Anda di halaman 1dari 148

MENJADI MANUSIA OTENTIK

Penulis : Reza A.A. Wattimena


G. Edwi Nugrohadi
A. Untung Subagya

Editor : G. Edwi Nugrohadi





Edisi Pertama
Cetakan Pertama, 2012

Hak Cipta  2012 pada penulis,


Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku
ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik
perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

Ruko Jambusari No. 7A


Yogyakarta 55283
Telp. : 0274-889836; 0274-889398
Fax. : 0274-889057
E-mail : info@grahailmu.co.id

Wattimena, Reza A.A.; Nugrohadi, G. Edwi; Subagya, A. Untung


MENJADI MANUSIA OTENTIK/Reza A.A. Wattimena; G. Edwi Nugrohadi; A. Untung Subagya
- Edisi Pertama – Yogyakarta; Graha Ilmu, 2012
viii + 138 hlm, 1 Jil.: 26 cm.

ISBN: 978-979-756-xxx-xx

1. ................. I. Judul
KATA PENGANTAR

O
tentisitas sejatinya menjadi dambaan setiap orang. Tidak ada satu manusiapun yang meno-
lak cita-cita untuk menjadi otentik. Kendati demikian, gagasan otentisitas itu sendiri tidak
serta merta digandrungi oleh setiap orang. Di sinilah kontradiktifnya. Ada banyak hal yang
melatarbelakanginya. Dengan dasar itulah para penulis buku ini mencoba untuk mengkonstruksi
gagasan otentisitas dalam konteks pembelajaran, utamanya adalah pembelajaran dalam dunia pen-
didikan tinggi.
Dengan selesainya buku ini, kami menghaturkan puji dan syukur kepada Tuhan, karena
semuanya ini terjadi berkat kelimpahan rahmatNya. Kami menyadari bahwa buku ini masih jauh
dari sempurna. Untuk itu, kami mengharapkan masukan agar di masa yang akan datang atau dalam
penerbitan-penerbitan berikutnya, kami dapat menyajikan hal yang lebih baik daripada apa yang
sudah dijalankan ini. Kritik, saran, dan masukkan dapat Anda kirimkan ke nugrohadi@yahoo.com.
Dalam kesempatan ini, para penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu kemunculan buku ini. Kami yakin bahwa sulit untuk menyebutkan peran masing-
masing pihak tersebut satu per satu. Tuhan pasti membalas segala kebaikan Anda semua sesuai den-
gan kemurahanNya.
Akhir kata, kami mengucapkan selamat menikmati buku ini. Semoga dengan membaca buku
ini, gagasan otentisitas manusia singgah dalam kesadaran Anda, dengan harapan bahwa gagasan
tersebut akan ditransformasikan dalam sikap dan perilaku sehari-hari. Melalui hal itulah, salah satu-
nya, kehidupan yang lebih humanis akan berkembang.

Salam Hormat,
Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI vii
PROLOG: MENJADI MANUSIA OTENTIK 1
BAB 1 MANUSIA DAN MOTIVASI HIDUP 7
Tiga Kerangka Teori 8
Pemadatan Kerangka Teori 10
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 13
BAB 2 MANUSIA DAN KESADARAN 15
Behaviorisme dan Kritik terhadap Dualisme 16
Kritik terhadap Behaviorisme 17
Menuju Teori tentang Kesadaran 18
Pemadatan Teori Lebih Jauh 21
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 22
BAB 3 MANUSIA DALAM KETEGANGAN DETERMINISME DAN KEBEBASAN 25
Kebebasan Relatif 27
Tuhan dan Kebebasan Manusia 29
Kebebasan dan Hukum Sebab Akibat 30
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 32
BAB 4 MANUSIA DAN KEBENARAN 35
Kebenaran dan Obyektivitas 38
Kebenaran dan Kebahagiaan 40
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 47
BAB 5 MANUSIA DAN HASRAT 49
Hasrat dan Filsafat 51
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 54
viii Menjadi Manusia Otentik

BAB 6 MANUSIA DAN KEJAHATAN 55


BAB 7 MENEROPONG SIS GELAP JIWA MANUSIA 65
Symbolism of Evil 67
Noda Jiwa 68
Dosa 70
Rasa Bersalah 72
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 75
BAB 8 MANUSIA DAN TUBUH (SEBUAH PENDEKATAN FENOMENOLOGIS) 77
Tubuh dan Dunia: Refleksi Lebih Jauh 81
Pemadatan Teori Lebih Jauh 83
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 84
Filsafat dan Kerja 87
BAB 9 MANUSIA DAN KERJA 87
Kerja dan Organisasi 88
Dimensi Fisiologis Kerja 90
Dimensi Psikologis Kerja 91
Dimensi Sosial Kerja 93
Dimensi Ekonomis Kerja 94
Dimensi Kekuasaan Kerja 95
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 95
BAB 10 MANUSIA DAN MASYARAKAT 97
Latar Belakang dan Ciri Khas Pemikiran Bordieu 100
Konsep Habitus: Upaya Teoritis untuk Menjembatani Dikotomi Antara Pelaku
dan Struktur 102
Tanggapan Kritis Atas Pemikiran Bourdieu 108
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 110
BAB 11 MANUSIA DAN KEMATIAN 113
Filsafat dan Psikologi Kematian 118
Pertanyaan-pertanyaan Reflektif 123
EPILOG: MENJADI MANUSIA OTENTIK 125
Otentisitas yang Elusif 125
Otentisitas dan Eksistensialisme 126
Filsafat dan Otentisitas 129
Etika Otentisitas? 132
DAFTAR PUSTAKA 137

-oo0oo-
PROLOG:
MENJADI MANUSIA OTENTIK

O
rang yang otentik adalah orang yang bahagia. Mereka adalah orang bebas. Otentisitas ada-
lah hal terindah yang bisa ditawarkan oleh kehidupan kepada kita. Oleh karena itu setiap
orang perlu menjadikan otentisitas sebagai tujuan hidupnya.1 Ungkapan ini tampaknya
tidak berlebihan. Banyak orang menjadikan kebahagiaan sebagai tujuan hidupnya, dan kebahagiaan
yang sejati hanya dapat diperoleh, jika orang mau menjadi dirinya sendiri yang otentik, yang asli,
yang tidak dilumuri kemunafikan. Banyak buku, majalah, talk show di televisi, termasuk Oprah,
menjadikan otentisitas sebagai tema utama mereka. Beberapa buku best seller juga mengupas tema
ini secara populer.
Ide normatif dari otentisitas adalah supaya orang bisa menjadi dirinya sendiri secara sungguh-
sungguh. Dalam arti ini terutama di era ketidakpastian politik, ekonomi, dan sosial seperti sekarang,
otentisitas merupakan tujuan tertinggi yang bisa diraih manusia. Akan tetapi sampai sekarang, banyak
buku-buku self-help masih mengajarkan orang untuk tidak menjadi dirinya sendiri. Buku-buku itu
mengajarkan supaya orang menjadi lebih dari dirinya sendiri, menjadi lebih baik, dan menjadi se-
perti tokoh-tokoh tertentu yang sudah sukses, baik di bidang ekonomi maupun kemanusiaan. Inilah
yang disebut David Riesman sebagai “individu yang terarah pada individu yang lain” (other-direc-
ted individual).2 Buku-buku semacam ini berdiri di atas pengandaian bahwa ada orang yang belum
berkembang secara maksimal. Oleh karena itu orang-orang semacam itu perlu dibantu supaya me-
reka menyadari bakat-bakat yang mereka miliki, dan mengembangkannya secara maksimal. Setiap
orang diajak untuk meraih sesuatu yang belum mereka miliki, terutama dengan mengembangkan
diri semaksimal mungkin. Menurut Guignon pandangan semacam itu justru membuat orang tidak
menjadi otentik. Orang menjadi palsu karena ia ingin menjadi apa yang bukan dirinya sendiri. “Ideal
kontemporer tentang otentisitas”, demikian tulisnya, “mengarahkan anda untuk menyadari dan men-
2 Menjadi Manusia Otentik

jadi apa yang sudah merupakan diri anda sendiri, yang unik, karakter-karakter
definitif yang sudah ada di dalam diri anda.”3
Fritz Perls seorang terapis eksistensial berpendapat bahwa, orang yang ti-
dak bisa menjadi otentik dapat dikategorikan sebagai orang yang neurosis. ����
Neu-
rosis sendiri adalah suatu kondisi, di mana orang berusaha melarikan diri dari
dirinya sendiri. Orang yang neurosis telah mengorbankan diri mereka sendiri
justru untuk mengembangkan dirinya. Akibatnya hidup mereka terasa hampa,
kering, dan tidak bermakna. Bisa juga dibilang mereka sudah mati, walaupun
tubuhnya masih hidup. Buku-buku self help yang banyak beredar sekarang ini
tampaknya sesuai dengan analisis Perls tersebut. Orang diajarkan untuk men-
jadi kaya melalui cara-cara tertentu, yang sebenarnya tidak sesuai dengan diri
mereka. Akibatnya banyak orang mengorbankan dirinya sendiri justru untuk
mengembangkan dirinya. Jika diri sendiri sudah dikorbankan, maka perasaan
hampa makna adalah konsekuensi logisnya.4
Jelaslah bahwa berani untuk menjadi diri sendiri adalah sumber keba-
hagiaan. Berani untuk menjadi diri sendiri, apapun itu, adalah obat anti neu-
rosis. Oleh karena itu pandangan ini layak menjadi tujuan hidup setiap orang.
Walaupun begitu pandangan ini juga sangat sulit diwujukan dalam realitas.
Masyarakat dan dunia sosial keseluruhan mempunyai aturan dan tuntutan, yang
seringkali menghalangi orang untuk menjadi dirinya sendiri. “Segala sesuatu di
dalam eksistensi sosial”, demikian Guignon, “menarik kita menjauh dari upa-
ya untuk menjadi diri kita sendiri, untuk alasan sederhana bahwa masyarakat
bekerja secara maksimal dengan membuat orang terkurung di dalam mekani-
sme kehidupan sehari-hari.”5 Dunia sosial akan berjalan lancar, jika orang me-
mandang diri mereka sendiri sesuai dengan peran sosialnya, serta menjalankan
tugas-tugasnya di dalam fungsi sosial tanpa ragu-ragu. Dunia sosial dan peran
sosial yang dipaksakan mendorong orang untuk menjadi tidak otentik. Spiri-
tualitas yang kokoh dan cara pandang yang jernih terhadap realitas merupakan
kunci untuk tetap otentik di dalam dunia sosial.
Asumsi dasar dari semua teori tentang otentisitas adalah, bahwa di da-
lam diri setiap orang terdapat jati diri yang sejati, yang membedakan orang
tersebut dari orang-orang lainnya. Jati diri sejati ini mengandung perasaan-
perasaan, kebutuhan-kebutuhan, hasrat-hasrat, kemampuan-kemampuan, dan
kreativitas yang membuat orang tertentu unik, jika dibandingkan dengan orang
lainnya. Menurut Guignon konsep otentisitas memiliki dua aspek pemahaman.
Yang pertama adalah pemahaman bahwa untuk menjadi otentik orang perlu
menemukan jati diri sejati yang ada di dalam diri melalui proses refleksi. Jika
orang mampu mencapai pemahaman penuh tentang dirinya sendiri, barulah ia
Prolog: Menjadi Manusia Otentik 3

mampu mencapai eksistensi diri yang otentik. Yang kedua selain menemukan
jati diri sejatinya, orang juga perlu mengekspresikan jati diri sejati tersebut di
dalam tindakannya ke dunia sosial. Orang perlu untuk menjadi dirinya sen-
diri di dalam relasinya dengan orang lain. Hanya dengan mengekspresikan jati
diri sejatinyalah orang dapat mencapai kepenuhan diri penuh sebagai manusia
yang otentik.
Guignon lebih jauh berpendapat, bahwa wacana tentang otentisitas diri
manusia terkait erat dengan pertanyaan yang sangat mendasar, yakni apa yang
paling bermakna di dalam hidup manusia? Dari sudut pandang filsafat manusia,
ada dua kemungkinan jawaban. Yang pertama adalah bahwa hidup yang ber-
makna adalah hidup yang otentik, yakni hidup berdasarkan keyakinan sendiri.
Orang diminta untuk hidup sesuai dengan dirinya sendiri, dan bukan atas kein-
ginan orang lain. Seperti sudah disinggung sebelummya, pandangan ini berdiri
di atas pengandaian, bahwa setiap orang memiliki potensi dan bakat yang pan-
tas untuk diekspresikan di dalam aktivitasnya di dunia.6
Pandangan kedua menekankan bahwa untuk mencapai hidup yang ber-
makna, orang perlu mengosongkan dirinya sendiri, dan mengikatkan dirinya
pada sesuatu yang lebih besar. Cara pandang ini menegaskan, bahwa orang
perlu untuk melepaskan perasaan-perasaan pribadinya, dan mengabdi pada
cita-cita yang luhur di luar dirinya sendiri. Cara pandang ini berakar pada pe-
mikiran Dostoevsky, terutama pada novel Brother Kamazarov, ataupun buku-
buku lainnya. Di dalam tulisan-tulisannya, Dostoevsky berpendapat, bahwa
konflik di dalam dunia modern muncul, karena orang terlalu berfokus pada
dirinya sendiri, sehingga menjadi sangat individualistik. Orang seolah terpukau
pada dirinya sendiri, sehingga ia terobsesi pada kesuksesan pribadi, dan men-
ganggap orang lain sebagai musuh. Orang saling terisolasi satu sama lain dan
hidup dalam permusuhan. Orang terputus dari komunitasnya sehingga hidup
selalu diwarnai kompetisi, agresivitas, kecemburuan, keterasingan, dan pada
akhirnya menciptakan kesedihan yang mendalam. Untuk melawan semua itu,
orang perlu melepaskan dirinya dari keinginan dan hasrat. Orang perlu untuk
merasa bebas, bahkan dari dirinya sendiri, sehingga terciptalah situasi yang
damai. Dengan melepaskan dirinya sendiri, orang bisa bersatu dengan dunia
sosial. Hidup pun mengalir dalam kebersamaan dan harmoni.7
Cara pandang terakhir ini mengajak orang untuk keluar dari kesibukan
untuk menjadi diri sendiri, yang justru diidealkan oleh teori otentisitas. Dari
sudut pandang ini, menurut Guignon, tujuan tertinggi dari kehidupan adalah
menjadi peka terhadap panggilan dari sesuatu yang lebih tinggi dari diri manu-
sia itu sendiri. Orang diajak untuk menyerahkan dirinya pada kehendak Tuhan,
4 Menjadi Manusia Otentik

pembentukan solidaritas, ataupun pada perjuangan untuk meningkatkan kebe-


basan di masyarakat. Inti utama dari pandangan ini adalah, bahwa manusia
haruslah melepaskan diri dari egonya sendiri yang justru membuatnya tidak
bahagia.
Dua pandangan ini mendominasi panggung filsafat barat, terutama pe-
mikiran para filsuf yang merefleksikan manusia secara filosofis. Bagi para pen-
dukung teori otentisitas, pandangan bahwa manusia haruslah mengosongkan
dirinya untuk menjadi otentik adalah suatu pelecehan terhadap tanggung jawab
orang untuk mengembangkan dirinya sendiri. Dengan mengosongkan dirinya
sendiri dan berserah pada sesuatu yang lebih besar dari pada dirinya sendiri,
orang justru melarikan diri dari tanggung jawabnya sendiri terhadap hidupnya.
Orang menjadi dependen. Para pendukung teori otentisitas yakin bahwa orang
baru dapat hidup secara penuh dan bahagia, jika ia menentukan sendiri hidup-
nya dan bertanggung jawab atasnya.
Dari sudut pandang pendukung teori kekosongan diri, hidup yang dituju-
kan untuk mencapai ideal diri sendiri memiliki masalah yang besar. Bagi bany-
ak orang proses untuk mencapai otentisitas ideal diri sendiri justru berakhir
pada kekecewaan dan kegagalan. Orang yang gagal mewujudkan ideal ini akan
merasa bahwa ia telah gagal dalam hidupnya. Dapat juga dikatakan bahwa
proses untuk menjadi diri sendiri adalah proses yang elusif, yakni proses yang
selalu lepas dari genggaman, walaupun orang sudah berusaha keras menggeng-
gamnya. Di lubang elusifitas ini, banyak penulis menawarkan tips-tips tentang
bagaimana supaya orang bisa menjadi dirinya sendiri. “Seringkali”, demikian
tulis Guignon, “program-program pelatihan untuk menjadi diri sendiri terbukti
menipu, koersif, manipulatif, mengontrol partisipan, dan eksploitatif secara fi-
nansial.”8 Di sinilah ironisnya bahwa orang justru kehilangan dirinya sendiri,
ketika ia mencoba menemukannya dengan menggunakan pelatihan-pelatihan
yang ditawarkan.
Pada hemat penulis, searah dengan Guignon, program pelatihan yang di-
tawarkan buku-buku psikologi populer, yang dirancang untuk membantu orang
menemukan dirinya sendiri, justru membuat orang terperangkap di dalam cara
berpikir ideologis yang sesuai dengan kemauan para perancang program ter-
sebut, yakni kelompok dominan di dalam masyarakat. Akibatnya orang yang
tidak dapat mencapai cara hidup dari ideologi dominan tersebut akan merasa
hampa. Mereka akan merasa bahwa apapun yang mereka lakukan selalu gagal.
Mereka tidak berdaya dan justru tidak akan pernah bahagia, selama mereka ma-
sih menggunakan cara berpikir kelompok dominan di dalam masyarakat, yang
seringkali tidak cocok dengan mereka. Di dalam tegangan antara menemukan
Prolog: Menjadi Manusia Otentik 5

jati diri sejati dan mengosongkan diri, pilihan individu yang bersifat historis
adalah jalan keluarnya.
Buku ajar filsafat manusia yang berjudul Menjadi Manusia Otentik ini
adalah buku yang ditujukan untuk memfokuskan refleksi filsafat manusia ke
dalam konteks jaman yang penuh dengan krisis dan perubahan mendadak. Di
tengah jaman yang penuh krisis dan kejutan ini, orang perlu menjadi otentik,
supaya ia tidak terbawa ke dalam arus perubahan dan krisis, yang pada akhir-
nya melunturkan integritas dan identitasnya sebagai manusia. Buku ini tidak
mau menggantikan buku filsafat manusia yang sudah ada, namun untuk mem-
berikan terobosan yang lebih relevan dengan kondisi kita sekarang. Bahan-ba-
han yang penulis gunakan untuk menulis juga bahan-bahan yang lebih update,
sesuai dengan perkembangan refleksi tentang manusia di masa sekarang, baik
di ranah filsafat, maupun di ranah ilmu-ilmu lainnya.
Supaya tidak melanggar kode etik ilmiah, penulis akan menyebutkan
sumber-sumber utama penulisan buku ini. Untuk wacana mengenai otentisi-
tas, penulis mengacu pada tulisan Charles Guignon yang berjudul On Being
Authentic. Untuk refleksi mengenai motivasi hidup manusia, penulis terinspi-
rasi dari tulisan Donald Laming yang berjudul Understanding Human Moti-
vation. Untuk refleksi mengenai aspek kesadaran manusia, penulis mengacu
pada pemikiran W.G Lycan di dalam tulisannya yang berjudul Consciousness,
dan pemikiran Ken Wilber di dalam tulisannya yang berjudul An Integral The-
ory of Consciousness. Untuk wacana mengenai determinisme dan kebebasan
manusia, penulis mengacu pada pemikiran Ilham Dilman di dalam tulisannya
yang berjudul Free Will: A Historical and Philosophical Introduction. Untuk
refleksi mengenai kebenaran, penulis mengacu pada pemikiran Michael Lynch
di dalam tulisannya yang berjudul True to Life. Untuk refleksi mengenai hasrat
dan nafsu manusia, penulis mengacu pada pemikiran Simon Blackburn dalam
bukunya yang berjudul Lust. Mengenai kejahatan manusia penulis mengacu
pada pemikiran Adorno sebagaimana ditafsirkan oleh Peter Dews dalam buku-
nya yang berjudul The Idea of Evil.
Untuk tulisan mengenai sisi gelap jiwa manusia, penulis mengacu pada
pemikiran Paul Ricoeur di dalam tulisannya yang berjudul The Symbolism of
Evil. Tulisan ini pernah dimuat di majalah Basis vol. 56 no: 11/12 November
2007. Untuk refleksi filsafat mengenai tubuh, penulis mengacu pada pemikiran
Merleau-Ponty sebagaimana ditafsirkan oleh Samuel Todes di dalam tulisannya
yang berjudul Body and The World. Penulis juga mengacu pada tulisan Tay-
lor Carman yang berjudul Merleau-Ponty. Untuk wacana mengenai kematian,
penulis mengacu pada pemikiran Stanislav Groff dan Joan Halifax yang ada di
6 Menjadi Manusia Otentik

dalam tulisan Human Encounter with Death. Untuk tulisan tentang manusia
dan pekerjaan, penulis mengacu pada tulisan Franz Magnis-Suseno yang berju-
dul Kota dan Kerja, serta tulisan Peter Drucker yang berjudul Management:
Tasks, Responsibilities and Practices. Untuk refleksi filosofis mengenai manu-
sia dan masyarakat, penulis mengacu pada tulisan Haryatmoko tentang Pierre
Bourdieu.
Untuk refleksi mengenai kaitan antara otentisitas, kejujuran, ketulusan,
dan etika, penulis mengacu pada tulisan Jacob Golomb yang berjudul In Search
of Authenticity. Untuk lebih lengkapnya penulis akan memuat acuan secara
lengkap pada bagian catatan kaki dan daftar pustaka. Seluruh tulisan yang pe-
nulis baca akan dirangkum untuk mengajukan tesis mengenai manusia otentik
di jaman yang penuh krisis dan ketidakpastian. Menjadi otentik dalam dunia
kosmetik menjadi tantangan dan juga sekaligus tujuan yang tak berkesudahan.
Buku ini adalah hasil kerja sama beberapa dosen pengajar filsafat manu-
sia di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (Terima kasih untuk semua
kerja keras yang tak kunjung lelah itu). Kendati sudah merupakan upaya bebe-
rapa orang, kekurangan tetaplah ada. Kami, para penulis, tidak menutup diri
untuk masukan dan saran solutif. Melalui proses itu, kami memaknai bahwa
otentisitas bukan hanya sekedar diajarkan, tetapi juga perlu diteladankan. SE-
MOGA.***

1 Tulisan pada bab ini diinspirasikan dari pemikiran Guignon, Charles, On Being Authentic,
London, Routledge, 2004, hal. 1. Ia mengutipnya dari sebuah website di Amerika.
2 Riesman, David, The Lonely Crowd: A Study of Changing American Character, New Haven,
Yale University Press, 1950, dalam ibid, hal. 2.
3 Guignon, 2004, hal. 3.
4 Lihat, Perls, Fritz, “Four Lectures,” in J.Fagan and I.L.Shepherd, eds., Gestalt Therapy Now,
New York, Harper Colophon, 1970, hal. 20, 22, dalam Ibid.
5 Guignon, 2004, hal. 3.
6 Lihat, ibid, hal. 4.
7 Lihat, ibid.
8 Ibid, hal. 5.

-oo0oo-
BAB 1
MANUSIA DAN MOTIVASI HIDUP

U ntuk menjadi otentik orang perlu mengenal dirinya sendiri. Proses pengenalan itu adalah
proses belajar. Proses belajar yang tertinggi bukanlah mengetahui hal-hal baru di dunia
luar, tetapi justru mengenal dan memahami diri sendiri secara penuh. Itulah proses belajar
tertinggi. Jika orang tidak mengenal dirinya sendiri, maka ia tidak akan pernah merasa bahagia. Ia
juga tidak akan pernah menjadi orang yang bijaksana. Semua pengetahuan akan dunia luar akan
menjadi percuma, jika orang tidak memahami dirinya sendiri. Bisa juga dibilang bahwa pengetahuan
yang penuh akan dirinya sendiri adalah pengetahuan tertinggi yang bisa dimiliki manusia, dan cara
terpenting untuk mencapai hidup yang otentik.
Salah satu aspek mendasar yang mendorong setiap orang untuk hidup dan beraktivitas adalah
motivasi. Motivasi mendasari tindakan orang, apapun tindakannya, dan siapapun orang itu. Untuk
memiliki pengetahuan yang utuh tentang diri, orang perlu untuk memahami motivasi yang mendo-
rong tindakan. Menurut Laming1 motivasi adalah “perubahan dari beberapa pola perilaku dari suatu
program tindakan yang ditentukan secara spesifik internal oleh individu.”2 Jika dibahasakan secara
lugas, motivasi adalah program internal yang ada di dalam diri seorang, yang mendorong orang itu
untuk melakukan tindakan tertentu. Program internal itu bisa bersifat bawaan, yakni sudah ada di
dalam diri orang sejak ia lahir, atau dibentuk melalui pengalaman.
Laming juga berpendapat bahwa setiap mahluk biologis pasti memiliki insting yang bersifat
repetitif. Insting ini adalah semacam pola tetap yang bisa diabstraksi dari perilakunya. Manusia pun
juga sama. Tanpa pola perilaku yang tetap ini, orang tidak akan bisa beraktivitas, ataupun untuk
hidup. “Diberikan rangsangan yang tepat”, demikian Laming, “maka pola perilaku terkait akan terge-
rak.”3 Motif tindakan dipandang sebagai sumber energi, yang memungkinkan orang bisa melakukan
sesuatu. Rangsangan dari luar itu bukanlah sumber perilaku, melainkan suatu cara untuk membebas-
kan energi internal, yakni motivasi, yang sudah ada di dalam diri orang. Inilah yang disebut Laming
8 Menjadi Manusia Otentik

sebagai pola instingtif, yang juga disebutnya sebagai “perilaku semi mekanis”
dari manusia.
Menggaruk kulit ketika gatal adalah perilaku instingtif. Perilaku semacam
ini juga bisa direkayasa. Di dalam psikologi rekayasa perilaku ini disebut juga
sebagai conditioning, atau pengkondisian. Ketika pola perilaku yang ada mulai
tampak dan menjadi rutin, maka lama-kelamaan, pola itu akan menjadi ins-
tingtif. Di dalam filsafat ini disebut juga sebagai behaviorisme. Mahluk hidup,
termasuk manusia, jika diberikan rangsangan yang tepat, maka mereka akan
bertindak sesuai dengan pola tertentu yang tetap. Sebaliknya, tanpa rangsangan
yang tepat, mahluk hidup tidak akan mampu bertindak sesuai dengan yang
diharapkan. Pada beberapa kasus rangsangan yang salah justru dapat membuat
orang bertindak aneh, seperti orang yang biasanya sabar tiba-tiba berubah men-
jadi pelaku kekerasan yang mengerikan.4
Untuk memahami dinamika motivasi dan perilaku manusia, seorang il-
muwan memiliki tugas untuk mengajukan teori yang mampu memberi penje-
lasan rasional dan ilmiah terhadap dua kategori itu. Tujuannya adalah supaya
orang semakin memperoleh pengetahuan sistematis tentang diri dan dunianya,
sekaligus untuk mendorong penelitian lebih jauh. Pada titik ini peran teori di
dalam mengamati fakta sangatlah penting. Menurut Laming, teori, walaupun
masih merupakan pernyataan yang belum teruji secara metodis, dapat mem-
bantu orang untuk mengaitkan berbagai kejadian faktual yang terjadi, sehingga
bisa dipahami secara sistematis.5

Tiga Kerangka Teori


Laming kemudian mengajukan tiga kerangka teori yang bisa digunakan
untuk memahami manusia. Yang pertama adalah apa yang disebutnya sebagai
perilaku semi mekanis dari manusia. Manusia memiliki aspek instingtif yang
bersifat mekanis di dalam dirinya. Aspek instingtif ini seringkali mempengaruhi
perilaku manusia, dan bisa dipelajari melalui pendidikan, ataupun melalui pe­
ngaruh kultural secara rutin. Akan tetapi perilaku manusia tidak sepenuhnya
mekanis. Kita menyebut perilaku orang mekanis, karena kita terbiasa dengan-
nya. Namun jika dipikirkan lebih jauh, tidak ada perilaku yang sungguh meka-
nis, dan sama sekali terlepas dari kesadaran pelakunya. “Perilaku kita sendiri”,
demikian Laming, “tidak merasa mekanis sama sekali.”6 Orang menyadari bah-
wa mereka berbuat sesuatu, sehingga mereka menolak untuk disebut sebagai
orang yang mekanis. Karena jika mekanis maka manusia memiliki status yang
kurang lebih sama seperti benda-benda.
Manusia dan Motivasi Hidup 9

Pandangan kedua berangkat dari kelemahan pandangan pertama. La- ���


ming menyebutnya sebagai teori tentang sudut pandang personal dan sudut
pandang kamera (personal and camera view). Ia memberikan contoh tentang
pertandingan sepak bola. David Beckham adalah seorang pemain bola yang
terbiasa melakukan tendangan sudut di pertandingan. Dalam satu pertandingan
ia bisa melakukannya lebih dari lima kali. Bagi para penonton itu adalah hal
yang biasa dan mudah ditebak. Namun bagi Beckham tendangan itu sama se-
kali tidak bersifat mekanis. Ia harus memilih ke mana ia harus menendang bola,
dan kepada siapa ia harus mengumpannya.
Menurut Laming, dalam hal ini Beckham adalah “sekaligus pada waktu
yang sama mesin biologis kompleks yang berkemampuan tinggi yang menen-
dang bola dan juga pengamat dari tindakan itu - sebuah mesin yang meng­
amati dirinya sendiri.”7 Jika manusia adalah mesin yang bisa mengamati dirinya
sendiri, seperti yang diajukan oleh Laming, maka ia lebih kompleks daripada
mesin biasa, karena mesin biasa tidak menyadari dirinya sendiri adalah mesin.
Mesin tidak menyadari bahwa dirinya bersifat mekanis. Mesin juga tidak bisa
menggunakan dirinya sendiri. Harus ada orang yang menggunakannya, seperti
orang yang menggunakan telepon untuk berkomunikasi, orang yang melihat
jam untuk mengetahui waktu, dan sebagainya.
Dari sudut pandang orang luar, perilaku manusia terlihat mekanis. Jika
ia lapar maka ia makan. Ia akan minum jika ia haus. Jika dipukul maka ia akan
mengeluh sakit. Itu semua terlihat mekanis. Itulah yang disebut Laming seba-
gai perilaku semi mekanis dari manusia. Disebut semi mekanis karena sesung-
guhnya tidak ada perilaku manusia yang sepenuhnya mekanis. Jika dilihat dari
dalam, yakni dari sudut pandang pelaku yang menghayati suatu perilaku, maka
unsur mekanisnya sangat kecil. Setiap orang memang akan makan, ketika ia
lapar. Akan tetapi tegangan perasaan yang ia alami ketika ia lapar berbeda-beda
pada setiap orang. Dapat juga dibilang orang menghayati laparnya dengan cara
yang berbeda-beda. Inilah yang disebut Laming sebagai pandangan personal
dari suatu perilaku yang sama sekali tidak mekanis. Setiap orang pergi bekerja.
Itu adalah perilaku mekanis. Akan tetapi setiap orang menghayati pekerjaannya
secara berbeda. Itulah perilaku sadar yang hanya dapat dipahami dengan meng-
gunakan sudut pandang personal.
Pandangan ketiga adalah apa yang disebut Laming sebagai teori penga-
ruh sosial. Perilaku dan motivasi manusia sangatlah dipengaruhi oleh lingkung­
an sosial tempat ia lahir dan berkembang. Lingkungan sosial yang satu mem-
bentuk individu yang berbeda dengan lingkungan sosial lainnya. Tidak hanya
perilaku, konsep-konsep pun tertanam pada konteks sosial. Konteks sosial yang
10 Menjadi Manusia Otentik

berbeda memberikan arti yang berbeda pula pada konsep-konsep yang digu-
nakan. Misalnya adalah konsep keluarga. Di Jakarta konsep keluarga mengacu
pada keluarga inti, yakni ayah, ibu, dan anak. Sementara di beberapa tempat
seperti di Papua, konsep keluarga mengacu pada klan, yakni keluarga besar
yang memiliki satu nama. Konsep keluarga dimaknai berbeda di konteks sosial
yang berbeda.
Interaksi kita dengan orang lain tampak bersifat instingtif-mekanis. Namun
seringkali apa yang tampak instingtif-mekanis itu mengalami hambatan. Interak-
si kita dengan orang lain menjadi menurun kualitasnya. Contoh ekstrem yang
diajukan oleh Laming adalah pelaku kejahatan yang anti sosial akan ditempat-
kan di lembaga pemasyarakatan. Hal yang sama kurang lebih terjadi dengan
orang-orang yang mengalami gangguan mental. Mereka ditempatkan di rumah
sakit jiwa. Dengan demikian masyarakat mempertahankan tradisi sistem dan
kulturnya dengan menciptakan institusi-institusi yang mampu “mengembalikan
orang ke kondisi yang sesuai dengan kelompok dominan di dalam masyarakat”,
seperti lembaga pemasyarakatan, rumah sakit jiwa, dan bahkan sekolah. Perila-
ku dan motivasi manusia dalam bertindak seringkali dipengaruhi oleh institusi-
institusi sosial tersebut.
Tiga kerangka teori di atas, yakni teori perilaku semi-mekanis manusia,
teori tentang cara pandang kamera dan personal, serta teori tentang pengaruh
sosial, dapat membantu kita memahami mengapa orang melakukan apa yang
mereka lakukan. “Apa yang orang lakukan”, demikian tulis Laming, “adalah
mengekspresikan pola bawaan dari perilaku yang diperoleh secara kultural
dengan cara menyesuaikan diri dengan tuntutan dan konvensi yang ada di ma-
syarakat di mana mereka hidup.”8

Pemadatan Kerangka Teori


Kita memiliki emosi-emosi dan perasaan-perasaan internal di dalam diri
kita. Kita menghayati hasrat, kecemasan, dan pikiran-pikiran bergejolak. Tidak
ada orang lain yang mampu memahami perasaan-perasaan kita, selain kita sen-
diri. Perasaan-perasan itu bersifat privat. Bahkan seorang dokter atau psikiater
paling ahli sekalipun hanya bisa berspekulasi tentang apa yang sesungguhnya
kita rasakan. Laming menyebut ini sebagai pandangan personal (personal view).
Di sisi lain ada sisi obyektif dari manusia yang bisa dilihat oleh orang banyak.
Orang berjalan dan orang lain bisa melihatnya. Inilah yang disebut Laming
sebagai pandangan kamera (camera view). Hal yang sama berlaku sebaliknya.
Kita tidak dapat melihat orang lain sebagaimana mereka melihat dirinya sen-
Manusia dan Motivasi Hidup 11

diri.9 Kita tidak memiliki akses untuk langsung memahami pikiran, perasaan,
dan kegelisahan dari orang lain. Yang dapat kita lakukan adalah melakukan
spekulasi terhadapnya untuk sampai pada pengetahuan yang bersifat probable.
Di dalam melakukan penelitian dan pengamatan mendalam terhadap pe-
rilaku manusia, setidaknya ada dua sudut pandang yang perlu diperhatikan.
Yang pertama adalah pengamatan perilaku kita sendiri melalui sudut pandang
pertama, yakni sudut pandang kita sendiri. Yang kedua adalah pengamatan ter-
hadap perilaku kita sendiri, tetapi dengan menggunakan sudut pandang orang
kedua, yakni sudut pandang orang lain. Yang pertama disebut Laming sebagai
sudut pandang personal. Dan yang kedua disebutnya sebagai sudut pandang
kamera.10
Dari sudut pandang personal, orang memiliki kebebasan. ������������
Mereka memi-
liki pergulatan emosional, perasaan, dan kecemasan-kecemasan. Ciri-ciri itulah
yang membuat manusia menjadi manusiawi. Di sisi lain jika dilihat dari sudut
pandang kamera, perilaku manusia tampak mekanis. Ia diberi rangsangan, dan
kemudian memberikan respons yang kurang lebih tetap terhadap rangsangan
tersebut. “Pertanyaan tentang perilaku manusia ditandai oleh kehendak bebas
atau sepenuhnya ditentukan”, demikian tulis Laming, “bukanlah bagian dari
perilaku, tetapi dari titik tolak dari mana perilaku tersebut diamati”.11 Jika kedua
sudut pandang ini tidak dibedakan, maka yang terjadi adalah kebuntuan inte-
lektual (intellectual impasse), di mana suatu tindakan tampak melulu ditentu-
kan sekaligus bebas dalam waktu yang sama.
Dari sudut pandang kamera, perilaku manusia tampak sepenuhnya di-
tentukan. Perilaku manusia seolah berlangsung secara mekanis. Manusia di-
kenal juga sebagai mesin biologis. Walaupun memiliki unsur biologis, tetapi
tetap saja, manusia itu mesin. Mesin biologis itu bereaksi terhadap berbagai
rangsang­an yang muncul dari luar dirinya. Laming menyebut aspek perilaku ini
sebagai perilaku semi mekanis. Jika ada seorang wanita cantik berpakaian seksi
berjalan di terminal bis kota pada siang hari, maka semua pria yang duduk di
terminal, baik itu supir maupun penumpang, akan terkesima melihat wanita ter-
sebut. Memang secara personal masing-masing orang yang menyaksikan wani-
ta seksi berjalan menghayati peristiwa itu secara berbeda-beda. Namun dilihat
dari sudut pandang kamera, perilaku mereka tampak mekanis.
Dengan demikian dari sudut pandang personal, tidak ada perilaku ma-
nusia yang mekanis. Namun dari sudut pandang kamera, yakni sudut pandang
pengamat, perilaku manusia tampak mekanis. Namun seringkali orang tidak
menyadari dirinya sendiri adalah mesin yang mekanis. Pada saat memandang
12 Menjadi Manusia Otentik

wanita cantik tadi, penulis berpikir, “Dia cantik sekali, penulis ingin berkenalan
dengannya”. Pada saat itu penulis tidak menyadari, bahwa kepala penulis ter-
nyata sedang menghadap wanita itu, dan menatapnya langsung. Dari sudut
pandang kamera, itu adalah tindakan yang khas pria, yakni menatap wanita
cantik yang sedang berjalan. Isi dari pikirannya memang berbeda-beda, tetapi
tindakannya serupa. Laming menyatakan dengan jelas, bahwa tidak mungkin
orang bisa mengamati perilakunya sendiri secara akurat.
Masyarakat dibentuk oleh interaksi antar manusia. Interaksi tersebut me-
miliki pola yang kurang lebih tetap. Namun di dalam perjalanan waktu, interak-
si antar manusia tersebut semakin diwarnai oleh kekuasaan. Interaksi pun jatuh
ke titik negatif ekstrem, seperti terjadinya perkelahian antar kampung, pencuri-
an, pembunuhan, dan bahkan pemerkosaan. Sebagai antitesisnya, masyarakat
kemudian mendirikan berbagai institusi sosial dan kelompok kepentingan yang
berpihak pada perwujudan kepentingan umum. Keberadaan organisasi-organi-
sasi itu bertujuan menghadapi krisis interaksi yang terjadi di dalam masyarakat.
Pertanyaan dasarnya adalah mengapa pada akhirnya orang melakukan
“kejahatan” pada orang lainnya, sehingga merusak interaksi sosial yang meru-
pakan inti dari keberadaan masyarakat? Menurut Laming suatu perilaku dide-
finisikan sebagai suatu kejahatan, jika perilaku tersebut bertentangan de­ngan
norma yang berlaku di dalam masyarakat. Sedari kecil setiap orang selalu di-
bentuk dalam suatu konteks kultural tertentu yang memiliki norma-norma spe-
sifik. Tuntutan masyarakat merupakan suatu tuntutan yang harus dipatuhi oleh
orang-orang yang hidup di dalamnya. Apa yang baik oleh masyarakat harus
juga dianggap sebagai yang baik oleh individu. Namun dalam perjalanan ba­
nyak orang tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial tersebut.
Mereka memiliki dorongan personal yang berbeda dengan tuntutan kultural
yang dibebankan masyarakat. Mereka bertindak dengan motivasi personal yang
tidak memerlukan justifikasi dari dunia sosial. Akibatnya mereka dianggap ja-
hat, asing, aneh, eksentrik, dan sebagainya. Dengan kata lain Laming meng­
ajukan argumen menarik, yakni bahwa kejahatan muncul justru karena adanya
aturan. Keberadaan aturan dan norma tidak memusnahkan kejahatan, tetapi
justru melahirkannya.12
Dunia sosial memilki kekuatan yang luar biasa, sehingga bisa memak-
sakan norma-normanya kepada individu. Norma-norma ini diperpanjang oleh
institusi-instusi pendidikan, penjara, dan rumah sakit jiwa yang menyatakan
inilah yang benar, dan yang lain adalah salah. Moral dan agama pun membantu
di dalam pelestarian tata sosial tersebut. Moral, agama, pendidikan, penjara,
hukum, dan rumah sakit jiwa adalah elemen-elemen dunia sosial yang me-
Manusia dan Motivasi Hidup 13

miliki fungsi kontrol kuat terhadap individu. Jika individu tidak mampu me-
nyesuaikan diri dengan norma-norma yang terdapat di dalam institusi-institusi
tersebut, maka ia bisa dipenjara, direhabiliitasi, ataupun dimasukan ke dalam
rumah sakit jiwa. Keberadaan institusi ini tidaklah melulu buruk, karena mereka
menjaga stabilitas sosial, sekaligus mewariskan nilai-nilai kultural ke generasi
berikutnya. Dalam kerangka ini motivasi manusia, terutama yang mekanis, ha-
ruslah tunduk pada norma-norma kultural dan hukum positif yang ada.***

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Apa yang dimaksud dengan motivasi manusia? Berikan
��������������������������
contoh bentuk-ben-
tuk motivasi manusia di dalam tindakannya!
2. Jelaskan tiga kerangka teori yang dapat digunakan untuk memahami moti-
vasi manusia! Apa tanggapanmu terhadap ketiga kerangka teori tersebut?
3. Bagaimana cara yang tepat untuk memahami motivasi dari tindakan ses-
eorang? Jelaskan dengan contoh secukupnya!
4. Apakah manusia itu mahluk yang mekanis atau mahluk yang bebas? Jelas-
kan jawabanmu!

1 Tulisan ini diinspirasikan dari pemikiran Donald Laming, Understanding Human Motiva-
tion, Oxford, Blackwell, 2004.
2 Ibid, hal. 2.
3 Ibid.
4 Lihat, Laming, 2004, hal. 3.
5 Lihat, ibid, hal. 6.
6 Ibid.
7 Ibid, hal. 7.
8 Laming, 2004, hal. 8.
9 Lihat, Ibid, hal. 278.
10 Lihat, ibid, hal. 279.
11 Ibid, hal. 279.
12 Bdk, Laming, 2004, hal. 281.

-oo0oo-
BAB 2
MANUSIA DAN KESADARAN

P ada bab ini yang masih terhubung dengan bab sebelumnya, penulis akan membedah aspek-
aspek yang membentuk manusia. Pengenalan akan aspek-aspek ini membuahkan pengenalan
terhadap diri sendiri. Dan pengenalan terhadap diri sendiri merupakan syarat utama untuk
mencapai hidup yang otentik. Pengenalan diri sendiri dan keberanian untuk menerimanya dengan
jujur menjadi awal proses pengembangan diri. Otentisitas bukan bersifat statis tetapi dinamis, yakni
proses menjadi lebih sempurna dengan syarat kejujuran di dalamnya. Selain didorong oleh moti-
vasinya, manusia juga dipengaruhi oleh kesadaran yang ada di dalam dirinya. Pada bab ini penulis
akan mencoba memberikan beberapa refleksi filosofis tentang fenomena kesadaran manusia. Sebagai
kerangka, penulis banyak terinspirasi dari pembacaan penulis terhadap tulisan Ken Wilber dan Lycan
W.G.
Di dalam sejarah para filsuf dan psikolog seringkali berbicara tentang “problematika kesadar­
an” (the problem of consciousness), seolah problem kesadaran merupakan problem yang sudah jelas
pemetaannya. Descartes seorang filsuf modern asal Prancis berupaya menanggapi problem itu de­
ngan merumuskan pendapatnya sendiri. Ia berpendapat bahwa pikiran manusia merupakan entitas
yang lebih tinggi tingkatannya dari pada tubuh. Pikiran mempunyai prioritas atas tubuh. Fakta bahwa
kita dapat berpikir menunjukkan bahwa manusia merupakan entitas yang memiliki kesadaran. Ada
relasi internal antara kesadaran dan pikiran.1 Pikiran juga memiliki prioritas atas dunia. Tanpa pikiran
tidak ada realitas eksternal. Dengan demikian pikiran terpisah dari dunia. Pikiran adalah entitas yang
mandiri. Pikiran juga terlepas dari tubuh. Argumen Descartes banyak dikenal sebagai teori tentang
dualisme tubuh dan jiwa. Pandangan semacam ini mendominasi dunia filsafat, terutama dalam meta-
fisika dan epistemologi, dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20. Pada akhir dekade 1950-an
pandangan ini mulai ditantang dari berbagai penjuru.
16 Menjadi Manusia Otentik

Behaviorisme dan Kritik terhadap Dualisme


Penantang pertama adalah para pemikir positivisme logis. Mereka mem-
prioritaskan verifikasi dari pikiran individual. Pernyataan yang bermakna adalah
pernyataan yang bisa diverifikasi langsung di dalam realitas. Pernyataan yang
bermakna adalah pernyataan yang menggunakan “bahasa bersama yang bisa di-
observasi secara inter personal” (interpersonally shared observation language).
Cara pandang ini kemudian menjadi basis bagi behaviorisme di dalam filsafat
dan psikologi.
Behaviorisme baik di dalam filsafat maupun psikologi sebenarnya meru-
pakan kritik terhadap pandangan Descartes tentang pikiran dan kesadaran. Kri-
tik pertama berpendapat bahwa filsafat Descartes menggunakan bahasa-bahasa
privat yang tidak diakui secara komunal, sehingga keakuratannya patut diper-
tanyakan. Kritik kedua terhadap dualisme tubuh-jiwa Cartesian adalah bahwa
problem tentang keterpisahan tubuh dan jiwa di dalam filsafat Cartesian seolah
tidak akan pernah terselesaikan, dan hanya tetap tinggal sebagai misteri manu-
sia selamanya. Untuk memberikan kontribusi terhadap problem itu, kita perlu
menggunakan piranti sains yang empiris dan eksperimental, seperti peran otot
dan organ di dalam relasi antara tubuh dan jiwa.2 Di dalam kerangka ilmiah ini,
hipotesis Cartesian tidak akan lagi mengambang, melainkan bisa diverifikasi
dan diuji secara empiris oleh orang banyak.
Menurut Lycan hipotesis Descartes tentang dualisme tubuh dan jiwa juga
menyalahi hukum fisika. Andaikan kita bisa membuka tengkorak kepala se­
seorang, kemudian kita mengamati proses mekanis yang ada di dalam otaknya,
dan di dalamnya kita melihat aliran listrik yang tidak berasal dari manapun,
tetapi hanya dari kekosongan, berarti ada semacam energi yang tidak berasal
dari aspek biologis tubuh. Tentunya ini adalah penemuan yang mencengang-
kan, dan akan menjadi afirmasi empiris atas dualisme. Walaupun dalam reali-
tas penemuan semacam ini akan sulit dilakukan. Para fisikawan akan menolak
ke­simpulan itu. Tidak mungkin ada energi yang berasal dari kekosongan. Pasti
ada sebab biologis yang belum diketahui.
Behaviorisme baik di dalam filsafat maupun psikologi berpindah dari
sudut pandang orang pertama menjadi sudut pandang orang ketiga, atau pe­
ngamat. Hal yang sama berlaku di dalam refleksi tentang pikiran dan kesadar­
an manusia. Kesadaran manusia dianalisis secara obyektif melalui sudut pan-
dang pengamat, dan bukan dari sudut pandang orang yang menghayatinya.
Ini merupakan ciri khas pendekatan positivisme dan behaviorisme di dalam
menganalisis realitas. Di dalam tulisannya, Lycan dengan tegas menyatakan
Manusia dan Kesadaran 17

bahwa behaviorisme merupakan kritik yang salah sasaran terhadap dualisme di


dalam filsafat.

Kritik terhadap Behaviorisme


Bagi para pemikir behavioris, kondisi internal mental manusia bukan-
lah sebuah fakta. Kondisi internal mental tidaklah relevan, karena itupun akan
tunduk pada hukum aksi reaksi dan stimulus respons. Misalnya anda bertanya
pada orang di pinggir jalan, “Bagaimana pendapat anda tentang sepeda mo-
tor?” Ia menjawab, “Benda itu berbahaya. Begitu banyak kecelakaan terjadi
karenanya.” Maka dapatlah dipastikan jika anda menawarkannya untuk meng-
endarai motor, maka ia akan menolaknya. Dalam hal ini kondisi internal mental
seseorang tidaklah relevan. Keputusannya nyaris bisa dipastikan, sama seperti
satu tambah satu sama dengan dua. Akan tetapi banyak filsuf berpendapat,
bahwa penolakan terhadap pengetahuan tentang kondisi mental seseorang jus-
tru merupakan “kelupaan” terhadap aspek paling penting yang mempengaruhi
perilaku seseorang. Para pemikir behavioris menolak mengakui kondisi internal
mental seseorang sebagai sesuatu yang faktual demi alasan rigorisitas saintifik.
Misalnya anda duduk dan menghadap sebuah tembok berwarna hijau. Lalu
anda mengkontemplasikan warna hijau tersebut. Apakah warna hijau, yang
merupakan persepsi internal mental anda, tidaklah faktual? Hanya orang bodoh
yang menyebut bayangan anda tidak faktual.3
Lycan kemudian mengajukan alternatif terhadap behaviorisme dalam
bentuk teori identitas. Di dalam teori ini kondisi internal mental seseorang ber-
peran sangatlah penting di dalam menentukan perilakunya. Ia menyebutnya
sebagai perasaan-perasaan mentah (raw feels), yang hanya dapat dipahami de­
ngan menggunakan metode fenomenologi kualitatif. Perasaan-perasaan mental
ini melibatkan pengalaman inderawi sekaligus gambar-gambar mental (mental
images). Teori identitas dan juga behaviorisme memang menolak pandang­
an-pandangan dualisme Cartesian. Akan tetapi teori identitas juga menolak
pandangan-pandangan dasar behaviorisme. Dari sudut pandang teori identitas,
para pemikir behavioris mereduksikan kondisi internal mental manusia melulu
pada kondisi fisiknya. Menurut Lycan kondisi internal manusia berbeda de­
ngan kondisi fisiknya. “Kondisi mental”, demikian tulis Lycan. “...adalah kon-
disi yang menjadi penghubung antara stimulus dan respons.”4 Kondisi mental
adalah kondisi di dalam diri manusia yang menentukan apa keputusan se­
seorang menghadapi keadaan yang ada.
18 Menjadi Manusia Otentik

Dengan demikian kesadaran adalah bagian dari kondisi internal manusia


yang harus dibedakan dengan kondisi fisiknya. Dengan menolak behaviorisme
teori identitas menjadi alternatif memandang relasi antara kesadaran, tubuh,
dan dunia luar. Kesadaran dapatlah dipandang sebagai penghubung antara
stimulus yang diterima oleh seseorang, dan respons yang diberikannya. Inilah
paham tentang kesadaran di dalam teori identitas, yang menjadi alternatif dari
dualisme dan behaviorisme.
Sekilas pandangan ini memang mirip dengan dualisme, yakni jiwa yang
melulu dipisahkan dari badan. Namun di dalam teori identitas yang ditawarkan
Lycan, pikiran, kesadaran, dan jiwa manusia terhubung dengan tubuh untuk
memberikan respons terhadap rangsangan yang datang dari dunia luar. Pikiran,
kesadaran, tubuh, dan dunia luar adalah empat konsep yang saling terhubung
satu sama lain, yang mempengaruhi perilaku manusia secara signifikan.

Menuju Teori tentang Kesadaran


Pemahaman di atas dapatlah kita jadikan titik tolak untuk merumuskan
teori tentang kesadaran.5 Menurut Wilber dewasa ini banyak bermunculan be-
ragam pendekatan di dalam memahami fenomena kesadaran manusia. Ada be-
berapa aliran yang kiranya cukup dominan di dalamnya.
Pendekatan pertama adalah pendekatan ilmu pengetahuan kognitif (cog-
nitive science). Pendekatan ini mencoba memandang kesadaran sebagai ba-
gian dari fungsi otak yang kemudian berkembang (emerge). “Kesadaran dalam
pendekatan ini”, demikian Wilber, “dipandang sebagai berkembanganya jaring­
an-jaringan yang terintegrasi secara hirarkis.”6 Kesadaran adalah sesuatu yang
bertumbuh dari kompleksnya jaringan yang saling terhubung di dalam otak
manusia.
Pendekatan kedua adalah pendekatan instrospeksionisme (introspection-
ism). Di dalam pandangan ini kesadaran dipandang sebagai kesadaran orang
pertama yang tertuju pada sesuatu di luarnya. Penafsiran terhadap realitas di-
dasarkan pada kesadaran langsung yang muncul dari pengalaman sehari-hari,
dan bukan dari pengamatan obyektif orang ketiga. Menurut Wilber pendekatan
ini mencakup fenomenologi, eksistensialisme, dan psikologi introspektif.
Pendekatan ketiga adalah neuropsikologi. Di dalam pandangan ini ke­
sadaran dipandang sebagai sesuatu yang berakar pada sistem-sistem saraf, neu-
rotransmiter, dan mekanisme otak yang bersifat organik. Sekilas pandangan ini
mirip seperti pendekatan ilmu pengetahuan kognitif. Namun ilmu pengetahuan
Manusia dan Kesadaran 19

kognitif lebih menggunakan ilmu komputer sebagai pisau analisisnya, sehingga


seringkali, menurut Wilber, pendekatan ini mengalami kebingungan tentang
relasi antara kesadaran dengan struktur organik dari otak. Sementara pendekat­
an neuropsikologi lebih berbasis pada ilmu biologi. “Dengan bersandar lebih
pada ilmu saraf daripada ilmu komputer,” demikian tulis Wilber, “neurop-
sikologi melihat kesadaran sebagai sesuatu yang secara intrinsik terhubung de­
ngan sistem saraf organik dengan kompleksitas yang memadai.”7
Pendekatan keempat adalah apa yang disebut Wilber sebagai psikoterapi
individual (individual psychotherapy). Pendekatan ini menggunakan psikologi
interpretatif dan psikologi introspektif untuk menyelesaikan masalah-masalah
emosional dan personal. Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu
yang berakar pada kemampuan adaptif dari individu terhadap dunia luarnya.
Pendekatan psikoterapi sangat mengandalkan suatu pemahaman tertentu ten-
tang kesadaran, karena pendekatan itu berurusan langsung dengan kemam-
puan individu untuk menciptakan makna dari apa yang dialaminya. Ketidak-
mampuan individu untuk menciptakan makna dari peristiwa yang dialaminya,
terutama peristiwa buruk, akan membuatnya terjatuh kepada tekanan mental
emosional yang berat. Kondisi terakhir ini yang disebut sebagai psikopatologi.
Pendekatan kelima adalah pendekatan psikologi sosial. Menurut Wilber
pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu yang tertanam pada jaringan
makna kultural tertentu. Dengan kata lain kesadaran adalah produk dari sistem
sosial yang ada di dalam suatu masyarakat. Pendekatan ini terdiri dari pendekat­
an marxisme, konstruktivisme, dan hermeneutika kultural. Semua pendekatan
ini berakar pada satu asumsi, bahwa kesadaran tidaklah terletak melulu di ke-
pala individu, tetapi ditentukan oleh kultur sosial-politik-ekonomi masyarakat.
Pendekatan keenam adalah pendekatan psikiatri klinis (clinical psychia-
try). Pendekatan ini berfokus pada relasi antara psikopatologi, pola perilaku,
dan psikofarmakologi. Sebenarnya pendekatan ini mirip dengan neuropsikolo-
gi. Dewasa ini pendekatan psikiatri klinis banyak menggunakan kosa kata bi-
ologis untuk menganalisis “penyakit mental” manusia. Problem emosional dan
mental, dari sudut pandang ini, dianggap merupakan problem yang terdapat
di dalam sistem saraf. Pengobatannya dapat dilakukan dengan meminum obat
tertentu, atau melakukan terapi tertentu.
Pendekatan ketujuh adalah pendekatan psikologi perkembangan.
Pendekatan ini memandang kesadaran bukan sebagai sesuatu yang tunggal,
tetapi sebagai sesuatu yang terus berkembang di dalam proses. Setiap tahap di
dalam proses tersebut memiliki perbedaan yang substansial, dan harus dianalisis
20 Menjadi Manusia Otentik

menurut kekhususannya masing-masing. Menurut Wilber pendekatan ini juga


menyentuh perkembangan-perkembangan unik di dalam diri manusia dalam
bentuk kemampuan supernatural. Kemampuan ini dianggap sebagai fungsi kog-
nitif, afektif, moral, dan spiritual yang berada di level yang lebih tinggi.8
Pendekatan kedelapan adalah pendekatan pengobatan psikosomatik
(psychosomatic medicine). Pendekatan ini melihat kesadaran sebagai sesuatu
yang terkait erat dengan proses-proses tubuh yang bersifat biologis. Pada level
yang lebih maju, pendekatan ini melihat adanya kemungkinan kesadaran se­
bagai fungsi penyembuh dari penyakit-penyakit akut yang diderita manusia. Ke-
sadaran bisa ditingkatkan dengan meningkatkan kekuatan doa didalam tradisi
religius, misalnya. Pendekatan ini juga mempelajari dampak kekuatan kehen-
dak dan intensionalitas manusia untuk penyembuhan. Bentuknya mulai dari
terapi suara, visualisasi, sampai dengan meditasi.
Pendekatan kesembilan, menurut Wilber, adalah pendekatan non ordi-
nary states of consciousness. Pendekatan ini mencakup area yang luas, mu-
lai dari tafsir mimpi hingga penggunaan obat-obat tertentu yang memiliki efek
halusinatif. Pendekatan ini, menurut Wilber, berusaha memahami kesadaran
dalam arti yang luas. Pada titik ekstrem penggunaan obat dengan efek halusina-
tif bisa menimbulkan keracunan. Akan tetapi jika digunakan secara tepat, obat-
obat semacam itu dapat memberikan penyembuhan pada kesadaran dengan
cara-cara yang tampaknya diabaikan oleh ilmu pengetahuan, atau diremehkan
oleh pendekatan-pendekatan lainnya.
Pendekatan kesepuluh yang diajukan oleh Wilber adalah pendekatan
yang berasal dari tradisi Timur yang bersifat kontemplatif. Di dalam pandang­
an ini kesadaran, seperti yang dimaksud oleh ilmu-ilmu yang mempelajarinya,
berada pada tingkatan yang lebih rendah dari yang seharusnya bisa dicapai
manusia. Untuk meningkatkan kesadarannya orang perlu melakukan praktek
meditasi dan yoga. Kesadaran yang sesungguhnya hanya dapat dicapai, jika
orang melakukan praktek tersebut secara konsisten.
Pendekatan kesebelas dalam pandangan Wilber adalah apa yang dise-
butnya sebagai kesadaran kuantum. Di dalam pendekatan itu, kesadaran dipan-
dang sebagai sesuatu yang secara intrinsik terikat dengan dunia fisik. Kesadaran
memiliki interaksi dan kemampuan untuk mengubah dunia luar. Jadi realitas
ditentukan oleh kesadaran, terutama pada level intracellular. Pendekatan ini
mencakup teori tentang dawai di dalam memandang alam semesta, sampai
teori tentang hyperspace.
Manusia dan Kesadaran 21

Pendekatan kedua belas adalah pendekatan yang disebut sebagai teori


energi-energi halus (subtle energies). Di dalam pendekatan ini, penelitian di-
lakukan dengan berpijak pada pengandaian, bahwa ada sesuatu yang disebut
energi kehidupan yang melampaui fisika. Energi ini mempengaruhi kesadaran
dan perilaku manusia secara signifikan. Energi ini memiliki banyak nama lain,
seperti prana, ki, dan chi. Energi ini pula yang direkayasa di dalam praktek
akupunktur untuk kepentingan pengobatan. Menurut Wilber energi kehidupan
ini merupakan penghubung antara dunia luar yang bersifat material dengan ke-
sadaran manusia, dan sebaliknya, yakni dunia kesadaran manusia yang tertuju
pada dunia luarnya.

Pemadatan Teori Lebih Jauh


Wilber tidak hanya menjabarkan beragam pendekatan di dalam mema-
hami kesadaran, tetapi juga menawarkan teorinya sendiri. Ia menyebutnya se-
bagai teori yang integral tentang kesadaran. Pada hemat penulis teori ini cu-
kup representatif sebagai cara untuk memahami fenomena kesadaran manusia.
Coba kita lihat pandangannya lebih jauh.
Menurut Wilber suatu teori yang bersifat integral tentang kesadaran ha-
ruslah menempuh dua langkah berikut ini. Yang pertama adalah penelitian
yang berkelanjutan di berbagai pendekatan yang ingin memahami fenomena
ke­sadaran manusia. Fenomena kesadaran adalah suatu enigma, yakni sesuatu
yang misterius. Masing-masing pendekatan yang telah dijabarkan sebelumnya
mampu memberikan sumbangan untuk memahami enigma ini. Setiap pendekat­
an penting dan layak mendapatkan dukungan lebih jauh untuk mengembang-
kan penelitiannya. Memang jika dilihat sekilas, beberapa pendekatan terlihat
sangat dekat dengan mistik, sehingga kadar ilmiahnya memang patut diper-
tanyakan. Akan tetapi menurut Wilber, fenomena kesadaran itu tidak melulu
ilmiah, tetapi merupakan suatu misteri. Maka pendekatan apapun sebenarnya
bisa membantu kita untuk memahaminya. Dalam hal ini kesombongan ilmiah
sedapat mungkin harus dicegah. “Tidak ada pikiran manusia”, demikian tulis
Wilber, “yang dapat melakukan kesalahan seratus persen. Kita dapat berkata,
tidak ada orang yang cukup pintar untuk salah setiap waktu.”9 Dalam konteks
ini semua pendekatan dapat menyumbangkan kebenarannya masing-masing
di dalam proses memahami kesadaran. Semua cara harus ditempuh, supaya
enigma yang bernama kesadaran ini semakin dapat dipahami.
Yang kedua, walaupun masing-masing pendekatan memiliki keunikannya
sendiri, tetapi upaya untuk menciptakan kerja sama di antara ragam pendekatan
22 Menjadi Manusia Otentik

tersebut teruslah harus diupayakan. Hal ini sangat penting, supaya teori ten-
tang kesadaran yang bersifat integral dapat dirumuskan secara komprehensif.
“Fakta bahwa, sebagian besar, pendekatan selama ini telah terkurung di dalam
kerangkengnya masing-masing”, demikian Wilber, “tidak berarti bahwa bahwa
realitas juga terkurung seperti itu.”10 Realitas itu melampaui batas-batas para-
digma ilmiah yang digunakan oleh para peneliti. Realitas itu melompat dari satu
kerangkeng ke kerangkeng yang lain. Untuk merumuskan suatu teori kompre-
hensif tentang kesadaran, kita perlu juga untuk melompat dari satu pendekatan
ke pendekatan yang lain, mengikuti lenturnya realitas yang ingin kita teliti, teru-
tama lenturnya fenomena kesadaran.
Setiap pendekatan memiliki asumsi dan metode yang berbeda. Akan teta-
pi masing-masing pendekatan itu sebenarnya melukiskan aspek yang berbeda
dari realitas yang sama. Dalam arti ini setiap pendekatan sebenarnya saling ber-
hubungan satu sama lain. Setiap pendekatan menyentuh realitas, dan memba-
hasakannya dengan menggunakan kerangka teorinya masing-masing. Dengan
demikian setiap pendekatan, apapun bentuknya, memiliki arti penting sebagai
salah satu cara untuk memahami satu aspek dari keseluruhan realitas.***

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Apa inti pandangan Descartes tentang kesadaran? Berikan tanggapan dan
disertai contoh secukupnya!
2. Jelaskan pandangan para pemikir behaviorisme! Berikan contoh secukup-
nya dan ajukan argumenmu terhadap pandangan itu!
3. Jelaskan pandangan para pemikir positivisme logis! Mengapa mereka
mengajukan pandangan seperti itu? Apa tanggapanmu terhadap pemikiran
mereka? Jelaskan dan berikan contoh secukupnya!
4. Jelaskan teori identitas tentang kesadaran yang dikemukakan oleh Lycan!
Apa tanggapanmu terhadap pandangan Lycan, dan berikan contoh secuku-
pnya?

1 Bagian ini terinspirasi dari pembacaan terhadap Lycan W.G, Consciousness, versi E book.
2 Lihat, Ibid, hal. 2.
3 Bdk, Lycan, hal. 4.
4 Ibid, hal. 8.
5 Bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap Ken Wilber, “An Integral Theory of
Consciousness”, Journal of Consciousness Studies, 4 (1), February 1997, hal. 71-92.
6 Ibid, hal. 72.
Manusia dan Kesadaran 23

7 Ibid, hal. 73.


8 Ibid, hal. 74.
9 Ibid, hal. 90.
10 Ibid, hal. 91.

-oo0oo-
BAB 3
MANUSIA DALAM KETEGANGAN
DETERMINISME DAN KEBEBASAN

P ada bab sebelumnya kita sudah mempelajari tentang kesadaran manusia. Kesadaran manusia
itu ada dan menjadi tanda bahwa manusia itu mampu berpikir dan bertindak atas dasar pertim-
bangannya sendiri. Tanpa kesadaran, manusia itu bagai robot. Ia tidak bisa membuat keputus­
an sendiri dan hanya tunduk pada realitas di luar dirinya. Dengan kata lain ia menjadi tidak otentik.
Manusia otentik adalah manusia yang bebas. Kebebasan menjadi prasyarat manusia untuk menjadi
dirinya sendiri, yakni menjadi otentik. Tanpa itu ia hanya ikut arus. Akan tetapi apakah manusia itu
sungguh bebas? Apakah ia sungguh sadar? Bagaimana dunia eksternal mempengaruhi manusia? Di
dalam bab ini, penulis akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan mengacu pada
pemikiran Ilham Dilman.
Problem filosofis mengenai determinisme dan kebebasan manusia telah menjadi pergulatan
banyak pemikir sepanjang sejarah.1 Dalam arti ini determinisme adalah paham yang menyatakan
bahwa segala sesuatu memiliki sebab serta dapat ditebak. ������������������������������������������
Seluruh realitas, termasuk manusia, berge-
rak dengan prinsip kausalitas yang jelas.
Para filsuf Yunani Kuno dulu sangatlah kagum dengan sisi paradoks manusia. Di satu sisi ma-
nusia itu seolah dijajah oleh nafsu keserakahan, dendam, egoisme, cemburu, dan rasa haus akan
kekuasaan. Nafsu-nafsu itu terwujud di dalam perang, permusuhan, dan perilaku tidak adil yang di­
tunjukkan manusia. Semua itu seolah tidak bisa dihindarkan. Inilah yang disebut sebagai keniscayaan
atau ananke. Manusia itu seperti butiran air di tengah laut, tidak mampu menahan derasnya ombak
yang bergerak.
Namun di sisi lain, ketika mereka merasa sedih dan kecewa, manusia seolah terbangun dan
mewujudkan kebebasannya. Ia mulai memilih. Akan tetapi pilihan itu pun tidak sepenuhnya bebas,
melainkan juga ditentukan oleh hakekat yang mereka miliki sebagai manusia. “Manusia”, demikian
Dilman, “bertindak terikat dengan pola-pola yang mana mereka secara alamiah menerimanya dan
tidak mampu keluar dari padanya.”2 Jadi manusia itu tidak pernah sungguh-sungguh bebas. Ia di­
pengaruhi oleh alam eksternal, dan juga oleh nafsu-nafsu yang ada di dalam dirinya sendiri.
26 Menjadi Manusia Otentik

Lalu apakah pola-pola perilaku manusia itu dapat diubah? Jika bisa apa
yang harus dilakukan? Dapatkah manusia melawan dorongan-dorongan di da-
lam dirinya sendiri yang membuatnya terjatuh ke dalam pola aksi reaksi yang
bersifat mekanistik? Plato, menurut tafsiran Dilman, berpendapat bahwa do-
rongan nafsu manusia itu adalah tanda kejahatan. Sekali orang terjatuh ke
dalamnya, maka ia tidak lagi bisa keluar. Orang merasa tidak lagi memiliki
alternatif, selain mengikuti nafsunya. Mereka kehilangan kemampuan untuk
membedakan baik dan buruk.3
Pada abad pertengahan problem filosofis terkait tegangan antara ke-
hendak bebas dan determinisme ditanggapi dengan cara lain oleh kristianitas.
Dari sudut pandang ini, Tuhan dipandang sebagai suatu entitas yang mahaku-
asa. Jika Tuhan adalah entitas yang mahakuasa, maka ia tahu segalanya, terma-
suk masa depan dari manusia dan alam semesta. Oleh karena itu paham bahwa
manusia itu bebas justru menjadi tidak mungkin. Memang dapat dikatakan ba-
hwa masa depan itu tergantung pilihan kita, namun pilihan itupun sebenarnya
sudah ditentukan dan diketahui oleh Tuhan. Di sinilah letak potensi kontradiksi
di dalam teologi Kristen. Thomas Aquinas dan Augustinuslah yang akan ber­
usaha menjawabnya.
Pada awal abad modern, ilmu pengetahuan mulai berkembang. Prinsip
utama di dalam ilmu pengetahuan adalah prinsip kausalitas, yakni prinsip se-
bab akibat. Segala sesuatu di dalam realitas, termasuk manusia, digerakan oleh
hukum ini. Tidak ada yang luput. Oleh karena itu kebebasan manusia pun se-
benarnya hanya merupakan ilusi, karena manusia pun terkena dampak dari
hukum kausalitas. Manusia bukanlah subyek bebas yang menentukan alam,
melainkan akhir dari suatu rantai rangkaian sebab akibat. Jika orang melakukan
sesuatu, maka sebenarnya bukanlah ia yang melakukannya, melainkan kondisi-
kondisi yang menyebabkannya melakukan itu. Kumpulan kondisi itulah yang
membuatnya menjadi manusia.4
Pada titik ini Dilman mengajukan pertanyaan, jika manusia adalah seo-
rang pelaku yang memiliki tujuan terarah dan memiliki kebebasan, maka ba-
gaimana mungkin hukum sebab akibat menjadi hukum universal, yang berlaku
untuk semua manusia di manapun dan kapanpun? Descartes mengajukan ja-
waban atas pertanyaan ini. Baginya manusia memiliki kesadaran. Kesadaran
inilah yang memungkinkan terjadinya aktivitas pikiran (activity of the mind). Di
dalam kesadaran ini jugalah kehendak bebas manusia berada, yakni kebebasan
untuk melakukan suatu tindakan yang tidak memiliki sebab. David Hume ti-
dak setuju dengan pendapat ini. Menurutnya kebebasan tidaklah bertentangan
Manusia dalam Tegangan Determinisme dan Kebebasan 27

dengan hukum sebab akibat. Lawan dari kebebasan adalah keterpaksaan. Se-
mentara hukum sebab akibat bukanlah keterpaksaan. Kedua jawaban ini, yang
diajukan oleh Descartes dan Hume, tetap tampak kurang memuaskan.
Descartes memberikan pencerahan pada kita dengan mengatakan bahwa
manusia memiliki kesadaran yang memungkinkan dirinya membuat suatu pi-
lihan berdasarkan kehendak bebas. Akan tetapi menurut Dilman, setidaknya
tetap ada dua pertanyaan yang kiranya menggantung. Pertama, apakah yang
dimaksud dengan pernyataan bahwa orang dapat memilih untuk dirinya sen-
diri, bertindak atas pertimbangannya sendiri, dan menolak untuk tunduk pada
otoritas eksternal di luar dirinya? Dan kedua, lalu di mana tempat hukum sebab
akibat di dalam hidup manusia?5
Seringkali setiap tindakan manusia dipengaruhi oleh faktor eksternal yang
tidak dapat ditolak. Faktor budaya dan faktor alam natural hampir tidak dapat
ditolak pengaruhnya. Bahkan bahasa, yang merupakan medium berpikir dan
berkomunikasi manusia, juga merupakan tanda, bahwa manusia tidaklah be-
bas. Manusia dikepung oleh struktur-struktur di luar dirinya, sehingga ia seolah
tidak pernah bebas. Schopenhauer pernah menulis, “ketidakmampuan manusia
untuk berubah adalah sesuatu yang bersifat universal dan tak terelakkan.”6
Cara berpikir yang sama kurang lebih dapat ditemukan di dalam tulisan-
tulisan Freud. Ia berpendapat bahwa karakter seseorang dibentuk pada empat
tahun usia pertamanya. Setelah itu orang akan sedikit berubah, seberapapun
pengalaman yang dimilikinya. Freud juga berpendapat bahwa manusia terdiri
dari id, ego, dan superego. Jika mau dibayangkan id dapat dipandang sebagai
kuda, dan ego adalah pengendaranya. Ego mengarahkan id. Namun begitu ego
juga tidak dapat dipisahkan dari id. Karena jika terpisah keduanya menjadi tidak
berarti. Maka ego harus memberikan dirinya untuk id, begitu pula untuk super-
ego. Ego tidak bisa menjadi raja yang melulu dilayani. Ia juga harus melayani id
dan superego. Dengan begini orang sebenarnya tidak memiliki kebebasan. Ego,
yang merupakan pengarah tindakan manusia, harus memperhatikan kebutuhan
id, yang merupakan dorongan hasrat manusia, dan superego, yang merupakan
suara moral bentukan kulturalnya. Ego menjadi tidak otonom.

Kebebasan Relatif
Walaupun menunjukkan dengan jelas, bahwa manusia itu terikat oleh
kondisi eksternal dan internal dirinya, orang-orang, seperti Freud, Sophocles,
dan Thomas Aquinas, tidak secara absolut menolak kemungkinan adanya ke-
bebasan individual. Misalnya di dalam tulisan-tulisan tragedinya, Sophocles
28 Menjadi Manusia Otentik

berpendapat, bahwa takdir seseorang telah ditentukan sebelumnya. Setiap tin-


dakan manusia sudah diatur oleh semacam hukum yang tidak dapat dilanggar.
Namun hal ini tidak berarti, bahwa manusia sama sekali tidak bebas. Kebe-
basan hanya mungkin di dalam proses memaknai takdir dan hukum yang ti-
dak dapat dilanggar tersebut. Inilah yang disebut sebagai kebijaksanaan oleh
Sophocles. Orang yang tidak mengetahui ini akan terjebak di dalam kesedihan.
Ia tidak akan merasa bebas, karena ia tidak mengenal struktur dari diri dan alam
semestanya.7
Dengan demikian kebebasan, menurut Sophocles, masihlah mungkin.
Jika anda memilih A maka akan terjadi B. Akan tetapi anda tidak harus memilih
A. Anda juga bisa memilih B. Untuk mendapatkan sedikit kebebasan seperti itu,
orang harus berani berubah, dan bertindak berbeda. Pengorbanan yang perlu
dilakukan cukuplah besar. Seringkali orang tidak siap berkorban. Padahal untuk
bisa berubah, orang perlu berkorban. Menurut Dilman ada satu hal yang bisa
kita pelajari dari Sophocles tentang manusia, yakni bahwa manusia itu memi-
liki kesombongan besar. Kesombongan itu menutupi rasionalitasnya. Maka ia
hanya dapat berubah, setelah ia mengalami penderitaan dan kegagalan akibat
kesombongannya itu.
Di sisi lain, Sartre, seorang filsuf eksistensialisme asal Perancis abad ke-
20, berpendapat bahwa manusia itu bebas. Manusia itu bebas secara absolut.
Akan tetapi kebebasan itu tidaklah menjamin bahwa manusia itu otonom (mam-
pu menentukan sendiri). Manusia sering mengorbankan otonominya, karena ia
tidak mau bertanggung jawab sendiri atas tindakan-tindakannya. Setiap orang
itu bebas. Namun orang seringkali tidak mau menjadi dirinya sendiri, dan me-
nyerahkan kebebasannya pada otoritas di luar dirinya. Akan tetapi walaupun
manusia sering takut dengan kebebasannya, ia tetap bisa memilih, apakah ia
mau bertanggungjawab atas hidupnya dengan kebebasan, atau tidak. Pilihan
itu adalah bentuk kebebasan. Jadi tidak ada yang dapat merampas kebebasan
dari dalam diri manusia. Untuk menjadi tidak bebas pun sebenarnya adalah
suatu bentuk pilihan yang dibuat manusia. Tentu saja itu pilihan yang tidak
dianjurkan.8
Spinoza, seorang filsuf modern Eropa, berpendapat berbeda. Ia ber-
pendapat bahwa manusia adalah bagian dari keseluruhan, dan keseluruhan itu
diatur oleh hukum sebab akibat. Akibatnya segala sesuatu di dalam hidup ma-
nusia itu sudahlah ditentukan. Menurut Dilman pandangan Spinoza memiliki
nada religius yang kuat. Ia melihat manusia sebagai bagian dari sesuatu yang
lebih besar. Keselamatan dan kebahagiaan manusia tergantung dari peneri-
Manusia dalam Tegangan Determinisme dan Kebebasan 29

maannya terhadap realitas keseluruhan ini. Kebebasan tidak ada artinya, jika
manusia tidak menyerahkan dirinya pada sesuatu yang lebih besar ini.
Freud juga tidak sepenuhnya menolak kebebasan. Freud masih percaya
bahwa neurosis manusia masihlah dapat disembuhkan. Di dalam proses pe-
nyembuhan ini, ego kembali menjadi tuan atas rumahnya sendiri. Ego men-
jadi berjarak dari id dan superego. Inilah momen kebebasan yang dimiliki oleh
manusia. Proses penyembuhan mengandaikan bahwa manusia masih memi-
liki kebebasan, dan ia mampu mengambil jarak dari neurosis yang dialaminya.
Kemampuan mengambil jarak itu adalah suatu bentuk kebebasan, walaupun
bukanlah kebebasan mutlak. Inilah yang dimaksud oleh Dilman sebagai kebe-
basan relatif, yakni kebebasan yang memiliki keterbatasan.

Tuhan dan Kebebasan Manusia


Augustinus dan Thomas Aquinas, para filsuf Katolik abad pertengahan,
ingin menunjukkan, bahwa Tuhan itu mahakuasa. Ia memiliki pengetahuan
tentang masa depan. Ia mengetahui apa yang akan diinginkan manusia. Akan
tetapi pengetahuan Tuhan itu tidaklah meniadakan kebebasan manusia. Au-
gustinus berpendapat bahwa tidak semua pengetahuan yang dimiliki Tuhan
tentang masa depan manusia bersifat pasti atau niscaya. Tuhan tahu bahwa
manusia pasti akan menjadi tua. Itu adalah sebuah keniscayaan, sesuatu yang
pasti terjadi. Tuhan juga tahu apa yang akan kita kehendaki, bahkan sebelum
kita menghendakinya. Menurut tafsiran Dilman yang diketahui Tuhan adalah
keinginan manusia. Tuhan tidak bisa memastikan, apakah keinginan itu akan
menjadi kenyataan atau tidak. Jadi manusialah yang memutuskan, apakah ia
akan menjadikan keinginannya kenyataan, atau tidak. Kemampuan manusia
membuat keputusan ini adalah suatu bentuk kebebasan.
Thomas Aquinas memiliki pendapat yang berbeda. Baginya pengetahuan
Tuhan tentang apa yang penulis inginkan dan akan lakukan bukanlah penge-
tahuan tentang masa depan. Tuhan tidaklah terletak di dalam waktu. Maka
Ia mengetahui segalanya juga dengan mengabaikan dimensi waktu. Dilman
menawarkan suatu analogi untuk memahami maksud Aquinas.
Dilman bertanya apa yang menjadi jawaban dari suatu permasalahan
persamaan di dalam matematika? Tentu saja orang tidak bisa langsung men­
jawabnya. Ia harus menyelesaikan dulu persamaan tersebut, baru jawaban akan
tampak. Dengan kata lain jawaban atas pertanyaan di atas terletak di masa de-
pan. Akan tetapi jawaban itu sebenarnya sudah selalu ada di dalam matema-
tika. Jawaban itu sudah ada bahkan sebelum penulis menemukannya. Begitu
30 Menjadi Manusia Otentik

pula apa yang diketahui Tuhan. Pengetahuan Tuhan itu universal, secara logis
bersifat niscaya, dan terlepas dari waktu.
Tuhan melihat manusia langsung dalam keserentakan masa lalu, masa
kini, dan masa depannya. Tuhan melihat manusia dalam kepenuhan dan to-
talitasnya, bukan dalam bagian-bagiannya. Di dalam pengetahuan-Nya Tuhan
menunjukkan kehendak-Nya kepada manusia. Orang-orang Kristen yakin, bah-
wa kehendak Tuhan itu bersifat abadi. Kehendak-Nya tidak bisa dilawan, dan
harus diterima tanpa kondisi apapun. Lebih dari itu orang-orang Kristen sudah
menyadari, bahwa Tuhan memandang manusia dalam totalitasnya, termasuk
totalitas masa lalu, masa kini, dan masa depan. Maka semua peristiwa yang
dialami manusia itu pastilah baik adanya, karena merupakan kehendak Tuhan.
Segala peristiwa akan terlihat baik, jika dilihat dari sudut pandang keseluruhan,
yakni sudut pandang Tuhan.9

Kebebasan dan Hukum Sebab Akibat


Di dalam filsafat modern, menurut Dilman, kebebasan manusia tidaklah
dipertentangkan dengan Tuhan, tetapi dengan hukum sebab akibat. Pertanyaan-
nya begini jika segala sesuatu yang terjadi memiliki sebab, maka bagaimana
mungkin masih ada ruang untuk kebebasan? Menurut Descartes tidak semua
hal sesuai dengan hukum sebab akibat. Salah satunya yang tidak sesuai adalah
kemampuan manusia untuk berkehendak. Di sisi lain Hume menjawab, bahwa
kebebasan tidaklah dipertentangkan dengan hukum sebab akibat, melainkan
dengan keterpaksaan. Orang yang terpaksa adalah orang yang tidak bebas.
Menanggapi itu Kant berpendapat bahwa kehendak manusia tidaklah be-
bas, karena masih terjebak di dalam hukum sebab akibat yang bersifat ekster-
nal dari kehendak itu sendiri. Manusia hanya bisa bebas, jika kehendak dan
perbuatannya dituntun oleh akal budi. Menanggapi ini Spinoza berpendapat,
bahwa segala sesuatu di dalam realitas terkena hukum sebab akibat. Kebebasan
pun hanyalah ilusi. Akan tetapi dengan mencoba menempatkan dan mema-
hami diri pribadi kita sebagai bagian dari keseluruhan realitas, maka kita secara
perlahan akan melepas kepentingan diri masing-masing. Pada momen itu orang
akan mencapai kondisi kebebasan, di mana kehendak menjadi satu dengan
alam. Orang akan sampai pada kondisi pasrah di dalam menghadapi segala
sesuatu yang telah, sedang, dan akan terjadi. Ia akan merasa bebas, karena ia
merasa, bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak dari dirinya sen­
diri. “Konsepsi Spinoza tentang kebebasan manusia”, demikian tulis Dilman,
“adalah konsepsi yang religius: ia siap menerima apapun yang terjadi sebagai
kehendak Tuhan.”10
Manusia dalam Tegangan Determinisme dan Kebebasan 31

G.E. Moore, seorang filsuf abad ke-20, berpendapat bahwa kepercayaan


manusia akan kebebasan mengandaikan banyak kesempatan, di mana ia bisa
melakukan sesuatu yang lain daripada apa yang sebenarnya ia lakukan. Fakta
ini tidak perlu dipertentangkan dengan hukum sebab akibat, yang mengklaim
bahwa segala sesuatu yang terjadi pasti memiliki sebab. Jika menyangkal hu-
kum sebab akibat, maka tindakan manusia akan terlihat acak tanpa pola. De­
ngan demikian hukum sebab akibat sebenarnya bukanlah musuh dari kebe-
basan manusia.
Di dalam bukunya Dilman berpendapat, bahwa ketika orang sedang
mempertimbangkan segala aspek untuk membuat suatu keputusan tertentu,
maka ia sebenarnya sedang menata sebab akibat dari keputusannya. Tindakan-
nya bukanlah sesuatu yang acak, namun mengikuti hukum sebab akibat terten-
tu. Walaupun begitu ia tetap mampu membuat keputusan secara bebas, yakni
menurut pertimbangannya sendiri. Hukum sebab akibat memang mempenga-
ruhi manusia. Akan tetapi ada tata moral lainnya yang juga membantu manusia
membuat keputusan di dalam hidupnya. Tata moral itulah yang disebut sebagai
kebebasan. Jadi hukum sebab akibat bukanlah satu-satunya ukuran.11
Namun sekali lagi manusia tidak bisa lepas dari hukum sebab akibat.
“Kita”, demikian Dilman, “adalah daging dan darah dan kemampuan kita untuk
melakukan aktivitas… tergantung dari fungsi-fungsi organ tubuh kita – persepsi,
saraf, dan otak...”12 Jika salah satu sistem organ di dalam tubuh manusia rusak,
maka ia tidak akan mampu beraktivitas secara normal. Ilmu kedokteran juga
mendasarkan diri pada hukum sebab akibat, terutama dalam soal memperbaiki
fungsi-fungsi tubuh. Hukum sebab akibat mempengaruhi tubuh manusia secara
signifikan. Dengan demikian tindakan dan kehendak manusia tidak sepenuh-
nya bebas, karena peran aspek biologis tubuhnya jugalah sangat besar.
Namun begitu menurut Dilman, setiap orang adalah pelaku dari tindak­
annya. Tindakan tidaklah dilakukan oleh orang lain, atau oleh sebab eksternal,
tetapi oleh orang yang melakukannya langsung. Walaupun tubuh diperlukan
untuk melakukan suatu tindakan, tetapi kehendak manusialah yang menjadi
subyek dari tindakan, bukan tubuhnya. Tubuh yang berfungsi normal, tetapi
tidak memiliki kehendak apapun, sebenarnya sama sekali tidak berguna.
Kehendak manusia, seperti diekspresikan dalam pilihan dan keputusan-
nya, adalah miliknya sendiri. Individu partikularlah yang membuat pilihan dan
keputusan konkret di dalam hidupnya, bukan tubuh, otak, ataupun sarafnya.
Setiap keputusan biasanya menempuh proses pertimbangan, seberapapun
singkatnya. Peran organ tubuh memang sangat penting. Akan tetapi itu semua
32 Menjadi Manusia Otentik

tidak akan menjadi berguna, jika tidak ada kehendak manusia untuk melaku-
kan se­suatu. Kehendak itulah yang menandakan kebebasan manusia, lepas dari
semua kondisi-kondisi yang mempengaruhinya. Kebebasan yang memang bu-
kan kebebasan mutlak, tetapi kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang
akan kita maknai, lakukan, dan putuskan di dalam hidup kita masing-masing.
Dilman lebih jauh menyimpulkan bahwa ketika orang itu bebas, maka ia
tidak terikat untuk melakukan apa yang ia lakukan. Artinya ia bisa saja melaku-
kan yang berbeda, tetapi ia tetap melakukan perbuatan itu. Orang itu tidak
terjebak pada pola perilaku yang bisa ditebak dan terus berulang. Misalnya ia
dipukul orang. Maka ia memukul balik. Akan tetapi ia bisa tidak memukul ba-
lik. Ia bisa diam saja, dan melapor polisi, atau sekedar berjalan meninggalkan
pemukulnya. Intinya, orang itu mempunyai pilihan. Inilah inti kebebasan yakni
kemampuan untuk berbuat lain daripada apa yang sebenarnya kita perbuat.
Kebebasan semacam ini mengandaikan adanya hukum sebab akibat, tetapi ti-
dak terjebak penuh di dalam hukum itu. Mungkin pada akhirnya seperti yang
dikatakan Hume, kebebasan memang tidak perlu dipertentangkan dengan de-
terminisme, tetapi dengan pemaksaan atas kehendak diri kita.13 ***

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Apa inti argumen pemikir determinisme? Mengapa mereka mengajukan
argumen tersebut? ��������������������������������������������������
Jelaskan jawabanmu dengan menyertakan contoh secu-
kupnya!
2. Jelaskan inti argumen Jean-Paul Sartre tentang kebebasan! Berikan
���������������
tangga-
panmu terhadap argumen Sartre tersebut, dan berikan contoh secukupnya!
3. Apa perbedaan determinisme dan pemaksaan? Jelaskan jawabanmu den-
gan contoh secukupnya!
4. Apa pendapat umum para ilmuwan tentang kebebasan manusia? Apakah
kamu setuju dengan pendapat mereka? Jelaskan
������������������������������
jawabanmu dengan con-
toh secukupnya!

1 Pada bab ini, saya terinspirasi dari pembacaan terhadap Ilham Dilman, Free Will: A Histori-
cal and Philosophical Introduction, London, Routledge, 1999.
2 Ibid, hal. 255.
3 Lihat, ibid.
4 Lihat, Dilman, 1999, hal. 256.
5 Lihat, ibid, hal. 257.
Manusia dalam Tegangan Determinisme dan Kebebasan 33

6 Dikutip Dilman, 1999, hal. 257.


7 Lihat, ibid, hal. 258.
8 Lihat, Dilman, 1999, hal. 259.
9 Lihat, ibid, hal. 261.
10 Dilman, 1999, hal. 262.
11 Lihat, ibid.
12 Ibid.
13 Lihat, Dilman, 1999, hal. 267.

-oo0oo-
BAB 4
MANUSIA DAN KEBENARAN

P ada bab sebelumnya kita sudah melihat, bahwa manusia pada hakekatnya adalah mahluk yang
bebas. Kebebasannya tidaklah mutlak tetapi bersifat terbatas pada kondisi eksternal sosial kul-
tural maupun internal biologisnya. Pada bagian ini masih dalam perjalanan untuk memahami
diri manusia dan menjadi otentik, penulis akan mengajak anda berbicara tentang kebenaran. Kebenar­
an merupakan aspek penting dalam hidup manusia, baik secara personal maupun secara politis.
Tanpa kebenaran hidup terasa sesak dipenuhi dusta, tipu muslihat, dan kemunafikan. Semua hal
itu bertentangan dengan otentisitas. Menjadi manusia otentik harus berani mengatakan yang benar
adalah benar. Tanpa kebenaran hidup tidak akan pernah mencapai level otentisitas. Me­ngatakan
yang salah adalah benar, atau sebaliknya, adalah kebohongan, dan kebohongan bertentangan de­
ngan otentisitas. Akan tetapi apakah yang dimaksud dengan kebenaran? Dan apa arti kebenaran bagi
hidup manusia?1
Sejarah filsafat dipenuhi oleh para filsuf yang berbicara mengenai kebenaran. Akan tetapi ba­
nyak diantaranya merupakan sebuah pertanyaan formal yang kemudian dijawab dengan membuat
definisi yang juga formal. Kesan kering tidak dapat dihindari. Memang cara seperti itu juga penting.
Akan tetapi bagi kebanyakan orang, cara seperti ini terkesan berjarak, sehingga tidak mendorong me-
reka bertanya lebih jauh tentang kebenaran. Pada hemat penulis, dan sesuai dengan pendapat Lynch,
filsafat haruslah dirumuskan dengan bahasa yang lugas, dan sedapat mungkin mengurangi kosa kata
teknis yang sulit dimengerti. Semua problem filsafat, bahkan yang paling dalam sekalipun, jugalah
harus dapat dipahami oleh orang banyak, karena mereka juga berkepentingan dengannya, terutama
terkait dengan problem kebenaran.
Pada awal 2003 Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, mengklaim, bahwa Irak mengum-
pulkan bahan-bahan untuk membuat senjata nuklir. Beberapa staff Gedung Putih berpendapat ba-
hwa data-data yang mendukung pernyataan itu belumlah mencukupi. Akan tetapi presiden dan para
36 Menjadi Manusia Otentik

pengikutnya mengabaikan peringatan itu. Bagi mereka yang penting adalah Irak
mencapai stabilitas politik, yang nantinya akan berdampak besar bagi stabilitas
politik di daerah sekitarnya.
Banyak warga Amerika Serikat yang setuju dengan Bush. Lagi pula ini
adalah alasan tambahan bagi mereka untuk sungguh menyingkirkan rezim Sad-
dam Hussein di Irak. Menjadikan Irak sebagai musuh adalah suatu upaya un-
tuk menggalang kekuatan dan kebersamaan untuk melawan teror. Akan tetapi
bagaimana jika data ini tidak benar? Bagi banyak orang pertanyaan tentang
kebenaran pernyataan yang dikeluarkan Bush tampak mengada-ada, terutama
jika dibandingkan dengan ketakutan mereka akan teror dan bom. “Kebenaran”,
demikian tulis Lynch dengan mengutip Nietzsche, “memang baik, akan tetapi
mengapa tidak mengambil kebohongan jika kebohongan itu membawa ke tem-
pat yang kau inginkan?”2
Pertanyaan dasarnya adalah apakah selalu lebih baik untuk berbicara dan
percaya pada kebenaran? Apakah kebenaran pada dirinya sendiri sungguh pen-
ting? Tampaknya realitas lebih banyak menunjukkan, bahwa orang lebih suka
hidup dalam kebohongan, dan sinis pada kebenaran. Kasus Amerika Serikat di
atas, dan banyak kasus lainnya di Indonesia, menunjukkan dengan jelas hal itu.
Menurut Lynch politik adalah ranah kehidupan yang paling dipenuhi
oleh sikap sinis kepada kebenaran. Akan tetapi tidak hanya di politik, sikap
sinis tersebut juga dengan mudah ditemukan di dalam dunia akademik. Di ba-
wah payung postmodernisme, sikap sinis terhadap kebenaran dan obyektivi-
tas pengetahuan telah menjadi posisi argumentatif banyak pemikir di berbagai
displin. Bagi mereka kebenaran obyektif adalah ilusi. Kebenaran adalah kata
indah yang sebenarnya merupakan selubung bagi kekuasaan dan penindasan.
Kebenaran bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah alat untuk mewujudkan
kepentingan dari pihak tertentu. Dan kepentingan pihak tertentu itu biasanya
tidak ada kaitannya dengan kebenaran.
Lynch kemudian melanjutkan. Bagi para penganut postmodernisme yang
paling radikal, kebenaran bukan hanya ilusi, tetapi pencarian akan kebenaran
itu sendiri adalah sesuatu yang sia-sia.3 Memperdebatkan tentang kebenaran itu
seperti memperdebatan mana yang lebih enak, es krim coklat atau es krim va-
nila. Bisa saja perdebatan itu terlihat mengagumkan, tetapi sebenarnya tidaklah
relevan dengan kehidupan sekarang. Para penganut postmodernisme yang pa-
ling radikal menganut teori kebenaran yang bersifat partikular. Bagi mereka dis-
kusi tentang kebenaran adalah sesuatu yang sia-sia, karena kebenaran tidak me-
miliki nilai. Memang banyak orang mengatakan, bahwa mereka menginginkan
Manusia dan Kebenaran 37

kebenaran. Akan tetapi apa yang sebenarnya mereka inginkan adalah sesuatu
yang berguna. Orang tidak menginginkan kebenaran. Yang mereka inginkan
adalah baju yang lebih bagus, makanan yang lebih enak, gaji yang lebih besar,
dan harga sembako yang semakin murah. Pada akhirnya kebenaran menjadi
tidak penting. Yang penting adalah hal-hal yang sudah penulis sebutkan tadi.
Argumen yang dipaparkan Lynch di atas sebenarnya merupakan argu-
men dari Stanley Fish, seorang professor filsafat di Amerika. Jelas memang Fish
adalah pendukung postmodernisme, bahkan pada titik yang cukup radikal.
Pandangan-pandangannya juga bisa dikategorikan pada pragmatisme. Walau-
pun begitu pandangan Fish berhasil menggambarkan apa yang terjadi di dunia
sekarang ini. Orang sekarang lebih percaya pada hasil, daripada prinsip yang
mendasari tindakan mewujudkan hasil itu. Tujuan seolah menghalalkan cara-
cara yang dipakai untuk mendapatkan tujuan itu. Seperti Fish dan Bush, banyak
orang di dunia yang beranggapan, bahwa pencarian akan kebenaran merupa-
kan sesuatu yang membosankan dan sia-sia.
Menurut Lynch banyak pemikir lainnya yang mencoba mempertahankan
ide, bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang penting. Akan tetapi mereka pun
sebenarnya juga jatuh ke ekstrem lain. Mereka melihat kebenaran dengan logika
yang sebenarnya tidak tepat. Beberapa pemikir yang “membela kebenaran” itu
begitu saja menyamakan kebenaran dengan kebenaran yang ada di dalam tra-
disi. Biasanya orang-orang pendukung ide ini adalah kelompok ekstrem kanan
yang sangat konservatif. Nilai-nilai liberal, yang mengedepankan keterbukaan
dan toleransi pada perbedaan, dianggap tidak bisa menjadi pegangan moral
yang kuat, terutama dalam jaman yang semakin penuh dengan ketidakpastian
ini. Akibatnya orang-orang ini menjadi fundamentalis. Mereka benar sementara
orang-orang di luar kelompok mereka salah. Kebenaran seolah sangat jelas di
mata mereka. Hidup jadi lebih pasti dan lebih sederhana.
Menurut Lynch sikap dan cara berpikir semacam ini sangatlah merugikan.
Sikap mendewakan kebenaran yang dipercayai bukanlah tanda, bahwa orang
sungguh menghargai dan mencari kebenaran. Justru sikap itu adalah suatu ben-
tuk sikap dogmatis. Orang yang dengan setia menghargai dan mencari kebena-
ran justru siap untuk mengakui, bahwa ia pernah dan bisa salah. Sikap dogmatis
semacam ini juga menyamakan begitu saja sikap menghargai dan mencari ke-
benaran di satu sisi, dan sikap mempercayai apa yang ia pandang sebagai suatu
kepastian di sisi lain. Padahal ini adalah dua hal yang berbeda. Akibatnya orang
dogmatis ini justru mengabaikan apa yang sesungguhnya merupakan kebena-
ran. Pencarian kebenaran haruslah dibedakan dengan pencarian kepastian.4
38 Menjadi Manusia Otentik

Memang sekarang banyak orang sinis terhadap kebenaran. Akan tetapi


sikap sinis ini sebenarnya dapat dihindari. Sikap sinis ini sebenarnya berakar
pada kebingungan banyak orang tentang makna kebenaran, dan apa artinya
bagi kehidupan. Kebenaran itu memiliki nilai. Akan tetapi kebenaran itu ti-
daklah selalu sama dengan tradisi. Sekarang ini orang biasanya dihadapkan
pada dua pilihan, yakni menjadi orang yang memegang kebenaran tunggal se-
cara teguh sebagai prinsip hidup, atau sama sekali tidak memegang kebenaran.
Dengan cara berpikir seperti ini, tidak heran banyak orang terjebak di dalam ke-
bingungan. Di dalam bukunya yang berjudul True to Life, yang menjadi acuan
penulis pada bab ini, Lynch berpendapat, bahwa untuk sampai pada kebenaran
yang otentik, orang harus melepaskan diri dari dogma dan dari relativisme.
Kebenaran otentik itulah yang harus dicari dan dihargai oleh manusia. “Kita”,
demikian tulisnya, “harus mulai berpikir untuk keluar dari kebingungan dan
sinisme kita tentang nilai kebenaran. Tanpanya, kita tidak akan pernah dapat
bertindak dengan ketulusan hati, hidup otentik, dan berbicara secara benar…”5

Kebenaran dan Obyektivitas


Jika anda berhenti di pinggir jalan, dan bertanya kepada orang yang se-
dang melewati anda, “Apa yang yang dimaksud dengan kebenaran?”, maka
anda akan tampak seperti orang gila. Andaipun tidak anda pasti akan menda-
patkan jawaban yang membingungkan dari orang yang juga bingung. Reaksi-
reaksi semacam ini dapatlah dimengerti. Kebenaran adalah konsep yang selalu
digunakan, tetapi selalu sulit untuk didefinisikan. Oleh karena itu banyak orang
beranggapan, bahwa pertanyaan tentang makna kebenaran adalah pertanyaan
retorikal belaka.6
Menurut Lynch salah satu alasan mengapa kebenaran itu sulit untuk di-
definisikan adalah, karena begitu banyak pandangan yang saling bertentangan
di dalam proses mendefinisikan apa yang dimaksud dengan kebenaran itu. Ada
orang yang beranggapan, bahwa kebenaran itu ditemukan. Ada juga yang ber-
pendapat, bahwa kebenaran itu diciptakan. Di sisi lain ada orang yang ber-
pendapat, bahwa kebenaran itu dapatlah diketahui oleh manusia. Sementara
orang lainnya beranggapan, bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang miste-
rius. Sekilas berbicara tentang kebenaran merupakan soal mudah. Akan tetapi
jika dipikirkan lebih jauh, segala sesuatu terkait dengan kebenaran justru sema-
kin rumit dan problematis.
Lepas dari kebingungan dan kerumitan yang muncul pada saat pencari-
annya, kebenaran tetap merupakan sesuatu yang layak dikejar, baik di dalam
Manusia dan Kebenaran 39

kehidupan personal, maupun politik. Menurut Lynch kebenaran itu adalah se-
suatu yang penting dan bernilai. Dalam bahasanya, truth matters!7
Tidak mungkin ada orang yang tahu segalanya. Ada beberapa hal yang
tidak akan kita ketahui seumur hidup kita, dan ada beberapa yang kita pikir kita
tahu, tetapi sebenarnya tidak. Akan tetapi menurut Lynch, lepas dari semua
fakta ini, ada satu fakta yang tidak bisa dibantah mengenai kebenaran, yakni
bahwa kebenaran itu obyektif. Kebenaran itu adalah totalitas, dan totalitas itu
seluas alam semesta. Tidak ada manusia yang mampu berpikir dan mengetahui
tentang keseluruhan alam semesta. Totalitas alam semesta, di mana terdapat
kebenaran obyektif, tidak mungkin tertampung di dalam pemikiran manusia.
Di dalam proses memahami totalitas kebenaran itu, manusia seringkali
jatuh ke dalam kesalahan. Misalnya dulu orang beranggapan bahwa bumi itu
rata. Sekarang setelah ilmu pengetahuan berkembang, ide semacam itu ter­
dengar agak konyol. Tidak hanya itu bahkan suatu ide yang muncul dari pe-
nelitian ilmiah modern pun bisa salah. Pada abad ke-17 para ahli kimia yakin,
bahwa proses besi berkarat dan kayu terbakar adalah proses yang sama, yakni
proses hilangnya massa. Sekarang pemikiran semacam itu terbukti salah. Proses
keduanya berbeda karena melibatkan unsur oksigen dengan intensitas dan jum-
lah yang berbeda. Para ilmuwan paling cerdas pada abad ke-17 sangat yakin,
bahwa teori mereka benar. Akan tetapi mereka kini telah terbukti salah.8
Hanya karena kita percaya bahwa sesuatu itu benar, tidak berarti itu sung-
guh-sungguh benar. Dan sebaliknya hanya karena sesuatu itu sungguh-sungguh
benar, tidak berarti kita mempercayainya. Lynch kemudian memberi contoh
tentang Gunung Everest. Menurutnya fakta bahwa Gunung Everest adalah gu-
nung tertinggi di dunia tidaklah terkait dengan apakah kita mempercayainya
atau tidak. Efek bahasa memang juga berpengaruh. Jika tidak ada bahasa “Gu-
nung Everest”, maka fenomena alam itu tidak akan dinamai apapun. Walau-
pun begitu fenomena alam itu tetap ada, tetapi mungkin saja kita menyebutnya
dengan nama lain.
Lynch kemudian melanjutkan lebih jauh. Kebenaran, secara sederhana,
adalah pernyataan tentang fakta sebagaimana adanya. Ia mengambil definisi ini
dari Voltaire. Ketika kita berkata benar, maka dunia akan berjalan sesuai de­
ngan yang kita katakan. “Adalah bagaimana dunia itu sendiri yang penting bagi
kebenaran”, demikian tulis Lynch, “dan bukan apa yang kita percayai tentang
dunia.”9 Jika dipahami seperti ini, kebenaran bukanlah sesuatu yang konflik­
tual dan kontroversial. Pemahaman semacam ini tentunya mensyaratkan, bah-
40 Menjadi Manusia Otentik

wa orang siap mengakui kesalahan dan ketidakmampuan mereka. Tampaknya


syarat inilah yang seringkali sulit terpenuhi.
Ide bahwa kebenaran itu obyektif merupakan bagian dari teori korespon-
densi. Jadi apa yang dinyatakan itu berkorespondensi langsung dengan realitas.
Apa yang dinyatakan sesuai dengan apa yang terjadi. Akan tetapi kita juga perlu
memberi ruang perdebatan untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
“sesuai” dan apa yang dimaksud dengan “realitas”. Beberapa pemikir berpen-
dapat bahwa kepercayaan tidaklah berarti, jika tidak mengacu pada sesuatu di
luar pikiran manusia yang bersifat mandiri, seperti keberadaan benda-benda fi-
sik dalam bentuk gunung, pisau, ataupun meja. Dalam konteks teori seperti ini,
kebenaran adalah sesuatu yang murni obyektif. Setiap pernyataan haruslah se-
lalu mengacu pada keberadaan benda-benda fisik. “Kepercayaan yang benar”,
demikian Lynch, “adalah kepercayaan yang menggambarkan dunia sebagaima-
na dirinya sendiri dan bukan sebagaimana kita mengharapkannya, atau takut
padanya,…”10 Di titik ini “sesuai” berarti identitas antara pikiran dan kenyataan.
“Realitas” pun dipahami sebagai realitas yang obyektif ada.
Secara umum ada beberapa teori tentang kebenaran. Yang pertama ada-
lah teori kebenaran korespondensi, yakni adanya kesesuaian antara pikiran,
perkataan, dan realitas obyektif, yaitu realitas yang ada secara mandiri tak ter-
gantung pikiran manusia. Yang kedua adalah teori kebenaran konsensus. Di
dalam teori ini kebenaran adalah apa yang disepakati sebagai benar di dalam
suatu komunitas tertentu. Contoh paling lugas adalah nilai-nilai moral dan ke-
berlakuannya. Yang ketiga adalah teori kebenaran koherensi, yakni kebenaran
sebagai sesuatu yang muncul dari penarikan kesimpulan logis dengan berdasar
pada premis-premis yang bisa dipertanggungjawabkan. Kebenaran matematis
dan kebenaran logis adalah contoh yang paling jelas. Yang keempat adalah
bahwa teori kebenaran sebagai kebahagiaan. Yang terakhir inilah yang akan
dibahas berikutnya.

Kebenaran dan Kebahagiaan


Apa hal yang paling berharga di dalam hidup anda? Pertanyaan seperti
ini, pada hemat penulis, sangatlah penting. Semua hal yang anda lakukan men-
jadi terkesan sia-sia, jika anda tidak memiliki sesuatu yang sangat berharga di
dalam hidup anda, yang mungkin anda bersedia mati untuknya. Jika kita peduli
dan mencintai sesuatu, maka sesuatu itu pasti penting untuk kita. Semua hal
yang kita lakukan di dalam hidup, kita lakukan untuk sesuatu yang kita cintai.11
Mencintai sesuatu tidak berarti hanya kita menginginkannya. Penulis ingin ma-
Manusia dan Kebenaran 41

kan mie goreng. Akan tetapi penulis tidak terlalu peduli pada mie goreng. Mie
goreng bukanlah hal terpenting di dalam hidup penulis. Hasrat dan keingin­
an datang dan pergi. Sifatnya sangat sementara. Ketika kita mencintai sesuatu,
maka kita memperlakukannya sebagai tujuan. Seluruh tindakan kita menjadi-
kan sesuatu yang kita cintai itu sebagai tujuan. “Ketika kita secara mendalam
mencintai sesuatu”, demikian Lynch, “kita mencintainya demi sesuatu itu pada
dirinya sendiri.”12
Apa yang kita cintai dan seberapa dalam kita mencintainya sangatlah
tergantung pada “siapa” kita sebagai manusia. Banyak orang membaktikan hi-
dupnya untuk satu komitmen tertentu, seperti komitmen pada Tuhan di dalam
agama. Komitmen semacam itu mengikat seluruh tujuan hidupnya pada satu
arah yang jelas. Di sisi lain banyak orang belum menemukan apa yang sungguh
berarti di dalam hidupnya. Komitmennya berkembang dan berubah seiring ber-
jalannya waktu. Banyak orang menjadikan kekasih, anak, keluarga, atau karir-
nya sebagai sesuatu yang bermakna di dalam hidup mereka. Banyak juga yang
menjadikan prinsip-prinsip abstrak sebagai tujuan hidup, seperti kebebasan,
Tuhan, kesetaraan, seni, ataupun kelestarian lingkungan hidup.
Apapun itu tujuan hidup haruslah dilandasi kebenaran. Tanpa kebenaran
tujuan hidup itu bagai mitos belaka yang tak lebih dari sekedar kebohongan.
Kebenaran juga penting supaya orang bisa menjalani hidupnya dengan baha-
gia. “Peduli pada kebenaran”, demikian Lynch. “sangatlah terkait dengan keba-
hagiaan.”13 Orang yang menjalani hidup atas dasar kebenaran berarti menjalani
hidup secara otentik dan tulus. Otentisitas, yang merupakan tema utama buku
ini, terkait erat dengan kebenaran. Lynch sendiri berpendapat bahwa hidup
yang didasarkan pada kebenaran tidak hanya berbuah kebahagiaan bagi diri,
tetapi juga bagi kehidupan orang lain. Dengan kata lain kebenaran, yang diya-
kini dalam hidup, sebagai jalan menuju otentisitas dan kebahagiaan ternyata
juga memiliki nilai politis.
Pengetahuan tentang diri sendiri sangat menentukan bagaimana orang
menjalani hidup. Bisa saja ada orang yang mengatakan, bahwa ia sungguh tahu
apa yang ia percaya, yakini, inginkan, dan rasakan. Pengetahuan tentang diri
sendiri, seperti yang sudah disinggung pada bab sebelumnya, terkait dengan
kesadaran sebagai manusia. Dengan mengenal diri sendiri, berarti orang telah
sadar. Untuk bisa menjadi sadar, orang perlu tahu tentang kebenaran yang ter-
kait dengan dirinya sendiri. “Pengetahuan tentang diri sendiri sangatlah pen-
ting bagi kita”, demikian Lynch, “karena sering kita kekurangan tentangnya,
dan dengan kurang pengetahuan tentang diri, kita bisa berjalan sambil tidur di
42 Menjadi Manusia Otentik

dalam menjalani kehidupan.”14 Dalam arti ini pengetahuan tentang diri sen-
diri adalah prasyarat untuk menjadi orang yang berbahagia, yakni orang yang
hidupnya bermakna dan otentik.
Sejauh ini, dengan mengikuti Lynch, penulis berpendapat bahwa kebe-
naran itu penting, supaya orang bisa mencapai hidup yang otentik dan bahagia.
Akan tetapi bukankah kebahagiaan itu urusan pribadi? Jadi bagaimana penulis
bisa berkata, bahwa untuk mencapai kebahagiaan, orang perlu untuk meme-
luk kebenaran? Jangan-jangan yang penulis lakukan adalah memaksakan ide
penulis mengenai kebahagiaan pribadi penulis kepada pikiran para pembaca?
Menurut Lynch untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu memikirkan tentang
bagaimana kita berpikir mengenai kebahagiaan.15
Kebahagiaan adalah konsep yang elusif. Semakin kita berusaha mewu-
judkannya, semakin kebahagiaan itu lari dari genggaman tangan. Akan tetapi
penulis cukup yakin, bahwa kebahagiaan itu bukanlah semata-mata sensasi ke-
senangan sesaat saja. Kebahagiaan adalah sesuatu yang kompleks, yang meli-
batkan keseluruhan hidup manusia. Hidup yang bahagia adalah hidup yang
bermakna, yakni hidup yang dijalankan dengan penuh kepenuhan.
Sekarang ini banyak orang memisahkan hidup yang penuh dan bahagia
di satu sisi, dan kehidupan moral di sisi lain. Mereka berpikir bahwa keduanya
adalah hal yang terpisah. Akan tetapi salah satu filsuf terbesar di masa Yunani
Kuno, Aristoteles, menolak pendapat ini. Baginya kebahagiaan sangatlah terkait
dengan keutamaan hidup. Keutamaan sendiri aalah segala sesuatu yang bisa
dianggap sebagai suatu tindakan yang bermoral baik, seperti bertanggungja-
wab, jujur, ramah, bijaksana, dan murah hati pada orang lain. Untuk menjadi
bahagia orang perlu untuk menjadi orang yang baik secara moral. Aristoteles
juga percaya akan perlunya kesatuan dari beragam keutamaan. Orang tidak
mungkin bisa menjadi orang yang berani, jika ia tidak sekaligus murah hati,
ramah, dan jujur. Argumen terakhir ini bertentangan dengan cara berpikir ba-
nyak orang sekarang. Mereka berpikir bahwa keutamaan adalah sesuatu yang
terpisah-pisah.
Banyak orang juga berpendapat, bahwa tujuan hidup adalah mewujud-
kan keinginan-keinginan yang ada. Yang orang inginkan bukanlah hidup yang
baik dan bermakna, melainkan kenikmatan yang diperoleh di dalam pemuasan
keinginan. Inilah yang disebut sebagai hedonisme, yakni paham yang berpenda-
pat , bahwa hidup yang baik adalah hidup yang terus bertambah kenikmatan-
nya. Jika sesuatu menimbulkan kenikmatan, maka lakukankanlah! Kenikmatan
memang perlu. Kenikmatan berhubungan seks dan mendengarkan musik ada-
Manusia dan Kebenaran 43

lah kenikmatan alamiah yang patut diperoleh manusia. Hidup perlu semua itu.
Akan tetapi hidup pun lebih dari semua itu. Orang perlu untuk menghargai
sesuatu yang melampaui pengalaman nikmat, yakni nilai kebenaran dan otenti-
sitas. Dengan itulah hidupnya menjadi semakin penuh dan bermakna.
Penulis tidak mau menolak kenikmatan. Kenikmatan, pada level yang
tepat, jelas merupakan sesuatu yang sangat baik. Banyak orang yang hidupnya
jauh dari kenikmatan. Mereka hidup di dalam penderitaan yang besar. Hidup
mereka akan jauh lebih baik, jika mereka mendapatkan kenikmatan dalam ben-
tuk keberadaan makanan dan rumah yang layak. Jelaslah hidup nikmat dan
jauh dari penderitaan adalah sesuatu yang penting. Akan tetapi hal itu bukanlah
yang terpenting dalam hidup. Ada nilai di dalam penderitaan yang membuat
kita semakin manusiawi. Hidup yang sepenuhnya diwarnai kenikmatan jelas
bukan hidup yang baik.
Jika tujuan dari hidup adalah memenuhi semua keinginan yang ada,
maka cara hidup terbaik adalah dengan menginginkan hal-hal yang secara
realistik bisa terpenuhi. Akan tetapi manusia, seperti akan kita lihat pada bab-
bab berikutnya, memiliki hasrat yang nyaris tak terbatas. Setiap orang memiliki
hasrat yang jauh lebih besar daripada yang seharusnya mereka penuhi. Maka
tindak mengurangi hasrat dan keinginan sebenarnya sesuatu yang baik. Banyak
orang menghabiskan hidup mereka dengan menginginkan hal-hal yang tidak
mungkin mereka peroleh. Hal ini tentunya membuat hidup menderita. Hidup
akan lebih baik, jika kita hanya memiliki sedikit keinginan, terutama keinginan
akan pemenuhan benda-benda material. Namun menurut Lynch hidup juga
perlu tantangan. Tantangan yang konkret lahir, jika kita memiliki cita-cita tinggi
yang ingin diwujudkan, seperti perdamaian dunia, penyembuhan kanker, atau
pembelaan rakyat miskin. Mungkin saja dalam hidup, tidak semua cita-cita itu
bisa jadi kenyataan. Akan tetapi hidup akan jauh lebih baik, jika orang memiliki
cita-cita tinggi. Tantangan dan cita-cita bisa menjadi makna bagi hidup.
Dengan demikian pemenuhan semua hasrat dan keinginan bukanlah
tujuan tertinggi di dalam hidup. Ada beberapa keinginan yang bernilai lebih
tinggi daripada keinginan yang lain. Dan keinginan yang lebih tinggi itu layak
menjadi tujuan hidup, jika orang menginginkan hidup yang baik, yakni hidup
yang bahagia dan bermakna. Inilah yang disebut sebagai teori kebahagiaan.16
Di dalam teori ini ada beberapa jenis tujuan hidup yang lebih bernilai daripada
tujuan hidup lainnya. Orang yang mengabdikan hidupnya untuk mewujudkan
suatu tujuan hidup yang bernilai dianggap memiliki hidup yang baik (good life).
Ada perbedaan mendasar antara apa yang orang inginkan di satu sisi, dan apa
44 Menjadi Manusia Otentik

yang layak untuk diinginkan di sisi lain. Beberapa filsuf yakin bahwa hanya ada
satu kebaikan tertinggi yang seharusnya menjadi tujuan hidup setiap orang.
Plato, seorang filsuf besar Yunani Kuno, berpendapat, bahwa hidup yang baik
adalah hidup yang dijalankan atas dasar pencarian kebenaran. Kebenaran itu
bukanlah kebenaran yang bersifat partikular dan relatif, melainkan kebenaran
yang abstrak, universal, dan abadi. Plato menyebutnya sebagai to agathon, ya-
kni yang murni dan sempurna baik. Maka hidup yang baik, menurutnya, adalah
hidup berfilsafat, yakni hidup yang dibaktikan untuk pencarian dan kontem­
plasi atas kebenaran.
Ada juga para pemikir yang berpendapat, bahwa hidup religius adalah
cara hidup terbaik. Hidup religius adalah hidup dengan berdasarkan pada ke-
hendak Tuhan. Ada juga para pemikir romantik dan para penyair. Mereka me-
nyarankan hidup berkesenian sebagai jalan hidup. Hidup berkesenian mengan-
daikan kreatiftas dan keberanian untuk mengekspresikan diri. Dua karakter
yang menjadi syarat bagi kebahagiaan manusia. Akan tetapi menurut Lynch,
hidup manusia jaman sekarang jauh lebih rumit, sehingga sulit untuk memberi-
kan satu tips praktis guna menjalani hidup yang benar dan bahagia. Manusia itu
terlalu kompleks dalam hal kebutuhan, kemampuan, keinginan, dan kepercaya-
annya. Tidak ada satu cara yang cukup universal untuk membuat orang sam-
pai pada kebahagiaan. Manusia selalu hadir dan bermakna di dalam konteks
kulturalnya. Ia selalu menemukan dirinya di dalam kultur. Pengaruh konteks
kultural sangatlah kuat.17 Teori tentang kebahagiaan tidaklah boleh terlalu kaku.
Kebahagiaan adalah sesuatu yang mengalir, maka teori tentangnya pun harus
memiliki aspek cair dan fleksibel.
Konsep yang cair, menurut Lynch, adalah konsep yang dapat diperkaya
dan diperluas dengan cara-cara baru yang lebih sesuai dengan situasi. Ada be-
berapa jenis konsep cair ini. Yang pertama adalah apa yang disebut Ludwig
Wittgenstein, seorang filsuf asal Jerman-Inggris abad kedua puluh, sebagai fa-
mily resemblance. Ia memberi contoh tentang permainan. Ada banyak permai-
nan yang dikenal manusia. Setiap permainan memiliki aturannya masing-ma-
sing. Setiap permainan juga memiliki peralatan uniknya masing-masing. Semua
permainan disebut sebagai “permainan”, walaupun aturan dan peralatannya
berbeda. Itulah yang disebut sebagai family resemblance di dalam kata ‘per-
mainan’.
Pemahaman kita tentang kebahagiaan jugalah harus cukup terbuka, se-
perti konsep family resemblance yang dirumuskan Wittgenstein. Setiap orang
memiliki pemahaman mereka sendiri tentang kebahagiaan, walaupun semua
Manusia dan Kebenaran 45

pemahaman itu dapat disebut juga sebagai kebahagiaan. Dengan pemahaman


yang beragam akan kebahagiaan ini, orang dapat membuat hidupnya menjadi
bermakna, karena mereka diberi kesempatan untuk menentukan sendiri tujuan
hidupnya. Konsep kebahagiaan, selain berbeda untuk setiap orang, juga dapat
berubah sesuai dengan perubahan situasi.
Lynch merumuskan pandangannya tentang kebahagiaan dalam satu kali-
mat ini, “..kita toleran pada fakta bahwa ada lebih dari satu cara untuk merasa
bahagia, dan pada saat yang sama setuju bahwa ada cara-cara definitif untuk
menjadi tidak bahagia.”18 Artinya banyak orang menyadari, bahwa ada batas
minimal untuk kebahagiaan, seperti kesehatan fisik dan psikis, kebebasan dari
rasa sakit, kenikmatan, persahabatan, cinta, integritas, dan rasa cinta terhadap
diri sendiri. Walaupun begitu kita juga perlu sadar, bahwa ada banyak cara
untuk berkembang dari beberapa situasi yang disebutkan sebelumnya. Ada ba-
nyak dan beragam cara untuk mencapai kebahagiaan, namun semuanya dapat
ditempatkan secara setara.
Dengan demikian kebenaran itu adalah bagian dari cara untuk menjadi
orang yang otentik. Tidak ada hidup yang otentik tanpa kebenaran. Kebenaran
itu ditemukan melalui refleksi diri dan pencarian terus menerus. Jika begitu
apakah orang yang hidupnya tidak reflektif otomatis tidak bisa menemukan ke-
benaran, dan maka ia tidak bahagia? Dapatkah orang, yang mungkin saja tidak
terlalu reflektif dalam kategori filsafat, hidup bahagia dengan standarnya sen-
diri, yang mungkin saja berbeda dengan ukuran umum?
Menurut Lynch jawaban atas pertanyaan itu sekaligus ya dan tidak.19 Ke-
bahagiaan, menurutnya, adalah masalah tingkatan. Tidak ada orang yang sung-
guh bahagia, dan tidak ada orang yang sungguh menderita. Yang ada adalah
orang yang kurang lebih bahagia, atau merasa kurang lebih tidak bahagia. Ba-
nyak faktor yang mempengaruhi tingkat kebahagiaan itu. Harga diri dan rasa
hormat terhadap diri sendiri (self-respect) tidak akan berguna, jika anda kelapa-
ran. Sebaliknya anda kenyang dan nyaman dalam hal materi, tetapi anda selalu
gelisah. Anda tidak punya penghargaan terhadap diri sendiri ataupun orang
lain. Akibatnya anda pun tidak merasa bahagia. Misalkan ada dua orang yang
hidup dalam kenyamanan material. Keduanya cukup secara material. Yang satu
memiliki tujuan hidup yang jelas, menghargai diri sendiri dan orang lain, serta
memiliki ketulusan di dalam hidupnya. Sementara orang lainnya tidak. Maka,
menurut Lynch, orang pertama akan merasa hidupnya lebih bahagia dan ber-
makna daripada orang kedua.
46 Menjadi Manusia Otentik

Ketika kita memberikan ukuran tentang apa yang diperlukan untuk men-
jadi otentik dan bahagia, kita melakukannya sudut pandang pengamat. Sudut
pandang pengamat itu pun tidak netral sepenuhnya, melainkan menggunakan
ukuran yang kita miliki, yakni tolok ukur yang kita gunakan secara pribadi di
dalam hidup kita pribadi. Akan tetapi menurut Lynch, tidak berarti tidak ada
kesepakatan umum yang sama di antara banyak orang tentang tolok ukur terse-
but. Disinilah peluang terjadinya dialog. Di dalam dialog tentang tolok ukur ke-
bahagiaan tersebut, orang perlu siap untuk salah. Orang perlu siap pada fakta,
bahwa mungkin saja tolok ukur yang ia gunakan di dalam hidup itu tidak tepat.
Pada hemat penulis sendiri, hal-hal dasar, seperti kesehatan fisik dan men-
tal, kejujuran, dan ketulusan adalah tolok ukur umum tentang kebahagiaan.
Orang bisa mulai menciptakan hidup yang bermakna dari tiga dasar itu. Akan
tetapi pandangan ini pun bisa salah. Mungkin saja di suatu tempat di dunia ini,
ada kebudayaan yang menolak ketulusan dan kejujuran sebagai syarat kebaha-
giaan. Melihat itu penulis tidak perlu bersikap reaksioner, melainkan terbuka
untuk mengadakan dialog. Mungkin saja kebudayaan itu memiliki pemaknaan
sendiri tentang arti kebenaran, ketulusan, dan kejujuran. Dialog dengan cara
berpikir seperti itu tentunya memperkaya cakrawala berpikir semua pihak.
Di dalam buku ini, penulis juga sudah seringkali menyebutkan bahwa
pengenalan terhadap diri sendiri mengandaikan keberadaan konsep “diri” yang
unik bagi setiap orang. Akan tetapi bukankah dengan berkata seperti itu, penu-
lis sudah jatuh ke dalam dualisme Cartesian, di mana jiwa dan tubuh dianggap
sebagai entitas yang terpisah, yang sebenarnya juga ingin penulis tentang? Akan
tetapi dengan mengacu pada argumen Lynch, yang membentuk identitas ma-
nusia bukanlah “diri” metafisis ala Cartesian yang terpisah dari tubuh, melain-
kan kumpulan komitmen, kepercayaan, dan prinsip yang membentuk identitas
orang tersebut. Kumpulan komitmen inilah yang bisa disebut sebagai “diri”.
Kumpulan komitmen, kepercayaan, dan prinsip ini bukanlah sesuatu yang ter-
pisah dari tubuh, melainkan justru integral di dalam kesatuannya dengan tubuh
manusia. Pikiran, tindakan, dan perilaku manusia didasarkan pada kumpulan
komitmen, kepercayaan, dan prinsip ini.20
Pertanyaan lebih jauh adalah, apakah identitas diri itu ditemukan, atau
diciptakan? Menurut Lynch identitas diri adalah suatu naratif. Manusia, dalam
konteks ini, adalah mahluk yang menceritakan tentang dirinya sendiri dan duni-
anya. Hidupnya adalah perjalanan dari sebuah kisah yang dituturkan di dalam
naratif. “Hidup”, demikian tulisn Lynch, “melibatkan proses penceritaan kisah
tentang dirimu kepada dirimu sendiri dan kepada orang lain.”21 Naratif mem-
Manusia dan Kebenaran 47

buat semua peristiwa di dalam hidup manusia menjadi masuk akal. Identitas
diri adalah suatu konstruk naratif yang sangat rumit. Beberapa pemikir bahkan
menyebutkan, bahwa diri adalah suatu fiksi yang diperlukan (necessary fiction).
Fiksi itu pun berbentuk naratif. Naratif itu melibatkan suatu proses penciptaan
terus menerus. Naratif adalah sesuatu yang terus menjadi. Proses ini melibatkan
aktivitas manusia sekaligus pasivitasnya di dalam menerima fakta dunia. Maka
dari itu identitas diri manusia sebenarnya adalah suatu naratif yang diciptakan
sekaligus ditemukan dalam interaksi manusia dengan dunia kehidupannya. Na-
ratif itu adalah sekaligus diri dan identitasnya.***

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Mengapa manusia terdorong untuk mencari kebenaran dalam
hidupnya, walaupun seringkali kebenaran tersebut begitu menyakit-
kan? Jelaskan jawabanmu dengan contoh secukupnya!
2. Jelaskan beberapa teori tentang kebenaran di dalam filsafat, dan beri-
kan contoh secukupnya!
3. Jelaskan beberapa teori yang menolak ‘kebenaran’ di dalam filsafat!
Apa tanggapanmu terhadap teori-teori tersebut?
4. Apa kaitan kebenaran dan kebahagiaan? Apa kaitan antara kebenaran
dan otentisitas? Jelaskan jawabanmu dan berikan contoh secukupnya!

1 Pada bab ini, saya mengacu pada pemikiran Michael P. Lynch, True to Life, Cambridge, MIT
Press, 2004.
2 Lynch, 2004, hal. 1.
3 Lihat, ibid, hal. 2.
4 Lihat, ibid, hal. 3.
5 Ibid. hal. 4.
6 Lihat, Lynch, 2004, hal. 9.
7 Lihat, ibid, hal. 10.
8 Dikutip dari ibid, hal. 11.
9 Ibid.
10 Ibid, hal. 12.
11 Bdk, ibid, hal. 119.
12 Ibid.
13 Ibid, hal. 121.
14 Lihat, Lynch, 2004, hal. 121.
15 Lihat, ibid, hal. 136.
16 Lihat, Lynch, 2004, hal. 141.
48 Menjadi Manusia Otentik

17 Lihat, ibid.
18 Ibid, hal. 142.
19 Lihat, ibid, hal. 143.
20 Lihat, Lynch, 2004, hal. 144.
21 Ibid, hal. 145.

-oo0oo-
BAB 5
MANUSIA DAN HASRAT1

P ada bab sebelumnya kita sudah melihat, bahwa manusia memerlukan kebenaran di dalam
hidupnya. Kebenaran adalah dasar bagi manusia untuk menjadi otentik. Kebenaran juga bisa
membuat hidup manusia menjadi bahagia. Akan tetapi kebenaran bukanlah satu-satunya aspek
yang diperlukan untuk menjadi otentik. Manusia juga perlu mengenali sisi-sisi “gelap” yang ada di
dalam dirinya. Pengenalan itu akan berbuah kemampuan menjaga jarak dan menata dorongan-do-
rongan hasrat tersebut. Tanpa pengenalan terhadap hasratnya, manusia akan dijajah oleh hasratnya
sendiri. Pada bab ini, berdasarkan pemikiran Simon Blackburn, penulis akan mencoba memaparkan
aspek-aspek mendasar dari hasrat manusia.
Hasrat adalah unsur halus di dalam diri manusia yang sangat sulit dipahami. Orang sering
merasa bahwa ia menginginkan A. Padahal yang sungguh diinginkannya adalah B. Hasrat terkait de­
ngan keinginan. Sedari kecil banyak orang diajarkan untuk menutupi hasratnya, bahkan dari dirinya
sendiri. Mungkin saja tidak ada orang yang sungguh mengenali hasrat di dalam dirinya. Diri manusia
adalah sesuatu yang sangat rumit, terdiri dari berbagai lapis, elusif (selalu lolos dari genggaman kon-
sep), dan bahkan ambigu. Ketika kita merasa mengenal tentang diri kita sendiri, pada saat yang sama,
diri itu lolos dari pemahaman kita, dan berubah menjadi sesuatu yang lain.
Menurut Blackburn hasrat manusia yang paling mendasar adalah hasrat seksual. Ketika orang
membicarakan hasrat, yang ada di kepalanya sebenarnya langsung mengacu pada hasrat seksual ma-
nusia. Akan tetapi seks bukanlah akar terdalam dari hasrat. Orang melakukan hubungan seks dengan
banyak alasan. Ada yang melakukannya untuk mendapatkan keturunan. Ada yang melakukannya un-
tuk membuktikan, bahwa ia sanggup melakukannya. Ada yang melakukannya untuk membuktikan
cintanya pada pasangannya. Ada yang melakukannya hanya untuk menyingkirkan kekasih sebelum-
nya, meningkatkan karirnya, atau untuk mendapatkan uang. Pada kasus terakhir orang berhubungan
seks tanpa hasrat. Hasrat menjadi lenyap di dalam seks yang bertujuan. Seks bukan bertujuan untuk
50 Menjadi Manusia Otentik

seks, tetapi untuk sesuatu di luar seks itu sendiri. Yang terakhir ini biasanya
terjadi pada orang tua. Pada anak muda, menurut Blackburn, seks dilakukan
sebagai cara sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri.
Bisa saja dikatakan tujuan dari orang muda berhubungan seks bukanlah
seks itu sendiri, tetapi orgasme dan ejakulasi. Setelah orgasme orang merasa-
kan pelepasan yang menenangkan sekaligus melelahkan. Kondisi semacam itu-
lah yang ingin dicari. Akan tetapi menurut Blackburn, analisis ini salah. Orang
muda justru menganggap orgasme sebagai gangguan yang tidak diinginkan.
Orgasme adalah pemutus kenikmatan yang tidak diundang. Ia takut jika ia orga-
sme, maka ia akan lelah, dan tidak mampu memuaskan pasangannya. Bahkan
menurut Bertrand Russell, hasrat adalah dorongan yang mengarah pada pe-
musnahan dirinya sendiri, seperti pada seks. Seks adalah tindakan yang, jika
dipuaskan, justru memusnahkan hasrat seks itu sendiri. Dalam kaca mata ini,
orgasme bukanlah puncak seksualitas, melainkan akhir dari seks.2
Tentu saja orgasme adalah momen kenikmatan yang layak menjadi tu-
juan. Orgasme juga bisa dipandang sebagai tujuan puncak. Orang tidak akan
berhenti, sampai ia tiba pada tujuan final. Hal yang sama terjadi di dalam hu-
bungan seksual. Akan tetapi menurut Blackburn, yang menjadi sumber ke-
nikmatan bukanlah tujuan semata, melainkan prosesnya. Tujuan utama dari
berhubungan seks bukanlah orgasme semata, tetapi juga proses untuk menca-
pai orgasme itu. Pola berpikir yang sama kurang lebih bisa diterapkan di dalam
menjalani hidup. Yang nikmat di dalam hidup bukanlah kenikmatan pencapa-
ian tujuan itu sendiri, tetapi juga jerih payah dan usaha yang dilakukan untuk
mencapai kenikmatan.3
Secara biologis hasrat mungkin hanya soal rangsangan seksual. ��������
Akan te-
tapi menurut Blackburn, pandangan ini tidaklah tepat. Orang bisa mendapatkan
rangsangan seksual, namun tidak memiliki hasrat. Obat-obatan tertentu dapat
membuat orang terangsang, namun tidak memiliki hasrat. Kenikmatan, dalam
bentuk apapun, dapat membuat orang mendapatkan rangsangan. Bahkan dina-
mika perdagangan di pasar (saham?) bisa membuat orang memperoleh rangs-
angan, yang berujung pada terciptanya rangsangan seksual. Memang ada unsur
hasrat di dalam rangsangan ini, walaupun tidak banyak. Hasrat, dalam arti ini,
dapat dimaknai sebagai suatu kondisi psikologis yang memiliki tujuan tertentu.
Akan tetapi apa tujuan sesungguhya dari hasrat?4
Tujuan dari pemenuhan hasrat adalah kenikmatan. Dua orang berhu-
bungan seks. Yang mereka inginkan bukanlah sekedar orgasme, tetapi kenik-
matan di dalam proses berhubungan seks menuju orgasme tersebut. Dalam
Manusia dan Hasrat 51

arti ini ada dua macam kenikmatan, yakni kenikmatan pada proses menuju
orgasme, dan kenikmatan orgasme itu sendiri. Jadi kenikmatan itu pun memi-
liki banyak versi. “Mungkin”, demikian tulis Blackburn, “hasrat secara esensial
adalah antisipasi dari kenikmatan aktivitas seksual.”5

Hasrat dan Filsafat


Pada awalnya para filsuf Yunani Kuno menunjukkan perhatian besar ter-
hadap seks. Phytagoras berpendapat bahwa waktu terbaik bagi manusia untuk
berhubungan seks adalah ketika ia mau memperlemah dirinya sendiri. Hip-
pocrates, bapak ilmu kedokteran, dan Platon, salah seorang filsuf terbesar di
masa Yunani Kuno, berpendapat bahwa aktivitas seksual adalah aktivitas yang
berbahaya, karena menghabiskan begitu banyak tenaga. Hippokrates bahkan
juga menulis, bahwa mimpi basah adalah tanda kegilaan. Pandangan ini masih
bertahan sampai abad ke-19. Pada abad kelima sebelum Masehi, Hesiodotus
menulis, bahwa hasrat terkait dengan eros, dan eros adalah musuh dari akal
budi. Dengan demikian hasrat dipandang melulu terkait dengan ekses tertentu.6
Cara berpikir yang berbeda dapat ditemukan di dalam tradisi filsafat ti-
mur. Di dalam filsafat Tao, seks dikaitkan dengan keabadian jiwa manusia. Di
dalam beberapa tulisan Tao, menurut Blackburn, tertulis bahwa kaisar kuning
(yellow emperor) menjadi abadi setelah ia bercinta engan 1200 wanita. Peng
Tu, seorang Taois bijak dari Cina kuno, bercinta dengan 10 sampai 20 wanita
setiap malamnya. Ia hidup sehat sampai tua.7
Hasrat, seperti sudah disinggung sebelumnya, adalah dorongan aktif un-
tuk mendapatkan kenikmatan yang pada akhirnya memusnahkan dirinya sen-
diri. Thomas Hobbes, seorang filsuf Inggris abad ke-17, punya pendapat sendiri
mengenai hal ini. Ia adalah filsuf yang terkenal dengan ungkapan, bahwa kondi-
si alamiah manusia adalah perang semua melawan semua. Jadi manusia, pada
kondisi alamiahnya, adalah mahluk yang saling menghancurkan satu sama lain.
Ia menulis, “dorongan yang disebut sebagai hasrat… adalah kenikmatan sen-
sual, akan tetapi bukan hanya itu; ada juga kenikmatan di dalam pikiran: untuk
itu sesuai dengan gabungan dua nafsu bersama, untuk membuat nikmat orang
lain, dan untuk dibuat nikmat oleh orang lain;… ini bukanlah sesuatu yang sen-
sual, tetapi kenikmatan pikiran, mempertimbangkan imajinasi dari kekuasaan
yang mereka miliki untuk membuat nikmat.”8
Apa logika di balik tulisan Hobbes tersebut? Ada dua orang berhubungan
seks. Sebut saja namanya Anton dan Dewi. Anton memberikan kenikmatan
pada Dewi. Dewi senang dengan apa yang dilakukan Anton. Anton juga se-
52 Menjadi Manusia Otentik

nang karena Dewi mengalami kenikmatan. Keduanya memperoleh kenikmatan


timbal balik. Hal yang sama juga terjadi sebaliknya. Dewi memberi kenikmatan
pada Anton. Anton merasa nikmat. Dewi senang karena Anton senang dengan
apa yang dilakukannya. Dewi menginginkan Anton, sekaligus ingin, supaya
Anton juga menginginkannya. Jika semua berjalan lancar, itulah yang terjadi,
dan terjadi secara timbal balik. Tidak ada yang disembunyikan. Tidak ada ke-
bohongan. “Disini”, demikian Blackburn, “hasrat seperti saling membuat musik
bersama, suatu simponi gabungan atas kenikmatan dan tanggapan. Ada keber-
samaan murni, atau apa yang penulis sebut sebagai kesatuan Hobbesian.”9
Kenikmatan bukanlah soal badaniah semata. Memang badan memain-
kan peranan. Akan tetapi kenikmatan pikiran ketika melakukan sesuatu jugalah
penting. Kenikmatan ini tentunya terkait dengan kepentingan pribadi, tetapi
juga tidak bisa disebut sebagai hedonistik ataupun narsisistik. Si penikmat ti-
dak hanya memperoleh kenikmatan karena diri sendiri, tetapi juga karena ia
memberikan kenikmatan pada orang lain. Kenikmatan timbal balik semacam
ini memberikan suapan kenikmatan yang besar pada hasrat. Tidak heran ba-
nyak orang tidak bisa hidup tanpa seks.
Orgasme di dalam pemenuhan hasrat seksual merupakan suatu penga-
laman kesatuan. Dua orang menjadi satu. Hasrat kesatuan yang serupa dapat
diterapkan untuk memahami kenikmatan, ketika orang bermain musik bersa-
ma. Ketika gitar dimainkan, yang kemudian diikuti oleh drum, bass, keyboard,
serta diikuti dengan vokal yang indah, semua itu menciptakan perasaan penuh
dan satu. Blackburn sendiri berpendapat bahwa seks itu mirip seperti sebuah
percakapan yang bermutu. Di dalam percakapan yang bermutu, orang bisa me-
lebarkan penulisp pemikirannya ke segala arah secara sadar. Tubuh memang
berperan di dalam percakapan, tetapi pikiran jauh lebih memainkan peranan.
Dengan demikian kenikmatan yang diperoleh ketika berhubungan seks, ber-
main musik bersama, dan mengalami percakapan bermutu adalah soal pera-
saan penuh dan utuh yang diberikannya. Perasaan penuh dan utuh yang hanya
bisa diperoleh dari pemenuhan hasrat yang bersifat timbal balik.10
Kesatuan yang bersifat timbal balik ini tidaklah bisa dipelajari secara
teknis. Buku-buku yang mengajarkan cara berhubungan seks, 90 cara untuk
mencapai percakapan bermutu, dan sebagainya justru akan menghilangkan
“mistik” yang membuat kesatuan itu menjadi mungkin. Penjelasan teknis dan
mekanis tentang seks dan percakapan justru membuat roh kesatuan yang mem-
buat tindakan itu terasa nikmat menghilang. Itulah juga sebab mengapa pene-
litian ilmiah di bidang seksologi, yang dilakukan secara intensif oleh Kinsey,
Manusia dan Hasrat 53

justru luput dari pemahaman akan esensi seksualitas. “Bukanlah gerakan”, de-
mikian Blackburn, “melainkan pikiran dibalik gerakan itulah yang penting bagi
pemuas­an hasrat.”11
Kesatuan di dalam percakapan, seks, dan bermain musik bersama bu­
kanlah kesatuan yang bersifat individualistik, seperti penulis bermain musik
dan kamu bermain musik, serta secara kebetulan kita cocok, melainkan bahwa
kita melakukannya secara bersama. Di dalam proses itu, kita berdua saling me-
nyadari keberadaan masing-masing, dan saling membuat penyesuaian. Logika
yang sama kurang lebih berlaku di dalam hubungan seksual dan percakapan
yang bermutu. Kebersamaan di dalam tindakan dan pikiran itulah yang men-
ciptakan perasaan nikmat.
Akan tetapi kehidupan nyata tidaklah berlangsung seideal itu. Kebosanan
seringkali menjadi masalah. Kecenderungan individualistik juga bisa menghan-
curkan momen kesatuan yang muncul dari kebersamaan itu. Rasa malu men-
ciptakan sikap tertutup, dan itu pada akhirnya bermuara pada ketakutan yang
menganggu relasi timbal balik. Kecurigaan dan prasangka juga bisa memutus
relasi timbal balik tersebut. Prasangka membuat orang tidak mampu saling
menafsirkan satu sama lain. Kesatuan yang terjadi juga bisa menjadi semu, ar-
tifisial, atau palsu. Kepatuhan yang berlebihan bisa menciptakan sikap berpu-
ra-pura merasakan kenikmatan, yang pada akhirnya merusak seluruh proses,
seperti seorang istri yang berpura-pura menikmati berhubungan seks dengan
suaminya, dan berpura-pura juga orgasme, atau seperti seorang istri yang ber-
pura-pura menikmati percakapan mengenai pertandingan sepak bola dengan
suaminya. “Kita”, demikian tulis Blackburn, “dapat membayangkan bahwa kita
mengalami kesatuan Hobbesian ketika sebenarnya kita tidak mengalaminya.
Anda dapat berpikir bahwa ada telah menciptakan kenikmatan timbal balik
padahal sebenarnya tidak.”12
Dengan demikian kenikmatan pemuasan hasrat manusia terletak di da-
lam perasaan utuh dan satu, yang muncul akibat relasi timbal balik. Inilah pun-
cak pemuasan hasrat. Momen ini sekaligus faktual dan ideal. Artinya momen
ini sungguh terjadi, sekaligus juga bisa lumpuh akibat gangguan-gangguan yang
ada. Kesatuan Hobbesian, menurut Blackburn, dapatlah diwujudkan secara
nyata di dalam realitas. Gangguan memang ada tetapi itu pun bisa dilampaui.
Dengan memahami hasrat manusia sebagai dorongan yang diarahkan pada
kenikmatan dalam kerangka kesatuan dan relasi timbal balik, maka kita bisa
memahami hasrat dalam kerangka kemanusiaan. Hasrat adalah sumber keba-
hagiaan yang membuat hidup manusia semakin manusiawi. Yang membuat
54 Menjadi Manusia Otentik

hasrat manusia punya nama jelek adalah kesalahpahaman, ideologi, dan kon-
trol berlebihan terhadap hasrat itu sendiri.13 Hasrat adalah bagian dari manusia
yang tanpanya, manusia tidak akan pernah jadi manusia. Sudah saatnya kita
memandang dan memahami hasrat sebagai bagian dari kemanusiaan kita, dan
bukan sebagai perversi, cacat, apalagi sebagai godaan setan.***

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Apa yang dimaksud dengan hasrat manusia? Apa beda hasrat tersebut
dengan hasrat bianatang?
2. Apa tujuan dasar dari hasrat? Mengapa?
3. Mengapa hasrat tersebut dikatakan akan menghancurkan dirinya sendiri?
Jelaskan dan berikan contoh secukupnya!
4. Apa yang dimaksud Hobbes sebagai hasrat untuk mencapai kesatuan?
Jelaskan dan berikan contoh secukupnya!

1 Penulis mengacu pada Simon Blackburn, Lust, Oxford, Oxford University Press, 2004.
2 Lihat, ibid, hal. 15.
3 Lihat, ibid.
4 Lihat, ibid, hal. 16.
5 Ibid.
6 Lihat, Blackburn, 2004, hal. 29.
7 Lihat, ibid, hal. 31.
8 Dikutip oleh Blackburn, 2004, ibid.
9 Ibid, hal. 88.
10 Lihat, ibid, hal. 89.
11 Ibid, hal. 90
12 Ibid, hal. 12.
13 Lihat, ibid, hal. 133.

-oo0oo-
BAB 6
MANUSIA DAN KEJAHATAN

P ada bab sebelumnya penulis sudah menulis tentang hasrat manusia, dan bagaimana hasrat
tersebut sebenarnya tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang negatif, tetapi sebagai bagian
dari kemanusiaan. Dengan menggunakan pemikiran Blackburn, penulis mengajukan argumen,
bahwa tujuan utama dari hasrat adalah kenikmatan, namun bukan sembarang kenikmatan, melainkan
kenikmatan yang muncul dari rasa kesatuan akibat relasi timbal balik antar manusia. Rasa kesatuan
itu bisa dialami pada hubungan seksual, percakapan bermutu, atau bermain musik bersama. Pada
bab ini, masih dalam proses perjalanan untuk mengenali anatomi filosofis diri manusia, penulis akan
membahas mengenai fenomena kejahatan. Penulis mengacu pada pemikiran Theodor Adorno se­
bagaimana ditafsirkan oleh Peter Dews.1 Seperti mengenali orang jahat perlu untuk mendefinisikan
apa itu kebaikan, begitu pula mengenali aspek kejahatan di dalam diri manusia membantu kita untuk
mengenali apa artinya menjadi manusia yang otentik, yang paham akan dirinya sendiri, dan hidup
atas dasar kesadarannya sendiri.
Holocaust pada perang dunia kedua adalah latar belakang yang membayangi pemikiran Ador-
no. Tulisannya dipenuhi dengan analisis yang dibayangi oleh suatu warna trauma terhadap holocaust.
“Untuk menulis puisi setelah Auschwitz”, demikian tulisnya, “adalah suatu tindakan biadab”.2 Dalam
konteks filsafat ia berpendapat, bahwa seluruh sejarah filsafat barat ditandai dengan satu ciri tung-
gal, yakni ketakutan terhadap yang lain. Yang lain diserap ke dalam yang sama. Adorno menyebut
yang lain ini sebagai yang tidak identik (non-identical). Seluruh peradaban Barat, seperti kita pahami
sekarang ini di Eropa, Amerika, dan pengaruhnya di berbagai belahan dunia, dibentuk oleh suatu
cara berpikir yang disebut sebagai cara berpikir identitas (identity thinking). “Pemikiran Semacam
itu”, demikian tulis Dews tentang Adorno, “memusnahkan secara pragmatis segala sesuatu yang tidak
relevan,… dan semua pembedaan kualitatif.”3 Cara berpikir ini mencerminkan dorongan subyek,
yakni manusia, untuk mengontrol segala sesuatu yang berada di luar dirinya, dan mencurigai segala
56 Menjadi Manusia Otentik

sesuatu yang tidak bisa dikontrolnya. Kamp konsentrasi yang didirikan NAZI
Jerman adalah puncak dari cara berpikir ini. “Filsafat dengan identitas murni”,
demikian Adorno, “adalah kematian.”4
Menurut Adorno subyek, yakni manusia yang aktif menghadapi dunia,
adalah subyek yang terputus dari alam keseluruhan, lalu secara sadar diri men-
jadi subyek yang melulu bersifat kalkulatif terhadap dunia. Keterputusan dan
kalkulasi atas alam itu semata-mata dilakukan untuk mempertahankan kebera-
daan dirinya. “Manusia”, demikian tulis Dews tentang Adorno, “secara progresif
mengambil jarak dari dirinya sndiri secara reflektif demi kepentingan memper-
tahankan dirinya.”5 Kemampuan inilah yang membuat mahluk lemah seperti
manusia mampu bertahan hidup menghadapi kekuatan alam. Bentuk pengam-
bilan jarak itu pada akhirnya membuahkan kontrol terhadap alam, yang paling
konkret terlihat dalam perkembangan teknologi dan ilmu-ilmu alam. Dalam arti
ini subyek, yakni manusia yang aktif, adalah sesuatu yang sangat konkret, dan
bukan sekedar ilusi, seperti yang dikatakan oleh salah seorang filsuf besar abad
ke-19, Nietzsche.
Bagi Adorno subyek adalah sesuatu yang sungguh konkret. Subyek baru
jatuh menjadi ilusi belaka, ketika ia menganggap dirinya sebagai suatu entitas
yang tidak material, yang sungguh terpisah dari alam. Subyek yang imaterial
ini dianggap berada pada status yang lebih tinggi dari pada dunia eksternal, se-
hingga seluruh realitas pun pada akhirnya dipandang sebagai eksternalisasi dari
subyek. Realitas ada sejauh realitas tersebut dipikirkan dan dipersepsikan oleh
subyek. Padahal menurut Adorno apa yang ditangkap oleh subyek adalah kon-
sep dari realitas, dan bukan realitas itu sendiri. Di dalam proses konseptualisasi
ini, segala sesuatu yang bersifat plural di dalam realitas diabaikan. Inilah yang
disebut Adorno sebagai pemikiran identitas (identity thinking).
Para filsuf, menurut Adorno, memiliki kecenderungan cara berpikir iden-
titas semacam ini. Ia menunjuk langsung pada Hegel. Menurutnya Hegel telah
mereduksikan makna kerja dan aktivitas manusia melulu pada kerja akal budi.
Bisa dibilang Hegel hendak menghisap seluruh realitas ke dalam pikirannya.
Padahal, seperti sudah disinggung sebelumnya, realitas itu begitu plural dan
kompleks. Banyak aspek di dalam realitas yang tidak bisa sepenuhnya ditang-
kap oleh konsep akal budi manusia. Aspek inilah yang disebut sebagai realitas
non identik (non-identical reality). Aspek yang di dalam dunia filsafat selama
berabad-abad selalu terpinggirkan.
Mirip dengan Karl Marx, Adorno berpendapat bahwa pikiran manusia
tidaklah bersifat mandiri terhadap realitas, melainkan justru terkait dengannya.
Manusia dan Kejahatan 57

Akan tetapi pengaruh Marx tidak hanya sampai disitu. Sama seperti Karl Marx,
Adorno juga berpendapat bahwa sejarah manusia haruslah dipandang sebagai
sejarah natural (natural history). �����������������������������������������
Konsep ini digunakan oleh Marx untuk men-
ekankan pengaruh kuat dari relasi-relasi ekonomi di masyarakat terhadap diri
individu. Pengaruh ini menekan kesadaran dan kehendak individu sedemikian
rupa, sehingga ia tidak menyadarinya. Akan tetapi pengaruh itu, menurut Ador-
no, tidaklah bisa dianggap sebagai hukum daja gerak sejarah manusia. Seba-
liknya konsep sejarah natural itu adalah suatu konsep yang kritis, yakni bahwa
pengaruh kuat dari relasi sosial ekonomi tersebut dapat dibatasi, sehingga kebe-
basan manusia dapat timbul. Aspek kritis dari sejarah natural inilah yang luput
dari mata para filsuf sebelumnya.
Adorno juga tidak setuju dengan Marx, terutama jika dikatakan bahwa
akar dari semua krisis peradaban terletak pada relasi sosial ekonomi kapita-
lisme. Fakta bahwa setelah Uni Soviet menghancurkan kapitalisme dan mendi-
rikan tata sosial komunisme tidak menghilangkan dominasi dan keterasingan.
Itu berarti bahwa analisis Marx tidaklah tepat pada sasaran. Peradaban modern
ditandai dengan keterkaitan erat antara dunia politik dan ekonomi yang meng­
hasilkan ranah baru, yakni ekonomi politik. Ranah ini mengkaitkan pertukaran
komoditi di bidang ekonomi dengan dominasi di bidang politik.6
Pengandaian dasar dari seluruh filsafat Adorno adalah bahwa masyarakat
modern semakin didominasi oleh sistem. Dominasi tersebut terwujud di dalam
kontrol terhadap tubuh, perilaku, dan pikiran dari individu, sehingga individu
tidak lagi bisa menjadi subyek. Kontrol itu dilakukan melalui manipulasi media,
iklan, dan kultur industrial yang mendikte manusia, dan pada akhirnya me-
mangkas otonomi manusia sebagai subyek. Dalam konteks filsafat semua aspek
non identik di dalam realitas direduksi melulu menjadi identitas absolut, serupa
seperti di dalam filsafat Hegel. Semua perbedaan dan kontradiksi di dalam reali-
tas ingin dilampaui dengan pikiran, walaupun pelampauan itu dilakukan dalam
bentuk kontrol dan pemaksaan.
Pertanyaan mendasar berikutnya adalah, apa yang menjadi daya dorong
dari sejarah, yang pada akhirnya menciptakan dunia terkontrol, seperti yang
menjadi buah analisis Adorno? Hegel berpendapat bahwa daya dorong seja-
rah adalah roh yang mencari dirinya sendiri, dan pada akhirnya mencapai le-
vel absolut di akhir sejarah. Sementara Marx berpendapat bahwa daya dorong
sejarah adalah proses-proses ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat. Apa
yang menjadi pendapat Adorno?7 Pendapat Adorno, menurut Dews, terdapat
di dalam eseinya yang berjudul The Idea of Natural History, dan nantinya akan
58 Menjadi Manusia Otentik

semakin berkembang di dalam The Dialectic of Enlightment, buku yang ditulis


bersama koleganya, Max Horkheimer.
Argumentasinya begini: manusia memisahkan dirinya secara reflektif dari
alam. Itu dilakukannya demi mempertahankan keberadaan dirinya. Pemisahan
itu membuahkan jarak. Jarak menciptakan pengetahuan, dan pengetahuan pada
akhirnya menciptakan kontrol. Dalam bahasa filsafat manusia sampai pada lo-
gos sejarah yang rasional dengan pertama-tama menolak mitos dari alam yang
cenderung tidak rasional. Akan tetapi penggunaan akal budi untuk mencipta-
kan kontrol atas alam berakhir pada musnahnya kekuatan-kekuatan spontan
kehidupan, yang justru membuat akal budi itu berkembang pada awalnya. Arti-
nya kekuatan akal budi, yang pada awalnya digunakan untuk memperbesar ke-
bebasan manusia atas alam, kini justru pada akhirnya memangsa kebebasan itu
sendiri. Proses ini terjadi akibat tindakan manusia yang melulu diatur dengan
logika rasionalitas instrumental. Di dalam logika ini, alam kehilangan ciri mis-
tiknya, dan melulu menjadi profan. “Ciri alam”, demikian tulis Dews tentang
Adorno, “kini dibekukan sebagai obyek dari dominasi.”8
Dengan demikian bagi Adorno, akar kejahatan sebenarnya terletak pada
pembentukan kebebasan manusia dengan menempuh cara oposisi terhadap
alam. Artinya manusia justru menjadi subyek bebas, tetapi dengan menjadikan
alam sebagai korbannya. Inilah akar kejahatan yang terletak di level sosial. Di
dalam bukunya Dews menyebut ini sebagai Radical Evil as Social Category,
jadi kejahatan yang berakar pada kategori epistemologis yang bergerak di ranah
sosial. Alam disini bukan hanya dipahami sebagai alam natural, itu juga, tetapi
sebagai alam sosial, yakni alam yang merupakan produk dari aktivitas manusia.
Di dalamnya termasuk budaya, pendidikan, ekonomi, politik, dan seni. Semua
ranah itu, menurut Adorno, sudah dijajah oleh cara berpikir instrumental yang
bersifat berjarak, dominatif, dan kalkulatif. Kekuatan-kekuatan spontan kehidu-
pan dihancurkan atas nama efisiensi dan efektifitas.
Dengan demikian terjadi kontradiksi di dalam usaha manusia untuk men-
jadi subyek yang bebas. Manusia mengambil jarak dari alam, memahaminya,
menguasainya, dan menghancurkannya. Padahal manusia bisa berkembang ke
arah kebebasan, berkat pengetahuannya atas alam. Akan tetapi kini alam terse-
but hancur, karena ulah manusia sendiri. Sekali lagi alam itu bukan hanya alam
natural, tetapi juga alam sosial. Puncak dari “kejahatan” manusia ini adalah
holocaust.
Semua gejala ini disebut Adorno sebagai suatu kejahatan radikal, yakni
kejahatan yang telah menjadi total. Kejahatan telah menggejala secara luas di
Manusia dan Kejahatan 59

dalam masyarakat, sehingga tidak lagi dikenali sebagai kejahatan. “Di dalam
masyarakat total”, demikian tulisnya, “totalitas telah menjadi kejahatan radi-
kal”.9 Kejahatan telah beradaptasi dengan kesadaran dan dunia manusia, se-
hingga tidak lagi dikenali sebagai kejahatan. Hannah Arendt, seorang filsuf pe-
rempuan Jerman abad ke-20, berpendapat bahwa di era sekarang, kejahatan
telah menjadi banal. Kejahatan telah menjadi sesuatu yang biasa, yang rutin, se-
hingga kehilangan ciri jahatnya. Akan tetapi pernyataan tersebut kurang tepat,
menurut Adorno. Baginya bukanlah kejahatan yang telah menjadi banal, tetapi
kategori kita mengenai banal atau tidaknya kejahatanlah yang telah menjadi
jahat. Inilah akibat dari kejahatan yang telah menjadi total di dalam masyarakat
yang disebutnya sebagai kejahatan radikal (radical evil). Dalam arti ini kejahat­
an yang radikal adalah kejahatan yang sah. Pertanyaan kemudian adalah apa
relevansi dari analisis dan refleksi Adorno ini?
Menjawab pertanyaan ini ia mengacu pada holocaust di Jerman pada
masa perang dunia kedua. Ia tidak berkata secara ekspisit, bahwa holocaust
adalah puncak dari kejahatan radikal yang dialami manusia. Akan tetapi ia ber-
kata, bahwa holocaust menunjukkan potensi kekejaman yang mungkin diala-
mi oleh masyarakat modern. Potensi ini tidaklah lenyap, karena banyak orang
belum menyadari bahayanya. Akibatnya kemungkinan akan terulang lagi pun
juga besar. Pada saat holocaust jutaan orang mati di dalam proses pembunuhan
yang sangat sistematis. Fakta ini langsung bertentangan dengan argumen para
pemikir pencerahan, yang berpendapat bahwa sejarah bergerak ke arah kema-
juan, yakni kemajuan akan semakin besarnya kemanusiaan.
Fenomena holocaust, menurut Adorno, haruslah dilihat dengan pema-
haman teoritis yang memadai dan kepekaan moral yang tajam. Keduanya ti-
daklah bisa dipisahkan. Analisis yang bersifat sosiologis dan historis semata
tidaklah mencukupi untuk memahami fenomena itu. Perpisahan pemahaman
teoritis dan kepekaan moral terjadi, karena kejahatan telah menjadi total, dan
bercokol di pikiran manusia. Inilah akibat dari dunia yang telah ditata melulu
dengan cara-cara administratif yang impersonal, efisien, dan efektif. Adorno
menyebutnya sebagai administered world yang mencakup jaringan delusi yang
bersifat menyeluruh (comprehensive network of delusion) dan jaringan rasa
bersalah yang menyeluruh (comprehensive network of guilt) sebagai akibat dari
holocaust. Ketiga konsep itu, yakni administered world, jaringan delusi yang
bersifat menyeluruh, dan jaringan rasa bersalah yang bersifat menyeluruh, se-
ring ditulisnya dalam satu kalimat. Menurut Dews ia melakukan ini, supaya
para pembaca dan pendengarnya tetap sadar akan kesatuan antara pemahaman
teoritis yang memadai di satu sisi, dan kepekaan moral yang tajam di sisi lain.10
60 Menjadi Manusia Otentik

Salah satu krisis di dalam masyarakat modern adalah pemisahan yang ta-
jam antara kepedulian serta kepekaan moral di satu sisi, dan pemahaman teori-
tis ilmiah di sisi lain. “Kita”, demikian tulisnya, “terjebak antara apa yang benar
dan apa yang baik.”11 Ilmu tanpa kepekaan moral bagaikan preman yang bisa
digunakan untuk kepentingan apapun, bahkan termasuk kepentingan yang pa-
ling jahat. Sebaliknya moral tanpa ilmu dengan mudah jatuh pada dogmatisme
yang seringkali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara masuk akal. Kedua-
nya, sesuai dengan semangat teori kritis yang diajukan oleh Adorno, tidaklah
terpisahkan.
Dunia manusia terdiri dari kelompok yang mendominasi, dan kelompok
yang didominasi. Seolah-olah itulah kondisi alami dari peradaban manusia.
Akan tetapi Adorno rupanya tidak setuju dengan pendapat ini. Memang sejarah
dibentuk melalui konflik, dominasi, dan kekerasan. Banyak peristiwa-peristiwa
penting di dalam sejarah dimulai dan ditutup dengan konflik. Di titik ini ia
bertanya, apakah konflik satu-satunya cara untuk memulai suatu perubahan?
Apakah konflik, dominasi, dan kekerasan merupakan suatu keniscayaan seja-
rah yang tidak dapat dihindari? Mungkinkah manusia meraih kebebasan tanpa
konflik?
Menjawab pertanyaan itu Adorno tampak medua. Awalnya ia merasa
optimis. “Kita”, demikian tulisnya, “dapat berbicara tentang kebebasan secara
bermakna karena ada kemungkinan konkret akan kebebasan, karena kebebasan
dapat dicapai di dalam realitas…”12 Kemudian ia menegaskan pendapatnya.
“Kemungkinan untuk membuat suatu lompatan yang jauh, untuk melakukan
sesuatu secara berbeda”, demikian tulisnya, “selalu ada, bahkan pada masa
ketika produktivitas belum terbentuk, suatu kesempatan yang terus menerus ter-
lewatkan.”13 Namun ia kemudian mengubah pendapatnya. Baginya kerumitan
sejarah manusia telah membuat segala usaha untuk meraih kebebasan menjadi
sia-sia. Sejarah seolah telah mengutuk manusia untuk memilih jalan-jalan yang
bersifat destruktif untuk dirinya sendiri. Dalam arti ini kejahatan adalah sesuatu
yang bercokol di dalam kategori sosial peradaban. Hanya dengan memahami
kejahatan sebagai kategori sosial yang bersifat total, kita dapat memahami ber-
bagai tindakan manusia yang bersifat destruktif. Kejahatan sudah bersifat total.
Maka realitas sebagai totalitas pun kini telah menjadi sangat represif terhadap
kebebasan individu. Sejarah manusia adalah suatu cerita yang dibingkai dengan
bencana, yang pada akhirnya menjadikan individu sebagai korban.
Jadi kejahatan bukanlah sesuatu yang personal, apalagi dianggap sebagai
godaan setan, melainkan kejahatan dipahami sebagai suatu kejahatan radikal
yang berakar pada dunia sosial. Inilah tesis dari pemikiran Adorno yang ditaf-
Manusia dan Kejahatan 61

sirkan oleh Peter Dews. Dengan tesis ini Adorno ingin mengatakan, bahwa ke-
jahatan bukanlah suatu momen temporal perjalanan roh absolut menuju kebe-
basan manusia, seperti yang dikatakan Hegel. Kejahatan juga bukan hasil dari
relasi-relasi produksi dan ekonomi di dalam masyarakat, seperti yang kiranya
menjadi argumen Marx. Kejahatan bukanlah suatu keniscayaan sejarah. Karena
bila kejahatan adalah keniscayaan sejarah, maka ia tidak akan dapat dikenai pe-
nilaian moral, dan orang tidak akan mengenalinya sebagai kejahatan. Kejahat­
an adalah hasil dari perbuatan manusia. Maka manusia haruslah bertanggung
jawab terhadap perbuatannya, baik secara individual, maupun secara kolektif.14
Akan tetapi Adorno tidak mau mengatakan, bahwa manusia dengan
sengaja untuk memilih jatuh ke dalam kejahatan. Kejahatan bukanlah hasil dari
kebebasan. Seperti sudah disinggung sebelumnya, kejahatan tidaklah terletak
di dalam diri manusia, tetapi di dalam dunia sosialnya. Dan karena manusia
sangatlah dipengaruhi dunia sosialnya, maka ia semakin sulit melawan kejahat­
an di dalamnya. Kepribadian manusia sudah dijajah oleh dunia sosial. Padahal
dunia sosial adalah tempat kejahatan yang bersifat radikal dan total bercokol.
Manusia tidak lagi berperan sebagai subyek, karena kebebasannya sudah di-
reifikasi oleh dunia sosial yang mengandung kejahatan radikal. Kemampuan
manusia untuk bersikap reflektif terhadap dunianya memang tidak hilang sama
sekali, tetapi justru telah kehilangan daya kritisnya.
Lalu apa solusi menghadapi kejahatan radikal yang telah bersifat total ini?
Pada hemat penulis jawaban Adorno atas pertanyaan ini masihlah mengambang.
Ia berpendapat bahwa “keselamatan” dari kejahatan radikal tidaklah mungkin
ada di dunia ini, melainkan di tempat lain yang belum ada, namun nantinya
akan ada. Dews sendiri menyebut pendapat Adorno ini sebagai eskatologi yang
tersekularisasi (secularized eschatology). Karena kejahatan sudah bersifat total,
maka peluang untuk lari darinya sangatlah kecil. Manusia seolah telah terkena
jampi-jampi yang membuatnya tidak bisa lagi melihat kebebasan. Kebebasan
hanya bisa muncul pada momen “yang lain yang belum datang.”15 Pada hemat
penulis jawaban yang bersifat eskatologis ini merupakan konsekuensi logis dari
argumen Adorno sendiri, yang mengatakan bahwa akal budi manusia telah di-
jajah secara total, dan tidak lagi memiliki kemampuan kritis. Situasi “yang lain
yang belum datang” ini seolah merupakan jalan keluar pesimistik dari ketidak-
mampuan manusia untuk mencapai kebebasan di dunia sekarang.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa kejahatan, menurut
Adorno, adalah sesuatu yang berakar di dunia sosial, dan memiliki sifat total.
Akar dari kejahatan ini, menurutnya, adalah kebebasan manusia yang terpe-
rangkap di dalam dunia sosial. Dalam arti ini kejahatan adalah ketidakbebasan
62 Menjadi Manusia Otentik

manusia, di mana masyarakat menentukan secara mutlak apa yang harus dila-
kukan individu. Subyektifitas lenyap dan digantikan oleh diktum masyarakat
yang bersifat mutlak.
Menurut Dews di balik oposisi kebebasan dan ketidakbebasan terdapat
masalah yang lebih mendasar, yakni bahwa relasi manusia telah ditentukan
secara instrumental. Artinya orang bergaul dengan orang lain bukan didasarkan
pada ketulusan pergaulan, tetapi karena pergaulan itu menghasilkan sesuatu
bagi masing-masing orang. Ketidaktulusan menciptakan penindasan, dan pe­
nindasan adalah akar kejahatan. Dews menuliskan satu kalimat yang, pada he-
mat penulis, dapat mewakili maksud Adorno ini, yakni bahwa godaan terbesar
manusia di dalam dunia yang sudah korup oleh kejahatan adalah untuk berbuat
baik. Orang yang berbuat baik haruslah siap dengan konsekuensi, bahwa dia
akan mengalami bahaya serta kesulitan besar.
Di dalam bukunya yang berjudul Negative Dialectics, Adorno berpenda-
pat bahwa manusia kehilangan kekuatannya untuk menentukan dan memilih
tujuan-tujuan baik. “Semakin masyarakat yang tidak punya pengampunan dan
bersifat obyektif antagonistik menyesuaikan diri di dalam setiap situasi”, de-
mikian tulis Dews dengan mengutip Adorno, “semakin kecil kemampuan kita
untuk membuat suatu keputusan moral tunggal yang benar.”16 Situasi kejahatan
total ini, menurut Adorno, adalah fenomena dosa asal yang telah dilucuti aura
religiusnya, dan menjadi sepenuhnya sekular. Manusia tidak bisa lepas darinya,
apapun usaha yang dilakukannya.
Pada era yang dipenuhi dosa asal sekular ini, orang tidak bisa lagi meng­
alami kebebasan secara penuh. Kebebasan yang dialami manusia terkurung di
dalam kategori-kategori sebab akibat dunia sosial. Inilah ciri pesimis dari filsafat
Adorno. Kebebasan dan moralitas, menurutnya, adalah fenomena sosial histo-
ris. Makna dan keabsahannya pun ditentukan oleh konteks sosial, yang berayun
berubah di dalam pendulum peradaban yang kita sebut sebagai sejarah.
Keprihatinan ini sebenarnya juga bisa ditemukan di dalam filsafat mo-
ral Kant, filsuf Jerman abad ke 17. Kant berpendapat bahwa motif moral tida-
klah bisa disandarkan pada sesuatu yang empiris, tetapi harus pada motif-motif
apriori akal budi manusia. Pada hemat Adorno sesuatu yang empiris itu berarti
sesuatu yang secara konkret bisa ditemukan di dalam dunia. Sementara dunia
adalah suatu totalitas yang berisi kejahatan radikal. Maka motif-motif yang ber­
asal dari dunia pun juga sebenarnya mencerminkan kejahatan radikal, sehingga
tidak pernah bisa menjadi landasan yang kuat untuk bertindak baik.
Manusia dan Kejahatan 63

Pesimisme Adorno dibalut dengan konsepnya tentang pengalaman me-


tafisis yang melampaui akal budi instrumental. Inilah solusi yang ditawarkan
untuk menanggapi problem akal budi instrumental yang menjajah peradaban
manusia. Pengalaman metafisis adalah momen kepenuhan total dan kebaha-
giaan, yang biasanya ditemukan orang pada masa kecilnya. Pengalaman itu
bersifat langsung, intim, dan tidak bisa dinamai, apalagi didefinisikan. Pengala-
man itu hilang ketika kita mulai merefleksikannya secara rasional. Pengalaman
metafisis adalah momen patahan dari kehidupan rutin. “Pengalaman metafisis”,
tulis Adorno seperti dikutip oleh Dews, “adalah pengalaman akan mungkinnya
kebebasan,..”17 Berbeda dengan Nietzsche yang sangat menekankan kehidup­
an sebagai arena pusat, Adorno justru menekankan penyangkalan terhadap ke-
hidupan, supaya orang bisa sampai pada pengalaman metafisis yang bersifat
transenden.
Dengan kata lain manusia tidak pernah boleh melupakan cita-citanya
tentang yang transenden. “Hanya dengan berpegang pada dimensi yang tidak
empiris”, demikian tulis Dews, “kita dapat mempertahankan harapan bahwa
bencana permanen di dalam sejarah manusia, yakni penderitaan yang tak ter-
tanggungkan, bukanlah kata terakhir.”18 Cita-cita akan yang transenden mem-
beri harapan pada manusia, ketika ia terdampar dalam dunia yang penuh ben-
cana ini. Cita-cita ini bukanlah pelarian, melainkan tonggak harapan, bahwa
segala sesuatu masih bisa berubah. Harapan bahwa penderitaan dan kejahatan
bukanlah kata akhir. Kiranya yang dikatakan Adorno ini tepat, bahwa manusia
sekarang justru krisis akan transendensi. Akibatnya mereka terdampar dalam
kultur konsumtivisme, materialisme, dan tidak lagi memiliki tonggak harapan
akan masa depan yang lebih baik.
Yang transenden ini, menurut Adorno, bukanlah sesuatu yang mistik dan
irasional, melainkan kapasitas manusia untuk melampaui rasionalitas itu sen-
diri. Justru akal budi kitalah yang seringkali menghalangi untuk sampai pada
transendensi ini. Di jaman sekarang ini, metafisika telah menjadi apa yang di-
sebutnya sebagai mikrologi, yakni refleksi atas segala sesuatu yang terabaikan
(neglected things), dan dianggap tidak penting. Perubahan di level sosial masih
mungkin, tetapi tidak lagi di level makro, melainkan di level yang mikro. Intensi
terdalam dari filsafat Adorno adalah supaya manusia mencintai semua yang
terabaikan, yang dianggap tidak penting, yang dianggap anomali dari totalitas,
dan yang dianggap tidak identik dengan mayoritas. Karena di dalam yang ter­
abaikan itulah seringkali kebaikan dan cinta ditemukan.***
64 Menjadi Manusia Otentik

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Menurut Adorno mengapa manusia melakukan kejahatan terhadap manu-
sia lainnya?
2. Apa dasar relasi antara manusia yang telah mengakibatkan terjadinya keja-
hatan, menurut Adorno? Berikan beberapa contoh dari bentuk relasi terse-
but!
3. Apa yang dimaksud dengan konsep kejahatan total?
4. Apa solusi yang ditawarkan Adorno untuk melepaskan diri dari kejahatan
total ini? Berikan tanggapanmu terhadap pandangan Adorno tersebut!

1 Pada bab ini, saya mengacu pada Peter Dews, The Idea of Evil, Oxford, Blackwell, 2008.
2 Dikutip oleh Dews, 2008, hal. 187.
3 Ibid.
4 Dikutip oleh Dews, ibid.
5 Ibid, hal. 188.
6 Lihat, Dews, 2008, hal. 191.
7 Lihat, ibid, hal. 192.
8 Ibid.
9 Ibid, hal. 195.
10 Lihat, ibid, hal. 196.
11 Seperti dikutip Dews, ibid.
12 Dikutip oleh Dews, 2008, hal. 197.
13 Ibid.
14 Bdk, Reza A.A Wattimena, “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf”, dalam Jurnal Respons Pusat
Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, Jakarta, Volume 13, No. 2, Desember 2008.
15 Tulisan Adorno yang dikutip oleh Dews, 2008, hal. 200.
16 Ibid, hal. 202.
17 Ibid, hal. 206.
18 Ibid, hal. 208.

-oo0oo-
BAB 7
MENEROPONG SIS GELAP JIWA MANUSIA

P ada bab sebelumnya penulis sudah mengajukan pandangan Adorno sebagaimana ditafsirkan
oleh Peter Dews, bahwa kejahatan itu bersifat total, sosial, dan radikal. Artinya kejahatan itu
tidaklah terhindarkan. Manusia individual menjadi bagian darinya, walaupun ia tidak me-
nyadarinya. Akan tetapi apakah kejahatan itu melulu bersifat sosial? Jangan-jangan manusia memiliki
aspek kejahatan yang bersifat internal di dalam dirinya sendiri? Pada bab ini dengan berpijak pada
pemikiran Paul Ricoeur, penulis akan mencoba memaparkan aspek-aspek jahat di dalam diri manu-
sia.
Melanjutkan bab sebelumnya penulis ingin mengajukan beberapa pertanyaan mendasar,
apakah manusia memiliki sisi gelap yang mendorongnya untuk bertindak jahat dan kejam? Apakah
kejahatan bermukim di dalam diri manusia, walaupun menurut tradisi religius, manusia itu adalah
mahluk yang diciptakan sesuai dengan citra Tuhan? Jawabannya jelas dan lugas, yakni YA! Pengan-
daian bahwa manusia itu mahluk yang baik, yang ramah, yang jinak, seperti pada konsep kondisi
alamiahnya Jean-Jacques Rousseau, ataupun pengandaian antropologis tradisi-tradisi religius, tampak
terlalu berlebihan, jika dihadapkan pada fakta begitu banyaknya kejahatan terjadi setiap detiknya di
muka bumi ini.
Di dalam tulisannya di rubrik Bentara Kompas beberapa tahun lalu, Thomas Hidya Tjaya ber­
upaya memaparkan argumen-argumen yang menunjukkan bahwa setiap orang itu punya sisi imoral.
Sisi imoral itulah yang merupakan ruang-ruang kosong tempat kejahatan bermukim. Kejahatan itu
sendiri bisa mengambil beragam rupa, mulai dari pembunuhan massal sampai pencurian ayam, mu-
lai dari pemerkosaan sampai pencurian roti. Ada kejahatan yang sudah direncanakan, dan ada yang
terjadi secara spontan. Tindak pembobolan bank-bank besar adalah kejahatan yang sudah diren-
canakan. Hal ini, menurut Hidya Tjaya, menunjukkan bagaimana manusia mampu merencanakan
secara nyaris sempurna kejahatan mereka. Ada dua kecenderungan dalam diri manusia, yakni kehen-
dak untuk menjadi baik dan keinginan untuk memburu kenikmatan).
66 Menjadi Manusia Otentik

Setiap orang, siapapun dia, jika dihadapkan pada kekayaan dan kekua-
saan, seolah menjadi tidak berdaya. Inilah yang disebut godaan (temptation),
dan godaan ini tampaknya merupakan pintu gerbang pertama menuju kejahat-
an. Godaan ini menyerang siapapun, dan bisa menaklukan siapapun, mulai dari
pemuka agama yang paling saleh, sampai orang yang memang pada dasarnya
haus akan kekuasaan. Menanggapi hal ini Aristoteles pernah berpendapat, bah-
wa pada hakekatnya, kejahatan itu merusak jiwa pelakunya. Jadi jika orang
berbuat jahat, hanya tampaknya sajalah ia menang dan berkuasa, sebenarnya,
jiwanya menderita. Dengan kata lain orang yang berbuat jahat sebenarnya telah
menghancurkan jiwanya sendiri. Oleh karena itu jika orang ingin jiwanya se-
lamat, maka mereka harus memilih menderita daripada melakukan kejahatan.
Rumusan ini memang positif dan ideal, tetapi apakah sesuai dengan
kenyataan? Jika anda ditawari kekuasaan dan kekayaan yang meliputi selu-
ruh dunia ini, apakah anda dengan mudah akan menolak tawaran itu? Untuk
membedah masalah ini, Thomas Hidya Tjaya menggunakan contoh kisah Dr.
Faust yang ditulis oleh Johann Wolfgang von Goethe. Di dalam kisah ini, Setan
mengunjungi Faust, dan berniat membuat perjanjian dengannya. Setan berjanji
memberikan kepada Faust semua pengetahuan dan kekuatan magis yang tidak
dimiliki manusia lainnya. Dengan ini Faust bisa memenuhi semua keinginan-
nya, yakni menjadi berkuasa dan kaya raya. Setan pun mengajukan satu syarat,
setelah meninggal, Faust harus menyerahkan jiwanya kepada Setan. Untuk
memenuhi tujuan itu, Setan mengirimkan anak buahnya yang bernama Me-
phistopheles. Anak buahnya inilah yang akan memberikan pengetahuan serta
kekuasaan kepada Faust. Memang pada akhirnya Faust rela menyerahkan ji-
wanya kepada Setan demi keinginan duniawinya.
Hidya Tjaya pun mengajukan pertanyaan, mengapa manusia bisa dengan
mudah menjual harga diri, integritas, dan bahkan jiwanya demi kekayaan dan
keuntungan material? Singkat kata mengapa manusia begitu mudah terjerumus
di dalam kejahatan, walaupun kejahatan itu pada akhirnya menyiksa jiwanya
sendiri? Tulisan kecil ini tidak berpretensi untuk menjawab pertanyaan besar
tersebut, melainkan lebih ingin mendekati problem persentuhan manusia den-
gan kejahatan dari sudut pandang pemikiran Paul Ricoeur, terutama di dalam
bukunya yang berjudul Symbolism of Evil. Argumen yang ingin diajukan adalah
bahwa akar kejahatan di dalam diri manusia terletak pada persentuhan dirinya
dengan kejahatan itu sendiri. Pengalaman bersentuhan dengan kejahatan itu
dijabarkan Ricoeur dengan menggunakan tiga simbolisme, yakni simbolisme
noda jiwa (defilement), simbolisme dosa (sin), dan simbolisme rasa bersalah
Meneropong Sisi Gelap Kejiwaan Manusia 67

(guilt). ����������������������������������������������������������������������
Di dalam tiga pengalaman primordial inilah kejahatan di dalam diri ma-
nusia bermukim.

Symbolism of Evil
Ricoeur menulis karyanya yang paling termasyur berjudul The Symbolism
of Evil pada 1960. Ini adalah karya awalnya yang berkaitan dengan hermeneu-
tika. Penulis menggunakan buku The Symbolism of Evil terjemahan Emerson
Buchanan yang diterbitkan pada 1967. Sebagai teks pembantu penulis meng-
gunakan tulisan Theodoor Marius Van Leeuwen yang berjudul The Surplus of
Meaning. Di dalam Symbolism of Evil, Ricoeur banyak menulis tentang hakekat
dari bahasa. Baginya bahasa simbolik adalah “bahasa yang paling mungkin un-
tuk terjadinya kejahatan” (SE 9; fr. 16). Artinya bahasa selalu dalam tegangan di-
alektis dengan realitas. Bahasa tidak mampu mengungkapkan realitas seakurat-
akuratnya. Disinilah celah dari bahasa yang akhirnya justru menjadi ruang bagi
kejahatan. Hal yang sama juga terjadi dengan hakekat dari kejahatan itu sendiri.
Bagi Ricoeur hakekat dari kejahatan bersifat konfliktual, dan tidak pernah
stabil. Dimensi konfliktual dari kejahatan tersebut paling tampak memang di
dalam bahasa simbol. Ia pun menambahkan bahwa ada tiga metafor simbo-
lik yang menjadi fondasi dari semua kejahatan, yakni Noda jiwa (defilement),
dosa (sin), dan rasa bersalah (guilt). “Disini”, demikian tulis Ricoeur, “kita berbi-
cara kejahatan dalam arti metaforik, yakni sebagai keterasingan (estrangement),
perbudakan (bondage), dan beban hidup (burden).” (seperti dikutip Leeuwen,
1981, 136.) Nah, ia kemudian berpendapat bahwa symbolism of evil meru-
pakan totalitas dari tiga fondasi itu. Yang paling mendasar disebutnya sebagai
simbol-simbol primer (primary symbols). Pada level kedua adalah narasi-narasi
(narratives), di mana berbagai mitos tentang dosa, Noda jiwa manusia, dan rasa
bersalah ditafsirkan. Yang ketiga disebutnya sebagai simbol-simbol spekulatif
(speculative symbols), di mana berbagai argumen teologis-religius yang ada di
dalam tradisi diangkat ke level reflektif, dan kemudian ditafsirkan. (ibid)
Di dalam melihat berbagai mitos dan cerita tentang kejahatan di berbagai
tradisi, Ricoeur membedakan tiga macam level tafsiran. Yang pertama adalah
simbol-simbol primordial (primordial symbols). Yang kedua adalah tafsiran
level pertama (first degree hermeneutics), dan yang ketiga adalah tafsiran level
kedua (second degree hermeneutics). Leeuwen memberikan contoh tentang hal
ini. Misalnya kita berupaya memahami hakekat dari dosa di dalam agama Kris-
ten. Disini, dari sudut pandang Ricoeur, kita bisa membagi tiga hal. Yang per-
tama adalah simbol-simbol primordial tentang dosa. Ini disebut sebagai simbol-
68 Menjadi Manusia Otentik

simbol primordial, yakni level pertama tafsiran. Yang kedua adalah bagaimana
simbol-simbol dosa tersebut ditafsirkan di dalam kitab Kejadian sebagai jatuh-
nya Adam ke dalam dosa. Ini adalah tafsiran level pertama. Yang ketiga adalah
tentang bagaimana dosa Adam tersebut ditafsirkan sebagai dosa asali manusia,
yakni suatu tafsiran yang melekat erat pada tradisi maupun otoritas religius Ge-
reja Katolik abad pertengahan. Ini yang disebut sebagai tafsiran level kedua.
Nah, argumen yang diajukan Ricoeur adalah, bahwa tiga level tafsiran
tersebut haruslah dimengerti sebagai suatu tafsiran yang saling terkait. “Adalah
keseluruhan lingkaran,” demikian tulisnya, “yang terdiri dari pengakuan, mitos,
dan spekulasilah yang harus kita mengerti.” (SE 9; fr. 17, seperti dikutip Leeu-
wen, ibid). Artinya mitos dan spekulasi teologis-religius harus selalu dimengerti
dalam kaitannya dengan bahasa simbolik-metaforik yang ada di dalam tradisi,
terutama tradisi tulisan. Ini salah satu kontribusi penting pemikiran Ricoeur,
yakni mengajak kita untuk menempatkan kembali berbagai mitos maupun spe-
kulasi teologis di dalam konteks yang lebih luas, yakni dalam arti simbolik-
metaforik. Jadi buku Symbolism of Evil mau menganalisis berbagai simbol keja-
hatan di dalam tradisi teologis-religius yang diturunkan di dalam bentuk tulisan.
Kelebihan dari tafsiran ini adalah kemampuannya untuk kurang lebih dapat
mencapai obyektifitas penafsiran, terutama tentang pengalaman akan kejahatan
yang dialami manusia di dalam sejarah. Tafsiran tersebut dapat didasarkan lang-
sung pada teks, di mana makna dan tafsiran baru dapat memperkaya pemaha-
man manusia akan dirinya sendiri secara otoritatif.

Noda Jiwa
Seperti sudah disinggung sebelumnya, pengalaman primordial manusia
bersentuhan langsung dengan kejahatan dapat dilihat dalam tiga simbolisme
mendasar, yakni Noda jiwa, dosa, dan rasa bersalah. Noda jiwa berkaitan den-
gan kejahatan sebagai sesuatu yang ditularkan dari luar diri manusia ke dalam
jiwanya. Dosa berkaitan dengan kejahatan sebagai rusaknya hubungan manu-
sia dengan Tuhan. Dan rasa bersalah sebagai rasa tanggung jawab manusia
terhadap kesalahan personalnya.
Tiga pengalaman ini juga menyangkut tiga dimensi mendasar kehidupan
manusia, yakni dimensi kosmik (cosmic dimension) yang merupakan pengalam­
an akan yang kudus (sacred), dimensi on-eirec (on-eirec dimension) yang meru-
pakan suatu bentuk reaksi fisik terhadap kejahatan, dan dimensi puitis (poetic
dimension) yang merupakan reaksi manusia terhadap metafor-metafor, gambar-
gambar, dan kata-kata di dalam tradisi mitologis. (Leeuwen, 138).
Meneropong Sisi Gelap Kejiwaan Manusia 69

Simbolisme (symbolism) pertama adalah simbolisme yang berkaitan de­


ngan dimensi kosmik dari diri manusia. Simbolisme ini berakar pada budaya-
budaya mitis di dalam sejarah peradaban. Dari sudut pandang ini, kejahatan di-
pandang sebagai pelanggaran obyektif yang dilakukan manusia terhadap yang
kudus. Manusia pun dianggap telah menjadi bagian dari yang “tidak murni”
(the impure). Kejahatan pun dipandang sebagai sesuatu yang bersifat pra-etis,
yakni belum mendapatkan penilaian baik ataupun buruk. Kesalahan manusia
yang bersifat aktif maupun ketidakberuntungan manusia yang bersifat pasif pun
belum dibedakan. Reaksi
�����������������������������������������������������������
manusia atas hal ini pun masih singular, yakni keta-
kutan. Setiap tindakan yang mengacaukan tatanan yang telah diciptakan yang
kudus dianggap akan menciptakan ketidakberuntungan. Oleh karena itu manu-
sia mulai membuat ritus-ritus, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang dianggap
tabu. Ritus diperlukan supaya manusia bisa memurnikan dirinya. Ritus adalah
suatu tindak purifikasi manusia terhadap Noda jiwanya. Disini purifikasi keja-
hatan pun diartikan secara simbolik, yakni sebagai ritus simbolik untuk mem-
bersihkan manusia dari kejahatan, yakni kejahatan yang dianggap sebagai se-
suatu yang datang dari luar (ibid).
Simbol-simbol dari kejahatan dapat dilihat langsung di dalam kebudaya-
an manusia. Kejahatan pun dianggap sesuatu yang datang dari luar. Anggapan
ini masih ada di dalam pemahaman kolektif masyarakat kita. Untuk itu pulalah
manusia membuat ritual, yakni untuk melawan dan membersihkan diri dari
kejahatan. Freud menyebut ini sebagai suatu momen neurotik obsesional. Jadi
di satu sisi simbolisme menjadi suatu bentuk pengalaman langsung manusia
bersentuhan dengan kejahatan. Di sisi lain simbolisme juga merupakan suatu
tanda adanya keinginan di dalam diri manusia untuk bergerak dari leve pra-etis
ke level etis. Menurut Leeuwen pergerakan ini terjadi, ketika manusia mencoba
menterjemahkan pelanggaran dan ketakutannya ke dalam bentuk kata-kata.
“Adalah mulai dari kata-kata,” demikian Ricouer, “kejahatan menampakan sisi
etisnya daripada dalam bentuk fisik.” (SE 42; fr. 46) Di titik ini manusia mulai
menimbang-nimbang kembali semua kemalangan yang ia derita. Ia pun mulai
melihat kemalangan sebagai suatu hukuman dari kejahatan yang ia lakukan.
“Jika manusia dihukum karena ia berdosa,” demikian tambahnya, “maka ia ha-
ruslah dihukum karena ia memang berdosa.” (ibid, 42, fr. 47) Dengan argumen
ini Ricoeur tampak mau berpendapat, bahwa setiap kemalangan dan penderi-
taan pasti memiliki alasan, yakni sebagai suatu peringatan untuk kembali me-
mulihkan apa yang sebelumnya tidak tertata. Artinya ada perubahan pemaham­
an disini. Kekuatan kosmik, yakni relasi manusia dengan yang kudus, tidak lagi
dianggap menakutkan, melainkan dianggap sebagai sesuatu yang agung dan
bermakna.
70 Menjadi Manusia Otentik

Dosa
Walaupun memiliki kaitan dengan Noda jiwa, konsep dosa sebagai peng­
alaman primordial manusia berhadapan dengan kejahatan tetap harus ditafsir-
kan secara independen. Sebelumnya, yakni di dalam konsep Noda jiwa, keja-
hatan dianggap sebagai sesuatu yang obyektif. Manusia hidup di dalam kosmos
yang memiliki perbedaan yang jelas antara apa yang murni dan apa yang tidak
murni (impure). Kejahatan dianggap memiliki status ontologis yang jelas dan
berada di luar manusia. Di dalam simbolisme dosa (sin), kategori sentral yang
digunakan Ricoeur sebagai pisau analisis adalah bahwa manusia merupakan
“mahluk-ciptaan-Tuhan”. Tuhan berbicara kepada manusia, dan manusia harus
menjawab. Di sini kejahatan diartikan secara religius, dan bukan secara moral.
(Leeuwen, hal. 139).
Salah satu contoh paling jelas tentang simbolisme kedua ini adalah tradisi
Perjanjian Lama di dalam Kitab Suci Kristen. Di dalam perjanjian lama, cinta
Tuhan kepada manusia haruslah dibalas dengan kesetiaan serta kepercayaan
manusia kepada Tuhan. Menurut tafsiran Leeuwen, Ricoeur disini hendak me-
maparkan simbolisme tentang dosa (symbolism of sin) dengan dua cara. Perta-
ma, manifestasi dari yang kudus tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang ada
di dalam alam, tetapi berada di dalam sejarah antara Tuhan dan manusia. Selu-
ruh tradisi Yudaisme didasarkan pada satu pengandaian bahwa Tuhan bekerja
di dalam sejarah manusia. Kedua, kejahatan lalu dipahami sebagai tanggung­
jawab manusia. Akan tetapi kejahatan ini belum dianggap sebagai sesuatu yang
personal, sehingga belum menciptakan rasa bersalah. Sejarah, dengan demiki-
an, dipandang sebagai sejarah Tuhan dan umatNya. Dosa pun dipahami seba-
gai “ketidakpatuhan umat” (ibid).
Di dalam tradisi Yudaisme, cinta Tuhan kepada manusia haruslah dibalas
dengan komitmen penuh. Di sini cinta Tuhan itu mengambil dua bentuk, yakni
aspek ketidakterbatasannya, dan aspek keterbatasannya yang terwujud dalam
bentuk hukum-hukum. Di dalam hukum-hukum itu, Tuhan menuntut kepatuh­
an total dan kesetiaan penuh dari manusia. Seorang pendosa adalah seseorang
yang melanggar hukum-hukum Tuhan. Pelanggaran itulah yang menciptakan
rasa takut di dalam diri manusia. Awalnya di dalam simbolisme Noda jiwa,
manusia takut akan kejahatan yang berada di luar dirinya. Kini di dalam simbo-
lisme dosa, manusia takut akan Tuhan yang begitu mencintainya. Manusia takut
akan murka Tuhan.
Nabi-nabi Yudaisme mengklaim bahwa pada hari terakhir, Tuhan akan
datang ke bumi dan membalas semua ketidakadilan yang dilakukan manu-
Meneropong Sisi Gelap Kejiwaan Manusia 71

sia dengan murkaNya. “Kesedihan yang mendalam”, demikian tulis Ricoeur,


“mendramatisir Perjanjian tanpa pernah mencapai tahap patahan dimana yang
lain absolut akan hilang dari relasi.” (SE 69, fr. 71) Dunia akan mengalami hari
terakhir. Hari terakhir ini tidaklah terelakkan. Walaupun begitu manusia masih
bisa berperan aktif. Jadi manusia masih punya pilihan, bahkan ketika hari terak-
hir akan terjadi. Dalam hal ini Leeuwen mengutip tulisan Amos dari kitab suci,
“jika kamu bertindak adil, mungkin Tuhan akan mengampuni kamu.” (Amos
5:15, seperti dikutip Leeuwen, 140, dan Ricoeur SE 68;fr. 70).
Dengan demikian ada dua hal yang menandai pemaparan Ricoeur ten-
tang dosa. Di satu sisi pengakuan dosa dianggapnya sebagai transisi dari pema-
haman pra-etis menuju ke pemahaman etis. Di sisi lain kesadaran akan dosa
belumlah menjadi bagian dari refleksi personal individu, melainkan masih di
level kesadaran kolektif. Pendosa adalah bagian dari orang-orang yang ternyata
juga “berdosa”. Pada titik ini yang pertama-tama harus disadari adalah, dosa
merupakan sebuah patahan relasi (rupture of relation). Dosa adalah suatu ben-
tuk pemberontakan manusia terhadap Tuhannya. Di dalam dosa manusia ter­
asing dari Tuhan. Manusia menjadi lupa akan Tuhan penciptanya.
Pada hakekatnya dosa bukanlah suatu bentuk ketiadaan (nothingness).
Ricoeur justru melihat dosa sebagai sesuatu yang positif, yakni di mana ma-
nusia menemukan dirinya sendiri. Manusia selalu hidup di dalam komunitas-
komunitas pendosa. Oleh karena itu dosa adalah sesuatu yang “sudah-ada-
disana”. Ini menujukkan adanya kontinuitas antara simbolisme noda jiwa dan
simbolisme dosa. Pada titik ini kejahatan dapat dipahami sebagai kekerasan hati
(hard-heartedness) dan rasa sakit (pain). “Imaji dari dosa”, demikian Ricoeur,
“menunjukkan pengalaman pasivitas, keterasingan, yang secara paradoks ber-
campur dengan pengalaman penyimpangan, yakni sesuatu yang didorong oleh
kejahatan itu sendiri” (SE 89; fr. 90 dalam Leeuwen, 140).
Bagi Ricoeur bentuk pengalaman paling ekstrem dari pasivitas dosa ada-
lah keterkurungan (capitivity). “Keterkurungan”, demikian tulisnya, “adalah
simbol yang paling kuat dari kondisi manusia dalam pengaruh dari kejahatan”
(ibid, 93;fr. 93). Sejarah menunjukkan hal ini, terutama dalam konteks pena-
hanan bangsa Israel di Mesir dan Babilonia. Oleh karena itu di dalam bahasa
Ibrani, dosa juga berarti “dalam keadaan terikat” (ibid). Ricoeur juga menamba-
hkan bahwa pengalaman akan dosa memiliki aspek yang bersifat supra-perso-
nal. Dosa dianggap sebagai “simbol dari penebusan” (SE 91; fr 91). “Manusia
yang berada di dalam penahanan”, demikian tulisnya, “adalah manusia yang
akan dibebaskan” (ibid 93; fr 94). Dengan demikian pemahaman tentang dosa
sebagai “aktivitas” juga didukung oleh pengalaman kolektif di dalam sejarah
72 Menjadi Manusia Otentik

manusia. Orang yang berdosa adalah orang yang terkurung. Sementara orang
yang terkurung adalah orang yang sedang membayar denda-denda dosanya.
Jadi orang itu sebenarnya berada di ambang kebebasan. Pengampunan dari
Tuhan dan aktivitas penebusan dosa dari manusia berjalan searah, yakni sama-
sama sebagai tanda kembalinya manusia dari jalan yang salah. (Leeuwen, hal.
141).
Pada akhirnya dosa tetaplah merupakan bagian dari fenomena di dalam
ranah teologis-religius. Dosa kepada Tuhan pada akhirnya dilampaui dengan
momen kembalinya manusia kepada Tuhan. Tuhan memberikan maaf. “Dosa”,
demikian Ricoeur, “adalah dosa di bawah sudut pandang absolut dari Tuhan”
(SE 84; fr. 85). Kriteria dari dosa adalah apakah perbuatan itu sesuai dengan
kehendak Tuhan atau tidak. Akan tetapi manusia tetap harus berefleksi terhadap
tindakan-tindakannya, terutama terhadap dosa-dosanya, motif-motif tindakan-
nya, sehingga ia bisa sampai pada kesadaran diri. “Pengamatan terhadap di-
riku sendiri”, demikian tulisnya, “ adalah suatu upaya dari kesadaran diri untuk
mendapatkan sudut pandang yang absolut” (SE 85; fr. 86 dalam Leeuwen, 141).
Dengan demikian pengakuan dosa selalu sudah melibatkan kesadaran akan
adanya tanggung jawab personal.

Rasa Bersalah
Seperti sudah disinggung sebelumnya, noda jiwa mendominasi dimensi
kosmik (cosmic dimension) manusia, sementara dimensi manusiawi (human di-
mension) manusia didominasi oleh ‘rasa bersalah’. Jika noda jiwa dan dosa ma-
sih berada di level pra-etis, maka menurut Ricoeur, rasa bersalah sudah berada
di tahap etis. Rasa bersalah tidak lagi berkaitan dengan Tuhan yang menuduh
manusia atas kejahatannya. Pada titik ini manusia sadar akan tanggungjawab
pribadinya. Ia pun menuduh dirinya sendiri. Kriteria pengukuran rasa bersa-
lah adalah kesadarannya sendiri. Dengan demikian perasaan bersalah adalah
sesuatu yang bersifat individualistik. “Sementara manusia secara radikal dan
menyeluruh adalah seorang pendosa,” demikian tulis Ricoeur, “ ia kurang lebih
juga seorang yang bersalah.” (SE 108; fr. 106) Di sini Ricoeur memberikan satu
contoh tentang orang-orang Phariaism di dalam tradisi Yudaisme. Di dalam
etika Yudaisme, ia melihat adanya tegangan antara hukum-hukum positif di
satu sisi, dan tuntutan yang tidak mungkin dicapai dari hukum-hukum tersebut.
Setiap nabi di dalam Yudaisme selalu menekankan tuntutan mutlak dari Tu-
han. Akan tetapi di dalam prosesnya, terutama pada masa-masa pengasingan di
Babilon dan penahanan di Mesir, iman dan kepercayaan rakyat Israel kepada
Tuhan sudah hancur. Etika pun tidak lagi diatur dalam suatu rumusan positif,
Meneropong Sisi Gelap Kejiwaan Manusia 73

tetapi menjadi masalah individual saja. “Jika salah dan dosa adalah masalah
individual,” demikian tulis Ricoeur, “maka penyelamatan juga merupakan ma-
salah individual” (SE 105; fr. 104 dalam Leeuwen, 142). Pada titik ini dosa tidak
lagi menjadi masalah kolektif, tetapi menjadi masalah individual.
Tujuan dasar dari Pharisaisme adalah untuk mematuhi perintah Tuhan
yang terdapat di dalam Torah secara mutlak. Torah pun menjadi panduan hi-
dup yang mengatur semua dimensi kehidupan manusia. “Hukum itu”, demi-
kian Ricoeur, “bukanlah suatu batas ideal, melainkan suatu program praktis
untuk orang-orang yang hidup.” (SE 129; fr. 125) Torah ditafsirkan, dipecah ke
dalam beragam aturan, dan aturan-aturan inilah yang menjadi panduan prak-
tis kehidupan. Dalam proses analisisnya Ricoeur melihat sekaligus kelebihan
maupun kekurangan dari etika semacam ini. Di satu sisi etika Yudaisme ini
mengandaikan bahwa pada hakekatnya, semua manusia bisa berbuat baik. Ar-
tinya kebaikan bisa dan sangat mungkin untuk dilakukan. Setiap orang memiliki
kebebasan untuk memilih apakah ia akan berbuat baik atau tidak. Etika yang di-
dasarkan pada kebebasan ini pun menjadi awal bagi etika suara hati. Di sisi lain
fanatisme di dalam mengikuti aturan dan hukum justru menciptakan bahaya.
Niat untuk mematuhi aturan menjadi satu-satunya tujuan. Orang pun jatuh ke
dalam ritualisme dan formalisme etika, di mana aturan menjadi satu-satunya to-
lok ukur. Bahaya pertama ini menciptakan bahaya kedua, yakni eksklusifisme,
di mana orang-orang tertentu menciptakan kelompok-kelompok orang-orang
murni (pure man) yang mengikuti aturan, dan orang-orang tidak murni (impure
man) yang dianggap tidak patuh pada aturan.
Jadi menurut Ricoeur pengalaman akan kejahatan dalam simbolisme rasa
bersalah mencapai puncaknya pada kesadaran yang bersifat skrupel, yakni ke-
sadaran yang terlalu patuh pada aturan. Di sini rasa bersalah adalah konsekuen-
si dari pilihan, yakni konsekuensi dari suatu tindakan bebas. Tindakan manusia
pun tidak lagi didorong oleh rasa takut terhadap kekuatan jahat ataupun rasa
takut kepada Tuhan, seperti pada dua simbolisme sebelumnya. Suara hati men-
jadi satu-satunya panduan bagi manusia. Rasa bersalah menjadi pengalaman
yang sepenuhnya individual. Pada titik ini sifat individualistik dari pengalaman
rasa bersalah bisa menuntun orang pada sifat individualistik etis, yakni ketika
orang hidup sepenuhnya demi kemurnian dirinya sendiri. Hukum menjadi ja-
lan bagi manusia untuk mencapai kejahatan baru, yakni kehendak untuk me­
nyelamatkan diri sendiri demi kepentingan diri sendiri pula. Hal ini terjadi pada
orang-orang yang skrupel.
Di dalam diri orang yang skrupel, hukum menjadi penjajah bagi kebebas­
annya. Karena kelemahan dan ketidakmampuannya mematuhi hukum, ia mulai
74 Menjadi Manusia Otentik

merasa bersalah pada dirinya sendiri. Ia seolah menjadi hakim bagi dirinya sen-
diri, dan secara konstan mengecek tindakannya, apakah sudah sesuai hukum
atau belum. (Leeuwen, 143) Disinilah paradoksnya kembali tampak, orang yang
hendak hidup dengan mempraktekkan hukum setepat-tepatnya justru menjadi
menjadi korban dari teror hukum itu sendiri. Ia telah terjajah oleh hukum. Oleh
karena itu ia memiliki rasa bersalah yang besar, karena bagaimanapun ia be-
rusaha, ia tidak akan bisa mematuhi hukum sepenuh-penuhnya. “Orang sema-
cam ini”, demikian Ricoeur, “mengalami momen penuduhan-diri, ia terjebak di
dalam dosa dari semua dosa, yakni kesedihan karena telah diselamatkan.” (SE
146; fr. 141, dalam Leeuwen, ibid)
Jadi pretensi untuk mematuhi hukum secara mutlak, menurut Ricoeur,
adalah suatu bentuk bentuk kebohongan. Pretensi ini juga sekaligus merupakan
akar dari semua kejahatan (root of all evil). Disini manusia lebih percaya pada
dirinya sendiri ketimbang percaya kepada Tuhan. Apa yang tadinya merupakan
bentuk dedikasi kepada Tuhan justru pada akhirnya menjadi penghinaan kepa-
daNya. “Bukan hukum”, demikian Leeuwen, “tetapi kepercayaan pada keadi-
lanlah yang membuat kita bebas.” (Leeuwen, ibid)
Ketika sedang membaca ini, penulis jadi teringat argumen menarik yang
pernah dipaparkan Budi Hardiman di dalam bukunya yang berjudul Mema-
hami Negativitas. Di dalam buku itu, ia mengutip dari C.P Snow begini, “Bila
orang menelusuri sejarah umat manusia yang panjang dan kelabu”, demikian
Snow, “ orang akan menemukan bahwa lebih banyak kejahatan yang menji-
jikan dilakukan atas nama kepatuhan daripada atas nama pembangkangan.”
(Budi Hardiman, hal. 115) Kiranya kutipan ini mempertegas apa yang ingin
disampaikan Ricoeur dengan simbolisme rasa bersalahnya (symbolism of guilt).
Penulis hendak menyimpulkan beberapa hal tetang simbolisme kejaha-
tan yang dirumuskan Ricoeur untuk menjelaskan akar-akar kejahatan. Untuk
bagian ini penulis terinspirasi dari pemaparan Kees Bertens di dalam bukunya
yang berjudul Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Simbolisme pertama adalah
noda jiwa. Di dalam simbolisme ini, kejahatan dihayati sebagai sesuatu yang
ada pada dirinya sendiri. Kejahatan dilihat sebagai sesuatu yang datang dari
luar, dan dengan begitu menciptakan penderitaan bagi manusia. Pada titik ini
kejahatan masih merupakan sesuatu yang obyektif. Bertindak jahat berarti ber-
tindak merusak tatanan dan harmoni yang ada. Di dalam pemikiran Ricoeur,
kejahatan di dalam simbolisme noda jiwa ini masih berada di tahap pra-etis.
Simbolisme kedua yang ia rumuskan adalah simbolisme dosa (symbolism
of sin), yakni ketika manusia melakukan kejahatan di hadapan Tuhan. Pada
Meneropong Sisi Gelap Kejiwaan Manusia 75

titik ini, bertindak jahat bukanlah berarti melakukan tindakan yang merusak
tatanan, melainkan melakukan tindakan yang melanggar perintah Tuhan. Sim-
bol ini pertama kali tampak di dalam kesadaran religius bangsa Israel pada
jaman nabi-nabi (Bertens, 264). Dosa merupakan tanda pengkhianatan orang
pada Tuhannya. Oleh karena itu, hukuman bagi seorang pendosa adalah mur-
ka dari Tuhan. Dosa adalah momen, ketika hati seseorang menjadi keras, dan
tidak lagi mampu mendengar sapaan Tuhan. Simbolisme ketiga adalah rasa
bersalah. Rasa bersalah ini muncul, karena manusia menjadi fanatik terhadap
hukum-hukum dan aturan-aturan. Melalui sikap fanatiknya itu, ia menjadikan
hukum sebagai Tuhan. Padahal manusia itu pada dasarnya selalu tidak mampu
mematuhi hukum secara mutlak. Ia selalu mempunyai kelemahan. Maka ketika
ia tidak mampu mematuhi hukum, ia menjadi merasa bersalah pada dirinya
sendiri. Ia mengutuk dirinya sendiri. Niat awalnya adalah patuh pada hukum.
Akan tetapi hasil akhirnya adalah kejahatan itu sendiri.
Dengan tiga simbolisme kejahatan ini, Ricoeur mencoba mengangkat
akar-akar dari kejahatan itu sendiri, baik sebagai kejahatan obyektif, kejahatan
terhadap Tuhan, maupun kejahatan personal manusia terhadap dirinya sendiri.
Apakah pemaparannya ini cukup memadai? Jawabannya bisa beragam. Mung-
kin sisi gelap manusia merupakan bagian dari diri manusia yang terus menjadi
misteri, dan karena itu selalu disebut sebagai “gelap”, karena pada dasarnya,
kita hanya bisa meraba dan mengais, tanpa bisa memahaminya secara mutlak.
Mungkin…***

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Di mana akar kejahatan, menurut Paul Ricoeur? Jelaskan jawabanmu!
2. Apa yang dimaksud dengan kejahatan yang terkandung di dalam simbol
noda jiwa?
3. Apa yang dimaksud dengan kejahatan yang terkandung di dalam simbol
dosa dan rasa bersalah?
4. Mengapa Paul Ricoeur ingin melukiskan kejahatan melalui simbol? Jelas-
kan jawabanmu!

-oo0oo-
BAB 8
MANUSIA DAN TUBUH
(SEBUAH PENDEKATAN FENOMENOLOGIS)

P ada bab sebelumnya penulis sudah memaparkan aspek-aspek kejahatan di dalam diri manu-
sia, sebagaimana dipikirkan oleh Paul Ricoeur. Aspek kejahatan itu berakar pada tiga simbol,
yakni dosa, noda jiwa, dan rasa bersalah. Dengan simbol noda jiwa, Ricoeur ingin menegas-
kan sisi obyektif dari kejahatan, yakni bahwa kejahatan tidak sekedar rekayasa ilusif pikiran manusia
belaka, melainkan berada secara konkret di luar diri manusia. Dengan simbol dosa Ricoeur mau me-
nyatakan keterputusan hubungan manusia dengan Tuhan, yang terwujud dalam kelemahan manusia
untuk begitu mudah terjatuh ke dalam kejahatan. Dan dengan simbol rasa bersalah, Ricoeur mau
melukiskan bagaimana manusia begitu mudah dijajah oleh hukum-hukum yang dibuatnya sendiri,
sehingga membuatnya justru semakin jauh dari Tuhan. Simbol-simbol kejahatan yang dirumuskan
oleh Ricoeur ini kiranya membantu kita mengenali sisi jahat yang bercokol di dalam hati kita sendiri.
Pengenalan itu tentunya membuahkan kebijaksanaan, yang nantinya bisa mengantar kita menjadi
manusia yang otentik.
Manusia adalah tubuh sekaligus jiwa.1 Tanpa jiwa ia bukanlah manusia, melainkan hanya
mesin biologis. Tanpa tubuh manusia juga tidak menjadi manusia, karena ia hanya entitas imaterial
yang mengambang tanpa basis empiris. Dengan demikian tubuh merupakan aspek penting bagi ma-
nusia, baik secara biologis, karena tubuh menunjang kehidupan manusia, maupun secara filosofis,
yakni sebagai medium untuk menyentuh dunia dan merealisasikan dirinya sendiri. Tentu saja untuk
menjadi otentik, orang harus menghargai dan memahami tubuhnya. Tanpa pemahaman tidak akan
ada penghargaan. Dan tanpa penghargaan tidak akan ada penghayatan. Padahal penghayatan akan
tubuhnya sendiri sangatlah berperan di dalam pengenalan diri manusia, yang merupakan jalan untuk
menuju otentisitas.
Menurut Plato manusia adalah jiwa dan tubuh. Jiwa bersifat adikodrati, berasal dari dunia
ide, bersifat kekal, tidak dapat mati. Jiwa mempunyai tiga bagian, yakni jiwa rasional yang dikaitkan
78 Menjadi Manusia Otentik

dengan kebijaksanaan. Kehendak dan keinginan yang dikaitkan dengan nafsu.


Dengan rasionya manusia mampu mempelajari kebijaksanaan, mendapatkan
pengetahuan tentang yang baik dan utama, dan melatih kehendaknya untuk
melaksanakan kebijaksanaan itu. Ia mampu mengalahkan keinginan dan nafsu-
nafsunya. Jiwa dipenjara di dalam tubuh, maka harus dilepaskan dengan cara
mempelajari kebijaksanaan serta ilmu pengetahuan.
Buku Samuel Todes ini merupakan suatu cara untuk merefleksikan tubuh
manusia secara filosofis dengan menggunakan kerangka filsafat kontemporer.2
Menurut Hoffman, di dalam pengantarnya untuk buku itu, Todes menolak dua
asumsi yang banyak berkembang di dalam filsafat. Yang pertama adalah asum-
si, bahwa penafsiran manusialah yang membentuk realitas. Realitas tidaklah
memiliki entitas pada dirinya sendiri yang berdiri mandiri dari pikiran manu-
sia. Oleh karena itu tidak ada data ataupun fakta yang telah terberi, karena
semuanya merupakan hasil dari penafsiran manusia. Yang kedua adalah bahwa
manusia melulu merupakan produk dari makna yang dibentuk secara sosial.
Tentu saja argumen Todes tidaklah dibangun dari kekosongan, melain-
kan dari titik pijak yang dibuat oleh para filsuf fenomenolog lainnya yang juga
tertarik dengan problem tubuh, seperti Maurice Merleau-Ponty dan Heidegger.
Fenomenologi adalah suatu pendekatan di dalam filsafat yang berdiri sebagai
alternatif dari idealisme yang telah mendominasi filsafat selama berabad-abad.
Secara sederhana idealisme adalah paham di dalam filsafat yang berpendapat,
bahwa dunia adalah hasil kontruksi dari pikiran dan ide manusia, serta tidak
memiliki realitas otonom pada dirinya sendiri. Sementara fenomenologi adalah
pendekatan di dalam filsafat yang ingin memahami realitas pada dirinya sendiri.
Fenomenologi mengandaikan bahwa realitas itu mandiri dari pikiran manusia,
dan ingin memahaminya tanpa prasangka ataupun bias apapun.
Dengan caranya masing-masing, Heidegger dan Merleau-Ponty ingin
merefleksikan keberadaan manusia di dunia dengan sedapat mungkin tidak ma-
suk ke dalam idealisme. Di dalam karya magnum opusnya yang berjudul Being
and Time, Heidegger mengajukan tesis mendasar yang nantinya akan dipertah-
ankan di dalam seluruh bukunya, yakni bahwa temporalitas merupakan makna
dari ada-nya Manusia. Manusia disebut Heidegger sebagai Dasein, yakni ada-
di-sana. Sementara “ada” adalah konsep yang mendasari keberadaan manusia.
Akan tetapi temporalitas Dasein (manusia) juga menjadi dasar bagi Ada yang
universal. Bahkan dikatakan juga bahwa Dasein adalah satu-satunya pengada
yang menanyakan Ada. Oleh karena itu tidak ada yang dapat bermakna, kecuali
itu berada di dalam pemaknaan Dasein, karena Ada yang universal itu meru-
pakan simbol dari keseluruhan realitas itu sendiri.
Manusia dan Tubuh 79

Konsekuensi pandangan Heidegger itu adalah penolakan terhadap real-


isme, yang berpendapat bahwa realitas memiliki status yang otonom lepas dari
pikiran manusia. Menurut Hoffman, Heidegger berpendapat bahwa realisme
merupakan suatu bentuk metafisika kehadiran yang masih percaya, bahwa ben-
da memiliki status mandiri dari manusia. Padahal benda di dalam realitas lebih
merupakan hasil konstruksi dan pemahaman Dasein. Maka keberadaannya ti-
daklah mandiri. Inilah inti idealisme Heidegger, menurut tafsiran Hoffman.3
Sekali lagi Heidegger sangat menekankan, bahwa Ada yang universal, yang
merupakan abstraksi dari seluruh realitas, tidaklah independen dari pikiran Da-
sein, melainkan selalu terkait dengannya. Maka Ada (Being) ini tidaklah man-
diri, melainkan terkait dengan manusia. Ia bahkan mengatakan dengan tegas,
bahwa hanya manusialah yang bisa mengenali dan memahami Ada. Manusia
adalah pengada yang menanyakan Ada.
Di sisi lain cara berfilsafat Merleau-Ponty sangatlah berbeda dengan Hei-
degger. Sekilas membaca orang bisa langsung menemukan aura mistik-religius
di dalam filsafat Heidegger. Namun hal itu tidak akan ditemukan di dalam pe-
mikiran Merleau-Ponty. Inti filsafatnya terletak pada konsep tubuh (body), dan
upayanya untuk lolos dari cengkraman filsafat idealisme. Menurutnya tubuh
manusia bukanlah sesuatu yang imaterial, melainkan justru sebaliknya, tubuh
manusia adalah suatu realitas otonom yang memang keberadaannya selalu be-
rada dalam kaitan dengan pikiran, subyek, dan dunia. Pendekatan Merleau-
Ponty, menurut Hoffman, mempunyai sisi yang unik. Ia berusaha mendekati
realitas dengan pertama-tama mempelajari persepsi manusia. Mengapa pende-
katan semacam ini yang dipilih olehnya?
Segala sesuatu yang konkret pertama-tama haruslah dapat disentuh oleh
pengalaman manusia, walaupun tidak harus pengalaman empiris. Benda terse-
but haruslah dapat dikenali, baik bentuknya, warnanya, ukuran, dan sebagai-
nya. Disitulah pentingnya peran persepsi di dalam proses pengenalan realitas.
Pendekatan ini dirumuskannya untuk melampaui perdebatan empirisme dan
rasionalisme tentang proses pembentukan pengetahuan manusia. Empirisme
adalah paham yang menekankan, bahwa pengalaman empiris merupakan sya-
rat utama dari pembentukan pengetahuan manusia. Sementara rasionalisme
adalah paham yang berpendapat, bahwa pengetahuan manusia dibentuk oleh
prinsip-prinsip yang telah inheren di dalam akal budi manusia, bahkan sebelum
adanya pengalaman inderawi.
Sebagaimana ditafsirkan oleh Hoffman, Merleau-Ponty ingin melampaui
dua pandangan itu. Ia berpendapat bahwa obyek secara mandiri memiliki uku-
ran dan bentuknya sendiri. Obyek tersebut tampil di hadapan kita bagaikan
80 Menjadi Manusia Otentik

lukisan di dalam sebuah galeri, yang tentunya mengandaikan beberapa hal,


seperti jarak, cahaya, arah, dan sebagainya. Semua unsur itu akan membuat kita
mampu melihat dan memahami benda secara maksimal (maximum visibility).
Benda tersebut dapat dipersepsi secara sempurna. Di dalam persepsi warna,
ukuran, dan bentuk tidaklah dipandang sebagai sesuatu yang mengambang
tanpa konteks, melainkan sebagai ekspresi dari obyek. Inilah artikulasi penuh
dari obyek, yakni ketika obyek menampilkan dirinya kepada kita dengan se-
mua unsur yang membentuknya. Pencerapan atas unsur dan obyek itulah yang
membentuk pengetahuan manusia tentang dunia.4
Benda-benda di dunia tidaklah dapat dipisahkan begitu saja dari orang
yang mempersepsinya. Benda-benda itu juga tidak dapat bersifat mandiri pada
dirinya sendiri, karena benda itu hanya dapat dikenali melalui pencerapan dan
eksistensi manusia, dan eksistensi itu terwujud secara konkret di dalam konsep
tubuh manusia. Di dalam karya magnus opusnya yang berjudul Phenomeno-
logy of Perception, Merleau-Ponty mengajukan pendapat secara konsisten, ba-
hwa kesatuan tubuh manusia yang mempersepsi mendapatkan kepenuhannya
dengan menyentuh dan mempersepsi dunia.5 Jadi tubuh dan dunia adalah dua
entitas yang tak terpisahkan. Kepenuhan yang satu diperoleh dengan menyen-
tuh yang lain. Tubuh menjadi utuh dengan menyentuh dunia. Sebaliknya dunia
menjadi dapat dipersepsi dengan menyentuh tubuh.
Jika penulis melihat gelas di depan penulis, maka tubuh penulis akan
mempersepsinya sebagai gelas. Jika tubuh penulis bisa mempersepsinya, maka
gelas itu pastilah ada. Jadi gelas bukanlah suatu ilusi. Namun gelas juga bukan-
lah suatu entitas mandiri yang lepas begitu saja dari pikiran manusia. Keberada-
an gelas sangatlah tergantung pada keberadaan manusia yang mempersepsinya.
Proses persepsi bisa terjadi, karena manusia memilik tubuh. Dengan demikian
pikiran manusia, tubuhnya, dan gelas di dalam realitas adalah satu kesatuan
perseptual yang memungkinkan terciptanya pengetahuan. Apakah dengan ar-
gumen ini, Merleau-Ponty lalu terjatuh ke dalam idealisme? Bagaimana orang
bisa mengetahui status mandiri dari benda-benda?
Menjawab pertanyaan itu Hoffman menafsirkan, bahwa Merleau-Ponty
memiliki satu konsep yang memiliki ciri paradoks, yakni bahwa ada suatu kon-
sep yang sekaligus bersifat tergantung pada manusia, sekaligus merupakan en-
titas pada dirinya sendiri. Merleau-Ponty menyebutnya sebagai sesuatu yang
“untuk kita pada dirinya sendiri” (for us in itself). Dengan konsep ini ia ingin
melepaskan diri dari idealisme, yang tidak percaya akan adanya benda pada
dirinya sendiri, yakni benda yang punya status otonom lepas dari pikiran ma-
nusia.
Manusia dan Tubuh 81

Kesadaran perseptual, yang merupakan konsep unik dari Merleau-Ponty,


dapatlah didamaikan dengan konsep benda yang independen dari pikiran ma-
nusia. Memang ini bukanlah suatu konsep yang cukup baru di dalam filsafat.
Namun yang cukup baru adalah, bahwa Merleau-Ponty menempatkan konsep
kesadaran perseptual tersebut untuk melakukan kritik terhadap idealisme. Kesa-
daran perseptual mengandaikan adanya tubuh, dan tubuh merupakan medi-
um utama manusia untuk bersentuhan dengan realitas. Jadi walaupun konsep
kesadaran perseptual sangat dekat dengan idealisme, namun konsep ini masih
memberi ruang untuk status otonom tubuh dan realitas yang terkait, namun
tidak sepenuhnya bergantung pada pikiran manusia. Tubuh adalah entitas pasif
yang sekaligus aktif. Tubuh merupakan medium manusia untuk “mempunyai
dunia”. Dengan kata lain manusia mendunia melalui tubuhnya.

Tubuh dan Dunia: Refleksi Lebih Jauh6


Tesis dasar dari Merleau-Ponty tentang tubuh, menurut Carman, adalah
bahwa persepsi manusia akan dunia bukanlah persepsi terlepas tanpa konteks,
melainkan suatu fenomena menubuh (bodily phenomenon). Persepsi bukan-
lah sesuatu yang bersifat privat. Tubuh juga bukan hanya sesuatu yang murni
material. Persepsi adalah semacam titik tengah antara pengalaman subyektif
internal di satu sisi, dan fakta-fakta obyektif eksternal di sisi lain. Persepsi bukan
keduanya, tetapi juga sekaligus keduanya. Dalam bentuknya yang paling kon-
kret, persepsi adalah unsur dari tubuh manusia yang menyentuh dunia. Kon-
sep-konsep oposisi di dalam filsafat, seperti internal dan eksternal, mental dan
fisik, subyektif dan obyektif, menurut Carman, tidaklah mampu menampung
keseluruhan konsep tubuh di dalam filsafat Merleau-Ponty,7 terutama karena
persepsi dan tubuh sekaligus bersifat intensional dan mekanis, sekaligus suby-
ektif dan obyektif, dan sekaligus internal maupun eksternal.
Kategori oposisi tersebut tentunya memiliki pengandaian, dan pengan-
daian itulah yang rupanya ingin direkonstruksi oleh Merleau-Ponty. Memang
jika dilihat sekilas, kita akan menemukan adanya pengalaman-pengalaman
subyektif, seperti perasaan, emosi, dan pengalaman-pengalaman eksternal, se-
perti adanya mobil, gelas, dan sebagainya. Akan tetapi kedua konsep itu, yakni
pengalaman subyektif dan pengalaman eksternal, dibangun atas abstraksi dari
keterbukaan manusia pada dunia. Dan menurut Merleau-Ponty keterbukaan ke-
pada dunia itulah yang seharusnya direfleksikan lebih jauh.
Dengan demikian persepsi manusia memiliki dua aspek, yakni aktif dan
pasif. Pasif berarti persepsi merupakan bagian dari organ yang menerima infor-
masi dari pengalaman inderawi. Aktif berarti persepsi merupakan bagian dari ak-
82 Menjadi Manusia Otentik

tivitas tubuh manusia yang mendunia. Sisi aktif dan pasif dari persepsi manusia
di dalam filsafat Merleau-Ponty, sebagaimana ditafsirkan Carman, bagaikan dua
sisi yang berbeda dari satu koin yang sama. “Persepsi”, demikian tulis Carman,
“adalah selalu sekaligus pasif dan aktif, situasional dan praktis, terkondisikan
dan bebas.”8 Tubuh dan dunia, menurut Merleau-Ponty, haruslah dilihat seba-
gai dua entitas yang menyatu, yang saling tumpang tindih. Relasi di antaranya
bukalah relasi rangsangan dan reaksi, tetapi sebagai sesuatu yang saling men-
jalin dalam satu kesatuan. Konsep “saling menjalin” (interweave) inilah yang
nantinya menggantikan konsep kesadaran di dalam pemikiran Merleau-Ponty
sebelumnya. Memang di dalam konsep kesadaran, ia telah menyadari karakter
kesatuan tubuh dan dunia. Akan tetapi konsep kesadaran bisa dengan mudah
ditafsirkan sebagai idealisme baru. Maka ia menggantinya dengan konsep “sa-
ling menjalin”. Analogi yang Merleau-Ponty gunakan, sebagaimana ditafsirkan
oleh Carman, adalah daging. Kesatuan tubuh dan dunia adalah daging (flesh).9
Persepsi, menurut Merleau-Ponty, adalah dasar atau fondasi bagi pen-
galaman manusia, baik yang subyektif maupun yang obyektif, baik perasaan-
perasaan internal manusia maupun perasaan yang muncul secara konkret yang
muncul dari persentuhan dengan dunia material. Lebih jauh persepsi bukanlah
melulu fenomena mental, yang kemudian dipertentangkan dengan segala se-
suatu yang material dan fisik. Persepsi adalah fenomena tubuh manusia. Artinya
pengalaman kita akan dunia, baik subyektif ataupun obyektif, bukanlah melulu
terkait dengan pikiran dan kesadaran saja, tetapi juga dengan tubuh. ��������Kita me-
rasa sakit pertama-tama dengan tubuh kita, baru pikiran kita kemudian mende-
finisikannya. Disini pikiran, tubuh, dan realitas, yakni rasa sakit, saling tumpang
tindih dan tak terpisahkan. Begitu pula ketika kita melihat sesuatu. Kita melihat
dengan mata, tetapi pikiranlah yang menangkap sensasi warna dan bentuk. Di
titik ini pikiran, tubuh, yakni organ mata, dan realitas saling jalin menjalin.
Sebagaimana ditafsirkan oleh Carman, Merleau-Ponty berpendapat, bah-
wa relasi antara tubuh dan persepsi bukanlah relasi sebab akibat. Tubuh tidak
mengakibatkan persepsi, ataupun sebaliknya. Setiap orang memiliki pengeta-
huan prareflektif di dalam diri mereka. Pengetahuan pra reflektif adalah penge-
tahuan yang muncul dari pengalaman langsung, dan tidak diolah dulu menjadi
sebuah konsep. Pengetahuan reflektif ini muncul melalui persentuhan tubuh
dengan dunia. Jadi pengetahuan ini tidak muncul sebagai akibat dari persentu-
han, tetapi bersamaan dengan persentuhan itu. Persepsi adalah suatu fenomena
menubuh manusia. Oleh karena itu persepsi tidaklah dapat dimengerti terlepas
dari tubuh manusia yang material dan bersentuhan langsung dengan dunia.
Dan sekali lagi persepsi tidaklah ditentukan oleh tubuh, melainkan bersamaan
Manusia dan Tubuh 83

dengan tubuh menyentuh dunia. Maka persepsi tidaklah bisa dilepaskan dari
tubuh. Struktur persepsi adalah struktur dari tubuh. “Tubuhku”, demikian tulis
Merleau-Ponty, “adalah sudut pandangku kepada dunia.”10
Dari sudut pandang orang ketiga, tubuh itu bersifat kontingen. Artinya tu-
buh itu penuh ketidakpastian dan perubahan yang berlangsung terus menerus.
Tubuh adalah sesuatu yang ambigu. Akan tetapi dari sudut pandang orang yang
empunya tubuh, tubuh bukanlah sesuatu yang kontingen, apalagi ambigu. Bah-
kan tubuh adalah adalah medium kita menyentuh dan berhubungan dengan du-
nia. Tubuh adalah sudut pandang kita dalam melihat dunia. Dari sudut pandang
empunya tubuh, tubuh bukanlah suatu obyek, melainkan subyek yang bertu-
juan. “Tubuhku”, demikian tulis Carman dalam tafsirannya terhadap pemikiran
Merleau-Ponty, “tidaklah dapat dimengerti secara sederhana sebagai gumpalan
dari dunia material yang duduk dalam relasi dekat dengan pikiranku.”11 Tubuh
dan dunia memang tampak tidak terpisahkan, karena setiap orang mengalami
dunia melalui tubuhnya.
Dunia adalah dunia bagi tubuhku. “Penulis”, demikian tulis Merleau-
Ponty, “melihat benda eksternal dengan tubuh yang penulis miliki, penulis
memegangnya, penulis memeriksanya, berjalan mengitarinya, akan tetapi bagi
tubuh yang penulis miliki, penulis tidak mengamatinya pada dirinya sendiri;
untuk bisa melakukan itu, penulis perlu menggunakan tubuh kedua yang juga
pada dirinya sendiri tidak bisa penulis amati.”12 Dengan demikian tubuh adalah
jalan bagi manusia untuk bisa mendunia. Tubuh bukanlah obyek yang kontin-
gen, atau sekedar fakta kasar dari dunia. Tubuh adalah kondisi-kondisi yang
memungkinkan persepsi manusia. Tubuh adalah modus mengada manusia di
dunia. Dengan kata lain orang tidak dapat memahami persepsi dalam abstra-
ksinya yang terlepas dari tubuh, karena persepsi selalu terkait tubuh. Persepsi
sebagai fenomen menubuh manusia.

Pemadatan Teori Lebih Jauh


Persepsi, sekali lagi, adalah fenomena tubuh, dan bukan melulu fenome-
na mental manusia. Dengan teori ini Merleau-Ponty tidak mau jatuh ke dalam
teori yang memandang subyektifitas sebagai esensi manusia, ataupun teori yang
melihat bahwa realitas memilki fondasi empiris yang esensial. Ia berusaha men-
gartikulasikan dan mendeskripsikan melalui sudut pandang filosofis tentang apa
artinya menjadi manusia di dunia. Dengan proses itu ia menolak mengakui ma-
nusia sebagai entitas psikis melulu ataupun entitas mekanis belaka, melainkan
manusia sebagai tubuh subyek yang hidup dan berada di dunia. Inilah yang
84 Menjadi Manusia Otentik

disebut sebagai pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini pun sampai pada


argumen, bahwa manusia melihat dunia melalui tubuhnya. Maka setiap sudut
pandang tubuh sebenarnya juga merupakan sudut pandang manusia.
Di dalam menafsirkan pemikiran Merleau-Ponty, Carman mengajukan
pertanyaan, bagaimana tepatnya fungsi tubuh sebagai subyek bagi manusia?13
Di dalam proses pembentukan persepsi, tubuh berfungi sebagai skema tubuh,
yakni kumpulan disposisi yang bersifat langsung, yang mengarahkan dan mem-
berikan informasi kepada aktivitas motorik manusia. Maka persepsi berakar
pada tubuh, dan persepsi manusia terbentuk melalui skema tubuh. Tubuh dan
persepsilah yang membentuk gambaran manusia tentang dunia sebagaimana
dipersepsikan olehnya.
Di dalam karya akhirnya yang berjudul The Visible and The Invisible,
Merleau-Ponty merumuskan dua metafor baru, yakni metafor daging (flesh) dan
chiasm. Beberapa penafsir pemikiran Merleau-Ponty, Carman salah satunya
yang menjadi acuan penulis, berpendapat bahwa buku ini merupakan terobo-
san baru yang dibuatnya. Di dalam buku ini, ia berargumen bahwa persepsi
selalu berakar pada tubuh di dalam sebuah lingkungan (environment). Inilah
yang disebut sebagai chiasm, yakni kesalingtumpangtindihan antara persepsi,
tubuh, dan dunia. Ini sebenarnya merupakan penekanan lebih jauh dari apa
yang telah ditulis Merleau-Ponty di dalam Phenomenology of Perception. Akan
tetapi metafor daging merupakan tanda peralihan pemikirannya dari buku itu.
Di dalam Phenomenology of Perception, Merleau-Ponty mendekripsikan
pengalaman perseptual manusia melalui tubuh dalam persentuhannya dengan
dunia. Namun di dalam karya berikutnya, ia menggunakan metafor daging un-
tuk mengacu pada ketidaksadaran dan spontanitas tubuh dalam persentuhan-
nya dengan dunia. Daging adalah adalah organ dari tubuh yang bersifat tidak
sadar, namun menjadi dasar bagi persepsi dan persentuhan tubuh manusia
dengan realitas. Dari sudut pandang ini, setiap orang tidak hanya berada di
dalam dunia, melainkan adalah dunia itu sendiri.***

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Apa kaitan tubuh dan dunia menurut Merleau Ponty? Berikan tanggapanmu
terhadap pandangan tersebut!
2. Apa kaitan tubuh dan persepsi menurut Merleau Ponty? Berikan contoh
secukupnya!
3. Apa makna metafor ‘daging’ di dalam filsafat Merleau Ponty? Jelaskan tang-
gapanmu!
Manusia dan Tubuh 85

4. Apa kaitan persepsi dan dunia? Jelaskan jawabanmu dan berikan contoh
secukupnya!

1 Pada bab ini saya mengacu pada Samuel Todes, Body and The World, London, MIT Press,
2001.
2 Piotr Hoffman, “How Todes Rescue Phenomenology from the Threat of Idealism”, dalam
ibid, hal. xxviii.
3 Lihat, ibid, hal. Xxx.
4 Lihat, ibid, hal. Xxxvi.
5 Sebagaimana ditafsirkan oleh Hoffman, ibid, hal. Xxxvii.
6 Pada bagian ini saya mengacu pada Taylor Carman, Merleau-Ponty, Oxon, Routledge, 2008.
7 Lihat, ibid, hal. 78.
8 Ibid, hal. 79.
9 Lihat, ibid, hal. 80.
10 Dikutip oleh Carman, 2008, hal. 81.
11 Ibid, hal. 82.
12 Dikutip oleh Carman, 2008, ibid.
13 Lihat, ibid, hal. 133.

-oo0oo-
BAB 9
MANUSIA DAN KERJA

P ada bab sebelumnya kita sudah melihat refleksi filosofis tentang tubuh. Tubuh adalah bagian
integral dari manusia. Tanpa tubuh manusia bukanlah manusia. Manusia justru menjadi utuh
dan penuh, ketika ia menyadari arti penting dari tubuhnya. Pada bab ini dengan mengacu pada
pemikiran Peter Drucker, penulis ingin mengajak anda memikirkan tentang makna kerja di dalam ke-
hidupan manusia. Sebagai acuan penulis terinspirasi dari buku Management, Tasks, Responsibilities,
and Practices. Peter Drucker adalah seorang ahli manajemen yang pemikirannya, menurut penulis,
memiliki dimensi filosofis yang sangat dalam.1
Kerja adalah bagian sentral di dalam kehidupan manusia. Dengan pikiran dan tubuhnya, manu-
sia mengorganisir pekerjaan, membuat benda-benda yang dapat membantu pekerjaannya tersebut,
dan menentukan tujuan akhir dari kerjanya. Dapat juga dikatakan bahwa kerja merupakan aktivitas
yang hanya unik (dalam artian di atas) manusia, dan yang dapat mengantarkannya menuju otentisitas.
Di dalam Kitab Suci Yahudi yang sudah berusia sangat tua diceritakan bagaimana kerja merupakan
hukuman Tuhan kepada manusia, karena ia tidak patuh pada perintah-nya. Sekitar 2600 tahun yang
lalu di Yunani, Hesiodotus menulis sebuah puisi tentang kerja yang berjudul Work and Days.2 Di
dalamnya ia berpendapat, bahwa kerja adalah isi utama dari kehidupan manusia.

Filsafat dan Kerja


Sepanjang sejarah peradaban manusia, makna kerja terus berkembang. Kerja dimaknai sebagai
kerja tangan, ketika peradaban manusia masih nomaden, yakni berburu dari satu tempat ke tampat
lain. Begitu juga ketika manusia mulai menetap di suatu tempat, di mana mereka membuka lahan
pertanian serta perkebunan, dan memelihara ternak di suatu tempat yang mereka pilih. Pada tahap ini
sudah masuk unsur pikiran untuk mengatur tanaman dan ternak mereka. Butuh waktu lama sampai
88 Menjadi Manusia Otentik

diakui, bahwa berfikir adalah juga suatu pekerjaan, bahkan sampai menduduki
status lebih tinggi dari pada kerja tangan. Tradisi para rahib masih memper­
tahankan kerja tangan sebagai bagian yang harus dikerjakan oleh manusia.
Di dalam salah satu tulisannya, Franz Magnis-Suseno pernah berpendapat,
bahwa refleksi filsafat tentang kerja dapat ditemukan sejak 2400 tahun yang
lalu. Walaupun pada masa itu, kerja dipandang sebagai sesuatu yang rendah.3
Warga bangsawan tidak perlu bekerja. Mereka mendapatkan harta dari status
mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada masa itu, manusia yang sesung-
guhnya tidak perlu bekerja. Ia hanya perlu berpikir dan menulis di level teoritis.
Semua pekerjaan fisik diserahkan pada budak. Budak tidak dianggap sebagai
manusia seutuhnya.
Pada abad ke 17 dan 18, refleksi filsafat tentang kerja mulai berubah arah.
Salah seorang filsuf Inggris yang bernama John Locke pernah berpendapat, bah-
wa pekerjaan merupakan sumber untuk memperoleh hak milik pribadi. Hegel,
filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa pekerjaan membawa manusia mene-
mukan dan mengaktualisasikan dirinya. Karl Marx, murid Hegel, berpendapat
bahwa pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan diri. Dengan
bekerja orang mendapatkan pengakuan.4
Secara singkat Magnis-Suseno menegaskan, bahwa ada tiga fungsi kerja,
yakni fungsi reproduksi material, integrasi sosial, dan pengembangan diri. Yang
pertama dengan bekerja, manusia bisa memenuhi kebutuhannya. Yang kedua
dengan bekerja, manusia mendapatkan status di masyarakat. Ia dipandang seb-
agai warga yang bermanfaat. Dan yang ketiga dengan bekerja, manusia mampu
secara kreatif menciptakan dan mengembangkan dirinya.

Kerja dan Organisasi


Teori-teori ekonomi dan ilmu sosial juga banyak menganalisis tentang
kerja. Walaupun begitu refleksi dan analisis tentang kerja yang melibatkan or-
ganisasi baru muncul pada awal abad ke-19. Menurut Drucker tokoh yang per-
tama kali merefleksikan konsep kerja di dalam organisasi adalah Frederick Tay-
lor. Dalam arti ini kerja bukanlah lagi merupakan fenomena universal manusia
saja, tetapi juga kerja yang melibatkan pekerja-pekerja tangan ataupun pekerja
pengetahuan (knowledge worker). Pekerja tangan adalah orang yang bekerja
dengan ketrampilan praktis. Sementara pekerja pengetahuan adalah pekerja
yang tidak hanya membutuhkan ketrampilan praktis, tetapi juga pekerja yang
melibatkan konsep abstrak yang memiliki cangkupan luas.
Manusia dan Kerja 89

Yang pasti menurut Drucker adalah, bahwa kerja (work) dan bekerja
(working) adalah dua hal yang berbeda. Pekerja (worker) adalah penghasil kerja
(work), dan kegiatan menghasilkan kerja itu disebut sebagai bekerja (working).
Dalam hal ini setiap pekerja haruslah ditata dalam organisasi yang setidaknya
mampu mewujudkan dua hal, yakni mencapai produktivitas kerja yang dibu-
tuhkan organisasi, dan memperoleh kepuasan personal melalui kerjanya itu.5
Drucker berpendapat bahwa kerja adalah sesuatu yang sifatnya imper-
sonal dan obyektif. Dalam arti ini kerja adalah tugas. Untuk bekerja berarti
orang menerapkan logika dan aturan yang berguna untuk mencapai suatu tu-
juan. Di dalam kerja ada logika yang mengatur arus kerja tersebut. “Kerja”,
demikian Drucker, “membutuhkan kemampuan menganalisis, membuat sinte-
sis, dan mengontrol proses.”6 Misalnya anda adalah seorang penulis. Menulis
adalah suatu kerja yang membutuhkan logika untuk mengetik, dan membaca
tulisan yang telah diketik. Di dalam tulisan ada aturan dan logika yang harus
dipatuhi. Tanpa aturan dan logika tersebut, tulisan tidak akan dapat dimengerti.
Penulis harus menganalisis proses dan hasil tulisannya, membuat kombinasi
yang tepat (supaya tulisannya bagus), serta mengontrol proses penulisan, su-
paya mendapatkan hasil yang diinginkan.
Maka kerja adalah sesuatu yang memiliki aturan dan logika tersendiri
yang perlu untuk dianalisis. Inilah yang kiranya dilakukan oleh Drucker. Para
pekerja –yang juga berarti setiap manusia- perlu untuk memahami prinsip dasar
kerja dalam suatu urutan yang logis, seimbang, dan rasional. Hal ini tidak hanya
berlaku untuk kerja yang menghasilkan barang materi, tetapi juga para pekerja
kreatif dan pekerja pengetahuan yang lebih menghasilkan konsep yang abstrak.
Misalnya si penulis yang perlu untuk memahami susunan alfabet yang sifatnya
logis, seimbang, dan rasional. Drucker bahkan berpendapat bahwa analisis atas
kerja pertama kali bukan muncul di kalangan insinyur ataupun ahli teknik, me-
lainkan dari tulisan yang memiliki aturan dan logikanya sendiri.
Di dalam organisasi cara berpikir yang berbeda perlu untuk dirumuskan.
Di dalam organisasi kerja harus dikelola secara tepat, sehingga gabungan kerja
dari beberapa bagian bisa menghasilkan satu tujuan yang sama. Itu sebenarnya
inti manajemen, yakni mengelola sekumpulan orang dengan jenis pekerjaan
yang berbeda untuk mengabdi pada tujuan yang sama. Inilah yang juga meru-
pakan inti dari proses produksi. Di dalam organisasi kerja adalah suatu kegiatan
yang perlu diatur secara kolektif. Kerja bukanlah soal individual saja. Kerja me-
merlukan proses kontrol untuk mencegah hilangnya fokus pekerjaan.
90 Menjadi Manusia Otentik

Dimensi Fisiologis Kerja


Drucker lebih jauh menajamkan, bahwa ada lima dimensi dari bekerja
(working). Bekerja adalah aktivitas yang dilakukan oleh pekerja. Manusia adalah
mahluk yang bekerja. Kerja adalah tanda dari kemanusiaannya. Kerja memiliki
dinamika dan dimensi yang inheren di dalam dirinya. Dimensi pertama adalah
dimensi fisiologis. Yang perlu ditekankan disini adalah, bahwa manusia bukan-
lah mesin. Cara ia bekerja pun berbeda dengan cara kerja mesin.
Mesin bekerja terbaik jika hanya mengerjakan satu tugas. Tugas itu ha­
ruslah dilakukan berulang, dan haruslah sesederhana mungkin. Untuk menger-
jakan tugas rumit, mesin haruslah membagi tugas rumit tersebut ke dalam ba-
gian-bagian yang lebih sederhana, barulah mesin itu bisa bekerja. Mesin dapat
bekerja dengan baik, jika ritme pekerjaan tersebut tetap, dan dengan stabilitas
yang terjamin.7
Manusia bekerja dengan cara yang berbeda. Jika hanya mengerjakan satu
pekerjaan secara berulang, ia dengan mudah menjadi lelah, bosan, dan mening­
galkan pekerjaannya itu. Menurut Drucker manusia justru bisa bekerja secara
maksimal, jika berada dalam koordinasi dengan manusia lainnya. Manusia bisa
bekerja secara maksimal, jika ia menumpahkan seluruh dirinya di dalam peker-
jaannya itu, dan bukan hanya fisiknya semata. Jika ia dipaksa bekerja seperti
mesin, maka baik secara psikologis ataupun fisik, ia akan cepat merasa lelah.
Manusia bekerja terbaik di dalam koordinasi dengan manusia lainnya,
dan bukan secara individual. Ia bekerja buruk di dalam ritme yang tetap. Ia ha-
rus bekerja di dalam suasana yang dinamis bersama dengan manusia-manusia
lainnya. Tidak ada ritme yang universal, yang cocok untuk setiap orang. Se-
tiap orang memiliki ritme bekerjanya masing-masing. Bahkan menurut Druck-
er keunikan ritme bekerja dapat disamakan dengan keunikan sidik jari setiap
orang. Orang bisa marah ketika ia dipaksa bekerja tidak sesuai dengan ritme-
nya, dan dipaksa untuk mengabdi ritme bekerja orang lain.
Jika orang dipaksa untuk bekerja sesuai dengan ritme orang lain, maka
ia secara otomatis akan mengalami penumpukan kotoran di otot, otak, dan
aliran darah. Penumpukan kotoran itu akan melepaskan hormon stress yang
mengakibatkan seluruh saraf menjadi tegang. Padahal menurut Drucker untuk
bisa bekerja secara produktif, orang perlu untuk melepaskan diri dari semua
tegangan yang ada di dalam dirinya. Atau setidaknya ia harus memiliki kontrol
penuh pada perasaannya sendiri.
Manusia dan Kerja 91

Berbeda dengan pandangan umum, di dalam suatu organisasi, orang


perlu untuk bekerja dengan ritme dan koordinasi yang berbeda-beda. Di dalam
bekerja, orang perlu variasi kecepatan dan ritme, walaupun fokusnya tetap
sama. “Apa yang bagus di dalam rekayasa industri untuk kerja”, demikian tulis
Drucker, “ternyata sangat jelek bagi manusia yang bekerja.”8

Dimensi Psikologis Kerja


Dimensi kerja kedua adalah dimensi psikologis. Dalam arti ini kerja bisa
berarti berkat sekaligus kutuk. Orang perlu untuk bekerja. Namun seringkali
kerja juga menjadi beban yang sangat berat. Setiap orang sudah dikondisikan
untuk bekerja sejak mereka menginjak usia 3-4 tahun. Memang mereka belum
boleh bekerja secara resmi di pabrik atau dimanapun. Namun mereka perlu
untuk belajar berjalan, berbicara, dan yang terpenting, belajar untuk menjadi
manusia. Ini semua menurut Drucker menciptakan kebiasaan untuk bekerja,
untuk melakukan sesuatu guna mengembangkan diri.
Dari sudut pandang ini, fenomena pengangguran yang disebabkan oleh
kemiskinan tidak hanya merusak situasi ekonomi seseorang, tetapi juga harga
dirinya. Hegel seorang filsuf Jerman pernah berpendapat, bahwa kerja adalah
aktualisasi diri seseorang. Drucker sendiri berpendapat bahwa kerja merupakan
perpanjangan dari kepribadian manusia. Kerja adalah suatu pencapaian mimpi
dan perwujudan prestasi. Kerja adalah adalah aktivitas yang dilakukan oleh se-
seorang untuk mendefinisikan dirinya sendiri dan kemanusiaannya.
Sejak dulu manusia sudah memiliki pandangan, bahwa kerja adalah se-
suatu yang suci. Kerja adalah suatu bentuk panggilan dari Tuhan. Kerja adalah
suatu pengabdian, apapun bentuknya, dan semua itu layak mendapatkan peng-
hormatan. Di Eropa pada abad ke-14, para rahib Benediktin bekerja di ladang
dan sawah bergantian dengan mereka berdoa. Kerja tangan dianggap sebagai
sesuatu yang sama sucinya seperti orang berdoa. Pemikiran ini bertentangan
dengan pandangan kuno yang berpendapat, bahwa orang bebas tidak perlu,
dan bahkan tidak boleh, bekerja kasar di sawah ataupun ladang. Di dalam bu-
kunya yang berjudul The Republic, Plato menegaskan ada berbagai macam
level manusia, dan setiap manusia memiliki pekerjaan yang sesuai dengan le-
velnya. Budak bekerja sebagai pekerja kasar di ladang dan sawah. Sementara
para filsuf bekerja sebagai pemimpin kota yang bertugas menata politik.
Tentu saja pandangan para rahib Benediktin dan Plato saling bertentan-
gan. Namun keduanya memiliki kesamaan, yakni keduanya mengecam peng-
angguran, dalam arti orang yang tidak mau bekerja. Kualitas manusia dilihat
92 Menjadi Manusia Otentik

dari sejauh mana ia tekun dan unggul di dalam pekerjaannya. Di peradaban


Cina kuno, setelah seseorang selesai mengabdi sebagai pekerja negara, ia tidak
diharapkan untuk bersantai di masa pensiunnya. Sebaliknya ia justru diminta
untuk lebih produktif menulis, melukis, mencipta musik, dan membuat puisi.
Dasar dari cara berpikir ini adalah etika sosial Confusian, yang meminta orang
untuk membagikan kebijaksanaannya. Tujuannya adalah menjamin stabilnya
tatanan sosial yang ada.
Pada abad kedua puluh, pandangan tentang kerja juga belum banyak
berubah. Walaupun masih dianggap sebagai bagian dari pekerjaan yang ‘ka-
sar’, para petani dan buruh dipandang sebagai bagian dari masyarakat yang
layak dan perlu untuk dihormati. Di Eropa dan Amerika pada abad keduapuluh,
kondisi kehidupan buruh dan petani sudah jauh meningkat, jika dibandingkan
dengan satu abad sebelumnya. Hal yang sama menurut Drucker juga berlaku
untuk para pelaut. Mereka adalah kelompok pekerja yang perlu mendapatkan
perhatian besar, terutama karena kegiatan fisik yang begitu banyak, dan anca-
man bahaya yang juga begitu besar.
Menurut Drucker pada era sekarang, apa yang dipandang orang sebagai
bernilai telah berubah. Sekarang ini nilai ekonomis lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai-nilai lainnya. Hal ini terjadi karena konsep kepuasan hidup pun
telah menyempit menjadi melulu kepuasan ekonomis. Materi yang bisa memu-
askan diri tersedia banyak sebagai barang dagangan di mall dan pasar. Akibat
surplus barang untuk memberikan kenikmatan itu, nilai kehidupan pun telah
menyempit menjadi semata mengejar nilai ekonomis belaka. Kepuasan psiko-
logis pun menjadi identik dengan kepuasan ekonomis.9
Gejala hedonisme yang sedang dominan di masyarakat, menurut Drucker,
juga sebenarnya bukan menggambarkan dorongan murni manusia untuk men-
capai kenikmatan itu sendiri. Gejala tersebut muncul sebagai reaksi terhadap
berbagai penindasan yang dialami oleh kelas pekerja selama berabad-abad. Ke-
las pekerja pun kini meluas. Profesi guru dan artis, yang mengembangkan mu-
sik, lukisan, ataupun tulisan, pun kini dianggap sebagai profesi terhormat. Di
negara-negara maju profesi sebagai guru dan artis mampu memberikan peng-
hidupan yang layak. Namun di beberapa negara berkembang, profesi semacam
itu masih dianggap kelas dua.
Banyak orang benci untuk bekerja. Mereka bermimpi untuk memiliki
uang banyak, sehingga tidak lagi perlu bekerja. Namun pandangan itu tidak
sepenuhnya tepat. Orang yang tidak bekerja, walaupun memiliki uang banyak,
juga sulit untuk merasa puas dengan hidupnya. Mereka akan mengalami krisis
Manusia dan Kerja 93

identitas, karena pekerjaan membantu orang merumuskan identitasnya, walau-


pun tidak secara keseluruhan. Dalam ari ini dapatlah dikatakan, bahwa kerja
memiliki dimensi psikologis yang mendalam, yang membantu orang untuk me-
nentukan siapa dirinya.10

Dimensi Sosial Kerja


Drucker juga berpendapat bahwa kerja memiliki dimensi sosial. Kerja
menyatukan orang dari berbagai latar belakang untuk bertemu dan menjalin
relasi. Profesi seseorang menentukan tempatnya di masyarakat. Dengan men-
gatakan bahwa penulis adalah guru, anda sudah menegaskan posisi anda di ma­
syarakat, dan peran apa yang anda jalankan dalam relasi dengan orang-orang
lain yang hidup bersama di masyarakat.
Lebih jauh juga dapat dikatakan, bahwa setiap orang butuh untuk bekerja,
karena ia memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari suatu kelompok, dan
menjalin relasi yang bermakna dengan orang-orang yang ada di sana. Aristote-
les pernah mengatakan bahwa manusia adalah mahluk yang berpolis. Artinya
manusia adalah mahluk yang membutuhkan kelompok untuk menegaskan jati
dirinya. Bekerja adalah cara terbaik untuk menjadi bagian dari suatu kelompok.
Seringkali orang memiliki beberapa komunitas dalam hidupnya. Bisa saja
ia adalah pegawai rendahan di kantor, namun dianggap bijaksana dan layak
pemimpin oleh teman-temannya di lingkungan rumah. Namun hal yang sama
sebenarnya berlaku. Menurut Drucker orang-orang semacam itu membutuhkan
pekerjaan untuk mengisi kebutuhannya akan pertemanan dan persahabatan
dan juga tentu saja memenuhi kebutuhan ekonomi.
Di banyak perusahaan muncul banyak kebiasaan untuk mempekerjakan
wanita yang sudah cukup dewasa (dalam arti sudah memiliki suami yang beker-
ja dan anak yang cukup mandiri) sebagai pekerja paruh waktu. Bagi Drucker
wanita paruh baya tersebut menjadikan lingkungan kerja sekaligus sebagai
tempat pencari (atau penambah) nafkah, komunitas sosial, dan tempat untuk
mengobati kesepian yang mungkin saja mereka alami. Inilah tipe pekerja yang
biasanya sangat setia pada perusahaan. 11
Dalam arti ini ikatan emosional yang dibentuk di dalam pekerjaan tidak
kalah kuatnya dengan ikatan keluarga. Ikatan pekerjaan muncul karena orang
sering bekerja sama, walaupun mungkin mereka tidak terlalu suka satu sama
lain. Dengan kata lain menurut Drucker, ikatan kerja memiliki dimensi yang
obyektif. Dan dimensi itu bisa menjadi peluang yang sangat besar untuk mem-
94 Menjadi Manusia Otentik

bentuk suatu komunitas kerja yang bermakna. Di dalam komunitas semacam


ini, keuntungan bukan lagi sebuah tujuan, melainkan hanyalah akibat dari ikat­
an antar pekerja yang kuat.

Dimensi Ekonomis Kerja


Untuk hidup orang perlu untuk bekerja. Sudah sejak dulu pernyataan
ini berlaku universal. Hal ini sebenarnya menurut Drucker berakar pada fak-
ta, bahwa manusia tidak mampu hidup sendiri. Ia tidak mampu mencukupi
kebutuhannya sendiri. Maka ia memerlukan orang lain. Dalam kerangka yang
lebih besar, manusia yang satu melakukan perdagangan dengan manusia lain-
nya untuk memenuhi kebutuhannya masing-masing, dan membentuk apa yang
disebut sebagai jaringan ekonomi (economic network). Di satu sisi jaringan ini
memperkuat hubungan sosial antar manusia, terutama mereka yang berasal dari
latar belakang yang berbeda, namun saling membutuhkan satu sama lain. Di
sisi lain jaringan ini memiliki potensi untuk mendorong terjadinya konflik so-
sial, sebagai akibat dari perdagangan yang tidak mencerminkan nilai keadilan.
Ekonomi sudah selalu menjadi bagian dari kehidupan manusia. Sekarang
ini orang tidak mungkin melepaskan diri dari itu. Di dalam perjalanan waktu,
ekonomi mengalami perubahan tujuan, yakni bukan lagi untuk pemenuhan
kebutuhan murni, tetapi untuk mengumpulkan dan mengembangkan modal
(capital). Modal menjadi tujuan utama. Uang pun kehilangan akarnya, yakni se-
bagai pemenuhan kebutuhan manusia. Uang dikejar demi uang itu sendiri, dan
bukan lagi demi kesejahteraan manusia. Kerja pun bukan lagi demi pemenuhan
kebutuhan hari ini, tetapi juga memiliki orientasi ke masa depan. Penulis be-
kerja untuk pemenuhan kebutuhan penulis 10 tahun lagi.
Upaya pengembangan modal tentu saja baik. Namun upaya itu menjadi
merugikan, ketika modal dikejar demi dirinya sendiri, dan di dalam perjalan­
an melupakan apa yang sesungguhnya penting, yakni pemenuhan kebutuhan
dasar manusia untuk bisa hidup dan mengaktualisasikan dirinya sendiri. Karl
Marx seorang filsuf asal Jerman pernah berpendapat, bahwa ekonomi demi
pengumpulan dan pengembangan modal tidaklah perlu dilakukan, karena di
dalam perjalanannya, eksploitasi kaum pekerja adalah proses yang tidak dapat
dihindarkan. Pemikiran Marx tersebut kemudian direvisi oleh para pengikut-
nya. Pengumpulan dan pengembangan modal tetap diperlukan sambil tetap
memperhatikan kebutuhan dasar para pekerja.
Manusia dan Kerja 95

Dimensi Kekuasaan Kerja


Di dalam organisasi selalu ada relasi-relasi kekuasaan, baik secara implisit
ataupun eksplisit. Secara eksplisit kekuasaan paling tampak di dalam hubungan
antara atasan dan bawahan, serta hubungan antara konsumen dan produsen.
Di sisi lain ada kekuasaan yang sifatnya implisit, namun efeknya sangat terasa,
seperti krisis global di pasar internasional, bencana alam, dan perubahan iklim
yang mempengaruhi proses produksi, distribusi, ataupun konsumsi.
Dahulu kala orang tidak memiliki jam kerja. Konsep jam kerja baru di-
temukan pada masyarakat industrial pertama di Eropa. Sekilas konsep ini me-
mang tampak tidak relevan. Namun pada awalnya penerapan jam kerja menga-
kibatkan terjadinya culture shock di masyarakat di seluruh dunia. Di dalam
organisasi modern, kerja haruslah direncanakan dan diatur dalam jadwal yang
tepat. Mereka yang bisa bertahan di dalam rencana dan pengaturan tersebut
akan memperoleh kenaikan pangkat. Tentu saja semua ini membutuhkan kon-
trol. Dan menurut Drucker kontrol adalah bentuk kekuasaan.12
Banyak pemikir yang berpendapat, bahwa organisasi modern adalah sua-
tu bentuk alienasi (keterasingan). Orang menjadi tidak mengenal dirinya sendi-
ri, orang lain, dan hasil kerjanya, jika mereka bekerja di perusahaan-perusahaan
yang ditata secara modern. “Masyarakat modern”, demikian Drucker, “adalah
masyarakat pekerja dan akan tetap seperti itu.”13 Oleh karena itu relasi-relasi
kekuasaan di dalam pekerjaan pun tidak akan pernah hilang. Otoritas adalah
sesuatu yang sangat esensial di dalam organisasi modern. Dengan lugas da-
pat dikatakan, selama ada otoritas, selama itu pula ada relasi-relasi kekuasaan.
Otoritas adalah sesuatu yang inheren di dalam sistem organisasi modern yang
banyak digunakan sekarang ini.

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Jelaskan relasi antara kerja dan organisasi menurut pandangan Peter
Drucker! Berikan tanggapanmu terhadap pandangan tersebut!
2. Jelaskan dimensi fisiologis dan psikologis dari kerja! Berikan contoh secu-
kupnya!
3. Jelaskan dimensi ekonomis dan sosial dari kerja! Berikan contoh secuku-
pnya!
4. Jelaskan dimensi kekuasaan dan pengaruhnya bagi kehidupan manusia
yang bekerja! Berikan contoh secukupnya!
96 Menjadi Manusia Otentik

1 Lihat Drucker, Peter, Management: Tasks, Responsibilities, and Practices, New York: Tru-
man Talley Books, 1993.
2 Dikutip oleh Drucker, 1993, hal. 130.
3 Lihat, Magnis-Suseno, Franz, Kota dan Kerja, Jakarta: Rangkaian Studium Generale, 2009,
hal. 4.
4 Lihat, ibid, hal. 5.
5 Lihat, ibid, hal. 131.
6 Ibid.
7 Lihat, ibid, hal. 132.
8 Ibid, hal. 33.
9 Lihat, ibid, hal. 134.
10 Lihat, ibid.
11 Lihat, ibid, hal. 135.
12 Lihat, ibid, hal. 138.
13 Ibid.

-oo0oo-
BAB 10
MANUSIA DAN MASYARAKAT

P ada bab sebelumnya penulis sudah mengajak anda merefleksikan makna kerja di dalam ke-
hidupan manusia. Magnis-Suseno dan Drucker sependapat bahwa kerja pekerjaan merupakan
aspek yang sangat menentukan eksistensi diri manusia. Pada bab ini penulis ingin mengajak
anda untuk merefleksikan hubungan manusia dengan masyarakat melalui kerangka teori yang di-
rumuskan oleh Pierre Bourdieu. Sebagai acuan penulis terinspirasi terhadap tulisan Haryatmoko
tentang Bourdieu.1
Penulis mengajak anda untuk melihat koran Kompas Sabtu, 1 April 2006. Bukalah halaman
14, temukan sebuah artikel yang berjudul, “Sengketa ‘sosial” Terpicu Oleh Ke “kami” an”. Lihat pula
halaman 6 pada artikel yang berjudul “ Indonesia dan Suaka Politik Papua”, dan halaman 8, pada
artikel yang berjudul “Kepemilikan Saham untuk Etnis Melayu Ditingkatkan”. Nah, kini penulis me­
ngajak anda untuk mengambil jarak terhadap judul artikel-artikel tersebut, serta kemudian memper-
hatikan kata-kata yang penulis beri tanda bold diatas. Pertanyaan yang ingin penulis ajukan adalah,
apakah ada sesuatu yang dinamakan dengan ‘sosial”? Apakah sungguh-sungguh ada sesuatu yang
disebut sebagai ‘kami’? Apakah Indonesia dan Etnis Melayu, yang menandakan adanya kolektifitas
ini, sungguh-sungguh ada sebagai fakta, atau hanyalah sebuah hipotesa? Di dalam kosa kata yang
lebih abstrak, apakah ada sesuatu yang disebut sebagai kolektifitas manusia? Apakah kolektifitas
itu merupakan fakta atau hipotesa? Dengan lima pertanyaan ini, penulis berani berkata bahwa kita
telah menyinggung salah satu problem ‘abadi’ di dalam pergulatan pemikiran filsafat, yakni problem
tatanan.
Problematika tatanan dapatlah dikatakan merupakan salah satu problem filosofis terbesar
sepanjang sejarah filsafat. Problem tersebut tepat membedah sebuah pertanyaan, senada seperti yang
penulis tulis di paragraf sebelumnya, yang terkesan sangat aneh, yakni “mengapa ada kolektifitas
manusia?” Atau, jika dibahasakan dengan cara lain, yang lebih politis, mengapa masyarakat itu ada?
98 Menjadi Manusia Otentik

Bagaimana masyarakat itu terbentuk, dan apakah bentukan masyarakat terse-


but sebuah fakta atau hipotesa? Di telinga orang yang biasa menjalani hidup
kesehariannya secara familiar, pertanyaan tersebut kedengaran bodoh, dan
mengada-ada. Akan tetapi, di telinga seorang teoritikus ilmu-ilmu sosial, per-
tanyaan tersebut mengundang berbagai hipotesa jawaban, yang menyalakan
semacam discursive consciousness di dalam kepalanya. Discursive conscious-
ness ini seakan memaksa sang teoritikus untuk menunda semua pemikiran lain-
nya, dan memfokuskan diri untuk melihat fenomena tersebut. Jawaban yang
diberikan pun beragam. Ada yang berpendapat bahwa masyarakat itu tak lebih
dari sebuah hipotesa, yang sesungguhnya ada di kepala individu dalam bentuk
struktur, atau skema mental, dimana segala tindakan manusia dapat di­pahami
dengan mengacu kepada skema mental itu. Ada pendapat lain yang ingin,
katakanlah, “menyelamatkan” ontologi sosial dengan menekankan bahwa ma-
syarakat pada khususnya, dan kolektifitas manusia pada umumnya, memiliki
semacam status ontologi tertentu, yang tidak dapat direduksikan begitu saja
kepada “kepala” individu.
Mari penulis ambil sebuah contoh tentang bagaimana problematik tatan-
an ini dibedah oleh dua pemikir yang berbeda. Anthony Giddens berpendapat
bahwa yang namanya struktur, yakni skema mental yang membentuk tatan-
an dan memungkinkan tindakan sosial seseorang dapat dimengerti, dibentuk
melalui pemadatan, rutinisasi, dan konkretisasi tindakan sosial agensi secara
bersama dan cukup lama, sehingga memadat menjadi suatu struktur, dimana
segala bentuk tindakan agensi hanya dapat dimengerti daripadanya. Contohnya
adalah sistem bahasa. Di dalam berbahasa, seorang agensi selalu sudah meng-
gunakan kosa kata dan gramatikal bahasa tertentu dimana dia hidup. Artinya,
tindakan berbahasa agensi tersebut hanya dapat dimengerti, jika sistem bahasa
sudah diandaikan ada. Kata-kata
���������������������������������������������������������
orang tersebut, gaya kalimatnya, tidak akan da-
pat dimengerti, jika tidak ada sistem bahasa. Akan tetapi, sistem bahasa tersebut
juga diciptakan melalui proses yang lama dan rutin dari para agensi, yang ber-
komunikasi satu sama lain dengan menggunakan bahasa. Maka, sistem bahasa,
alih-alih dipandang memiliki status ketetapan ontologis tertentu, justru lebih
dipandang berada di dalam “kepala” agensi, karena sewaktu-waktu kosa kata
dan gramatikal bahasa tersebut dapat berubah tergantung kepada penggunaan
bahasa tersebut oleh agensi. Teori ini dapat menjelaskan bagaimana tercipta-
nya bahasa-bahasa “slank”, yang notabene berkembang baru-baru ini di dalam
sistem bahasa yang kita gunakan. Dengan demikian, bagi Giddens, struktur
tersebut lebih merupakan hasil dari tindakan agensi di dalam ruang dan waktu
tertentu, maka terletak di dalam “kepala pelaku”.
Manusia dan Masyarakat 99

Kita akan menemukan tesis yang berbeda pada Roy Bhaskar. Bagi dia,
kolektifitas manusia memiliki status ontologinya sendiri yang tetap, dan tidak
me­lulu terpengaruh oleh agensi. Di samping itu, ia juga berpendapat bahwa
agensi juga memiliki ontologi tersendiri, yang tidak juga melulu dapat dilekat-
kan kepada kolektifitas, atau struktur. Ontologi struktur dan agensi ini saling
berkaitan satu sama lain. Artinya, yang satu hanya dapat dipahami, jika ada
yang lain. Individu sudah selalu menemukan dirinya dalam konteks kolektifi-
tas tertentu. Begitu pula, kolektifitas juga sudah selalu mengandaikan adanya
individu-individu yang berinteraksi di dalamnya. Agensi berbahasa hanya da-
pat dipahami, jika sistem bahasa telah terlebih dahulu ada. Begitu juga seba-
liknya, bahasa tidak ada dari kekosongan, melainkan keterulangan dan ruti-
nisasi praktek agensi, yang menggunakan bahasa untuk berkomunikasi satu
sama lain. Individu sudah selalu ada dan berkembang di dalam suatu struktur
masyarakat tertentu. Begitu pula masyarakat tidak akan pernah dapat dipahami,
jika tidak ada keterulangan praktek kolektivitas individu, yang berdinamika di
dalam masyarakat tersebut. Ontologi Bhaskar disini dapatlah dipahami sebagai
ontologi yang bersifat relasional.
Pertanyaan yang kiranya tetap menggantung di kepala kita adalah, apakah
masyarakat itu fakta, atau hipotesa? Jika mengikuti main stream yang pertama,
yakni Giddens, masyarakat itu adalah sebuah hipotesa, yang ada di dalam “ke-
pala” individu. Sementara itu, main stream yang kedua akan mengatakan ba-
hwa masyarakat memiliki dimensi ontologisnya sendiri, yang memungkinkan
ia berdiri sebagai sebuah fakta yang cukup padat. Lalu, apakah ada pemikiran
yang dapat mendamaikan dua main stream tersebut?
Pada kesempatan ini, penulis akan berupaya untuk menjawab pertanyaan
tersebut dengan menggunakan perspektif Pierre Bourdieu tentang habitus, ka-
rena, menurut penulis, tesis Boudieu tentang habitus sedikit banyak merupakan
tesis yang paling memadai untuk memberikan sintesa terhadap problematika
tatanan. Penulis juga akan berangkat dari suatu kegelisahan yang terjadi, ke-
tika banyak orang salah menafsirkan Bourdieu, setidaknya kesalahan penafsiran
yang terjadi di ruang kelas pasca sarjana STF Driyarkara. Begini, tesis Bour-
dieu tentang habitus banyak disalahpahami sebagai salah satu tesis yang me­
nekankan pentingnya struktur, daripada peran agensi, sehingga agensi tampak
tidak memiliki kebebasan, ataupun daya kreatif tertentu. Pada paper ini, selain
mau menjawab pertanyaan, apakah masyarakat itu fakta atau hipotesa, penulis
juga ingin meninterpretasi ulang penafsiran atas tesis Bourdieu tentang habitus
dengan menunjukkan bahwa tesisnya membuka peluang bagi proses kreativitas
dan kebebasan individu. Pada Bourdieu, kebebasan dan kreativitas tidaklah di-
100 Menjadi Manusia Otentik

pahami secara filosofis, yakni sebagai kebebasan yang dapat murni mengambil
jarak, lalu kemudian menciptakan refleksi dan terobosan baru dari pengambil­
an jarak tersebut, melainkan lebih secara “realistis”. Dalam arti, kebebasan dan
kreativitas manusia dalam memilih hanyalah mungkin, jika apa yang dipilihnya
sudah terkandung di dalam habitus lingkungan sosialnya, yang tidaklah tung-
gal, dan bukan sesuatu yang “tiba-tiba muncul bagaikan wahyu dari Tuhan”.
Argumen ini akan penulis kembangkan di seluruh tulisan ini.
Untuk menjawab dua pertanyaan itu secara sistematis, tulisan ini akan
dibagi menjadi empat bagian. Pertama akan dibahas tentang latar belakang
dari ciri khas pemikiran Bordieu. Bagian kedua akan membahas sejauh mana
Bordieu mampu mengatasi dikotomi antara agensi dan struktur, individu dan
masyarakat. Bagian ketiga akan mencoba untuk memberikan tanggapan kritis
terhadap tesis Bordieu tersebut. Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan,
sekaligus sebuah kemungkinan jawaban atas pertanyaan yang membingkai
seluruh tulisan ini, apakah masyarakat itu fakta, atau hipotesa?

Latar Belakang dan Ciri Khas Pemikiran Bordieu


Pierre Bourdieu adalah seorang sosiolog Perancis dengan latar belakang
pendidikan dan pemikiran filsafat yang sangat kuat. Ia lahir di Denguin, Pyrenia
Atlantik, Perancis, di sebuah keluarga sederhana. Ayahnya adalah seorang pe-
gawai pos. Ketika muda, Bordieu berhasil memulai pendidikan dengan belajar
di lycēe di Pau, kemudian lycee Louis-le-Gand (Paris), menuju fakultas sastra
di Paris, dan akhirnya di Ecole Normale Superieure pada 1951. Pada 1955, ia
mendapat agregasi filsafat, dan kemudian diangkat menjadi pengajar di lycee
Moulins. Ia kemudian menikah, dan dikaruniai tiga anak laki-laki pada 1962. Ia
berpindah-pindah, dan mengajar di fakultas Sastra di Alger 1958-1960, di Lille
1961-1964, dan sejak 1964 di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales
(EHESS). Di sana, ia menjabat sekaligus direktur studi, dan direktur pusat ka-
jian sosiologi Eropa, serta majalah Actes de la Reserche en Sciences Sociales
(ARSS), yang didirikannya sejak 1975. Ia diangkat sebagai pakar sosiologi di
College de France pada 1981. Pada 1993, pusat penelitiannya menerima me-
dali emas dari CNRS (Pusat Riset Ilmiah Nasional). Pierre Bordieu meninggal
pada 23 Januari 2002.
Sebagai seorang intelektual, ia sangat aktif terlibat di dalam gerakan-ge-
rakan sosial dan politik. Ia memberontak terhadap mekanisme-mekanisme do-
minasi sosial, serta membela kelompok-kelopok yang terpinggir dan tertindas.
Salah satu bentuk keterlibatannya adalah ia memimpin sebuah komisi, yang
Manusia dan Masyarakat 101

merefleksikan tentang isi pengajaran di sekolah seturut dengan permintaan pre-


siden Francois Miterrand. Ia mendukung aksi yang dipelopori mahasiswa dan
siswa SMU, yang menentang adanya kebijakan seleksi masuk universitas. Pada
tahun 1995, ketika terjadi pemogokan umum, ia juga ikut mengambil bagian
untuk mendukung para pemogok. Bahkan, ia menandatangani petisi pada Ma-
ret 1996 untuk melakukan pembangkangan sipil melawan hukum pasqua, yang
memperkeras legislasi imigrasi. Masih ada sederetan riwayat keterlibatan Bor-
dieu lainnya.2
Secara umum, Bordieu ingin melontarkan kritik terhadap dampak-dam-
pak negatif pemerintahan sosialis di Perancis, dan menggiringnya untuk kem-
bali menyimak pemikiran-pemikiran kiri. Ia bahkan menggalang sebuah gera-
kan untuk menantang para pakar, wartawan, dan cendekiawan lainnya, yang
telah menjadi kaki tangan dari neo-liberalisme. Oleh karena itu, ia mendirikan
penerbitan Liber, dan dokumentasi Raison d’agir, yang berisi tulisan-tulisan
pendek yang kritis, seperti dalam terbitan contre-feux, yang mati-matian me-
nentang invasi neo-liberalisme. Di Millau, pada Juni 2000, ia berpartisipasi da-
lam pembentukan jaringan Forces critiques et progressistes (kekuatan-kekuatan
kritis dan progresif) untuk berjuang menentang globalisasi ekonomi.3 “Penulis
sendiri adalah korban dan moralisme bebas nilai,” tulis Bordieu, “seakan-akan
yang ilmiah tidak memiliki implikasi politik. Lalu penulis menahan diri untuk
tidak terbawa pada konsekuensi penelitian penulis, dan ternyata keliru. Melalui
pengalaman dan tekanan urgensi politik, penulis didorong untuk ikut campur
tangan dalam ranah politik. Seakan-akan orang bisa berbicara tentang ranah
sosial tanpa terlibat di dalam politik.”4
Lalu, apa yang sesungguhnya menjadi ciri khas pemikiran Bordieu? Anda
mungkin sudah mencium arahnya, yakni bahwa setiap bentuk pemikiran, re-
fleksi, dan “teks” haruslah merealisasikan rumusannya menjadi suatu tindakan
nyata. Perjalanan intelektual Bordieu diwarnai dengan perubahan arah dari fil-
safat menuju sosiologi. Perubahan ini justru sangat dipengaruhi oleh keprihati-
nan mendasar Bordieu pada lingkup sosial dan hasratnya yang berkobar-kobar
untuk mendorong perubahan. Pengalaman masa kecilnya hidup di dalam ke-
lompok sosial yang didominasi membuatnya mampu untuk melihat elemen-
elemen kehidupan sosial yang tidak dilihat oleh intelektual lainnya. Di samping
itu, ia juga menolak jika dikatakan bahwa refleksi filosofis-sosiologisnya meru-
pakan proyeksi kebencian kelas yang diakibatkan oleh masa lalunya. Diskursus
yang terjadi di kalangan akademis ilmu-ilmu sosial Perancis membuatnya sam-
pai pada pendapat bahwa teks haruslah tidak steril, teks harus bermetamorfosis
menjadi tindakan. Sosiologinya mencoba untuk juga memberikan kontribusi di
102 Menjadi Manusia Otentik

dalam problematika tatanan dengan berupaya menjembatani dikotomi antara


individu dan masyarakat, pelaku dan struktur. Begini, di satu sisi, tesis Bordieu
mendasarkan praktek individu dan kolektif pada konsep habitus, bagian ini
akan dijelaskan di bab berikutnya, yang juga dibangun dalam konteks sejarah
individual dan kolektif. Di sisi lain, ia juga berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial
juga harus menerapkan prinsip-prinsip ilmiah di dalam pendekatan maupun
refleksinya.
Radikalisme Bourdieu dalam merefleksikan ranah sosial, yang juga di-
dampingi dengan ketajaman serta keketatan analisa berpikir, tampak dalam
kutipan berikut, “tidak dapat disangkal bahwa perubahan yang tengah terjadi
untuk sampai ke sosiologi bukannya tidak ada hubungannya dengan arah jalur
kehidupan sosial penulis... di Perancis, kenyataan bahwa penulis berasal dari
sebuah propinsi terpencil, terutama karena terletak di Selatan Loire, mencipta-
kan sebuah kesan yang tidak terlalu berbeda dengan situasi kolonial. Hubung­
an eksterioritas antara subyektif dan obyektif sangatlah khusus dengan institusi
pusat masyarakat Perancis khususnya dunia intelektual. Ada semacam suasana
rasisme sosial yang tidak dapat membuat suatu kejernihan berpikir: dengan se-
lalu diingatkan rasa keterasingannya memungkinkan melihat halaman-halaman
orang lain yang tidak dapat melihat atau merasakannya.... Halaman ini untuk
mengatakan bahwa benar penulis merupakan alumnus Ecole Normale Supe-
rieure yang mengkhianatinya..”5

Konsep Habitus: Upaya Teoritis untuk Menjembatani Dikotomi Antara


Pelaku dan Struktur
Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemikiran Bourdieu membuka
semacam lembaran baru di dalam sosiologi. Lembaran baru ini akan semakin
tampak, jika kita membandingkan pemikiran sosialnya dengan beberapa ben-
tuk pemikiran sosial lainnya di Perancis. Patrick Bonnewitz membuat semacam
pembagian aliran pemikiran sosial yang berkembang di Perancis. Pembagian
tersebut tentunya sangat membantu kita untuk melihat seberapa jauh Bourdieu
mengajukan sesuatu yang baru.6 Di samping pemikirannya, ada satu tesis sosio-
logi yang tengah berkembang, yakni individualisme-metodologi, yang dirumus­
kan oleh Raymond Bourdon. Di dalam bukunya yang berjudul La logique du
social pada 1979, menurut Bourdon, fenomena sosial apapun selalu merupa-
kan hasil dari tindakan-tindakan individual. Maka dari itu, logika tindakan ha-
ruslah dicari pada sisi rasionalitas tindakan para pelakunya. Pendekatan seperti
ini tidak terlalu berbeda dengan pendekatan ekonomi klasik. Bourdieu, dengan
Manusia dan Masyarakat 103

konsep habitusnya, tidak akan menerima pemisahan ketat semacam ini, yakni
antara pelaku sosial dari struktur-struktur yang melingkupi pelaku tersebut.
Model kedua yang juga menjadi latar dari pemikiran Bourdieu adalah
aksionalisme Alan Touraine. Pendekatan ini memfokuskan dirinya pada gerak­
an-gerakan sosial, serta dampak gerakan sosial tersebut di dalam perubahan
sosial. Di dalam bukunya yang berjudul Le retour de l’acteur pada 1984, Tou-
raine berpendapat bahwa gerakan-gerakan sosial merupakan obyek yang khas,
sekaligus masalah yang sentral dalam analisis sosiologi. Dalam konteks ini, ia
membedakan antara konsep gerakan sosial, perjuangan kelas, dan perilaku ko-
lektif. Ada baiknya kita sedikit menyimak pendapat Touraine ini.
Pembedaan Touraine ini didasarkan atas pemahaman bahwa ada tiga
konflik sosial. Perilaku kolektif adaah tindakan-tindakan konfliktual, yang dipa-
hami sebagi upaya untuk mengadaptasi ataupun merekonstruksi berbagai un-
sur yang patologis di dalam sistem sosial, seperti nilai, norma, relasi kekuasaan
yang tidak seimbang, ataupun masyarakat sendiri. Sementara itu, perjuangan
kelas tindakan sosial yang berfungsi sebagai mekanisme perubahan sebuah ke-
putusan politis, yakni sebagai agen dari perubahan, atau sebagai kekuatan po-
litik baru. Sedangkan, gerakan sosial terjadi, jika tindakan konfliktual tersebut
diarahkan untuk mengubah hubungan dominasi sosial, yang terletak dalam
sumber daya budaya, seperti produksi, pengetahuan, dan norma-norma etika.7
Model sosiologi yang dikembangkan Touraine ini masih cenderung menekan-
kan pelaku sosial sebagai penentu. Hal ini tentunya akan berbeda dengan pen-
dekatan Bourdieu, yang juga melihat bahwa posisi-posisi, perilaku, gaya hidup,
dan bahkan selera pelaku juga selalu terkait dengan ruang dan waktu masyara-
kat tertentu, yang memang secara konkret ditempati oleh pelaku tersebut.
Model sosiologi lainnya adalah pendekatan strategis dari Michael Cro-
zier. Ia menekankan analisis terhadap hubungan-hubungan kekuasaan serta
relasi antara organisasi. Kekuasaan para pelaku sosial, yang diperolehnya dari
rasionalitas yang sangat terbatas, terletak pada kebebasan mereka. Akan tetapi
kebebasan tersebut bukanlah satu pihak, melainkan juga sangat tergantung se-
cara dialektis dengan strategi yang diterapkan lawannya, yang juga mempunyai
kebebasan. Oleh karena itu, keberhasilan strategi pelaku sangat ditentukan oleh
strategi yang dilakukan oleh pelaku yang lain, yakni lawannya. Pemikiran Cro-
zier akhirnya berkembang. Dia tidak lagi menekankan dialektika antara pelaku
yang satu dengan pelaku yang lain, atau lawannya. Di dalam buku yang ditulis-
nya bersama dengan Erhard Friedberg dengan judul L’acteur et le systeme pada
1977, ia mencoba menjelaskan dialektika antara pelaku dan sistem secara lebih
memadai, yakni struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan, dikembangkan,
104 Menjadi Manusia Otentik

dipertahankan, dan diubah oleh para pelaku sosial. Sebaliknya, walaupun pe-
laku sosial memiliki kebebasan, tetapi ia juga masih dikondisikan oleh struktur-
struktur tersebut. Mirip dengan pendekatan Giddens, dimensi dualitas perilaku
dan struktur masih sangat kuat disini.
Pada pemikiran Bourdieu, ada upaya untuk menyatukan kedua unsur ter-
sebut. Oleh karena itu, pendekatannya juga dikenal sebagai strukturalisme-ge-
netis, yakni analisis atas struktur-struktur obyektif, yang tidak dapat dipisahkan
dari analisis atas struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis, yang
sebagiannya merupakan produk dari struktur-struktur sosial, serta analisis atas
asal usul struktur sosial itu sendiri. Secara gamblang dapatlah terlihat bahwa
Bourdieu berupaya membuka cakrawala baru dalam menganalisis masyarakat.
Untuk dapat mengerti secara menyeluruh tentang konsep habitus, kita
juga harus sudah mengandaikan bentuk epistemologi sejarah yang dapat
mengungkapkan relevansi praktis suatu bentuk diskursus.8 Konsep habitus ini
memberikan suatu bentuk koherensi antara masyarakat dan pelaku. Ia, konsep
habitus, menjadi perantara antara individu dan kolektifitas. Konsep habitus me-
mungkinkan kita untuk mengerti bagaimana pelaku turut membentuk struktur
sosial, namun logika tindakannya tetap berpijak di dalam struktur sosial yang
telah ada. “Gaya hidup”, demikian Bourdieu, “dipahami sebagai keseluruhan
selera, kepercayaan dan praktek sistematis yang menjadi ciri suatu kelas, ...di
dalamnya terdapat opini politik, keyakinan filosofis, keyakinan moral, selera
estetis, dan juga makanan, pakaian, budaya..”9 Itulah yang dimaksud Boudieu
sebagai habitus.
Lalu, bagaimana habitus ini bisa terbentuk, dan kemudian diwariskan?
Menurut Bourdieu, habitus di dalam suatu kelas tertentu terbentuk melalui pro-
ses sosialisasi. Artinya, reproduksi tatanan sosial terjadi dengan bertitik tolak
dari konsep habitus ini. “Setiap sistem disposisi individu” demikian Bourdieu,
“adalah variabel struktural sistem disposisi yang lain, dimana terungkap kekha-
san posisinya di dalam kelas dan arah yang dituju. Gaya pribadi, praktik-praktik
kehidupan ataupun hasil karya, tidak lain kecuali suatu jarak terhadap gaya
khas suatu jaman atau suatu kelas, sehingga gaya itu mengacu kepada gaya
umum, tidak hanya melalui keseragaman, tetapi juga melalui perbedaan yang
menghasilkan pembawaan tertentu.”10
Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian, yang dikait-
kan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Hasil dari suatu bentuk ha-
bitus adalah sistem-sistem disposisi yang relatif permanen, dan dapat diwa-
riskan. Habitus juga menghasilkan struktur-struktur yang dibentuk, sekaligus
Manusia dan Masyarakat 105

juga membentuk pelaku, yakni yang menjadi prinsip penggerak dan pengatur
praktek-praktek sosial. “Hasil suatu habitus”, tulis Bourdieu, “adalah sistems-
sistem disposisi yang tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang
dibentuk, yang dimaksudkan juga berfungsi sebagai struktur yang membentuk;
artinya menjadi prinsip penggerak dan pengatur praktek-praktek hidup dan
representasi-representasi, yang dapat disesuaikan dengan tujuan-tujuan tanpa
mengandaikan pengarahan tujuan secara sadar dan penguasaan secara sengaja
upaya-upaya yang perlu untuk mencapainya, secara obyektif diatur dan teratur
tanpa harus menjadi buah dari kepatuhan akan aturan-aturan dan secara kolek-
tif diselaraskan tanpa harus menjadi hasil dari pengaturan seorang dirigen.”11
Habitus merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis, ti-
dak selalu disadari, dan kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan
yang kelihatannya alamiah, serta berkembang dalam suatu lingkungan sosial
tertentu.12 Dalam proses pembentukan ketrampilan tersebut, struktur-struktur
yang dibentuk berubah menjadi struktur-struktur yang membentuk. Begini con-
tohnya, seorang pianis baru dapat mulai membuat sebuah komposisi secara
kreatif dan orisinil, setelah ia cukup lama melatih diri, dan kemudian mengua-
sai aturan-aturan dalam komposisi dan harmoni tersebut. Nah, hanya setelah ia
mulai membatinkan tanda-tanda dan pembatasan musikalah (struktur-struktur
yang sudah dibentuk), sang pianis tersebut dapat menyusun sebuah komposisi,
mencipta, dan berimprovisasi melampaui komposisi yang sudah ada (struktur-
struktur yang membentuk).
Hal yang sama juga terjadi dalam konteks penguasaan bahasa, penuli-
san, ataupun pemikiran. Seorang seniman, sastrawan, penulis, ataupun pemikir
mampu menciptakan karya-karya jenius mereka, karena tidak lagi menyadari
tanda-tanda ataupun gaya, yang sudah dipadatkan dan terintegrasi di dalam
dirinya. Dengan begitu, kebebasan kreatif yang sering diagung-agungkan oleh
para jenius, sesungguhnya, merupakan hasil dari pembatasan struktur-struktur.
Dengan demikian, habitus juga berfungsi sebagai sumber penggerak tindakan,
pemikiran, ataupun representasi.
Habitus juga merupakan kerangka penafsiran untuk memahami dan me-
nilai realitas, sekaligus juga penghasil praktek-praktek kehidupan yang mem-
bentuk dan menyesuaikan diri dengan struktur-struktur obyektif. Dua hal ini
sama sekali tidak bisa dipisahkan. Kepribadian seseorang didasarkan pada ha-
bitusnya. Pembentukan dan berfungsinya habitus dapat dibayangkan sebagai
sebuah lingkaran, yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Di satu sisi, habitus
sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku manusia, di sisi lain,
perkembangan dan lahirnya habitus menyandarkan dirinya pada improvisasi
106 Menjadi Manusia Otentik

struktur aturan yang ada, jadi bukan pada kepatuhan pada struktur maupun atu-
ran yang sudah ada. Dengan demikian, di dalam habitus, ada dua gerak timbal
balik, yakni pertama adalah struktur obyektif yang dibatinkan, kedua adalah
gerakan subyektif, seperti persepsi orang, evaluasi, yang menyingkapkan ha-
sil dari pembatinan. Dalam konteks inilah proses sosialisasi dapat lebih jelas
dipahami. Habitus disini mengandaikan seluruh proses pembatinan, dimana
dengan cara itu, setiap individu membuka dan melatih diri dalam hubungan-
hubungan sosial, nilai-nilai, serta keyakinan masyarakat dimana dia hidup.
Nilai dan norma yang ada di masyarakat akan membentuk habitus yang
berupa etos. Artinya, habitus berupa etos tersebut akan membentuk individu
dengan prinsip-prinsip atau nilai-nilai yang dipraktekkan, juga dengan bentuk
moral yang diinternalisasikan dan tidak disadari, namun membentuk perilaku
sehari-hari. Begini, ambil contoh tentang sifat yang terdapat di dalam diri se-
seorang, seperti rajin, ulet, jujur, licik, cerdas, berani, dan murah hati, yang
merupakan habitus berupa etos, dan terbentuk dari proses ketimbalbalikan an-
tara diri dengan komunitas dimana individu itu hidup. Ada bentuk habitus lain,
yakni habitus badaniah. Habitus badaniah berhubungan dengan sikap ataupun
posisi khas tubuh, disposisi badan, yang kesemuanya itu dipelajari dan diin-
ternalisasikan oleh seorang individu ke dalam dirinya melalui proses seumur
hidupnya, seperti kebiasaan berjalan tegak, mudah bergaul, mata yang selalu
memandang ke bawah, dan sebagainya.
Dimensi pertama habitus tersebut terdiri dari dialektika hubungan antara
yang subyektif, pada individu, dengan yang obyektif, pada struktur komunali-
tas. Di samping itu, dimensi pertama habitus ini juga terdiri dari dimensi prak-
seologis, yang merupakan orientasi sosial, dan dimensi afeksi, seperti cita-cita,
selera, dan sebagainya. Dua dimensi ini menggambarkan adanya semacam dis-
posisi seseorang atau suatu kelas sosial, yang turut serta menentukan arah
orientasi sosial, cita-cita, selera, cara berpikir, etos, dan sebagainya. Yang di-
maksud dengan disposisi itu adalah sikap, kecenderungan dalam mempersepsi,
merasakan, melakukan, dan berpikir, yang diinternalisasikan oleh seorang in-
dividu sebagai akibat dari interaksi dengan masyarakatnya. Selain itu, disposisi
juga berfungsi sebagai prinsip tak sadar dari semua tindakan, persepsi, dan re-
fleksi. Dengan demikian, disposisi yang sudah ada sebelumnya akan juga turut
menentukan bentuk-bentuk terciptanya disposisi-disposisi yang baru.
Dalam konteks problematika tatanan, habitus dapatlah dipandang seba-
gai struktur internal yang selalu berada dalam pembentukan terus menerus.
Jadi, segala bentuk praktek sosial yang dilakukan manusia tidak sepenuhnya di-
Manusia dan Masyarakat 107

tentukan, karena pelaku bisa memilih, tetapi juga tidak sepenuhnya bebas, ka-
rena segala pilihan yang tersedi ditentukan oleh habitus. Nah, manusia, dengan
tidak lagi perlu untuk mencari makna ataupun menyadari makna dari tinda-
kannya, memiliki habitus, yang mampu menggerakan, mengorientasikan, serta
membuatnya bertindak sesuai dengan posisi yang ditempatinya dalam lingkup
sosial, yang juga sesuai dengan logika ruang dan situasi sosial yang melingku-
pinya. Akan tetapi, harus juga disadari bahwa disposisi yang dimiliki manusia
bukanlah sesuatu yang terberi, atau terbentuk, begitu saja serta mudah diubah
sesuai dengan situasi dan kebutuhan, melainkan juga memiliki suatu unsur in-
ertia yang mewarnainya. Mari kita lihat apa yang telah ditulis oleh Bourdieu.
“Hal ini (habitus-RAW) tampak dari pilihan terhadap tempat, peristiwa, mau-
pun orang yang dikunjungi, habitus cenderung melindungi diri terhadap krisis
dan dari yang mempertanyakan secara kritis dengan menjamin diri dalam ling-
kungan yang sedapat mungkin sudah disesuaikan, artinya dunia yang cukup
stabil yang akan semakin memperteguh diposisi-disposisinya.”13
Konsep tentang habitus ini dirsumuskan dengan tujuan untuk mengatasi
dualisme kebebasan dan determinisme manusia. Di satu sisi, konsep ini tidak­
lah terlepas dari suatu bentuk determinisme yang seolah-olah ‘mengurung’
tindakan-tindakan manusia dalam tonggak-tonggak pembatas. Di sisi lain, kon-
sep habitus ini juga membuka peluang bagi konsep individu otonom yang be-
bas dan rasional. Begini penjelasannya, setiap orang selalu sudah dikondisikan
oleh lingkungannya. Semua tindakannya diarahkan oleh rutinitas tindakannya.
Akan tetapi, kebiasaan kita dalam bekerja dapatlah dibayangkan sama seperti
sebuah program yang memiliki kemampuan kreatif dan strategis, dan eksis di
dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Bourdieu sendiri menyatakan, “sebagai
skema pendorong yang diperoleh, habitus memungkinkan kreatifitas pemikir­
an, seluruh persepsi dan tindakan yang tercetak dalam pembatasan yang mele-
kat pada kondisi khas produksinya. Sebagai kemampuan pendorong yang tak
terbatas namun juga dibatasi, habitus mencoba untuk mengatasi determinisme
dari kebebasan, pengkondisian dan kreatifitas, kesadaran dan ketaksadaran,
atau individu dan masyarakat.”14
Rumusan tersebut terkesan sangat rumit. Akan tetapi, walaupun dengan
resiko reduksi yang cukup besar, kita bisa menjaring esensi rumusan tersebut,
yakni habitus sebagai gugus kebiasaan yang melingkupi keseharian individu
di dalam rutinitasnya. Habitus adalah gugus kebiasaan. Akar katanya adalah
bahasa Latin, yang berarti kebiasaan, pembawaan, atau penampilan diri. Ke-
semuanya mau menunjuk kepada kecenderungan atau pembawaan diri yang
telah menjadi insting perilaku dan telah mendarah daging, yakni semacam
108 Menjadi Manusia Otentik

pemadatan dari cara kita merasa, memandang, mendekati, bertindak, ataupun


berinteraksi dalam kondisi suatu masyarakat sehari-hari. Dalam arti ini, habitus
dapat digunakan secara netral, baik untuk gugus kebiasaan terpuji maupun ter-
cela.15 Nah, sebagai pemadatan dari kebiasaan kita dalam merasa, memandang,
bertindak, dan berinteraksi, habitus memiliki sifat spontan serta tidak disadari
perilakunya, sehingga kurang juga disadari apakah kebiasaan itu baik atau ti-
dak. “Orang” demikian Herry Priyono, “tidak sadar akan habitusnya, sebagai-
mana orang tidak sadar akan bau mulutnya.”16

Tanggapan Kritis Atas Pemikiran Bourdieu


Marilah kita sedikit mengambil jarak terhadap apa yang telah dirumus-
kan oleh Bourdieu. Di dalam keseluruhan pemikiran Bourdieu, konsep habitus
sesungguhnya mau menjelaskan mengapa individu di dalam masyarakat bert-
indak sesuai dengan skema yang sudah ada sebelumnya, serta cenderung untuk
mereproduksi relasi-relasi sosial, yang ditandai dengan adanya dominasi kelom-
pok tertentu terhadap kelompok yang lain. Dalam hal ini, sistem disposisi yang
telah berlangsung lama dan dapat diwariskan pada setiap individu merupakan
faktor yang menentukan serta melanggengkan secara tidak disadari. Menurut
Bourdieu, ada habitus individual, sekaligus ada habitus kelas. Yang menjadi
tanggapan kritis utama dalam tesis ini adalah bahwa kesatuan disposisi-dispo-
sisi, proses keberlangsungannya selama hidup, serta pengaruhnya terhadap ke-
hidupan sehari-hari, yang tidak selalu tunggal, searah, dan sama. Kita harus
lebih jeli melihat “gugus kebiasaan” yang tengah berlangsung di dalam ruang
publik masyarakat kita. Dengan kata lain, sesungguhnya ada berbagai sumber,
dimana orang bisa dibentuk, mempelajari, serta ikut membentuk habitus yang
ada, seperi keluarga, sekolah, kerja, dan media. Pola sosialisasi di dalam kelu-
arga misalnya, proses interaksi dan sosialisasi di dalam keluarga bukanlah pro-
ses sosialisasi yang homogen, tetapi mosaik, dimana ayah bisa saja tidak bisa
membaca, ibu adalah dosen universitas, anak perempuan adalah murid SD,
dan anak-anak lainnya yang juga mungkin berhasil, atau mungkin tidak, dalam
proses belajarnya. Yang mau dikatakan disini adalah bahwa yang mempenga-
ruhi seseorang berasal dari relasi-relasi yang beragam, yang mosaik, sehingga
menjanjikan masa depan yang juga sangat beragam. Dengan demikian, orang,
dalam sebuah keluarga, dapat melewati proses sosialisasi yang begitu beragam,
walaupun posisi awal keluarga dalam hirarki sosial sama pada awalnya.17 Proses
sosialisasi yang mosaik tersebut menciptakan habitus yang juga mosaistis, yang
terpecah, berbeda-beda, sehingga hampir tidak dapat dikelompokan dalam satu
konsep, yakni habitus kelas tertentu, ataupun habitus individual tertentu.
Manusia dan Masyarakat 109

Selain itu, konsep habitus yang dirumuskan dan dielaborasi secara brilian
oleh Bourdieu juga tampak jatuh pada satu sisi, yang mewarnai perdebatan fi-
losofis “abadi” dalam konteks problematika tatanan. Sisi itu adalah mereka-me-
reka yang terlalu menitikberatkan pada struktur. Begini, pandangan Bourdieu
tentang perilaku sosial terlalu menitikberatkan pada determinisme budaya kelas
asalnya, status sosialnya, dan posisinya di dalam strata sosial. Kesan determinis
ini semakin terlihat, ketika ia menyatakan bahwa habitus berfungsi seperti pro-
gram yang memungkinkan adanya ruang bagi kreativitas. Akan tetapi, pembe-
laan bahwa individu ataupun pelaku memiliki kreativitas belumlah mencukupi
untuk menujukkan kemandirian subyek. Subyek disini, meskipun merupakan
hasil dari pengkondisian di dalam masyarakat, dianggap tetap dapat berperan
sebagai sumber bagi perubahan sosial, serta kebebasan politik. Hal ini tentunya
sebuah konsistensi internal di dalam pemikiran Bourdieu. Pelaku sosial yang
sudah terbawa arus otomatisme tindakan tidak akan dapat mengembangkan
kemampuan refleksi yang sama, yang dimiliki oleh pengamat dari luar. Dengan
kata lain, momen pengambilan jarak dan refleksi untuk mengevaluasi praktek-
praktek sosial mutlak diperlukan, sehingga kemungkinan-kemungkinan baru
dapat dikembangkan. Momen pengambilan jarak inilah yang agak lemah di
dalam pemikiran Bourdieu.
Selanjutnya, setelah mengikuti penjelasan di atas, marilah kita mengke-
rucutkan seluruh tulisan ini untuk menjawab pertanyaan yang penulis ben-
tangkan di bagian awal, yakni apakah ada sesuatu yang dinamakan dengan
‘sosial”? Apakah sungguh-sungguh ada sesuatu yang disebut sebagai ‘kami’?
Apakah Indonesia dan Etnis Melayu, yang menandakan adanya kolektifitas ini,
sungguh-sungguh ada sebagai fakta, atau hanyalah sebuah hipotesa? Dengan
menimba dari pemikiran Bourdieu, lepas dari kritik yang sudah penulis jelaskan
di bab sebelumnya, dapatlah disimpulkan bahwa kekamian, sosial, Indonesia,
Etnis Melayu, masyarakat, atau dalam terminologi yang lebih abstrak, kolekti-
fitas, itu memiliki unsur inertia yang cukup keras, sehingga tidak dapat melulu
direduksi ke dalam “kepala” pelaku, seperti pendapat Anthony Giddens. Unsur
inertia itu tampak dari kemampuan dimensi kolektifitas manusia untuk mende-
terminasi kepelakuan dari individu di dalam komunitas. Akan tetapi, unsur iner-
tia tersebut bukanlah unsur yang mati, atau stagnan, melainkan merestrukturasi
dirinya dalam bentuk perubahan habitus, penciptaan habitus baru, yang terjadi
akibat proses interaksi antara pelaku yang kontinu, dan memiliki ruang untuk
mengembangkan kreativitasnya. Artinya, agensi dapat melakukan perubahan
dan proses kreativitasnya dalam konteks habitus yang sudah ada di masyarakat.
Ia dapat memilih, tetapi pilihan itu bukanlah tak terbatas seolah-olah ia lepas
110 Menjadi Manusia Otentik

dari ruang dan waktu konteks sosialnya, melainkan terbatas pada konteks habi-
tus yang sudah ada di dalam masyarakat, tempat dimana ia lahir dan berkem-
bang. Penulis ambil contoh seorang komponis musik, yang berniat menggubah
sebuah komposisi musik baru. Kebaruan komposisi tersebut hanya mungkin,
jika sang komponis sudah terlebih dahulu menguasai aturan dasar permainan
piano pada umumnya, dan tidak bisa tidak. Kebaruan dan kreativitas datang,
ketika sang komponis mencoba menggabungkan berbagai jenis gaya bermain
piano yang sudah ia ketahui, disini habitus yang bermacam-macam adalah gaya
bermain piano yang bermacam-macam, dan kemudian merekomposisikannya
secara padat. Itulah kebaruan dan kreativitas, yakni sebagai kompilasi padat
berbagai habitus yang sudah ada sebelumnya, dan bukan habitus baru, yang
seolah-olah jatuh dari langit.
Tesis ini, menurut penulis, tampak cukup seimbang, terutama untuk ikut
berpartisipasi di dalam debat tentang problematika tatanan. Akan tetapi, seperti
penulis sudah katakan diatas bahwa problematika tatanan ini merupakan salah
satu problem “abadi” sepanjang sejarah pemikiran filsafat, maka seperti halnya
segala sesuatu yang abadi tidak akan pernah selesai, tentunya selama masih ada
manusia di dunia ini, maka tesis ini masih terbuka untuk perdebatan lebih jauh.
Berkenaan dengan ini, penulis kira tepat kalau penulis mengutip tulisn Thomas
Aquinas dalam De Caelo et mundo I, 22, “ Tujuan belajar filsafat bukanlah
untuk mengetahui apa yang dulu pernah dipikirkan manusia tentang banyak
hal, melainkan bagaiman kebenaran perkara-perkara itu digeluti”, dan kalau
boleh penulis tambahkan, “ serta diberi pertanggungjawaban secara rasional
dan argumentatif”. Dengan penuh kerendahan hati, penulis ingin menempat-
kan jawaban penulis “hanya” sebagai satu tesis untuk mencoba menjawab pro-
blematika tatanan ini.

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Jelaskan pandangan Giddens tentang kolektifitas manusia, dan berikan con-
toh secukupnya!
2. Berikan tanggapanmu secara rasional dan sistematis terhadap pandangan
Giddens tersebut!
3. Jelaskan pandangan Bourdieu tentang kolektivitas manusia, dan berikan
contoh secukupnya!
4. Berikan tanggapan rasional dan sistematis terhadap pandangan Bourdieu
tersebut!
Manusia dan Masyarakat 111

1 Haryatmoko, “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Landasan Teoritis Gerakan Sosial


Menurut Bordieu”, Basis, Nomor. 11-12, November-Desember 2003
2 Lihat ibid, hal. 6.
3 Lihat Sciences Humanes, numero special, 2002, hal. 9.
4 Bernard Lahire, Le Travai sociologique de Pierre Bordieu. Dettes et Critiques, Paris, a Decou-
verte, 2001, hal. 15, seperti dikutip oleh Haryatmoko, op.cit.
5 Bourdieu dan Wacquant, 1992, hal. 5, seperti dikutip Haryatmoko, op.cit, hal. 8.
6 Lihat Patrice Bonnewitz, Premieres lecons sur la sociologie de Pierre Bourdieu, Paris, PUF,
1998, hal. 9.
7 Lihat Alain Touraine, Le retour de l’acteur, Paris, Fayard, 1984, hal. 142.
8 Lihat Bourdieu, Le sens pratique, Paris, Minuit,1980, hal. 91.
9 Lihat Pierre Bourdieu, Raisons pratiques. Sur la théorie de l’action, Paris, Seuil, 1994, hal.
23.
10 Bourdieu, 1980, hal. 101.
11 Ibid, hal. 88-89.
12 Bourdieu, 1994, hal. 16-17.
13 Bourdieu,1980, hal. 102.
14 Ibid, hal. 92.
15 Lihat Herry Priyono, “Habitus Baru”, Kompas 2 Januari 2006.
16 Ibidem.
17 Lihat, Haryatmoko, 2003, hal. 22.

-oo0oo-
BAB 11
MANUSIA DAN KEMATIAN

P ada bab sebelumnya penulis sudah menjabarkan beberapa pandangan filosofis mengenai
hubungan manusia dan masyarakat. Masyarakat terbentuk sebagai bagian dari habitus warga­
nya yang berinteraksi secara rutin. Pada bab ini penulis ingin mengajak anda merefleksikan
tentang kematian. Sebagai acuan di dalam bab ini, penulis menggunakan buku tulisan Groff dan
Halifax yang berjudul Human Encounter with Death.
Sepanjang sejarah manusia kematian telah dipandang sebagai suatu simbol alamiah yang pa-
ling kuat. Simbol yang tentunya ditafsirkan beragam cara oleh beragam kebudayaan. Jika kematian
telah menjemput, tubuh manusia akan dimaknai secara berbeda, yakni sebagai mayat. Mayat adalah
sisa dari manusia, yang biasanya kemudian dimusnahkan, baik dengan dikubur ataupun dengan
dibakar. Makna kematian selalu tertanam di dalam tafsir kultural tertentu. Kematian biasa dibungkus
dengan suatu pandangan mitologis ataupun teologis tertentu, yang ingin mencoba menjelaskan arti
sesungguhnya keberadaan manusia. Di dalam masyarakat modern yang sekular, kematian tidaklah
dimaknai secara istimewa. Kematian hanya dipandang sebagai bagian dari rutinitas. Makna mistik
dan teologisnya sudah lenyap.
Kematian juga dapat dipandang sebagai pengalaman manusia yang paling universal. Semua
manusia pasti akan mengalaminya. Ini adalah suatu kepastian.1 Akan tetapi banyak orang masih
menganggap kematian sebagai suatu misteri yang paling besar. Misteri tersebut kemudian coba dijer-
nihkan melalui keyakinan iman di dalam agama, seni, mitologi, dan cerita rakyat. Banyak karya seni
indah diinspirasikan oleh ketakutan dan kekaguman manusia kepada kematian. Piramid dan Sphinx
di Mesir merupakan sebuah makam raksasa bagi para Firaun Mesir. Juga Mausoleum di Halicarnas-
sus, Piramid dan Kuil di Aztec dan Mayan, kesemuanya merupakan karya arsitektur yang diinspirasi-
kan oleh kematian. Kematian adalah sebuah enigma, yang membuka beragam kemungkinan tafsiran
114 Menjadi Manusia Otentik

dan imajinasi, baik bagi individu maupun masyarakat. Banyak novel juga diil-
hami oleh kematian, termasuk novel horor ataupun novel romantis.2
Makna kematian juga sangat mempengaruhi kondisi psikologis orang-
orang yang hampir mengalaminya. Hal yang sama kurang lebih berlaku bagi
orang yang lolos dari kematian. Di tempat di mana kematian dipahami seba-
gai perjumpaan dengan Yang Mutlak, orang yang mengalaminya akan merasa
tenang dan damai. Dan di tempat di mana kematian dipandang sebagai bersa-
tunya orang dengan orang-orang yang dicintainya yang juga telah meninggal,
kematian adalah suatu momen kebahagiaan. Dalam arti ini kematian dapatlah
dipandang dengan beragam cara, dan cara tersebut tentunya berakar kuat di
dalam kultur. Groff dan Halifax ingin mengajak kita memahami, bagaimana
kematian dimaknai di peradaban modern, dan di peradaban pra modern-pra
industrial.
Di banyak peradaban di luar peradaban Barat modern, banyak masyara-
kat memiliki ritus, mitologi, dan sistem ajaran yang membuat orang bisa me-
nerima kematian dengan lapang dada. Mereka tidak melihat kematian sebagai
akhir dari segalanya. Memang banyak ragam versi tentang apa yang terjadi se-
telah kematian. Akan tetapi ada satu kesamaan, yakni bahwa kematian tidaklah
dipandang sebagai akhir dari segalanya, melainkan sebagai titik perubahan ke
tempat yang lebih baik. Setelah kematian jiwa manusia akan berjalan ke tempat
berikutnya yang lebih rumit, namun membahagiakan.
Dengan demikian banyak orang yang mengalami kebingungan, apakah
mereka mau diselamatkan untuk tetap menjalani hidup di dunia ini, atau me-
ninggal untuk bisa melanjutkan ke alam berikutnya. Kegelisahan semacam ini
tampak di dalam rumitnya ritus-ritus pengiring orang menuju kematian. Ke-
rumitan yang ditujukan untuk memudahkan perpindahan jiwa seseorang dari
dunia ini ke dunia berikutnya. Dan yang menarik ritus ini dilakukan juga untuk
mencegah jiwa orang yang sudah mati kembali ke dunia ini. Jadi ritus kematian
sebenarnya memiliki fungsi ganda, yakni sekaligus mengantar jiwa ke alam be-
rikutnya, dan mencegah jiwa itu kembali ke dunia. Yang terakhir ini dianggap
tidak natural.3
Beberapa peradaban percaya bahwa kematian bukanlah akhir dari se-
galanya, melainkan berlanjut di dalam proses reinkarnasi. Jadi setelah orang
meninggal, ia dapat kembali ke dunia dalam bentuk material yang berbeda dari
sebelumnya. Pandangan semacam ini ditemukan di banyak peradaban, seperti
di India, di Amerika Utara, Yunani Kuno, dan bahkan di filsafat Neoplatonis
Manusia dan Kematian 115

yang sangat mempengaruhi agama Kristen di awal berdirinya. Di dalam Hin-


duisme reinkarnasi dihubungkan dengan konsep karma. Tubuh material orang
sangatlah tergantung dari kualitas kebaikan hidup sebelumnya. Jika di dalam
kehidupan sebelumnya orang hidup dengan jahat, maka ia tidak akan mempe-
roleh tubuh material yang baik di kehidupan setelahnya. Mungkin juga ia justru
menjadi hewan ataupun tumbuhan.
Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, keyakinan akan adanya
kehidupan setelah kematian sangatlah mempengaruhi cara orang memaknai
kematian, usia tua, dan bahkan pengalaman sekarat itu sendiri. Di dalam ma-
syarakat yang mempercayai adanya reinkarnasi setelah kematian, cara orang
memaknai pengalaman sekarat sangatlah menentukan kualitas kehidupan yang
ia alami setelahnya. Di masyarakat lain yang memiliki sistem kepercayaan yang
berbeda, hidup dipahami sebagai suatu penjara, tepatnya penjara atas jiwa oleh
tubuh. Oleh karena itu kematian dipahami sebagai pembebasan, di mana jiwa
bisa lepas dari penjara, dan kembali menjadi murni.
Di dalam tradisi Hindu, kematian adalah suatu momen kebangkitan dari
dunia ilusi. Kematian juga dipahami sebagai kesempatan bagi jiwa manusia
untuk merasakan keabadian. Di masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda
lainnya, kematian dipahami sebagai pertemuan jiwa dengan leluhur yang su-
dah meninggal, dan juga dengan para dewa yang telah disembah sepanjang
hidupnya. Dengan kata lain kematian adalah perubahan dari kehidupan di
dunia menuju kehidupan di tempat orang yang dicintai dan para dewa yang
penuh kebahagiaan.
Ritual juga merupakan bagian penting dari kematian manusia. Banyak ke-
budayaan menganggap bahwa ritual merupakan suatu simbol yang bisa meng-
gambarkan makna kematian bagi manusia. Ritual menuju kematian itu juga
menggambarkan betapa rapuhnya kehidupan manusia, sekaligus bahwa manu-
sia memiliki sisi transendensi yang melekat erat pada kesadaran dan martabat-
nya. Menurut Groff dan Halifax, ritual pengantar kematian memiliki dua fungsi
penting. Yang pertama ritual sebagai suatu proses memaknai pengalaman seka-
rat dengan cara yang mengacu pada transendensi manusia. Jadi manusia bukan
hanya seonggok daging dan darah yang akan membusuk, tetapi juga jiwa yang
memiliki martabat luhur. Dan yang kedua ritual sebagai persiapan bagi orang
untuk menghadapi kematian fisik yang sesungguhnya.4 Beberapa peradaban
bahkan memiliki semacam panduan untuk mendampingi orang menuju kema-
tian, seperti The Tibetan Book of The Dead, Egyptian Book of The Dead, dan di
Eropa dikenal juga The Art of Dying.
116 Menjadi Manusia Otentik

Di dalam masyarakat yang budaya kolektifnya masih kuat, kematian juga


dipahami secara berbeda. Di dalam masyarakat semacam ini, kepentingan ke-
lompok lebih kuat daripada kepentingan individual. Kesadaran sebagai kelom-
pok pun jauh lebih kuat daripada kesadaran sebagai individu. Akibatnya pende-
ritaan individual yang dialami pada saat sekarat jauh lebih kecil daripada orang
yang hidup di kebudayaan yang cenderung individualistik. “Peristiwa sekarat
dan kematian di dalam situasi komunitas”, demikian tulis Groff dan Halifax,
“memungkinkan terciptanya kelompok pendukung bagi orang yang sekarat dan
ekspresi sedih sekaligus marah dari orang yang selamat, yang telah kehilangan
orang penting dalam hidupnya yang diikat secara mistik dalam suatu kelompok
sosial.”5
Tentu saja orang yang terlatih dalam displin ilmiah dan cara berpikir ra-
sional akan melihat beragam pandangan tentang kematian itu dengan sikap
skeptis. Prakteks ritus di dalam tradisi religius peradaban-peradaban kuno terse-
but dianggap sebagai suatu bentuk irasionalitas. Kepercayaan terhadap adanya
kehidupan setelah mati dianggap sebagai produk dari ketakutan primitif dari
orang yang tidak memahami ilmu pengetahuan. Konsep bahwa kesadaran ko-
lektif merupakan kesadaran yang lebih tinggi daripada kesadaran individual
dianggap sebagai suatu tanda ketidakdewasaan individual, bahkan juga disebut
sebagai psikopatologi sosial. Akan tetapi perlahan tapi pasti, orang semacam
itu justru jatuh ke titik ekstrem lainnya, yakni ia justru menolak sama sekali me-
nyentuh soal-soal berkaitan dengan kematian. Kematian dianggap sebagai mo-
men privat, yang tidak perlu menjadi tema diskusi ataupun bahan refleksi. Aki-
bat terjauhnya adalah orang harus menjalani pengalaman sekaratnya sendirian.
Orang harus menghadapi fakta, bahwa hidup manusia itu rapuh dan sangat
sementara juga dengan sendirian. Orang dipaksa untuk menjalani kesedihan
dan kemarahan akibat kehilangan orang yang dicintai sendirian. Orang seperti
ini memandang kematian bukanlah sebagai sebuah proses kehidupan, tetapi
sebagai suatu kekalahan tertinggi manusia, dan sebagai suatu pengingat yang
menyakitkan akan ketidakmampuan manusia menguasai gejala-gejala alamiah.
Orang yang sekarat adalah pecundang yang telah berhenti di dalam kompetisi
yang disebut sebagai kehidupan. Menurut Groff dan Halifax, ada sesuatu yang
bisa dipelajari dari pengalaman manusia berhadapan dengan kematian dari ber-
bagai peradaban. Sebuah pelajaran yang mungkin saja tidak ilmiah, tetapi bisa
memberikan inspirasi indah bagi kehidupan.
Dunia kedokteran modern juga masih memandang orang yang sekarat
dengan cara pandang yang, menurut penulis, tidak tepat. Fokus dunia medis
adalah menaklukan kematian, dan menundanya sedapat mungkin dengan cara
Manusia dan Kematian 117

apapun. Fokus ini tentunya mengaburkan niat untuk meningkatkan kualitas ke-
hidupan pada hari-hari terakhir orang yang sekarat. Orang yang sekarat tidak
dibuat bahagia, melainkan justru “dipenjara” di dalam botol, oksigen, ginjal
buatan, dan monitor yang memantau perkembangan organ vitalnya. Tidak
hanya itu pihak rumah sakit juga seringkali tidak mengatakan masalah secara
lugas, melainkan berkutat dengan hal-hal yang tidak relevan, dan bahkan mem-
berikan harapan palsu. Menurut Groff dan Halifax, cara pandang yang salah
terhadap kematian ini justru meningkatkan intensitas perasaan kesepian dan
kesedihan orang-orang yang sekarat. Mereka seringkali merasakan ketidakjujur­
an di sekitar mereka.
Agama, yang sebenarnya bisa menguatkan orang yang sekarat dan kelu-
arganya yang bersedih, justru sering kehilangan relevansinya. Agama
����������������
telah ber-
henti menjadi sumber harapan dan kekuatan bagi keteguhan di dalam penderi-
taan. Agama telah menjadi sekedar ritual formal dan upacara yang terasa tidak
bermakna. Dengan kata lain semua cara pandang, agama, dan ilmu kedokteran
nyaris tidak meringankan penderitaan psikologis orang-orang yang sekarat, dan
keluarga yang akan ditinggalkannya. Orang yang sekarat adalah orang yang
terjebak di dalam krisis terbesar di dalam hidupnya. Krisis ini bersifat multidi-
mensi, mulai dari biologis, emosional, filosofis, dan spiritual. Bisa dikatakan
seluruh dimensi kehidupannya berada di ambang kehancuran.
Masyarakat kita terjangkit virus pragmatisme. Akibatnya segala sesuatu
tidak dilihat esensinya, melainkan apa gunanya. Bisa dibilang masyarakat kita
adalah masyarakat yang melulu berorientasi pada hasil. Di dalam cara berpi-
kir seperti ini, dokter dan perawat berusaha untuk mengembalikan orang sakit
menjadi manusia yang produktif, daripada menciptakan situasi yang indah dan
kondusif bagi orang yang kematiannya nyaris bisa dipastikan. Kematian tidak-
lah dipandang sebagai bagian dari kehidupan, tetapi sebagai musuh kehidupan
yang harus dikalahkan. Pada titik tertentu usaha untuk mengalahkan kematian
memang positif. Akan tetapi jika kelewat batas, usaha untuk menyelamatkan
kehidupan justru akan merusak kehidupan itu sendiri, dan membuat orang
yang sekarat menderita di saat kematiannya. Ia seolah dipenjara oleh perasaan
kesepian, kalah, dan ketakutan. Tegangan antara dua posisi sifat inilah yang
sungguh harus dimaknai.6
Setiap orang tahu bahwa suatu saat, mereka akan mati. Yang paling di-
takutkan sebenarnya bukanlah kematian itu sendiri, tetapi pengalaman ketika
menjelang kematian, apakah itu pengalaman sakit, menderita, ketakutan, atau
kesepian. Inilah alasan di balik kekhawatiran begitu banyak orang akan kema-
tian, atau sebaliknya, yakni ketakutan orang untuk berbicara dan berwacana
118 Menjadi Manusia Otentik

tentang kematian. Tanpa pendampingan spiritual, emosional, dan sosial, ke-


takutan akan segala hal berbau kematian justru akan memperparah keadaan
orang-orang yang sekarat, dan juga keluarga yang ditinggalkannya. Kematian
janganlah dipandang sebagai musuh kehidupan, tetapi justru merupakan bagi-
an integral dari kehidupan manusia itu sendiri.
Peran media massa di dalam mengaburkan makna kematian jugalah sa­
ngat besar. Di dalam film-film yang, menurut penulis, kurang bermutu, kemati-
an dipandang sebagai kekalahan. Kematian adalah sesuatu yang absurd, maka
harus dihindari. Berita tentang kematian mencakup berita tentang korban pe-
rang, kecelakaan, bencana alam, banjir, dan epidemi, yang kemudian diabst-
raksi dalam jumlah angka. Laporan semacam itu bersifat impersonal, sehingga
orang tidak mampu mengaitkan fenomena kematian sampai ke level eksisten-
sial mereka. Aspek filosofis, psikologis, dan spiritual yang mendalam dari kema-
tian justru lenyap di telan angka dan data statistik yang tidak bermakna. Aspek
individual dan personal dari kematian juga lenyap dihadapan potensi bencana
alam masif, bencana nuklir, yang memang memiliki skala raksasa.Karena ku-
rangnya pemahaman akan kematian, banyak orang tidak memiliki kemampu-
an untuk menjalani pengalaman menjelang kematian secara bermakna. Makna
kematian, baik bagi orang yang mengalami maupun orang yang ditinggalkan,
hilang ditelan ketakutan dan kesedihan.

Filsafat dan Psikologi Kematian


Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, memiliki pandangan spesifik menge-
nai kematian. Pandangannya berkembang seturut dengan perkembang psiko-
analisis yang dirumuskannya. Pada tulisan-tulisan awalnya, ia sangat menekan-
kan aspek seksualitas. Kematian tidak menjadi bagian dominan dari penelitian
awal Freud. Ketakutan akan kematian, menurut Freud, dianggap sebagai kece-
masan yang muncul akibat kehilangan organ kelamin. Oleh karena itu kemati-
an dianggap sebagai konflik internal di dalam libido manusia. Para murid Freud
menyetujui pandangan itu, walaupun mereka kemudian menambah beberapa
aspek dari pemikiran mereka sendiri.
Salah satunya adalah Otto Fenichel. Ia berpendapat bahwa ketakutan
akan kematian��������������������������������������������������������������
bukanlah sesuatu yang berada di level kesadaran. Pikiran ten-
tang kematian tidaklah berakar pada dirinya sendiri, melainkan pada ketidaksa-
daran manusia. Aspek ketidaksadaran ini memiliki dimensi libidinal yang san-
gat tinggi. Aspek libidinal ini pun baru bisa dikenali dengan menelusuri terlebih
dahulu sejarah kehidupannya. Pengalaman masa kecil biasanya bisa mengubah
Manusia dan Kematian 119

ketakutan akan kehilangan cinta menjadi ketakutan akan kematian. Kematian


juga bisa merupakan ekspresi dari ketakutan orang akan kenikmatan yang mun-
cul akibat hubungan seksual. �������������������������������������������
Dengan demikian takut akan kematian merupa-
kan sikap yang muncul dari ketidaksadaran manusia. Ketakutan akan kematian
adalah lambang dari sesuatu yang lain, yakni ketakutan akan kehilangan cinta.
Di dalam bukunya yang berjudul Beyond the Pleasure Principle, Freud
merumuskan dua kategori insting manusia. Yang pertama adalah insting yang
bertujuan untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan. Yang
kedua adalah persis sebaliknya, yakni insting yang ingin menghancurkan kehi-
dupan. Yang pertama disebut sebagai insting kehidupan, sementara yang kedua
disebut sebagai insting kematian. Setiap tindakan agresif manusia, baik terha-
dap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain, berakar pada insting kematian
ini. Insting kematian beroperasi di dalam diri manusia sejak awal keberadaan-
nya. Tujuannya adalah untuk melenyapkan kehidupan. Dorongan destruktif ini
hanya memiliki satu tujuan, yakni untuk menghancurkan.7
Gaya perumusan yang sama dapat ditemukan di dalam karya Freud lain-
nya, yakni An Outline of Psychoanalysis. Dikotomi dasar antara insting kehi-
dupan, atau juga disebut juga sebagai insting cinta (eros), dan insting kematian
(thanatos) menjadi titik tolak baginya untuk memahami proses mental manu-
sia. Dua konsep ini terus menjadi fokus Freud, bahkan sampai akhir hidupnya.
Pemikiran Freud akhir ini tidak banyak menimbulkan ketertarikan bagi para
muridnya. Dua konsep insting, yakni insting kehidupan dan insting kematian,
pada akhirnya memang tidak pernah menjadi bagian integral dari gerakan psi-
koanalisis. Rudolf Brun, salah satu pengikut Freud, bahkan berpendapat bahwa
teori ini bertentangan dengan teori-teori Freud lainnya. Beberapa ahli bahkan
berpendapat, bahwa teori tentang insting kematian dan insting kehidupan me-
rupakan bias dari pengalaman personal Freud sendiri, ketika pikirannya dipe-
nuhi akan fenomena kematian. Memang pada saat itu, ia sedang menderita
kanker yang mengancam hidupnya. Keluarganya juga banyak yang meninggal.
Ditambah pada sama itu, perang dunia pertama sedang bergejolak.
Di dalam eseinya yang berjudul On the Psychology of the Unconscious,
Carl Gustav Jung menentang konsep Freud tentang eros dan thanatos. Ia juga
tidak setuju jika Freud mengatakan, bahwa insting kehidupan bertujuan untuk
menciptakan kesatuan yang lebih tinggi dari kehidupan manusia dan memper-
tahankannya, sementara tujuan dari insting kematian adalah menghancurkan-
nya. Kematian dan kehidupan, menurutnya, adalah keputusan yang dibuat se-
cara sadar oleh manusia, dan bukan merupakan aspek dari ketidaksadaran.
120 Menjadi Manusia Otentik

Menurut Jung lawan dari cinta dan kehidupan bukanlah kematian, melain­
kan kehendak untuk berkuasa. Ketika cinta ada maka kehendak berkuasa akan
lenyap, dan begitu pula sebaliknya. Cara berpikir Freud sebenarnya sangatlah
tipikal, yakni bahwa musuh dari prinsip tertinggi, yakni kehidupan, pastilah
adalah sesuatu yang jahat dan destruktif. Apakah memang harus seperti itu?
Konsep kematian juga dominan di dalam pandangan Jung mengenai proses
individuasi. Pada paruh pertama kehidupannya, manusia sangat dipengaruhi
oleh dorongan seksual yang ia miliki. Sementara pada paruh kedua, problem
terkait dengan penurunan kondisi fisik dan kematianlah yang menjadi dorong-
an utama. Jika orang mengalami problem terkait dengan kematian pada paroh
pertama hidupnya, biasanya itu dikaitkan dengan psikopatologi.
Tema kematian juga menjadi salah satu tema refleksi para pemikir ek-
sistensialisme, terutama di dalam filsafat Martin Heidegger. Di dalam buku-
nya yang berjudul Being and Time, kematian merupakan tema yang penting.
Menurutnya kesadaran akan kesementaraan, kekosongan, dan kematian telah
ada sepanjang manusia hidup, jauh sebelum kematian fisik terjadi. ����������
Bahkan ke-
hidupan sendiri dimaknai sebagai suatu perjalanan eksistensi manusia menuju
kematian. “Kesadaran akan kematian”, demikian Heidegger, “adalah sumber
yang terus ada dari tegangan dan kecemasan eksistensial di dalam diri mahluk
hidup, akan tetapi itu juga menyediakan latar belakang terhadap keberadaan
dan waktu yang tampil untuk memiliki makna yang lebih mendalam.”8
Bersama para filsuf fenomenolog lainnya, Heidegger ingin memalingkan
diri dari dunia natural yang obyektif, dan hendak menganalisis pengalaman
internal manusia. Oleh karena itu sikap refleksi ke dalam diri merupakan syarat
keniscayaan yang mutlak. Filsafat Heidegger adalah suatu penyelidikan terha-
dap pengalaman-pengalaman dasariah manusia, yang menjadi fondasi bagi se-
luruh aktivitas kesehariannya di dalam dunia. Pengalaman-pengalaman inilah
yang kiranya luput dari perhatian ilmu pengetahuan modern. Ilmu pengetahuan
terpaku pada apa yang dapat dialami secara inderawi, dan lupa bahwa segala
sesuatu yang inderawi membutuhkan sesuatu yang diandaikan. Yang dianda-
ikan itu, menurut Heidegger, terletak di dalam eksistensi manusia itu sendiri,
dan itulah yang seharusnya direfleksikan lebih jauh.
Memang keberadaan manusia adalah perjalanan menuju kematian. Akan
tetapi tidak hanya itu, seperti sudah disinggung sebelumnya, keberadaan ma-
nusia juga selalu dihantui oleh perasaan takut akan kematian, baik kematiannya
sendiri, maupun kematian orang-orang yang dicintainya. Contoh dari ketakutan
terhadap kematian yang akut adalah pada kehidupan dan pemikiran Picasso. Ia
Manusia dan Kematian 121

adalah “individu yang kuat dan kreatif yang didorong oleh rasa cinta dan kagum
berlebihan terhadap dirinya sendiri untuk menentang dunia sebagai keseluruh­
an, walaupun ia selalu tahu bahwa ia adalah mahluk yang tidak abadi.”9 Ia me-
nolak menerima argumentasi agama tradisional, yakni bahwa ada kehidupan
yang indah setelah kematian. Di dalam penolakannya itu, ia masuk ke dalam
kondisi ketidakberdayaan mutlak, dan dipadu dengan rasa kagum berlebihan
terhadap dirinya sendiri.
Sedari kecil Picasso memang merasa bahwa dirinya adalah orang yang
layak untuk dicintai dan diikuti oleh orang lain. Walaupun ia sendiri merasa,
bahwa ia tidak mampu tidak mencintai orang lain. Di dalam pribadi Picasso,
menurut Davies, kecemasan mendalam terhadap kematian, karisma yang besar,
kreatifitas seni yang tinggi, narsisme, dan penolakan terhadap keyakinan agama
tradisional bergabung menjadi satu.10 Di dalam situasi semacam itu, kematian
menjadi tampak semakin mencekam dan problematis. Pada saat muda hidup
terasa sangat dinamis dan penuh vitalitas. Namuan semua itu tidak berlangsung
lama. Usia dan waktu memakan kemudaan, dan dalam waktu seketika, orang
merasakan ancaman mortalitas. Bagi orang semacam itu, kematian tampak san-
gat menakutkan.
Dalam berbagai variasinya agama-agama mengajarkan, bahwa ada kehi-
dupan setelah kematian. Ajaran tersebut memang tidak didasarkan pada penga-
laman, tetapi pada iman. Di dalam perjalanan ada beberapa orang yang meng­
klaim, bahwa mereka memiliki pengalaman pribadi tentang kehidupan setelah
kematian, yakni kehidupan yang membawa kedamaian dan kepastian sejati. Di-
sini Davies tidak mengacu pada mistikus dan spiritualis, tetapi pada orang yang
telah dianggap mati secara medis, namun pada akhirnya hidup kembali, dan
beraktivitas seperti biasa. Mereka memang bukan mistikus ataupun spiritualis.
Namun begitu pengalaman yang mereka laporkan alami tampaknya memiliki
beberapa kesamaan.11
Di dalam penelitiannya pada 1975, Raymond Moody meneliti orang-
orang yang pernah berhenti detak jantungnya, dan kemudian, melalui inter-
vensi medis, berhasil dihidupkan kembali. Menurut kesaksian yang ada, ketika
dalam kondisi “mati suri”, mereka berjalan menelusuri lorong bercahaya, dan
bertemu dengan sesosok figur yang dikelilingi teman-teman mereka yang telah
meninggal. Figur asing itu kemudian memberi tahu, bahwa belum waktunya
ia meninggal. Maka ia harus kembali menjalani hidup di dunia. Inilah yang
disebut sebagai near death experiences. Mereka yang mengalaminya hidup
kembali, setelah sempat mati selama beberapa saat. Di dalam pandangan mere-
122 Menjadi Manusia Otentik

ka, kematian bukan lagi sesuatu yang mengancam. Mereka merasa yakin bah-
wa ada sesuatu setelah kematian. Sesuatu yang membahagiakan dan memberi
kedamaian. Pemahaman ini tidak hanya digunakan sendiri, tetapi juga untuk
memberikan dukungan pada orang lain yang sedang menjelang kematiannya.12
Pengalaman serupa dialami oleh orang yang mengalami apa yang disebut seba-
gai out of body experiences. Ketika sedang menjalani prosedur medis, mereka
merasa keluar dari tubuhnya, dan kemudian berjalan ke tempat lain. Mereka
melihat tubuhnya sendiri, dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Beberapa
ahli berpendapat bahwa fakta ini merupakan tanda adanya entitas yang terpisah
dari tubuh. Mereka menyebutnya sebagai jiwa.
Walaupun baru sungguh menjadi perhatian pada akhir abad keduapuluh,
dua pengalaman itu, yakni pengalaman mendekati kematian dan pengalaman
berada di luar tubuh dapat ditemukan pada literatur-literatur yang lebih kuno.
Sebuah naskah berjudul The History of the English Church and People diter-
bitkan pada abad ke delapan. Naskah tersebut bercerita tentang seorang ra-
hib bernama Fursey. Ketika berada di dalam kondisi tidak sadar, ia melakukan
perjalanan menuju tempat surgawi. Disana ia melihat kegembiraan besar dari
orang-orang yang terberkati. Tidak hanya itu ia juga melihat kehadiran dari roh
jahat. Setelah kembali sadar ia mendapatkan luka bakar akibat “perjalanannya”
itu. Luka bakar permanen yang, menurut tafsiran Davies, merupakan bukti nyata
penderitaan internal jiwanya. Pola luka yang sama juga dapat ditemukan pada
Santo Fransiskus Assisi di abad ketiga belas. Luka tersebut disebut juga sebagai
luka suci Tuhan, atau stigmata. Pada abad ke-20 Padre Pio, seorang Katolik asal
Italia, juga mengalami luka yang sama. Menurut Davies luka yang dialami oleh
orang-orang itu merupakan simbol kekuatan, bahwa kematian tidaklah menak-
utkan dan absurd. Mereka meneguhkan iman para pemeluk Katolik untuk tetap
yakin, bahwa mereka akan bertemu Tuhan setelah kematian.13
Dengan demikian kematian adalah bagian integral dari kehidupan manu-
sia. Pemahaman ini sudah berakar di berbagai peradaban nyaris setua sejarah
manusia itu sendiri. Kematian bukanlah simbol kekalahan, kehancuran, absur-
ditas, atau kejahatan, melainkan sama alaminya seperti air mengalir itu sendiri.
Di dalam tradisi agama-agama tua, kematian adalah suatu momen kehidupan
baru. Memang bentuk dan isi kehidupan itu beragam isinya, dan sangat ter-
gantung pada kultur masyarakat tempat agama tersebut ada. Namun semuanya
memberikan satu suara, bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya.***
Manusia dan Kematian 123

Pertanyaan-pertanyaan Reflektif
1. Jelaskan pandangan umum tentang kematian yang beredar di dalam masy-
arakat kita! Berikan tanggapanmu terhadap pandangan-pandangan itu!
2. Jelaskan pandangan Heidegger tentang kematian, dan berikan tanggapan-
mu secara kritis dan rasional!
3. Berdasarkan teks di atas apa pandangan yang tepat terhadap kematian?
Berikan tanggapanmu terhadap pandangan tersebut!
4. Apa kaitan antara pemahaman tentang makna kematian dengan otentisitas
manusia? Berikan contoh secukupnya!

1 Saya mengacu pada Stanislav Groff dan Joan Halifax, The Human Encounter With Death,
New York, A Dutton Paperback, 1977.
2 Lihat, ibid, hal. 2.
3 Lihat, ibid, hal. 3.
4 Lihat, ibid, hal. 5.
5 Ibid.
6 Lihat, Groff dan Halifax, 1977, hal. 8.
7 Lihat, ibid, hal. 206.
8 Ibid, hal. 208.
9 Douglas J. Davies, A Brief History of Death, Oxford, Blackwell, 2005, hal. 144.
10 Lihat, ibid. Untuk berikutnya saya mengacu pada tulisan Davies ini.
11 Lihat, ibid, hal. 147.
12 Lihat, ibid, hal. 148.
13 Lihat, ibid, hal. 149.

-oo0oo-
EPILOG:
MENJADI MANUSIA OTENTIK

P ada bab-bab sebelumnya, penulis sudah memaparkan aspek-aspek apa saja yang kiranya perlu
dipahami di dalam diri manusia, supaya ia bisa hidup dengan otentik. Pada bab terakhir penu-
lis sudah menyinggung soal kematian. Kematian dipahami bukan sebagai lawan dari hidup,
melainkan sebagai bagian alamiah dari kehidupan itu sendiri. Kematian dan kehidupan tidaklah
berbeda, melainkan satu dan sama. Penelusuran pada bab-bab sebelumnya dapat dianggap sebagai
tamasya anatomi filosofis diri manusia. Dan pada bab ini, penulis akan kembali memaparkan apa
sesungguhnya arti hidup yang otentik, yang penuh dengan ketulusan, kejujuran, dan tentu saja, ke-
bahagiaan. Sebagai acuan utama penulis menggunakan pemikiran Jacob Golomb di dalam bukunya
yang berjudul In Search of Authenticity.1

Otentisitas yang Elusif


Apa yang dimaksud dengan otentisitas? Kata itu sering digunakan, tetapi sulit sekali untuk
memperoleh definisi yang tepat. Menurut Golomb kesulitan terbesar adalah ketika kita mencoba
memahami aspek filosofis dari makna kata tersebut. �������������������������������������������������
Kata “makna” di sini jelas sangat berbau esensia-
lisme, yakni bahwa ada inti esensial yang terletak di pusat konsep tersebut. Padahal konsep otentisi-
tas sendiri selalu lolos dari genggaman, ketika coba didefinisikan dengan cara pandang esensialisme.
Dan seperti ditulis dengan eksplisit oleh Golomb, otentisitas tidaklah memiliki kualitas obyektif,
seperti yang dapat dengan mudah ditemukan pada benda lainnya. Tidak seperti lemari itu berbentuk
persegi panjang, otentisitas tidak bisa dipersepsi secara inderawi secara langsung seperti itu. “Ide
tentang otentisitas”, demikian tulisnya, “tampaknya, mengacu pada sesuatu yang berada melampaui
ranah bahasa obyektif…”2
126 Menjadi Manusia Otentik

Di dalam bukunya yang berjudul Being and Nothingness, Jean-Paul Sar-


tre menggambarkan otentisitas sebagai “being which is what is not and which
is not what it is”.3 Artinya otentisitas merupakan suatu keadaan yang kita sa­
dari, ketika kita sudah melewatinya. Maka otentisitas merupakan suatu keadaan
yang elusif, yang hanya bisa digambarkan secara negatif. Kehadirannya justru
disadari di dalam ketidakhadirannya. Otentisitas sudah muncul bahkan ketika
orang secara penuh semangat mencari dan merumuskan di dalam ketidakber-
dayaannya.
Tema tentang otentisitas paling kuat direfleksikan di dalam pemikiran
para filsuf eksistensialis. Eksistensialisme sendiri adalah cabang filsafat yang
hendak merefleksikan seluk beluk kerumitan eksistensi manusia, baik manusia
personal, maupun dalam relasinya dengan dunia. Para pemikir eksistensialis
terbelah antara mereka yang merumuskan konsep otentisitas secara jelas, dan
mereka yang lebih memilih untuk melakukan kritik terhadap nilai-nilai sosial
yang menghambat proses manusia untuk menjadi otentik. Nietzsche misalnya.
Ia hampir tidak memberikan penjelasan tentang ideal manusia atas yang diru-
muskannya. Ia juga tidak pernah memberikan contoh nyata tentang manusia
atas (Uebermensch) tersebut. Menurut Golomb hal yang serupa kiranya terja-
di di dalam pemikiran Albert Camus dan Kierkegaard, para filsuf eksistensialis
lainnya.

Otentisitas dan Eksistensialisme


Para pemikir eksistensialis secara umum ingin menantang kepercaya-
an dogmatis yang dipegang oleh banyak orang. Mereka ingin menarik orang
dari kecenderungan untuk menyandarkan diri pada norma dan aturan secara
buta. Norma dan aturan tersebut seringkali sudah tertanam dalam di dalam
masyarakat, dan dilestarikan oleh berbagai institusi, seperti keluarga, agama,
sekolah, dan universitas. Ketika orang berhasil melampaui semua norma dan
aturan tersebut, serta kemudian menyelam untuk mengenali kedalaman dirinya
sendirilah orang dapat sampai pada otentisitas. Banyak orang hidup dengan
dogma dan aturan yang tidak lagi bisa dan boleh dipertanyakan di dalam hidup
mereka. Dogma dan aturan tersebut dianggap wajar, dan tertanam dalam di
seluruh institusi masyarakat. Semua itu pada akhirnya mengancam kebebasan
diri. Orang yang tidak mampu berpikir dan hidup melampaui semua batasan
yang dogmatis itulah yang disebut sebagai orang yang tidak otentik.
Para filsuf abad pertengahan sering menyebut Tuhan sebagai sesuatu
yang bukan apapun. Inilah yang disebut sebagai teologia negativa, yakni suatu
usaha untuk memahami entitas yang lebih besar dari kemampuan akal budi dan
Epilog: Menjadi Manusia Otentik 127

linguistik manusia. Menurut Golomb hal yang sama kiranya juga bisa diguna-
kan untuk memahami konsep otentisitas. Melalui cara ini otentisitas dipahami
melalui antonimnya. Tentu saja ini bukanlah cara ideal, melainkan semacam
cara tidak langsung untuk memahami sebuah konsep yang berada di luar akal
budi dan ranah linguistik manusia. Golomb lebih jauh menegaskan, bahwa
otentitas hanya bisa dipahami dengan diperlawankan dengan apa yang bukan
otentisitas. Ia menggunakan keutamaan ketulusan dan kejujuran. Memang ke-
dua keutamaan ini sering dipahami identik dengan otentisitas. Orang yang oten-
tik adalah orang yang tulus dan jujur. Akan tetapi ini tidak sepenuhnya benar.
Di dalam bukunya yang berjudul Sincerity and Authenticity, Lionel Tril-
ling mendefinisikan ketulusan sebagai “suatu keadaan atau kualitas dari diri
yang mengacu pada kesesuaian antara pengakuan dan perasaan sesungguh-
nya.”4 Kriteria utama bagi ketulusan, menurutnya, adalah kesesuaian yang cu-
kup tinggi antara prinsip yang ada di dalam masyarakat dengan pelaksanaan-
nya. Maka aspek sosial dari ketulusan sebenarnya juga cukup besar. Ketulusan
bisa diuji secara oleh orang lain secara bersama-sama, yakni dengan mem-
bandingkan apakah tindakan seseorang sesuai dengan apa yang dikatakannya
kepada masyarakat. Menurut Golomb konsep Triling tentang ketulusan ini
identik dengan kejujuran. Pandangan ini tentunya bertolak belakang dengan
pandangan mayoritas filsuf eksistensialis. Bagi mereka konsep otentisitas adalah
suatu bentuk perlawanan terhadap nilai-nilai yang berlaku lama dan mapan
di dalam ma­syarakat, seperti kejujuran, kebenaran, keadilan, dan sebagainya.
Otentisitas adalah sesuatu yang elusif, yang pemahamannya melampaui segala
sesuatu yang ditempelkan kepadanya. Inilah inti pandang eksistensialisme ten-
tang otentisitas, yakni perubahan dari ketulusan obyektif menjadi otentisitas
personal.
Konsep kejujuran dipahami sebagai kesesuaian antara apa yang dilaku-
kan dan dikatakan dengan apa yang sesungguhnya ada di dalam hati. Kejujur­
an mengandaikan adanya “hati” subyek yang sifatnya statis. Hal ini tentunya
berbeda dengan otentisitas. Otentisitas mengacu pada diri subyek yang terus
menjadi, melampaui dirinya, dan menciptakan ulang dirinya terus menerus.
Otentisitas tidak mengacu pada tolok ukur di luar dirinya, tetapi pada apa yang
disebut sebagai keterlibatan utuh dari keberadaan personal manusia.
Hegel, filsuf Idealisme Jerman abad ke-18, punya pendapat menarik ten-
tang kejujuran. Di dalam bukunya yang berjudul Phenomenology of Spirit, ia
melakukan kritik terhadap individu yang jujur (honest individual).5 Orang yang
jujur adalah orang yang hidup menurut aturan dan nilai yang berlaku pada
jamannya. Ia berasumsi bahwa masyarakatnya adalah masyarakat yang ideal,
128 Menjadi Manusia Otentik

maka nilai-nilainya haruslah dipatuhi. Asumsi itu tentunya menutup kemun-


gkinan terjadinya perubahan nilai-nilai. Padahal seperti yang Hegel katakan, se-
jarah adalah suatu perjalanan roh absolut yang terus berkembang sampai pada
kebebasan yang mutlak di akhir sejarah. Jadi orang yang jujur adalah orang
yang menganggap, bahwa ia telah berada di akhir sejarah.
Roh absolut selalu bergerak di dalam sejarah. Dan sejarah selalu berge-
rak secara dialektis melalui proses pelampauan diri terus menerus. Proses itu
berlangsung melalui tegangan antara individu yang pro pembaharuan, yang
memandang sejarah sebagai proses, dan individu yang jujur, yang percaya ba-
hwa produk tatanan yang ada adalah tatanan yang ideal. Individu yang per-
tama yakin pada proses perubahan di dalam sejarah. Sementara individu yang
kedua mendasarkan seluruh kepercayaannya pada tatanan dan nilai-nilai yang
sudah baku di dalam masyarakat. Menurut Hegel sebagaimana ditafsirkan oleh
Golomb, semua jenis tindakan menyesuaikan diri pada dunia sosial tidaklah
konsisten dengan karakter sejarah yang terus berubah bersama nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Biasanya individu jujur itu akan mengalami ketera-
singan, karena ia berada di era yang terus berubah, dan ia tidak siap dengan
perubahan.
Di dalam pemikiran Hegel, “individu yang jujur”, yang percaya bahwa
tatanan yang ada adalah tatanan yang ideal, adalah orang munafik yang tidak
memiliki kebebasan. Kebebasan yang sejati hanya ada di akhir sejarah, dan
kebebasan ini masihlah jauh dari pikiran para individu-individu jujur yang pro
pada status quo. Otentisitas memang terkait dengan kebebasan, dan kebebasan
yang ada belum penuh, maka otentisitas pun belum penuh. Otentisitas yang
sejati hanya ada di akhir sejarah. Hegel dan para filsuf eksistensialis berpenda-
pat, bahwa kebebasan merupakan suatu proses melawan segala kecenderungan
yang telah ada di dalam masyarakat, dan mengharapkan sesuatu yang lebih
baik di masa depan. “Penolakan terhadap cara berpikir individu yang jujur”,
demikian tulis Golomb, “ membuat jalan untuk cara hidup otentisitas.”6
Dalam arti yang dirumuskan Golomb ini, maka otentitas dan kejujuran
adalah dua hal yang berbeda, yang tidak boleh disamakan begitu saja. Otentisi-
tas memberikan tempat pada perubahan konsep diri dan masyarakat. Otentisitas
membuka peluang untuk pemahaman yang lebih luas dan universal, yang me-
lampaui kesepakatan sosial yang telah mapan di dalam masyarakat. Otentisitas
bukanlah suatu otoritas moral yang bisa digunakan untuk menilai dan menga-
jurkan orang lain untuk bertindak sesuatu. Otentisitas lebih mengacu pada diri
masing-masing orang, sehingga mereka mampu secara bebas dan kreatif men-
cipta dan menjalani hidup mereka dari hari ke hari.
Epilog: Menjadi Manusia Otentik 129

Filsafat dan Otentisitas


David Hume, seorang filsuf asal Inggris, berpendapat bahwa otentisitas
terkait erat dengan kesejatian (genuineness), yakni sikap hidup yang berakar
pada kebebasan untuk mencipta (authorship). Akan tetapi ia tidak menerap-
kannya untuk memahami “diri”, karena menurutnya, diri adalah suatu konsep
yang tidak bermakna. Diri adalah suatu konsep metafisis yang didasarkan pada
kebingungan untuk memberikan arti pada entitas permanen yang bercokol di
dalam diri manusia. Dengan kata lain diri adalah kumpulan persepsi manusia
yang kemudian disalahpahami sebagai sesuatu yang nyata ada, dan dianggap
sebagai identitas manusia.
Beberapa filsuf berusaha menanggapi pemikiran Hume tersebut. Salah
satunya adalah Immanuel Kant. Ia berusaha mengembalikan konsep diri seba-
gai bagian dari refleksi filsafat tentang manusia. Ia pun merumusan konsep ego
transendental, yang dibedakan dari ego empiris yang konkret di dalam realitas.
Pengetahuan manusia bisa menjadi mungkin, karena adanya kategori-kategori
pengertian di dalam akal budinya. Dunia empiris juga bisa diketahui, karena
adanya kategori-kategori tersebut. Kategori pengertian itu identik dengan ego
transendental. Keduanya ada di dalam diri manusia.
Di dalam tafsiran Golomb, konsep ini membuka kemungkinan pencip-
taan diri bagi manusia untuk mencapai otentisitas, karena manusia diberikan
tempat sentral di dalam proses pembentukan pengetahuan. Pengetahuan ma­
nusia bukanlah berasal dari Tuhan, ataupun dari entitas lainnya, melainkan
dari dirinya sendiri. Filsuf-filsuf lainnya, seperti Nietzsche, Sartre, dan Camus
justru meradikalkan pandangan itu dengan mengatakan bahwa Tuhan sudah
mati. Oleh sebab itu setiap orang harus mengambil peran Tuhan dengan cara
menciptakan dirinya sendiri dan hidup secara bebas. Manusia adalah mahluk
yang menciptakan dirinya sendiri dan dunianya. Bahkan dalam pemikiran Feu-
erbach, manusia adalah tuhan bagi sesamanya.
Dalam arti ini konsep otentisitas dimaknai secara formal. Otentisitas ada-
lah soal “bagaimana” dan bukan soal “apa”. Yang menjadi jantung otensitas
adalah kebebasan dan spontanitas, bukan perintah dan ajaran baku. “..konsep
otentisitas”, demikian Golomb, “adalah suatu perlawanan terhadap penerimaan
yang buta dan mekanis terhadap kode nilai yang dipaksakan dari luar.”7 Maka
dalam tafsiran Golomb, para pemikir eksistensialis sebenarnya berhutang besar
pada Kant. Akan tetapi mereka adalah murid yang baik, yakni murid yang be-
rani berbeda pendapat dengan gurunya. Menurut para filsuf eksistensialis, Kant
telah mengabstraksi ego manusia sedemikian rupa, sehingga kehilangan nuansa
130 Menjadi Manusia Otentik

konkret dan uniknya. Mereka pun menentang pendapat itu, dan menyatakan
bahwa diri manusia adalah sesuatu yang konkret. Di dalam kehidupan konkret
itulah manusia bisa mencapai otentisitas.
Menurut Golomb, diri (self) manusia bukanlah sesuatu yang esensial, ab-
strak, ataupun tetap, melainkan suatu eksistensi yang mendahului semua ben-
tuk esensi dan pengaruh dari luar. Dalam hal ini ia berada searah dengan para
pemikir eksistensialisme. Secara umum eksistensialisme ingin menolak pema-
haman tradisional tentang subyek, yakni subyek sebagai sesuatu yang ontolo-
gis, universal, dan absolut. Bahkan David Hume, walaupun tidak bisa disebut
sebagai salah seorang filsuf eksistensialis, berpendapat bahwa akal budi manu-
sia hanya merupakan budak dari hasrat. Maka diri manusia bukanlah diri yang
rasional, melainkan diri yang dibentuk dan dikembangkan oleh hasrat.8
Konsep Hume tentang diri manusia sebenarnya juga memiliki sisi positif.
Ia menganggap diri adalah suatu kumpulan persepsi. Diri bukanlah suatu esensi
metafisis yang menjadi hakekat manusia. Oleh karena itu manusia sebenarnya
memiliki kemampuan untuk secara kreatif mencipta dan mengembangkan di-
rinya. Individu Humean, menurut Golomb, tidak memiliki rigiditas ontologis
yang bersifat esensial, sehingga lebih terbuka untuk berbagai kemungkinan.
Diri menjadi kumpulan ekspresi yang diwarnai semangat dan gairah kehidu-
pan, serta tidak membutuhkan pembenaran metafisis-ontologis apapun.
Para filsuf eksistensialis, di dalam tafsiran Golomb, memang melakukan
perlawanan terhadap tradisi filsafat barat yang terlalu menekankan metafisika.
Akan tetapi mereka juga memiliki pemahaman mendalam terhadap sejarah dan
isi dari filsafat barat yang hendak mereka kritik. Di dalam tafsiran Jacob Golomb,
Jean-Paul Sartre, salah seorang filsuf eksistensialis Perancis, memang menolak
mendefinisikan eksistensialisme dengan cara-cara yang berbau esensialis. Akan
tetapi ia tetap mengacu pada konsep kebenaran korespondensi yang banyak
ditemukan di filsafat tradisional, yang justru hendak dikritiknya. Seperti dikutip
oleh Golomb, Sartre menulis, “Otentisitas terdiri dari kemauan orang untuk me-
miliki kebenaran dan kesadaran yang jelas pada situasi, di dalam mengasumsi
tanggungjawab dan resiko yang ada di dalamnya, di dalam menerimanya dalam
kebanggaan ataupun penghinaan, kadang di dalam ketakutan dan kebencian.”9
Jadi walaupun ontetisitas tidak bisa digambarkan secara mendalam dengan
menggunakan kategori-kategori esensialisme, tetapi otentisitas dapat didekati
dengan menunjuk pada realitas yang dinamis.
Golomb kemudian memberi contoh lain. Konsep tentang koherensi mi-
salnya. Jika para pemikir eksistensialis menekankan individu daripada komu-
Epilog: Menjadi Manusia Otentik 131

nitas, maka konsep individu tersebut jugalah harus koheren. Artinya individu
itu adalah suatu entitas yang tidak bisa dibagi-bagi lagi. Individu adalah entitas
otonom yang tidak boleh dijajah oleh dunia sosial dengan nilai-nilai yang ter-
kandung di dalamnya. Hanya dengan begitulah individu bisa mencapai ideal
harmoni dan otentisitas.
Kejujuran dan ketulusan, menurut Golomb, dapat dimengerti sebagai ke-
sesuaian antara apa yang orang lakukan, dan apa yang sungguh dirasakan di
dalam hatinya. Akan tetapi konsep otentisitas tidaklah bisa dimengerti seperti
itu. Otentisitas, di dalam tafsiran Golomb, menolak adanya esensi yang bersifat
tetap, sekaligus kriteria tetap yang dapat digunakan untuk menilai. Otentisitas
lebih menekankan tanggungjawab pribadi sebagai konsekuensi dari kebebasan
manusia untuk mencipta dirinya sendiri secara kreatif. “Otentisitas”, demikian
Golomb, “mendefinisikan dirinya sebagai sesuatu yang tidak bisa didefinisikan.
Otentistias adalah dorongan dari perubahan yang tak pernah berhenti, sebagai
lawan dari subordinasi pasif pada satu etika partikular.”10
Inilah alasan mengapa konsep otentisitas menjadi ramai dikembangkan,
justru ketika otoritas yang ada sudah begitu kuat, dan tidak lagi bisa, atau bo-
leh, dipertanyakan. Bisa juga dibilang bahwa konsep otensitas dimulai dengan
suatu revolusi cara berpikir yang menantang nilai-nilai sosial yang sudah ber-
laku sebelumnya. Revolusi cara berpikir tersebut tentunya menciptakan krisis.
Dalam bahasa Thomas Kuhn, seorang filsuf sains, krisis adalah momen, di mana
tatanan nilai-nilai lama sudah berakhir, sementara tata nilai baru belum ada.
Pada masa itu setiap orang dipaksa untuk menciptakan nilai-nilainya sendiri.
Golomb, di dalam tulisannya, tidak hanya mengacu pada hilang otoritas moral
dan sosial di dalam masyarakat, tetapi juga musnahnya otoritas tertinggi yang
sebelumnya diklaim sebagai pencipta semesta, yakni Tuhan. Bahkan dalam arti
tertentu, Tuhan dianggap sudah mati, supaya manusia bisa bebas mencipta di-
rinya sendiri secara kreatif. “Kekosongan semacam ini”, demikian Golomb, “di
mana kemanusiaan ditinggalkan tanpa pegangan apapun untuk membimbin-
gnya, adalah latar belakang kultural dan intelektual bagi munculnya pencarian
akan otentisitas.”11
Konsep otensitas juga muncul, sebagai tanggapan terhadap pertanyaan
mendasar terkait tegangan antara apa yang seharusnya, dan apa yang sungguh
terjadi. Di dalam realitas etika adalah suatu aspirasi tentang tindakan manusia,
jadi masih sebentuk harapan. Sementara realitas adalah sesuatu yang sudah dan
sedang terjadi sekarang. Selalu ada jarak di antara keduanya. Pertanyaan men-
dasar yang bisa diajukan adalah, bagaimana menjembatani kedua hal tersebut,
132 Menjadi Manusia Otentik

yakni antara apa yang terjadi, dan apa yang seharusnya terjadi? Ada lima ragam
tanggapan yang bisa diberikan.
Yang pertama adalah tanggapan dari para “individu jujur” (honest indi-
vidual). Mereka menyadari tegangan antara apa yang terjadi dan apa yang se-
harusnya. Namun mereka mengabaikannya, dan tetap menjadikan apa yang
seharusnya sebagai acuan utama. Yang kedua adalah reaksi dari para opurtunis.
Mereka tidak peduli dengan apa yang seharusnya, dan menyesuaikan diri den-
gan apa yang terjadi. Yang ketiga adalah reaksi dari para nihilis. Mereka meno-
lak mengakui validitas kebenaran dari rumusan apa yang seharusnya, dan apa
yang terjadi. Singkat kata mereka tidak percaya apapun. Yang keempat adalah
orang-orang romantik. Mereka percaya bahwa apa yang seharusnya dapatlah
terwujud di dalam realitas, dan mereka berjuang untuk mewujudkannya. Yang
terakhir pada para pencari otentisitas. Mereka lebih memilih untuk menoleh ke
dalam dirinya masing-masing, dan mengembangkan potensi yang ada di sana.
Mereka mengembangkan dirinya masing-masing tanpa peduli dengan nilai-ni-
lai yang mendominasi di luar dirinya.

Etika Otentisitas?
Lalu bisakah kita merumuskan sebuah etika otentisitas? Bukankah oten-
tisitas, seperti sudah disinggung sebelumnya, adalah sesuatu yang elusif, yakni
yang tidak terdefinisikan? Bukankah otensitas adalah sesuatu yang berakhir da-
lam keterbukaan dan bersifat tentatif? Di dalam bukunya Golomb merasa, bah-
wa perumusan tersebut mungkin, walaupun tidak bersifat mutlak.12 Haruslah
diakui bahwa setiap individu haruslah sampai kesimpulannya sendiri-sendiri
tentang hidup yang otentik. Itulah tujuan utama Golomb, dan juga tujuan uta-
manya ditulis buku ini. Nietzsche sendiri pernah menulis, “jika anda ingin sam-
pai ke tempat yang tinggi, gunakan kakimu sendiri.”13
Untuk menjadi otentik orang harus berani melakukan eksperimen di da-
lam hidupnya, yakni eksperimen dengan nilai-nilai yang telah ia pegang begitu
saja sebelumnya. Dalam hal ini, menurut Golomb, orang seperti diajak untuk
bermain dengan api. Untuk menjadi orang yang otentik, ia harus siap untuk di-
bakar. Tentu saja proses dibakar adalah proses menyakitkan. Akan tetapi bukan-
kah besi dipadatkan di dalam api? Api kehidupan adalah penderitaan. Dalam
arti ini orang bisa menjadi otentik dengan masuk dan mencecap penderitaan.
Jika ia berhasil melaluinya, maka hidupnya akan semakin otentik.
Pertanyaan dasar kemudian adalah, bagaimana supaya orang bisa men-
jadi otentik dengan dirinya sendiri? Banyak orang memutuskan untuk belajar
Epilog: Menjadi Manusia Otentik 133

dari orang-orang bijak di dalam sejarah. Akan tetapi pada hemat penulis, dan
juga menjadi argumentasi Golomb, cara hidup dan cara berpikir orang-orang
bijak dalam sejarah tersebut memang bisa menjadi inspirasi, tetapi tidak akan
pernah bisa menjadi resep mutlak. Tidak ada satu cara tunggal yang bisa ditem-
puh orang untuk mencapai otentisitas. Upaya untuk merumuskannya pun akan
menjadi sia-sia belaka.14
Bagi banyak orang, terutama mereka yang di luar displin filsafat aka-
demik, pencarian otentisitas melalui refleksi eksistensialisme dianggap lebih
manusiawi dibandingkan dengan refleksi filsafat yang cenderung bersifat onto-
logis-fenomenologis. Ada sesuatu yang intim di dalam eksistensialisme, yang
membuat orang tertarik padanya. Eksistensialisme, secara umum, ingin men-
gajak orang untuk melihat ke dalam dirinya masing-masing, dan hidup berdas-
arkan nilai-nilai yang ia bangun sendiri. Tentu saja proses semacam itu adalah
proses yang sepi. Orang harus menjalaninya sendirian. Memang dunia sosial
dan pengaruhnya tidak bisa disangkal. Akan tetapi orang harus menemukan
makna, baik personal maupun di dalam dunia sosial, itu sendiri.
“Perjuangan untuk mencapai otentisitas”, demikian Golomb, “memang-
gil kita tidak untuk memeluk solipsisme dan nihilisme, akan tetapi, untuk hidup
penuh komitmen dan aktif – tidak di dalam kekosongan sosial ataupun di ba-
wah tanah, melainkan di dalam komunitas.”15 Pencarian yang sejati akan otenti-
sitas tidak membuat orang menjadi terisolasi dengan dirinya sendiri, melainkan
justru membuatnya semakin aktif dan berkomitmen penuh untuk mengemban-
gkan masyarakat. Suatu aktivitas yang berasal dari penghayatan yang otentik
hanya mungkin berlangsung di dalam konteks intersubyektivitas antar manusia,
yakni di dalam masyarakat. Menjadi otentik sama sekali tidak berarti menjadi
individualistik, melainkan justru berperan aktif di dalam pengembangan hidup
bersama dengan penuh ketulusan.
Otentisitas selalu terkait dengan sikap spontanitas orang terhadap kehi-
dupan. Dalam hal ini kreatifitas pun membutuhkan konteks sosial dan kultural
yang memungkinkannya, seperti ide-ide yang sudah ada di dalam masyarakat,
institusi-institusi sosial yang ada, dan sebagainya. Semua itu tidak harus diteri-
ma begitu saja, tetapi harus diolah oleh individu yang menganutnya. Masya-
rakat memang memberikan nilai-nilai dan aturan sosial yang harus dipatuhi. Ni-
lai dan aturan tersebut merupakan bagian penting dari identitas pribadi orang.
Namun nilai dan aturan itu haruslah dilampaui, diubah, dan diintegrasikan ke
kehidupan orang, sehingga ia bisa menjadi otentik.
134 Menjadi Manusia Otentik

Otentisitas memang seringkali dipikirkan dalam konteks pertentangan


antara tindakan individual di satu sisi, dan prinsip-prinsip etika yang tengah
berlaku di sisi lain. Pertentangan itu menuntut suatu pertimbangan etis untuk
melakukan tindakan. Dalam hal ini setiap orang diminta untuk berani terbuka
dan bereksperimen dengan beragam nilai dan gaya hidup yang ada. Oleh kare-
na itu sebenarnya tidak perlu ada pertentangan antara otentisitas dan kehidupan
sosial, karena konteks sosial merupakan prasyarat bagi otentisitas. Otentisitas
justru berakar di dalam kehidupan sosial, dan tidak pernah bisa lepas daripa-
danya.
Pada titik ini Golomb kemudian mengajukan pertanyaan, dapatkah oten-
tisitas sungguh diterapkan di dalam kehidupan nyata? Pada hemat penulis ini
mungkin pertanyaan terpenting di dalam seluruh buku ini. Otentisitas memang
pada hakekatnya merupakan sesuatu yang subyektif. Otentisitas hanya bisa di-
raih oleh orang yang sungguh menginginkannya. Otentisitas memang tidak bisa
diukur secara rasional, karena itu menyangkut keseluruhan diri manusia, yang
memang melampaui rasionalitas itu sendiri. Cara berpikir etika klasik, yang
cenderung memberikan pendasaran argumentatif rasional atas semua maksim
moral, tampak tidak bisa diterapkan untuk memahami otentisitas.
Oleh karena itu, menurut Golomb, otentisitas tidak pernah bisa dikatego-
rikan sebagai etika rasional. “Otentisitas”, demikian tulisnya, “ditandai dengan
kerelaan untuk memeluk karakter subyektifnya tanpa mengacu pada kode etik
yang rigorus.”16 Karena didominasi oleh aspek subyektif, maka otentisitas tidak
pernah bisa sepenuhnya dimengerti dengan menggunakan tolok ukur rasional.
Mungkin adalah semacam “takdir” dari otentisitas, bahwa konsep ini tidak akan
pernah bisa diadopsi menjadi kultur dominan dari suatu masyarakat. Otentisitas
hanya akan menjadi cara hidup minoritas yang akan menggongong, mengigit,
dan menjadi oposisi terus menerus dari kultur mayoritas.17
Hidup yang otentik adalah hidup yang layak untuk terus diupayakan,
walaupun mungkin sulit atau bahkan tidak mungkin terwujud. Pencarian itu
sendiri, dalam arti tertentu, sebenarnya juga merupakan suatu bentuk ke-
hidupan yang otentik. Jadi pencarian akan otentisitas sebenarnya juga sudah
merupakan bagian dari otentisitas itu sendiri. Pencarian akan otentisitas akan
membuat orang menjadi manusiawi. Pencarian akan otentisitas mencerminkan
keberanian dan ketulusan seseorang di dalam hidup, serta dalam membentuk
relasinya dengan manusia lain. “Untuk menjadi manusia”, demikian tulis Go-
lomb, “adalah untuk mencari jati diri sejati dan untuk mencapai relasi yang
otentik dengan orang lain.”18
Epilog: Menjadi Manusia Otentik 135

Harus juga diakui bahwa, menurut Golomb, kehidupan yang otentik sulit
untuk diusahakan di dalam kehidupan sosial yang nyaris sepenuhnya dijajah
oleh imperatif ekonomi, yakni pencarian keuntungan finansial sebesar-besar-
nya. Akan tetapi orang masih mungkin hidup dengan mengambil tanggung
jawab penuh atas tindakannya, terutama tindakan yang terkait dengan orang
lain. Dalam arti ini etika otentisitas yang rigid dan rasional memang tidak bisa
dirumuskan. Akan tetapi setiap orang tetap bisa diajak untuk mencari jati diri
sejati mereka masing-masing, dan hidup berdasarkan jati diri itu. Ingatlah ba-
hwa pencarian dan usaha untuk menjadi otentik sebenarnya adalah otentisitas
dalam praksis itu sendiri.
Untuk menggambarkan otentisitas Golomb kemudian mengajukan sebu-
ah analogi. Baginya masyarakat yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang
otentik serupa dengan sebuah orkestra musik klasik tanpa konduktor. Di dalam
orkestra ini, setiap orang memainkan komposisi mereka sendiri. Pada waktu
tertentu komposisi seseorang akan berjalan harmonis dengan orang lainnya.
Akan tetapi harmoni semacam ini tidak selalu terjadi. Hanya ada satu aturan,
menurut Golomb, yakni bahwa tidak ada satu komposisi yang boleh menjajah
komposisi lain. Tidak ada satu pemain musik pun yang boleh memaksakan per-
mainannya pada pemusik lain. Memang dari luar musik yang tercipta nyaris tak
beraturan. Akan tetapi bagi pemain musiknya, setiap alunan nada yang mereka
mainkan, seberapapun tak beraturannya, memiliki makna personal yang men-
dalam. Musik yang dimainkan oleh orang lain berfungsi sebagai latar belakang.
Latar belakang tersebut akan membuat musik yang dimainkan oleh masing-
masing orang berkembang lebih sempurna dari waktu ke waktu.
Apakah analogi semacam itu bisa diterapkan dalam konteks masyarakat
faktual? Apakah orang sebagai pribadi sudah cukup mampu dan mau untuk
bertindak sendiri, dan bertanggungjawab penuh atas tindakannya tersebut? Me-
nanggapi pertanyaan ini Golomb berpendapat, bahwa masyarakat semacam itu
mungkin terwujud, asalkan setiap orang di dalamnya berpegang pada perintah
moral dasar, yakni untuk mencipta dirinya sendiri secara otentik. Di dalam mas-
yarakat yang didominasi oleh materialisme, neoliberalisme, dan fundamentali-
sme agama, usaha untuk mencapai hidup yang otentik justru semakin penting.
Seperti yang dengan sangat lugas diajukan oleh Golomb, usaha untuk menjadi
otentik menjauhkan kita dari bahaya terbesar, yakni diri kita sendiri.***

1 Pada bab ini saya mengacu pada Jacob Golomb, In Search of Authenticity, London and New
York, Routledge, 1995.
2 Ibid, hal. 1.
136 Menjadi Manusia Otentik

3 Dikutip oleh ibid.


4 Dikutip oleh Golomb, ibid, hal. 2.
5 Penulis mendasarkan pada tafsiran Golomb, ibid, hal. 3.
6 Ibid.
7 Ibid, hal. 4.
8 Lihat, ibid.
9 Ibid, hal. 5.
10 Ibid.
11 Golomb, 1993, hal. 5.
12 Lihat, ibid, hal. 143.
13 Dikutip Golomb, ibid.
14 Lihat, ibid.
15 Ibid.
16 Ibid.
17 Bdk, ibid, hal. 145.
18 Ibid, hal. 146.

-oo0oo-
DAFTAR PUSTAKA

Blackburn, Simon(2004). Lust, Oxford: Oxford University Press.


Bonnewitz, Patrice (1998). Premieres lecons sur la sociologie de Pierre Bourdieu, Paris: PUF.
Carman, Taylor (2008) Merleau-Ponty, Oxon: Routledge
Davies, Douglas J., (2005). A Brief History of Death, Oxford: Blackwell.
Dews, Peter (2008). The Idea of Evil, Oxford: Blackwell.
Dilman, Ilham (1999). Free Will: A Historical and Philosophical Introduction, London: Routledge.
Drucker, Peter (1993) Management: Tasks, Responsibilities, and Practices, New York: Truman Talley
Books.
Golomb, Jacob, (1995). In Search of Authenticity, London and New York: Routledge.
Groff , S. & Halifax, J., (1997). The Human Encounter With Death, New York: A Dutton Paperback.
Guignon, Charles, (2004). On Being Authentic, London: Routledge.
Haryatmoko, (2003) “Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Landasan Teoritis Gerakan Sosial
Menurut Bordieu”, Dalam Basis, Nomor. 11-12.
Laming, Donald (2004). Understanding Human Motivation, Oxford: Blackwell.
Lynch, Michael P. (2004). True to Life, Cambridge: MIT Press, 2004.
Magnis-Suseno, Franz, Kota dan Kerja, Jakarta: Rangkaian Studium Generale STF Drijarkara, 2009
Priyono, Herry (2006). “Habitus Baru”, Dalam : Kompas, 2 Januari.
Todes, Samuel (2001) Body and The World, London: MIT Press.
138 Menjadi Manusia Otentik

Wattimena, Reza A.A (2008). “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf”, Dalam Jurnal Respons Pusat
Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, Jakarta, Volume 13, No.
Wilber, Ken (1997). “An Integral Theory of Consciousness”, In: Journal of Consciousness Studies, 4
(1).

-oo0oo-
TENTANG PENULIS

G
ratianus Edwi Nugrohadi, lahir pada 10 April 1973 dan kini bekerja sebagai dosen di
Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Selain sebagai dosen, saat
ini ia ditugaskan menjadi Pengelola Mata Kuliah Umum di universitas yang sama. Bidang
peminatan umum penulis adalah Psikologi dan Perubahan Sosial, Psikologi Lintas Budaya, Psikologi
Lingkungan, dan Psikologi Politik. Bidang peminatan khusus penulis adalah kearifan (lokal) yang
dikombinasikan dengan Psikologi Politik. Harapan yang dibangun adalah konseptualisasi dan opera-
sionalisasi Psikologi Politik dengan berdasar pada praktek-praktek baik yang khas Indonesia. Penulis
juga melakukan beberapa penelitian ilmiah dan penulisan artikel, di antaranya adalah Menimba
Mata Air Lokalitas (Prolog dalam buku Membongkar Rahasia Manusia: Telaah Lintas Peradaban Filsa-
fat Timur dan Barat, Kanisius: Yogyakarta, 2010), Ecological Intelligence: Harga Mati Bagi Penduduk
Bumi Indonesia (Naskah Prosiding Smart Green City Planning, Jakarta: Direktorat Jendral Penataan
Ruang Kementrian Pekerjaan Umum, 2010), dan Artikulasi Imtak dan Iptek dalam Pendidikan Kara-
kter (Naskah Prosiding Seminar Nasional Peran Pendidikan Sains dan Teknologi sebagai Wahana
Penguatan Modal sosial di Era Global, Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember). Penulis
dapat dihubungi di nugrohadi@yahoo.com.

R
eza Alexander Antonius Wattimenadi, lahir 22 Juli 1983 dan kini bekerja sebagai dosen dan
menjadi Sekretaris Fakultas di Fakultas Filsafat, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.
Di samping itu, ia juga menjadi redaktur Media Budaya On Line untuk Kolom Filsafat www.
dapunta.com, anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO (dalam kerjasama dengan Univer-
sitas Airlangga Surabaya) di Unika Widya Mandala Surabaya, dan juga anggota komunitas System
Thingking di universitas yang sama. Penulis adalah alumnus Program Sarjana dan Magister Filsafat
di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta dan telah menulis beberapa buku, yakni: Melampui
140 Menjadi Manusia Otentik

Negara Hukum Klasik (2007), Filsafat dan Sains (2008), Filsafat Kritis Immanuel Kant (2010), Bangsa
Pengumbar Hasrat (2010), Menebar Garam di Atas Pelangi (Artikel dalam buku, 2010), Ruang Publik
(Artikel dalam buku, 2010). Karya lainnya adalah menjadi editor untuk satu buku tentang Filsafat Ma-
nusia (Membongkar rahasia Manusia: Telaah Lintas Peradaban Filsafat Timur dan Barat, Kanisius, Yo-
gyakarta, 2010) dan menulis beberapa artikel ilmiah di jurnal ilmiah maupun artikel filsafat popular
di media massa. Saat ini ia juga sedang menulis buku tentang pemikiran Slavoj Žižek terkait dengan
konsep manusia dan ideologi. Bidang peminatan penulis adalah Filsafat Politik, Multikulturalisme,
dan Filsafat Ilmu Pengetahuan. Penulis dapat dihubungi di reza.antonius@gmail.com atau dilihat di
Rumah Filsafat (http://rezaantonius.wordpress.com/).

A
loysius Untung Subagya, lahir 9 Januari 1959 di Salatiga dan kini bekerja sebagai dosen luar
biasa sejak 1994 sampai sekarang di sub-sistem Mata Kuliah Umum (MKU), Universitas Kato-
lik Widya Mandala Surabaya. Penulis menyelesaikan Program Sarjana Sosiologi Pendidikan
pada tahun 1984 di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan Program Bakaloreat Teologi pada
tahun 1987 di universitas yang sama. Selama 18 tahun, penulis bekerja sebagai editor pada penerbi-
tan Gramedia dan pada tahun 1987 menyelesaikan Program Magister Managemen di Unika Widya
Mandala Surabaya. Di samping mengajar, saat ini penulis banyak terlibat dalam kegiatan pembinaan
kaum muda dan pelayanan kategorial.

-oo0oo-

Anda mungkin juga menyukai