau perekonomian negara
(Pasal 3)
3. Penyerapan Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419 KUHP
4. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya (Pasal 13)

15
Beberapa permasalahan hukum dalam unsur pasal khususnya mengenai Pasal 2 dan Pasal 3 UU
Tipikor di antaranya:

1.Penerapan Subjek Tindak Pidana

Dalam praktiknya,Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor diterapkan kepada subjek tindak pidana korupsi
dari pihak non pegawai negeri atau pihak swasta, sedangkan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999
diterapkan kepada subjek tindak pidana korupsi dari pihak pegawai negeri atau pejabat umum.
Seperti dalam Putusan Mahkamah Agung No.334 K/Pid.Sus/2009, di mana Majelis Kasasi
membatalkan putusan Pengadilan Negeri Baturaja No. 146/Pid.B/2007/ PN.BTA yang
menyatakan terdakwa terbukti bersalah telah memenuhi dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) Jo
Pasal 18 Ayat (2) (3) UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana dirubah UU No. 20 Tahun 2001 Jo
Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, untuk kemudian mengadili sendiri dengan menyatakan bahwa
terdakwa terbukti telah memenuhi dakwaan subsidair Pasal 3 Jo Pasal 18 Ayat (1) (2) UU No. 31
Tahun 1999 sebagaimana dirubah UU No. 20 Tahun 2001.

2. Penerapan unsur melawan hukum.

Permasalahan terkait dengan penerapan unsur melawan hukum pada Pasal 2 ayat (1) UU No. 31
Tahun 1999 terletak pada permasalahan apakah perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh
pelaku dapat dikualifikasikan sebagai unsur melawan hukum dalam pengertian hukum pidana.
Pengertian melawan hukum “wederrechtelijk“ dalam hukum pidana sering dicampuradukan
dengan pengertian pengertian melawan hukum “onrechmatigedaad” dalam hukum perdata.
Akibatnya,perbuatan dipandang tercela dalam masyarakat yang seharusnya masih dalam area
hukum perdata kemudian dikualifikasikan sebagai melawan hukum dalam hukum pidana.
Contohnya dalam Putusan MANo. 936K/Pid.Sus/2009 dan Putusan Mahkamah Agung No. 417
K/Pid.Sus/2014.

3. Penerapan Unsur Memperkaya Diri Sendiri atau Orang Lain atau Badan

Akibat dari perumusan pasal yang luas tersebut perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain dengan menggunakan sarana melawan hukum mengakibatkan banyak perbuatan yang
sesungguhnya tidak masuk dalam kualifikasi tindak pidana korupsi dapat dimasukan dalam
rumusan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999. Salah satunya dalam Putusan Mahkamah

16
Agung No. 787 K/PID. Sus/2014. Selain itu, dalam unsur memperkaya diri sendiri, orang lain
atau korporasi secara tersirat terdapat unsur kesalahan. Akibatnya, ketika pentutut umum atau
hakim membuktikan unsur ini harus dapat dibuktikan bahwa adanya niat jahat dari dari seorang
pegawai negeri atau pejabat umum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
tersebut. Akan tetapi hal tersebut tidak dibuktikan sebagaimana dalam Putusan Mahkamah
Agung No. 417 K/Pid.Sus/2014, Majelis Hakim Kasasi tidak membuktikan apakah perbuatan
terdakwa Hotasi D.P Nababan yang memperkaya orang lain atau korporasi yang dilakukan
secara melawan hukum tersebut dilakukan dengan keinsyafan untuk memperkaya orang lain atau
badan.

4. Penerapan unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Dalam praktik terdapat, ada dua permasalahan yang timbul dari penerapan unsur ini.
Pertama,mengenai definisi dari keuangan negara atau perekonomian negara yang tidak jelas.
Kedua,mengenai perhitungan dan pembuktian dari kerugian keuangan negara atau perekonomian
negara yang tidak ada standarnya.

Penjelasan umum UU No. 31 Tahun 1999 telah memberikan definisi yang panjang mengenai
keuangan negara dan perekonomian negara. Terkait dengan pengertian keuangan negara yang
berada dalam Penguasaan BUMN, masih terdapat silang pendapat apakah termasuk dalam
cakupan keuangan negara dalam kaitannya dengan aspek hukum keuangan negara. Terkait
dengan permasalahan pembuktian kerugian negara maka mencakup siapa yang berwenang untuk
menerbitkan laporan mengenai kerugian negara tersebut.

Sebelum adanya Putusan MK No. 31/PUU-X/2012, perhitungan kerugian negara saat ini menjadi
kewenangan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Pemeriksa Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) sebagai auditor negara. Permasalahannya tidak ada standart mengenai
bentuk audit dan bagaimana perhitungan kerugian negara tersebut yang dapat di dalam perkara-
perkara tindak pidana korupsi.

Menurut Marwan Effendy, terdapat kegagalan pemahaman dalam mengenai unsur melawan
hukum dapat berakibat fatal dengan membebaskan terdakwa yang terindikasi melalukan tindak
pidana korupsi. Hal tersebut seperti dalam kasus korupsi DPRD Bogor pada tahun 2004 yang
dinyatakan hakim dakwaan tidak dapat diterima karena adanya perbedaan persepsi dan

17
interpretasi mengenai unsur melawan hukum dengan menggunakan PP 110 tahun 2000 sebagai
sifat melawan hukum formal yang mendampingi sifat melawan hukum materiil, namun PP
tersebut sebenarnya telah tidak berlaku sejak tahun 2002.25

Sebagaimana yang telah diulas, perubahan pasal 2 dan 3 UU tipikor telah berubah dari tindak
pidana formal menjadi tindak pidana materiil melalui putusan mahkamah konstitusi nomor
25/PUU- XIV/2016 dengan menghilangkan kata “dapat” dalam rumusan kedua pasal tersebut.
Dalam penerapannya, unsur melawan hukum, merugikan negara dan memperkaya diri sendiri
seringkali timbul kesalahpahaman dalam penerapannya. Pembuktian unsur dilakukan dengan
menekankan pada kerugian negara daripada memperkaya diri sendiri, padahal seharusnya
dilakukan dengan membuktikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri baru kemudian
kerugian negara.

Hal ini menurut Chandra M Hamzah, tindakan yang dilarang adalah memperkara diri sendiri,
sementara merugikan keuangan dengara dan melawan hukum merupakan sarana atau cara pelaku
melakukan tindakan korupsi. 26 Chandra juga menilai terdapat inkonsistensi penerapan unsur
melawan hukum dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. 27 Seharusnya, apabila unsur melawan
hukum tidak dirumuskan dalam pasal, perbuatan yang dilakukan sudah dianggap melawan
hukum. Jika unsur melawan hukum.

2.5 INDIKATOR PENYEBAB TERJADINYA KORUPSI

Dasar penyebab korupsi, kata Ibnu Khaldun yaitu seorang sejarawan, dan pemikir muslim asal T
unisia. Ketika menulis soal ini sekitar abad ke-14, yang mendasarinya adalah lantaran nafsu hidu
p. Kalangan kelompok berkuasa memiliki nafsu hidup untuk bermewah-mewah, katanya. Untuk
menutupi pengeluaran yang serba mewah itulah, mereka yang berkuasa melakukan korupsi (Rob
ert Klitgaart, 1988).

Meski dirancang oleh pelaku sedemikian rupa, dengan cerdiknya yang rahasia, cenderung meliba
tkan lebih dari satu orang, ciri-ciri atau indikator korupsi tetap bisa terlacak oleh aparat penegak
hukum.

18
Penyebab korupsi disampaikan Donald R Cressey dalam teori Fraud Tiangle. Teori Segitiga Kec
urangan ini melihat potensi kecurangan yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, termasuk li
ngkungan sekitar. Menurut Cressey, ada tiga faktor yang membuat seseorang melakukan korupsi,
yaitu:

1.Pressure (tekanan)
Memiliki motivasi untuk melakukan tindakan korupsi karena adanya tekanan, salah satunya kare
na motif ekonomi. Namun, tekanan ini kadang tidak benar-benar ada, hanya pelaku saja yang ber
pikir kalau mereka merasa tertekan dan tergoda pada bayangan insentif.

2.Opportunity (kesempatan)
Adanya kesempatan membuat seseorang tergiur untuk korupsi. Ini terjadi akibat dari lemahnya si
stem pengawasan yang pada akhirnya menjerumuskan pelaku melakukan korupsi.

3.Rationalization (rasionalisasi)
Para pelaku selalu memiliki rasionalisasi atau pembenaran untuk melakukan korupsi. Rasionalisa
si ini ternyata dapat menipiskan rasa bersalah yang dimiliki pelaku dan merasa dirinya tidak men
dapatkan keadilan. Sebagai contoh "saya korupsi karena tidak digaji dengan layak". Sebagaiman
a yang diutarakan Cressey, korupsi terjadi kalau ada kesempatan melakukannya. Tak heran, jika
banyak yang melakukan tindakan culas tersebut.

Sebagai bentuk antisipasi, kita harus tahu ciri-ciri korupsi yang mungkin saja tanpa disadari terja
di di lingkungan sekitar, misalnya:

 Adanya pembengkakan anggaran

Pembengkakan anggaran (mark up) merupakan kegiatan pembiayaan yang tidak diinginkan dan
melibatkan biaya yang tidak terduga. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat sepanjang 20
22 terdapat 303 kasus korupsi dengan modus mark up dan penyalahgunaan anggaran.

Melakukan mark up sama dengan tindakan curang atau mempermainkan anggaran. Dari contoh k
asus dan ciri-ciri korupsi mark up, maka dana yang dibuat bisa dilebih-lebihkan atau diada-adaka

19
n (dana fiktif). Umumnya, kegiatan ini kerap dilakukan pada proyek-proyek infrastruktur, bangu
nan, hingga teknologi.

 Penyunatan dana desa untuk pribadi

Dana desa seringkali diberikan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat d
engan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kualitas hidup, dan
menanggulangi kemiskinan di suatu daerah.

Namun, anggaran dana desa ini ternyata disunat untuk keperluan pribadi oleh pelakunya. Menuru
t data ICW, kasus korupsi dana desa ternyata naik sembilan kali lipat, yaitu pada 2015 hanya ada
21 kasus, tapi meningkat menjadi 154 kasus pada 2021.

 Promosi jabatan tidak sesuai kompetensi

Mendapatkan promosi jabatan di tempat kerja tentu menjadi sesuatu yang membanggakan. Namu
n, nyatanya tidak mudah untuk mendapatkannya karena dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalny
a saja, kompetensi, prestasi kerja, dan lainnya.

Terkadang beberapa orang tetap bersikeras jabatannya naik sehingga ia rela melakukan tindakan
suap kepada atasan maupun HRD. Suapnya bisa berupa memberikan sejumlah uang, memberika
n hadiah, dan sebagainya. Tindakan ini tentu tidak patut untuk dicontoh karena naiknya jabatan k
arena melakukan suap bukan berdasarkan kompetensi.

 Uang damai untuk polisi

Memberi “uang damai” ketika melanggar aturan lalu lintas kepada polisi lalu lintas sama saja me
mbiarkan cikal bakal korupsi dalam diri sendiri. Lebih baik menaati aturan tata cara sidang dan p
embayaran denda tilang. Berlaku jujur saat ditilang, tentu prosesnya akan lebih mudah.

Maka dari itu dari factor-faktor tersebut, perlu juga dipahami cara memberantas korupsi yang bia
sa digunakan oleh KPK . Ada tiga strategi pemberantasan korupsi, KPK menyebutnya:

20
Trisula Pemberantasan Korupsi. Melalui ketiga strategi ini diharapkan dapat membantu membera
ntas korupsi sekaligus mengurangi kemiskinan di Indonesia. Pemberantasan korupsi tentunya me
mbutuhkan kesamaan tujuan , dan pola pikir. Sehingga pemberantasannya bisa dilakukan dengan
tepat dan terarah. ACLC KPK telah merangkum Trisula Strategi Pemberantasan Korupsi, yakni:

a.) Sula Penindakan, strategi KPK dalam menindaklanjuti koruptor , dan membawanya ke
meja hijau. Membaca tuntutan dengan menghadirkan saksi, dan alat bukti yang nantinya
bisa digunakan untuk menguatkan perbuatan yang dilakukan.

b.) Sula Pencegahan, perbaikan pada sistem sehingga dapat mencegah terjadinya tindak pid
ana korupsi. Beberapa perbaikannya seperti pelayanan publik yang dibuat transparan, pen
ataan layanan publik lewat koordinasi dan korsupgah (supervisi pencegahan), dan lainnya.

c.) Sula Pendidikan, dilaksanakan dengan kampanye, dan edukasi yang bertujuan untuk me
nyamakan pemahaman masyarakat terkait tindakan korupsi, dan memeranginya bersama.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Penyebab terjadinya korupsi yang banyak terjadi di Indonesia karena seseoarang beranggapan
bahwa jika kekayaan didapat maka orang tersebut dapat dikatakan sukses. Maka dari itu orang
akan melakukan cara apapun untuk mendapatkan kekayaan tersebut termasuk dengan cara
korupsi yang merugikan masyarakat banyak dan negara. Lemahnya pendidikan agama, moral,
dan etika juga merupakan penyebab lain yang mengakibatkan orang melakukan korupsi.

21
Pengaturan pidana dalam tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 413- 437 KUHP, selain itu
ada juga peraturan lain yang mengatur tentang tindak pidana korupsi di luar KUHP yaitu yang
terdapat pada Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Pertanggung jawaban pidana dalam delik korupsi lebih luas dari hukum pidana umum,
karena pelaku dalam tindak pidana korupsi tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya
walaupun pelaku telah meninggal dunia tetapi hanya dibatasi sampai perampasan pada barang-
barang yang telah disita.

3.2 SARAN

Penggunaan pendekatan yang lebih komprehensif dalam melihat korupsi akan sangat
berpengaruh terhadap upaya pemberantasan korupsi. Kesalahan pendekatan berakibat salah
persepsi terhadap korupsi dan akan menyebakan terhambatnya pemberantasan korupsi. Untuk
penyempurnaan ke depan perlu pendekatan yang lebih komprehensip dalam membuat undang-
undang pemberantasan tindak pidana korupsi dan dalam implementasinya yaitu tidak saja
menggunakan pendekatan idealisme, tapi perlu juga pendekatan lainnya yaitu pendekatan dari
sudut pandang materialisme dan pragmatisme. Penggunaan pendekatan yang utuh seperti ini
akan dapat memberikan pemahaman utuh tentang tindak pidana korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Hartanti,Evi.2007.Tindak Pidana Korupsi.Jakarta: Sinar Grafika Offset.

Hamzah, Andi, 2014, Pemberantasan korupsi melalui hukum pidana nasional dan internasional,
Rajawali Pers, Jakarta.

Lopa, Baharuddin dan Moh Yamin, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang

22
No. 3 tahun 1971) Berikut Pembahasan serta Penerapannya Dalam Praktek, 1987.

JURNAL :

Rumajar,Johana Olivia.(2014).Alasan Pemberhentian Penyidikan Suatu Tindak Pidana


Korupsi : Lex Crimen Vol. III/No. 4

INTERNET:

https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20230803-ciri-ciri-dan-indikator-penyebab-
korupsi

23

Anda mungkin juga menyukai