Oleh :
Shefyra Putri Islami ( 220611604248 )
Fenomena yang sedang ramai diperbincangkan yaitu mengenai Lesbian, Gay, Bisexual
dan Transgender atau lebih dikenal dengan LGBT. Hal ini menjadikan rasa khawatir dan
cemas pada masyarakat. Dulu, kaum ini tidak berani mengakui diri sebagai homoseksual
karena takut dikucilkan. Dimulai dari suatu kecenderungan homoseksual, kemudian menjadi
perbuatan homo seksual yang akhirnya menjadi melekat dengan bentuk perjuangan agar
diterima sebagai sesuatu yang dinormalisasikan dalam kehidupan. Fenomena ini banyak
terjadi di Indonesia karena kebebasan yang semakin terbuka, sehingga komunitas LGBT
melakukan kampanye atau promosi yang mengaitkan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Dengan melakukan hal tersebut kaum LGBT dapat mempengaruhi generai muda yang belum
paham mengenai homoseksual terlebih para aktivis ini dianggap pahlawan karena
memperjuangkan eskistensi LGBT.
Marak kampanye atau promosi kaum LGBT di media sosial bahkan menjalar melalui
kampus, sekolah dan tempat umum lainnya. Kekhawatiran masyarakat mengenai fenomena
ini bukan tanpa alasan, salah satunya apabila gerakan ini dibiarkan di Indonesia adalah
pelegalan perkawinan sejenis. Oleh karena penolakan dilakukan oleh jajaran ormas, LSM,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah. Gerakan ini tidak mungkin ada tanpa
alasan, target dan tujuan akhir dari perjuangannya. Pandangan seluruh masyarakat mengenai
hal ini ada yang pro dan kontra. Mereka yang berpihak berpendapat bahwa fenomena LGBT
ini adalah hak asasi manusia, siapapun tidak mendiskriminasikan meskipun mereka kaum
minoritas. Sebaliknya, masyarakat yang kontra menyatakan bahwa hal ini merupakan
penyakit atau gangguan seksualitas yang kemungkinan bisa disembuhkan dan secara agama
hukumnya haram.
Keberadaan kaum ini telah muncul sebagai sejarah manusia. Perilaku ini pada akhirnya
akan mendorong pemahaman yang menyimpang mengenai seksualitas, karena perilaku
LGBT tidak bisa menyatukan antara keinginan dan prinsip – prinsip dasar kehidupan,
sehingga hal ini akan menyebabkan gangguan terhadap keberfungsian sosial. Tiap manusia
mempunyai kebebasan untuk menjalani hidupnya masing – masing, akan tetapi jika dipahami
lebih dalam jika kebebasan yang dimiliki berbanding lurus dengan batasan yang harus
dipenuhi. Komunitas ini tidak memikirkan apakah hal tersebut melanggar agama, kesusilaan
dan kepentingan umum bahkan keutuhan negara. LGBT bukanlah fenomena yang baru
muncul, sudah ada di masa Nabi Luth as. Kaumnya terkenal sebagai homoseksual dilaknat
oleh Allah SWT dengan adzab membalikkan bumi terhadap kaum Nabi Luth as dan Allah
menghujani mereka dengan batu yang terbakar api atas perbuatan mereka yang menjijikan
itu.
BAB II
PEMBAHASAN
َArtinya: “Dan (kami juga telah mengutus) Luth ketika dia berkata kepada mereka :
“mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh
seorangpun (di dunia ini)”. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan
nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang
melampaui batas”.
Senada dengan ayat - ayat tersebut, disebutkan juga dalam Q.S al-Syu‟ara‟ (26) : ayat
165 dan 166 :
Artinya : “Luth berkata kepada kaumnya): Mengapa kamu mendatangi (menggauli jenis
laki-laki) di antara manusia” (QS. al-Syuara‟:165)
Artinya: “Dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu,
bahkan kamu adalah orang - orang yang melampaui batas”. (QS. al-Syuara‟:166)
Ayat - ayat tersebut menerangkan bahwa perbuatan kaum Nabi Luth yang melakukan
hubungan seksual kepada sesama laki – laki melepaskan syahwatnya hanya kepada
sesama laki - laki dan tidak berminat kepada perempuan sebagaimana ditawarkan oleh
Nabi Luth, tetapi mereka tetap melakukan perbuatan homoseksual, akhirnya Allah SWT
memberikan hukuman kepada mereka dan memutarbalikan negeri mereka, sehingga
penduduk Sodom, termasuk isteri Nabi Luth ia merupakan kaum lesbi, terkena adzab
dengan terbaliknya negeri itu. Yang tidak kena azab hanya Nabi Luth dan pengikutnya
yang taat dan terjauh dari perbuatan homoseks
Ulama fiqih bersepakat mengharamkan homoseksual berdasarkan Al-Qur’an dan
hadis, juga berdasarkan kaidah fiqhiyah mengatakan :
Artinya : “Hubungan seks pada dasarnya adalah haram, sehingga ada dalil (sebab-sebab
yang jelas dan yakin tanpa keraguan) yang menghalalkannya, yakni adanya akad nikah”.
Begitu pula ulama fikih sepakat mengharamkan perbuatan lesbian, berdasarkan Hadis
Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abi Said.
Artinya: “Janganlah pria melihat aurat pria lain dan janganlah wanita melihat aurat wanita
lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain di bawah sehelai selimut/kain, dan
janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain di bawah sehelai selimut/kain”.
Uraian tersebut dapat disimpulkan, jika perbuatan homo maupun lesbi haram
hukumnya, apakah berbentuk pasangan menikah atau tidak. Jika terdapat ungkapan
maupun pernyataan yang mengatakan bahwa homo dan lesbi dibolehkan, itu bukanlah
ajaran Al-Qur’ an, hadis, dan bukan pula hasil ijtihad ulama yang mumpuni di bidangnya.
Mungkin hal itu ungkapan dan pernyataan dari kalangan yang hanya berbekal sedikit
pengetahuan agama, juga belum mengkaji dengan baik ayat - ayat Al-Qur’an maupun
Hadis, yang menyebabkan mereka memberi fatwa yang menyesatkan, yaitu
memperbolehkan perilaku homoseksual dan lesbian.
Larangan homoseksual dan lesbian tidak hanya merusak kemuliaan dan martabat
kemanusiaan, tetapi resikonya juga lebih besar, seperti dapat menimbulkan penyakit
kanker kelamin HIV/AIDS, spilis, dan lain-lain. Demikian juga perkawinan waria setelah
melakukan operasi penggantian kelamin dengan laki - laki, disebut dengan kategori
praktek homoseksual, karena tabiat kelaki - lakiannya tetap tidak bisa diubah oleh dokter,
meskipun ia sudah mempunyai kelamin perempuan.
Laki - laki juga tidak boleh menyerupai perempuan begitu pula sebaliknya. Tidak
dikutuk oleh Allah karena perbuatannya tetapi karena perbuatan itu dilarang. Jika dilarang
mengerjakannya, maka hukum dari perbuatan tersebut haram. Berkenaan juga laki - laki
yang mempunyai sifat keperempuanan begitu pula sebaliknya dianggap kalangan liberal
sebagai “given” atau pemberian Tuhan. Memang benar adanya, segala sesuatu adalah dari
Allah, tetapi perbuatan Allah ada yang sifatnya karena ikhtiar dari manusia itu sendiri.
Laki - laki yang mempunyai sifat keperempuanan dan sebaliknya, hal itu bisa terbentuk
dari lingkungannya sejak kecil. Jika lingkungan keluarga membiarkan anak laki - laki
bergaul dengan anak perempuan terus - menerus, bahkan mengikuti dari gaya berpakaian
maupun aktivitasnya, maka anak laki – laki itu akan terbiasa mengikuti sifat anak
perempuan begitupun sebaliknya. Walaupun ada anak laki - laki seperti tingkah laku dan
memiliki sifat perempuan atau sebaliknya, tetapi orang tuanya dapat mengarahkannya
menjadi seorang laki - laki atau seorang perempuan sesuai dengan jenis kelamin anak.
Dalam sistem hukum di Indonesia, yang terdapat dalam UUD 1945 dinyatakan “hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di depan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku adalah HAM yang
tidak dapat dikurangi dalam situasi apa pun”, hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam
DUHAM Pasal 2, 7 dan 22. (Rustam, 2016)
Adapun perlindungan, yang harus dijamin maupun diberikan dalam konteks LGBT ini
dari perspektif HAM adalah perlindungan hak asasi mereka dalam bentuk jaminan
kesehatan untuk bisa sembuh dari penyakitnya, sebagaimana tercantum dalam Pasal 25
DUHAM. Dapat ditarik kesimpulan bahwa, sudah menjadi keniscayaan bagi komunitas
atau kaum LGBT untuk mendapat hak - hak asasi mereka berupa jaminan perawatan atau
pengobatan terhadap penyakit LGBT tersebut. Bukan HAM dalam pengakuan ataupun
melegalkan terhadap orientasi seksual mereka yang menyimpang.
Di sisi lain, disamping HAM yang dimiliki oleh komunitas LGBT, ada juga
Kewajiban Asasi Manusia (KAM) yang wajib dipatuhi oleh setiap orang sebagai yang
tercantum dalam Pasal 29, ayat (1 dan 2) DUHAM yaitu:
Kewajiban dasar yang dimiliki seseorang (termasuk kelompok LGBT) sebagai bentuk
penghormatan terhadap hak asasi orang lain juga dapat diartikan sebagai pembatasan
terhadap hak asasi seseorang harus ditetapkan berdasarkan UU yang ditetapkan pada
Pasal 70 dan 73 UU. No. 39 Tahun 1999. Dari ketentuan tersebut, pemerintah berperan
dalam menentukan regulasi dan aturan hukum untuk membatasi kebebasan HAM LGBT,
untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta
kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Dalam
konteks LGBT, pemerintah dapat mengeluarkan UU atau Perpu, mengenai pelarangan
terhadap gerakan atau aktivitas penyimpangan seksual yang dilakukan oleh komunitas
LGBT di Indonesia.
BAB III
ANALISIS DAN PENGEMBANGAN ALTERNATIF SOLUSI
Ada Strategi Pencegahan Perilaku LGBT beberapa cara yang dapat digunakan
untuk mencegah perilaku LGBT maupun seks menyimpang antara lain:
1. Menjaga pergaulan
2. Remaja harus memiliki ketrampilan hidup (life skill)
3. Tutup segala celah pornografi
4. Adakan kajian atau seminar tentang bahaya LGBT
5. Peran media massa
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Liwat atau homoseks merupakan perbuatan yang dilarang dan merupakan jarimah
yang lebih keji daripada zina. Liwat adalah perbuatan yang bertentangan dengan akhlak
dan fitrah manusia berbahaya bagi manusia yang melakukannya. Penyimpangan seksual
terjadi pada siapa saja tanpa memandang bulu. Salah satu nya adalah LGBT. LGBT
disebabkan karena pengaruh lingkungan pertemanan, perlakuan orang tua terhadap anak,
tayangan pornografi, dan problem hidup seperti himpitan ekonomi dan kejiwaan. Ha
tersebut menjadi penyumbang terbesar dari terjadinya perilaku seks menyimpang maupun
LGBT. LGBT bisa dihindari maupun dicegah, bahkan dapat disembuhkan. Jangan beralih
ke orientasi seksual. Jalur yang digunakan oleh para ahli untuk menyembuhkan perilaku
LGBT yakni kejiwaan dan pendidikan agama Islam. Karena sudah dijelaskan dalam
berbagai dalil tentang larangan perilaku LGBT.
DAFTAR PUSTAKA
Ermayani, T. (2017). LGBT dalam perspektif islam. Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah
Umum, 17(2), 147-168.