Anda di halaman 1dari 161

____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

TRANSFORMASI
NILAI TAUHID
Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd.

ITPA BANDUNG
2020

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 1


Daftar Isi

Kata Pengantar i
Pendahuluan 1

Bagian 1: Merekatkan Makna Tauhid 7


Pengertian Aqidah 8
Pengertian Iman 10
Pengertian Tauhid 12
Bagian 2: Tauhid Inti Ajaran Islam 15
Tauhid Inti Ajaran Islam 15
Tauhid Kesatuan Total 17
Bagian 3: Fitrah Bertauhid 21
Fitrah Bertauhid 21
Tuhan Sejarah Kehidupan 27
Bagian 4: Tauhid Ilmu Pengetahuan 31
Tuhan dalam Teoti Atom 34
Informasi Tuhan Berada dalam DNA Mahluk 35
God spot:Titik Tuhan dalam Otak Manusia 35
Tuhan Metafora Hukum Alam 36
Bagian 5: Tauhid Penciptaan 39
Tauhid Rubbubiyyah 39
Tauhid Uluhiyyah 40
Tauhid Asma wa Sifat 40
Bagian 6: Tauhid Af‟al, Asma, Sifat dan Dzat 43
Tauhid Af‟al 43
Tauhid Asma 44
Tauhid Shifat 45
Tauhid Zat 46
Bagian 7: Makrifat Rukun Iman 51
Makrifat kepada Allah 51
Makrifat Malaikat 54
Makrifat Kitab-kitab Allah 55
Makrifat Nabi dan Rasul 56
Makrifat Takdir 60
Makrifat Hari Akhir 62

Bagian 8: Makrifat Rukun Islam 67


Makrifat Syahadah 67
Makrifat Shalat 72

2 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Makrifat Zakat 79
Makrifat Puasa 81
Makrifat Haji 84

Bagian 9: Makrifat Asma al-Husna 87


Bagian 10: Makrifat Zikir Dasar 97
Kesadaran Tutur 100
Kesadaran Tadabbur 101
Kesadaran Tafakkur 101
Kesadaran Tasyakkur 102
Kesadaran Tazakkur 103
Bagian 11: Makrifat Zikir Utama 105
Bagian 12: Makrifat Zikir Makna 111
Bagian 13: Makrifat Keluarga 115
Bagian 14: Makrifat Sosial 123
Bagian 15: Makrifat Bisnis 129
Bagian 16: Makrifat Psikologi 137

Daftar Pustaka 149

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 3


Kata Pengantar

Alhamdzulillah dalam waktu yang sangat singkat buku Tauhid:


Menggugah dan Merubah Kehidupan dapat terselesaikan meski masih
terdapat banyak kekurangan yang belum terselesaikan karena keterdesakan
untuk diperbanyak bagi para mahasiswa yang segera akan mengakhiri
perkuliahan semester pertama.

Buku ini lebih mendekatkan para pembaca pada pemahaman yang


mendasar bahwa tauhid bukanlah ilmu “alam sana”, tetapi ilmu terapan
yang bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, meski derivasinya lebih
terlihat pada Syari‟at atau Akhlak. Tetapi yakinlah bahwa bahwa Akhlak
tidak akan berada pada rel yang benar tanpa tauhid yang benar. Tak ada
pertentangan, tak ada keraguan, dan tak ada kesangsian tentang kebenaran,
keutamaan dan kehidmatan itu. Semua menyatu, segenap terpadu, dan
segalanya terintegrasi secara holistik, tak ada tauhid tanpa syariah atau
syariah tanpa akhlak dan tak ada akhlak atau syariah tanpa aqidah. Pen.
Tak perlu perdebatan atau perhelatan, karena hanya butuh ketaatan,
ketundukan dan keikhlasan.

Terima kasih, semoga pembaca berkenan memberi masukan dan


koreksi atas buku yang ada di tangan pembaca yang budiman.

Bandung, 21 September 2013

Penulis,

Dr. Mursidin, M.Pd.

4 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 5


PENDAHULUAN

Artinya:
“Wahai manusia! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta
selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan
bumi? Tidak ada tuhan selain Dia, maka mengapa kamu berpaling dari
ketauhidan” (QS. Fathir [35]:3).

Kenapa banyak insan kehilangan Allah? Sibuk mencari Tuhan.


bimbang menggapai al-Khalik. Padahal Allah ada dimana-mana. Bahkan
Allah lebih dekat daripada urat leher sendiri dan Allah tidak pernah
meninggalkan mahluknya walau satu detikpun. Tetapi begitu sibuknya
manusia mencari Tuhan, yang ketemu malah tuhan bukan Tuhan atau
Tuhan bukan Allah. Apa yang sebenarnya terjadi dalam diri manusia?
Kenapa Allah yang begitu dekat dicari ke tempat yang begitu jauh. Allah
tidak akan ketemu, pasti tidak akan ketemu, karena dicari. Pasalnya, Allah
tidak pernah hilang, Allah tidak pernah mati dan Allah tidak pernah jauh
dari diri kita sendiri dan Allah tidak pernah bersembunyi. Pencarian Allah
oleh manusia-manusia pensuka alasan, persis seperti orang yang kehilangan
jarum pentul di sebuah semak belukar yang gelap, namun dia mencarinya
di bawah tiang cahaya listrik dengan alasan karena terang. Jelas tidak akan
ketemu, sebab hilangnya saja buka di tempat itu. Meski ketemupun tentu

6 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

bukan jarum milik dia yang telah hilang tetapi jarum lain atau selain jarum.
Kalau begitu dimanakan Tuhan itu berada?
Pada suatu waktu terjadi sebuah dialog serius antara segerombolan
ikan tenggiri dengan seekor ikan kakap besar di sebuah samudra luas. Ikan
tenggiri mengawali dialognya dengan bertanya kepada ikan kakap besar,
hai kakap yang baik hati, katanya kita-kita ini hidup di air? Tetapi sudah
sekian lama saya hidup saya belum ketemu yang manakah air itu? Ikan
kakap tertawa lebar, sambil menyahuti pertanyaan ikan-ikan tenggiri kecil.
Hai Tenggiri, kata si kakap, bukan saja kamu yang tidak tahu air, akupun
belum pernah ketemu air sampai awak aku sebesar begini. Tetapi saya
pernah mendengar cerita, kata si kakap bahwa di laut sana nun jauh dari
sini ada yang dikatakan air. Disana ikan-ikan lain berkumpul dan memakan
makanan dengan lalapnya karena air di sana sangat kaya dengan planton-
planton dan sumber makanan lainnya bahkan bisa berjemur dibawah sinar
mata hari serta bisa mengambil udara segar. Gerombolan ikan tenggiri dan
pasukan kakappun menempuh perjalanan panjang berhari-hari, berming-
gu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun namun tetap saja
tidak bertemu dengan apa yang dinamakan air. Merekapun berkumpul
untuk kembali membicarakan proses perjalannya yang tidak membuahkan
hasil. Saat mereka berkumpul, tiba-tiba melihat segerombolan ikan lumba-
lumba yang sedang minggrasi ke suatu tempat dengan berjalan sambil
sesekali melompot-lompat ke udara. Pasukan ikan tenggiri dan kakap pun
makin penasaran dengan perilaku ikan lumba-lumba, akhirnya diutuslah
seekor kakap raksasa dan sekelompok ikan tenggiri untuk bertanya kepada
ikan lumba-lumba. Tetapi jawaban ikan lumba-lumbapun sama, bahwa saya
terpaksa kata ikan lumba-lumba berjalan melompot-lompat ke udara agar
bisa menemukan air tetapi hingga kini akupun belum bertemu dengan apa
yang dinamai air. Karena perjalan panjang untuk menemukan air tidak juga
berhasil, akhirnya mereka membuat kesimpulan sendiri bahwa air itu tidak
ada, air itu jauh dari kehidupan kita, air itu cerita fiktif belaka. Begitulah
perjalan hidup manusia untuk menemukan Tuhan, mencari ke gunung-
gunung, bertanya pada dukun dan bersemedi di gua-gua dan mereka tidak
menemukan Tuhan. Akhirnya mereka bertemu dengan tuhan yang selain
Tuhan. Padahal Tuhan jelas lebih dekat dari pada tuhan, lebih akrab dari
pada selain dengan tuhan dan Tuhan senantiasa berada diseputar
kehidupannya, pada segenap keadaannya dan pada dirinya sendiri.
Perhatikan, rasakan dan buktikan bahwa pada dirinya ada-Nya, untuk

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 7


dirinya ada-Nya, oleh dirinya ada-Nya, dari dirinya ada-Nya, bersama
dirinya ada-Nya.
Sebagian dari kita, para manusia, -- mana nu sia?—tetap bertanya dan
mempertanyakan tentang eksistensi Tuhan. Jika Tuhan itu ada dan dekat
dengan saya, kenapa tidak pernah hadir untuk menolong kesengsaraan,
membela penindasan, mengajari kepintaran, merubah kebodohan, menyiksa
penipuan, dan menghantam semua kemalasan, untuk merubahnya menjadi
kemajuan, kesejahteraan, kemakmuran, kepintaran, kecerdasan, kesuksesan,
kebahagiaan dan seterusnya. Ketidakmengertian manusia tentang eksistensi
Tuhan, sama dengan pemahaman seorang kakek tua si tukang cukur. Pada
suatu hari di pinggiran jalan dari perkotaan yang kumuh, seorang kakek tua
dari kampung bersengaja datang ke kota hanya untuk berparas atau
bercukur rambut. Ketika bercukur rambut, sang tukang cukur mengawali
sebuah dialog, kata tunga cukur, “saya tidak percaya adanya Tuhan”, si
kakek tua sontak terperanjat kaget, dan bertanya, “kenapa tidak yakin
adanya Tuhan?”. Si Tukang cukur menjawab dengan ringannya. Kalau
Tuhan itu ada pastikan di dunia ini tidak ada orang yang miskin, bodoh,
kikir, nakal, sombong dan sebagainya”. Lanjut si tukang cukur, “bukankah
Tuhan itu Maha Kaya, Maha Pemberi, Maha Ilmu, Maha Mengetahui dan
Maha-Maha Lain-Nya. Kalau begitu Tuhan itu bohong, Tuhan itu tidak ada
dan Tuhan itu sama saja dengan tuhan. Si kakek tua sehabis bercukur tidak
bisa pulang, karena merasa berkewajiban untuk mengajak bertobat kepada
tukang cukur yang nyleneh, aneh dan sombong. Kakek tua berdiri
menghadap ke seberang jalan sambil memikirkan jawaban apa yang paling
tepat. Tiba-tiba saja di seberang jalan ada seorang pemuda berambut
panjang lewat. Maka si kakek memanggil dan membawanya kepada si
tukang cukur nakal. Ketika menghadap sang tukang cukur, si kakek
berteriak keras, “Hai tukang cukur yang sombong, saya tidak percaya di
dunia ini ada tukang cukur, apapun alasannya”. Si tukang cukur kaget,
sambil berkata, “bukankah kakek baru saja habis saya cukur”. Si kakek tua
berteriak lebih keras “apapun alasannya, apapun dalihnya, apapun
argumennya, apapun reasoning-nya, apapun dalil aklinya, sekali saya tidak,
tetap tidak percaya adanya tukang cukur di dunia ini”. Si tukang cukur
panik dan bertanya lagi, “kenapa tidak percaya adanya tukang cukur?”. Si
kakek tua menjawab dengan tenang, “buktinya masih banyak orang yang
berambut panjang”. Si tukang cukur tertegun dan tertunduk haru, sambil
berkata, “ benar-benar dan benar, meski tukang cukur berjajar puluhan atau

8 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

ratusan dan bahkan ribuan orangpun, jika sang pemuda tadi tidak
menghampiri tukang cukur, tidak mungkin rambutnya tiba-tiba tercukur
rapih”. Jadi bukan Tuhan tidak Maha Rahman, Maha Kaya, Maha Pemberi,
Maha Luas Ilmunya, tetapi si miskin yang malas, si bodoh yang tidak
belajar, si sombong yang tidak berpikir, si kikir yang tidak bersyukur.
Lebih dari sekedar tidak bersyukur, kadang manusia bersifat pem-
bangkang, pemberontak dan ingkar terhadap kepatutan berterima kasih,
berbuat baik dan bertindak bijak sebagai ucapan dan ungkapan serta
refleksi rasa berterima kasih kepada Allah yang telah memberi segala hal
dengan gratis, cuma-cuma dan serba berhadiah. Bila manusia tidak hendak
bersyukur, ditambah sombong, apalagi kufur, sungguh kelewatan banget
dan banget kelewatannya, keterlaluan dan ketaktermaluan.
Renungkan kisah hidmat di sebuah Negara Afrika, ada seseorang
yang memelihara seekor harimau untuk dilatih sebagai pemain sirkus.
Tentu saja harimau tersebut sangat jinak, penurut dan patuh pada perintah
tuannya. Kepatuhan itu tentu bukan tanpa alasan, karena harimau tersebut
telah merasakan kasih sayang dari tuannya yang memelihara, merawat,
memberi makan dan mengasuhnya dengan penuh kecintaan. Namun dalam
suatu waktu, terjadi sebuah peristiwa yang sangat mengagetkan, harimau
tersebut menerkam leher tuannya hingga akhirnya mati. Namun karena si
pemilik harimau itu pernah berwasiat kepada anaknya bahwa harimau ini
harus dirawat dengan sebaik-baiknya dan tidak boleh dibunuh meski telah
menerkam mati ayahnya. Ketika merasa tidak sanggup lagi untuk
memelihara harimau lebih lanjut maka harimau itu diserahkan kepada
pengelola kebun binatang. Selama berada di kebun binatang perilaku
harimau itu sangat aneh, selalu meneteskan air mata, tidak mau menyatu
dengan harimau lain dan bahkan tidak mau makan sama sekali. Makin lama
perilakunya makin aneh, karena mulai memakan tubuhnya sendiri, pertama
kaki depannya kemudian berlahan memakan kaki belakang hingga
akhirnya mati. Peristiwa itu benar-benar menggambarkan bahwa segarang
dan segalak apapun harimau, ternyata memiliki perasaan dan penyesalan
karena telah memangsa tuanya yang selama ini merawat, memelihara dan
menjaganya. Pelajaran berharga bagi manusia yang katanya punya pikiran
dan rasa, kebaikan dan kearifan, nampknya hampir mustahil tidak tahu
terima kasih kepada Tuhannya yang telah memberi begitu banyak kebaikan
dengan segala kenikmatan dan disertai oleh sepenuh keberkahan. Gunung
pun ditundukan, laut ditaklukan, hewan diserahkan, bumi dipasrahkan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 9


dan segalanya diberikan, demi, untuk, bagi, kepada dan bersama manusia.
Adakah manusia masih meragukan-Nya? Pantaskan manusia mengingkari-
Nya? Dan sampaikapankah manusia akan seperti begini, bagai begitu,
serupa dengan bagaikan, laksana andaikan dan semisal sepertinya.

10 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 11


1
MEREKATKAN MAKNA TAUHID

Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam),
(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia
menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”, (QS. Ar-Ruum [30]:30).

Perkataan aqidah, tauhid atau iman, begitu akrab, familiar dan


populer di kalangan umat Islam. Ketiga istilah ini, seakan-akan sudah
menjadi hiasan bibir dan polesan ucapan yang biasa terungkapkan dalam
perkataan yang spontan dan otomatis. Nampaknya pengucapan ketiga
istilah ini, semudah melapalkan kata makan, minum, tidur, pergi, uang, hati
syahadat, shalat, zakat, puasa, haji dan seterusnya. Namun pemahaman dan
pemaknaan secara teologis, konseptual, metodologis, dan praksis masih
mengalami permasalahan yang fundamental dan krusial. Keyakinan dan
pemahaman terhadap keadaan seperti ini terkuatkan dan ternyatakan dari
banyaknya perilaku yang paradok antara kemestian dalam tuntutan
bertauhid dengan perilaku hidup yang justru reduksi, degradasi, bias,

12 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

bayes, kontradiski dan kontraproduktif dengan nilai-nilai dasar dan makna-


makna luhur kebenaran tauhid. Begitu nampak dengan nyata masih
banyaknya perilaku yang bersifat syirik, bernuansa musyrik dan beraroma
mistik meski berbaju spiritual, berkemas budaya, berbalut tradisi, dan
berbungkus kehalusan budi pekerti. Atau fakta yang lebih mengagetkan
bahwa ketaatan shalat dan ketulusan ibadah haji serta kedermawan
berqurban hampir-hampir tak ada korelasi dan signifikansinya dengan
keyakinan tauhid dan keutamaan berakhlak mulia. Betapa tidak? Shalat
berjalan khusuk tapi kemaksiatan, perzinahan, kemiskinan, kemalasan,
kolusi, korupsi dan budaya arogansi berlangsung by concept, by methodology,
by strategy bahkan lebih gila lagi perbuatan tersebut dilakukan dengan
kesadaran berjamaah.
Untuk menjawab kegelisahan dan keresahan atas realitas yang tak
terbantahkan nyata dan adanya, maka secara metodologis penulis akan
menguraikan pembahasan tauhid, uraian aqidah dan kupasan keimanan
dari perspektif yang paradigmatik, konseptual, metodologis dan praksis
yang dihubungsatukan dan disambungikatkan dengan hasanah dan
hazanah spektrum kehidupan nyata agar lebih terbaca, terasa, bermakna
dan berbicara dengan, oleh, untuk dan kepada dirinya sendiri, keluarga,
tetangga, warga, zona, wilayah dan bangsa.

Pengertian Aqidah
Aqidah sepadan juga dengan pengertian tauhid dan sering juga
dimaknai dengan iman. Pembahasan aqidah secara teologis acapkali kaya
dengan konsep yang abstrak, teori yang beragam dan metodologi yang
tidak applicable. Untuk membantu memahami keluasan konsep tentang
aqidah, bijak kiranya jika dikemukan beberapa istilah yang acapkali
dipersamakan maknanya dengan pengertian dasar tentang aqidah, seperti:
a. Ilmu Aqa‟id
b. Aqaidul Islam
c. At-Tauhid
d. Asy-Syari‟ah
e. Al-Iman
f. Ilmu Kalam
g. Ilmu Ushuluddin
h. Ilmu Hakiki
i. Ilmu Makrifat
Banyaknya istilah atau terminologi yang digunakan untuk meng-
ungkapkan cakrawala, hasanah dan hazanah tentang aqidah mengisyarat-
kan luas dan dalamnya pembahasan tentang aqidah meski berada dalam
satu dimensi yang sama yakni menyangkut keimanan dan atau sistem

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 13


keyakinan. Perhatikan kata Aqidah yang berasal dari kata al-Aqdu bisa
bermakna:
a. Ar-Rabth = ikatan
b. Al-Ibram = pengesahan
c. Al-Ihkam = penguatan
d. At-Tawathtsuq = menjadi kokoh/kuat
e. Asy-Syaddu biquwwah = pengikatan dengan kuat
f. At-Tamaasuk = pengokohan
g. Al-Itsbaatu = penetapan
h. Al-Yakiin = keyakinan
i. Al-Jazmu = penetapan

Pengertian Aqidah secara etimologis bila diambil dari kata kerja


“Aqodahu, Yaqidahu, Aqdan” bisa berarti ikatan sumpah seperti kata Uqdatun
Nikah (ikatan nikah). Lawan kata darinya al-Hallu (penguraian atau
pelepasan). Sedangkan pengertian Aqidah secara termonilogis atau syara
sebagai berikut:
a. Perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa secara kokoh dan
kuat serta tidak ada rasa keraguan dan atau prasangka sedikitpun.
Keyakinan penuh atau keimanan total dalam mengikatkan keyakinan
akan Rabb dan Ke-Esa-an-Nya. Sayyid Sabiq, menyebutkan bahwa
aqidah adalah membenarkan sesuatu dan meyakininya tanpa kebim-
bangan.
b. Keimanan yang pasti teguh dengan Rubbubiyah dan Uluhiyyah Allah,
para Rasul-Nya, hari Kiamat, Takdir, hal yang Ghoib, Kitab Allah dan
pokok-pokok agama lainnya dengan ketundukan yang bulat terha-
dap perintah-Nya, hukum-hukum-Nya secara kaffah dan tanpa
keraguan sedikitpun.
c. Sayyid Sabiq dalam bukunya al-Aqidah al-Islamiyah, menjelaskan
bahwa aqidah adalah membenarkan sesuatu dan meyakininya tanpa
kebimbangan.
d. Rasyid Rida, aqidah atau iman adalah percaya yang dibarengi secara
pasti ketundukan, penerimaan dan kepasrahan jiwa secara total.
Tentu saja untuk mengerti dan terlebih tulus menerima kebenaran
tauhid dalam kesatuan hidup yang manunggal dengan Sang Kholik, tidak
cukup dengan pendekatan bahasa tetapi harus menyeruak jauh kedalam
fakta-fakta Realitas Tertinggi yang diolah melalui pikiran hati yang
mendalam, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta tetapi yang
buta, hati yang di dalam dada”, (QS. Al-Hajj [22]: 46). Penerimaan tulus

14 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

sesuatu yang telah menjadi ikatan (aqidah), keimanan atau perjanjian yang
teguh, tentu saja perlu ditegasi dengan keimanan yang ihsan.

Pengertian Iman
Untuk meyakini bahwa aqidah memiliki irisan dan integrasi makna
dengan iman, maka perhatikan pula apa yang dimaksud dengan keimanan:
Iman adalah sebuah keyakinan akan Allah sebagai pencipta, pemilik dan
pengatur segala kehidupan mahluk. Allah menciptakan mahluk dari
sesuatu yang sama sekali tidak ada bahan dan asalnya, yang disebut Badi‟u
dan Allah menciptakan mahluk (termasuk diri kita) dari sesuatu yang ada
asal, bahan dan sebab akibatnya, yang disebut Khalaqa. Keimanan kepada
Allah, harus dijalankan secara utuh, integral dan menyeluruh, yakni
berpadunya antara keyakinan hati dengan ucapan dan tindakan. Seseorang
yang beriman dipastikan hatinya teguh, ucapannya teduh dan perilakunya
puguh. Sebab segala yang diucapkan dan dilakukan adalah manifestasi
keimanannya. Ia menyadari betul bahwa ucapanya adalah „aqwal Allah,
tindakanya af‟al Allah, segalanya berada dalam genggaman kekuasaan dan
kasih sayang Allah. Renungkan dengan kekuatan iman, siapakah yang
berkuasa untuk menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup?
Siapakah di dunia ini yang punya kemampuan untuk menolak datangnya
kematian? Siapakah yang bisa menciptakan langit dan bumi serta segala
isinya dengan penuh pesona dan menakjubkan? Siapakah yang tahu kapan
kiamat akan datang? Keimanan terdalam manusia pasti akan mengatakan
Allah pusat dari segala kekuasan dan kekuatan yang ada. Sebab mahluk
yang ada di dunia ---sehebat apapun manusia--- tiada lain hanyalah karena
kekuatan berian Allah Swt dan semuanya akan kembali bersimpuh-kumpul
dihadapan Allah. Perhatikan firman Allah dalam (QS, al-An‟am [6] : 38),
yang artinya: “Tidak satupun binatang melata di muka bumi dan juga tidak
satupun bangsa burung-burung yang terbang dengan sayapnya melainkan
adalah mereka itu umat-umat seperti kamu juga, kemudian kepada Tuhan
merekalah semua itu akan dihimpun”.
Sebagaimana aqidah, imanpun memiliki dimensi yang luas dan
dalam sehingga pemahaman iman harus dibongkar dari jenis-jenis iman
agar memberi warna pemahaman yang bersifat general, Khoer Affandi
(2008:253) menjelaskan beberapa jenis iman sebagai berikut:
a. Iman Lughatan : yakni iman secara bahasa, yaitu unsur-unsur keper-
cayaan.
b. Iman „Aqidatan: mengesakan yang diibadati (Allah) disertai
keyakinan terhadap ke-Esa-an Zat, Sifat dan Perbuatan-Nya.
c. Iman Syahadatan: iman yang harus diikrarkan dengan memenuhi
syarat ma‟rifat dan tashdiq (pembenaran), yaitu iddi‟an (meyakini
dan membenarkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh manusia dan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 15


Muhammad utusan-Nya), qabul, yaitu menerima dan menjalankan
semua ajaran Nabi Muhammad.
d. Iman Tamaman: iman yang mencakup tujuh puluh cabang iman,
Rasulullah menjelaskan : Kesempurnaan dan tanda iman itu ada
tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah mengucapkan
kalimah la ilaha illallah, sedang paling rendah adalah membuang duri
dari jalanan.
e. Iman „Alamatan : iman yang dapat diketahui secara lahiriyah baik
dari ucapan maupun perbuatan. Iman yang tampak dalam ucapan
seperti mengucapkan kalimah syahadah sedangkan yang tampak
dalam perbuatan seperti shalat, puasa, haji dan ibadah lainnya.
Sabda Rasulullah, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir, maka katakanlah perkataan yang baik atau kalau tidak bisa
lebih baik diam”.
f. Iman Syar‟an: iman yang telah ditetapkan Rasullah sebagai rukun
Islam, sebagaimana Rasulullah ketika ditanya malaikat Jibril: “Berita-
hukan kepadaku tentang iman? Nabi Saw menjawab, “Kamu
beriman kepada Allah, nabi-Nya, malaikat-Nya, hari kiamat dan
kepada takdir (baik/buruk)”.
g. Iman Syufiyyatan : iman yang karena ma‟rifat (mengenal Allah).
Dari ketujuh jenis iman yang juga menggambarkan suatu tingkatan
iman, dimanakan posisi kita masing-masing? Hal ini penting agar kita
senantiasa bisa muhasabah (introspeksi) diri, jangan-jangan keimanan kita
tersesat, terseret dan tersurut ke dalam tingkatan iman yang makin rendah
dan merendahkan derajat kemahlukan manusia.
Lebih lanjut Khoer Affandi menjelaskan bahwa dalam dunia tasawuf
dikenal adanya tiga tingkatan iman yang sudah benar-benar mendalam
serta mendasar, sehingga keimanan dalam tingkatan ini sudah menduduki
maqom tertentu secara istiqomah, yakni:
a. Iman „ilm al-yakin : seseorang yang meyakini sifat „ilm, sama‟ dan
bashar yang dimiliki Allah. Ia telah memiliki keyakinan hati bahwa
Allah selalu bersamanya. Hatinya tidak luput dari perasaan keya-
kinan dilihat, didengar dan diperhatikan Allah. Ia selalu merasakan
Allah hadir dalam setiap desah, deru dan debur kehidupannya,
sekalipun ia berbaur dengan keramaian, kehirukpikukan dan kege-
merlapan lampu kehidupan metropolitan, tetapi hatinya tidak
pernah lalai, lengah dan lemah. Orang yang berada istiqomah dalam
pencapai maqam ini disebut muraqabah.
b. Iman haqqul yakin: seseorang yang meyakini sifat qudrah dan iradah
Allah. Apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya selalu menjadi
jembatan emas untuk melakukan muhadharah dan musyahadah kepada
Allah. Ia melihat mahluk lain tetapi hatinya memikirkan, menyadari

16 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

serta meresapkan Sang Pencipta mahluk. Orang yang telah mencapai


maqam ini telah meraih maqam musyahadah.
c. Iman „ain al-yakin: seseorang yang meyakini sifat hayat Allah. Ia
memiliki perasaan bahwa yang ada dan hidup hanyalah Allah. Ia
tidak sempat memilikirkan mahluk lain, karena hatinya terhalang
oleh pekerjaan hatinya yang senantiasa mengingat dan merenungkan
Allah semata. Orang yang telah mencapai maqam ini disebut wali
majdub.
Ketiga tingkatan iman ini, tidak lagi memiliki jeda antara dan jeda
jarak antara manusia dengan Allah. Seluruh kehidupan telah menyatu dan
menyatakan kejelasan Allah dalam segala kehidupan nyata. Allah sebagai
fakta yang paling nyata dan bukti yang paling ada dalam segala keadaan-
Nya Ada. Ia merasakan pasti dan memastikan rasa bahwa “yang ada adalah
yang tiada dan yang tiada adalah yang Ada”.

Pengertian Tauhid
Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah dengan satu-
satunya yang diibadati. Tidak ada yang berhak diibadati selain Allah.
Karenanya satu-satunya dosa yang tidak bisa diampuni adalah pelanggaran
terhadap tauhid, yakni musyrik kepada Allah. Karenanya pasti tidak ada
satu perintah atau laranganpun dalam ajaran Islam yang bisa terlepas atau
terhindar dari tauhid, karena tauhid adalah inti dan esensi Islam. Jantung
hatinya Islam dan ruh kehidupan Islam yang hakiki.
Mengingat tauhid sebagai kekuatan utama, mainstream ajaran Islam,
maka apa sebenaranya makna tauhid. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy
(1992:1) tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara mene-
tapkan aqidah agama dengan menggunakan dali-dalil yang meyakinkan,
baik dalil naqli, „aqli dan wijdani (perasaan halus). Pengertian ini lebih
cenderung melihat tauhid sebagai ilmu tauhid. Tauhid berasal dari kata
wahada, yuwahidu, tauhidan, artinya mengesakan Allah dalam beribadah.
Tauhid hadir ketika seorang hamba meyakini bahwa Allah SWT adalah Esa,
tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Rububiyyah (ketuhanan), Uluhiyah
(ibadah), Asma` dan Sifat-Nya (nama dan sifat).
Pemahaman komprehensif, utuh dan mendalam tentang pengertian
aqidah, iman dan tauhid, membutuhkan ilmu bantu yang lengkap agar
makna-makna isoterik dan eksoterik dapat direkatkan secara kuat. Menurut
Hasan Hanafi, (2001:206) terdapat beberapa pendekatan penafsiran yang
dapat dijadikan rujukan dalam membongkar, mengguar, dan memapar
makna-makna mendasar dan mengakar tentang Aqidah, Iman dan Tauhid:
a. Penafsiran Filologis, penafsiran terhadap teks berdasarkan bahasa,
pemunculan maknanya didasarkan oleh pendekatan ilmu linguistik
seperti filologi, fonetik, sintaksis, semiologi, gaya bahasa, retorika
dan sebagainya. Bahasa lebih merupakan bentuk pikiran sementara

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 17


makna adalah isinya. Bahasa adalah rumah dari wujud, bukan
ruang hampa. Bahasa merupakan alat untuk memahami makna dan
mene-mukan realitas. Pembentukan kata atau bahasa bersifat
mutlak, arbitrer asalkan memiliki sumber dan maknanya.
b. Penafsiran Historis, penafsiran yang didasarkan pada realitas asli
dimana peristiwa itu terjadi. Perkembangan aqidah, tauhid atau
keimanan memiliki bentang panjang sejarah yang dibawakan oleh
para utusan Allah yang disempurnakan secara terus menerus hingga
mendapat finalisasi pada masa utusan nabi dan rasul terakhir,
Muhammad SAW dan semua yang menyangkut aqidah, keimanan
dan tauhid telah berakhir sempurna.
c. Penafsiran Hukum, penafsiran yang didasarkan pada kaidah benar
atau salah, hak atau batil terhadap sistem keyakinan yang dijalani.
Kaidah penafsiran hukum biasanya berdasarkan teks wahyu, karena
inti dari wakyu adalah hukum. Aqidah, keimanan atau tauhid
merupakan hukum dasar yang menjadi landasan pijak bagi hukum-
hukum Islam berikutnya, seperti syari‟at maupun akhlak. Kebenaran
syari‟at dan ketepatan berakhlak akan sangat ditentukan oleh
kebenaran penafsiran dan pemahaman aqidah/tauhid. Bila aqidah
atau tauhid ditafsirsalahkan atau salah dalam penafsiran maknanya,
maka segala hukum yang lainnya pasti salah.
d. Penafsiran Teologia, penafsiran yang didasarkan pada upaya untuk
mencari pembenaran terhadap doktrin-doktrin ajaran yang kebe-
narannya pasti, namun masih memerlukan pengikatan yang kuat
terhadap sumber kebenaran Tunggal. Doktrin kebenaran tauhid
pasti benarnya dan tidak bisa diukur oleh keluhuran akal pikiran
manusia. Tetapi berfungsinya akal rasa yang halus bisa melengkapi
penguatan doktrin tauhid yang aksiomatik.
e. Penafsiran Filsafati, penafsiran yang didasarkan pada kekuatan
otonomi untuk menemukan koherensi, korespondensi, dan konsis-
tensi kebenaran secara akal dengan menggunakan kekuatan dan
kehebatan logika akal sehat, namun tentu saja tidak semua doktrin
kebenaran tauhid bisa diukur oleh akal sehat manusia, karena
kebenaran tauhid melampaui kebenaran insani.
f. Penafsiran Ilmu Pengetahuan, penafsiran yang didasarkan pada
pendekatan sains modern yang kebenarannya bukan saja logis tetapi
sekaligus empirik. Kini penemuan tentang “fakta-fakta adanya
Tuhan” makin banyak ditemukan dalam rumah modern ilmu penge-
tahuan. Pembuktian tentang Allah bisa dilakukan lewat banyak cara,
seperti melalui keyakinan, logika, pengalaman dan termasuk
pembuktian secara ilmu pengetahuan.

18 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

g. Penafsiran Sosial, penafsiran yang didasarkan pada teks sebagai alat


kritis untuk melihat jarak antara ril dengan yang ideal dengan tujuan
utama agar kultur sosial mengalami adaptasi dengan kebenaran
Ilahiyah. Fakta social memastikan, bahwa dalam zaman dan lapisan
masyarakat manapun tidak ada satu masyarakat pun yang tanpa
Tuhan hatta masyarakat Atheis sekalipun. Masyarakat Atheis
bukanlah masyarakat tanpa Tuhan tetapi masyarakat yang sengaja
mengingkari Tuhan.
h. Penafsiran Estetika, yakni penafsiran yang didasarkan pada sebuah
pendekatan teks yang dimetafora sebagai pengalaman hidup dimana
teks tidak berada di dalam teks melainkan di dalam diri sendiri, teks
tidak berada dalam objek tetapi berada di dalam subjek.
Dengan penafsiran yang utuh dan menyeluruh diharapkan
pemahaman tentang aqidah atau tauhid bukan sekedar makna luar, arti-
fisial, dekoratif tetapi jauh menjangkau aspek yang tidak nampak keper-
mukaan dan kepermulaan, tetapi lebih bersifat esensial dan subtansial.
Kekuatan tauhid atau aqidah kini terkesan mengalami degradasi dan
dikotomi dengan syari‟ah dan akhlak, sehingga nampak berbagai perilaku
yang menunjukkan kontra-produktif satu dengan yang lain. Misalnya
seorang yang taat shalat (syariah), tetapi tidak signifikan terhadap kemu-
liaan akhlak dan sekaligus kekokohan aqidahnya.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 19


2
TAUHID INTI AJARAN ISLAM

Artinya:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Segala puji
bagi Allah, Tuhan seluruh Alam. Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Pemilik hari pembalasan. Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah
dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.Tunjukilah
kami ke jalan yang lurus. (Yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau
beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
pula jalan mereka yang sesat”, (QS. al-Fathihah [1]:1-7).

Tauhid Inti Ajaran Islam


Tuhan merupakan inti pengalaman keagamaan. Pengenalan tentang
Tuhan perpusat pada pentauhidan-Nya. Pentauhidan kepada Tuhan hanya-
lah pada apa yang disebut Allah, yang tiadak ilah selain Allah, Yang Maha
Suci dari segala sifat-sifat kemahlukan. Tak ada yang bisa disetarakan,
disemisalkan, apalagi diserupakan dengan-Nya. Allah benar-benar tidak
membutuhkan ruang dan waktu. Dan jika ada yang meyakini sebuah

20 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

konsepsi Tuhan membutuhkan kehadiran mahluk, maka itu pasti sebuah


keyakinan yang keliru.
Manusia secara hakiki dan esensi tidak bisa melepaskan dirinya dari
eksistensi Tuhan. Terlepas dari ada atau tidak adanya kesadaran untuk
mengakui kebenaran eksistensial itu. Karena diakui atau ditolak Allah
sudah diakui manusia sejak alam konsepsi melalui IKRAR PRIMORDIAL,
yakni ikrar yang dilakukan manusia sejak dalam alam konsepsi (QS. Al-
„Araf [7]:172), ”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terha-
dap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”,
mereka menjawab, “Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami
lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Penerimaan kehadiran Allah dalam kehidupan manusia tidak bisa
diukur oleh kesadaran akal atau rasio manusia, apa pun kekuatan akal itu
bekerja. Tetapi akal menjadi prasyarat utama keimanan manusia kepada
Allah. Kenapa akal menjadi prasyarat utama keimanan? Jawabanya, karena
iman kepada Allah merupakan tahapan tertinggi dari kemampuan berpikir
hati (QS. Al-Hajj [22]: 46). Tauhid tidak bisa diukur oleh logika, tetapi tauhid
merupakan pemahaman yang logis dan bahkan bisa dibuktikan secara
empiris. Puncak pemahamannya berada pada spiritualitas berpikir ruhani,
bukan berpikir akali. Sebab berpikir akal atau logis sering kali membawa
pada analisis yang berujung pada hadirnya sikap ragu. Sedangkan keiman-
an membutuhkan ketundukan total, ketaatan penuh dan penerimaan tanpa
ada peluang penolakan sedikitpun.
Penerimaan total atas tauhid sebagai konsep abstrak membutuhkan
pembuktian dan pembaktian yang nyata dalam bentuk perilaku terukur,
teramati dan terlihat secara nyata. Syari‟at pasti terlahir dari keniscayaan
pembuktian konsep abstrak tauhid yang harus ternyatakan secara aktual
dan dibangun secara berkelanjutan, agar keyakinan tauhid tetap terpelihara,
utuh dan tidak tercemari virus-virus kemusyrikan. Syariat yang benar pasti
yang sesuai, koheren, dengan prinsip-prinsip tauhid. Kenapa? Sebab syariat
adalah tauhid, ia adalah aqidah. Satu jenis beda bentuk atau bahkan satu
jenis dan satu bentuk, yakni bentuk bundar dari Tauhid. Syari‟at dimak-
sudkan untuk memberikan aturan, hukum dan tata cara pentauhidan
ibadah kepada Allah dalam bentuk yang aplikatif (perbuatan). Syari‟at
merupakan bentuk lanjutan tatanan mewujudkan tauhid dan buahnya
berupa Akhlak, yakni perbuatan perwujudan dari nilai aqidah/tauhid yang
dilatih dalam bentuk peribadatan syariah. Jadi aqidah, syariah dan akhlak
adalah saudara kembar tiga yang terlahir dari induk yang sama yaitu
Tauhid itu sendiri. Benang merahnya, darah merahnya, energi listriknya

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 21


tetap satu yakni peng-Esa-an Allah dalam segala bentuk dan perbuatan-
Nya.

Tauhid Kesatuan Total


Islam memiliki lapisan kedalam ajaran yang begitu dahsyat. Ia tidak
hanya berbicara pada apa yang bisa dilihat, dipikirkan, dirasakan tetapi
diyakini oleh keimanan yang dalam. Islam sama-sekali tidak memisahkan
inti ajarannya dalam sebuah episode yang pragmental atau parsial. Karena
Islam hanya berbicara satu keyakinan yakni Pentauhidan atau peng-Esa-an
Allah dalam segala zaman dan keadaan tanpa kompromi. Sedangkan
pemilahan adanya dimensi ajaran yang bersifat Aqidah, Syari‟ah dan
Akhlak hanyalah ada dalam penyebutan, sebab hakekatnya sama seperti es
dan air, es adalah air dan air adalah es, itu-itu jugakan.
Karena kesatuan utuh dan tunggal antara aqidah, syariah dan
akhlak, maka ketika berbicara tentang aqidah sebagai sebuah konsep, maka
syariah terlahir secara otomatis sebagai sebuah proses untuk mewujudkan
tujuan utamanya yakni akhlak. Sayid Sabiq (2006: 15) ketika menguraikan
tentang aqidah dan syari‟at menegaskan bahwa keduanya tidak bisa
dipisahkan secara subtansi dan esensi, sebab keduanya seperti buah dengan
pohonnya, musabab dengan sebabnya, natijah (hasil) dengan mukaddimah
(proses pendahuluannya) yang senantiasa menyatu dan menyatukan yang
satu untuk tetap satukesatuan utuh. Karenanya al-Qur‟an senantiasa
menggandengkan antara iman dan amal sholeh (aqidah dan syari‟ah)
sebagai sinergi utuh yang saling meluluhkanpadukan. Allah berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, maka
Tuhan Yang Maha Pengasih akan menanamkan dalam (had) mereka rasa
kasih sayang” (QS. Maryam [19]:96). Kemudian ditegaskan pula dalam (QS.
Al-Baqarah [2]:25), “Berikan kabar gembira kepada orang-orang yang
beriman dan beramal kebaikan, bahwasanya mereka itu akan memperoleh
surga yang di bawahnya mengalirkan beberapa sungai”.
Penyatuan aqidah, syariah dan sekaligus Akhlak terjadi pada semua
ajaran Islam, shalat misalnya. Ketika shalat diyatakan konsep keyakinan inti
atau aqidah utama yang bisa membedakan antara kafir dengan muslim,
maka secara otomatis dibutuhkan syariah (shalat) sebagai tata aturan pokok
untuk menjalankan sistem shalat agar meng-aqidah. Dari sistem keyakinan
(shalat) yang dijalankan (disyariatkan) akan terwujudnyatakan dalam
kualitas perbuatan yang disebut Akhlak. Karena itu, shalat yang dijalankan
tanpa aqidah, hampa keimanan seperti penelitian tanpa konsep. Demikian
pula keyakinan wajibnya shalat tapi tidak dijalankan dengan tegak, laksana
penelitian tanpa metodologi, tanpa proses dan shalat yang dijalankan tetapi
tidak menghasilkan akhlak shalat, tak ubahnya seperti sebuah penelitian
tanpa tujuan, pasti tanpa hasil yang bisa dicapai, bagai pohon yang tidak

22 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

pernah berbuah. Padahal sejatinya tujuan shalat adalah untuk membuat


pelakunya samakin berakhlak, yakni mampu mencegah perbuatan pahsya
dan munkar (khianat, dosa, dan dholim terhadap diri sendiri dan terhadap
orang lain), “…Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah perbuatan keji dan
munkar…”(QS. Al-Ankabut [29]:45) dan dalam tahapan tertentu sekaligus
mampu mewujudkan kualitas umat terbaik, “Kamu semua adalah sebaik-
baik ummat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kebaikan dan
mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”(QS. Ali Imran [3]:110).
Ketika aqidah, syariah dan akhlak dinyatakan sebagai satu kesatuan
utuh, aqidah sebagai akar, syariah sebagai batang dan akhlak sebagai daun-
nya, yang bisa menghasilkan buah, maka ketiganya saling menghidupkan
dan sekaligus saling mematikan. Jika akarnya dipotong, batang dan ranting
atau daun akan mati, jika batangnya dirusak, akar dan daun akan rusak
pula, jika ranting atau daun diberangus, dipruning, akar dan batang lama-
lama akan mati juga. Kenapa demikian? Sebab pada daun ada proses
fotosintesis yang bisa mengambil sari makanan dari matahari, batang
mencari makanan dari sinar matahari dan air dengan membuka stomatanya
dalam waktu tertentu dan akar mencari sari-sari makanan dari tanah.
Semua proses itu untuk kepentingan pertumubahan total, bukan untuk
sebagiannya saja. Sama pula jika pohon aqidah, batang syariah dan daun
akhlak ingin bertumbuh dengan baik, bisa dipupuk melalui akar, batang
maupun daun. Jika seseorang ingin menjadi muslim yang paripurna, harus
dibina keyakinan aqidahnya, dipupuk praktek syari‟ah dan dipetik kebia-
saan berakhlak mulianya. Demikian pula dengan datangnya penyakit pada
pohon bisa berasal dari akar, batang maupun daun. Datangnya penyakit
untuk menjadi seorang muslim kaffahpun bisa berasal dari aqidah dengan
syirik, pada syariah berupa bid‟ah dan untuk akhlak semisal perbuatan
fitnah, iri, dengki, hasud dan seterusnya.
Diskursus Islam sebagai agama kehidupan yang dideklarasikan
sebagai rahmatan lil‟alamiin, tegas memiliki keluasan dan kedalaman ajaran
yang bukan saja sesuai kebutuhan tetapi melampaui yang diharapkan
dalam kehidupan. Islam berbicara bukan saja tentang alam dunia (hari ini),
tetapi juga berbicara tentang kehidupan dan paska kehidupan di dunia
(surga dan neraka). A. Dabana (2003: 102) mengilustrasikan beberapa
lapisan dalam diksursus Islam, seperti Syariat (konsep), Tarekat (metode),
Hakekat (hasil kajian) dan Makrifat (simpulan), keseluruhannya merupakan
sebuah konsep utuh yang tidak bisa dipisahkan dalam perjalanan menuju
pengenalan Allah yang sebenarnya. Syariat berperan sebagai konsep berupa
pemahaman yang benar tentang apa yang benar dalam pelaksanaanya.
Sebab ketepatan dalam memahami syari‟ah akan menjadi pintu pembuka
yang benar untuk menentukan metode apa yang akan digunakan (tarekat).
Bila konsep dan metode sudah tepat maka besar kemungkinan untuk dapat

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 23


memperoleh hasil kajian yang benar (hakikat) dan sekaligus mendapatkan
simpulan yang tepat dan akurat (makrifat).
Untuk mencapai makrifat harus berdiri tegak di atas syariat dan
tarekat yang benar, tentu saja agar mencapai yang hakiki, tidak bias, seperti
merasa dekat dengan Allah padahal masuk pada perangkap syetan. Jika
begini pasti ada yang salah. Hakekat mengintegrasikan bermacam ilmu,
sehingga menjadi landasan yang kuat untuk mencapai pengetahuan, yakni
makrifat. Untuk sampai bermakrifat orang harus:
a. Mengerti ciptaan Allah, seperti riset pakar sains yang sampai pada
simpulan, “tidak semua diciptakan dengan sia-sia”. Aku berlin-
dung dengan maaf-Mu dari hukum-Mu. Itulah akal baik mak-
rifatnya kepada Allah.
b. Lalu menuju pemahaman sifat-sifat Allah, Aku berlindung dengan
ridho-Mu dari murka-Mu. Itulah akal baik taatnya kepada Allah.
c. Memikirkan zat Allah. Aku berlindung dengan-Mu terhadap-Mu.
Itulah bekerjanya akal baik sabarnya pada Allah.
Ketiga makrifat ini, bila dijalankan dengan baik dan benar akan
mengantar seseorang mencapai maqom Yakin. Yakin atas kebenaran yang
Hak dan yakin hanya adanya satu kebenaran Tunggal yang berasal dari Zat
Yang Maha Luhur. Mengerti ciptaan Allah saja sudah sangat cukup bagi
orang yang berpikir untuk bermakrifat kepada Allah, dekat dengan-Nya,
bersama-Nya dan senantiasa dalam naungan-Nya. Terlebih bila ber-
makrifat dengan sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna. Sempurna dalam
sifat ar-Rahman, Yang Maha Pengasih, dengan limpahan kasih sayang yang
tidak terbatas bagi semua mahluk-Nya.

24 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 25


3
FITRAH BERTAUHID

Artinya:
”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka
menjawab, “Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami
lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (QS. Al-„Araf [7]:172).

Fitrah Bertauhid
Manusia sejak ajali telah menemukan Tuhan. Demikian pula ketika
manusia lahir ke dunia didampingi Tuhan. Manusia menjalani hidup ber-
sama Tuhan dan manusia mati kembali menuju Tuhan. Tak ada lorong
waktu sesingkat apapun tanpa kebersamaan manusia dengan Tuhannya.
Tak ada ruang yang kosong dari kehadiran Tuhan. Sebab Tuhan telah
berada dalam diri manusia ketika manusia belum mengenal dirinya sendiri,
tetapi jauh telah mengenali Tuhannya. Setiap manusia lahir ke dunia telah

26 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

bersyahadah untuk tidak menyembah selain Allah, bersyahadah bahwasa-


nya tidak ada ilah selain Allah (QS. Al-„Araf [7]:172) dan tidak ada yang
wajib diibadati selain Allah dan tidak ada yang dituju dalam hidup selain
Allah.
Karena itu, naluri manusia menunjukkan dengan sesungguhnya
bahwa setiap manusia di belahan bumi manapun senantiasa memiliki
kecenderungan ber-Tuhan. Allah telah ada dalam informasi gen manusia.
Manusia memiliki naluri kuat untuk menyakini tentang Yang Maha Ghaib,
Yang Maha Kuasa, Yang Maha Hebat dan Yang Maha Mengetahui. Hal ini
terefleksi dalam perilaku adanya yang disembah dalam tingkatan manusia
manapun, baik pada masyarakat primitif maupun modern.
Syahadah atau persaksian yang jujur tentang adanya Allah sejak
dalam masa konsepsi, telah terekam secara otomatis dalam sistem keya-
kinan dasar/inner believe yang menjelma dalam kata hati atau hati nurani.
Atau meminjam istilah dari Wolf Singer, Michael Persinger, Ramachandran
tentang God Spot pada otak manusia yang tidak bisa disembunyikan, tidak
bisa dimatikan, sebab secara alami telah melekat (built in) pada setiap orang
sejak sebelum dilahirkan.
Erick Fromm pernah mengungkapkan, bahwa mustahil sama sekali
ada manusia di belahan bumi ini yang tidak ber-Tuhan, sekalipun mengaku
Atheis (anti Tuhan), yang ada lanjut Fromm hanyalah peluang perbedaan
konsepsi tentang Tuhan, yakni Tuhan menurut konsepsi masing-masing.
Secara filosofis penyebutan A-Theis (tidak ber-Tuhan) justru menun-
jukkan sebuah pengakuan yang paling nyata tentang adanya Tuhan, hanya
secara lahiriyah diingkarinya atau disembunyikan ke bawah alam sadar.
Tetapi proses penyembunyian justru makin menunjukkan sebuah peng-
akuan yang paling nyata, sebab pengingkaran adalah pengakuan. Ketika
kata Tuhan muncul sebagai simbol yang diingkari, maka hal yang sesung-
guhnya justru merupakan sebuah konsep yang diyakini, diyakini ada-Nya,
ditakuti pengaruh-Nya, dan dihindari ajaran-Nya serta dipura-puralupakan
keberadaan-Nya.
Kejujuran manusia tentang kesaksiannya terhadap eksistensi Allah
dalam dirinya terekam dalam setiap bagian dari organ tubuh, potensialitas
ruhaniah dan kedalam alam bawah sadar manusia. Sehingga manusia tak
bisa menghindar dari keberadaan Zat Allah dalam dirinya sekalipun
mungkin mengingkarinya.
Tetapi pengingkaran tak bisa menggugurkan kesaksian yang telah
merupakan ikrar primordial. Ikrar yang telah terjadi sebagai rekaman
kodrati manusia, meski manusia sendiri tidak merasakannya, Ary Ginanjar
(2003:85) menyebutnya sebagai bentuk Proto Kesadaran. Bisa jadi sesuatu
yang tidak pernah diakui belum tentu tidak pernah dilakoni dan yang tidak
dirasakan belum tentu tidak pernah ada dalam diri kita. Banyak hal yang

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 27


pernah kita lewati tak pernah bisa mengungkapkan kembali, tapi pasti
sudah kita lewati. Contohnya tentang kelahiran kita, tak ada yang bisa
menceritakan bagaimana perasaan, keadaan dan harapan ketika dilahirkan.
Itulah sebabnya kita tidak perlu meragukan, mempertanyakan, memper-
soalkan tentang ikrar primordial, kesaksian kita terhadap Allah yang telah
kita kukuhkan semenjak masih berada di alam konsepsi.
Manusia hakekatnya mengakui kehadiran Allah dalam dirinya
sebagai bawaan yang bersifat inhern, embedded, melekat secara bawaan (built
in), terlepas bisa dibuktikan atau tidak berdasarkan pemahaman manusia
yang sungguh sangat terbatas untuk menjangkau dunia luar. Kejujuran atas
kesaksian yang telah terekam dalam ikrar primordial, dipertontonkan kem-
bali berupa adanya naluri ber-Tuhan pada manusia.
Tahapan berikutnya, adalah naluri ber-Tuhan yang ditunjukkan
dalam sepanjang sejarah kehidupan ummat manusia. Nabi Ibrahim, mencari
Tuhan melalui matahari dan bulan yang timbul tenggelam. Ibrahim kemu-
dian mempertanyakan, hingga akhirnya menemukan Tuhan. Demikian pula
dengan adanya kepercayaan Animisme atau Dinamisme, juga merupakan
pengakuan, pembuktian atau ekspresi kebutuhan manusia akan kehadiran
Tuhan dalam kehidupannya yang tidak bisa disembunyikan.
Meski mempersonifikasi Tuhan dengan benda. Tetapi kebutuhan
akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia merupakan peristiwa
universatilitas spiritual manusia yang tidak bisa ditahan, dihambat, ditekan,
diperkosa atau dibunuh oleh kekuatan apapun.
Karena itu, pelarangan manusia untuk ber-Tuhan atau beragama
atau sebaliknya manusia mengaku memiliki kebebasan untuk tidak ber-
Tuhan, merupakan bukti nyata ketidakjujuran bertauhid. Pengingkaran atas
Keberadaan Yang Ada secara hipokrit adalah menentang kata hati, mem-
perkosa hati nurani dan membunuh naluri terdalam yang paling benar yang
terpusat pada apa yang disebut spiritual center. Karena ber-Tuhan meru-
pakan naluri, maka ber-Tuhan merupakan kebutuhan setiap umat manusia
di belahan dunia manapun, tanpa mengenal suku, ras, etnis, katurunan,
warna kulit dan seterusnya.
Keimanan yang merupakan potensi bawaan adalah kebenaran yang
sesungguhnya tidak perlu lagi pembenaran, yang diperlukan adalah
kejujuran untuk mengakui kebenaran sebagai kebenaran yang tak mungkin
terbantahkan oleh dalil dan dalih apa pun.
Keimanan sebenarnya sudah inheren membawa kejujuran dan nilai-
nilai kebenaran ultimate value lainnya seperti siddiq, amanah, fatonah, tablig,
sabar, tawakal, adil, disiplin, ikhlas dan dermawan. Pembinaan nilai-nilai
keimanan aktual ini sangat bergantung pada pembinaan inner self yang
dilakukan melalui syahadat, salat, zakat, puasa dan haji. Hal ini sejalan
dengan hadis nabi yang menyatakan bahwa Islam akan tegak bila dibangun

28 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

atau dibina oleh lima proses pembinaan, yakni syahadat, shalat, zakat,
puasa dan haji. Setiap pembinaan melalui kelima bangunan itu (rukun
Islam), sudah dengan sendirinya mengandung nilai-nilai ketakwaan, yang
kemudian nantinya akan menjadi ciri takwa itu sendiri.
Dalam setiap butir rukun Islam, baik syahadat, shalat, zakat, puasa,
dan haji mengandung sifat-sifat amanah, jujur, adil, fatonah, tablig, sabar,
ikhlas dan seterusnya. Perhatikan salah satu contoh tentang puasa (surat al-
Baqarah [2] ayat 182), “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada-
mu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang-orang sebelummu,
supaya kamu bertakwa”. Puasa diwajibkan kepada orang-orang yang
beriman, yang jujur dengan keimanannya, bukan kepada orang selain yang
beriman, yakni orang yang hipokrit atau mengingkari naluri ber-Tuhan.
Perintah berpuasa (termasuk bersyahadah, salat, zakat dan haji)
hanya diperintahkan kepada yang beriman, yakni orang yang terus-mene-
rus melakukan syahadah dengan menyakini, mengatakan, menyatakan dan
membuktikan secara jujur tentang keimannya pada Tuhan dalam sepanjang
napas kehidupan. Syahadah adalah komitmen bertauhid tanpa terputus, tak
terbatasi ruang dan waktu, berjalan sepanjang kehidupan, bekerja seluas
jagat, bergerak sepanjang hayat dan menjadi isi dari segala detak jantung,
hempasan napas, kedipan mata dan deringan suara.
Nilai-nilai keimanan yang merupakan potensi bawaan, merupakan
kekuatan dasar seseorang untuk dapat mencapai derajat takwa yang sebe-
narnya takwa. Melalui proses puasa terkandung suatu latihan inner self
(latihan batin) untuk berpikir positif, bersikap sabar, jujur, adil, amanah,
ikhlas, dermawan, disiplin, pengasih, penyayang dan seterusnya. Nilai-nilai
tersebut, sekaligus juga akan menjadi nilai-nilai takwa sebagai produk dari
pembinaan berpuasa.
Oleh karena itu, syahadah sebagai bentangan panjang pembinaan
ketakwaan, kemudian dikokohkan komitmennya secara rutin melalui salat
dengan sekurang-kurangnya lima kali sehari, diuji komitmennya melalui
zakat agar menyadari bahwa rezeki itu hakekatnya dari Allah, lalu komit-
men syahadat mendapatkan pembinaan secara intensif melalui ibadah
puasa sebulan penuh dan menggapai puncak syahadah melalui ibadah haji
yang melibatkan seluruh daya kekuatan yang dimiliki manusia, baik daya
spiritual, fisik, sosial, ekonomi, emosional dan sekaligus menguji keimanan
anggota keluarga yang ditinggalkan. Inilah sebuah proses pembinaan ketak-
waan yang hebat, lengkap, sistematis dan terencana secara sistemik, dari
rentang pembinaan yang benar-benar individual (syahadah), kemudian
bertahap kepada pelibatan orang lain secara bertahap seperti dalam salat
berjamaah, kemudian diperluas dengan zakat yang perlu pertimbangan
anggota keluarga, serta puasa yang membangun solidaritas sosial lebih luas,
bahkan puncak komitmen sosial yang dibangun dalam ibadah haji yang

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 29


merupakan komperensi sejagat raya untuk membangun kesejagatan rasa
umat manusia dunia.
Kekuatan bawaan takwa dan buah pembinaannya, sesungguhnya
sebagai inti kejujuran bertauhid yang merupakan potensi bawaan, maka
ujian pembuktian kejujuran berikutnya adalah adanya perasaan yang tak
bisa dipungkiri bahwa manusia merasa berkewajiban secara moral untuk
berterima kasih kepada Tuhan, Kant sering menyebutnya sebagai Moral
Imperative, kewajiban moral, dimana manusia secara naluriah merasa
berkewajiban untuk berterima kasih terhadap Tuhan. Kesadaran sebagai
hasil perenungan (tafakkur) betapa banyaknya keajaiban, keunikan,
keteraturan, kemegahan, kedahsyatan dan keindahan dalam diri dan alam
jagat raya ini, mendorong setiap insan secara moral untuk berterima kasih
kepada Allah.
Manifesto keterikatan kontrak ilahiyah manusia terekam tegas dalam
(QS. Ar-Rum [30]: 30) yang menunjukkan bahwa manusia memiliki
kecenderungan hanif ber-Tauhid yang tidak pernah ada perubahan, itulah
agama yang lurus. Dalam al-hadits dinyatakan bahwa setiap anak yang baru
lahir dalam keadaan fitrah (cenderung bertauhid). Karena itu kedua
orangtuanya dan lingkunganlah yang akan banyak berpengaruh dalam
menentukan keberlanjutan dari nilai tauhid itu.
Sesungguhnya, semua yang bertentangan dengan kata hati/naluri
dan keyakinan diri dimungkinkan akan mendapat penolakan secara alami.
Perhatikan pendapat Jhon Locke dalam teori Tabularasi yang begitu
populer. Teori tabularasa, berasumsi bahwa anak yang baru lahir dalam
keadaan putih bersih bagaikan meja lilin atau laksana kertas putih yang
belum ditulisi apapun. Pendapat ini tentu tidak sekedar pendapat, sebab
ada sinyalemen kuat bahwa pendapat ini lahir dalam upaya memberikan
perlawanan dan sanggahan terhadap keyakinan yang menyebutkan bahwa
anak yang baru lahir sudah membawa dosa warisan atau terwarisi dosa.
Perlu ditandaskan kembali bahwa keberadaan Tuhan dalam diri
manusia, telah secara jujur diakui oleh manusia (QS Al-A‟raf [7]: 172),
melalui ikrar primordial dalam masa konsepsi. Jika perjanjian ini dalam
realitasnya diingkari manusia, maka mungkinkah hal ini merupakan awal
dari kebohongan atau ketidakjujuran manusia dalam hal yang lain.
Tesis ini tentu masih perlu pembuktian empirik lebih jauh tetapi
pembuktian teoretik mungkin sudah bisa dipahami, karena ketidakjujuran
berawal dari pengingkaran terhadap kata hati. Artinya bahwa ketika
manusia melakukan kebohongan maka sesungguhnya hati nurani atau kata
hati selalu tidak bisa menerima dan menolak perbuatan yang bertentangan
dengan kebenaran bawaan yang melekat pada keberadaan hati nurani. Hal
ini merupakan kedoliman yang telah membudaya dalam hati. Perhatikan
dalam (QS. Al-Baqarah [2] ayat 92), “Sesungguhnya Musa telah datang

30 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

kepadamu (Bani Israil) membawa bukti-bukti kebenaran, kemudian kamu


jadikan anak sapi (sebagai sembahan) sesudah (kepergian Musa menuju
bukit Tsur untuk sementara) dan sebenarnya kamu adalah orang-orang
yang sangat zalim”. Pengingkaran atas kebenaran yang dibawa para Nabi
sudah merupakan budaya yang ada dalam diri orang-orang Bani Israil.
Karena itu orang-orang Bani Israil, sampai kapan pun tetap akan menjadi
orang yang zalim.
Berbuat jujur atau tidak sesungguhnya terkait dengan keyakinan
atau keimanan seseorang kepada Allah. Orang yang iman dengan selalu
merasa dilihat, terlihat dan melihat Allah, maka segala kehidupan yang
dijalani akan senantiasa berbuat dengan penuh kejujuran. Kenapa kejujuran
terkait dengan keimanan kepada Allah? Bukankah Allah tidak bisa dilihat,
atau bahkan bisa dianggap tidak ada? Perbuatan yang dilakukan karena
pengawasan secara fisik membuat orang berpura-pura jujur, tetapi sebenar-
nya ia tidak jujur, hanya saja merasa takut oleh sanksi bila tidak jujur.
Pengawasan dengan pendekatan instrumental, formal dan fisikal hanyalah
akan membuat orang berpura-pura dengan lakon kejujurannya. Padahal
kejujuran yang dilakukan hanyalah kamuplase, klise, dan artifisial.
Pengawasan secara moral, dimana orang merasa berkewajiban untuk
berperilaku jujur dan memahami jujur sebagai bagian dari ibadah, merupa-
kan kekuatan yang jauh lebih baik ketimbang dengan serba pengawasan
formal. Dengan bahasa yang lugas St. Augustine menyebutkan bahkan
menandaskan, “berpalinglah kepada diri sendiri, sebab kebenaran berada
pada diri manusia sendiri‟. Hal ini bermakna bahwa bila kita ingin berbuat
benar, kembalilah pada kesadaran terdalam bahwa kita hakekatnya mahluk
yang cenderung pada kebenaran.
Kewajiban moral untuk berbuat benar, sesungguhnya akan mendo-
rong seseorang untuk memberi sanksi atau hukuman sendiri atas perbu-
atan yang dilakukannya. Karena sudah merupakan hukum kebenaran setiap
kebaikan adalah kebaikan dan setiap kejahatan adalah kejahatan. Bila
seseorang berbuat tidak benar, maka dosanya itu yang akan membawanya
pada „neraka‟ sekalipun dihindari atau dijauhi, sebab setiap kesalahan
hukum kebenarannya adalah siksaan, derita, dosa atau sengsara dan setiap
kebaikan, hukum kebenarannya surga, kebahagian dan keabadian.
Keimanan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan seseorang tere-
kam dalam disket malaikat Rokib dan Atid, membuat seseorang merasa
bahwa setiap perbuatan akan mendapatkan hisab atau perhitungan yang
akan dihadapi dalam pengadilan akhirat. Buku catatan ini memang tak bisa
dibohongi, karena setiap perbuatan seseorang akan tercatat dalam lembar
buku besar kehidupan yang tidak bisa dipungkiri. Bila kita bertanya kepada
seseorang apakah suka merokok atau tidak, sulit bila hanya berdasarkan
pengakuan secara lisan (buku lisan), maka lebih lanjut dapat memeriksa

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 31


buku catatan berikutnya berupa catatan tubuh seperti karang gigi. Disitu
terlihat jelas apakah pengakuan tadi jujur atau tidak. Bila itu tidak cukup
maka kita dapat memeriksa darah seseorang, apakah mengandung nikotin
atau tidak dan seterusnya. Buku besar perjalanan hidup seseorang sepenuh-
nya terekam dalam disket kehidupan, yang tidak sebesar biji sawipun ter-
lewatkan begitu saja.
Kemajuan yang dikembangkan ilmu kedokteran atau rekayasa
genetika, secara nyata menunjukkan bahwa Tuhan telah ada dalam gen
setiap manusia, gen manusia telah membawa informasi tentang Tuhan
sehingga manusia dipastikan tak bisa menghindar dari keimanan terhadap
Tuhan atau Yang Agung, ungkap Kazuo Murakami, (2008:166). Jadi secara
meyakinkan dapat dinyatakan bahwa keyakinan adanya Yang Agung, Allah
SWT merupakan keimanan yang bersifat genetik, bawaan naluri yang
alamiah, dan patrian yang built in pada setiap manusia. Sachiko Murata
(1997:29) dalam The Tao of Islam menggambarkan tentang pengertian
Tuhan dalam konsepsi Aku (menurut konsepsi masing-masing diri) dan
ada Tuhan yang Hakiki, yakni Tuhan yang tidak mungkin dijangkau oleh
manusia, karena Tuhan tidak terbandingkan dengan kualitas manusia atau
dengan sesuatu apa pun. Tetapi meski tidak dapat menjangkau Tuhan yang
Hakiki, namun manusia mengakui sepenuhnya akan adanya Tuhan, keha-
diran Tuhan dalam dirinya dan kekuatan Tuhan dalam kehidupannya.

Tuhan Sejarah Kehidupan


Fakta sejarah yang tak terbantahkan selalu menunjukkan bahwa
manusia adalah mahluk ber-Tuhan, yakni mahluk yang hidup dengan
kebutuhan akan adanya Tuhan sebagai keniscayaan. Tak ada sejarah kehi-
dupan umat manusia tanpa kepercayaan atau agama. Itu artinya manusia
senantiasa pasti ber-Tuhan hatta berupa agama Atheis yang meniadakan
Tuhan. Konsep meniadakan Tuhan berarti bukti pengakuan adanya Tuhan.
Kemudian ditiadakan, diingkari, dijauhi dan akhirnya “dibunuh”. Jadi
hakekatnya tidak ada atheism, tidak ada pandangan tanpa pengakuan
terhadap Tuhan, meskipun berada dalam kadar yang berupa kepercayaan
atau berupa agama ardhi.
Manusia tak memiliki peluang untuk tidak ber-Tuhan, sebab yang
ada hanyalah lorong perbedaan konsepsi tentang Tuhan. Sachiko Murata
(1997:29) dalam The Tao of Islam, menyebutnya sebagai: (a) Tuhan dalam
Konsepsi Aku dan (b) Tuhan yang Hakiki. Tuhan dalam konsepsi aku,
merupakan konsep Tuhan dalam persepsi manusia, menurut Muhammad
Athoillah disebutnya Tuhan Sejarah, Tuhan yang dipersepsi dan
dikonsepsikan oleh manusia dalam pandangan Tuhan dari masa ke masa,
baik dalam konsepsi Tuhan Monotheisme maupun Politheisme, maupun
Agnotheisme. Sedangkan Tuhan yang Hakiki, tidak bisa ditemukan

32 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

manusia karena keberjarakan yang begitu jauh. Muhammad Athoillah


menyebutnya Tuhan Alam, Tuhan yang diprasangkai tetapi tetap tak
pernah ketemu, selalu salah dan salah dan jauh dari prasangka manusia.
Berbicara tentang Realitas Tertinggi, yakni Tuhan, memang selalu
menjadi diskursus manusia dari zaman ke zaman, tanpa mendapatkan
kejelasan dari ketegasan kebenaran. Tuhan sebagai Realitas Tertinggi selalu
menjadi milik semua manusia dalam segala zaman, meski dirumuskan
dalam konsep yang berbeda. Pada saat konsep Tuhan ditulis dalam Kata:
Tuhan, Allah, Alloh, God, Gusti, Pangeran dan terlebih lagi dibaca dalam
rasa dan asa makna, maka akan melahirkan perbedaan tradisi penghayatan
yang luar biasa. Charles Le Gai Eaton, (1999: 203) membantu memberikan
pemahaman tentang tradisi penghayatan Tuhan dalam tiga tahapan Realitas
Tertinggi, yang tercakup dalam konsep tentang Tuhan. Pertama, apa yang
disebut dengan Zat Allah (adz-Dzat), dalam mistisime Kristen disebut
Godhead (Ketuhanan). Zat Allah berada begitu jauh di atas artikulasi
pemahaman mahluk hingga tak ada yang bisa dikatakan mengenai-Nya.
Sungguh tak bisa dilukiskan dengan apapun kecuali dengan kata sesuatu. Ia
bukan ini dan bukan itu. Ia tidak memiliki citra yang bisa dipahami dan
tidak ada yang bisa dipersandingan dengan apapun yang ada di langit
maupun di bumi. Ia merupakan cahaya yang sangat terang yang tampak
pada kita sebagai kegelapan. Nabi pun bersabda, “berpikirlah tentang
ciptaan Allah dan jangan berpikir tentang Zat Allah”. Tak ada yang bisa
dipikirkan atau tak ada yang bisa menjadi objek pikiran manusia pada
Tuhan Yang Hakiki.
Kedua, “Tuhan Agama-agama”, Tuhan telah mengungkapkan diri-
Nya sendiri dan menyebutkan diri-Nya sendiri dengan, “Nama-nama yang
Indah” dalam al-Qur‟an, dengan ini, kini kita mulai terang untuk mengenal,
mengungkapkan dan beribadah kepada-Nya dengan sifat-sifat-Nya Yang
Agung, Yang Maha Penyayang, Maha Pemberi, Maha Pengampun, Maha
Bijaksana, Maha Adil, Maha Melihat, Yang Maha Awal dan Maha Akhir.
Yang Lahir dan Yang Batin. Tuhan dalam konteks ini merupakan Wajah
yang Esensinya menghadap kearah mahluk tanpa penyimpangan sedikit
pun dalam keseluruhan transendensinya. Ketiga, Tuhan Personal, Tuhan
saya bukan Tuhanmu. Tuhan yang dikonsepsi dan dipersepsi secara
individual. Setiap orang memiliki citra yang berbeda tentang Tuhannya.
Hubungan setiap orang pun bersifat personal dan individual. Hubungan
atau relasi yang unik dan spesifik yang terlahir dan diperoleh dari
pengalaman spiritual yang bersifat pribadi dan privasi. Kelejatan hubungan
personal dengan Tuhannya tidak bisa diukur oleh pengalaman orang lain,
sedalam apapun itu.
Konsepsi Tuhan Personal, telah banyak melahirkan cara-cara
seseorang untuk menemukan momentum yang tepat dalam menjalin keme-

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 33


nyatuan dirinya dan diri-Nya. Kelezatan dalam mem-fana-kan diri hanya
dapat dirasakan oleh orang yang mengalami, bukan yang melihat. Seperti
kenikmatan beribadah dan bermohon kepada-Nya meski dalam suatu shalat
yang sama, tetapi mengalami pengalaman ruhaniah yang berbeda.
Perbedaan kedahsyatan pengalaman ruhaniah dalam berelasi dengan-Nya
ditentukan oleh kualitas, intensitas dan suasana batin seseorang saat
mengalami connected dengan Yang Maha Perkasa. Dapatkah Anda merasa-
kan, sebuah kata Mamah begitu memiliki arti yang sangat besar saat kita
berada dalam suasana haru atas kebaikannya atau sedih karena diting-
galkan ibunda tercinta. Satu kata Mamah, bisa berarti ribuan tetes air mata
atau jutaan alunan do‟a.

34 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 35


4
TAUHID ILMU PENGETAHUAN

Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, seraya berkata, ”
Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia”,
Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari Azab neraka”, (QS. Ali
Imran [3]:190-191).

Dalam keyakinan Islam dan sekaligus ummat Islam bahwa Allah


satu-satunya sumber pengetahuan, satu-satunya sumber kebenaran dan
satu-satunya kebenaran. Tidak ada sumber kebenaran lain selain Allah,
tidak ada sumber ilmu pengetahuan selain Allah dan tidak ada kebenaran
ganda selain kebenaran Tunggal Allah. Manusia tak akan ada yang mampu
menciptakan hakikat kebenaran ilmu pengetahuan. Semua ilmu milik Allah.
Manusia hanya punya formula tentang ilmu dan bukan pemilik ilmu.
Manusia diajari ilmu pengetahuan oleh Allah, baik secara langsung maupun

36 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

tidak langsung, karena Allah at-Ta‟dib, Pendidik Yang Terbaik. Manusia


sebenarnya diajari ilmu oleh Allah sebagaimana Adam, „Sesungguhnya aku
mengetahui apa-apa yang kamu tidak mengetahuinya dan Allah mengajar-
kan Adam beberapa nama seluruhnya …” (QS. Al-Baqarah [2]:30-33).
Ketika ilmu sudah berada di tangan manusia, maka ada ilmu yang
diperoleh secara gifted, turunan dan berian, dimana manusia untuk mem-
perolehnya tidak perlu melakukan penelusuran, penelitian, perenungan dan
penjelajahan lebih lanjut. Ia sudah diberikan dalam bentuk kebenaran
aksiomatik yang tidak perlu pembuktian lagi. Ia bukan pilihan tapi keadaan.
Ia bukan keadaan tapi kenyataan, ia bukan kenyataan tapi kepastian. Ia
bukan lagi kepastian tetapi kemutlakan. Kebenarannya pasti dan kepas-
tiannya benar. Ia tidak sedikitpun bersifat tentatif atau alternatif. Ia bukan
pilihan tetapi keterpilihan sejati. Tak ada ruang untuk berdebat atau lorong
berwacana. Semuanya sudah pasti dan berkesudahan dengan pasti.
Manusia tinggal, “kami dengar dan kami laksanakan, kami tahu dan kami
lakukan”. Ilmu-ilmu seperti ini berada dalam kategori ke-Tuhan-an dan
peribadatan mahdhoh ritual. Wilayah ini merupakan ruang gelap bagi
manusia untuk membuat formula baru. Zona ilmu seperti ini saya sebut
dengan ilmu turunan atau berian. Untuk apa ilmu “zona gelap” ini
diturunkan? Jawabannya, tentu agar manusia tetap memiliki ketundukan
dalam segala aspek kehidupan, sebagai perwujudan dari ketauhidan ilmu.
Allah berfirman, “Sesungguhnya yang takut (tunduk) kepada Allah diantara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu”, (QS. Fathir,
[35]:28). Kaum yang berilmu, dengan kedalaman dan kedahsyatan ilmu
yang dikuasainya semakin dapat melihat kebesaran Allah dan fana‟nya
ilmu, karena yang ada hanyalah Allah. Orang yang bodoh itu pasti sombong
dan orang yang sangat pintar pasti rendah hati. Rendah hati karena tahu
betul keterbatasan ilmunya di tengah lautan ilmu Allah yang tak terhingga
luas, dalam, dan dahsyatnya.
Untuk menunjukkan kebesaran-Nya, Allah menciptakan ilmu penge-
tahuan dengan karakter dasar yang belum final (mutasabihat). Formulanya
harus dicari dan ditemukan manusia melalui kajian yang mendalam. Ketika
ilmu jenis kedua ini formulanya sudah ditemukan seseorang, maka tidaklah
ilmu itu dinisbahkan langsung kepada penemunya, tetapi hanya berupa
formulanya saja. Pada saat Newton atau Galilei Galileo menemukan for-
mula tentang hukum grafitasi (daya tarik bumi), maka hukum grafitasi
bumi itu sebagai ilmu Allah yang formulanya ditemukan Newton atau
Galilei. Kenapa? Sebab sebelum formulanya dirumuskan, daya grafitasi
bumi sudah berada dalam hukum sunnatullah, hukum ketetapan Allah
yang begitu adanya. Sunnatllah itulah sebagai hukum tauhid, hukum
eksakta, yang pasti benarnya. Kebenaran itu makin diperkuat maknanya
ketika hukum grafitasi bumi berada dalam konsistensi dan keajegan yang

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 37


bersifat menetap, sebagai sebuah pembuktian tentang adanya kehendak
yang Tunggal. Firman Allah, “jika di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan
selain Allah, maka keduanya akan hancur lebur”, (QS. Al-Anbiya, [21]:22).
Hukum kesesuaian sebagaimana yang ditampilkan dalam alam makro-
kosmik semakin memastikan keyakinan akan kebenaran nyata tidak adanya
sesuatu dalam makrokosmik yang tidak diturunkan dari metakosmik, yakni
tauhid, prinsip Ilahiyah (Osman Bakar, 2008:97).
Alam makrokosmik yang dengan pasti sebagai ayat-ayat Allah, ayat
kontekstual, yang dengan yakin sebagai mahluk dari yang diciptakan-Nya
ketika dinisbakan kepada hukum makrifat af‟al Allah, maka semua mahluk
termasuk ilmu yang formulanya dirumuskan manusia akan tunduk kepada
Hukum Tunggal, kebenaran Ilahiyah, tauhidul ilm. Kata Ibn „Arabi, Alam
adalah Huwa/la Huwa. Dia/bukan Dia. Ia bukanlah selain Tuhan, karena
tidak ada sesuatu selain Tuhan. Tetapi ia juga selain Dia. Dia bukanlah alam
dan semua yang bereksistensi, “tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya”,
(Charles Le Gai Eaton, 1999:172). Luar biasanya lagi pikiran manusia tidak
bisa menerima kontradiksi alam dengan Yang Tunggal atau terjadi kera-
gaman sifat wujud. Alam dengan Yang Tunggal adalah menyatu, karena
alam maupun ilmu merupakan Realitas Tuhan.
Kategori ilmu Allah yang formulanya dirumuskan manusia, dinamai
Ilmu Temuan. Kenapa dinamai Temuan? Jawabanya, semua ilmu dalam
kategori manapun, secara realitas-konseptual berasal dari sumber yang
Tunggal, Allah SWT. Manusia hanyalah melakukan pencarian untuk mene-
mukan pemahaman yang benar atas realitas yang ada, bukan mencipta
realitas baru yang sama sekali belum ada. Manusia berusaha untuk mema-
hami bagaimana sebuah sistem bekerja dalam sistem kehidupan dan bukan
membuat sistemnya. Mereka (para ahli biologi) mengerti bagaimana sistem
pencernaan berlangsung dalam hewan yang sekecil semut, misalnya, tetapi
mereka tidak membuat sistem pencernaan baru untuk menggantikan sistem
pencernaan yang telah ada. Penerimaan atau ketundukan para ahli terhadap
sistem kerja mahluk yang sudah ada, membuktikan bahwa merekapun
merupakan bagian dari sistem tauhid yang bekerja pada sistem kemah-
lukan-Nya. Allah berfirman, “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pende-
ngaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung-
jawabannya (QS. Al-Israa [17]:36).
Untuk membuktikan kebenaran perjalanan ilmu menuju kebenaran
Tuhan, tauhidul ilm, ada baiknya saya kutif beberapa penemuan penting
yang bisa mempertegas bahwa semua ilmu pada hakekatnya bermula dan
bermuara pada Tauhidullah. Keadaan itu bisa diperjelas dengan beberapa
argumen yang berusaha keras untuk mencari bukti tentang adanya Tuhan,
seperti (a) Argumen Ontologis, Anselm pada abad pertengahan, dia berkata,

38 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

“Kita mempunyai ide tentang Zat Yang Maha Sempurna dan itulah zat yang
disebut “Tuhan”. Tuhan adalah zat yang kita tak dapat menggambarkan zat
yang lebih besar dari pada-Nya. Dengan pikiran yang benar kita akan
sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, (b) Argumen Kosmologis,
Thomas Aquinas, yang membuktikan wujud Tuhan dengan cara argumen
deduktif, yakni segala sesuatu terjadi mesti mempunyai sebab dan sebab ini
mempunyai sebab lain dan seterusnya, maka mesti berakhir pada sebab
Pertama, (c) Argumen Teleologis, yakni argumen dari rencana atau maksud
dunia yang begitu sinergi, tertib dan terjadi evolusi kemajuan dalam alam,
semua itu menunjukkan adanya yang Imanen, (d) Argumen Moral, yakni
kepercayaan pada adanya Tuhan yang didasarkan pada karakter dasar
moral manusia yang memiliki kata hati, hati nurani, dan jiwa batin yang
secara otomatis menjadikan manusia mampu berterima kasih pada Yang
Maha Kuasa sebagai sebuah kecenderungan kuat pada kebenaran. Sesung-
guhnya dalam dada orang-orang beriman senantiasa ada kecenderungan
untuk berbuat kebajikan, sebagaimana dimaksud dalam (QS. Ali Imran
[3]:8).
Beberapa fakta ilmu menunjukkan pada adanya realitas bahwa
semua ilmu merupakan kehendak Tunggal yang secara inhern, gifted,
embeded dalam karakter dasar dari setiap ilmu. Beberapa fakta akan
diungkapkan untuk menegasi tauhidul ilm.
a. Tuhan dalam Teori Atom Modern
Tuhan dapat dibuktikan dalam hukum-hukum Fisika Modern,
seperti Teori Atom. Dari rentetan panjang penemuan atom mulai
(Demokritus (460-370 SM), yang menyatakan bahwa partikel zat
terkecil yang tidak dapat dibagi lagi adalah atom dan dikoreksi oleh
Ernest Rutherford (1871-1937), kemudian dilanjutkan Neils Nohr
(1885-1962) dengan menggambungkan teori kuantum menurut Plank
(1858-1947) dan sampai kepada teori atom modern Louis de Broglie,
dengan teori kebolehjadian atau ketidakpastian tentang elektron.
Penemuan para ahli Fisika Modern dapat dirangkum sebagai beri-
kut: teori terkecil dari materi adalah atom yang terdiri atas tiga
partikel yaitu proton yang bermuatan positif dan dikelilingi oleh
elektron yang bermuatan negatif (elektron) dan neutron bermuatan
netral. Elektron pada hakekatnya adalah timbunan energi semesta
dan kecepatan elektron mengitari proton secepat 100.000 km per
detik, sedangkan elektron bersifat inponderible, yakni (tak dapat
dilihat, diukur, ditimbang dan diraba). Kemudian kita bertanya
secara kritis, siapakah dan dari manakah energi yang teramat besar
itu? Aristoteles menjelaskan bahwa energi itu bersumber dari Actus
Purus atau energy Yang Maha Suci. Einstein lebih tegas menyebut-
kan bahwa Energi Yang Maha Suci itu tidak lain Tuhan Yang Maha

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 39


Esa. Islam meyakini bahwa “ tidak ada kekuatan apapun selain
kekuatan-Nya, Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa (Abdulah
Afif, 1994:57).
b. Informasi Tuhan berada dalam DNA Mahluk
Kemajuan sains dan teknologi telah mampu mengungkapkan
berbagai misteri kehidupan dari yang makrokosmik sampai yang
mikrokosmik. Kini penelitian tentang sains telah berada pada ruang
gelap kehidupan dari kemampuan kasat mata. Sains telah berlari
menuju lorong gelap-gulita untuk mengungkapkan cahaya dibalik
gelapnya terang-benderang Realitas Tertinggi. Betapa tidak sebab,
penelitian tentang biomolekuler telah banyak mengungkap ke-
ajaiban, kehalusan dan kelembutan sel-sel kecil dari kehidupan
manusia. Sel adalah penyusun tubuh mahluk hidup dan dalam sel
itu terdapat inti sel yang menyimpan milyaran kode-kode canggih
yang membentuk perintah kehidupan. Pemetaan terhadap kode-
kode yang disebut genome melaporkan bahwa di dalam inti sel
seorang manusia terdapat sekitar 3-5 milyar kode yang bisa
membentuk sekitar 70 triliun perintah berbeda dan sekaligus ber-
fungsi mengendalikan sel-sel, jaringan sel, organ dan tubuh kita
dapat bekerja dengan canggihnya. Bayangkan saja, perintah
pembentukan kulit ternyata dikendalikan oleh 2.559 gen. Otak
dikendalikan oleh 29.930 gen, jantung oleh 6.216 gen, hati oleh 2.309
gen, usus dan pencernaan oleh 3.838 gen, dan sel-sel darah oleh
22.902 gen. Gen adalah satuan perintah yang ada di dalam inti sel.
Bahkan kini para ahli biologi kedokteran meneliti lebih jauh kepada
bagian-bagian penyusun sel bahkan penyusun inti sel yang merupa-
kan serangkaian kode-kode genetika yang tersusun dari rangkaian
molekul-molekul protein yang sangat khas, yang dikenal sebagai
DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) atau Asam Deoksiribo Nukleat
(Agus Mustofa, 2007:170). Penelitian yang begitu halus dan
kompleks telah membawa babak baru para ilmuwan pada kesadaran
supranatural dan metafisika. Seperti penelitan yang dilakukan Kazua
Morakami (2007:166) tentang genetika yang begitu menakjubkan,
dan mau tidak mau “memaksa saya pada keputusan akan adanya
sesuatu yang Lebih Besar, selama ini saya menyebutnya sebagai
Sesuatu Yang Agung”, Tuhan atau Budha.
c. God-spot, Titik Tuhan pada Otak Manusia
Temuan dari sisi lain tentang Tuhan telah memperkaya hazanah
pemahaman kita bahwa ilmu yang benar akan semakin dekat
dengan Tuhan. Ary Ginanjar (2005:44) mengutif hasil temuan ilmiah
neuro-psikolog Michael Persinger tahun 1990-an dan terkini dari
neurolog VS. Ramachandra yang merasakan pengalaman kehadiran

40 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Tuhan (God Presence) ketika dia berada di laboratorium Laurentian


California dengan cara menghubungkan kepalanya dengan
stimulator magnet transcranial, suatu piranti yang mengeluarkan
medan magnetik yang kuat dan berubah-ubah dengan cepat di area
kecil jaringan otak. Dalam percobaannya piranti itu dirancang untuk
merangsang jaringan di lobus temporal, bagian otak yang berada
tepat di bawah pelipis dan dia merasakan ada kekuatan-kekuatan
lain yang bekerja dan dia “melihat” Tuhan dalam keajaiban itu. Dia
juga melakukan penelitian terhadap orang-orang yang mengalami
penyakit epilepsy di bagian lobus temporalnya cenderung mudah
mengalami pengalaman spiritual (spiritual experience) yang
cenderung pada kesimpulan bahwa para pasien yang sudah sembuh
dari penyakit epilepsy menuturkan pengalamannya seperti “ada
cahaya ilahiah yang menyinari segala sesuatu, ada kebenaran
tertinggi yang berada di luar jangkauan pikiran biasa”. Para pasien
melaporkan bahwa dia mengalami keterpesonaan sehingga semua
yang lain seperti sirna. Dalam keterpesonaan itu yang ada hanyalah
kecemerlangan, persentuhan dengan Ilahi, tak ada kategori (no
categories), tak ada batas (no boundaries) dan yang ada hanyalah
kesatuan dengan Sang Pencipta (Just a Oneness with Creator),
demikian Zohar Marshall mengungkapkan dalam bukunya halaman
81. Perjumpaan manusia dengan Tuhan Nurcholish Madjid
menyebutnya sebagai perjanjian primordial yang dalam al-Qur‟an
dilukiskan dalam firman Allah (QS.al-a‟raf [7]:172), “Dan ingatlah
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak cucu Adam dari
tulang selangka mereka, kemudian Dia meminta persaksian mereka
atas diri mereka sendiri, “Bukankah Aku adalah Tuhanmu seka-
lian?”, mereka semua menjawab, Ya, benar, kami semua menjadi
saksi …”. Theodore Rozak menyebut pengakuan itu sebagai Spiritual
Space, ruang spiritual yang apa bila ruang itu tidak diisi oleh hal-hal
yang baik, maka akan terisi dengan sendirinya oleh hal-hal yang
lebih rendah dan hina.
d. Tuhan Metafora Hukum Alam
Albert Einstein pencetus teori kesetaraan energi dan massa yang
kemudian aplikasinya mengejawantah dalam pembuatan Bom Atum
yang dahsyat. Inti teori dari teori itu adalah penyatuan gaya dan
hukum teori fisika dalam satu teorema yang dapat menjelaskan
peristiwa apapun di alam semesta. Belakangan ini, seorang ilmuwan
ternama Stephen Hawking, seorang fisikawan dan kosmolog mene-
mukan hukum String yang menyebutkan bahwa “jika kita dapat
menyatukan gravitasi dengan mekanika quantum maka kita dapat
menjawab bagaimana alam semesta ini dahulu bermula”. Penemuan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 41


teorinya yang luar biasa telah mengubah Hawking dari pendirian
Atheis menjadi keputusan meyakini adanya Tuhan Yang Maha
Kuasa, Hawking menyebutkan, “saya perlu Tuhan untuk metafora
hukum-hukum alam. Sebab kekuatan Tuhan nyata ada dalam
fenomena alam yang masih misteri ini”.
Objektivitas ilmu yang diperoleh para ilmuwan dalam berbagai
bidang, sebagian besar telah membawa kepastian ilmu kembali pada
pusaran utama, gugus makro dan mikrokosmik yang tidak ada keraguan
sedikitpun tentang kebenar-Nya. Dr. Denret, yang dikutif Sayid Sabiq
(2006:79) menyebutkan bahwa penelitian Denret terhadap 290 ilmuwan
dalam berbagai bidang keahlian menghasilkan simpulan bahwa 243 orang
ilmuwan menyatakan beriman pada Tuhan secara sempurna, 28 orang
belum sampai menemukan kepercayaan yang mantap dan sisanya 20 orang
menyatakan tidak memperhatikan pemikiran-pemikiran keagamaan.
Meski sains “sama” dengan tauhid, tentu pertanyaan besar kita sains
atau ilmu yang mana? Menurut analisis Huston Smith (2003 : 254) bahwa-
sanya kita harus menyadari akan beberapa hal yang menjadi kekurangan
dari Sains, antara lain:
a. Sains tidak dapat menjangkau nilai-moral
Sains hanya berurusan dengan (1) nilai-moral yang instrumental
bukan nilai moral yang instrinsik. Contoh, orang tahu bahwa
kesehatan lebih tinggi nilainya ketimbang kenikmatan badaniah,
tetapi orang tetap merokok atau mengkonsumsi minuman ber-
alkohol. Pertentangan ini tidak bisa diputuskan oleh sains, (2) nilai
moral yang deskriptif (apa yang disukai orang) bukan nilai
normatif (apa yang seyogianya disukai). Contoh, jajak pendapat
tentang pemenang pemilu, itu sains, tetapi siapakah yang semesti-
nya menjadi pemenang? Itu soal lain. Sains tidak pernah sampai
pada summum bonum, kebaikan ultimit.
b. Sains tidak sampai pada makna eksistensial dan global.
Sains sangatlah berarti, tetapi tidak sampai pada makna (1) eksis-
tensial, yakni makna-makna yang sangat mendasar dan memberi
penuh makna, seperti orang kaya, namun tidak dapat merasa
bahagia dengan kekayaannya atau ketika orang mengetahui ten-
tang kehebatan struktur biologis manusia, namun tidak pernah
sampai pada kesadaran betapa sempurnanya penciptaan manusia,
(2) makna global yakni makna-makna yang berkaitan dengan
universalitas kedirian manusia. Contoh, apakah hakekat manusia?
Apakah hakekat kehidupan? Apa makna dari kehidupan manusia?
Kemanakah manusia setelah meninggal? Dan mengapa dalam
hidup manusia harus berbuat kebaikan? Apakah hakekat dari
balasan kebaikan dan perbuatan dosa? Dimanakah manusia setelah

42 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

mati? Bagaimana manusia mempertanggungjawabkan perbu-


atannya kelak? Dan seterusnya.
c. Sains tidak sampai pada penyebab terakhir
Sains biasanya tidak mampu berbicara sebab utama dan sebab
terakhir dari segala sebab. Contoh tentang jatuhnya batu Galileo,
sinar Kepler atau pergeseran mekanika klasik ke modern dilahir-
kan dari pemisahan antara kualitas primer dan sekunder, artinya
pemisahan antara bentuk kuantitatif lama dari sifat yang secara
kualitatif dialami, agar hukum-hukum gerak impersonal dapat
bekerja.
d. Sains tidak dapat melihat hal yang tidak kasat mata
Contoh, Michael Paraday menemukan medan magnetis dengan
menempatkan serbuk besi di atas kertas dan sebuah magnet di
bawahnya. Ketika kertas digoyangkan, maka garis-garis gaya
magnetis tampak. Kemudian serbuk besi yang berserakan tiba-tiba
membentuk garis-garis yang seakan diatur khusus, yang memper-
lihatkan pola medan magnetis. Namun jika ada hal-hal yang tidak
kasat mata yang tidak mempunyai impak pada materi yang ditun-
jukkan, sains tidak mampu menangkapnya.
e. Sains tidak sampai pada persoalan kualitas
Semua yang berupa nilai, kesadaran, makna, tujuan dan hal-hal
yang tidak dapat diturunkan dari materi atau tidak dapat diukur,
maka tidak dapat dijangkau oleh sains. Sains itu empirik. Empirik
itu sains.
f. Sains tidak dapat menjangkau Yang Lebih Tinggi dari kita
Sains belajar tentang apa yang hidup, apa yang ada dan apa yang
nampak, sesuatu hal yang berada dibalik yang ada atau disebrang
yang nampak, tidak terjangkau oleh sains. Sains tidak bisa menja-
wab pertanyaan, apakah yang ada itu yang tiadak atau yang tiada
adalah yang ada? Persoalan mendasar ini tak mungkin terjangkau
oleh Sains.
Dari realitas Allah yang ada dalam berbagai keadaannya ada dan
“sesuatu” dari adanya, baik dalam ilmu, sesuatu dalam diri sendiri, dalam
hidup, dalam mati, dalam ketiadaannya ada, dan adanya ketiadaan, menun-
jukkan secara jelas, bahwa Allah ada dimana-mana. Karena Allah ada dima-
na-mana, maka segala sesuatu yang diperbuat manusia atau mahluk tidak
mungkin terhindar dari bimbingan, kasih sayang dan pengawasan Allah
SWT.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 43


5
TAUHID PENCIPTAAN

Artinya:
“Allah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, lalu
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di-
antara mereka yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat
berbuat sesuatu yang demikian itu? Maha Suci Dia dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”, (QS. Ar-Ruum
[30]:40).

Tauhid Rubbubiyah
Setelah manusia mengerti bahwa alam tidak tercipta dengan
kebetulan, atau tak sengaja, tetapi diciptakan dengan sebuah rancangan
besar yang benar, sehingga strukturnya begitu menakjubkan, pasti akan
sampai pada pertanyaan, siapakah dibalik rancangan besar alam mak-
rokomik? Jawabanya tentu akan sampai kepada Tuhan, Tauhid Rubbubi-
yyah bermakna beri‟tiqad bahwa Allah bersifat Esa, Pencipta, Pemelihara,
dan Tuhan seraya alam (QS. Al-Fatihah [1]:2 dan 4), “segala puji bagi Allah,
Tuhan seluruh alam”, dan “pemilik hari pembalasan”.
Ibn Katsir (Aam Amiruddin, 2008:72) dalam Mukhtashar Tafsir Ibn
Katsir jilid 3 hal 696 menjelaskan bahwa dalam surat an-Naas, Qul a‟udzu
birabbinnas, malikinnas, ilahinnas, mengandung tiga aspek ketauhidan yang

44 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

paling fundamental, yakni tauhid Rubbubiyah, Mulkiyyah dan Uluhiyyah.


Tauhid Rububbiyah terambil dari kalimat Rabbinnas, hanya Allah satu-
satunya Pencipta, Pemilik, Pengendali alam raya dan kekuasaan-Nya. Ia
menghidupkan dan mematikan. “Allahlah yang menciptakan kamu, kemu-
dian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidup-
kanmu (kembali)”, (QS.ar-Rum [30]:40).
Yaitu pengakuan bahwa sesungguhnya Allah adalah Tuhan dan
Maha Pencipta. Orang-orang kafir pun mengakui macam tauhid ini. Tetapi
pengakuan tersebut tidak menjadikan mereka tergolong sebagai orang
Islam. Allah berfirman, "Dan sungguh, jika Kamu bertanya kepada mereka,
'Siapakah yang menciptakan mereka', niscaya mereka menjawab, 'Allah'."
(QS. Az-Zukhruf [43]: 87).

Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah terambil dari kalimat ilahinnas, suatu keyakinan
bahwa Allah yang paling berhak diibadati. Siapapun yang mengibadati
sesuatu selain Allah baik langsung maupun tidak langsung, maka termasuk
musyrik dan saking berbahayanya, musyrik satu-satunya dosa yang tidak
diampuni Allah. Karena Allah satu-satunya yang berhak diibadati, “Dan
tidaklah Kami mengutus seorang Rasul sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepada mereka bahwa tiada Tuhan selain Aku, maka beribadah-
lah hanya kepada-Ku”, (QS.al-Anbiya [21]:25).
Dalam banyak suratnya, Al-Qur'anul Karim sering memberikan
anjuran soal tauhid uluhiyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdo'a
dan meminta hajat khusus kepada Allah semata. Dalam surat Al-Fatihah
misalnya, Allah berfirman, "Hanya Kepada Engkaulah kamu menyembah
dan hanya kepada Engkaulah kamu memohon pertolongan." (Al-Fatihah
[1]:5). Maksudnya, khusus kepada-Mu (ya Allah) kami beribadah, hanya
kepada-Mu semata kami berdo'a dan kami sama sekali tidak memohon
pertolongan kepada selain-Mu. Tauhid uluhiyah ini mencakup masalah
berdo'a semata-mata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-
Qur'an, dan tunduk berhukum kepada syari'at Allah. Semua itu terangkum
dalam firman Allah, "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan
(yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku." (Thaha [20]: 14).

Tauhid Asma wa Sifat


Yaitu beriman terhadap segala apa yang terkandung dalam Al-
Qur'anul Karim dan hadits shahih tentang sifat-sifat Allah yang berasal dari
pensifatan Allah atas Dzat-Nya atau pensifatan Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wa Salam. Beriman kepada sifat-sifat Allah tersebut harus secara
benar, tanpa ta'wil (penafsiran), tahrif (penyimpangan), takyif (visualisasi,
penggambaran), ta'thil (pembatalan, penafian), tamtsil (penyerupaan),

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 45


tafwidh (penyerahan) seperti yang banyak dipahami oleh manusia selama
ini.
Misalnya tentang sifat al-istiwa' (bersemayam di atas), an-nuzul
(turun), al-yad (tangan), al-maji' (kedatangan) dan sifat-sifat lainnya, kita
menerangkan semua sifat-sifat itu sesuai dengan keterangan ulama salaf. Al-
istiwa' misalnya, menurut keterangan para tabi'in sebagaimana yang ada
dalam Shahih Bukhari berarti al-'uluw wal irtifa' (tinggi dan berada di atas)
sesuai dengan kebesaran dan keagungan Allah SWT. Allah berfirman,
"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syuura [26]:11) Maksud beriman
kepada sifat-sifat Allah secara benar sebagaimana tersedia dalam
www.alsofwah.or.id adalah dengan tanpa hal-hal berikut ini:
a. Tahrif (penyimpangan): Memalingkan dan menyimpangkan zha-
hirnya (makna yang jelas tertangkap) ayat dan hadits-hadits shahih
pada makna lain yang batil dan salah. Seperti istawa (bersemayam
di tempat yang tinggi) diartikan istaula atau (menguasai).
b. Ta'thil (pembatalan, penafian): Mengingkari sifat-sifat Allah dan
menafikannya. Seperti Allah berada di atas langit, sebagian kelom-
pok yang sesat mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat.
c. Takyif (visualisasi, penggambaran): Menvisualisasikan sifat-sifat
Allah. Misalnya dengan menggambarkan bahwa bersemayamnya
Allah di atas 'Arsy itu begini dan begini. Bersemayamnya Allah di
atas 'Arsy tidak serupa dengan bersemayamnya para makhluk, dan
tak seorang pun yang mengetahui gambarannya kecuali Allah
semata.
d. Tamtsil (penyerupaan): Menyerupakan sifat-sifat Allah dengan
sifat-sifat makhluk-Nya. Karena itu kita tidak boleh mengatakan,
"Allah turun ke langit, sebagaimana turun kami ini". Hadits tentang
nuzul-nya Allah (turunnya Allah) ada dalam riwayat Imam
Muslim. Sebagian orang menisbatkan tasybih atau (penyerupaan)
nuzul ini kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Ini adalah bohong
besar. Kami tidak menemukan keterangan tersebut dalam kitab-
kitab beliau, justru sebaliknya, yang kami temukan adalah penda-
pat beliau yang menafikan tamtsil dan tasybih.
e. Tafwidh (penyerahan): Menurut ulama salaf, tafwidh hanya pada
al-kaif (hal, keadaan) tidak pada maknanya. Al-Istiwa' misalnya
berarti al-'uluw (ketinggian), yang tak seorang pun mengetahui
bagai-mana dan seberapa ketinggian tersebut kecuali hanya Allah.
f. Tafwidh (penyerahan): Menurut Mufawwidhah (orang-orang yang
menganut paham tafwidh) adalah dalam masalah keadaan dan
makna secara bersamaan. Pendapat ini bertentangan dengan apa
yang diterangkan oleh ulama salaf seperti Ummu Salamah x,

46 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Rabi'ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka
semua sependapat bahwa, "Istiwa' (bersemayam di atas) itu jelas
pengertiannya, bagaimana cara/keadaannya itu tidak diketahui,
iman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah
bid'ah."
Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah memiliki kebergantungan satu
sama lain, sehingga pertaliannya saling memperkuat dan hubungannya
saling melengkapi serta kedudukannya saling menyempurnakan:
a. Tauhid Rububiyah mengharuskan kepada Tauhid Uluhiyah. Siapa
yang mengakui bahwa Allah SWT Maha Esa, Dia lah Rabb,
Pencipta, Yang Memiliki, dan yang memberi rizki niscaya meng-
haruskan dia mengakui bahwa tidak ada yang berhak disembah
selain Allah SWT. Maka dia tidak boleh berdo‟a melainkan hanya
kepada Allah SWT, tidak meminta tolong kecuali kepadaNya,
tidak bertawakkal kecuali kepadaNya. Dia tidak memalingkan
sesuatu dari jenis ibadah kecuali hanya kepada Allah SWT
semata, bukan kepada yang lainnya. Tauhid uluhiyah meng-
haruskan bagi tauhid rububiyah agar setiap orang hanya
menyembah Allah SWT saja, tidak menyekutukan sesuatu
dengannya. Dia harus meyakini bahwa Allah SWT adalah Rabb-
Nya, Penciptanya, dan pemiliknya.
b. Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah terkadang disebutkan secara
bersama-sama, akan tetapi keduanya mempunyai pengertian
berbeda. Makna Rabb adalah yang memiliki dan yang mengatur
dan sedangkan makna ilah adalah yang disembah dengan
sebenarnya, yang berhak untuk disembah, dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Firman Allah (QS. Al-Ikhlas [112]: 1-2) Katakanlah:
“Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan mengu-
asai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia”.
Dan terkadang keduanya disebutkan secara terpisah, namun kedua-
nya mempunyai pengertian yang sama, seperti firman Allah SWT dalam
surat (QS al An‟am [6]:164) yang Artinya, “Katakanlah: “Apakah aku akan
mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu.
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali
kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan
diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 47


6
TAUHID AF‟AL,
ASMA, SIFAT DAN DZAT

Artinya:
“Kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah dan
keburukan apapun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada
(seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi”, (QS.
An-Nisa [4]:79).

Iman adalah kekuatan yang dapat mengantarkan seseorang sampai


kepada Allah sebagai satu-satunya yang wujud. Iman pula yang dapat
memperkuat pentauhidan Allah dalam segala dzat, sifat, asma, aqwal dan
af‟al-Nya, sebagaimana yang diuraikan Syekh M. Nafis (tt:22) berikut:

Tauhid Af’al
Ke-Esa-an perbuatan. Hendaklah kita menyadari sedalam-dalamnya
bahwa pada hakekatnya apapun yang terjadi di alam ini, dilakukan dan
diperbuat manusia pada hakekatnya adalah perbuatan Allah. Bila ada
keyakinan bahwa manusia turut serta dalam proses kejadian atau tindakan

48 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

sesuatu atau seseorang maka harus diletakkan dalam konteks majazi


(bayangan) bukan hakiki. Segala macam perbuatan terikat oleh hukum yang
terjadi pada diri sendiri (mubasyarah) atau di luar diri sendiri (tawallud).
Manusia nyata hanya bisa berbuat dengan kekuatan Allah, seperti gerak
pena di tangan penulisnya. Mubasyarah (terpadu) terjadi karena perpaduan
antara kemampuan kodrati gerak tangan dan kemampuan kodrat gerak
pena. Sedangkan tawallud adalah gerak yang dilepaskan oleh kemampuan
kodrati si penggerak, seperti terlemparnya batu oleh kemampuan gerak
kodrati tangan. Namun pada hakekatnya, kedua macam pengertian itu
(mubasyarah dan tawallud) adalah af‟al Allah. Hal ini didasarkan kepada
dalil/nas al-Qur‟an (1) QS. Ash-Shafat [37]: 96, “Allah yang menciptaan
kamu dan apa yang kamu lakukan”, (2) QS. al-Anfal [8]:17, “Tidaklah Anda
yang melempar (hai Muhammad) tetapi Allah-lah yang melempar ketika
Anda melempar”, (3) surat asy-Syu‟ara [26]:79, “Dialah (Allah) yang mem-
beri makan dan minum kepada saya”. (4) “Tidak ada daya dan kekuatan
melainkan (daya dan kekuatan) Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung”.
Apabila secara terus-menerus Anda melatih musyahadah atau
pandangan tentang satunya perbuatan Allah dan tidak dicampur adukan
antar pandangan lahir dan batin, maka sampailah Anda pada maqom
Wihdatul Af‟al. Pada tingkatan ini, berarti fana (lenyap) segala perbuatan
mahluk, perbuatan diri sendiri, perbuatan yang lain dari Anda dan
“nyatanya‟, yang ada hanyalah perbuatan Allah baik perbuatan jelek mau-
pun yang baik. Hal ini didasarkan pada beberapa dalil naqli (1) QS. an-Nisa
[4]:78, “Katakanlah olehmu (Muhammad) segala-galanya adalah dari sisi
Allah”, (2) Hadit Rasulullah, “Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu dari
segala kejahatan yang datang dari-Mu”, “Ya Allah hamba berlindung
kepada-Mu dari segala kejahatan apa-apa yang Engkau ciptakan”.
Meski berkeyakinan bahwa segala sesuatu perbuatan hakekatnya
dari Allah, namun tidak berarti gugurnya taklif syara, hilangnya kewajiban
hukum atau lepasnya syari‟at. Sebab bila melepaskan syari‟at Anda akan
jatuh pada golongan KAFIR ZINDIK (kufur disebabkan menghalalkan yang
haram). Kafir Zimi (kafir tapi tidak mengganggu orang Islam). Kafir Harbi
(kafir yg menindas orang Islam).

Tauhid Asma
Ke-Esa-an Nama Allah. Segala sesuatu yang maujud (yang diada-
kan) pada hakekatnya hanyalah khayal (kosong) atau waham (sangka)
belaka, bila dinisbahkan (dibandingkan) dengan ujud Allah. Karena itu,
segala sesuatu hendaklah kita katakan, musyahadahkan bahwa pada hake-
katnya segala nama apapun juga kembali kepada nama-nama Allah sebagai
sumbernya. Ujud Allah qodim (berdiri) pada segala nama sesuatu. Zahir
(nyatanya) nama sesuatu ini pada hakekatnya adalah satu. Maksudnya
bahwa sesuatu ini sebagai pembuktian atau kenyataan dari nyatanya ujud

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 49


Allah Yang Maha Esa. Apabila melihat sesuatu (yang tentu ada namanya)
maka yang terlihat adalah “adanya” bukan “sesuatunya”, namun “si-
sesuatu” dengan “adanya” itu sukar dipisahkan. Si sesuatu berbentuk dan
berupa, tetapi si „adanya‟ tidak berbentuk dan pula tidak berupa. Adanya si
sesuatu adalah maujud (yang diadakan), sedangkan Allah adalah ujud (ada
yang kekal abadi, sedia tanpa permulaan). Karena itu Allah bernama az-
Zhohir (Maha Nyata) lebih nyata dari segala yang nyata dan lebih nyata dari
diri sendiri, yang ada adalah yang tiadak dan yang tiadak adalah yang ada,
kamu ada maka kamu tiada dan Allah ada maka artinya Allah Maha Ada.
Adanya mahluk dengan berbatas waktu dan ruang, sedangkan Allah tiadak
awal dan tiadak akhir.
Apabila Tajalli Allah Ta‟ala (tampak nyata) dengan asma-Nya, nama-
nama-Nya Zhohirun terhadap hamba-Nya, niscaya si hamba itu akan dapat
melihat bahwa segala akwan (kejadian) adalah kebenaran Allah dan segala
sesuatu selain Allah, yaitu mahluk hanyalah sekedar sandaran semata-mata.
Karena itu si hamba dapat memandang bahwa Allah adalah hakekat segala
sesuatu, sebagaimana firman Allah (QS. al-Baqarah [2]:110), “Kemanapun
kamu berhadap, disanalah Ujud Allah”. Maksudnya kemanapun, dimana
pun akal, hati, dan roh ini dihadapkan disanalah adanya Allah.

Tauhid Shifat
Yang dimaksudkan ke-Esa-an sifat Allah adalah sepanjang penger-
tian “fana” seluruh sifat-sifat mahluk (termasuk sifat dirinya sendiri dida-
lam atau pada sifat-sifat Allah. Cara untuk memusyahadahkan sifat-sifat
Allah tersebut adalah, “bahwa segala sifat yang melekat/berdiri pada zat
seperti sifat-sifat qodrat (kuasa), iradah (kehendak), ilmu (tahu), hayat
(hidup), sama‟ (mendengar), bahsar (melihat), kalam (berkata-kata) pada
hakekatnya semua itu adalah sifat-sifat Allah. Sebab yang ada pada mahluk
sebenarnya mazhar dari sifat-sifat Allah, karena sifat-sifat mahluk hanyalah
majaz (bayangan) saja. Bahkan bila musyahadah Anda tambah mantap
(tahkik) akhirnya Anda akan dapat merasakan bahwa sifat-sifat Anda
adalah „fana‟ (lenyap sirna didalam/pada sifat-sifat Allah. Perhatikan hadis
qudsi yang diriwayatkan Imam Bukhari: “orang-orang yang merasa dekat
kepada-Ku, tidak hanya melaksanakan apa yang aku fardukan, malah si
hamba itu merasa lebih dekat dengan melaksanakan amalan-amalan
tambahan (nawafil) hingga Akupun mencintainya. Apabila aku sudah
mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya yang dengan itulah ia
mendengar. Akulah yang menjadikan penglihatan yang dengan itulah ia
melihat. Akulah yang menjadikan lidahnya yang dengan itu ia berkata-kata.
Aku menjadikan tangannya yang dengan itu ia memegang. Akulah yang
menjadikan kakinya yang dengan itu ia berjalan-jalan. Akulah yang
menjadikan hati yang dengan itu ia berdlomir (bercita-cita)”.

50 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Cara-cara yang tepat agar Tajalli Sifat (nampaknya sifat-sifat Allah)


itu adalah dengan suatu pandangan yang mantap bahwa pendengar hamba
adalah pendengaran Allah, penglihatan hamba adalah penglihatan Allah
dst, maka „fana‟-lah pendengaran dan sekaligus penglihatan dirinya.
Demikian pula fananya sifat bashar, kalam, ilmu, iradah, „atho (pemberi),
man‟u (tahan) yang semuanya merupakan sifat-sifat Allah. Sedangkan yang
ada pada hamba hanyalah „menerima‟ saja dari Allah, tidak memilikinya.
Dari fananya sift-sifat itu pada hamba maka hendaklah Anda pandang
(syuhud) bahwa hanya Allahlah yang Hayyun (maha hidup) dan berarti
fanalah sifat hayat dari diri Anda. Jika sudah sampai pada tingkatan ini,
maka Anda mencapai maqom BAQOBILLAH (kekal dengan sifat-sifat
Allah).
Oleh karena itu, kenalilah Allah dengan layak dan sempurna agar
benar-benar dapat merasakan Fana fi Shifatillah (lenyap dalam/pada sifat-
sifat Allah) dan Baqo bi Shifatillah (kekal dengan sifat-sifat Allah). Jika
berada pada maqom ini maka Allah akan memberi tahu kepada Anda
tentang rahasia sifat-Nya yang mulia.

Tauhid Zat
Ke-Esa-an Zat, tauhiduz zat, yaitu menyatakan ke-Esa-an zat Allah
pada Zat-Nya. Pengenalan atas tauhiduz zat merupakan tingkatan dan
pelabuhan terakhir dari perjalanan menuju Allah yang dapat dijelajahi
mahluk. Pada tingkatan ini akan dirasakan kelezatan yang tidak dapat
dirasakan oleh kata-kata, suara, huruf, angka atau hal apapun, kecuali
sebuah makna yang sangat dahsyat kelezatannya. Tidak ada satupun
mahluk yang bisa melebihi tingkatan ini, tingkatan Kuhni Zat (keadaan zat).
Bahkan yang bisa mencapai tauhiduz zat saja hanyalah Muhammad Saw
dan wali pengikut beliau.
Kaifiyat (cara) menyatakan tauhiduz zat itu adalah dengan “kita
pandang dengan mata kepala dan hati bahwasanya tidak ada yang maujud
ini kecuali dengan wujud Allah, fana segala zat apapun termasuk zat kita
sendiri dibawah zat Allah yang berdiri sendiri”. Karena itu, semua yang lain
dari pada Allah tidak akan ada kalau tidak „diadakan‟, sebab segala yang
diadakan (maujud) ini qoim bi wujudillah (berdiri dengan ujud Allah).
Segala yang diadakan tentu asalnya tidak ada dan akan menjadi tiada lagi.
Jadi segala yang maujud pasti berada pada ketidakadaan, hayal, kosong,
persangkaan. Segala yang lain selain Allah adanya seperti kenyataan dalam
mimpi, begitu terasa nyata, namun setelah bangun atau terjaga ternyata
segalanya, semuanya tidak ada, perhatikan firman Allah dalam (QS. al-
Qashash [28]: 88), “semuanya segala sesuatu itu binasa, kecuali zat Allah”.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 51


Jadi segala sesuatu selain Allah (aghyar) yang diadakan atau
diciptakan semuanya fana. Alam ini adalah fana karena diciptakan. Syeh M.
Nafis (127:tt) bahwa alam dalam ilmu tasawuf sering diistilahkan dengan:
a. Alam Nuskhatul Haqqi, alam adalah naskah Tuhan, alam adalah teks
Tuhan. Kata-kata yang memiliki pengikatan makna tertentu, sekali-
pun bukan makna yang sebenarnya dari naskat atau teks itu. Alam
ini naskah yang bisa menjelaskan tentang Tuhan, seperti halnya
naskah yang dibuat penulis untuk menjelaskan isi pikirannya.
b. Alam Mir‟atul Haqqi: Alam cermin Tuhan, kita tidak bisa melihat
mata-telinga kita sendiri, kecuali melihatnya dibalik cermin. Allah
tidak bisa dilihat langsung kecuali dalam kaca perbuatan-Nya, ayat-
ayat kekuasaan-Nya, tetapi apa yang ada dalam kaca bukan Tuhan.
c. Alam Mazhar Wujudullah, alam pembuktian ujud Allah, alam tidak
tercipta dengan sendirinya, tetapi alam diciptakan oleh Yang Maha
Pencipta, sebagai pembuktian-Nya, perwujudan-Nya dan sekaligus
pemeliharaan-Nya.
d. Alam „Ainul Haqqi, alam adalah kenyataan Tuhan, tetapi alam
adalah maujud (diciptakan), sedang yang wujud adalah Tuhan.
Tetapi keadaan alam cukup untuk membuktikan tentang adanya
Realitas Tertinggi.
Ketika sekencang apapun manusia berlari menuju Tuhan, secepat
apapun mendekat-Nya, manusia hanya akan sampai kepada banyangan-
Nya, bila dalam diri manusia masih terdapat hijab-hijab tebal yang meng-
halanginya. Allah dengan manusia tidak ada jarak, yang membuat jarak
adalah manusia. Manusia membuat tempok tebat yang tidak bisa ditembus
apapun atau membuat membrane (dinding tipis tapi tidak bisa ditembus)
atau dinding kaca transparan tapi tidak bisa ditembus. Lucu memang,
manusia dengan Tuhannya seperti ikan yang bertanya tentang air. seekor
ikan teri bertanya kepada ikan Kakap, “katanya kita ini hidup di air, tetapi
yang mananya air itu yah”. Allah itu lebih dekat daripada urat nadi dalam
kehidupan manusia, tetapi sebegitu tebalnya dinding penghalang antara
manusia dengan Tuhan-Nya, sehingga manusia tidak tahu dimana Tuhan
adanya. Katanya Tuhan itu ada dimana-mana, tetapi kemapanpun pergi
tidak pernah bertemu Tuhan. Apakah Tuhan yang tidak ada atau dinding
penghalang yang ada pada manusia terlalu tebal?
Beberapa perbuatan bisa menjadi penghalang perjalanan menuju
Allah, (Syeh M. Nafis, 19: tt) bermakrifat kepada Allah yang sebenarnya,
yakni:
a. Kasal: malas untuk mengerjakan ibadah kepada Allah, padahal sebe-
narnya dapat dan sanggup untuk melakukan ibadah itu. Malas bisa
menurunkan kualitas peribadatan, meski secara fisik nampak diper-
buat, tetapi hatinya jengkel, dongkol untuk melakukannya.

52 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

b. Futur : bimbang/lemah pendirian, tidak memiliki tekad yang kuat


karena terpengaruhi oleh kepentingan dan kehidupan duniawi.
Lemah pendirian, bimbang, bisa mengantarkan seseorang pada
peribadan yang berbungkus keberpura-puraan semata.
c. Malal : pemboros, cepat merasa jemu dan bosan untuk melaksa-
nakan ibadah karena merasa terlalu sering dilakukan tapi tujuan
tidak tercapai juga.
d. Ghibah: Menggunjing, membicarakan kejelekan orang lain, me-
ngumpat bahkan bisa jadi memfitnah. Hal ini menjadi penghalang,
hijab bagi seseorang karena perbuatan dosa kepada sesama insan,
(QS. Al-Hujurat [49]:12).
e. Ananiyyah: egois, individualistik, mementingkan diri sendiri dan
tidak mau peduli terhadap perderitaan orang lain bahkan sangat
kikir. Semua ini akan menjadi hijab antara manusia dengan Allah.
f. Ghadab: pemarah, meluap-luap atau mudah tersinggung dikare-
nakan gila hormat bisa menjadi penghalang diterimanya do‟a dan
menjauhkan manusia dari surga Allah (QS. Ali Imran [3]:133-134).
g. Hasad: dengki atau iri hati, merasa tidak senang bila orang lain men-
dapat kesenangan, dan ini artinya cemburu pada pemberian Allah
pada orang lain. Sifat ini bisa menjadi hijab bagi terbukanya perjalan
manusia menuju Allah, (QS. An-Nisa [4]:32).
h. Namimah: memprovokasi, mengadu domba, menghasut, atau mem-
fitnah dengan tujuan untuk membuat orang atau kelompok lain
saling berseteru, bertengkar, tawuran bahkan berperang.
Hal lain yang bisa menghalangi sampainya kita pada Allah, ber-
makrifat pada Allah karena ada Syirik Khofi (syirik tersembunyi), berupa
perasaan dalam hati bahwa segala amal ibadah yang dilakukan adalah
sepenuhnya dari kemampuannya sendiri, bukan dirasakan dan diyaki-
ninya, bahwa semua ibadah yang dilakukan pada hakekatnya dari Allah.
Hal-hal yang tergolong syirik khofi:
a. Ria (Pamer) mempertontonkan, menampakkan ibadah atau amal-
annya kepada orang lain atau ada maksud tertentu, “yang salain dari
pada Allah”, misalnya semata-mata mengharap sorga atau takut
neraka.
b. Sum‟ah : sengaja menceritakan amalnya sendiri kepada orang lain
agar orang lain memberi pujian atau sanjungan.
c. Ujub: rasa hebat diri yang timbul dari dalam hatinya karena banyak
amal ibadahnya, tidak dirasakan bahwa semua itu adalah semata-
mata karena Karunia dan Rahmant-Nya.
d. Hajbun: karena terlena atau kagum atas keindahan amalnya,
sehingga tertahan pandangan hatinya pada keindahan ibadahnya
itu.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 53


Perbuatan syirik khofi merupakan syirik yang sulit diperbaiki jika
yang bersangkutan tidak merasakan atau tidak menyadarinya dengan
selembut-lebut perasaan batin. Apalagi jika syirik itu dikemas dengan
alasan warisan leluhur, demi pelestarian adat, hanya sekedar itu dan ini
saja, dan tidak bertentangan dengan syari‟atkan, kilahnya!. Wah kalau
sudah begini yang bersangkutan harus tobat besar dulu, baca al-Qur‟an tiap
hari dan shalat dengan penghayatan, berdo‟a dan tentu, lahirkan jiwa ikhlas
hanya untuk beribadah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Tauhidullah.

54 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 55


7
TAUHID RUKUN IMAN

Artinya:
“Kebajikaan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat, tetapi kebijakan itu ialah kebaikan seseorang yang
beriman kepada Allah, hari akhir (kiamat), malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi, memberikan harta yang dicintanya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang
terlantar dalam perjalanan, orang yang minta-minta, orang yang
berusaha melepaskan perbudakan, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, memenuhi janji apabila berjanji, sabar dalam kesengsaraan
dan kemelaratan dan juga diwaktu peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar dan merekalah orang-orang yang bertak-
wa kepada Allah,” (QS. Al-Baqarah [2]:177).

Makrifat Kepada Allah


Rukun iman merupakan jalan lurus bagi manusia untuk bermakrifat
kepada Allah. Ketika seseorang telah sampai pada pengenalnya terhadap
Sang Pencipta Yang Maha Luhur dan Agung, yang tidak ada satupun yang
berkuasa di atas berkuasanya Allah, maka akan melahirkan beberapa
keadaan, kualitas dan kapasitas manusia yang berkarakter Ilahiyah.
Beriman kepada Allah merupakan ujung dan pangkal dari segala keyakinan

56 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

terhadap apapun yang diajarkan Allah. Ketika keyakinan pada Allah sudah
luruh, lurus dan kokoh maka keyakinan terhadap rukum iman yang lainnya
akan menjadi begitu mudah. Kenapa begitu mudah? Sebab inti persoalan
keimanan adalah iman kepada Allah dengan segala perbuatan-Nya, dengan
segala kekuasaan-Nya, pada segala kepemilikan-Nya, untuk semua hukum-
hukum-Nya dan kepada seluruh kekuatan utusan-Nya. Bila seseorang
masih mengalami keraguan akan kekuatan takdir atau bekerjanya malaikat
untuk mencatat segala amal perbuatan manusia, maka problem keimanan-
nya bukan pada persoalan itu, tapi pada persoalan pokok keimanan kepada
Allah yang belum mantap.
Kenapa iman seseorang kepada Allah meski sudah berusia tua
belum juga mengalami kemantapan? Jawabannya sederhana: Pertama, pada
usia anak-anak potensi keimanannya kurang mendapatkan aktivasi sehing-
ga potensi tauhid tidak mendapatkan ruang untuk teraktualisasi. Usia anak-
anak sangat penting untuk mendapatkan penguatan tauhid, sebab pada usia
ini merupakan masa penyimpanan memori terkuat yang akan tertanam
hingga akhir hayat. Bagi anak yang pada usia kecil sudah dibiasakan
memakan nasi maka sampai tuapun rasa nasi akan tetap menyatu dengan
dirinya. Penguatan tauhid pada masa anak-anak bisa tumbuh dari pem-
biasaan beribadah ritual, seperti shalat, puasa, dzikir, berdo‟a, berinfak,
berqurban dan seterusnya. Kedua, mereka kurang belajar dari realitas kehi-
dupan nyata bahwa begitu banyaknya fakta yang luar biasa, seperti fakta
adanya kematian yang begitu mesterius, fakta keajaiban rezeki, fakta
kerahasiahan jodo, fakta keteraturan alam yang menakjubkan. Kenyataan ini
bagi kaum yang mau berpikir dan memikirkannya dengan arif, pasti dapat
mengantarkan kesadaran akan keimanan yang kokoh pada Allah. Ketiga,
pikirkan, rasakan, hayati dan sadari, mungkin karena kesombongan diri,
keangkuhan hati dan keluhuran pikir yang disangka miliknya sendiri. Allah
berfirman, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada
mereka, „laa ilaha illallah‟, (tiadak Tuhan yang berhak disembah melainkan
Allah), mereka menyombongkan diri”, (QS. As-Shafat [37]:35).
Jika beriman kepada Allah itu penting, apa yang bisa dimiliki, diper-
oleh dan digenggam oleh orang-orang yang mengimani-Nya. Sayid Sabiq
(2006:133) menguraikan buah keimanan sebagai berikut:
a. Memiliki Kemerdekaan Jiwa. Jiwa yang dikuasai oleh selain Allah akan
menimbulkan kegelisahan, keretakan dan kehancuran, sebab satu
jiwa dikuasai oleh dualisme keyakinan. Satu kaki jiwa berada pada
kebesaran Sang pencipta, sedang kali lainya terjerat ranjau-ranjuu
tuhan bayangan yang menyebabkan seseorang sulit mencapai
ketulusan, kepasrahan dan kehidmatan dalam hidup. Berbeda seca-
ra kontras dengan seseorang yang meyakini penuh bahwa seluruh
hidupnya hanya milik Allah, Allah yang Maha Kuasa untuk mem-

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 57


beri kehidupan, mendatangkan kematian, memberi kedudukan,
memberi manfaat dan kemadharatan. Inilah pintu pembuka awal
untuk memasuki gerbang keberanian total.
b. Memiliki Keberanian. Keyakinan bahwa segala sesuatu berada di
tangan Allah dan tidak akan terjadi sesuatu hal apapun di luar
ketentuan Allah dan diluar waktu-Nya, mati sekalipun , “tidaklah
seseorang itu akan mati, melainkan dengan izin Allah. Kematian
adalah suatu waktu (ajal) yang sudah ditetapkan”. (QS. Ali Imran
[3]:145). Kemudian dalam QS. An-Nisa [4]:78, “dimana saja kamu
semua berada, pastilah kematian itu akan mendapatkan kamu, biar
kamu semua dalam benteng yang teguh”. Ketakutan pada kematian
yang tidak disertai keberanian untuk mati, akan mengantarkan
kehidupan dalam kesengsaraan siksaan kepastian mati. Sesuatu yang
pasti akan terjadi tak perlu menjadi ancaman, sebab dijauhi atau
dijemput tidak ada bedanya.
c. Memiliki Kepasrahan. Setiap mahluk pasti hidup dalam ukuran
kepastian yang telah diletakkan Tuhan secara pasti dalam kadar dan
ukuranya masing-masing. Kepasrahan total jalan terbaik bagi pema-
haman ketenangan hidup, sebab takdir keadaan hidup sepenuhnya
hak mutlak kekuasaan Allah, QS. Al-Ankabut [29]: 60. “Berapa
banyak binatang yang tidak membawa rezekinya sendiri. Allah
itulah yang memberi kepadanya dan juga kepadamu dan Dia Maha
Mendengar lagi Mengetahui”.
d. Memiliki Ketenangan. Ketenangan bisa dicapai oleh siapapun yang
senantiasa bersama Allah, dalam ridho Allah dan dalam bimbingan-
Nya. Dalam (QS. Ar-Ra‟d [13]:28),” Orang-orang yang beriman itu,
hati mereka menjadi tenang karena mengingat kepada Allah.
Ingatlah bahwa dengan mengingat Allah itulah hati akan tenang”.
e. Mencapai Kemuliaan. Seseorang yang karena ketaatannya pada Allah,
akan senantiasa berada pada maqoh yang luhur, pada tiang pancang
kemuliaan dan keluhuran abadi. Allah berfirman dalam (QS. Al-Hajj
[22]:54), “ Sesungguhnya Allah itu pasti memberikan petunjuk
kepada orang-orang yang beriman kejalan yang lurus”. Kemudian
dalam (QS. Yunus [10] : 9), “Sesungguhnya orang-orang yang
beriman dan beramal shaleh itu akan diberi petunjuk oleh Tuhan
dengan sebab keimanan mereka”.
f. Meraih Keberkahan. Hidup dalam kemuliaan taat, meniscayakan akan
mendapatkan kelimpahan manfaat yang tak terbatas. Allah berfir-
man dalam (QS. Al-A‟raf [7]:96), “Dan andikan penduduk negeri itu
sama beriman dan bertakwa, pasti Kami membukakan kepada
mereka keberkahan-keberkahan dari langit dan bumi”.

58 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Makrifat Malaikat
Keimanan kepada Malaikat Allah akan menjadi jalan mulus menuju
makrifat pada Allah. Hal ini didasarkan pada sebuah kayakinan bahwa
ketika seseorang meyakini adanya malaikat, akan menimbulkan rasa
keimanan yang kokoh disebabkan karena keyakinan total atas kebenaran
Allah, yang menguasai seluruh mahluk-Nya. Hikmah keyakinan kepada
malaikat, akan melahirkan beberapa keutamaan:
a. Kerendahan Hati. Manusia diciptakan dari tanah, syetan dari api yang
menyala dan malaikat dari cahaya. Perbedaan kualitas ini bagi kaum
yang berpikir bisa menyebabkan kerendahan hati untuk tidak
menjadi pembang Allah. Malaikat yang diciptakan dari unsur nur
sekalipun tunduk pada Alllah dan tidak pernah melakukan penging-
karan. Malaikat memili kerendahan hati yang ditunjukkan pada
kesediaan memberi penghormatan kepada Adam, (QS. Al-Baqarah
[2]:34). Bisakan kita sebagai manusia meneladani kerendahan hati
malaikat dalam hal ketaatannya kepada Allah?.
b. Kepasrahan Total. Bila manusia beranggapan bahwa keterjangkauan
dengan Allah terlalu jauh, tak beruang, maka kehadiran malaikat
bisa menjadi penyambung keyakinan akan adanya Yang Maha
Ghoib, “Malaikat itu takut kepada Tuhannya yang berkuasa di atas
mereka dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan” (QS. An-Nahl
[16]:50).
c. Ketundukan Suci. Manusia diberikan pilihan untuk menjadi seorang
yang taat atau ingkar kepada Allah. Pilihan ini hanya diberikan
kepada manusia dan tidak diberikan kepada mahluk mana pun.
Malaikat diberikan ketaatan penuh dan syetan dimerdekakan untuk
ingkar penuh. Manusia dengan kebebasan untuk memilih merupa-
kan sebuah ketundukan suci bila pilihan itu didasarkan pada pikiran
iman yang konsekwensial untuk memilih Fujur atau takwa (QS. Asy-
Syams [91]:8). Para Malaikat senantiasa bertasbih, patuh dan patuh
kepada Allah, “Sesungguhnya semua malaikat yang ada disisi
Tuhanmu itu tidak meyombongkan diri dan tidak enggan beribadah
kepada-Nya. Mereka memahasucikan dan bersujud kepada-Nya”,
(QS. Az-Zumar [39]:75).
d. Keadilan Hati. Andakata dunia ini tetap berada dalam serba
kefasikan, kedholiman dan ketidakadilan, bukanlah sesuatu yang
harus menyebabkan seseorang prustasi dari berbuat kebaikan dan
kejujuran. Sebab pengadilan dunia hanya bisa terjadi ketika dite-
gakkan oleh para malaikat yang taat, bukan oleh manusia yang
dengan berbagai kebutuhannya bisa melupakan kebenaran dan
mengingkari kejujuran. Tetapi dengan keimanan kepada malaikat
Allah yang selalu taat mencatat segala amal perbuatan manusia, tak

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 59


mungkin ada satu amalpun yang dikhianati. Keadilan pasti terjadi
dan terjadi dengan kepastian. Firman Allah, “Hai sekalian orang-
orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api nera-ka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Disitu dijaga oleh
para malaikat yang kasar-kasar tindakannya lagi bengis, tidak
bermaksiat (menyalahi) kepada Allah perihal perintah-perintah-Nya
dan mereka itu selalu mengerjakan apa-apa yang diperintahkan”
(QS. At-Tahrim [66]:6). “Dan tidak sebuah katapun yang diucapkan
oleh manusia itu, melainkan didekatnya ada pengawas, yakni
malaikat raqib (pencatat kebaikan) dan Atid (pencatat kejahatan)”,
(QS. Qaf [50]: 18).
e. Keampunan Dosa. Para malaikat senantiasa melakukan permohonan
keampuan dosa kepada Allah bagi orang-orang yang beriman dan
bertaubat serta terpelihara dari perbuatan yang buruk.
f. Keberkahan Rezeki. Para malaikat ada yang bertugas untuk
mendo‟akan orang yang enggan membelanjakan hartanya untuk
bersedekah dan satu malaikat lagi senantiasa mendo‟akan pergan-
tian harta bagi siapa saja yang membelanjakan hartanya untuk keba-
ikan, Hadis riwayat Muslim.
g. Keutamaan Ilmu. Para malaikat senantiasa mendo‟akan siapa nya saja
yang mengajarkan kebaikan dan keutamaan untuk keluar dari
kegelapan. “Dia (Allah) serta para malaikat memberikan kerahmatan
padamu sekalian supaya mengeluarkan kamu sekalian dari kege-
lapan kepada cahaya. Tuhan adalah Maha Penyayang kepada kaum
yang beriman”, (QS. Al-Ahzab [33]:43).
h. Surga Kebahagiaan. Keindahan tertinggi dari kebajikan kehidupan
adalah memperoleh surga Allah dengan segala ridho-Nya. “Sesung-
guhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kita adalah Allah”,
kemudian mereka itu berpendirian teguh, maka para malaikat akan
turun kepada mereka dan berkata, “jangat takut, jangan pula berdu-
ka cita, bergembiralah untuk memperoleh surga yang telah dijanji-
kan kepadamu semua”(QS. Fushilat [41]:30).

Makrifat Kitab-kitab Allah


Pada setiap umat ada nabi yang ditugasi untuk menyampaikan
risalah kebenaran. Ada nabi yang sukses membawa misi ilahiyah dan ada
juga yang mengalami kegagalan. Semua risalah yang dibawa nabi hanyalah
satu yakni meng-Esa-kan Allah, membawa risalah kebenaran yang terang.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami (Allah) telah menurunkan Taurat,
didalamnya berisi petunjuk kebenaran dan cahaya yang terang, dengan
itulah nabi-nabi yang patuh (kepada Allah) memutuskan perkara untuk
orang-orang Yahudi, juga orang-orang yang tahu dalam ilmu ketuhanan

60 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

serta para pendeta, disebabkan mereka disuruh menjaga Kitab-kitab Allah


dan mereka menjadi saksi bagi-Nya” (QS. Al-Maidah [5]:44). Dengan
berpedoman kepada kitab Allah setiap umat akan berhasil mencapai puncak
keimanan yang sebenarnya, meski pada umat sebelum nabi Muhammad
terbatasi oleh ruang dan waktu.
Beberapa keutamaan dan kekuatan lahirnya nilai tauhid dengan
mengimani kitab-kitab Allah, antara lain:
a. Prinsip Konsitensi. Islam sejak awal hanya memiliki satu konsep
ajaran yang ajeg, tidak mengalami degradasi atau pergantian pada
suatu ajaran yang bersifat doktrinal, yakni doktrin tauhid. Firman
Allah, “Allah telah menetapkan Agama untukmu semua yang telah
diwasiatkan oleh-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyu-
kan kepada Ibrahim, Musa dan Isa (yang semua itu serupa), yakni
hendaklah kamu semua menegakkan agama yang benar dan jangan-
lah kamu sekalian berpacah-belah”, (QS. Asy-Syu‟ara [26]:13).
b. Prinsip Keaslian. Kitab Allah al-Qur‟an yang telah ditetapkan sebagai
penyempurna kitab-kitab sebelumnya terjamin keasliannya sampai
akhir zaman. Semua orang yang berpedoman pada-Nya, terjamin
tidak mengalami ketergelinciran pada ajaran yang sesat, baik dalam
peribadatan maupun dalam hubungan sosial, selama menjadikan al-
Qur‟am sebagai pedoman dan petunjuk pembeda antara yang hak
dengan yang batil. Allah berfirman, “Sesung-guhnya al-Qur‟an itu
adalah kitab yaang mulia. Tidak akan dihinggapi oleh kabatilan
(kepalsuan), baik dari hadapannya ataupun dari belakangnya” (QS.
[41]:41-42). Prinsip keterjagaan al-Qur‟an dari kepalsuan, akan
mengokohkan ketepatan peribadatan dari kemungkinan kesalahan
dan kefalsuan.
c. Prinsip Kekhususan. Al-Qur‟an senantiasa memberikan penegasan
yang kuat akan fungsi utamanya menjadi pedoman bagi yang
bertakwa, “Kitab al-Qur‟an ini tidak ada keraguan padanya,
petunjuk bagi mereka yang bertakwa”, (QS. Al-Baqarah [2]:2), yakni
orang-orang yang beriman kepada Yang Ghoib, bersedia melak-
sanakan shalat, berinfak dengan ketulusan, beriman kepada al-
Qur‟an dan kitab sebelumnya.

Makrifat Nabi dan Rasul


Rasul adalah manusia biasa yang luar biasa. Manusia biasa karena
Rasulpun manusia, tetapi luar biasa karena diberi keunggulan yang lebih
banyak dan banyak lebihnya dibanding manusia biasa. Kelebahan Rasul
terdapat dalam kemampuan pikiran dan ruhaniahnya yang memastikan
bisa menerima wahyu dari Allah, menjalankan risalah atau nubuwah dan
teladan bagi ummat manusia. Tugas kenabian yang sangat berat, tentu saja
tidak mungkin dijalankan oleh manusia biasa, kecuali oleh manusia yang

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 61


istimewa, manusia pilihan Allah yang paripurna dengan daya tahan sabar-
nya teruji dengan nyata, “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh,
keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi semesta alam” (QS. Ali
Imran [3]:33).
Nabi dan Rasul diutus Allah pada setiap umat dengan misi yang
sama, yakni malakukan seruan besar untuk mengesakan Allah yang tidak
ada sekutu bagi-Nya. Seruan ini tentu saja perjuangan besar dan berat
karena merubah keyakinan. Ini sebuah revolusi besar, revolusi radikal dan
revolusi fundamental. Ketika bagian ini (iman) berubah maka seluruhnya
pasti berubah, segenapnya pasti berpindah dan semestanya berganti tanpa
menyisakan bawaan asal. Semua perubahan yang dilakukan dari akar yang
fundamental, pasti membawa hasil yang monumental. Para nabi dan Rasul
senantiasa mengawali dakwanya dari perubahan aqidah, bukan dari syariah
atau akhlak. Kenapa? Sebab fondasi yang mendasar harus dirubah dulu,
baru yang lainnya akan mengikuti perubahan secara konsisten. Karena itu,
hari inipun kita harus melakukan perubahan fundamental tentang kualitas
aqidah, mutu tauhid dan kadar keimanan. Insya Allah ketaatan pada
syariah, ketundukan pada hukum dan kepatuhan pada kebenaran Ilahi akan
terjadi dengan mudahnya. Perbaikan akhlakpun akan berjalan dengan
otomatis, spontanitas dan kountinuitas sebagai konsekwensi dari aqidah
yang benar dan lurus.
Tak heran bila hari ini begitu banyak dari perilaku diri sendiri,
keluarga, masyarakat dan bangsa kita yang sangat paradok, nampak
kontradiktif, terkesan munafik, hipokrit , dekoratif, lipstik, kamuflatif, bias,
ambivalen serta penuh dengan keberpura-puraan karena lemahnya kualitas
tauhid, rendahnya keimanan dan lumpuhnya aqidah. Syahadah yang di-
ucapkan rutin dan shalat yang dilakukan setiap hari kadang tidak memiliki
relevansi, konstribusi dan signifikansi dengan perilaku akhlak sehari-hari.
Kenapa hal ini terjadi? Salah satu kesalahanya dakwah kita dimulai dari
cabang bahkan dari ranting, kita sering menanam batang pohon yang tidak
berakar ditengah terik panas mata hari, tanpa disiram air kesejukan aqidah,
tidak dipupuk kompos tauhid murni dan tidak pernah dilakukan pence-
gahan dari kemungkinan datangnya penggerek batang keimanan. Ingat,
pelaksanaan shalat, puasa, zakat, atau sekalipun haji yang hanya didasarkan
pada kewajiban semata tanpa ada kekuatan keimanan dan kedahsyatan
aqidah hanya mungkin mengalami perubahan sesaat, kebermaknaan yang
singkat dan hikmah yang terlewat. Bahkan saya pernah mendapatkan
ungkapan yang begitu menyakitkan dari seseorang kaum terpandang. Ia
mengatakan bahwa “saya melakukan zina, korupsi, mabuk tetapi tetap
beriman, taat shalat, zakat, puasa dan bahkan beribadah haji sudah berulang
kali”. Inilah fakta, data, peristiwa, fenomena dan mungkin nomenon dari

62 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

kelemahan aqidah, lumpuhnya keimanan dan tidurnya tauhid pada diri


seseorang.
Seperti ini pula gambaran tugas berat para nabi dan rasul pada
masa dan massanya masing-masing, dari waktu ke waktu, windu ke windu,
abad kea bad dalam menegakkan kalimat Allah. “Sungguh telah Kami
bangkitkan seorang rasul untuk tiap-tiap umat dengan perintah: Sembahlah
olehmu semua akan Allah dan jauhi thaghut (berhala dan syaithan”, (QS.
An-Nahl [16]:36). Setelah mereka mendapatkan petunjuk dari para nabi dan
rasul maka sebagian ada yang beriman dan sebagai tetap dalam kesesatan,
“Adapun kaum Tsamud itu, Kamipun sudah memberikan petunjuk kepada
mereka. Tetapi mereka lebih senang kebutaan (kesesatan) dari pada petun-
juk yang baik itu …”, (QS. Fushshilat [41]:17).
Beriman kepada Nabi dan Rasul sebagai bagian tak terpisahkan dari
beriman kepada Allah, meniscayakan meyakini seluruh apapun yang
dinisbatkan kepada para nabi dan Rasul. Beberapa hal penting dari pela-
jaran yang dijalani para nabi dan rasul berikut:
a. Menyadari Konsekwensi Dosa. Pelajaran berharga dari Adam AS yang
melakukan kesalahan dan kesesatan karena mengikuti ajakan syetan,
“kemudian mereka berdua (Adam dan Hawa) digelincirkan oleh
syetan dari surga itu dan keduanya dikeluarkan dari keadaan
semula”, (QS. Al-Baqarah [2]:36). Adam dan Hawa melakukan dosa
bukan karena membangkang kepada Allah tetapi karena kelupaan
dalam hati sanubari terhadap perjanjian Allah.” Sungguh dahulu
Kami telah memberikan janji (perintah jangan mendekati pohon
larangan) kepada Adam, tetapi ia lupa dan tidak Kami dapati
padanya kemauan yang kuat”, (QS. Thaha [20]:115). Banyak orang
yang melakukan dosa, kesalahan dengan penuh kesadaran bahwa
tindakannya itu salah, tetapi tidak pernah menyadari kesalahan,
bahkan masih tak malu-malunya menyalahkan orang lain dari
kesalahannya itu. Itulah sebegitu besarnya dosa dari kesalahan yang
disengaja dan mengingkarinya secara terang-terangan. Ia menyang-
ka bahwa Allah tidak melihatnya. Ia mengira dirinya bisa dibohongi,
tidak dan sekali-kali pasti tidak, sebab ketika mulut terkunci seluruh
anggota badan lainnya menjadi saksi atas perbuatan yang telah
dilakukannya.
b. Kesadaran pada ikatan abadi. Kisah nabi Nuh AS. yang anaknya
ditenggelamkan Allah melalui banjir bandang bersama kaum Nuh
yang ingkar. Nabi Nuh memohon kepada Allah agar anaknya
diselamatkan, tetapi Allah menegur Nabi Nuh agar tidak bermohon
sesuatu hal yang tidak diketahuinya. Nabi Nuh tidak tahu bahwa
hubungan nasab dan kekeluargaan akan berakhir dengan perbe-
daan aqidah atau keimanan (QS. Hud [11]:45-47). Keadaan ini

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 63


memberi pelajaran berharga bagi kita semua bahwasanya tidak ada
hubungan yang abadi dalam hidup dengan siapapun, kecuali
hubungan dengan Allah Yang Maha Abadi. Karena itu, sadari, miliki
dan kuasai, bahwa tidak boleh ada cinta dalam hidup ini yang kadar,
kualitas dan keabadiannya melebihi cinta kita pada Allah dan Rasul-
Nya.
c. Kerendahan hati yang tulus. Pelajaran bermakna dari nabi Ibrahim AS
yang menyampaikan do‟a kepada Allah agar mengampuni segala
kesalahannya pada hari pembalasan, “Dan Dia (Allah) yang sangat
kuharapkan akan mengampuni kesalahanku pada hari pembalas-
an”(QS. Asy-Syu‟ara [26]:82). Padahal nabi Ibrahim telah dijamin
Allah sebagai manusia pilihan yang maksum dari dosa, “Sungguh
Kami (Allah) telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya ia di
akhirat adalah termasuk orang-orang yang baik”, (QS. Al-Baqarah
[2]:130). Kini yang menjadi kesadaran kita meneladani Nabi Ibrahim
yang selalu punya perasaan berdosa jangan-jangan dalam menunai-
kan kesempurnaan ibadah dan tugas nubuwahnya masih banyak
yang belum ditunaikan dengan baik, sempurna dan penuh ketu-
lusan. Bagaimana dengan kita? Semoga kita semakin terbuka kesa-
daran kita untuk jujur pada hati nuraninya, mengakui dosa-dosa kita
agar getol beristighfar.
d. Keikhlasan mengendalikan godaan. Kejadian luar biasa pada Nabi Yusuf
ketika mampu mengendalikan ajakan berbuat tidak baik dari
seorang istri pembesar yang cantik, tetapi Yusuf tetap istiqamah
untuk tidak melayaninya bahkan berlari menghindarinya, “Dan
keduanya (Yusuf dan istri pembesar) itu berlomba mengejar pintu.
Wanita itu lalu memegang baju Yusuf dari belakang hingga koyak
dan keduanya tiba-tiba mendapatkan suami wanita itu di muka
pintu”, (QS. Yusuf [12]:25). Sungguh tidak akan kita dapatkan orang-
orang seperti Yusuf tanpa kekuatan iman dan kekokohan tauhid.
Dari kebaikan yang nabi Yusuf lakukan Allah memberinya perlin-
dungan bagi Yusuf dari perbuatan kenistaan dan kehinaan, “Begi-
tulah kami hindarkan kesalahan dan perbuatan yang tidak sopan
dari padanya. Sesungguhnya ia termasuk golongan hamba-hamba
Kami yang ikhlas”, (QS. Yusuf [12]:24).
e. Kesadaran bertaubat. Kisah nabi Musa yang memukul mati seseoran
yang didapatinya sedang bertangkar (bangsa Mesir dan Israil)
karena permintaan bantuan dari seorang bangsa Israil, maka pukul-
an nabi Musa menyebabkan seorang bangsa Mesir mati. Meski
sebenarnya nabi Musa tidak bermaksud membunuh, tetapi karena
kurang hati-hati dan perhitungan, maka nabi Musa benar-benar
merasa berdosa dan memohonya ampunan kepada Allah, “Ya

64 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri. Oleh


sebab itu ampunilah aku!. Kemudian Allah mengampuninya,
sungguh Tuhan itu adalah Maha Pengampun dan Penyayang”,
(QS.al-Qashash [28]:16). Lagi-lagi didapati dalam diri nabi, tentang
kesadaran yang dalam terhadap kesalahan yang dilakukannya dan
Allah mengampuninya. Berbuat salah dan dosa memang bukan
hanya milik manusia biasa tetapi nabipun bisa berbuat dosa, hanya
saja ketika mereka berdosa benar-benar melakukan taubatan nasuuha,
tobat yang menyebabkan perbaikan diri secara simultan.
f. Larangan menyepelekan hal kecil. Peristiwa besar dari hal kecil yang
dialami Rasulullah Muhammad adalah ketika rasulullah menyepe-
lekan kehadiran Abdullah bin Ummi, seorang buta yang ingin
mensucikan diri kepada-Nya, namun Rasulullah merasa tidak begitu
penting malah bermuka masam. Firman Allahpun turun, “Ia
(Muhammad) bermuka masam dan membelakang, disebabkan ada
orang buta yang datang kepadanya, (QS. „Abasa [80]:1-2). Pelajaran
berharga bagi kita, dengan kekuatan iman yang tangguh serta
penjiwaan yang dalam terhadap kemahabesaran Allah, maka insya
Allah kita berkuasa untuk menghargai sekecil apapun sesuatu dari
makna Maha Besarnya Allah.

Makrifat Takdir
Tak bisa disangkal bahwa manusia memiliki banyak atribut yang
melekat dengan penciptaan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna.
Atribut kesempurnaan itu bisa muncul berupa pemahaman bahwa manusia
merupakan: (1) homo educable (manusia mahluk yang bisa didik), (2) the tool
making anamil (binatang yang bisa menggunakan alat), (3) homo religious
(mahluk yang ber-Tuhan), (4) homo misterius (mahluk yang unik), (5) dan
sebagainya. Keadaan ini menyebabkan manusia memiliki keinginan kuat
untuk mengetahui segala kebenaran yang ada di sekitarnya. Namun apakah
upaya mencari kebenaran atau ikhitiyar itu ada hubungannya dengan takdir
Tuhan? Dimana posisi ikhtiyar, kerja keras atau do‟a.
Allah pemilik segala ketentuan dan tidak ada mahluk lain yang
memiliki hak mutlak atas aturan yang telah ditetapkan Allah. Manusia
hanya menjalankannya bahkan menjalankanpun tidaklah akan terjadi tanpa
kekuatan Tuhan untuk menggerakkan kehendak dan kekuasaan manusia
untuk berkata, berperasaan dan berbuat. Bahkan dalam keyakinan Jaba-
riyyah, manusia hidup laksana bulu yang ditiup angin, bulu terbang tidak
mempunyai gerak sendiri, manusia laksana pena yang hanya bisa menulis
karena ada energi tangan penulisnya, tidak bisa menulis sendiri. “Dan
segala sesuatu sudah Kami tentukan dalam kitab induk yang nyata
(Lauhulil Maffuzh)”, (QS. Yaasin [36]:12). Manusia tidak bisa mela-kukan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 65


sesuatu hal di luar yang sudah ditentukan Allah sebelumnya, “Dan Tuhan
yang menjadikan kamu sekalian dan apa yang kamu perbuat‟, (QS. Ash-
Shoffat [37]:96). Kita diciptalan Allah lengkap, utuh, menyeluruh, totally,
komprehensif, holistik, baik lahir maupun batin, jiwa dan raganya, niat dan
tindakannya, gagal dan keberhasilannya, tak ada yang tertinggal sedikitpun.
Semua kehidupan tak dinyana lagi, pasti sudah berada dalam
ketetapan Allah, ketetapan yang pasti namun dalam ukuran yang luas dan
dibingkai kasih sayang-Nya. Karena itu takdir bukan kutukan, bukan
siksaan, bukan kemurkaan, bukan dendam, bukan kebencian, bukan
kekejaman tetapi ukuran, patokan, dan takaran ketentuan yang diberikan
Allah bagi setiap mahluk-Nya, dengan kepastian balutan cinta kasih,
Rahman dan Rahim-Nya, kehalusan, kemahaluasan ilmu dan kemurahan
rezeki-Nya. Perhatikan ukuran, timbangan sifat cinta kasih yang diberikan
orangtua pada anaknya. Tak ada orangtua yang mendo‟akan anaknya agar
menjadi orang bodoh, miskin, sengsara, dimusuhi, celaka dan seterusnya,
itu pasti karena cinta orangtua pada anaknya. Itu baru seperberapa dari sifat
Rahman dan Rahimnya Allah. Apalagi Allah yang Yang Maha Rahman dan
Rahim, Maha Halus, Maha Bijaksana, Maha Luas Ampun-annya dan Maha
Pemberi. Keadilan Allah pasti adilnya, kasih sayang Allah pasti sayangnya,
dan kemurahan Allah pasti mudahnya. Hanya saja kita harus mengerti
bahwa takdir itu ada yang : (1) mutlak tinggal menerimanya tanpa syarat,
seperti manusia dilahirkan menjadi anak petani atau anak presiden,
kesempurnaan atau kecacatan, (2) takdir yang timbul karena ada sebab
akibat, seperti takdir miskin karena malas, bodoh, tidak jujur dan angkuh,
(3) takdir yang dialami tapi sebabnya sudah diketahui, seperti menda-
patkaan kebahagian surga karena ketaatan pada-Nya, (4) takdir akan terjadi
tetapi tidak berlaku secara umum, seperti rumah yang pinggir jalan tiba-tiba
ketabrak mobil, tapi tidak berlaku untuk seluruh rumah yang pinggir jalan,
(5) dan takdir yang terjadi pada seseorang tetapi sebabnya seakan-akan
seperti berlawanan, contoh meski sudah belajar dengan serius, tetapi ujian
tetap saja tidak lulus (Abdullah Afif, 1994:29).
Kini saatnya kita simpulkan apa makna, berkah, hikmah dan
makrifat beriman pada takdir yang bisa diterapkan dalam kehidupan nyata
dan kenyataan hidup:
a. Menyadari Kekuasaan dan Kekuatan Allah. Tidak ada yang bekuasa
dalam hidup ini untuk memberikan manfaat dan madarat dari
sesuatu hal bagi manusia, kecuali Allah. Dengan keyakinan ini
manusia akan makin mudah, sederhana dan praktis dalam hidupnya
karena tidak perlu dan tidak takut oleh adanya kekuatan lain selain
Allah. Allah satu-satunya, Tunggal, dan Esa sebagai poros, muara,
pangkal, sentripugal dan sentripetal, sebab imanen, dan sebab

66 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

instrumental serta sebab transendental dalam kehidupan manusia


secara totally.
b. Mengerti Fungsi Kehalifahan. Manusia dengan turunan, derivasi dan
berian kekuatan dan kekuasaan Allah memiliki kemerdekaan,
kebebasan, kewenangan, kemampuan dan kuasa untuk melakukan
sesuatu hal dalam rangka mewujudkan mandat Tuhan di muka
bumi (khalifah fil ard) dan pemakmur dunia. Dengan kesadaran
terhadap mandat sebagai “penguasa bumi”, manusia akan senan-
tiasa belajar, bekerja, berperasaan, berperilaku dan beribadah men-
dekati sumber pemberi kuasa mutlak.
c. Memaknai Peran Ikhtiyar Manusia. Manusia sebagai satu-satunya
mahluk yang diberi kesempurnaan melebihi mahluk-mahluk lain-
nya. Kenapa diberi kesempurnaan? Sebab manusia diberi kodrat dan
kuasa bergerak, berikhtiyar dan berusaha untuk mendekati dan
mendekatkan kehendak dirinya dengan kehendak (takdir) Allah
dalam formula ta‟alluq iradah, baik melalui ikhiyar kasabi maupun
do‟a-do‟a, lahir maupun batin “Sesungguhnya Allah tidak akan
merubah suatu kaum, sebelum kaum itu merubahnya sendiri apa
yang ada dalam dirinya”, (QS. Ar-Ra‟du [13]:11).
d. Mengetahui Rahasia Kematian. Kepastian adanya kematian dalam
ketidakpastian waktu, tempat, cara dan bersamanya, akan mendo-
rong seseorang untuk memiliki keberanian hidup dan kehidupan
yang penuh keberanian untuk bekerja keras, cerdas dan amal
berkualitas karena ternyata hidup itu berbatas waktu. Nasehat yang
disampaikan Stephen R. Covey tentang kesadaran kematian
menyatakan, “barang siapa yang sadar akan apa yang dikatakan
orang pada saat kita meninggal dunia, maka akan tahu apa yang
harus dilakukan saat ini”.

Makrifat Hari Akhir


Kekuatan dan kehebatan yang dahsyat dalam menjalani kehidupan
dari dan untuk setiap insan adalah ketika mereka meyakini dan beriman
terhadap adanya hari kiamat, yakni hari kebangkitan seluruh manusia
untuk dimintai pertanggungjawabnya kepada Allah dari seluruh perbuatan
ketika hidup di dunia yang fana dalam sebuah pengadilan tertinggi yang
pasti adilnya.
Manusia tidak diberi pengetahuan tentang hari kiamat sedikitpun
dan belum ada pengalaman sebelumnya tentang hari kiamat karena belum
pernah terjadi, tetapi pasti terjadi dan terjadi secara pasti. Firman Allah,
“Tidak ada yang mereka nantikan selain dari saat yang datang dengan tiba-
tiba (kiamat) kepada mereka. Sesungguhnya tanda-tandanya telah datang.
Tetapi apakah arti kesadaran itu, ketika saat yang dinanti-nanti telah tiba”,

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 67


(QS. Muhammad [47]:18). Kapan terjadinya hari kiamat? Itu pasti, tapi hak
mutlak Allah, kita dapat mengenalinya dari ciri-ciri yang disampaikan
dalam al-Qur‟an maupun sunnah, seperti:
a. Diutusnya Nabi Muhammad sebagai Rasul. Hadis dari Anas ra.
Rasulullah bersabda, “Saya diutus (oleh Allah) dan jarak dengan
kiamat itu sebagai dua jari ..”, (Bukhori, Muslim dan Timidzi).
b. Banyak peristiwa di dunia yang paradok, kontradiktif dan kontra-
produktif, seperti sabda Rasulullah ciri kiamat, “apabila hamba
sahaya telah melahirkan tuannya, pengembala kambing, kaum papa,
bodoh, pemabuk telah menjadi pemimpin dan bermegah-megahan,
kaum Dajal dan pendusta mengaku sebagai nabi, ilmu pengetahuan
dilenyapkan, dan banyak gempa bumi yang terjadi. Dan ciri-ciri
lainnya sebagai tanda kiamat shughra.
Sedangkan untuk tanda-tanda kiamat Kubra (Sayid Sabiq, 2006:410)
menjelaskan beberapa tanda kiamat, yakni:
a. Terbitnya matahari dari arah barat
b. Keluarnya suatu binatang melata
c. Lahirnya Imam Almahdi
d. Munculnya Masih Dajal (perjalanan panjang dan buta)
e. Turunnya nabi Isa as. (QS. An-Nisa [4]:159)
Allah memberi nama untuk hari kiamat tidaklah hanya satu nama,
melainkan menggunakan beberapa nama sebagai gambaran tentang isi
peristiwa kiamat, (Sayid Sabiq, 2006:430-435), mengemukakan beberapa
nama hari kiamat sbb:
a. Hari Ba‟ats (bangkit dari kematian), “ Dan berkatalah orang-orang
yang diberi ilmu dan keimanan; Sesungguhnya kamu semua telah
menanti (sesuai keterangan) dalam kitab Allah (alam barzah) sampai
hari ba‟ats (bangkit dari kematian). Inilah hari ba‟ats sudah tiba,
tetapi kamu semua tidak mengetahui”, (QS. Ar-Rum [30]:56).
b. Yaumul Qiyamah (hari kiamat), “pada hari kiamat, engkau lihat
orang-orang yang berkata bohong tentang Tuhan itu, muka mereka
hitam semuanya”, (QS. Az-Zumar [39]:60).
c. Hari kiamat Sa‟ah, “…saat (hari kiamat) itu telah dekat dan bulanpun
berbelah”, (QS. Al-Qomar [54]:1). “Sesungguhnya kegoncangan
pada hari kiamat itu adalah suatu yang dahsyat sekali”, (QS. Al-Hajj
[22]:1).
d. Hari Akhirat, (yaumul akhirah), “Tetapi kamu semua lebih meng-
utamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan di akhirat itu lebih
baik dan lebih kekal”, (QS. Al-A‟la [87]:16-17).
e. Hari Din, (yaumuddin), “ Allah yang merajai hari Din (hari
pembalasan), (QS, al-Fatihah [1]:3).

68 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

f. Hari Hisab (yaumul hisab), “Sesungguhnya saya melindungkan


diriku kepada Tuhanku dan Tuhanmu semua dari setiap orang yang
sombong yang tidak mempercayai hari hisab (perhitungan amal)
nanti”, (QS. Al-Ghafir []:27).
g. Hari Fath (yaumul fathi), “Katakanlah: pada hari fath (kemenangan)
ini tidaklah berguna keimanan bagi orang-orang kafir itu dan mereka
itu tidak akan diperhatikan”, (QS. As-Sajdah [32]:29).
h. Hari Talak (yaumuttalaq), “Tuhan yang Maha Tinggi derajatnya,
yang memiliki singgasana itu, menurunkan ruh (wahyu) dengan
perintah-Nya kepada orang yang dikehendaki oleh-Nya diantara
hamba-hamba-Nya untuk memberikan peringatan tentang hari talaq
(pertemuan) itu. Pada hari itu orang-orang sama datang kemuka
(menampakkan) diri”.
i. Hari Jamak dan Taghabun (yaumul jam‟i wattaghabun), “Pada hari ini
Allah menumpulkan kamu semua untuk hari jamak (berhimpun)
dan itulah hari taghabun (tipu-menipu)”, (QS. At-Taghabun [64]:9).
j. Hari Khulud (yaumul khulud), “Masuklah kamu dalam surga, inilah
hari khulud (kekal)”, (QS. Qaf [50]:34).
k. Hari Khuruj (yaumul khuruj), “ Pada hari mereka mendengarkan
teriakan dengan hak. Itulah hari khuruj (kebangkitan dari mati)”,
(QS. Qaf [50]:42).
l. Hari Hasrah (yaumul hasrah), “Dan berilah mereka itu peringatan
terhadap datangnya hari hasrah (penyesalan) ketika perkara telah
diputuskan, sedang mereka dalam kelalaian dan tidak beriman”,
(QS. Maryam [19]:39).
m. Hari Tanad (yaumul tanad), “ Hai kaumku, sesungguhnya aku
khawatir dirimu semua pada hari Tanad (panggil-memanggil antara
penghuni surga dan neraka)”, (QS. Al-Mukmin [24]:32).
n. Azifah (Azifah), “Azifah (peristiwa dekat) sudah hampir tiba. Tiada
seorangpun selain dari Tuhan dapat membukanya”, (QS. An-Najm
[53]:57-58).
o. Thammat (thammah), “Maka apabila thammah (bencana yang maha
besar) telah tiba. Pada hari manusia mengingat-ingat kembali apa
yang telah dilakukannya”, (QS. An-Nazi‟at [79]:34-35).
p. Sakhkhat (sakhkhah), “Apabila sakhkhah (suara yang memekak
telinga) telah datang. Pada hari seorang manusia lari dari sauda-
ranya dan dari ibu serta ayahnya. Juga dari istri dan anak-anaknya.
Setiap orang pada hari itu mempunyai urusan yang menganggunya
(sehingga tidak sempat memikirkan urusan orang lain”, (QS. „Abasa
[80]:33-37).

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 69


q. Haqqat (haqqah), “Haqqah (keadaan yang sebenarnya. Apakah
haqqah itu? Adakah yang memberitahukan padamu, apakah haqqah
itu?”, (QS. Al-Haqqah [69]:1-3).
r. Ghastiyat (ghasyiyah), “Sudahkah sampai kepadamu berita tentang
ghasyiyah (kejadian yang menyelubungi)”, (QS. Al-Ghasyiyah [88]
:1).
s. Waqi‟at (waqi‟ah), “Jikalau waqi‟ah (peristiwa dahsyat) telah tiba.
Tidak seorangpun dapat mendustakan terjadinya itu. Ada golongan
yang direndahkan (kaum kafirin) dan golongan yang ditinggikan
(kaum mukminin”, (QS. Al-Waqi‟ah [56]:1-3).
Banyaknya nama-nama dari hari kiamat memberikan informasi pada
kita sebagai manusia bahwa hidup kita tidaklah sekedar hidup-mati dan
hidup lagi, tetapi penuh dengan pertanggungjawaban atas mandat satu-
satunya yang bersedia menerima amanah Allah. Beberapa hikmah atau
makrifat melalui keimanan kita pada adanya hari Akhir, kiamat, sbb:
a. Hidup Optimis. Keyakinan tentang adanya hari kiamat bisa me-
ngantarkan seseorang untuk hidup lebih optimis karena Allah
senantiasa memberi kesempatan untuk memperbaiki diri sebelum
tibanya suatu waktu yang ditentukan. Allah berfirman, “Dan sekira-
nya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka
perbuat, niscaya Dia tidak menyisakan satupun mahluk bergerak
yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman-
nya) sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal
mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-
Nya”, (QS.al-Fathir [35]:45).
b. Beramal Kebaikan. Yakin akan adanya hari akhir, hari pembalasan
amal bisa meyontak kesadaran kita akan miskinnya amal kebaikan
dalam hidup. Sebab kekurangan amal di dunia, maka kelak nanti di
hari akhirat akan mendapat penyesalan yang sangat besar. Firman
Allah, “atau agar jangan ada yang berkata ketika melihat azab,
“sekiranya ku dapat kembali (ke dunia), tentu aku termasuk orang-
orang yang berbuat baik”, (QS. Az-Zumar [39]:58).
c. Makin Takut Berbuat Dosa. Keyakinan akan adanya hari pembalasan
yang seadil-adilnya menyebabkan siapapun orang yang berpikir
dengan kelembutan hati pasti takut berbuat dosa, sebab siksaan dari
dosa sangat pedih dan menyengsarakan. “Ingatlah! Sesungguhnya
siksanya itu adalah neraka Lazha (api yang bergejolak), yang
mengelupaskan kulit kepala, yang memanggil-manggil orang yang
membelakangi dan berpaling dari agama dan orang-orang yang
mengumpulkan harta benda lalu menyimpan-nya”, (QS. Al-Ma‟arij
[70]:15-18).

70 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

d. Menjauhi Cinta Dunia. Keyakinan bahwa harta, tahta dan kuda tidak
bisa menyelamatkan seseorang dari siksaan neraka, makin menggu-
gah dan merubah orang kikir, tidak peduli sesama, rakus, penimbun
menjadi insan yang memiliki kerelaan berbagi dengan sesama.
Firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan
barangsiapa berbuat demikian mereka itulah orang-orang yang
sangat merugi”, (QS. At-Thaghabun [64]:9). Dan lebih tegas Allah
mengecam orang yang mencintai harta berlebihan, “Celakalah bagi
setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya, dia (manusia) mengira bahwa hartanya
dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak!. Pasti dia akan dilem-
parkan ke dalam neraka Huthomah”, (QS. Al-Humazah [104]:1-4).
e. Melihat Wajah Allah. Impian tertinggi dari seorang yang beriman
adalah masuk surga dengan ridha Allah dan bertemu dengan-Nya
dalam keadaan yang berbahagia. Firman Allah, “Wajah-wajah para
ahli surga pada hari itu berseri-seri, karena dapat melihat kepada
Tuhannya”, (QS. Al-Qiyamah [75]:22-23).
Keyakinan tentang adanya hari akhir, secara nyata telah merubah
cara pandang seseorang tentang kehidupannya di dunia dan sadar akan
berartinya amal kebaikan untuk menyelamatkan diri dari siksa neraka yang
sangat pedih, perih dan bengis.
Refleksi paling nyata dari pengaruh keyakinan, aqidah, tauhid
dalam kehidupan terlihat dari tidak nampaknya keresahan, kegelisahan,
kepanikan dan ketakutan di kalangan ummat Islam saat ada informasi atau
berita tentang terjadinya hari kiamat, meski dengan penjelasan atau alasan
ilmu pengetahuan apapun. Berita tentang terjadinya hari kiamat, tepat saat
alinea ini ditulis, tanggal 21 Desember 2012, merupakan tanggal akan
terjadinya hari kiamat. Tetapi, dengan sangat nyata dan begitu nyata tidak
ada sedikitpun gejala keresahan atau ketakutan di kalangan umat Islam.
Mengapa? Sebab, dalam keyakinan umat Islam telah tertanam keimanan
yang kuat bahwa kiamat merupakan rahasia Tuhan, urusan Allah sahaja,
manusia tidak ada yang tahu atau dapat tahu. Bila keyakinan tentang
rahasia hari kiamat begitu kuat dan hebatnya mempengaruhi manusia,
maka keyakinan yang lain terhadap yang lainpun akan sama. Jadi untuk
merubah ummat Islam tentang kehidupannya, jelas benar harus didasarkan
pada perubahan sistem dan nilai keimanannya. Perubahan tidak bisa
disederhanakan hanya persoalan mindset, budaya atau perilaku belaka.
Tetapi soal keimanan, masalah keyakinan dan urgensi doktrin tauhid.
Wallahu „alam bishshawab.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 71


8
TAUHID RUKUN ISLAM

Artinya:
“Sesungguhnya orang yang mukmin yang (bersyahadah) sebenarnya
adalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya
di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”, (QS. al-Hujurat
[49]:15).

Makrifat Syahadah
Bersyahadah merupakan komitmen awal seseorang untuk menya-
takan dirinya dapat menerima Allah dan Rasul-Nya secara total dalam
kehidupan lahiriyah dan batiniyah. Mengapa bersyahadah itu penting bagi
seseorang? Dan apa makna yang sebenarnya dari bersyahadah? Bersya-
hadah itu penting, sebab syahadah merupakan totalitas ketundukan pada
Allah dengan segala konsekwensinya dalam kehidupan. Syahadah
meniadakan apapun selain Allah, menghilangkan segala ketaatan selain
pada perintah-Nya dan menolak segala bentuk intimidasi teologis dan
praksis yang bertentangan dengan esensi bersyahadah. Esensi bersyahadah
tentu saja bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi berkomitmen pada
yang diucapkan. Ucapan bukan sekedar sebuah percakapan, tetapi
penghayatan jiwa terdahsyat dalam ketundukannya terhadap totalitas

72 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

perintah Allah, tanpa pemilahan, “sami‟na wa atho‟na, kami dengar dan


kami laksanakan, kami tahu dan kami lakukan”.
Apa urgensi yang paling penting dari bersyahadah? Bagi seorang
muslim syahadah merupakan identitas awal yang menentukan komitmen
pada tahap berikutnya. Sebab tanpa syahadah tak ada shalat, tak perlu
zakat, tak terikat puasa dan tak tergadai haji. Syahadah memiliki kekuatan
utama sebagai:
a. Pintu masuk ke dalam Islam (madkholu ilal islam). Syahadatain,
sebegitu pentingnya menjadi pembeda yang paling nyata antar
muslim dan kafir, antara taat dan ingkar. Meski pada dasarnya
setiap manusia telah bersyahadah Rubbubiyah di alam arwah, tetapi
hal itu saja tidak cukup, sebab untuk menjadi seorang muslim harus
bersya-hadah Uluhiyyah dan syahadah Risalah di dunia. Syahadah
Rubbubiyyah yang sudah dinyatakan oleh setiap insan pada masa
berada di alam konsepsi, alam arwah, meski bersifat primordial, jelas
menjadi kekuatan terbesar yang bisa diaktulisasikan. Sebab tanpa
ada kekuatan potensial dari syahadah primordial, mustahil syaha-
dah aktual bisa diaktivasi, meski dengan cara apapun. Allah berfir-
man,”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhan-
mu?”, mereka menjawab, “Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi
saksi”. Kami lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu
tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-
orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (QS. Al-A‟raf
[7]:172.
b. Intisari Doktrin Islam (khulashah ta‟alimil Islam). Islam yang
sebegitu luas dan dalamnya, jika diselami dengan perahu kesadaran
hanyalah akan bermuara pada dua kalimah syahadah, “asyhadu alla
ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah”. Kedua
kalimat syahadah inilah pengikat dari keseluruhan makna Islam. Tak
ada kebenaran dalam Islam yang keluar dari dua bingkai syahadah.
Bingkai ini menjadi pembatas yang sangat jelas, tegas dan pasti,
untuk membedakan wilayah Islam atau kafir, zona tauhid atau zona
musyrik, ruang diterima atau ditolaknya amal perbuatan, plaza
surga atau neraka. Doktrin syahadah adalah doktrin eksak, doktrin
hitam-putih, doktrin benar-salah. Dan itu tidak ada pilihan antara
atau campuran dari keduanya. Allah berfirman, “Orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kaza-
liman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan
keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan
petunjuk”, (QS. Al-An‟am [6]:82).

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 73


c. Dasar-dasar Perubahan (asasul inqilaab). Perubahan yang dramatis
dan fantastik, tentu akan sangat terasa bagi seseorang yang menjadi
mu‟alaf, seseorang yang telah merasakan hidup dalam keyakinan
yang berbeda. Suatu waktu ketika bersyahadah maka mengubah
segalanya, mengganti semuanya dan meluluhlantakan yang sebe-
lumnya. Ia mengalami perubahan radikal dalam sistem keyakinan,
peribadatan, pemikiran, emosi dan komitmen pada nilai-nilai baru
yang diyakininya. Perubahan radikal ini tidak bisa dihindari karena
merupakan konsekwensi logis dan pasti dari sebuah perubahan
fundamental, yakni keyakinan, iman. Karena perubahan yang lain
bersifat derivasi, turunan dari sistem teologis, sistem keyakinan dan
fondasi keimanan, yang diturunkan dalam bentuk mindset, mental-
set, budaya, kebiasaan, dan perilaku. Semua ini berubah secara
diametral, 180 derajat, totalitas dan utuh. Allah berfirman, “Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara
keseluruhan dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan.
Sungguh, ia merupakan musuh yang paling nyata bagimu”, (QS. Al-
Baqarah [2]:208).
d. Hakekat Dakwah para Rasul (haqiqatud da‟watir rasul). Semua
utusan Allah, sejak nabi Adam sampai nabi Muhammad memiliki
tugas dan misi yang sama, yakni beriman, beribadah kepada Allah
dan meninggalkan thogut secara total. Kesediaan untuk mening-
galkan thogut merupakan bagian tak terpisahkan dari keyakinan
kepada Allah yang tidak bisa dipisahkan nilainya. Yakin kepada
Allah sama dengan siap meninggalkan thogut. Allah berfirman,
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat
(untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja) dan jauhi thogut itu”,
(QS. An-Nahl [16]:36).
e. Keutamaan yang besar (fathaailul „azhim). Syahadah sebagai komit-
men total dalam hidup seseorang, menjanjikan keutamaan yang
besar bila diaplikasikan dalam kehidupan. Kenapa? Sebab syahadah
bisa mengokohkan kekuatan moral, keyakinan berihtiyar, kete-
nangan menghadapi kematian, kesadaran akan kualitas hidup dan
keuta-maan beramal kebaikan sebagai konsekwensi dari kapasrahan
total pada kasih sayang Allah. Keyakinan bahwa Allah Maha
Pengasih, akan melahirkan sikap mental optimis, pemberani dan
bijak. Inilah kekuatan dan keutamaan syahadah aplikatif, reak-
tualisasi syahadah dalam kehidupan.
Makna bersyahadah bagi seseorang yang telah menyatakan dirinya
sebagai seorang Muslim tentu bukan sekedar ucapan, hiasan dan ungkapan
hampa yang tanpa makna. Ia merupakan sebuah revolusi besar yang
mengikatkan gerakan pembaharuan diri secara total. Ia merupakan hijrah

74 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

ontologis, epistemologis dan aksiologis yang holistik. Kenapa begitu


dahsyatnya bersyahadah? Karena bersyahadah bermakna:
a. Ikrar (Al-Iqrar)
Suatu pernyataan, statement, pengumuman, dan deklarasi dalam
memproklamirkan diri sebagai hamba Allah yang komit terhadap
ikrar bersyahadah yang telah dinyatakannya. Pernyataan ini meru-
pakan sebuah ketulusan yang terlahir dari kedalaman keyakinan
seseorang, bukan pernyataan yang bersifat artificial, camuflase, lipstick,
cosmetic atau statistik retorika berbicara. Ikrar bersyahadah adalah
sebuah janji atau sumpah untuk berkomitmen pada sebuah teologi
“tiadak ilah selain Allah”. Jadi ikrar bersyahadah, bukan janji palsu
atau ungkapan bohong tetapi sumpah yang dinyatakan atas nama
Allah dan atas nama Rasulullah, yang dibuktikan secara konsisten
dalam ucapan (al-qaul), dibenarkan dalam hati (at-tashdiq), dan
dibuktikan dalam perbuatan (al-amal) serta ketiganya harus berjalan
secara bersamaan.
b. Sumpah (Al-Qosaam)
Bersyahadah bukan sembarang sumpah. Bukan sumpah palsu atau
sumpah serapah yang tanpa penghayatan atau kesadaran pada segala
konsekwensinya. Sumpah adalah sebuah janji yang terikat oleh
konsekwensi dan terkunci oleh niat, misi, visi dan tujuan hidup yang
sejati. Sumpah harus meniadakan ketakutan, kekhawatiran atau
kegelisahan dari berbagai ancaman virus-virus perusak kemurnian
bersyahadah. Sebuah sumpah harus disertai dengan kesadaran janji
kepada Allah, diri sendiri dan dinyatakan pada orang lain, “saksikan
bahwa aku seorang muslim, aku bukan seorang kafir, munafik, dan
fasik”. Bila tak yakin maka lihat ucapanku, tonton perilakuku, bukti-
kan amaliyaku dan wujudkan keimananku dalam sebuah ikatan “laa
ilaha illallah”.
c. Perjanjian yang teguh (Al-Mistaq)
Ikrar dan sumpah pasti merupakan perjanjian yang teguh, pernya-
taan yang kokoh dan tindakan yang mantap dalam berkomitmen
terhadap kebenaran. Sebuah perjanjian yang tegus akan sanggup
meniadakan segala yang ada dan mengadakan segala yang tiadak
demi kayakinan pada satu kebenaran ilahi. Allah berfirman, “Sesung-
guhnya orang yang mukmin yang (bersyahadah) sebenarnya adalah
mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka
tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di
jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”, (QS. Qaf [50]:15).
Syahadah sebagai sebuah ikatan perjanjian hamba kepada Khalik,
memegang kendali utama untuk membangun kepasrahan total pada Allah
dengan segala pengorbanannya, “Dan ingatlah karunia Allah kepadamu

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 75


dan perjanjian-Nya yang telah diikat-Nya dengan kamu, ketika kamu
mengatakan, “kami dengar dan kami taati”, dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah mengetahui isi hatimu”, (QS. Al-Maidah [5]: 7).
Sebegitu pentingnya kedudukan syahadah dalam menentukan keberlang-
sungan iman seseorang, maka ada beberapa hal penting yang menjadi
syarat utama bermaknanya sebuah syahadah:
a. Ilmu yang menolak kebodohan
Tiga ilmu utama yang semestinya dimiliki oleh seseorang yang
bersyahadah, (1) pengucapan yang fasih atau benar, (2) memahami
artinya (3) mengerti penerapanya dalam kehidupan. Bersyahadah
membawa konsekwensi pada butuhnya ilmu untuk bermakrifat
kepada Allah sebagai keberlanjutan dari kebermaknaan syahadah.
Seseorang yang tidak memiliki ilmu tentang bersyahadah, persis
seperti seorang petani yang menanam pohon tapi tidak tahu cara
pemeliharaan selanjutnya. Ia tidak akan bisa memanen hasil tana-
manya, karena pohon syahadahnya tidak dipelihara dengan baik dan
pastilah tidak akan berbuah.
b. Keyakinan yang menolak keraguan
Syahadah yang diucapkan pasti diberangi dengan keyakinan yang
benar. Yakin Allah sebagai Pencipta, Pemberi rizki, Pengampun,
Pemurah, Penyayang dan Pembimbingan yang paling sempurna. “…
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang dengan harta
dan jiwa di jalan Allah …” (QS. Qaf [50]:15).
c. Keikhlasan yang menolak kesyirikan
Ucapan syahadah yang bercampur dengan riya apalagi syirik, jelas
tertolak, karena syahadah merupakan peribadatan yang harus
terhindar dari segala kotoran yang merusak keikhlasan. Allah
berfirman, “padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyem-
bah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menja-
lankan agama yang lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus”, (QS.
Al-Bayyinah [98]:5).
d. Kebenaran yang menolak dusta
Bersyahadah adalah membenarkan dan sekaligus menjauhkan segala
kebohongan, keraguan dan keberpura-puraan yang dapat merusak
kemurnian tauhid. Sikap tegas pada kebenaran bisa mendorong
ketaatan dan amanah sedangkan sikap bohong menimbulkan kemak-
siatan dan pengkianatan. “Dan orang yang membawa kebenaran
(Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang
yang bertakwa”, (QS. Az-Zumar [39]:33).

76 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

e. Kecintaan yang menolak kebencian


Syahadah merupakan perwujudan cinta seorang hamba kepada sang
Khalik yang mengatur segala kehidupan penuh dengan kasih sayang,
kehalusan dan kearifan. Syahadah merupakan ibadah tertinggi yang
menjadi niscaya dilakukan dengan penuh rasa suka cita dan suka ria
karena bertemu dengan Tuhannya. Gambaran seorang muslim yang
mencintai Tuhannya terlukis dalam (QS. Al-Baqarah [2]:165), “Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat
mencintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yaang
berbuat zhalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari
kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa
Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal)”.
f. Menerima yang jauh dari penolakan
Bersyahadah secara mutlak menerima nilai-nilai dan isi kandungan
syahadah dengan ketulusan atau terpaksa. Baginya tidak ada pilihan
selain menerima al-Qur‟an dan as-Sunnah secara totali, tidak ada
pemilahan karena merasa dirugikan atau diuntungkan sekalipun. Al-
Qur‟an diterima bukan karena sesuatu atau tanpa sesuatu, tetapi
karena Allah semata. “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin
bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul meng-
hukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan,” Kami mendengar,
dan kami patuh”, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung,
(QS. An-Nuur [24]:51).
g. Pelaksanaan yang jauh dari statis/diam
Syahadah sebagai sebuah komitmen seseorang untuk menjadi penga-
mal Islam yang sesungguhnya. Komitmen syahadah bukan-lah sikap
apatis atau statis, tetapi sikap dinamis, proaktif untuk melakukan
perlombaan dalam kebaikan. Allah berfirman, “Dan katakanlah:
Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul dan orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu dan kamu akan dikem-balikan kepada Allah
yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberi-
tahukan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan,” (QS. At-
Taubah [9]:105).

Makrifat Shalat
Shalat merupakan beribadatan yang paling mendasar dalam
merefleksikan syahadah seseorang. Karena shalat merupakan (1) pembeda
yang nyata antara muslim dan kafir, (2) do‟a yang disampaikan hamba
kepada al-Khalik, (3) perjumpaan kontinum antara manusia dengan zat
Yang Maha Suci, (4) pembentuk akhlak yang paling utama, (5) penyatu diri
dengan alam semesta, (6) pelatihan untuk peduli sesama, (7) pengikat utama

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 77


dalam peleburan diri dengan Sang Pencipta, (8) instrument tertinggi dalam
melakukan komunikaksi spiritual dengan Allah.
Makrifat kepada Allah dapat dilakukan melalui shalat dalam
pendekatan shalat yang begitu luas dan mendalam antara laian, bermakrifat
melalui:
a. Makrifat Tasawuf
Salat dalam pandangan tasawuf, bukanlah semata-mata bacaan dan
tindakan rukuk-sujud yang hampa makna, melainkan berisi nilai-
nilai transendental-keruhanian, nilai-nilai moral (akhlak) yang dapat
menjadi sarana untuk melakukan dialog penuh makna dengan Allah
SWT. Salat adalah menghadapkan hati kepada Allah dalam situasi
yang penuh dicekam rasa takut kepada-Nya, serta dalam situasi yang
menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan dan kesem-purnaan
kekuasaan-Nya. Salat yang dilakukan dengan menghadapkan diri
kepada Allah sepenuh hati (jiwa) dan dengan segala ke-khusyu‟-an
dihadapan-Nya serta memurnikan niat (ikhlas) karena-Nya dibarengi
dengan hadirnya hati dalam berzikir, berdoa dan memuji. Salat
merupakan mi‟rajnya kaum mukminin. “Al-Salat mi‟raj al-mu‟mi-
nin”. Dalam kaitan dengan salat sebagai mi‟raj bagi kaum muslim,
Dahlan dan Syihabuddin (2005: 467), menandaskan bahwa orang
yang berakal hendaknya jangan sampai meninggalkan salat yang
merupakan pintu mi‟raj dan munajat. Melalui salat yang hakiki,
diharapkan setiap pelaku salat dapat memikrajkan ruhaninya menuju
Allah yang Maha Tinggi. Al-Ghazali merupakan sosok sufi paling
representatif yang membahas ajaran salat berdasarkan sudut pan-
dang akhlak tasawuf. Dalam pandangan tasawuf, al-Ghazali (tt: 50-
91) merumuskan ajaran salat sebagai sebuah pendidikan dan
pembinaan akhlak (tahdzibul akhlaq). Pandangan tasawuf seperti ini
dikenal dengan aliran tasawuf akhlaqi atau tasawuf „amali (tasawuf
praktis). Oleh karena itu, di samping menyajikan ajaran salat sebagai
aturan-aturan hukum, tasawuf akhlaqi lebih menekankan pema-
haman dan penghayatan batin dalam pelaksanaan salat, berupa nilai-
nilai moral batiniah. Tetapi, nilai-nilai yang diisyaratkan dan digali
dari ajaran salat nampak lebih bertendensi individu dan di arahkan
ke dalam diri pelakunya (inner-value atau nilai dalam). Nilai-nilai itu
mencakup sikap batin khusyu‟, ketenangan jiwa, kesucian batin (diri),
kebersihan tubuh lahiriah, sarana tobat (penyesalan diri), sabar,
ikhlas (tulus), tawakkal, khauf (takut siksa Tuhan), kesungguh-sung-
guhan atau perjuangan individu (mujahadah), disiplin diri, mawas
diri (muraqabah), ekspresi cinta sufistik (mahabbah ilahiyah),
kerinduan spiritual (syauq) dan yang tertinggi adalah keintiman
spiritual dengan Tuhan (uns), peleburan eksistensial bersama Tuhan

78 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

(fana‟) dan penyatuan atau kemanunggalan dalam Tuhan (ittihad).


Dalam perspektif mistis ini, salat merupakan sarana riyadhah (latihan
spiritual untuk olah-pikir, olah-rasa dan olah batin) untuk mencetak
pribadi muslim yang berakhlakul karimah.
b. Makrifat Filosofis
Filsafat meletakkan konsep salat sebagai sebuah sistem nilai, kode
etik dan seperangkat moralitas luhur. Sudut pandang filsafat melam-
paui dua sudut pandang lainnya, yaitu hukum (fiqh) dan tasawuf
(mistisisme). Kajian filsafat lebih progresif dan substansialistik dalam
melihat fenomena ajaran salat. Misalnya Ziaul Haque, filosof muslim
asal Pakistan yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh filsafat
Sosialisme Marx-ian (dialektika historis-materialisme, teori perten-
tangan kelas (borjuis-proletar; penindas-tertindas), teori hermeneutik
simbolik, keadilan sosialistik, ide-ide revolusi, dan sebagainya),
merumuskan pemikiran dan penafsiran revolusionernya atas konsep
salat dengan meletakkannya sebagai prinsip-prinsip moral-revolu-
sioner. Terungkap dalam kajian filosofisnya atas fenomenologi
wahyu kaitannya dengan perubahan sosial, Wahyu dan Revolusi
(Revelation and Revolution), Haque (2000: 226) memasukkan salat
sebagai salah satu dari beberapa prinsip revolusi untuk melawan
kekuatan-kekuatan penindasan dan kejahatan. Prinsip-prinsip itu
antara lain: salat, zakat, hijrah, jihad dan amal saleh. Pokok pikiran
Haque (2000: 247-249) mengenai ajaran salat sebagai sebuah sistem
nilai moral yang luhur, agung dan revolusioner menggambarkan tiga
hal utama. Pertama, salat merupakan penyerahan diri sepenuhnya
pada kehendak Allah melalui untaian doa yang tidak henti-henti.
Kedua, salat merupakan upaya penyelarasan diri seseorang dengan
hukum Allah dan hukum-hukum kebenaran yang ada pada alam.
Ketiga, salat merupakan komitmen kesetaraan, kesederajatan dan
kesetahapan hidup dengan bangsa, suku, etnis manapun dengan
menabur cinta-kasih, persaudaraan dan perdamaian yang langgeng,
(QS. 13: 19-22). Keempat, salat merupakan seruan untuk meminta
pertolongan dan petunjuk kepada suatu kekuatan transendental yang
dilakukan seorang pejuang (mujahid) dalam perjuangannya melawan
kekuatan tirani, penjajahan, korupsi, ketidakadilan, kebodohan,
kegelapan, takhayul, kebatilan (QS. 2: 153-157). Salat bukanlah
semata-mata hanya lapal-lapal verbal atau kata-kata ajaib. Salat
adalah sebuah perang terus-menerus melawan kekuatan-kekuatan
kejahatan dan kepalsuan, ketidakadilan dan penindasan. Salat adalah
moralitas revolusioner.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 79


c. Makrifat Psikologis
Ditinjau dari sudut pandang psikologis, salat memiliki keisti-mewaan
tersendiri. Ibadah salat mengandung beberapa aspek teurapetik,
antara lain: aspek olah raga, meditasi, auto-sugesti dan aspek
kebersamaan. Di samping itu, salat juga mengandung unsur relaksasi
otot, relaksasi kesadaran indera, aspek katarsis (pengakuan dan
penyaluran), sarana pembentukan kepribadian dan Terapi Air
(Hydro Therapy) (Ancok, 1985 & 1989; Haryanto, 2005: 62).
Secara psikologis, efek lain dari salat misalnya bagi ibu hamil akan
memberikan dampak ketenangan pada bayi, mengatur posisi janin
dan mempermudah proses kelahiran. Gerakan-gerakan salat meru-
pakan cara memperoleh kesehatan dengan tujuan untuk memper-
tinggi daya prestasi tubuh, menjadi lincah, mudah bergerak dan
menambah kekuatan serta daya tahan. Salat punya sifat isotorik, yang
mengandung unsur badan dan jiwa, serta menghasilkan bio-energi
yang dapat mengurangi kecemasan (Haryanto, 2005: 75). Ibadah salat
mempunyai efek relaksasi otot, yaitu kontraksi otot, pijatan dan
tekanan pada bagian-bagian tubuh tertentu selama menjalankan salat.
Haryanto (2005: 77) menjelaskan bahwa relaksasi otot ternyata dapat
mengurangi kecemasan, penyakit susah tidur (insomnia), meng-
urangi hiper-aktivitas pada anak, mengurangi toleransi sakit dan
membantu mengurangi merokok bagi para perokok yang ingin
sembuh, juga dapat mengurangi keluhan berbagai penyakit terutama
psikosomatis. Dilihat dari aspek auto-sugesti (self-hipnotist), bacaan-
bacaan dalam salat berisi hal-hal yang baik, berupa pujian, mohon
ampun, doa maupun permohonan yang lain. Berdasarkan teori
hipnosis, pengucapan kata-kata tersebut memberikan efek mensu-
gesti atau menghipnosis pada yang bersangkutan. Thoules (Haryanto,
2005: 87) menegaskan bahwa auto-sugesti adalah suatu upaya untuk
membimbing diri pribadi melalui proses pengulangan suatu rang-
kaian ucapan secara rahasia kepada diri sendiri yang menyatakan
suatu keyakinan atau perbuatan. Pada aspek katarsis, setiap orang
membutuhkan sarana untuk berkomunikasi, baik dengan diri sendiri,
dengan orang lain, dengan alam maupun dengan Tuhannya.
Komunikasi akan lebih dibutuhkan tatkala seseorang mengalami
masalah atau gangguan kejiwaan. Salat dapat dipandang sebagai
proses pengakuan dan penyaluran, proses katarsis atau kanalisasi
terhadap hal-hal yang tersimpan dalam dirinya.Salat juga merupakan
sarana untuk terapi air (Hydro Therapy). Hydro Therapy dari bahasa
Yunani, hydro artinya air, therapiea artinya pengobatan, yaitu
merupa-kan pengobatan ilmiah yang memanfaatkan air. Terapi
dengan menggunakan efek air ini telah lama dikenal dalam dunia

80 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

kedokteran. Menurut teori Hydro Therapy, air memiliki daya


penenang, jika suhu air sama dengan suhu kulit; sedangkan apabila
suhu air lebih tinggi atau lebih rendah akan memberikan efek
stimulasi atau daya rangsang.
d. Makrifat Kosmologis
Salah satu wajah salat yang belum banyak diteliti adalah wajah
kosmologis salat, yakni bagaimana fenomena salat dapat dihubung-
kan dengan fenomena alam semesta. Amin (1999: 6) menjelaskan
bahwa rahasia geometrik ibadah salat merupakan suatu keajaiban
yang memukau. Jagat raya dan isinya memiliki serba keteraturan dan
keseragaman geometrik yang memikat. Pada saat yang sama, feno-
mena geometrik yang ada dalam salat ternyata sangat cocok, sinergi
dan sinkron dengan fenomena yang ada dalam realitas kosmologis,
baik mikrokosmos maupun makrokosmos. Watak dasar ibadah salat
memang ilahiyah, namun pada saat yang sama memperlihatkan
watak alamiah dan ilmiah. Vertikalisme dan hori-zontalisme tertaut
di dalam salat. Transendensi dan imanensi terpadu di dalamnya. Hati
dan akal bersatu dalam salat. Citra natural-kosmologis salat
menyajikan konotasi positif yang alami, bening, jernih, lapang, segar
dan menyatu. Salat yang natural, yang kosmologis tampak jika
diposisikan secara paralel dalam hubungannya dengan realitas
kealaman. Salat memiliki serangkaian anasir dan pentahapan gerak-
gerik yang ritmis dan periodik, sama dengan realitas alam. Ada
hubungan matematik antara gerak-gerik salat dengan gerak-gerik
alam semesta. Gerakan alam semesta ini dijelaskan dalam QS. Yasin
ayat 37-40.Salat merupakan ritual yang sarat dengan tindakan atau
bacaan tasbih dan sujud. Alam semesta (langit, bumi dan seisinya),
seperti diterangkan al-Quran, juga bertasbih dan bersujud kepada
Allah. Hanya bentuk tasbih dan sujudnya yang berbeda. Tasbih
adalah mensucikan al-Khaliq dari segala bentuk kekurangan,
kelemahan dan cacat-cacat. Adapun sujud merupakan ungkapan
sikap patuh, taat dan tunduk memenuhi segala perintah Allah dan
menjauhi segala larangan-Nya. Mengenai tasbihnya alam dijelaskan
antara lain dalam QS. al-Isra‟: 44 dan QS. al-Hasyr: 24. Sedangkan
fenomena sujudnya alam dijelaskan dalam QS. al-Hajj: 18 dan QS. al-
Ra‟du: 15. Menurut Amin (1999: 64), Rukuk dan Sujud identik dengan
gerak Rotasi dan Revolusinya. Inilah benang merah yang menghu-
bungkan antara fenomena alam dengan fenomena salat. Gerak rotasi
merupakan gerak berputar pada dirinya sendiri melalui sumbu
putarnya, sedangkan gerak revolusi adalah gerak berputar
mengelilingi sesuatu yang lain yang menjadi titik pusatnya. Amin
(1999: 66) mengungkapkan bahwa ada tujuh tahap gerak atau tahap

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 81


posisi salat yang jika dihitung secara matematik akan menghasilkan
nilai yang sama dengan gerak rotasi atau revolusi alam, yakni 360˚.
Tujuh tahap gerak itu adalah berdiri tegak (takbiratul ihram), rukuk,
i‟tidal, sujud pertama, duduk di antara dua sujud, sujud kedua dan
duduk tahiyat (salam). Sikap berdiri tegak yang sempurna, badan
sejajar dengan sumbu vertikal. Terhadap sumbu vertikal ini garis
badan berimpit dan membentuk sudut 0˚. Sumbu vertikal ini adalah
simbol hubungan vertikal dengan Allah. Sikap rukuk sempurna
membuat badan tertekuk di titik pinggul dan menjadikan garis
punggung membentuk proyeksi sudut siku-siku terhadap sumbu
vertikal sebesar 90˚. Perjalanan rakaatnya beranjak dan bergulir
menempuh besaran 90˚. Dalam i‟tidal, garis badan sejajar dan
berimpit kembali dengan sumbu vertikal. Proyeksi sudut bentukan-
nya kembali ke posisi 0˚, meskipun perjalanan rakaatnya tetap
menempuh besaran 90˚. Sikap sujud menjadikan badan seperti
dilipat-lipat dengan titik lipatan di dua tempat, yaitu titik pinggul
dan titik lutut. Sikap sempurna dari sujud pertama ini akan
menjadikan garis punggung membentuk proyeksi sudut tumpul
sebesar 135˚ terhadap sumbu vertikal. Perjalanan rakaatnya
merambat bertambah besar menjadi 225˚. Duduk diantara dua sujud
yang dilakukan secara sempurna membuat garis punggung sejajar
dan berimpit kembali dengan sumbu vertikal. Proyeksi sudutnya
kembali ke posisi 0˚. Namun perjalanan rakaatnya tetap tercatat
menempuh jarak 225˚. Pada sujud kedua, seperti sujud pertama, garis
punggung membentuk sudut tumpul sebesar 135˚ terhadap sumbu
vertikal. Dengan demikian, perjalanan rakaat merambat menjadi satu
putaran penuh (gerak putar rotasi dan revolusi) menempuh besaran
360˚. Duduk tahiyat tidak berbeda dengan duduk di antara dua
sujud, di mana garis punggung kembali sejajar dan berimpit dengan
sumbu vertikal. Proyeksi sudutnya kembali ke posisi 0˚, namun
perjalanan rakaatnya tetap telah menempuh jarak sudut penuh
sebesar 360˚ (Amin, 1999: 70-73). Secara akumulatif, tahap-tahap
gerak dapat digambarkan berikut: berdiri tegak (takbiratul ihram) +
rukuk + i‟tidal + sujud pertama + duduk di antara dua sujud + sujud
kedua + duduk tahiyat atau salam = gerak putar rotasi dan revolusi
alam semesta sebesar 360˚. Jika digambarkan secara matematik
(bentuk angka), maka hasilnya adalah: 0˚ + 90˚ + 0˚ + 135˚ + 0˚ + 135˚
+ 0˚, tepat memenuhi angka 360˚. Jadi total numerasinya 360˚. Total
perjalanan geometriknya juga sejauh 360˚ per siklus. Karena
perjalanan rakaat di dalam setiap salat bersifat sambung-menyam-
bung (kontinuitas), maka akumulasi perjalanan geometrik secara
keseluruhan menjadi “n x 360˚”, dimana “n” menyatakan bilangan

82 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

rakaat. Berarti di rakaat kedua menjadi 2 x 360˚, rakaat ketiga 3 x 360˚


dan begitu seterusnya. Dengan demikian, salat memiliki akurasi
ilmiah mempesona yang sarat visi, vertikal sekaligus horizontal, yang
diperuntukkan bagi manusia sebagai sarana berbakti pada Allah
SWT. Ibadah salat memperlihatkan adanya rencana dan kehendak
besar yang disengaja.
e. Makrifat Medis
Wratsongko (2006: 21) mengemukakan bahwa orang yang senantiasa
melaksanakan salat akan mendapatkan karunia kesehatan. Saat
melaksanakan salat, seluruh aspek kesehatan (lahir, mental dan pikir)
bersinergi secara harmonis. Dengan menjalankan salat, perasaan batin
menjadi tenang, hening dan khusyu‟. Dalam keadaan tenang, gelom-
bang otak manusia mencapai 8-12 gelombang per detik, merupakan
saat yang paling optimal untuk memperbaharui daya ingat jangka
panjang kita. Keadaan ini juga merupakan stimulus terhadap
mekanisme kerja sistem dan organ kita, menjadi lebih rileks. Dalam
keadaan rileks inilah, apa yang kita sebut mekanisme self healing atau
pengobatan diri sendiri bekerja. Stimulus yang lain timbul saat kita
melakukan rangkaian rukun salat. Dimulai dari posisi tegak, takbira-
tul ihram, kedua lengan menyilang di depan dengan lengan kanan di
atas lengan kiri, rukuk, i‟tidal, sujud, duduk di antara dua sujud,
duduk tahiyyatul akhir dan diakhiri dengan salam. Selama gerakan-
gerakan tersebut berlangsung, terjadilah stimulasi sensor-sensor saraf
dipermukaan tubuh yang diteruskan sebagai arus listrik saraf; untuk
kemudian menstimulasi sistem dan organ yang dipersarafinya.
Menurut penelitian Wratsongko (2006: 50), gerak sujud akan
membuat otot dada dan otot sela iga menjadi kuat, sehingga rongga
dada bertambah besar dan paru-paru akan berkembang dengan baik
dan dapat menghisap udara. Bagi wanita hamil, gerak sujud
bermanfaat mempertahankan posisi benar pada janin, mengurangi
tekanan darah tinggi, menambah elastisitas tulang, menghilangkan
egoisme dan kesombongan, serta meningkatkan kesabaran dan
kepercayaan kepada Allah SWT, yang dengan sendirinya dapat
menaikkan stasiun ruhani dan menghasilkan energi batin yang tinggi
di seluruh tubuh.
Sebenarnya sangatlah yakin bahwa umat Islam akan bisa menjadi
umat yang terbaik, terunggul dan teristimewa manakala sudah mampu
mewujudkan shalat ”kitabammauquta”, ash-shalatu lidzdzikri, dan shalat
fahsya wal munkar, dalam kehidupan nyata sehari-hari.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 83


Makrifat Zakat
Kadang orang merasa bahwa harta yang berada di tangannya
merupakan miliknya sendiri. Hal ini keliru, sebab diri kita, orang-tua, istri,
anak dan segala yang kita sangkakan milik kita, hakekatnya adalah milik
Allah. Kita hanyalah pemilik sementara dan pengguna fungsional belaka.
Tak ada dasarnya manusia mengaku sebagai pemilik yang hakiki. Oleh
karena itu apapun yang ada dalam tangan (milik) manusia, Allah mewa-
jibkan untuk mengeluarkan sebagian hartanya bagi orang lain. Baik berupa
zakat, shadaqah, infat, zizyah, it‟am dan seterusnya. Bahkan orang yang
ilmunya sudah “nisab” maka wajib berzakat dengan ilmu yang dimiliknya.
Orang yang memiliki kekuasaan yang sudah nishab, maka wajib berzakat
dengan kekuasaannya dan siapapun secara materi sudah nishab maka iapun
wajib berzakat. Zakat wajib atas apa pun yang keluar (ada) di bumi ini.
Perut bumi merupakan sebuah simbol atas keluasan pendapatan yang harus
dizakati. Artinya seluruh kemampuan yang dimiliki siapapun wajib mem-
berikan nilai manfaat (zakat) bagi sesamanya. Perhatikan firman Allah (QS.
Al-Baqarah [2]:267): “Hai orang yang beriman! Sumbangkanlah yang baik-
baik sebagian dari penghasilanmu dari yang dikeluarkan bumi untuk kamu
dan bahkan janganlah kamu niatkan menyumbangkan yang buruk-buruk
padahal kamu sendiri tak mau menerimanya, kecuali dengan mata tertutup
dan ketahuilah Allah Maha Kaya, Maha Terpuji”.
Bahkan Allah memberikan peringatan yang keras, agar setiap orang
tidak mengabaikan dan tidak memperlambat pemberian hak orang lain.
Perhatikan firman Allah (QS. Al-Baqarah [2] : 254): “Hai orang yang
beriman! Nafkahkanlah (segala karunia) yang telah Kami berikan kepada
kamu sebelum tiba suatu hari, ketika sudah tak ada lagi perdagangan, tak
ada persaudaraan, tak ada perantaraan dan orang kafir itulah yang dzalim”.
Kini saatnya kita menghisab diri sendiri tentang hal ikhwal yang ada
dalam diri sendiri atau berada atas penguasaan dirimu sendiri, tak terbatas
perdagangan, pertanian, profesi, kekuasaan, hasil karya atau apapun,
semuanya wajib dikeluarkan apatah sebagai zakat, shadakoh, infak, wakaf,
it‟am, ziz‟yah, nadar atau apapun namanya. Bila Anda yakin bahwa hak
orang lain yang diberikan akan mempermudah Anda memperoleh rezeki,
memperluas kelapangan hidup bagi yang lainnya. Kesadaran berzakat atau
infak hakekatnya adalah taburan kebaikan bagi dirinya sendiri dan
sekaligus pintu pembuka kelapangan dan keberkahan rezeki yang tiadak
bandingnya. Perhatikan firman Allah (QS. Al-Baqarah [2] : 261) : “Perum-
pamaan mereka yang menyumbangkan harta di jalan Allah seperti sebutir
biji menumbuhkan tujuh butir; pada setiap butir seratus biji. Allah melipat
gandakan bagi yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Luas, Maha
Mengetahui”. Kemudian lebih lanjut Allah memberikan perumpamaan lain,
sebagaimana dalam firman-Nya (QS. Al-Baqarah [2]: 265): Dan perumpa-

84 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

maan mereka yang menyumbangkan (sebagian dari) hartanya karena


mengharap keridaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka seperti
sebuah kebun di dataran tinggi, curah hujan yang besar menyiraminya,
maka hasil tanamanya dua kali lipat. Dan jika tak ada hujan besar, gerimis
pun memadai. Sungguh Allah melihat apa yang kamu kerjakan”.
Kententuan-ketentuan dalam menunaikan zakat, bukanlah suatu yang
tanpa tujuan, sebab segala sesuatu hal pasti memiliki keutamaan dari sisi
kualitas tujuan, keutamaan tempat dan manfaat waktu sebagai bagian
integral dari konsep ketauhidan. Terdapat beberapa hal penting tentang
makrifat puasa yang terilhami oleh pemikiran Imam al-Ghazali (1990:20)
seperti:
a. Melepaskan keterikan pada segala sesuatu hal yang selain Allah.
Kewajiban memberikan zakat atau infak, jika direnungkan dengan
seksama ternyata merupakan bentuk pelepasan diri dari keterikatan
dengan segala sesuatu hal yang selain Allah. Jangan sampai seseorang
men-cintai hartanya seperti cintanya pada Allah apalagi mencitai harta
melebihi Allah. Allah mengujinya dengan keharusan mengeluarkan
harta dari yang paling dicintainya. Allah berfirman:” … dan membe-
rikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya…”(QS. Al-Baqarah
[2]:177).
b. Mensucikan diri dari kekikiran. Zakat atau mengeluarkan harta dalam
bentuk apapun merupakan bagian dari sebuah kesadaran spiritual
untuk menghilangkan dominasi hawa nafsu yang dapat menjauhkan
manusia dari Tuhannya. Allah mengingatkan dalam firman-Nya, “dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-
orang yang beruntung”, (QS. Al-Hasyr [ ]:9).
c. Mensyukuri nikmat Allah sebagai wujud dari kemenyatuan manusia
dengan Tuhannya. Syukur kepada Allah merupakan ekspresi tertinggi
dari kepasrahan total manusia dari segala kesadaran ketakberdayaan.
Manusia secerdas dan sepintar apapun tak ada yang bisa mencip-
takan rezeki bagi dirinya sendiri apalagi bagi kehidupan yang lainnya.
Manusia hanya bisa merencanakan cara dan teknik menjemput rezeki
Allah. Karena kepastian tentang rezeki hanya ada di tangan kekuasaan
dan kasih sayang Allah.
d. Memupuk jiwa ihsan dengan keikhlasan. Begitu banyak kemungkinan
seseorang untuk menjadi seorang yang dermawan. Ia bisa saja berbagi
rezeki dalam jumlah yang banyak, tetapi belum tentu digerakkan oleh
sebuah kesadaran meneladani kemahapemu-rahan-Nya. Karena itu,
untuk ukuran dan kadar tertentu, memberi rezeki kepada sesama
hendaknya dilakukan dengan tersembunyi, “ Jika kamu menampak-
kan sedekahmu, maka itu baik sekali. Dan jika kamu menyembu-
nyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 85


menyembunyikan itu lebih baik bagimu” (QS. Al-Baqarah [2]:271). Jika
berbuat kebaikan dan berharap orang lain membalas atau memujinya,
maka itu merupakan bagian dari pengerdilan balasan kebaikan dan
sekaligus meniadakan keyakinan pada kepemurahan Allah. Berharap
balasan dari orang sama artinya dengan berkeyakinan akan hilangnya
perhitungan tak terbatas dari kepemurahan Allah. Oleh karena itu,
berzakat atau infak, puncaknya bukan pada proses pemberian yang
disembunyikan atau ditampakkan, tetapi pada ketulusan, sebagai
bagian dari refleksi kesadaran bahwa rezeki yang kita miliki merupa-
kan bagian dari af‟al Allah, bukan perbuatan kita sendiri.

Makrifat Puasa
Puasa bermakna menahan diri atau mengendalikan diri. Apa yang
sesungguhnya harus dikendalikan? Kenapa dalam kedirian diri kita ada
yang harus dikendalikan? Kemudian bagaimana cara pengendaliannya?,
Kapan harus dikendalikan? Seberapa lama pengendalian itu berlangsung?
Apa resiko bila tidak mengikuti program latihan pengendalian diri? Bisakah
pengendalian diri dengan cara lain, selain puasa? Apa ciri dari orang yang
telah berhasil mengendalikan diri? Dan seterusnya.
Manusia memang merupakan mahluk yang tidak tahu batas, baik
batas minimal atau maksimal, batas tahu atau tidak tahu, keberanian atau
ketakutan, keberhasilan atau kegagalan, kepintaran atau kebodohan, keta-
hudirian atau ketidaktahuan diri, batas usia atau awal kematian, semua ini
ruang gelap dalam hidup manusia. Manusia seakan hidup dalam lorong
gelap yang sesungguhnya bertepi tetapi tak tahu dimana tepinya. Kita tahu
bahwa hidup pasti diakhiri dengan kematian, itu tahu, tetapi kapan
sebenarnya kita akan mati? Tak ada yang tahu, sekalipun yang bunuh diri.
Ketidaktahuan kita tentang saatnya mati menjemput, laksana ketidaktahuan
kita berkaitan dengan saat awal dari tidur? Tak ada yang pernah ingat atau
pernah tahu. Namun baru tersadarkan ketika kita terbangun dari tidur,
bahwa kita ternyata baru saja habis tidur. Adanya batas ketidaktahuan, jelas
mengajari kita untuk menyadari secara jujur tentang adanya ketidak-
terbatasan dari Yang Maha Tahu. Manusia dilatih untuk jujur mengakui dan
menyadari adanya „kekuatan tak terbatas‟ dari keterbatasan yang ada pada
diri kita.
Norma fiqh mengajarkan ada beberapa hal yang harus dikendalikan
melalui puasa seperti hajat melakukan hubungan seksual, makan dan
minum dalam batas waktu yang ditetapkan, Ibnu Hajar al-Asqalany,
(2005:362). Tidak semua hajat hidup manusia dijadikan batas bagi
pengedalian diri. Berbicara yang dampaknya terkadang bisa lebih menge-
rikan, tidak merupakan batas yang ditetapkan dalam berpuasa nominalitas.
Akan tetapi sebenarnya semua yang bisa mendorong degradasi kualitas

86 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

kedirian manusia, hendaknya dijadikan batas kendali oleh diri kita masing-
masing. Berbicara kasar atau menyakitkan, mencuri atau memfitnah atau
menghinakan seseorang seyogianya menjadi batas kendali yang diyakini
dapat membatalkan puasa. Kini saatnya kita menyadari pentingnya puasa
hakiki atau puasa kejujuran diri yakni pengendalian tanpa batas ruang dan
waktu. Sebagian besar diantara kita, rata-rata telah sanggup melakukan
puasa syariat sekalipun belum tentu sampai kepada ultimate goals yakni
menjadi manusia muttaqiin atau manusia paling takwa.
Puasa untuk memperoleh title muttaqin, sebenarnya merupakan
proses yang telah berisi nilai takwa yakni amanah, fatonah, tablig, adil,
jujur, sabar, kasih sayang, peduli, dermawan dan lain-lain. Bila puasa kita
mencapai derajat muttaqin, maka pada akhirnya nilai takwa itu akan
menjadi hasil dari puasa tadi. Jadi, puasa sebagai proses dan takwa meru-
pakan hasil akhir outcome atau produk puasa. Karena itu, tidak ada
pelonggaran pada orang yang beriman untuk tidak menjalani proses
menuju takwa. Sebab tidak akan ada hasil tanpa proses. Jadi orang yang
berpuasa adalah orang yang jujur sedang meminta peningkatan derajat
takwa dengan memperhatikan kepatutan atau kelayakan untuk diberi atau
sampai pada derajat takwa. Memang banyak orang yang meminta tanpa
memperhatikan kapatutan untuk diberi. Itulah manusia yang tidak tahu diri
dan tidak tahu berterima kasih. Karena itu, berpuasalah agar ketika anda
meminta terbiasa dengan memperhatikan kepatutan untuk diberi. Inilah
yang dimaksud dengan puasa kejujuran. Latihan ini penting agar orang
menyadari setiap permintaanya didasarkan pada kelayakan dan kepatutan
untuk diberi, tidak asal meminta. Tuhan Yang Maha Pemberi, senantiasa
memberi siapapun yang diberi-Nya dengan memperhatikan kepatutan,
kepantasan dan ukuran yang tepat untuk menerimanya.
Apapun alasan yang dikemukan dalam konteks berpuasa, mestinya
puasa dapat mengantarkan sesorang untuk bermakrifat kepada Allah
melalui ketulusan ibadah puasa yang dijalaninya. Beberapa hal utama yang
bisa datarik makrifatnya dari ibadah puasa:
a. Pergerakan bendawi menuju spiritual. Kerakusan, keserakahan dan
kebatilan berawal dari keinginan memenuhi nafsu yang bersifat
bendawi. Keinginan makan menyebabkan pencurian, kebutuhan
akan kemewahan mengantarkan tindakan korupsi dan dorongan
nafsu yang bersifat seks mengakibatkan perkelahian, darah dan
kebatilan. Pantas kiranya jika hal yang menyebabkan batalnya
puasapun berkaitan dengan nafsu makan dan seks yang sengaja
diredam, dikendalikan dan dikembalikan kepada kekuatan dasar
yang bersifat ilahiyah agar manusia kembali kepada kefitrian dan
kesejatiannya sebagai mahluk spiritual.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 87


b. Pergerakan ritual menuju moral. Puasa yang hanya dijalankan secara
ritual, kewajiban formal dan ibadah legal belaka, memang akan
kehilangan pisau ketajaman moralnya. Karena itu, tamat berpuasa 1
kali, 2 kali, 15 kali, 25 kali bahkan 50 kali tidak pernah bisa merubahn
kualitas kehidupan secara siginifikan. Padahal mestinya puasa yang
dijalankan setiap tahun mampu mencelup badan menjadi jiwa,
membordir ucapan menjadi ungkapan, mengasah tindakan menjadi
perilaku, membuka kekikiran jadi kedermawanan, melukis kesom-
bongan menjadi kerendahan hati, membongkar kemiskinan menjadi
kekayaan dan memahat kegelisahan menjadi kebahagiaan abadi.
Dan jika ini yang terjadi dalam subtansi berpuasa, maka puasa
berhasil menjadi kekuatan revolusi moral. Moral inilah yang
mengantarkan manusia sampai kepada Tuhannya.
c. Bergerakan individual menuju sosial. Islam memang nyata sebagai
agama yang mengutamakan kehidupan sosial atau berjamaah. Dari 5
rukun Islam, hanya satu yang benar-benar dimensi individualnya
terkesan kuat yakni syahadah. Mulai rukun Islam kedua sampai
kelima, nuansa sosialnya lebih kental. Shalat berzamaah bernilai
lebih tinggi pahalanya dibanding shalat sendiri, zakat merupakan
bentuk kepedulian sosial, puasa digenapkan dengan zakat fitrah dan
hajipun merupakan mubes (musyawarah besar) umat Islam dunia
yang diselenggarakan secara rutin setahun sekali. Jika ini yang
terjadi maka Islam sebagai rahmatan lil‟alamin akan terwujud dalam
kehidupan. Dan Allah akan terlihat oleh mata telanjang dalam
kenyataan hidup sehari-hari sebagai nilai.
d. Bertemu Allah lewat Sabar. Puasa merupakan ibadah yang proses-
nya paling panjang dan berkesinambungan. Karena proses yang
panjang maka dimungkinkan untuk mencapai deraja takwa sesuai
dengan tujuan berpuasa. Salah satu bentuk proses yang dicapai oleh
puasa adalah sabar dan sabar merupakan separoh dari iman dan
pahala sabar tidak terbatas, “Sesungguhnya hanyalah orang-orang
yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”,
(QS.az-Zumar [39 ]:10). Ketika menjalankan puasa yang dapat
memastikan tercapainya kesabaran dan istiqamah dalam maqom
sabar, maka itu artinya sudah bertemu Allah dalam maqon as-Sabru.
e. Bertemu Allah lewat pintu Rayyan. Bila amal ibadah yang lain
dilipagandakan sampai puluhan atau ratusan kali lipat, maka
berpuasa mendapat balasan yang tak terhingga bahkan disediakan
pintu surga khusus yang tidak dilewati kecuali oleh yang berpuasa,
sebagaimana HR. Bukhori Muslim dari Sahl bin Sa‟d, “Syurga itu
mempunyai pintu yang disebut Rayyan, dimana pintu itu tidak

88 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

dimasuki kecuali oleh orang-orang yang berpuasa, dan ia diberi janji


untuk bertemu dengan Allah Ta‟ala dalam balasan puasanya”.

Makrifat Haji
Rangkaian ibadah haji sebagian besar lebih bersifat ritual dan
seremonial, namun benarkah itu ruhnya? Adakah spirit zaman dibalik
kewajiban haji? Bukankah sepanjang perjalanan ibadah haji napak tilas
perjuangan para nabi? Apa yang dapat dipetik dari pengalaman ibadah
haji? Dan apakah dari diri kita yang harus mencapai martabat haji? Apa
yang harus pertama kali di hajjikan dari diri kita? Apa mungkin bangsa kita
juga bisa berhaji, bukan hanya sebagai penyelenggara haji? Dapatkah ibadah
haji menjadi vilar pemersatu umat Islam se-dunia?
Pasti, harusnya pasti bisa, sebab nilai pemersatu itu telah berada
dalam sebuah ikat tauhid, sebagai ummatan wahidatan, ummat yang satu
dalam satunya aqidah, satu ibadah, satu syari‟ah, satu Ka‟bah, satu hajar
aswad, satu sa‟i, satu wukuf, satu shalat, satu cita-cita (surga), satu rasa
takut ke neraka karena murka Allah dan satu seruan untuk tidak bercerai-
berai dalam pelaksanaan Islam yang kaffah. Semua kebaikan, keutamaan,
ketulusan, dan hikmah peribadatan, terkuak dahsyat pada misi besar ibadah
haji yang merupakan napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim dan keteladanan
Nabi Muhammad yang dihayati seluruh ummat Islam se-dunia.
Makna apa yang dapat ditemukan dalam perjalanan panjang ibadah
haji? Ada banyak hal yang sangat fundamental dan esensial dari nilai-nilai
bermakrifat kepada Allah melalui ibadah haji, antara lain:
a. Nilai pensucian diri. Ibadah haji yang dilakukan dengan penuh
kehidmatan, bisa membawa setiap orang berada dalam maqom
ekstasi dengan Tuhan, maqom penyatuan diri dengan Tuhan dan
tiadanya diri sendiri. Kesadaran ini muncul pada siapapun yang
menunaik ibadah haji dengan niat karena Allah, bukan karena status
sosial, bukan karena ingin melebur dosa, tetapi karena ingin lebih
dekat dengan Allah. Pada saat ibadah haji menemukan makna
sejatinya pensucian diri, maka pengosongan diri akan berganti
pengisian kehadiran-Nya. Rumi (A. Reza Arasteh, 2002:107),
melukiskan ketika ekstesi sedang terjadi, urat darahpun menjadi
kosong dari darah dan lalu diisi dengan cinta dari Sang Kekasih:
“Cinta datang dan aku membangkitkan jiwaku kepada Sang
Kekasih. Sang Kekasih sekarang memberiku kehidupan dari kehi-
dupan sendiri. Cinta datang dan seperti darah yang mengisi urat
dan jaringanku. Mengosongkanku dari diriku dan mengisiku dengan
teman. Teman itu memiliki setiap atom dari keberadaanku. Nama itu
adalah segala yang telah aku tinggalkan saat ini dan segala yang
tersisa hanyalah Dia”. Jika selepas haji tetapi jiwanya masih berisi
molekul kemusyrikan, atom kesombongan, inti atom riya, dan gen

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 89


kefasikan, maka titel haji mambrur terdelet kembali oleh backspace,
insert dan bahkan virus-virus ganas anti tauhid.
b. Nilai ketaatan sejati. Jika dalam ibadah lain bahwa metafora
kebendaan itu benar-benar ditiadakan, bagaimana shalat tidak boleh
membayangkan wajah Rasulullah, tulisan Allah atau yang lainnya,
tetapi dalam ibadah haji ada bagian dari ibadah haji dengan simbolik
benda yakni hajar aswad. Tetapi apapun rasio kita menganalisis,
Rasulullah mencontohkan mencium hajar aswad, maka itu harus
sami‟na wa‟atho‟na, termasuk mencontoh perbuatan batin Rasulullah
dalam mencium hajar aswad. Ia tidak mengibadati, memperso-
nifikasi, bahkan menganalogikan, tidak pula mengkultuskan atau
memitoskan dan apalagi harus mempertuhankan. Ia hanya meng-
hormati dan berhidmat pada mahluk Allah yang diberi kemuliaan
tersendiri.
c. Nilai keikhlasan hati. Ibadah tidak mungkin bisa terlaksana dengan
baik jika tidak dibarengi dengan ketulusan hati untuk beribadah.
Sebab pelaksanaan haji membutuhkan biaya besar, meninggalkan
keluarga, sanak saudara dan harta kekayaan serta berhadapan
dengan resiko kematian. Tidak sedikit para jemaah haji yang
meninggal dunia saat menjalankan ibadah haji, apalagi seperti kasus
terowongan Mina yang menelan ribuan jiwa, tetapi tidak pernah
menyurutkan niat untuk melakukan ibadah haji. Kenapa demikian?
Karena pelaksanaan ibadah haji sudah dibarengi dengan ketulusan
hati untuk memenuhi panggilan Allah.
d. Nilai persaudaraan abadi. Ibadah haji bukanlah ibadah biasa, karena
ia dilakukan dalam jumlah yang begitu desar dengan berbagai suku,
ras, bahasa tetapi diikat dalam satu tali besar tauhidullah, ketun-
dukan dan kataatan pada Allah secara kaffah. Ibadah haji meski
secara bahasa bisa saja tidak saling mengerti, tidak saling bicara dan
tidak saling berkata-kata namun dari persamaan niat, bentuk
peribadatan, waktu peribadatan, simbol-simbol makna peribadatan,
maka ikatan tali persaudaraan seiman niscaya akan muncul. Tentu
saja akan lebih hebat lagi jika para jamaah haji bisa saling berkata
makna dan berucap tujuan untuk membangun persaudaraan muslim
yang lebih proaktif, sehingga kepedulian terhadap derita sesama
muslim dibelahan bumi manapun akan tercipta lebih baik lagi.
e. Nilai fana mahluk. Ibadah haji merupakan puncak rukun Islam yang
mengajarkan kesanggupan berjihad dan berkorban sangat tinggi
yang sudah dengan pasti sampai pada kemampuan hanya dapat
melihat Allah dan fananya mahluk pada setiap keadaan apapun.
Tentu saja nilai-nilai lain yang tak terbatas jumlahnya bisa dirasakan
oleh masing-masing dengan cara menghayati dan memaknai sendiri

90 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

pengalaman spiritual saat menunaikan haji, seperti nilai tobat dari segala
dosa, baik dosa kepada Allah maupun dosa kepada sesama dan termasuk
dosa terhadap mahluk lain hewan, tumbuhan, bakteri, virus dan seterusnya.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 91


9
MAKRIFAT ASMA AL-HUSNA

Artinya:
“Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik),
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutkan Asmaul
Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan
nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapatkan balasan terha-
dap apa yang telah mereka kerjakan”, (QS. Al-„Araf [7]:180).

Allah memiliki 99 sifat dalam al-asma al-husna. Sifat-sifat Allah


yang berjumlah 99 tentu saja bisa dikaji dengan kesadaran spiritual dan
tingkat keilmiahan yang tinggi. (1) angka 9 bila dikalikan akan tetap
berjumlah 9, misalnya 2 x 9 = 18 dan 1 + 8 = hasilnya tetap 9, 3 x 9 = 27 dan
penjumlahan 2 + 7 = 9. Inilah makna konsistensi, makna keajegan dalam
setiap sifat Allah. (2) angka 9 merupakan angka tertinggi dalam bilangan
Arab, sebab angka 10 hanyalah pengulangan dari 1 dan 0. Hal ini
memberikan isyarat makna bahwa sifat-sifat Allah merupakan makna
tertinggi, dari ke-Maha Tinggian Allah dalam segala hal yang tak mungkin
ada yang dapat menandingi-Nya. (3) angka 1 dibagi 99 akan menghasilkan
0.010101… dengan angka desimal tak terhingga. Hal ini menunjukkan zat
yang tidak bisa dibagi, padat dan tak berongga, itu zat Allah dan
merupakan angka yang menggambarkan ketidak-terbatasan sifat-sifat Allah

92 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

secara hakiki. Ketiga, memikirkan zat Allah, langkah ini sesuatu yang
mustahil bisa dicapai oleh manusia dan sekalipun Al-Ghazali pernah
menulis tentang hal ini dalam bukunya Madhnun bihi „ala Ghayr Ahlih,
namun naskahnya disuruh disembunyikan.
Allah memiliki nama-nama Yang Indah, “Milik-Nyalah nama-nama
yang Indah”, (QS. Al-Hasyr [59]:24) dan nama-nama yang Agung (al-ism al
a‟zham) yang dengan itu Dia dikenal Allah. Nama-nama esensial Allah (ad-
Dzat) dan keseluruhan nama-nama Ilahi (asma) serta sifat-sifatnya (shifat)
yang berhubungan dengan dan terkandung dalam hakikat Ilahi. Mengenal
nama-nama Allah dan menyebutnya secara berulang-ulang dapat memberi
dampak positif yang luar biasa bagi pelakunya. Dengan menyebut nama-
nama Allah maka jiwa manusia mengalami transendensi dan imanensi
dengan Allah yang menyajikan rasa hati, bahwa Allah berada di atas
segalanya dan sekaligus menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya di dalam
segala sesuatu, dimana-mana, dihadapan, di dalam dan dibalik segala
sesuatu. Sungguh Allah sangat dekat dalam kehidupan manusia dengan
mencakup segenap kehidupan dari yang besar sampai yang kecil, yang
nampak dan yang penuh rahasia, malam maupun siang, Allah senantiasa
berada dalam diri kehidupan kita, “Kami lebih dekat kepadanya (manusia)
daripada urat lehernya sendiri”, (QS. Qaf [50]:16).
Untuk bisa mengambil pelajaran atau hikmah dari Asmaul Husna,
berikut akan dituliskan nama-nama Asmaul Husna:
1. Allah :Lafadz/ucapan Yang Maha Mulia yang merupakan nama
bagi Dzat Ilahi Yang Maha Suci serta wajib ada-Nya. Nama Allah
merupakan sebuah Dzat yang mewakili keseluruhan sifat-sifat Allah
itu sendiri.
2. Ar-Rahman:Maha Pengasih, pemberi kenikmatan yang agung,
pengasih di dunia atau pengasih pada zahir.
3. Ar-Rahman: Maha Penyayang, pemberi kenikmatan yang pelik-
pelik, penyayang di akhirat, pengasih pada batin.
4. Al-Malik: Maha Merajai, Maha Memiliki, mengatur kerajaan dan
milik-Nya dengan Kehendak-Nya.
5. Al-Quddus: Maha Suci, suci dari segala cacat dan cela.
6. As-Salam: Maha Penyelamat, pemberi keamanan, kesentosanaan,
kedamaian bagi seluruh mahluk-Nya.
7. Al-Mukmin: Maha Pemelihara Keamanan, dari ketepatan memberi
siksa atau pahala.
8. Al-Muhaimin: Maha Penjaga, Maha Pemberi Kebahagiaan, lahir
batin dan melindungi segala mahluk-Nya.
9. Al-Aziz: Maha Mulia, kuasa dan mampu berbuat sekehendak-Nya.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 93


10. Al-Jabbar:Maha Perkasa, mencukupi segala kebutuhan, melang-
sungkan segala perintahnya dan memperbaiki keadaan seluruhnya.
11. Al-Mutakabbir:
Maha Megah, menyendiri dengan sifat keagungan
dan kemegahan-Nya.
12. Al-Khaliq: Maha Pencipta, mengadakan seluruh mahluk tanpa asal,
juga mentakdirkan adanya semua itu.
13. Al-Bari: Maha Pembuat, mengadakan sesuatu yang bernyawa yang
ada asal mulanya.
14. Al-Mushawwir: Maha Pembentuk, memberikan gambaran atau
bentuk pada sesuatu yang berbeda dengan yang lain, yang sesuai
dengan keadaan dan keperluannya.
15. Al-Ghaffar: Maha Pengampun, banyak pemberian maaf-Nya dan
menutupi dosa dan kesalahan.
16. Al-Qahhar:Maha Pemaksa, menggenggam segala sesuatu dalam
kekuasaan-Nya serta memaksa mahluk menuruti kehendak-Nya.
17. Al-Wahhab: Maha Pemberi, memberi banyak kenikmatan dan
karunia-Nya.
18. Ar-Razaq:
Maha Pemberi Rezeki, mmbuat berbagai rezeki serta
membuat pula sebab-sebab diperolehnya.
19. Al-Fattah: Maha Membukakan, membuka ruang penyimpinan
rahmat-Nya untuk seluruh mahluk.
20. Al-„Alim: Maha Mengetahui, mengetahui segala yang maujud dan
tidak ada sesuatu benda apapun yang tersembunyi dari penge-
tahuan-Nya.
21. Al-Qobid: Maha Pencabut, mencabut nyawa atau mempersempit
rezeki.
22. Al-Basith: Maha Meluaskan, memudahan dapat rezeki bagi siapa
saja yag dikendaki-Nya.
23. Al-Khafidl:Maha Menjatuhkan, menjatuhkan siapa saja yang layak
dijatuhkan karena perbuatannya sendiri.
24. Ar-Rafi‟:
Maha Mengangkat, mengangkat siapa saja yang layak
diangkat-Nya karena perbuatan baiknya dan ketakwaannya.
25. Al-Mu‟iz: Maha Pemberi Kemuliaan, kepada orang yang berpegang
teguh kepada agama-Nya dengan memberi pertolongan dan keme-
nangan.
26. Al-Mudzil: Maha Pemberi Kehinaan, kepada musuh-musuh-Nya
dan musuh umat Islam seluruhnya.
27. As-Sami‟: Maha Mendengan, mendengar segala ucapan lahir dan
batin.

94 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

28. Al-Bashir:
Maha Melihat, melihat segala sesuatu yang nampak dan
tidak nampak.
29. Al-Hakam. Maha Menetapkan Hukum, sebagai hakim yang
menetapkan segala hukum dan tidak satupun mahluk yang bisa
menentang atau merintangi berlakunya hukum Allah.
30. Al-„Adlu: Maha Adil serta sangat sempurna dalam keadilan-Nya
31. Al-Lathif: Maha Halus, yakni mengetahui segala sesuatu yang
samar, yang pelik dan yang kecil-kecil.
32. Al-Khobir: Maha Waspada, Maha Pemberi Khabar, memberikan
kabar kebaikan atau keburukan kepada seluruh mahluknya tanpa
permintaan dan dengan kesegeraan.
33. Al-Halim. Maha Pengiba, Maha Penyantun, penyantun yang tidak
tergesa-gesa melakukan kemarahan dan tidak pula ceroboh dalam
memberi siksaan.
34. Al-„Azhiim: Maha Agung, mencapai puncak tertinggi dari mencu-
suar keagungan karena bersifat dengan segala macam sifat kebe-
saran dan kesempurnaan.
35. Al-Ghafur: Maha Pengampun, banyak pengampunan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya, baik diminta atau tidak.
36. Al-Syakur: Maha Pembalas, memberikan balasan yang banyak sekali
atas amalan yang kecil dan tidak berarti sekalipun.
37. Al-„Aliy: Maha Tinggi, mencapai tingkat yang setinggi-tingginya
yang tidak mungkin digambarkan oleh akal fikiran siapapun dan
tidak dapat dipahami oleh oleh pikiran mahluk-Nya.
38. Al-Kabir: Maha Besar, yang kebesaran-Nya tidak dapat diikuti oleh
panca indra atau akal manusia.
39. Al-Hafidz: Maha Pemilihara, menjaga sesuatu jangan sampai rusak
dan goncang dan menjaga segala amal hamba-Nya untuk tidak disia-
siakan sedikitpun.
40. Al-Muqit: Maha Pemberi Kecukupan, baik yang berupa makanan
tubuh maupun makanan rohani.
41. Al-Hisab: Maha Penjamin, memberikan jaminan kecukupan kepada
seluruh hamba-Nya, juga dapat Maha Menghisab amalan hamba-
Nya.
42. Al-Jalil: Maha Luhur, yang memiliki sifat keluhuran karena
kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
43. Al-Kariem: Maha Pemurah, mulia hati dan memberi siapapun tanpa
diminta atau sebagai penggantian dari sesuatu pemberian.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 95


44. Ar-Raqieb: Maha Peneliti, yang mengamati gerak-gerik segala
sesuatu dan mengawasinya.
45. Al-Waasi‟:Maha Luas, segala kerahmatannya merata atas segala
yang mauju dan luas ilmu-Nya terhadap segala sesuatu.
46. Al-Mujib: Maha Mengabulkan, yang memenuhi permohonan siapa
saja yang berdo‟a kepada-Nya.
47. Al-Hakim, Maha Bijaksana, memiliki kebijakkan yang tinggi,
kesempurnaan ilmu-Nya dan kerapian-Nya dalam membuat segala
sesuatu.
48. Al-Wadud: Maha Pencipta, yang menginginkan segala kebaikan
untuk seluruh hamba-Nya dan pula berbuat baik pada mereka
dalam segala hal dan keadaan.
49. Al-Majid: Maha Mulia, yang mencapai tingkat teratas dalam
kemuliaan dan keutamaan.
50. Al-Baa‟its: Maha Membangkitkan, membangkitkan para rasul, mem-
bangkitkan semangat dan kemauan dan membangkitkan orang-
orang dari kematiaannya nanti dihari kiamat.
51. Asy-Syahid: Maha Menyaksikan, Maha Mengatahui keadaan
mahluk-mahluk-Nya.
52. Al-Haq: Maha Haq, Maha Benar, yang kekal dan tidak akan berubah
sedikitpun.
53. Al-Wakil: Maha Pemelihara Peyerahan, memelihara segala urusan
hamba-Nya dan apa-apa yang menjadi kebutuhan mereka.
54. Al-Qawiy: Maha Kuat, yang memiliki kekuatan yang paling sem-
purna.
55. Al-Matin: Maha Kokoh, Perkasa, memiliki keperkasaan yang sudah
sampai puncaknya.
56. Al-Waliy: Maha Melindungi, melindungi, menertibkan semua
kepentingan mahluk-Nya karena kecintaan-Nya yang sangat besar
dan pemberian pertolongan yang tidak terbatas.
57. Al-Hamid: Maha Terpuji, yang memang sudah selayaknya menda-
patkan pujian dan sanjungan.
58. Al-Muhshi: Maha Penghitung, tidak seorangpun tertutup dari
pandangan-Nya dan semua amalan diperhitungkan sebagaimana
sewajarnya.
59. Al-Mubdi: Maha Memulai, yang melahirkan sesuatu yang asalnya
tidak ada dan belum maujud.
60. Al-Mu‟id: Maha Mengulangi, menumbuhkan kembali setelah lenyap
atau rusak.

96 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

61. Al-Muhyi:memberikan daya kehidupan pada setiap sesuatu yang


berhak hidup.
62. Al-Mumit: Yang Maha Mematikan, mengambil kehidupan dari
apa-apa yang hidup, lalu mati.
63. Al-Hay: Maha Hidup, kekal pula hidup-Nya.
64. Al-Qayyum: Maha Berdiri Sendiri, baik Dzat, Sifat, Asma‟ dan Af‟al-
Nya. Dan membuat berdirinya segala sesuatu selain Dia, berdirinya
langi dan bumi.
65. Al-Waajid: Maha Kaya, dapat menemukan apa saja yang
diinginkan-Nya, maka tidak membutuhkan sesuatu.
66. Al-Maajid: Maha Mulia, mencapai kemuliaan tertinggi.
67. Al-Waahid, Maha Esa.
68. As-shamad: Maha Dibutuhkan, Tempat Bergantung, selalu menjadi
tujuan dan harapan diwaktu ada hajat dan keperluannya.
69. Al-Qaadir: Maha Kuasa.
70. Al-Muqtadir: Maha Menentukan.
71. Al-Muqaddim: Maha Mendahulukan, mendahulukan sebagian
benda dari yang lainnya dalam perwujudannya atau dalam
kehidupan, selisih waktu dan tempat.
72. Al-Muakhkhir: Maha Mengakhirkan atau Membelakangkan sesuatu
perwujudannya mahluk.
73. Al-Awwal: Maha Pertama, dahulu sekali dari segala yang maujud.
74. Al-Akhir: Maha Penghabisan, kekal selama-lamanya tanpa ujung.
75. Azh-Zhohir: Maha Nyata, menyatakan dan menampakkan
kewujudan-Nya dengan bukti-bukti dan tanda-tanda penciptaan-
Nya.
76. Al-Baathin: Yang Tersembunyi, tidak dapat dimaklumi Dzat-Nya,
sehingga tidak seorangpun yang dapat mengenal Dzat-Nya (Kuhni
Dzat).
77. Al-Waali: Maha Menguasai, menggenggam sesuatu dalam
kekuasaan-Nya dan menjadi milik-Nya.
78. Al-Muta‟ali: Maha Suci, Maha Tinggi, terpelihara dari segala
kekurangan dan kerendahan.
79. Al-Bari: Maha Dermawan, banyak kebaikan dan besar kenikmatan
yang dilimpahkan-Nya.
80. At-Tawwab: Maha Penerima Taubat, memberikan pertolonangn
kepada orang-orang yang bermaksiat untuk melakukan taubah lalu
Allah menerimanya.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 97


81. Al-Muntaqim:Maha Penyiksa, kepada orang-orang yang berhak
untuk mendapatkan siksa.
82. Al-„Afuw:Maha Pemaaf, pelebur kesalahan yang suka kembali
untuk meminta maaf kepada-Nya.
83. Ar-Ra‟uf: Maha Pengasih, banyak kerahmatan dan kasih sayang-
Nya.
84. Maalikul Mulki: Maha Mengusai Kerajaan, segala perkara yang
berlaku di alam semesta, langit, bumi dan dibaliknya sesuai dengan
kehendak dan iradah-Nya.
85. Dzul Jalali wal Ikram: Maha Memiliki Kebesaran dan Kemuliaan,
juga Dzat yang mempunyai keutamaan dan kesempurnaan pemberi
karunia dan kenikmatan yang amat banyak.
86. Al-Muqsith: Maha Mengadili, memberikan kemenangan pada orang-
orang yang teraniaya dari tindakan orang-orang yang menganiaya
dengan keadilan-Nya.
87. Al-Jaami‟: Maha Mengumpulkan, mengumpulkan berbagai hakekat
yang telah bercerai-berai dan juga mengumpulkan seluruh umat
manusia pada hari pembalasan.
88. Al-Ghoniy: Maha Kaya, maka tidak membutuhkan apapun dari yang
selain Dzat-Nya sendiri, tetapi selain-Nya pasti sangat membu-
tuhkan-Nya.
89. Al-Mughniy: Maha Pemberi Kekayaan, memberikan kelebihan yang
berupa kekayaan yang berlimpah kepada siapapun yang dikehen-
daki-Nya.
90. Al-Maani‟: Maha Pembela, Maha Penolak, membela hamba-hamba-
Nya yang shalih dan menolak sebab-sebab yang menyebabkan
kerusakan.
91. Adz-Dlar: Maha pemberi Bahaya, dengan menurunkan siksa-siksa-
Nya kepada musuh-musuh-Nya.
92. An-Naafi‟: Maha Pemberi Kemaafan, meralah kebaikan yang
dikaruniakan-Nya kepada semua hamba dan negeri.
93. An-Nuur: Maha Bercahaya, menonjolkan Dzat-Nya sendiri dan
menampakkan untuk yang selain-Nya dengan menunjukkan tanda-
tanda kekuasaan-Nya.
94. Al-Haadi: Maha Pemberi Petunjuk, memberikan jalan yang benar
kepada segala sesuatu agar langsung adanya dan terjaga kehi-
dupannya.
95. Al-Badi‟: Maha Pencipta Yang Baru, tidak ada contoh, mencipta
sesuatu dari asal yang tidak ada.

98 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

96. Al-Baaqi: Maha Kekal, kekal hidup-Nya untuk selama-lamanya.


97. Al-Waarist: Maha Pewaris, kekal setelah musnahnya seluruh mah-
luk.
98. Ar-Rasyid: Maha Cendikiawan, memberi penerangan dan tuntunan
pada seluruh hamba-Nya dan segala peraturan-Nya berjalan
menurut kehendak-Nya yang dibingkai oleh kebijaksanaan dan
kecendikiawanan-Nya.
99. Ash-Shabur: Maha Penyebab, yang tidak tegesa-gesa memberikan
siksaan dan tidak pula cepat-cepat melaksanakan sesuatu sebelum
waktunya.
Setelah membaca dan merenungkan dengan kesadaran terdalam atas
dan terhadap nama-nama Allah yang baik (Asmaul Husna), Nampak begitu
indah kehidupan ini karena semua telah terlindungi oleh sifat-sifat Allah
dan tidak mungkin ada yang terlupakan sedikitpun dari perlindungan,
pemeliharaan, pemulyaan, pembangkitan, pencerahan, termasuk pengka-
yaan hidup dari pencukupan pemberian Allah yang Maha Pemurah, Maha
Kaya, Maha Mengabulkan dan seterusnya, sehingga tak ada celah kekurang
apapun dari kehidupan manusia.
Belajar membaca, menghapal dan memaknai asmaul husna tentu saja
diharapkan bisa meneladani sifat-sifat baik Allah dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga bisa berperasaan, berpikir dan berperilaku sebaik, secantik,
seindah, dan sebermakna sifat-sifat Allah dari asmaul husna. Atau tahap
awalnya bisa istiqomah dalam satu atau dua sifat secara konsisten dan
berkelanjutan.
Kekayaan terhebat dan mahal yang acapkali diabaikan adalah bahwa
setiap orang memiliki kekuatan dan keunggulan terpendam yang bisa
dibangkitkan. Kekuatan ini laksana bahan bakar yang bisa membuat ken-
daraan berlari atau bagai air yang lunak, tetapi dapat membobol tanggul
yang begitu kokoh atau mungkin seperti hebatnya tetesan air yang dapat
membelah batu yang keras atau laksana udara dalam ban mobil yang
dapat memikul beban begitu berat tak kelihatan tapi kekuatannya dahsyat.
Modal utama tentu adalah keteguhan iman kepada Allah, mahabbah
kepada Allah. Allah bersamamu, Allah lebih dekat dari urat leher, Allah
Maha Pemberi dan Allah Maha Luas Rezeki-Nya dan seterusnya. Sembilan
puluh sembilan (99) sifat Allah (asma al-husna) bila dihadirkan keber-
maknaanya pada kehidupan, insya Allah ummat Islam akan menjadi
ummat terkuat. Bila sifat Allah al-Muqaddim (Yang Mendahulukan)
diterapkan dalam kehidupan, maka kita harus menjadi pelopor dalam
segala hal, bukan pengekor. Bila sifat al-Muqaddim diikuti dengan ar-
Rasyid (Yang Maha Tepat Tindakan-Nya), maka resiko kegagalan dalam
hidup akan bisa diminimalisir. Bila kehidupan kita mengalami kegagalan,
namun punya kesadaran akan makna sifat as-Shabur, maka kita akan bisa

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 99


sabar, tidak putus asa, pantang menyerah. Bila kegagalan yang tengah
dialami disertai kesabaran proses dan teladani Asma Allah al-Hadiy (Yang
Maha Pemberi Petunjuk), maka setiap permasalahan akan ditemukan jalan
keluarnya. Apalagi bila sifat al-Mani‟ (Yang Maha Mencegah) sejak awal
telah menjadi milik diri masing-masing, maka kesuksesan hidup, dapat
dipertahankan secara berkelanjutan, terus menerus laksana sifat Allah al-
Baqiy, (Yang Maha Kekal), hidup senantiasa dalam kebahagiaan. Andai
kesuksesan hidup yang dijalani dapat dipahami sebagai bagian dari kasih
dan sayang Allah (ar-Rahman), maka keikhlasan untuk berbagi dan
mewariskan pengalaman hidup kepada orang lain akan terus dilakukan
tanpa dibatasi sekat-sekat yang pragmatis, profan dan materialisme.
Melalui pemahaman akan sifat-sifat Allah dan diterapkan dalam makna
kehidupan nyata, maka life excellent akan segera terwujud dalam setiap
kedirian diri seseorang. Berbagai kekuatan ini pasti adanya, yakin
benarnya dan nyata adanya, sebagaimana firman Allah dalam surat at-Tiin
ayat 4, bahwa “manusia diciptakan dalam kapasitas yang paling
sempurna”. Bila demikian pantas atau wajar andai manusia sanggup
memikul amanah hidup yang sempat ditolak oleh gunung, lautan, bumi
dan seterusnya. Kesanggupan manusia memikul amanah hidup menjadi
indikasi kuat bahwa manusia memiliki gunung emas kekuatan yang bisa
dilejitkan setiap saat dengan dahsyatnya, sebagai pemberian dari Allah
yang memiliki Nama-nama yang baik.

100 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 101


10
MAKRIFAT ZIKIR DASAR

Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya (terus-menerus). Dan bertasbihlah kepada-Nya
diwaktu pagi dan petang”, (QS. Al-Ahzab [33]:41-42).

Manusia diciptakan Allah dalam takdir kesempurnaan dibanding-


kan dengan mahluk-mahluk lainnya. Kesempurnaan manusia terlihat dari
adanya perlakuan istimewa terhadap keberadaan manusia. Manusia diberi-
kan status, kadar dan kualitas kemahlukan yang berbeda dengan mahluk
yang lainnya. Beberapa hal yang bisa dijadikan jastifikasi tentang kemuliaan
manusia, menurut A.H. Dabana, (2003: 127), antara lain:
a. Carry of lofty, mulia karena bawaan. Begitu istimewanya manusia,
maka seluruh mahluk diciptakan terlebih dahulu untuk menyambut
kehadiran manusia. Jagat raya dengan segala isinya Allah ciptakan
sepenuhnya demi kemakmuran hidup manusia dan sudah tercipta
dengan segenap kelengkapannya air, tumbuhan, hewan, udara,
matahari, bulan, bintang dan segalanya.
b. Cause of lofty, mulai karena sebab. Manusia sempurna karena sebab
syetan. Sebab syetan diciptakan sehubungan manusia akan dicip-

102 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

takan. Penciptaan syetan dengan tugas utamanya menggoda


manusia, mengantarkan sebagian manusia menjadi mulia karena
berhasil melakukan perlawanan terhadap godaan syetan dan
sebagiannya terjerembab ke dalam lembah kehinaan.
c. Prima of lofty, mulia karena utama. Manusia memang istimewa, sebab
surga saja diperuntukan hanya untuk manusia, syetan tidak diberi-
kan lahan untuk berada di surga. Dan hanya manusia pula yang bisa
menikmati kelezatan hidup duniawi seperti makan, minum, seks dan
seterusnya.
d. Natural of lofty, mulia karena alami. Seluruh mahluk diciptakan
dalam hukum eksakta (Sunnatullah) yang termaktub dalam al-
Qur‟an. Al-Qur‟an itu adalah lorong yang bisa/tidak bisa dilewati
oleh setiap manusia, jika bisa melewatinya maka akan mendapat Nur
Allah. Manusia bisa seringat dan secepat cahaya, bisa melewati
malaikat. Itulah bukti Adam turun dari Surga dan Muhammad Isra
Mikraj dengan jiwa raganya berkat Nur Allah.
e. Original of lofty, mulai karena asal penciptaan. Manusia memiliki
akal dan nafsu yang bekerja secara bersamaan. Dan tentu hanya
manusialah yang memiliki dua potensi besar secara bersamaan,
yakni akal dan nafsu. Jika akan yang menang maka sampailah
manusia pada derajat kemanusiaannya dan jika nafsu yang menang
akan berangkat menuju titik nadir kemahlukan.
f. Logical of lofty, mulia karena akal takwanya. Manusia dengan segala
fasilitas yang dimiliki, yakni fasilitas ruhaniah, bisa sampai pada
tahapan kemuliaan yang disebut takwa dan hewan tidak akan
mampu sampai kepada derajat ketakwaan seperti apa yang bisa
dicapai manusia.
Dengan kelengkapan fasilitas dan instrumen yang dimiliki, maka
manusia bisa bermakrifat kepada-Nya meski dalam level yang berbeda-
beda. A.H. Dabana (2003:135) menjelaskan ada tiga tingkatan kedekatan
(bermakrifat) manusia dengan Allah. Pertama, manusia sebagai Hamba
Allah, yakni manusia yang memiliki jarak spiritual yang jauh dengan Allah.
Contoh seseorang sebagai pembantu, tukang kebun sepertinya dekat dengat
tuannya karena sering bertemu, berbincang bahkan sering keperluan
tuannya diwakilinya. Tetapi jika diukur dari kedekatan harapan, emosi,
kedewasaan, cita-cita, kebiasaan, budaya kerja dan pemikiran begitu berbe-
da secara diametral. Banyak pikiran tuannya yang tidak bisa dimengerti,
diikuti dan apalagi dilaksanakan. Kedua, manusia sebagai Shahabat Allah,
yakni manusia yang sudah berada pada maqom tinggi dalam bermu-
syahadah dengan Allah. Ia mengerti apa yang diinginkan Allah dan Allah
pun lebih mengerti keinginannya. Jika manusia dalam maqom ini berjalan
mendekati Allah, maka Allah berlari mendekatinya. Orang yang bertaraf

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 103


kelas Shahabat mestilah orang sekelas Wali Allah. Ia tidak lagi memiliki
jarak yang terlalu jauh dan tabir dirinya sudah terbuka lebar serta
transfaran dengan Allah. Semisal contoh, jika seseorang sudah menjadi
shahabat dalam hidup, maka keduanya sudah saling mengerti dan
menerima apa yang menjadi kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Bahkan kadang-kadang kekurangan salah satunya ditutup oleh kelebihan
yang lainnya. Sebegitu indahnya sebuah pershahabatan dijalin sehingga tak
ada lagi sekat-sekat formal dan birokrasi yang menghalanginya. Ketiga,
Manusia Kekasih Allah, cukup banyak jumlah nabi dan rasul yang ditutus
oleh Allah untuk menyampaikan risalah kebenaran, meluruskan tauhid dan
membenarkan aqidah. Tiap-tiap nabi mendapatkan pujian yang berbeda-
beda, ada yang dipuji karena kesabarannya, ilmunya, kebijakannya,
ketinggian ilmunya dan ada juga yang dipuji karena ilmu dan ketinggian
akhlaknya, seperti nabi Ibrahim dan nabi Muhammad. Mereka yang
mendapatkan pujian Allah, inilah para kekasih Allah.
Manusia dengan kualitas spiritualnya seyogianya mampu mela-
kukan proses transendensi dengan Allah meski harus melalui sebuah proses
yang begitu panjang. Imam Al-Ghazali merumuskan tiga tahapan utama
proses bermakrifat kepada Allah:
a. Takholli, mengosongkan diri. Manusia penuh dengan berbagai
kotoran lahir dan batin, dosa dan kemaksiatan. Untuk bisa menerima
kebenaran maka kotoran itu harus dibersihkan terlebih dulu.
Membersihkannya bisa dengan ibadah, do‟a, bershadakoh dan tau-
bat. Setelah berada dalam keadaan bersih, suci dan steril dari dosa,
maka dilakukan tahap berikutnya.
b. Tahalli, mengisi/menghiasi diri. Setelah diri dalam keadaan bersih,
maka mulai diisi dengan kebaikan, amal sholeh, kebijakan, per-
ibadatan, shodakah dan perilaku akhlak mulai. Kemudian …
c. Tajalli, melebur diri, (1) fana, menyatu lebur dengan Allah, (2)
Ittihad, menyatu secara eksistensi dengan Allah dan (3) Ittishal,
sambung rasa/terhubung langsung dengan Allah.
Ketiga kualitas ini urusannya hati. Bagaimana membina hati. Itulah
zikir (mengingat Allah) sebagai kekuatan dasar dalam bermakrifat dengan
Allah, seperti zikir dasar ini:
a. ASTAGFIRULLAH. Mengucapkan astagfirullah merupakan takholli
dengan cara mengosongkan diri dan menyesali dosa-dosa. Ini
diucapkan bukan saja setelah shalat lima waktu, tetapi dimanapun
dan kapanpun sebagai zikir khofi.
b. SUBHAANALLAH. Mengucapkan subhaanallah merupakan proses
tahalli, yakni menghilangkan diri dan menghadirkan Allah dengan
merasakan kehebatan dan getaran Allah dalam seluruh tanda-tanda
kebesaran-Nya.

104 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

c. ALHAMDZULILAH. Mengucapkan alhamdzulillah merupakan


proses tahalli, dengan senantiasa bersyukur kepada Allah atas segala
nikmat dan karunia-Nya yang tidak terbatas.
d. ALLAAHU AKBAR. Mengucapkan allahu akbar merupakan proses
tajalli, yakni menghilangkan kesombongan diri, merasa diri hebat,
merasa diri kuat, merasa diri perkasa dan pada saat bersamaan
menghadirkan Allah.
e. LAA ILAAHA ILLALLAH. Mengucapkan laa ilaaha illallah meru-
pakan proses tajalli, memfanakan diri, meniadakan diri, meleburkan
diri, dan hanya Allah Tunggal yang ada, semua mahluk tiada,
termasuk mahluk diriku pun tiada. Laa ilaaha illallah dalam zikir
merupakan puncak nilai zikir yang paling tinggi kelezatannya,
paling dalam kenikmatanan dan paling ekstasi prosesnya.
Bila zikir dasar ini dilakukan secara istiqomah dan tidak terbatasi
oleh sifat-sifat malas (kasal), bimbang (futur), pembosan (malal), pamer
(riya), ingin pujian (sum‟ah), kagum (ujub) dan terhalang (hajbun), maka
dzikir dasar ini benar-benar bisa memberikan implikasi yang luar biasa
dalam kehidupan seseorang, seperti:
a. Kesadaran Takallam
Kebiasan membaca kalimat-kalimat toyyibah, ucapan yang baik,
membawa implikasi positif pada kebiasaan berbicara sopan, optimis,
semangat, bahagia dan mencerahkan. Ucapan positif yang dilakukan
berulang-ulang akan mempengaruhi kebaikan perilaku fisik
seseorang. Karena itu, orang yang berbicara kesedihan, maka kepala-
nya akan merunduk dan orang yang berbicara kebahagian akan
otomatis merubah posisi kepala seseorang menjadi menenga-dah.
Penelitian al-Qadhi (1984) yang dilakukan di klinik besar Amerika
dengan bantuan alat-alat canggih, menyimpulkan bahwa kebiasaan
membaca atau mendengarkan al-Qur‟an memberi efek fisologis yang
sangat besar pada penurunan stress, depresi, penolakan berbagai
penyakit dan bahkan memberi efek 97% dalam melahirkan kete-
nangan dan penyembuhan penyakit. Karena begitu pentingnya
ucapan dalam mempengaruhi hidup seseorang al-Qur‟an meng-
ungkapkan dalam banyak ragam pengertian, Pertama, Qaulan
Sadida, berbicara dengan benar (QS an-Nisa [4]:9). Kedua, Qaulan
Ma‟rufa, berbicara yang makruf menyenangkan QS an-Nisa [4]:8).
Ketiga, Qaulan Baliqha, ucapan yang tepat, (QS an-Nisa [4]:63).
Keempat, Qaulan Maysura, perkataan yang pantas atau patut (QS
al-Isra [17]:28). Kelima, Qaulan Karima, perkataan yang mulia (QS al-
Isra [17]:23) dan Keenam, Qaulan Layyina, berbicara dengan lembut
(QS Thaha [20]:44).

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 105


b. Kesadaran Tadabbur
Memahamkan ucapan subhaanallah yang diulang terus-menerus,
bisa menyebabkan seseorang merasa takjub dengan apa yang ada
dalam realitas kehidupan. Alam makro dan mikrikosmik yang Allah
cipta-kan begitu luar biasa, tidak ada yang bisa menandinginya.
Manusia diharuskan bertadabur sebagai suatu upaya untuk berjum-
pa Tuha dalam penciptaan-Nya yang sempurna.”Mengapa mereka
tidak tadabbur (memperhatikan atau menelaah) al-Qur‟an ataukah
hati mereka terkunci atau tertutup” (QS. Muhammad [47]:24).
Kesadaran untuk menelaah al-Qur‟an Makrokosmik dan al-Qur‟an
mikrokosmik, meniscayakan manusia bisa menjumpai Tuhannya
dengan penuh ketakjuban pada-Nya, bagi siapapun yang berpikir
terbuka, jujur dan objektif. Ketika manusia tahu begitu banyak
ragamnya kehidupan mahluk di dunia dari yang nampak oleh kasat
mata dan ada yang harus menggunakan alat bantu pembesar karena
kecilnya mahluk, semakin menggugah kesadaran betapa Besarnya
Allah.
c. Kesadaran Tafakkur
Kehidupan ini penuh dengan misteri dan teka-teki yang
menakjubkan. Tak ada yang bisa mengungkap misteri alam atau
teka-teki manusia yang misterius dan masterius. Semua kehidupan
sepertinya berbungkus keajaiban, keunikan, khususan, kekhasan,
beda raga, beda rasa, beda warna, beda makna. Semua itu berada
disisi Allah Yang Maha Luas Ilmunya. Nyata, manusia sangat bodoh,
begitu lemah, terlalu kasar, terlampau fakir dan terlanjur kikir dari
kebenaran yang sesungguhnya. Maka upaya memahamkan ucapan
allahu akbar, subhaanallah, alhamdzulillah, benar-benar bisa
terhindar dari sikap sombong, angkuh, munafik, pendendam, peni-
pu, pelaknat dan pengkianat. Ungkapan rasa allahu akbar, subhaa-
nallah, alham-dzulillah benar-benar dapat menggugah dan mengubah
jiwa menjadi lebih tenang, mampu rendah hati, tulus, ikhlas, rela,
ridha dan bakti dalam ketaatan kepada Allah. Dengan kebesaran
yang Allah miliki, sangat malu, bila ilmu yang kita dimiliki menye-
babkan kesombongan, karena tak sebanding dengan keluasan ilmu-
Mu. Bahkan sungguh hina, bila kekayaan yang dimiliki menyebab-
kan keangkuhan, sebab tak sepadan dengan keluasan rezeki-Mu.
Dan betapa biadabnya hidup, bila tidak rela untuk taat beribadah
kepadamu, karena aku mahluk sedangkan Engkau al-Kholik, aku
serba kekurangan sedang Engkau Maha Sempurna. Bagi kaum yang
suka berpikir segala realitas adalah keagungan-Nya, “Dan diadakan-
Nya pula untukmu apa yang di langit dan yang di bumi, semuanya
(karunia) dari Tuhan. Sesung-guhnya hal yang demikian itu menjadi

106 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

keterangan bagi kaum yang mau berpikir”, (QS. Al-Jaatiyah [45]:13).


Bertafakkur untuk memikirkan kebesaran Allah dengan segala
pencip-taan-Nya bisa dilakukan dengan cara bertanya melalui
urutan premis berpikir (Sayyid Kamal al-Haidari, 2003:174) berikut:
Premis pertama, ia bertanya pada dirinya sendiri, manakah yang
lebih kekal eksistensinya, akhirat atau dunia?. Premis kedua, ia
bertanya pada dirinya sendiri, bila dihadapkan pada dua pilihan
antara sesuatu yang eksistensinya lebih kekal dan yang lainnya,
manakah yang akan ia pilih, dahulukan, tinggalkan atau akhirkan?.
Premis ketiga, jika ternyata akhirat lebih kekal dan yang kekal lebih
pantas untuk dipilih, tanyakan pada diri sendiri, jika tidak memilih
yang lebih pantas, berarti ada masalah apa dalam diri? Masihkan
ragu tentang adanya hari perhitungan amal? Atau ragu bahwa
akhirat itu ada?
d. Kesadaran Tasyakkur
Manusia sesungguhnya tak memiliki apapun, semua pinjaman
Allah, sewaan sementara, rental sesaat yang pasti harus dikem-
balikan kepada pemiliknya apabila batas pinjaman dan kontrak
waktunya telah habis. Jika begitu, apa yang kita miliki? Kita saat ini
hidup, tapi tak tahu kapan meninggal, hari ini memperoleh rezeki
entahlah besok hari. Sebab semua yang ada dalam diri kita atau
genggaman kekuasaan hanyalah terlahir sebagai kekuatan Kasih
Sayang Allah semata. Menurut U. Saefudin (tt: 16) nikmat Allah yang
harus disyukuri begitu luasnya, seperti: (1) nikmat Imdad, yakni
nikmat karena terus-menerus adanya sebagai anugrah alamiah,
seperti nikmat kesehatan, nikmat kehidupan, nikmat menghirup
oksigen, nikmat dapat mendengar, melihat, merba, merasak dan
seterusnya, (2) nikmat Ijad, yakni nikmat yang dirasakan karena
diusahakan, dikerjakan dan dilakukan langsung melalui proses
ikhtiyar, (3) nikmat Imhal, yakni nikmat karena tidak langsung disiksa
sekalipun berbuat dosa. Syukur atas nikmat Allah yang tak terbatas
luasnya sebagai kekuatan tauhid akan melahirkan refleksi kesadaran
tentang: (1) rezeki yang hakiki, kesadaran tentang asal dan sumber
rezeki yang hakiki hanyalah Allah, sebab tak ada yang bisa memberi
kehidupan selain Allah, (2) menghadirkan rasa kasih sayang Allah,
begitu dalam perasaan bahwa kita hidup tanpa kasih sayang Allah
pastilah sudah binasa, bahkan binasa karena dosa kita sendiri, “Dan
sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah
mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan mahluk berge-
rak yang bernyata di bumi ini, tetapi Dia menagguhkan hukuman-
nya sampai waktunya tiba. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka
Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya”, (QS al-Fathir

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 107


[35]:45), (3) mengundang kemudahan rezeki, sebab bagi yang
bersyukur akan Allah lipatgandakan dan bagi yang kufur atas
nikmat-Nya, siksa Allah sangat pedih. Dengan kesadaran bahwa
rezeki barasal dari Allah bukan karena hasil sendiri, maka syukur
bisa memperbanyak rezeki, “ barang siapa bersykur, akan Kami
tambah lagi …”, (QS. Ibrahim [14]:7) dan sekaligus mempertebal
keimanan kita pada Allah.
e. Kesadaran Tadzakkur
Sesuatu yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia bahwa manusia senantiasa mengikatkan dirinya pada
Allah, dengan ikatan yang kuat. Tak ada sisi kehidupan manusia
yang bisa dilepaskan dari Allah, baik manusia menyadari ataupun
tidak menyadari. Kesadaran atau ketidak sadaran manusia tentang
ikatannya dengan Allah tidak merubah keadaan yang aslinya. Tetapi
menjadi tidak bermakna ketika tidak ada kesadaran, zikir pada-Nya.
Kesadaran itu, telah mengaktivasi potensi zikir menjadi kekuatan
nyata zikir mengingat Allah, baik dalam keadaan berbaring, duduk
dan berdiri yang dilakukan pagi, siang, sore, dan malam. Allah
berfirman, “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta
silih bergantinya malam dan siang terdapat ayatullah bagi „ulul
albab”, yaitu orang-orang yang ingat Allah dalam keadaan berdiri,
sambil duduk, berbaring seraya berpikir (Tadzakkur) tentang
penciptaan langit dan bumi, dan berkata, Ya Tuhan kami, tidaklah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka
peliharalah kami dari siksa neraka”, (Ali Imran [3]:190-191).
Tadzakkur tentu saja bukan hanya dalam bentuk lisan, tulisan, atau
perbuatan tetapi juga mencakup perbuatan hati, amal qolb dan bakti
jiwa yang sejati.
Keseluruhan kesadaran ini hanya akan bermakna, jika dalam
pelaksanaannya dibarengi keikhlasan raga dan disertai ketulusan hati serta
dikawal tentara keajegan niat, cara dan tujuan hanya semata-mata
mengharap ridha Allah.

108 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 109


11
MAKRIFAT ZIKIR UTAMA

Artinya:
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku,
maka beribadahlah kepada-Ku dan dirikan shalat untuk berzikir
kepada-Ku”, (QS. Thaha [20]:14).

Zikir tauhid merupakan lanjutan dari zikir dasar. Pada zikir tauhid
dilakukan tanpa mengenal batas ruang dan waktu, dijalankan sepanjang
kehidupan, baik saat terjaga maupun tertidur, alam sadar maupun bawah
sadar. Zikir tauhid merupakan penyatuan diri dengan Realitas Tunggal
dalam segala hal dan keadaan secara total. Zikir ini tidak hanya diucapkan
oleh lisan tetapi diungkapkan oleh seluruh anggota tubuh secara utuh.
Seluruh tubuh bertasbih, berzikir memuji dan mengungkapkan keagungan
Allah secara tulus dan penuh kepasrahan. Zikir tauhid tidak menghitung
jumlah atau kuantitas tetapi menimbang kualitas bertafakkur, bersyukur
dan bertadzakkur dalam kasatuan jiwa dan raga yang fana melebur hancur
kedalam keagungan Allah.

110 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Seseorang yang berzikir tauhid bisa saja hanya mengucapkan satu


kalimat dalam zikir sepanjang malam, misalnya zikir makrifat ar-Rahman,
tetapi bertafakkur dan bersyukur bagaimana sifat Rahman Allah ditebarkan
dalam kehidupan yang begitu luas. Seorang mudzakkir, merenungkan
bagaimana Allah memberikan kasih sayang terhadap cacing yang tak
bertulang tetapi bisa hidup di dalam tanah, rayap yang begitu lemah tetapi
bisa memakan kayu yang keras, burung hantu yang cantik bisa mencari
makanan ditengah kegelapan malam, ikan laut hidup dalam air yang asin
tapi tidak ikut asin dan seterusnya.
Zikir tauhid memang bukan lagi zikir umum atau zikir dasar yang
bisa dilakukan oleh siapa saja, tetapi zikir khusus yang dilakukan oleh
orang-orang tertentu yang telah sampai kepada maqom muraqabah.
Manurut Imam al-Khuamyni (dalam Sayyid Kamal al-Haidari, 2003:171),
untuk sampai bermakrifat kepada Allah bisa dilakukan melalu empat fase
utama, yakni:
a. Fase bangun (yaqzhah), yaitu fase kebebasan dari kelalaian. Untuk
terhindar dari kelalaian, maka harus mematikan syahwat didalam
dirinya dan menjadikannya berada dibawah perintah syariat dan
akal. Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan
lalai dari (hal) ini. Maka, Kami akan singkapkan daripadamu tutup
(yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat
tajam”, (QS. Qaf [50]:22).
b. Fase pertobatan (tawbah), yaitu fase dimana seseorang melakukan
pertaubatan secara sungguh-sungguh dan berjanji tidak akan kemba-
li lagi.
c. Fase evaluasi diri (muhasabah), yaitu fase kesadaran untuk mengetahui
secara jelas apa yang hadir dalam dirinya setelah melakukan
pertobatan.
d. Fase kembali (inabah), yaitu fase kembali bersesuaian dengan
kehendak-Nya secara tulus dan ikhlas semata-mata karena-Nya.
Meski bacaan zikir tauhid dan zikir dasar sama, tetapi peristiwa,
penjiwaan, olah rasa, alih raga, dan ruhnya berbeda, baik dari sisi pende-
katan, proses dan sekaligus hasilnya. Dalam zikir tauhid lebih kuat memun-
culkan makna-makna kepasrahan, keikhlasan, kefanaan dan kemenyatuan
diri begitu terasa, sehingga menggoncang dada, menggoyang raga dan
menggayang rasa. Zikir tauhid berada dalam kedahsyatan makna:
a. Laa Ilaaha Maujudun Illallah, La Maujuda Illallah: tidak ada yang
maujud, tidak ada yang hakiki selain Allah. Bila kalimat ini
ditanamkan dalam rasa manunggal dengan Allah, maka akan terasa
begitu kecilnya diri kita, betapa Maha Besarnya Allah. Ketika ucapan
ini dikaitkan dengan kesadaran akan kematian, terhayati betul
bahwa diri kita tidak ada, yang ada hanyalah Allah, yang Maujud.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 111


b. Laa Ilaha Ma‟budun Illallah, La Ma‟buda Illallah: tidak ada yang
berhak disembah, diibadati dan dipuji selain Allah. Bila kalimat ini
dirasakan dalam ketenggelam ibadah dimalam hari, maka begitu
terasa hampanya ibadah kita, begitu rendahnya peribadatan kita
dalam mengibadati Allah Yang Maha Luhur. Ketika penghayatan
zikir ini dikaitkan dengan kualitas peribadatan kita sehari-hari
(mahdhom maupun ghoir mahdhoh), kecil rasanya peribadatan kita
bisa mengantarkan diri kita untuk masuk surga. Andaikan masuk
surgapun bukan karena peribadatan kita, tetapi karena kasih sayang
Allah semata.
c. Laa Ilaha Mathluban Illallah, La Mathluba Illallah: Tidak ada yang patut
ditaati dan dijauhi larangannya kecuali Allah. Bila kalimat ini
dimasukan dalam rasa yang sedang sadar dan terhubung dengan
Allah, pastilah begitu kecewanya diri kita terhadap kemalasan,
keangkuhan, keingkaran dan penolakan kita terhadap perintah Allah
yang selama ini dialami dan dijalani. Sedangkan bila makna zikir ini
dikaitkan dengan kehidupan, betapa sedikitnya ketaatan kita kepada
Allah dibandingkan ketaatan diri kita terhadap kehen-dak hawa
nafsu, kepentingan dan keduniawian.
d. Laa Iilaaha Maqshudun Illallaah, La Maqshuda Illallaah: Tidak ada yang
dituju dan berhak dimintai ridhanya selain Allah. Bila ucapan zikir
ini disentuhkan dengan kepasrahan dan kejujuran hati yang sebe-
narnya, betapa banyaknya kekeliruan do‟a dan ikhtiyar yang salah
alamat. Kita sering menggadaikan peribadatan kita untuk kebu-
tuhan dan kepentingan yang bersifat profan, duniawi, sementara dan
sedikit sekali. Kita lupa bahwa segala sesuatu berada pada
genggaman-Nya. Ampunan dan Ridha Allah pasti lebih besar
dibandingkan apapun yang dianggap besar oleh manusia.
Belajar memaknai dan mengakui dari ukuran kedalaman dan
kedasaran zikir tauhid seperti terungkapkan di atas, nampak bahwa kualitas
ketaatan, kadar kepasrahan dan mutu ketulusan peribadatan kita masih
berada pada posisi yang perlu mendapatkan penguatan keikhlasan yang
semestinya. Choer Affandi (2006:187) mengemukakan tingkatan keikhlasan
seorang hamba dalam menjalankan ibadahnya kepada Allah, seperti:
a. Ikhlas Mubtadi, yakni orang yang beribadah dan beramal karena
Allah tetapi masih terbersit dalam hatinya keinginan, harapan dan
impian yang bersifat keduniawian. Taat beribadah, shalat malam,
tahajud, zakat, sodakoh, haji tetapi masih diiringi oleh keinginan-
keinginan yang bersifat kebendaan.
b. Ikhlas „Abid, yakni beramal karena Allah dan hatinya bersih dari riya
dan keinginan duniawi. Ia beribadah dan beramal dengan kemam-

112 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

puan melepaskan keinginan-keinginan yang bersifat kebendaan.


Ikhlas sepenuhnya demi dzat Yang Maha Suci, Allah SWT.
c. Ikhlas Muhibb, yakni orang yang beribadah murni karena Allah dan
bukan karena ingin surga atau neraka. Mereka yang sudah sampai
pada tingkatan ikhlas Muhibb, senantiasa merasa ikhlas meski
dimasukkan kedalam neraka sekalipun, selama berada pada ridha
Allah atau sekalipun ke neraka asal berada pada ridha-Nya.
d. Ikhlas „Arif, yakni orang yang beribadah merasa benar-benar
digerakkan Allah bukan karena dirinya sendiri. Mereka sadar betul
bahwa manusia hanyalah menjalankan takdir Allah baik dalam proses
maupun tujuannya. Perhatikan keikhlasan Nabi Ibrahim, ketika Nabi
Ibrahim sudah berada pada bandring (ayunan) kemu-dian akan
dilemparkan ke tungku api yang membara atas perintah Raja
Namrud, para Malaikat usul kepada Allah. Maka Allah meng-utus
Jibril dan Jibril bertanya‟ “Apakah butuh bantuanku?” Nabi Ibrahim
menjawab, “Kalau padamu tidak…. Tapi Aku butuh ban-tuan hanya
pada Allah semata”. Kemudian Malaikat Jibril memper-silahkan
Nabi Ibrahim memohon pada Allah. Tetapi Nabi Ibrahim menjawab,
“CUKUP …. Allah Maha Mengetahui peristiwa yang sedang saya
alami”. Atas izin Allah maka api menjadi dingin. Qulnaa yaa naaru
kunnii barda wasalaaman „alaa Ibraahiima‟, (Hai api! Jadilah dingin dan
selamatlah Ibrahim). Ini merupakan suatu pengertian tawakkal yang
cukup memberikan kejelasan bahwa kita hanya berserah diri, pasrah
atas hukum Allah, merasa cukup atas pengaturan dan perlindungan
Allah semata, tanpa perantara, tanpa media yang menduakan Allah.
Keikhlasan merupakan perbuatan batin yang bisa diciptakan dengan
melatihnya secara berkelanjutan dan disertai ujian-ujian khusus untuk
mempercepatnya. Zikir sebagai peribadah yang langsung berhubungan
dengan Allah, connected to Allah, menurut Choer Affandi (2008: 96) akan
memberikan dampak yang begitu besar dalam kehidupan, antara lain:
a. Mendapat rahmat dan ganjaran. Bila kita senantiasa mengingat Allah,
maka Allah akan ingat (adzkurkum), dalam pengertian member
rahmat, pahala dan ampunan. Firman Allah, “ Karena itu, ingatlah
kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (adzkurkum) pula kepadamu
…”(QS. Al-Baqarah [2]:152).
b. Ketentraman hati. Zikir dengan senantiasa mengingat, menjumpai dan
menyatu dengan Allah, akan melahirkan ketenangan hati, kejem-
baran pikiran dan kehalusan budi pekerti. Allah berfirman, “hanya
dengan zikir kepada Allah hati menjadi tenang”, (QS. Ar-Ra‟d
[13]:28).
c. Tidak akan ada orang yang menyakiti. Orang yang sudah bisa berzikir
disetiap waktu, tempat dan saat akan senantiasa dilindungi Allah

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 113


dan terhindar dari perbuatan orang-orang yang jahat, bahkan
syetanpun takut.
d. Mendapatkan sanjungan dari seluruh manusia dan mahluk Allah lainnya.
Dalam sebuah Hadis Qudsi, dinyatakan, “Barangsiapa yang berzikir
kepada Allah dihadapan manusia, pasti Kami akan memberikan
rahmat kepadanya dihadapan mahluk lain yang lebih baik”.
e. Do‟a dan keinginan akan dikabulkan. Zikir akan membawa seseorang
begitu dekatnya dengan Allah. Dengan kedekatan kepada-Nya,
maka apapun yang kita permohonkan atau bahkan tidak
dipermohonkan akan Allah berikan sebagai imbalan dari perbuatan
baik yang dilakukan dalam zikir.
f. Harta terbebas dari hisab. Para ahli zikir menyadari betul bahwa tidak
ada sesuatu apapun yang dimiliki manusia, semua nyawa, kekayaan,
dan harta hanya milik Allah. Karena milik Allah, maka semuanya
dikembalikan kepada-Nya agar terhindar dari tuntutan hisab
dikemudian hari. Jika sadar bahwa harta yang dimiliki hanya
pinjaman, maka itikad manusia jangan sampai ada perasaan dan
apalagi penguasaan terhadap setiap barang pinjaman. Kita hanya
diberi kesempatan untuk memperoleh manfaat fungsional dan
hikmah esensial, seperti kita naik angkot yang hanya menikmati
manfaat fungsional dan tidak mengklaimnya sebagai angkot milik
diri sendiri karena sebab menaiki dan membayarnya.
Zikir sebagai peribadatan langsung kepada Allah, diyakini dan
dipastikan dapat memberi dampak yang luar biasa bagi perubahan dan
baiknya kehidupan serta dapat menjauhkan seseorang dari perbuatan
tercela, terlaknat dan terkutuk, baik oleh Allah, dirinya sendiri maupun
oleh sesama manusia.

114 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 115


12
MAKRIFAT DZIKIR MAKNA

Artinya:
“Dan berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu dengan meren-
dahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara,
diwaktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-
orang yang lalai …”, (QS. Al-„Araf [7]:205).

Zikir merupakan maqom spiritual yang dilakukan, dijalani dan


dilewati manusia untuk mensucikan diri dengan kesucian-Nya. Pensucian
diripun mengalami beberapa tingkatan, dari level rendah, biasa, tinggi dan
instimewa, dengan riyadhoh atau metode yang berbeda-beda pula. Zikir
secara doktrinal merupakan sebuah refleksi kesadaran mahluk akan
hubungan abadi yang menyatakukan dirinya dengan Sang Pencipta Yang
Maha Kuasa. Penyatuan hubungan itu bisa dilakukan dengan melalui
Penyebutan nama-nama Allah (Asmaul Husna), menyebutkan kalimah
thoyyibah, shalat, berdo‟a, baik yang dilafalkan maupun dalam batin, zikir
lembut, halus dan dalam. “Hai orang-orang beriman! Berzikirlah (dengan
menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya, dan bertasybihlah
kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat
kepadamu dan malaikat-Nya (memohon ampunan untukmu) supaya Dia
mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang)”, (QS. Al-

116 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Ahzab [33]:41-43). Kemudian, “Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku niscaya


Aku ingat (pula) kepadamu”, (QS. Al-Baqarah [2]:152).
Zikir menurut (Choer Affandi, 2008:89) jika dilihat dari tingkatan
orang yang melakukannya terdapat tiga tingkatan utama, yakni:
a. Zikir Mubtadi. Zikir yang dilakukan oleh orang yang baru belajar
mengucapkan zikir dengan disertai keinginan memperoleh keun-
tungan dunia („aradh ad-dunya), keinginan diberi rezeki, jodoh, ilmu
dan lain. Zikir dalam tingkatan ini biasanya tidak dijiwai, belum
berisi, masih hampa dari kehadiran Allah dan bahkan tidak istiqo-
mah seiring dengan ketercapaian atau ketidak tercapai keinginannya
akan segera berhenti karena bosan.
b. Zikir „Abid. Zikir yang dilakukan oleh seseorang tanpa disertai
keinginan yang bersifat duniawi, malainkan semata-mata karena
beribadah kepada Allah, sebagai kebutuhan insani. Tetapi zikir
inipun masih memungkinkan lepas dari penjiwaan yang mendalam
yang menyebabkan ia mendapat ketentraman jiwa yang dalam. Ia
berzikir tetapi penjiwaan dan pewatakan atas subtansi zikir masih
lepas, kadang terkelupas dan hanya pas-pasan saja.
c. Zikir Washil. Zikir yang dilakukan seseorang dengan metode khusus
dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah (bertaqarrub)
dan disertai penjiwaan, pemaknaan dan pewatakan yang membe-
dakan dengan muzakkir pada tingkatan yang sebelumnya. Ia sudah
bisa berzikir dalam sepanjang kehidupan melalui, dengan, atas,
untuk, karena mengharap ridha Allah semata. Zikir dalam tingkatan
ini mempersyaratkan beberapa hal antara lain, (1) mengerti dan
menghayati isi, subtansi dan esensi yang dibaca, (2) muhadharah,
merasa dekat dengan Allah karena telah mencapai iman „ilmu al-
yaqin, (3) tajalli, mengosongkan dan membersihkan hati dari
perbuatan tercela (radza‟il) serta disertai dengan kekhusukan ruhani
kepada Allah.
Mengingat Allah yang dilakukan hamba melalui zikir ditambah
dengan tahapan spiritual sebagai berikut: (1) maqam rasa takut kepada
Allah (makhafah) yang menyiratkan tobat dan menjauhkan diri dari
kesenangan duniawi, (2) maqam cinta (mahabbah) yang menyiratkan
kesabaran (shabr) dan kemurahan hati (karam), sifat-sifat yang integral
dalam keteladan pribadi Muhammad Saw,da (3) maqan makrifat (ma‟rifat),
pemahaman yang tajam (furqan) dan konsentrasi pada Kehadiran Ilahi
(muhadharah), (Seyyed Hosssein Nasr: 2002:376). Keselarasan ketiga maqam
zikir dengan penghayatan agama, terdapat tiga tingkatan berikut : (1)
tingkatan Islam, kesadaran melaksanakan syariah Islam secara bertahap
dalam tingkatan lahiriyah (jawarih), (2) tingkatan iman, kesadaran untuk
penyerahan diri menuju jalan bathin yang dalam (bawathin) dan (3)

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 117


tingkatan Ihsan, dimana cahaya Ilahi masuk dan merasuk menyinari lubuk
hati (sara‟ir) yang menjadi tempat terungkapnya realitas total (haqiqah).
“dan ingatlah hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tentram”, (QS.
An-Nur [13]:28).
Zikir hati tentu saja zikir yang bisa menyatukan antara „af‟al, aqwal,
sifat dan dzat dengan masing-masing dari ketiganya dapat mencapai
penyatuan yang mensucikan. Integrasi zikir itu, yakni (1) zikir melalui lidah
(dzikr al-lisan) menyatukan segala waktu yang terpisah dari manusia
kedalam tindakan tunggal zikir dan dengan demikian menyimpan kembali
keunggulan dari Agen satu-satunya, yaitu Allah (tauhid al-af‟al). (2) zikir
hati (dzikr al-qalb) menyebabkan munculnya keseluruhan sifat alam semesta
di tempat tunggal, satu pusat yang diberkati, dengan menisbahkan sifat-sifat
itu pada Yang Maha Esa yang pantas menyandang nama-nama paling Indah
(tauhid al-shifat). (3) Zikir dari lubuk hati, dari tempat yang tersembunyi
(dzikr al-sirr), tidak memiliki titik awal maupun akhir, juga tidak memiliki
subjek maupun objek yang berbeda. Tidak ada yang bereksistensi kecuali
Yang Esa, yaitu Nama, Yang Dinamai dan Pemberi Nama dalam esensi-Nya
yang Mutlak dan Tanpa Syarat (tauhid al-dzat), Seyyed Hossein Nasr,
2002:390). Tahapan zikir tadi manifestasinya dalam pelaksanaan kedalam
zikirnya bisa berupa, pertama, tahapan zikir yang berkaitan dengan
penguasaan ilm al-yaqin yang disebabkan oleh kejernihan pikiran dan
perasaan dalam merenungkan tentang diri sendiri, penciptaan alam, dan
semua kekuasaan Allah yang tidak ada tandingannya. Kedua, tahapan mata
hati sumber kepastian („ain al-yaqin) yang bisa mengantarkan seseorang
sampai pada kepatuhan total, kepasrahan lengkap, dan cinta yang genap
kepada Allah dalam maqam batin yang istiqamah. Ketiga, tahapan zikir
kebenaran kepastian (haqq al-yaqin) dan manusia telah meninggalkan
dirinya menuju Tuhan yang “disatukan” dengan-Nya. Tahapan ini merupa-
kan tahapan tertinggi dimana manusia telah fana, lenyap (gha‟ib) dalam
satu kesatuan cinta tertinggi dengan Realitas Tertinggi.
Zikir dalam tahapan yang esensi tidak ada bedanya dengan tafakkur,
dalam pengertian yang sederhana, menyatunya pikir dengan zikir atau
pikiran yang selalu berzikir dan zikir yang senantiasa berpikir. Tafakkur,
sebenarnya proses alami, dimana manusia selalu ingin mengetahui sesuatu
yang bukan sesuatu atau sesuatu yang berada dibalik ada-Nya. Pertama
dalam tahapan yang sederhana, tadlawuk, tafakkur bisa dilakukan dengan
cara mengungkap rasa kekaguman terhadap keagungan Ciptaan-Nya.
Tahap kedua, zauk (penorobosan persepsi, tahap ketiga i‟tibar (mengambil
pelajaran) dan tahap ketiga, syuhud atau bashirah, (padang Savana). Ibnu
Qoyyim mengatakan pada tahapan ini, tidak akan ada lagi hijab, Allah akan
bukakan baginya pintu untuk menyaksikan keagungan-Nya. Dan Ibnu

118 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Taimiyah (tt:221) menyebutnya fase ”persaksian nyata dimana seluruh


mahluk bertasbih tunduk hanya pada satu perintah-Nya”.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 119


13
NILAI TAUHID KELUARGA

Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman!, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang
tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”,
(QS. At-Tahrim [66]:6)

Ketika pembahasan buku ini sampai kepada bab yang begitu


penting yakni Nilai Tauhid Keluarga, satu hal yang sangat penting untuk
mendapatkan apresiasi adalah peran seorang ibu dalam rumah tangga.
Seorang ibu, ia adalah seorang wanita, perempuan, istri, dan guru bagi
kehidupan keluarganya. Seorang ibu dalam keluarga memiliki peran besar
untuk menyelamatkan generasi Muslim dari gencarnya serbuah anti tauhid
dalam kemasan yang begitu rapih, menarik dan halus. Sehingga seorang ibu
tidak dengan mudah bisa membedakan mana proses kehidupan yang
mengantarkan anaknya menuju jalan Tuhan atau jalan syetan. Di era
modern seperti sekarang ini, ketersesatan bisa terjadi di jalan terang, dan
diruang ber-AC bahkan di mesjid sekalipun.

120 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Tipu daya dan tipu muslihat bagi pengingkaran Tauhid bagitu


gencar dilancarkan para musuh Islam demi target keruntuhan Islam seba-
gai agama masa depan yang dipandang mengancam eksistensi mereka.
Mereka tidak takut dengan banyaknya jumlah umat Islam, tetapi mereka
takut dengan kekuatan Tauhidnya. Karena itu, Jepang ketika menjajah
Indonesia yang pertama kali dilakukan bukan menguasai “penguasa” atau
ekonomi, tetapi memalingkan umat Islam dari menyembah Allah, terutama
dalam shalat yang kental dengan kepasrahan total pada Allah dan sekaligus
membawa misi egalitarian tertinggi. Jepang memandang bahwa kanker
yang paling ganas bisa memberangus kekuatan Jepang adalah shalatnya
umat Islam Indonesia yang tersadari makna batinnya secara benar, bukan
jumlah rakaatnya. Makna takbiratul ihram, Allaahu Akbar, dengan meng-
gangkat tangan melebihi bahu, menunjukkan secara tegas perang terhadap
segala bentuk penjajah. Sebab dalam takbiratul ihram, setiap orang dilatih
untuk menyadari bahwa hanyalah Allah Yang Maha Besar, semua mahluk
sama dan setara. Semua bentuk penjajahan yang menempatkan dominasi
kekuasaan untuk menindas sesama, benar-benar bententangan dengan
tauhid shalat yang mengakui hanya Allah sajalah Yang Maha Besar.
Peran untuk menciptakan pemahaman dan penerimaan nilai-nilai
tauhid dalam keluarga, kunci sentralnya berada pada keteladan kedua
orangtuanya, sebagai satu-satunya yang bisa merekam jejak perkembangan
anak secara simultan. Pengetahuan tentang perkembangan anak dimung-
kinkan dapat membimbing tauhid dengan tepat melalui pola asuh yang
berbasis kasih sayang:
a. Fondasi tauhid yang benar. Kekuatan pertama yang harus ditanam-
kan kepada anak adalah tauhid, tidak mempersekutukan Allah,
tidak dipertontonkan pada perbuatan yang berbau kemusyrikan,
kurafat dan budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Anak
merupakan masa yang sangat strategis untuk menerima doktrin-
doktrin kebenaran sebab rekaman pikiran dan mentalnya sangat
kuat. Menanamkan kebenaran sama dengan membiasakan untuk
mengenal rasa tertentu yang terekam dalam syaraf lidah dan rasa itu
akan terus menjadi milik anak sampai tua sekalipun. Pendidikan
tauhid pada keluarga menjadi kekuatan dahsyat dalam membangun
keluarga yang berkualitas dan terhindar dari kezaliman. “Dan ingat-
lah ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika memberi
pelajaran kepadanya, Wahai anakku, janganlah engkau memper-
sekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah
benar-benar kezaliman yang besar”, (QS. Lukman [31]:13).
b. Tegakkan Shalat. Penanaman nilai tauhid melalui shalat merupakan
kekuatan dahsyat yang bisa mendidik keluarga menjadi lebih baik.
Sebab shalat merupakan gambaran atau miniatur kehidupan yang

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 121


paling sempurna, jika shalat terpahami dengan benar dan terefleksi
dalam kehidupan, maka menjadi jaminan bagi kualitas kehidupan
keluarga. Perhatikan pesan Lukman dalam ayat berikutnya, “Wahai
anakku! Laksanakan shalat dan suruhlah manusia untuk berbuat
makruf dan cegahlah mereka dari yang munkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang demikian itu
termasuk perkara yang penting, (QS. Lukman [31]:17). Wajibnya
shalat disejajarkan dengan pentingnya berbuat makruf dan mence-
gah kemunkaran dan dipadankan dengan kesabaran. Tiga hal ini
(shalat, makruf dan sabar) yakin menjadi kekuatan besar bagi pem-
bentukan keluarga yang berkualitas.
c. Berbuat baik pada kedua orangtuanya. Melatih anak untuk terbiasa
berbuat baik kepada kedua orangtuanya bukan perkara sederhana,
sebab anak belum tahu nilai kebaikan, terlebih lagi jika orangtua
terlalu memanjakan, melindungi dan khawatir yang berlebihan,
sehingga anak tidak tahu kebaikan orangtuanya. “Dan Kami
perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua
orangtuanya…” (QS. Lukman [31]:14). Anak mutlak harus diajari
cara berterima kasih, tata sopan santun dan pengabdian kepada
kedua orangtuanya.
d. Bersikap rendah hati. Pendidikan tauhid memastikan bagi terben-
tuknya pribadi yang rendah hati dalam pergaulan dengan sesama.
Kenapa rendah hati? Karena semua manusia dimata Tuhan sama, tak
ada perbedaan karena suku bangsa, warna kulit, bahasa, kekayaan,
keturunan maupun keilmuannya. “Dan janganlah kamu memaling-
kan wajah dari manusia (karena kesombongan) dan janganlah ber-
jalan di muka bumi dengan angkuh. Sungguh Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membanggakan diri”, (QS. Lukman
[31]:18). Ajari anak untuk mengerti secara benar mana perkataan
yang menunjukkan keangkuhan, ucapan kesombongan dan lisan
kemunafikan. Demikian pula, bimbing anak untuk tidak menam-
pilkan keangkuhan perbuatan, kesombongan tindakan, dan kemu-
nafikan gaya hidup yang menyebabkan orang lain merasa direndah-
kan, dihinakan, dipapakan, dikerdilkan, dikecilkan dan dikucilkan.
“Dan sederhanakan dalam berjalan dan lunakkan suaramu. Sesung-
guhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai” (QS. Lukman
[31]:19).
e. Senantiasa bersyukur. Bersyukur itu penting. Bersyukur itu lebih
penting. Bersyukur itu sangat penting dan bersyukur itu buka
kepentingan. Bersyukur itu prinsip tauhid sebagai refleksi dari
kesadaran bahwa hanya Allah sajalah Yang Maha Pemberi kepada
semua mahluknya dengan pemberian yang dibingkai oleh kasih dan

122 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

sayang. Ajarkan kepada seluruh anggota keluarga untuk merasakan,


merenungkan dan memaknai setiap karunia Allah dalam keseharian
agar bisa menghargai kesempurnaan dirinya.” …dan barangsiapa
bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa tidak bersyukur (kufur), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya, Maha Terpuji” (QS. Lukman
[31]:12). Ajari anggota keluarga untuk memiliki kebiasaan berbagi,
bawa ke panti asuhan, lakukan takjiyah kematian atau sakit, perli-
hatkan penderitaan di panti jompo, anak-anak terlantar, kemiskinan
dan seterusnya.
f. Pupuk kegemaran beramal. Kekuatan tauhid dalam keluarga
tidaklah bermakna manakala tidak dibarengi dengan pembiasaan
kegemaran beramal, sebab tauhid yang kehilangan dimensi beramal
shaleh adalah kemustahilan, kebohongan dan dusta yang paling
nyata. Tunjukkan dengan tegas bahwa setiap amal pasti akan dibalas
sesuai kualitas amalnya. Kebaikan berbalas kebaikan dan kejahatan
berbalas kejahatan dan semua amal akan kembali kepada dirinya
sendiri. “Lukman berkata, “Wahai anakku! Sungguh, jika ada
(sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di
langit atau di bumi, niscaya Allah akan memberinya balasan.
Sesungguhnya Allah Maha Halus dan Maha Teliti”, (QS. Lukman
[31]:16.
g. Jauhkan dari api neraka. Menyadari bahwa setiap amalan membawa
konsekwensi merupakan kesadaran tentang hukum keadilan Tuhan.
Maka untuk menegakkan keadilan-Nya, Allah menciptakan surga
dan neraka sebagai balasan dari setiap perbuatan. Kedua orangtua
berkewajiban untuk memberikan pengertian dan pemahaman bahwa
surga diperuntukan bagi manusia yang beramal shaleh dan neraka
digantungkan bagi orang-orang yang berbuat dosa. “Wahai orang-
orang yang beriman!, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada
Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim [66]:6).
Keluarga tentu bukan sekedar rumah yang diisi ayah, ibu dan anak,
tetapi merupakan sistem kehidupan yang dibingkai oleh kekuatan tauhid
yang terefleksi dalam kehidupan yang lebih luas. Sebab tak ada keluarga
yang bisa tangguh dalam segala aspek kehidupan tanpa ditopang oleh iklim
spiritual yang kuat, tanpa dibangun oleh hubungan vertikal dengan Tuhan-
Nya. Keluarga, dengan kekuatan peran orangtua menjadi niscaya untuk
membangun tradisi menjalankan hukum dan syariat Islam secara kaffah.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 123


Pemupukan tauhid pada keluarga akan membawa dampak yang
luar biasa pada kesadaran bahwa kehidupan senyatanya berasal dari, oleh,
untuk, pada, dalam, dengan, bagi Tuhan. Bila keluarga telah menjadi mesjid
untuk bersujud pada Tuhan Yang Maha Luhur, maka Tuhan bisa ditemukan
dalam sepanjang kehidupan yang hadir dalam berbagai bentuk nyata dari
kehidupan, baik yang lembut-halus, cantik-molek, kecil-mungil, besar, lebih
besar, paling besar, sangat besar dan sampai yang tak terukur. Gibran
(Fahruddin Faiz, 2002:114) menyatakan bahwa segala sesuatu mengenai
eksistensi manusia, barawal dari, berada dalam, untuk kembali kepada
Tuhan. Gibran lebih kanjut menasehatkan bahwa untuk bisa bertemu
Tuhan, tidak perlu pergi terlalu jauh, menyelam terlalu dalam atau terbang
terlalu tinggi, sebab Tuhan akan ditemukan di sekitarmu:
Adalah lebih baik tidak banyak bicara tentang Tuhan, yang tidak dapat kita
mengerti dan lebih banyak berbicara tentang segala sesuatu yang lain yang
mungkin kita mengerti.
Kamu kalau ingin mengenal Tuhan, janganlah menjadi pemecah masalah.
Lihatlah saja sekeliling kamu berada, engkau akan melihat Ia dan anak-
anakmu bermain bersama.
Dan layangkanlah pandanganmu ke angkasa, engkau akan melihat-Nya
berjalan di antara mega, menjulurkan tangan-Nya dalam Guntur yang
datang melalui hujan yang turun. Kau akan melihat-Nya tersenyum di
antara bunga-bunga, lalu membumbung tinggi sambil melambaikan tangan
di pucuk pepohonan.
Tuhan itu ada di mana-mana, dan bisa tidak ada dimana-mana jika
kita tidak menyadari-Nya. Tuhan bersama orang-orang yang melakukan
revolusi dan demonstrasi, Tuhan hadir bersama petani yang pergi subuh
pulang maghrib dari sawahnya, Tuhan mendampingi pedagang yang
terkadang jujur atau menipu timbangan, Tuhan lebur bersama Hakim yang
memutuskan perkara dengan onarnya, Tuhan ada bersama para mahasiswa
yang berani dan tak berani nyontek saat ujian, Tuhan tiba bersama para
pilot yang terbang mengangkasa, Tuhan ada bersama istri yang ditinggal
kabur suaminya, Tuhan ada dalam diri anak kecil yang menangis
menunggu ibunya pulang kerja, Tuhan ada pada semut-semut kecil yang
berkeliaran di sekitar Anda, dan Tuhan ada dalam segala yang ada karena
Tuhan bersif transenden, imanen, eternal dan ada dimana-mana, tetapi
Ghoib.
Sungguh indah, bila keluarga merupakan sebuah taman bagi berse-
minya bunga-bunga kekasih Tuhan, bagai kebun untuk berbuahnya cinta
Kekasih Tunggal, bagai sungai bagi mengalirnya kejernihan Tauhidullah
dan bagai padang savana bagi pandangan tak berujung pada Keluasaan
Kekuasaan-Nya dan bahkan bagai bisikan angin yang meniupkan rasa cinta
sejati pada Ilahi, Tuhan Yang Maha Suci.

124 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Keindahan peran yang dimainkan oleh keluarga, bisa membentang


panjang dari nilai kehidupan yang jauh dari tauhid sampai kepada keluarga
yang begitu dekat dengan Tuhan. Gambaran dari tipologi rumah tangga
atau keluarga dimaksud antar lain:
a. Tipologi Rumah Hantu. Tipe rumah tangga yang dipenuhi dengan
warna-warni kebatilan, seperti bapaknya senang judi, ibunya pela-
cur, anaknya pemabuk. Dalam keluarga seperti ini, sulit bisa tumbuh
rasa kasih sayang, saling menghormati, saling menghargai, saling
berbagi, saling membimbing, saling meluruskan. Jika sudah tidak
terbangun hubungan yang harmonis, sulit mengharapkan lahirnya
generasi Robbani yang beraqidah kuat, taat beribadah dan berakhlak
mulia serta sejahtera secara ekonomi.
b. Tipologi Kuburan. Tipe keluarga yang dipenuhi dengan ritual-ritual
kebatinan dan kurafat. Dari luar nampak seperti suasana dan
nuansa penuh spiritualitas, padahal sarat dengan jebakan dan
ranjau-ranjau pengingkaran Tauhid. Mereka shalat tetapi bercampur
dengan adat, mereka berdo‟a tetapi penuh dengan syirik, merekapun
berharap ampunan dan limpahan rezeki tetapi harus selalu memakai
antara, seperti kepercayaan tentang Dewi Sri dan sesajen pada
leluhur untuk menyampaikan mantra dan do‟a-do‟anya.
c. Tipologi Pasar. Tipe keluarga yang sangat disibukkan dengan hal-hal
keduniaan dan melupakan kepentingan akhirat. Mereka bisa bekerja
larut malam, tetapi melupakan shalat tahajjud, mereka dagang
sampai siang tapi lupa keutamaan duha, mereka menabung uang
tiap hari ke bank tetapi lupa berbagi pada sesama melalui pintu
zakat, infak, shadakah, it‟am, wakaf dan amal soleh lainnya. Tipe
keluarga seperti inipun, telah kehilangan tauhid ta‟alluq iradah,
menjemput takdir Tuhan melalui ikhtiyar yang sungguh-sungguh.
Mereka tidak menyadari bahwa keluasan rezeki mesti berbarengan
dengan keberkahannya dan kemudahan rezeki seyogianya bersama-
an dengan pemerolehan hikmah dan kemaslahatannya.
d. Tipologi Sekolah. Tipe keluarga yang senantiasa belajar untuk
meningkatkan pengetahuan, pemahaman, dan pengertian tentang
agama tetapi lupa pengamalannya. Mereka belajar begitu banyak
ilmu tetapi begitu sedikit yang diamalkan. Begitu banyak yang tahu
tetapi sangat sedikit yang diperbuat, cukup banyak yang dimengerti
tetapi sangat sedikit yang dihayati.
e. Tipologi Mesjid. Tipe keluarga dengan suasana spiritual tinggi,
berani sebagai pengamal Islam secara kaffah, hanya didatangi oleh
mereka yang berniat baik, dihiasi dengan kumandang bacaan al-
Qur‟an, damai, penuh kekeluargaan, pershahabatan, tenang, sejuk
dan membahagiakan. Keadaan keluarga seperti ini diyakini bisa

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 125


menaburkan benih-benih kecintaan kepada Allah dengan tanpa
melupakan kepentingan duniawi.
Membangun keluarga sakinah, mawadah dan warahmah, yang
merupakan bagian dari cita-cita Islam, akan terwujud dengan baik apabila
lima pilar keluarga bisa ditegakkan: Pertama, Pilar Tauhid, yakni memba-
ngun keluarga di atas fondasi keimanan yang kokoh. Segala nilai yang
hidup dalam keluarga harus didasarkan kekuatan dan keutamaan tauhid
dengan segala derivasinya. Bangun suasana keluarga yang penuh dengan
kepasrahan, ketulusan dan kehidmatan pada penghayatan nilai-nilai tauhid
dalam kehidupan nyata. Kedua, Pilar Syariah, yakni keluarga yang taat
dalam menjalankan syariat Islam secara sempurna seperti shalat lima waktu,
zakat, puasa dan haji yang didasarkan pada kekuatan aqidah dalam
kedahsyatan syariat. Ketiga, Pilar Akhlak, yakni keluarga yang diliputi nilai-
nilai akhlak dalam kehidupan sehari-hari. Ciptakan kehidupan keluarga
yang mencerminkan perbuatan bermoral tinggi seperti menghormati kedua
orangtua, terapkan adab makan minum, tidur yang baik, perhatikan
tetangga, pelihara kebersihan lingkungan dan lain-lain. Keempat, Gemar
Beramal. Keluarga yang baik tentu saja adalah keluarga yang lebih banyak
memperhatikan amaliah, kegemaran beramal, kesediaan amar makruf dan
nahi munkar yang dilandasi kasih sayang dan kecintaan pada sesama
sebagai refleksi dari kecintaannya pada Allah. Kelima, Ikhlas Bersedekah.
Setiap keluarga insya Allah memiliki penghasilan, kekayaan dan potensi
ruhaniah yang luar biasa. Kesemua kekuatan keluarga, sekiranya berman-
faat bagi orang lain, maka memiliki kewajiban moral untuk bersedekah
dengan apapun yang dimiliki. Kesadaran bersedekah bukan sekedar kepe-
dulian pada sesama, tetapi yang jauh lebih dalam tentu saja merupakan
refleksi dari keimanan kepada Allah Yang Maha Pemurah dan Maha
Pemberi.

126 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 127


14
NILAI TAUHID SOSIAL

Artinya:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan
mencegah dari berbuat munkar dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik, namun
kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”, (QS. Ali Imran
[3]:110).

Kehidupan sosial dalam Islam merupakan bagian penting dari


penerapan tauhid. Umat yang kuat dan tangguh niscaya miliki kekuatan
tauhid yang hebat. Kekuatan bertauhid tak diragukan memastikan teguhnya
masyarakat pada prinsip kebenaran tertinggi, yakni Hukum Allah, baik
berupa aqidah, syari‟ah dan Akhlak. Dan begitu banyaknya bangsa yang
dihancurkan Allah bukan karena Negara miskin, tetapi Negara yang biadab,
dzolim, korup, tak bermoral, dan penuh kemunafikan. Perhatikan kaum
nabi Luth di negeri Syam yang dihancurkan dengan ditimpa batu-batu besar
karena kaum nabi Luth tidak bermoral dengan melakukan perkawinan

128 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

sesama jenis kelamin, laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan


perempuan lagi. Dan perhatikan pula bagaimana kesudahan dari negeri dan
kaum yang dzolim seperti bagimana akhir dari peritiwa negeri Saba‟, kaum
Nambruj, kaum Ad yang ditimpa angin yang sangat kencang karena kesom-
bongannya, kaum Tsamud yang disambar petir karena menolak kebenaran-
Nya. Pantas bila al-Qardhawi menyakini bawa aqidah yang benar akan
dapat menerangi masyarakat dari pancaran cahaya-Nya. Aqidah yang
bagaimana? Yakni aqidah yang tidak sekedar pengetahuan dalam hati atau
mengisi otak dengan istilah-istilah seputar ketuhanan, ibadah, agama,
keesaan Tuhan, lalu merasa bangga diri dengan yang dimilikinya. Aqidah
atau Iman merupakan benteng yang mampu menjaga kehidupan sosial dari
kebinasaan dan marabahaya. Sedangkan kehidupan yang terlepas dari iman
pasti akan mendatangkan bencana, kehinaan, kemunafikan dan perpecahan,
yang demikian itu menurut istilah al-Gazali apa yang disebut sebagai Iman
yang buta. Adnan Ali Rida an-Nahwi dalam bukunya, Liqa‟ al-Mu‟minin,
“iman bukan sekedar yang diteriakkan, bukan sekedar pemanis bibir,
melainkan keyakinan yang terpancang kuat dalam lubuk hati yang
terdalam, pengetahuan yang memenuhi akal pikiran yang menimbulkan
kerja keras, khusuk dan akhlak yang mulia.
Menurut Muhammad Abdullah al-Khatib dalam bukunya Khasa‟ is
al-Mujtama al-Islami, iman yang kokoh pasti dapat menguatkan jiwa,
mensucikan hati, menciptakan banyak keajaiban dan menghasilkan kualitas
manusia dan sosial yang benar-benar handal. Kenapa handal? Karena
tauhid yang benar akan mampu menjadi pemimpim perubahan dan
perbaikan seluruh masyarakat. Masyarakat yang tercerahkan oleh aqidah
yang lurus, benar dan tepat akan terlahir sebagai sebuah komunitas
kehidupan yang ridha dan diridhai oleh Allah serta diselimuti bimbingan
dan petunjuk-Nya. Nasib baik dari komunitas masyarakat yang Rabbani,
insya Allah akan, baldzatun thoyyibatun warabbun ghafuur, sebuah negeri yang
diliputi kebaikan, ampuan, dan kelimpahan rezeki yang banyak serta
berkah.
Islam sebagai agama kehidupan dengan ¾ ajarannya berbicara
tentang kehidupan sosial, ibadah ghoir mahdoh, meniscayakan memiliki
perhatian besar terhadap seluruh aspek kehidupan umat manusia. Rauf
Syalabi, dalam bukunya ad-Da‟wah al-Islamiyah fi „Ahdiha al-Madaniy, Islam
sesuai karakter dasarnya harus terlibat dalam semua urusan yang ada
dalam kehidupan manusia mulai dari hal yang terkesan remeh-temeh
hingga hal-hal yang besar-besar seperti pendidikan, sistem sosial, politik
dan ekonomi. Dunia Barat kini mengakui bahwa Islam merupakan sistem
kehidupan yang paling sempurna, sebab dalam Islam begitu lengkap dan
rincinya aturan hidup dari urusan besar sampai yang kecil telah ternyatakan
secara normatif dan ini yang tidak ada dalam ajaran agama-agama lain.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 129


Perhatikan secara teliti, mana dari sisi kehidupan yang tanpa perhatian
Islam, makan, minum, tidur, ke WC, naik kendaraan, mau bekerja,
berhubungan intim suami istri, bercermin, berpakaian, penyembelihan
hewan, hukum pencurian dan seterusnya telah diatur dalam Islam sebagai
satu kesatuan norma yang terlahir dari kehebatan aqidah atau keimanan,
kepastian syari‟ah dan kemuliaan akhlak.
Untuk mewujudkan cita-cita sosial Islam, Hasan al-Banna melihat
adanya perbedaan potensial umat dalam mewujudkan cita-cita ideal
masyarakat Islam berbasis keimanan kepada-Nya. Menurut Hasan al-Banna,
ada tiga kategori masyarakat dalam pendekatan aqidah, Pertama, orang
yang menerima dan menganut aqidah begitu saja menurut kata orang.
Keyakinan semacam ini , mudah goyang manakala berhadapan dengan hal-
hal yang samar. Kedua, orang yang melihat dan berpikir sehingga keiman-
annya bertambah tebal dan kokoh. Ketiga, orang yang terus-menerus
menggunakan daya nalarnya, memfungsikan daya pikiran, memohon
pertolongan Allah, menjalankan perintahnya serta memperbaiki ibadah
(Muhammad Sayyid Yusuf, 2007:106).
Sesuatu yang luar bisa, ternyata banyak bangsa-banga lain yang
melihat bahwa kekuatan Umat Islam bukan dalam jumlahnya tetapi dalam
kualitas keimanannya. Mohammad Moro, al-Muwajahat baina al-Islam wa
al-Garb, menyatakan bahwa salah seorang asisten Menteri Luar Negeri
Amerika Serikat mengatakan, “Islam telah menjelma sebagai ancaman
dahsyat bagi stabilitas (keamanan dan kedamaian) internasional. Umar al-
Faruq dalam bukunya at-Tabsyir wa al-Iti‟mar fi al-Bilad al-Islamiyyah,
menjelaskan perkataan seorang orentalis yang sangat sinis, “Sesungguhnya
kekuatan yang terdapat dalam Islam mengakibatkan Eropa hidup dalam
suasana yang mencekam”. Demikian pula Nabil Abdurrahman al-Muhisy
dalam bukunya Zionis Israil, David Ben Gurion, melontarkan kecaman
pedas, “Kami tidak takut dengan sosialisme, revolusi dan demokrasi di
tempat kami. Kami hanya takut dengan Islam, sebuah sistem raksasa yang
mulai bangun dari tidur panjangnya”. (Muhammad Sayyid Yusuf, 2007:112).
Bahkan kewaspadaan umat Islam harus ekstra hati-hati karena mereka
menggunakan strategi dengan slogan isu ekonomi, kesenjangan sosial dan
ras untuk mengelabui ummat Islam dari serangan mereka terhadap aqidah
umat Islam yang sebenarnya, demikian kata Sayyid Qutub dalam Ma‟alim
„ala at-Tariq, terutama berkaitan dengan gerakan orang-orang Yahudi yang
paling nyata memusuhi Islam. Allah mengingatkan dalam firman-Nya,
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuh-
annya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan
orang-orang Musyrik (QS.al-Ma‟idah [5]:82).
Apa karakteristik dari masyarakat yang memiliki citra dan cita-cita
tauhid sosial secara komprehensif:

130 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

a. Menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Ciri masyarakat yang diikat
oleh tauhid tentu menegakkan kalimat Allah dengan lurus melalui
amar makruf dan nahi munkar. Amar makruf dan nahi munkar
hukumnya wajib bagi setiap orang, sama wajibnya seperti shalat.
Allah berfirman “Hai anakku, dirikan shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan mencegah yang munkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian
itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”, (QS. Lukman
[31]:17). Apa syarat dari amar makruf nahi munkat, Muhammad as-
Sayyid Yusuf (2007:143) menjelaskan: (1) pengetahuan, (2) ikhlas, (3)
menjadi teladan, (4) bersikap lembah lembut, (5) sabar dan murah
hati.
b. Mampu mencegah perbuatan fahsya dan munkar. Islam mengajarkan
kehidupan dalam senyata-nyatanya kehidupan nyata. Tidak ada satu
sisi dari kehidupanpun yang luput dari perhatian Islam, seperti
persoalan etika makan, kencing, bersin, tidur sampai pada perso-
alan-persoalan besar seperti pendidikan, kesehatan, politik, ekono-
mi dan seterusnya. Apa yang dimaksud fahsya? Fahsya adalah
kedhaliman yang efeknya lebih besar kepada pelaku, seperti mening-
galkan shalat, berpikir negatif, riya, thama, ujub dan penyakit hati
lainnya. Sedangkan munkar adalah segala perbuatan yang efek nega-
tifnya lebih besar kepada orang lain, seperti mencuri, berzina,
korupsi dan lain-lain.
c. Bersabar dalam Berdakwah. Salah satu kewajiban Muslim terhadap
Islam adalah mendakwahkan Islam. Mendakwahkan Islam bukan
menceramahkan, mempidatokan, mempuisikan, atau menuliskannya
dalam jutaan lebar kertas tetapi mempertontonkan, menunjukkan,
memperlihatkan, menyatakan, membuktikan bahwa Islam itu rah-
mat bagi seluruh alam, Islam itu indah, Islam itu kedamaian, Islam
itu kebersihan, Islam itu kesejahteraan, Islam itu kerja keras, Islam
itu kerja ikhlas, Islam itu tolong-menolong, Islam itu … dan Islam itu
seluruh keselamatan.
d. Mampu menjadi umat beruntung. Islam selama ini hampir-hampir
identik dengan kebodohan, keterbelakangan, kesengsaraan, kemis-
kinan, kejorokan, ketidak disiplinan, kekerasan, kemunafikan dan
masih banyak label lainnya. Keadaan ini jelas bertentangan dengan
Islam secara nominalitas, Islam ideal, Islam kaffat, Islam al-Qur‟an,
Islam Rasulullah. Islam seperti ini adalah Islam yang terjadi dalam
masyarakat Islam yang tidak mengerti Islam. Disangkanya Islam itu,
agama ritual, agama legal formal, agama esensial, bukan tapi Islam
adalah agama bagi kehidupan nyata yang lebih baik, lebih sejahtera,
lebih bahagia, lebih bersih, lebih sehat, lebih suci, dan lebih berarti.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 131


“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menye-
ru kepada kebaikan, menyuruh yang makruf dan mencegah dari
yang munkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”, (QS.
Ali Imran [3]:104)
e. Menegakkan cinta dan kearifan. Banyak pendekatan ilmu yang
digunakan dalam menghadapi konflik sosial, tetapi tidak satupun
yang bisa diandalkan. Pendekatan tauhid menawarkan satu pende-
katan akhir yakni dengan pendekatan cinta dan kearifan. A. Reza
Arasteh (2002:156) menegaskan bahwa faham sufi dengan segenap
eksperimen spiritualnya menemukan dan membuktikan bahwa me-
diator konfliks yang rasional dan yang tidak rasional pada manusia,
masyarakat dan sejarah adalah dengan cinta. Sebuah kekacauan,
konfliks, perseteruan bahkan perang yang tidak lagi bisa diatasi
dengan rasio, hukum, dan kekuatan militer maka bawalah kedalam
penyatuan cinta. Cinta bisa membawa konfliks jadi pershahabatan,
duri menjadi bunga mawar yang indah, cuka menjadi anggur yang
manis, kesialan menjadi keberuntungan, budak menjadi tuan, dan
duka cita menjadi kebahagiaan.
Jika kita sebagai jamaah muslim mengerti, mengenal dan dekat
dengan Allah, bermahabban dengan cinta-Nya, maka kualitas kehidupan
masyarakat akan lebih baik, nampak sejahtera, dan terwujud kebahagiaan.
Jika kehidupan masyarakat masih carut marut berarti tidak beriman pada
Allah Yang Maha Indah, atau kemiskinan masih tinggi berarti tidak beriman
pada sifat Allah Yang Maha Kaya atau kebersihan masih menjadi ancaman
kesehatan berarti tidak bermakrifat pada sifat Allah Yang Maha Suci atau
jika masyarakatnya masih diseliputi kebodohan berarti tidak bertauhid
dengan sifat Allah Yang Maha Luas Ilmu-Nya.

132 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 133


15
NILAI TAUHID BISNIS

Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (al-
Qur‟an) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian
rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan
terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan (bisnis
atau perniagaan) yang tidak akan rugi”, (QS. Al-Fathir [35]:29).

Sungguh tak bisa dibantah dengan dalil dan dalih apapun bahwa
semua kehidupan bermuara dan berpusat pada Allah sebagai pemilik
kehidupan yang hakiki. Allah sebagai sentipugal dan sentripetal. Allah
pendulum kehidupan. Allah pusaran semua mahluk. Allah sebagai Realitas
Tunggal. Tak ada sistem yang ada selaian karena adanya ADA Yang Maha
Ada untuk mengadakan yang ada dan yang tiadak untuk meng-ada atau
men-tiada sekaligus. Manusia tak punya aturan, tak punya hokum, tak
punya kekuasaan Manusia tinggal menjalankan rancangan yang Allah telah
tetapkan dalam sebuah iradah takdir, ketetapan ukuran, keajegan takaran
sebagai ketentuan yang telah dipastikan-Nya untuk kepastian-nya. Semua

134 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

usaha, kegiatan, tindakan, perasaan, pikiran dan hayalan sekalipun


merupakan bagian dari sebagian keseluruh takdir atau ketentuan yang
Allah telah tetapkan bagi setiap manusia. Demikian pula jalan hidup kaya,
sejahtera dan bahagia atau bodoh, malas, miskin dan sengsara merupakan
milik dari k atau ketetapan Allah yang pasti berlaku. Tetapi tahukan Anda
bahwa Allah telah mentakdirkan kita untuk menjadi bodoh, miskin, atau
sengsara? Ingat bahwa takdir itu bukan kutukan, celaan, atau siksaan, tetapi
ketetapan ukuran kasih sayang Allah kepada setiap mahluknya untuk
menunjukkan atau mendhohirkan kekuasaan-Nya dalam periuk nama-
nama Indah, baik, sempurna (asmaul husna).
Kita semua dan semua kita pasti tahu, paham dan pastikan
menyadarinya bahwa kita hidup di dunia ini hanyalah dalam bingkai kasih
sayang Allah yang Maha Pemurah, Pemberi dan Maha Luas Rezekinya.
Karena sifat Pemurah-Nya, pastikan Allah tidak akan menciptakan
kemiskinan bagi hamba yang disayangi-Nya. Dalam surat an-Najm [53]:48,
dengan tegas dan jelas Allah berfirman, “dan sesungguhnya Dialah yang
memberikan kekayaan dan kecukupan”. Allah tidak memberikan kekayaan
dan kemiskinan, tetapi kekayaan dan kecukupan. Jadi pemberian Allah
kepada manusia kekayaan dan kecukupan saja. Manusia tidak diberi pilihan
hidup untuk miskin atau kaya, tetapi kaya dan kaya-raya, sangat kaya atau
sekurangnya berkecukupan. Kenapa keadaan kaya raya penting, sebab fakta
membuktikan bahwa kalau hanya jadi orang kaya itu seringkali sombong,
angkuh dan bahkan kikir zakat atau infak tetapi orang kaya raya itu
pastikan rendah hati, dermawan dan tulus beramal kebajikan. Sifat rendah
hati, dermawan dan tulus merupakan akhlak bisnis yang diturunkan dari
tauhid bisnis, yakni kesadaran, keyakinan dan keimanan yang memastikan
bahwa segala bentuk rezeki hanyalah milik hakiki Allah, bukan milik
mahluk. Manusia tidak pernah mendapatkan rezeki tetapi Allah yang
memberikannya. Manusia tidak bisa melapangkan rezeki karena Allah yang
menganugerahkan. Manusia tidak bisa mempersempit rezekinya karena
Allah yang menghendaki-Nya. Karena kekuasaan-Nya bahkan Allah tidak
hendak mengabulkan segala permintaan mahluk-Nya tetapi Allah pasti
memberi pemenuhan atas segala kebutuhan mahluknya. Renungkan firman
Allah, “Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya,
niscaya mereka berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan
ukuran yang Dia Kehendaki. Sungguh, Dia Maha Teliti tehadap keadaan hamba-
hamba-Nya, Maha Melihat (QS. asy-Syura42]:27). Karena Allah memberi
jaminan rezeki kepada seluruh mahluk-Nya dalam kategori:
a. Rezeki yang DIJAMIN yakni rezeki yang gifted, diberikan dan
diturunkan untuk semua mahluknya tanpa kategori. Inilah rezeki
umum. Allah berfirman dalam QS. Huud [11] : 6, “Dan tidak
satupun mahluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan rezekinya

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 135


semuanya dijamin Allah. Dia mengetahui tempat kediamannyadan
penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)”. Allah menciptakan seluruh mahluk dalam keragamana
yang luar biasa, baik dari sisi ukuran, jenis, sifat, keadaan, karakter,
ekologi, kesukaan, kemampuan, kekurangan dan kelebihan dalam
kesempurnaan penciptaan-Nya. Harimau yang memiliki postur
tubuh yang ideal, kekar, bertaring, berkuku tajam, berlari kencang
dan perawakan yang menakutkan sempat terheran-heran melihat
cacing yang berbadan kecil, lembek, kurus, tak bertulang, tak bergigi,
tak bersayap, tak bertaring, tinggal di dalam tanah tetapi bisa makan
dan bertahan hidup. Padahal saya saja (kata harimau) yang dengan
segala kelebihannya untuk mencari makan saja harus menangkap
mangsanya dengan keluh kesah, lelah dan bahkan beresiko mati
karena mendapatkan perlawanan dari mangsanya. Cacing juga sama
merasa heran, kok mau-maunya harimau mengejar-ngejar
mangsanya untuk sekedar mencari makan, padahal makanan
berlimpah ruah dimana-mana dan tak perlu dikejar-kejar. Ilustrasi
itu menegaskan secara nyata dan menyatakan secara tegas bahwa
kehidupan mahluk diciptakan, ditetapkan dan ditakdirkan, bukan
dipilih sesuai kehendak masing-masing. Keadaan ini menegaskan
tentang fakta tauhid kehidupan yang berderipasi terhadap tauhid
bisnis.
b. Rezeki yang DIUSAHAKAN yakni rezeki yang diperoleh karena
sebuah kekuatan ilmu, kemahiran, ketekunan, keuletan, kerja keras,
pengalaman, penguatan dan keyakinan. Kini mungkin disebut
profesionalisme. Rezeki ini berasal dari Allah juga, tetapi untuk
memperolehnya Allah telah menganugerahkan hati, pikiran, ucapan,
tangan, kaki dan segalanya sebagai fasilitas dalam menjemput
keluasan rezeki Allah. Firman Allah dalam QS. An-Najm [53]:39, ”
dan bahwa manusia hanya memperoleh apa-apa yang telah
diusahakannya”. Menjemput rezeki yang ditebarkan bukan karena
naluriah atau insting atau kehebatan kehendak manusia tetapi
perintah genelogis yang berada pada DNA manusia sejak manusia
diciptakan. Karena manusia tidak memiliki kehendak hakiki.
Manusia hanya punya kehendak instrumental dan pragmatis.
Firman Allah dalam (QS. Al-Jumu‟ah [62]:10), “ Apabila shalat telah
dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung”.
Bisnis dalam ketegori ini bisa dianalogkan dengan bisnisnya para
hamba Allah.
c. Rezeki karena BERSYUKUR, yakni jenis rezeki yang Allah berikan
kepada setiap orang yang bersyukur. Bersyukur artinya

136 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

memanfaatkan rezeki sesuai dengan kehendak-Nya bukan


kehendaknya. Bersyukur menjadi stimulan bahkan jaminan bagi
bertambahnya suatu rezeki, baik kuantitas maupun kualitas dan
keberkahannya. Perhatikan firmanAllah dalam (QS. Ibraahim [14]:
7), artinya “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan
menambah (nikmat) kepadamu”.
d. Rezeki karena ISTIGHFAR, yakni jenis rezeki yang Allah tambahkan
karena seseorang senantiasa melakukan istighfar, memohon
ampunan Allah dari segala dosa-dosanya, baik disengaja maupun
tidak, besar maupun kecil, sering maupun jarang. Istighfar artinya
memohon ampunan kepada Allah dari segala dosa yang pernah
dilakukannya. Perhatikan firman Allah (QS. Surat Nuuh [71]: 10-11),
artinya “ Berinstighfarlah kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia
Maha Pengampun, pasti Dia akan mengirimkan hujan kepadamu
dangan lebat dan memperbanyak harta”.
e. Rezeki karena MENIKAH, yakni jenis rezeki yang Allah berikan
karena seseorang telah menikah, memiliki tanggung jawab
menapkahi keluarganya. Menikah artinya melakukan ikatan tali
pernikahan yang sah secara hukum. Perhatikan firman Allah dalam
(QS. An-Nuur [24]:32), artinya ”Dan nikahkanlah orang-orang yang
masih membujang diantara kamu dan juga orang-orang yang layak
dari hamba sahayamu baik laki-laki maupun perempuan. Jika
mereka miskin, maka Allah akan memberikan kecukupan kepada
mereka dengan karunia-Nya”.
f. Rezeki karena ANAK, yakni jenis kemudahan rezeki yang diberikan
Allah karena memiliki tanggungan untuk membiayai kehidupan
anak dengan layak. Anak artinya keturunan yang dihasilkan dari
pernikahan yang syah dan atau anak yang hasil adopsi yang legal
dan syah menurut hukum. Perhatikan firman Allah (QS. Al-Israa
[17]:31), artinya “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut miskin. Kamilah yang akan menanggung rezeki mereka
dan juga rezeki bagimu”.
g. Rezeki yang DILEBIHKAN, yakni rezeki yang diberikan kepada
seseorang karena kehendak-Nya. Firman Allah dalam (QS. Adz-
Dzariyat [51]:58), “ Sesungguhnya Allah, Dialah pemberi rezeki yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kukuh”. Kemudian dalam (QS. al-
Isra [17]:30, “ Sungguh, Tuhanmu melapangkan rezeki bagi siapa
yang Dia Kehendaki dan membatasinya bagi siapa yang Dia
Kehendaki; sungguh Dia Maha Mengetahui, Maha Melihat hamba-
hamba-Nya”. Inilah bisnisnya Shahabat Allah, orang-orang yang
begitu dekat dengan Allah. Mereka tidak melulu berbisnis dengan
mengandalkan kompetensi insaniah tetapi sudah dibalut dengan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 137


bingkai kuat kedekatan melalui Cinta dan Kasih Sayang-Nya.
Mereka tidak lagi menjemput rezeki tetapi rezeki menghampirinya.
Mereka tidak mengejar uang tetapi uang mengejarnya. Allahpun
melindunginya dari kerugian, kekurangan serta tipu daya orang-
orang yang munafik perilakunya. Mereka berbisnis bukan mencari
uang tetapi hendak mendapatkan kemaslahatan dan kemanfatan
hidup dengan senantiasa mengamalkan kebaikan, kabajikan dan
keutamaan. ”Sesungguhnya orang-orang yang senantiasa
membaca Kitab Allah (al-Qur‟an) dan melaksanakan shalat dan
menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan
kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu
mengharapkan perdagangan (bisnis/perniagaan) yang tidak
akan rugi”, (QS. Al-Fathir [35]:29). Keuntungan dari para
pebisnis yang akan dilipatgandakan rezekinya sampai 700 kali
adalah mereka yang bersedekah dengan rezekinya, Allah
berfirman, “perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya
di jalan Allah seperti laksana sebutir biji yang menumbuhkan
tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah
melipatgandakan bagi siapa yang Dia Kehendaki dan Allah
Maha Luas, Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah[2]:261).
h. Rezeki yang DIISTIMEWAKAN yakni rezeki yang diperoleh
seseorang dari arah yang tidak tentu, tidak tentu dalam ukuran,
waktu, tempat, manfaat, berkat dan hikmat. Rezeki ini diberikan
kepada seseorang yang dimuliakan untuk kemuliaan hamba-hamba
yang diluhungkan derajatnya karena dicintai-Nya dan sekaligus
mencintai-Nya (QS. shad [38]:47). Kategori rezeki ini merupakan
akumulasi dari keseluruhan kualitas ketulusan ibadah, kehidmatan
berdo‟a dan kepasrahan berikhtiyar yang sudah tenggelam dalam
memfanakan segala mahluk dan mendhahirkan Allah dalam segala
„Itikad, Aqwal, Af‟al, Sifat dan Zat. Mereka beribadah semata-mata
karena kecintaan kepada-Nya, berdo‟a karena kehidmatan-Nya dan
berikhtiyar karena-Nya. Mereka sudah mampu meniadakan segala
sesuatu selain-Nya dalam segala tekad, pikiran, perasaan, ucapan,
rasa-hati dan perbuatan. Allah bukan saja dilibatkan dalam aktivitas
bisnis tetapi Allah yang menentukan bisnis seseorang. Mereka tidak
punya keputusan kecuali keputusan-Nya, tidak punya pilihan
kecuali pilihan-Nya, tidak punya keuntungan kecuali dari-Nya dan
tidak punya kerugian kecuali karena kasih sayang-Nya. Inilah
bisnisnya para KEKASIH Allah. Bisnis yang benar-benar
meniscayakan rezeki menjemputnya dengan penuh kecintaan dan
kasih sayang. Allah berfirman dalam (QS. Asy-Syura [42]:19-20),
“Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya; Dia memberi

138 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

rezeki kepada siapa saja yang Dia Kehendaki dan Dia Maha Kuat,
Maha Perkasa”. Barangsiapa menghendaki keun-tungan di akhirat
akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barang siapa
menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya
sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi tidak akan
mendapatkan bagian diakhirat”. Dan rezeki yang diistimewakan
penuh dengan misteri kasih sayang Allah, “dan Dia memberinya
rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (QS. at-Thalaq [65]:3).
i. Rezeki yang DIBERKAHI, ada adagium Sunda yang meng-ada dalam
mengapresiasi keberkahan rezeki dari Yang Maha Ada, seperti
“saeutik mahi loba nyesa”. Falsafah ini benar-benar menunjukkan
teosofi kesadaran yang tinggi dari orang-orang Sunda bahwa rezeki
dari Allah tidak bisa diukur secara kuantitas saja tetapi derajar
kualitas berupa keberhakan yang terkandung dalam setiap tetesan,
titisan dan tatasan rezeki dari-Nya. Ciri yang bisa diterawang dari
rezeki yang penuh berkah dari-Nya adalah DIBERKAHI: (1) Dirasa
sangat melegakkan bukan menyesakkan dada, (2) Ikhlas akan bagian
orang lain, tidak merasa hanya milik sendiri, (3) Berlebih syukur dan
ketika kurangpun syukur, (4) Energi yang mendorong keikhlasan
beribadah bukan kegagahan mengingkari-Nya, (5) Rahasia spiritual
terasa nyata bukan asa atau asap fatamorgana belaka, (6) Kekayaan
bukan segala-galanya tetapi segalanya menjadi kekayaan, (7) Ahli
yang memastikan pemerolehan rezeki berbasis ilmu dan pengalaman
nyata, (8) Hasikan penyatuan diri dengan Allah dalam segala
kehidupan, (9) Indahnya menyaksikan Allah dalam setiap rezeki
yang diberikan kepada setiap mahluk-Nya.

Bisnis dalam kehidupan merupakan aktivitas setiap orang, tak


terkecuali, karena setiap orang pasti melakukan transaksi dengan orang lain.
Tetapi dalam transaksi terkadang hanyalah merupakan transaksi insaniah
yang horizontal dan bukan Ilahiyah yang vertikal. Allah seakan-akan hanya
ada saat shalat dan hadir saat mengalami musibah sedangkan pada saat
melakukan bisnis tak ada transaksi yang bersifat transcendental. Padahal
senyatanya semua rezeki berasal dari-Nya, bahkan Allah menghendaki
hamba-Nya berada dalam kondisi berkecukupan, yang jauh dari gencatan
kesengsaraan, terhindar dari deraan kemiskinan, terjaga dari himpitan
kemelaratan dan terbebaskan dari segala pasungan kebodohan hidup. Allah
menyatakan dengan tegas bahwa sekurang-kurangnya umat Islam berada
dalam kondisi kecukupan, “Dan sesungguhnya Dialah yang memberikan
kaya dan berkecukupan” (An-Najm [53]:-48). Pernyataannya, “bukan kaya
dan kemiskinan”, bukan seperti ayat sebelumnya, bahwa Allahlah yang
menciptakan laki-kaki dan perempuan, siang dan malam, tertawa dan
menangis, laki-laki dan perempuan, tetapi ketika berbicara kaya tidak

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 139


dipasangkan dengan miskin tetapi berkecukupan. Artinya bahwa seorang
muslim harus memastikan diri minimal berkecukupan, tidak berada dalam
kemiskinan apalagi berada dalam kemiskinan yang mendalam.
Sebagai bahan renungan atau evaluasi diri, kiranya tepat jika dalam
tulisan ini diuraikan beberapa karakter tauhid bisnis, sebagai berikut:
a. Berpangkal TAUHID. Tauhid inti ajaran Islam. Islam adalah agama
tauhid. Tauhid sama dengan Islam dan Islam sama dengan tauhid.
Tidak ada apa pun ajaran dalam kehidupan yang dapat ditolelir
keluar dari tauhid, apapun itu. Kehidupan sosial tak boleh sial dari
tauhid, budaya tak boleh memperdaya tauhid, kesehatan tak benar
merupakan kesesatan tauhid, olah raga tak boleh memperkosa tauhid
dan bisnis tak boleh sinis tauhid. Semua kehidupan (bukan sekedar
mengajak atau melibatkan Allah dalam berbisnis tetapi berbisnis
menjalankan iradah Allah) dengan menggunakan kekuatan ITC
(Ibadah, Takut dan Cinta). Banyak pelaku bisnis yang menumpahkan
harapannya bukan pada Allah, mereka berharap pada kemampuan
dirinya sendiri, berharap pada birokrat, berharap pada teknologi,
berharap pada imajinasi. Banyak pelaku bisnis yang berharap pada
birokrasi dengan gelar mancing ikan bukan mancang do‟a pada Allah,
pramugari tidak mengajak berdo‟a karena percaya pada kehebatan
teknologi, ilmuwan tidak dialog dengan Allah karena mengandalkan
penjelajahan imajinasi, guru tidak memberkahi siswa dengan
hatinya karena percaya pada keunggulan metodologi, tentara
berperang tidak mengedepankan visi Ilahi karena yakin menang
dengan kecanggihan teknologi dan strategi, mahasiswapun tak mau
rendah hati karena merasa pintar hasil sendiri. Bisnis dengan
berbasiskan pada nilai tauhid dapat mengantarkan seseorang pada
penyatuan tindakan bersifat duniawi dan ukhrawi. Allah berfirman,
“orang-orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli
dari mengingat Allah, melakasanakan shalat dan menunaikan zakat.
Mereka takut kepada hari ketika hati dan peng-lihatan menjadi
guncang/Kiamat), (QS. al-Nur [24]:37).
b. Bermuara RAHMATAN LI AL‟ALAAMIN. Bisnis dalam keyakinan
Islam tak bisa dipandang sebagai sebuah aktivitas yang hampa
spiritual. Bisnis merupakan sebuah realitas untuk mewujudkan dan
mendhahir-kan Tuhan dalam kehidupan nyata, sehingga benar-benar
Tuhan berada dalam kenyataan hidup. Semua mahluk di dunia pasti
merasakan, menghayati, menyaksikan, mewujudkan Tuhan dalam
kehidupannya. Jika dan jika … manusia melakukan transaksi atau
aktivitas bisnis dengan mengikatkan transaksional spiritual, maka
dengan sendirinya akan meniadakan keserakahan dan kerakusan
manusia terhadap kekayaan. Perlu menjadi catatan bersama bahwa

140 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

spirit bisnis dalam Islam adalah kesejahteraan bersama. Semua orang


harus tersejahterakan dengan hasil usaha yang dilakukan oleh orang
lain, tak peduli siapapun. “Paksaan” awal untuk mensejahterakan
sesama berwujud kewajiban zakat (zakat fitrah atau zakat kekayaan).
Dimana Islam menetapkan nishab dan haul sebagai batas kepemilikan
harta agar seseorang suka atau tidak harus peduli sesama. Kepedulian
tersebut berlanjut dengan perintah infak, shadaqah, wakaf, zijyah,
amal shaleh, it‟am dan seterusnya. Demikian juga prinsip bisnis Islam
tidak membenarkan adanya pengambilan keuntungan yang
berlebihan apalagi merusak kepentingan umum (menimbun,
monopoli), merusak ekosistem, memberangus budaya dan mematikan
usaha lainnya. Bisnis dalam kontek Islam meniscakan tulus untuk
BBM (Berbagi, Berkah dan Maslahah). Renungkan sebuah contoh BBM
yang diajarkan dalam do‟a makan, “Allahumma baariklana fiima
rozaktanaa waqinaa „adzabannaar”. Do‟anya bukan baarikli. Seseorang
makan, tetapi semua pihak yang terlibat dalam menghasilkan
makanan yang dikonsumsi dido‟akan agar rezekinya berkah dan
bahkan terhindar dari api neraka, kehidupan yang sengsara,
kemiskinan, kebodohan dan segala hal yang menimbulkan
ketidaknyamanan hidup. Sebagai iulstrasi bila seseorang makan nasi
maka semua pihak ikut dido‟akan, mulai dari: orang yang
mencangkul menyiapkan lahan, membajak lahan, mengalirkan air,
tandur (menanam padi), memupuk, toko pupuk, ojeg yang
mengangkut pupuk, pemilik dan pekerja yang menjual BBM, ibu yang
memasak nasi untuk yang bekerja, pemilik tanah yang dilewati petani,
orang yang menyiangi padi, orang yang menunggu padi dari
gangguan burung-burung, orang-orang yang memanen padi, orang
yang menjemur padi (mengeringkan), penggilingan, yang menanak
nasi, orang yang membuat kompor,penjual gas, penjual bakul dan
seterusnya. Ini do‟a bil „itiqod. Belum lagi jika berkesadaran dengan
do‟a bil aqwal (do‟a dengan memberi pengetahuan tentang memilih
bibit unggul, pemupukan yang tepat, penjagaan hama, teknik panen
dan pengolahan pacsa panen yang benar serta pasar yang
menguntungkan dan seterusnya serta do‟a bil af‟aal (do‟a dengan
tindakan langsung mendampingi para peteni, membela hak-hak
petani, memberdayakannya, melindungi dari tengkulak, membimbing
untuk membuat pupuk kompos dan seterusnya. Inilah bisnis yang
memberi rahmat, berkah dan maslahat bagi seluruhnya. Aamiin.
c. Bersandar TELADAN. Muhammad Rasulullah selama ini hanya
diteladani, diduplikasi dan diedifikasi hanya dari sifat spiritual dan
transendentalnya. Sedangkan dari aspek sosial dan bisnis hampir-
hampir dilupakan, dicampakkan, diabaikan, dibrangus dan bahkan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 141


dinistakan. Padahal senyatanya Rasulullah itu utusan Allah sebagai
khalifah yang bertugas mentauhidkan orang dan sekaligus untuk
memakmurkan ummat manusia dengan berbasiskan nilai-nilai tauhid.
Rasulullah teladan orang kaya dan istrinya Khadijah teladan orang
yang sangat kaya. Muhammad mendapat gekar al-Amin, karena
kejujurannya dalam berdagang atau berniaga yang telah dimulai pada
usia 12 tahun dan sampai kebebarapa negara dengan menunggang
unta terbaik (kendaraan mewah). Muhammad dalam bahasa sekarang
adalah eksportir dan importer yang dekenal luas dibeberapa Negara
seperti Yaman, Iraq, Yordania, Syiria, Busra dan Bahrain. Ketika
menikahi Khadijahpun sebagai maskawinnya menyerahkan puluhan
unta yang setara dengan ratusan juta rupiah. Ketika berjuang untuk
menegakkan Islampun didampingi oleh para shahabat yang sangat
kaya, misalnya Umar bin Khattab yang mewariskan 70.000 property
bernilai triliunan rupiah. Usman bin Affan yang mewariskan properti
sepanjang wilayah Aris dan Khaibar bernilai triliunan rupiah.
Demikian juga Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib mesti tidak sangat
kaya, ia bukan pejuang Islam yang Kere, Kece, Kumel dan Kucel.
Mereka pastikan orang-orang yang tangguh, gagah, megah dan tidak
mewah sebgai pejuang yang pemberani. Islam senyatanya
didakwahkan oleh para pejuang dengan jiwa dan unta. Harta dan
harti. Logika dan logistik. Pendapat dan pendapatan. Raga dan laba.
Tumbak dan tombok. Jaket dan zakat. Baja dan baju. Bata dan bati.
Peta dan peti. Orang dan uang. Karena itu fakta sejarah yang tak bisa
dipungkiri, Islam masuk Indonesiapun dibawakan, didakwahkan dan
diperjuangkan para pedagang, pengusaha, pemilik modal dan kapital
serta konglomerat Gujarat yang hebat dan bermartabat, bukan oleh
peminta-minta, pakir miskin, pengangguran, pemalas, pembohong
dan pembodong. Bahkan bila belum yakin tayakan kepada tokoh NU
dan Muhammadiyah. Benarkah Hasyim Asyari pendiri NU dan
Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah keduanya orang-orang kaya?
Teladani beliau dan jangan kecewakan mereka berdua dan jadilah kita
penganut NU atau Muhammadiyah yang kaya, bahkan sangat kaya,
agar kedua tokoh ikut berbahagia menyaksikan penganutnya
sejahtera. Aamiin. Teladani DHA mereka untuk menjadi kaya,
lakukan Do’a, berjuang dengan Hati dan lakukan Amal kebajikan
kepada sesama dengan tulus dan ikhlas.
d. Berdampak MASLAHAT. Ekonomi Islam pasti, pastikan, kepastian
dan memastikan sebagai ekonomi berjamaah yang berfungsi
mensejah-terakan ummat dan memakmurkan dunia. Islam
mangharamkan seseorang melakukan penimbunan yang mengganggu
kelancaran distribusi atau monopoli usaha yang dapat memacetkan

142 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

pengusaha lain atau monopoli harga atau mempekerjakan seseorang


tetapi selamanya menjadi buruh yang tak berubah kehidupannya.
Para pekerja diperlakukan sebagai mesin industri yang diperas
tenaganya, dikuras pikirannya, dirampas waktunya, diperkosa
haknya, diabaikan kesejahte-raanya dan dilecehkan martabatnya.
Mereka bekerja dengan tidak memiliki masa depan atau bekerja
hanya sebatas usianya sedangkan nasib dan masa depan keluarga
mereka tak pernah diperdulikan.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 143


16
TAUHID PSIKOLOGI

Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan mampu
melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”,
(QS. al-Ahzab [33]:72).

Berbicara tentang tauhid psikologi, tentu berbicara manusia bukan


dalam derajat sosio-antropo centris (an-Naas) tetapi mengkaji manusia
dalam maqam sosio-antropo-teo centris (al-Insaan). Ketika manusia berada
pada maqam sosio-antropo-teo centris, maka kekuatan dominan yang
muncul adalah kesadaran tentang aku dan Aku. Kesadaran aku pada aku
dan terhadap selain aku, menunjukkan adanya kesadaran tertinggi terhadap
AKU. Aku menyatukan kualitas aku kedalam satu kesatuan pribadi yang
tidak bisa dibagi, dipecah apalagi dipisah. Sebab setiap aku merupakan satu
kesatuan utuh dengan aku yang lain, terlebih dengan Aku sebagai Realitas
Tertinggi. Penjumlahan aku dengan aku akan menjadi Aku yang lebih dekat

144 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

dengan AKU. Karena itu manusia dalam perspektif AKU karakter


kepribadiannya diklasifikasikan ke dalam tiga kualitas utama, yakni:
a. al-Basyar, menunjuk pada pengertian manusia dalam konteks
dimensi material, jasmaniah, fisikal dan berwujud yang suka makan,
berjalan-jalan, tertawa, menangis, berbadan tinggi atau rendah,
ganteng, cantik dan seterusnya. Al-Qur‟an menyebutnya sebanyak 35
kali. Manusia dalam wujud ini tidak berbeda dengan hewan bahkan
mungkin banyak hewan yang berpenampilan fisik lebih indah, cantik,
menawan dan menggoda. Manusia dalam pengertian al-basyar justru
merupakan mahluk yang paling lemah, sebab dilahirkan tak berdaya,
lama untuk tumbuh dewasa dan tak memiliki kekuatan fisik yang
luar biasa. Kalah oleh kekekaran gajah, keganasan harimau dan
keperkasaan buaya.
b. al-Naas, menunjuk pada pengertian sebagai spesies dari keturunan
Adam, yang bisa berpikir, berbicara dan berperasaan. Al-Qur‟an
menyebut sebanyak 240 kali. Salah satu ayat misalnya: “Hai manusia,
Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dan
Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu bagi Allah ialah
orang yang paling takwa diantara kamu”, (QS. Al-Hujurat [49] : 13). Ayat
ini memiliki intensi makna bahwa manusia memiliki kecenderungan
untuk angkuh, sombong dan lupa pada ketakwaan, karena itu perlu
diingatkan akan kediriannya sebagai manusia.
c. al-Insaan, menunjuk pada pengertian yang membuatnya pantas
menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban, taklif dan amanah
kemanusiaan yang ditolak oleh bumi. Tapi manusia menerimanya.
Mengapa menerima? Karena dibekali al-ilmu, al-bayan, al-aql dan at-
tamyiz, al-Qur‟an menyebutnya sebanyak 65 kali. Dalam pengertian
inilah manusia bisa sampai kepada kesadaran ilahiyah dan memiliki
moral kehidupan dan kehidupan bermoral yang unggul, (Aisyah
Abdurrahman, 1997:7).
d. Istilah lain yang dikenal dalam al-Qur‟an, seperti Bani Adam, nafs, ,
ins,, unâs, mar‟ dan nâs.
Manusia sebagai al-Basyar, lebih banyak berhubungan dengan
manusia dari aspek biologis, manusia sebagai an-Naas lebih mengarah
pada manusia secara sosial, manusia sebagai al-Insan, menunjuk pada
manusia secara psiko-religius, manusia sebagai Bani Adam lebih bermakna
manusia sebagai produk sejarah.
Tak ada pemisahan aku dengan aku. Meskipun aku secara kuantitatif
bisa dibedakan, tapi benar-benar tak bisa dipisahkan. Kejatidirian aku
terletak pada pemahaman aku secara aku total, bukan aku parsial.
Pemahaman aku secara parsial hanya akan mengantarkan pemahaman yang
jauh dari kebenaran AKU. Karena itu, jika ingin mengerti aku, tidak cukup

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 145


dengan mengandalkan pengetahuan, pemahaman dan pemikiran, tetapi
dibutuhkan hikmah dan kearifan yang tumbuh dari cara berpikir hati.
Karena aku diciptakan oleh AKU Yang Maha Arif dengan segala
kesempurnaan-Nya.
Salah satu wujud kesempurnaan manusia adalah merupakan sosok
mahluk yang bisa memproyeksikan dimensi vertikal ke dalam tataran
horizontal dan altar horizontal kewilayah dalam vertikal. Manusia
berkomunikasi dengan Tuhan mewakili mahluk-mahluk bisu yang telah
ditundukan-Nya untuk manusia. Karena itu, menurut Ibnu Miskawaih
dalam karyanya Tahdzib al-Akhlak (1959) memberikan gambaran tentang
kualitas manusia yang bisa dipahami melalui peradaban yang dilahir-
kannya, yakni:
a. Manusia tingkatan hewan, manusia yang hidup tanpa peradaban,
tanpa moral dan tanpa pengetahuan.
b. Manusia tingkatan indrawi, manusia yang peradabannya masih
dibatasi oleh kemampuan indrawi, otot dan fisik.
c. Manusia intelektual, manusia yang telah menemukan keutamaan
hidup melalui kekuatan dan kesadaran akal.
d. Manusia dalam tingkatan eksistensi, manusia yang telah mencapai
kebenaran dan keutuhan maujud, seperti nabi atau mungkin para
filosof.
Pandangan filsafat menempatkan manusia dalam posisi tinggi di
atas posisi dan eksistensi hewan. Karena itu, dalam renungan para filosof,
mahluk yang ada di dunia dikategorikan dalam empat tingkatan. Pertama
Vegetiva, yakni mahluk hidup yang tidak bisa bergerak, tidak bisa
mengekspresikan perasaan atau emosi, tidak berpikir dan tidak memiliki
ruh kehidupan yang hidup, namun tetap tumbuh dan berkembang biak,
seperti tumbuh-tumbuhan. Kedua, Sensitiva, yakni mahluk yang bisa
bergerak, berkembang biak, tidak berjarak dengan alam, bisa mengung-
kapkan perasaan, sebagiannya bisa berpikir sekalipun dalam tahap rendah
dan bisa berkomunikasi dengan lingkunganya, bisa merespons perubahan
di sekitarnya dan seterunya. Contohnya adalah hewan. Ketiga, Intelectiva,
yakni mahluk yang bukan berpikir yang tinggi, mengungkapkan perasaan
secara aktif, memiliki kesadaran insani, itulah manusia. Keempat,
Imperativa, yakni mahluk yang memiliki kemampuan moral imperative
untuk berterima kasih kepada-Nya dengan kesadaran imanen dan
transendental dalam perjumpaannya dengan Yang Maha Suci.
Sudah begitu banyak definisi yang hendak menjelaskan manusia
secara utuh, tetapi yang didapat selalu potret, bayangan, image, miniature,
yang terlepas dari subtansi dan hakekat manusia itu sendiri. Semua definisi
berwajah termonilogis, parsial, pragmental dan sektoral-dimensional.
Memang unik, makin dalam definisi yang dirumuskan, makin tak

146 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

menyentuh keutuhan manusia dan ketika definisi manusia berada pada


kulit luar, makin nampak jauhnya manusia. Dalam terminology Islam
manusia diciptakan dalam rupa dan bentuk lahir-batin yang paling
sempurna (QS. at-Tiin [95]:4). Para ahli berusaha keras memahmi hakekat
manusia meski dari demensi masing-masing seperti: (1) Homo Sapiens,
makhluk yang mempunyai budi, (2) Animal Rational, binatang yang
berpikir,(3) Homo Laquen, makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan
menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun,
(4) Homo Faber, makhluk yang terampil, membuat perkakas, (5) Toolmaking
Animal, binatang yang pandai membuat alat, (6) Zoon Politicon, makhluk
yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi,
(7) Homo Economicus, mahluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi
dan bersifat ekonomis, (7) Homo Religious, mahluk yang beragama,
(8) Animal Educandum dan Animal Educable, makhluk yang harus dididik
dan dapat dididik.
Manusia dengan kesempurnaanya memiliki kesadaran terhadap
sesuatu hal di luar, dengan, terhadap, bagi, dan untuk dirinya serta
lingkungan di luar dirinya. Drijarkara, (1989 : 7) memberikan beberapa
contoh tentang kesadaran manusia, antara lain:
a. berhadapan dengan dirinya sendiri
b. menghadapi diri sendiri
c. berhadapan dengan kehidupan
d. menghadapi kehidupan
e. hidup dalam sejarah
f. hidup mensejarah
g. berubah sesuai situasi
h. merubah situasi
i. memiliki makna ganda
j. menggandakan makna
k. berkesadaran ilahiyah
l. dan seterusnya
Pemahaman hakekat manusia yang berhakekat, dimungkinkan
mempermudah manusia sendiri untuk berubah menuju perubahan yang
terus berubah dengan kekuatan energi perubahan dari dirinya sendiri.
Manusia bukan sekedar hanya sadar tetapi memiliki kesadaran untuk
mengembangkan kesadarannya sendiri secara sadar. Karena itu, manusia
sadar sebagai dirinya dan sekaligus sebagai orang lain. Tak ada manusia
yang tidak merasakan dirinya sebagai bagian dari dirinya sendiri dan
sekaligus milik dari bagian kesadaran orang lain.
Manusia sadar betul tentang diri dan masa depannya. Tak ada yang
bisa menyelamatkan dirinya selain kesadaran moral tentang hakekat hidup
dan kehidupannya. Seluruh kehidupan menuntut setiap pribadi untuk

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 147


belajar terus menjadi pribadi pembelajar dengan senantiasa belajar dari
kebenaran belajar dan belajar kebenaran atau belajar dari kesalahan dan dari
kesalahan belajar bukan belajar tentang kesalahan.
Dalam konteks manusia sebagai makhluk sosial, Alquran menamai
manusia dengan sebutan nâs. Manifestasi dari kualitas manusia tidak
terlepas dari konteks sosial dan tidak hanya bersifat individual semata.
Dalam Alquran surat Ali Imran ayat 112, dinyatakan bahwa kualitas
kemanusiaan sangat bergantung dari kualitas berkomunikasi dengan Allah
melalui ibadah dan kualitas berinteraksi sosial melalui muamalah.
Dalam kaitannya dengan tugas dan peran hidupnya di dunia, Alquran
menyebut manusia dengan istilah khalifah. Khalifah berarti pengganti atau
wakil, dalam hal ini, manusia menjadi khalifah Tuhan untuk mewujudkan
kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan kepada manusia
sebagai mandataris Tuhan bersifat kreatif namun dibatasi oleh aturan-
atuaran yang telah digariskan Tuhan sebagai yang diwakilinya, baik yang
tersurat maupun tersirat. Penggunaan wewenang ini sepenuhnya akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Selain sebagai khalifah, manusia
juga berperan sebagai hamba Allah. Esensi dari abd adalah ketaatan,
ketundukan dan kepatuhan. Dalam kapasitas sebagai ciptaan Tuhan,
manusia memiliki keharusan untuk taat dan patuh kepada Penciptanya.
Keengganan manusia mengabdikan dirinya kepada Sang Pencipta akan
menggiringnya pada penghambaan terhadap diri sendiri, atau hawa
nafsunya.
Uniknya, dalam arti anehnya, di dunia Barat simpang-siur
tentang posisi manusia, apakah sebagai mahluk yang memiliki
bawaan baik atau buruk, tidak habis-habisnya menjadi discourse
berbagai pakar dan pakar berbagai. Semua bidang ilmu turut
menjawab persoalan apakah manusia cenderung baik atau buruk.
Apakah kecenderungan atau ketidakcenderungan itu merupakan
berian yang bersifat gifted dari Tuhan, genetik atau hanya bersifat
kecenderungan saja. Freud menengarai bahwa kecenderungan pada
kebaikan merupakan insting atau naluri bawaan yang sudah built up
dalam diri manusia. Atau meminjam istilah Kajuo Murakami (2008)
kecenderungan manusia pada kebaikan informasinya sudah ada
dalam DNA manusia itu sendiri. Karena kebaikan merupakan
konfigurasi Tuhan sebagai simbol kebaikan yang bersifat naluriah,
instingtif bagi setiap manusia dalam strata manapun. Manusia
terprimitif sampai termodern, ada naluri kebutuhan bawaan untuk
mendekati symbol kebenaran hakiki.
Manusia dalam faktanya, memang benar menunjukkan split
personality atau ambiguitas yang tinggi. Satu sisi cenderung baik dan

148 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

di lain sisi cenderung buruk. Satu fakta nyata berbuat kebaikan, fakta
lain nyata benar berbuat keburukan. Hari ini memainkan lakon
sebagai malaikat, tetapi minggu depan bermain dalam lakon utama
syetan. Menit ini hati yang berkuasa tetapi begitu cepatnya dalam
detik berikut nafsu yang panglima. Lalu mana manusia yang
sebenarnya? Baik atau buruk. Atau memang atau. Karena berada
dalam posisi atau, antara baik atau buruk. Jika manusia berada
sebagai atau, maka manusia itu adalah pilihannya atau pilihan-Nya
atau hanya pilihan. Ketika manusia berada dalam pilihan-Nya, maka
manusianya manusia ada dalam manusia tetapi bila manusia jatuh
hanya pada pilihan-nya, maka manusia meninggalkan jati dirinya
manusia sebagai manusia dan berada di luar lingkaran asli kemanu-
siaannya manusia. Atau wujud manusia bersubtansi syetan. Atau
faktanya manusia tetapi hakekatnya iblis. Atau bukti nyata berbadan
manusia tetapi berjiwa genderewo atau berparas manusia bermental
uka-uka. He he he.
Dengan tak bermaksud menyudahi diskusi atau debat tentang
hakekat kecenderungan manusia, penulis akan melanjutkan uraian itu
dengan lebih banyak menohok, menengok dan melenggok dari
perspektif normatif ajaran Islam.
Ketika Islam membicarakan tentang manusia, aroma atau arus
kuatnya menunjuk pada pengertian derajat bertauhid atau tingkatan
kualitas amal manusia dalam berhadapan, berhadap-hadapan,
menghadapi, dan menghadap Sang Khalik, Allah SWT. Term ini
memunculkan gelar atau merk atau brand atau label atau lebel seperti
manusia Kaafirin, Munafiqiin, (Mus)limiin, (Muk)miniin, (Mut)taqiin,
(Mukh)lishiin dan lain-lain.
Ketika gelar ini diposisikan dalam sebuah darajat atau tingkat
kualitas tauhid (imani maupun amali) seseorang maka sekurang-
kurangnya bisa mempotret maqam amaliyah yang dilakukan seperti:

Shalat Shalat Shalat Shalat


Label Fiqh Akhlak Tasawuf Makrifat
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Mus
Muk
Mut
Mukh

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 149


Untuk mendekatkan pemahaman pembaca dengan makna
yang dimaksud oleh penulis, pamirsa perlu membaca penjelasan
berikut:
a. Shalat Fiqh. Shalat yang ukurannya ditentukan oleh pemenuhan
syarat dan rukun shalat berdasarkan hukum-hukum fiqh, atau
shalat syariat, seperti waktu yang ditentukan (QS, an-Nisa
[4]:103), “… Sengguh, shalat itu kewajiban yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman”.
b. Shalat Akhlak. Shalat yang menghasilkan perubahan perilaku
terhindar dari perbuatan keji dan munkat (perilaku
mendholimi diri sendiri dan orang lain), QS. al-Maaun [107] : 4-
5), “celakalah orang yang shalat, yaitu yang lalai dari
shalatnya”. Perhatikan! Bukan lalai dalam shalatnya tetapi dari,
dari dan dari shalatnya. Kemudian secara tegas Allah berfirman
dalam (QS. ar-Ra‟du [13]:49), “… sesungguhnya shalat itu
niscaya harus dapat mencegah perbuatan fahsya dan munkar”.
c. Shalat Tasawuf. Shalat yang menghasilkan derejat kekhusukan,
keikhlasan, serta kehidmatan berdzikir kepada Allah yang
terus menerus dalam dan di luar shalat. Allah berfirman
dalam (QS. Thaha [20]:14) “… Laksanakan shalat untuk
mengingat-Ku)”. “Dan shalat itu sungguh berat kecuali bagi
orang-orang yang khusuk”, (al-Baqarah [2]:45).
d. Shalat Makrifat. Shalat Wustha sebagai shalat yang penuh
keutamaan makna dan pahala, ketika shalat dilakukan dalam
momen yang tepat sehingga bernilai sama pahalanya dengan
shalat seribu rakaat dan shalat dalam tingkatan makrifat
meniscayakan hadirnya tafakkur dalam, dari, oleh, untuk, dengan
dan melalui shalat. Shalat hakekat karena hadirnya hakekat
shalat pada setiap saat. Allah berfirman dalam (QS. al-Baqarah
[2]:238), “ Peliharalah seluruh shalat dan shalat wustha. Dan
laksanakan shalat karena Allah dengan khusuk”.
Demikian pula ketika al-Qur‟an memunculkan indikator-
indikator perilaku manusia, maka kategorinya akan termasuk pada

150 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

derajat yang mana? Muslimin, Mukminin, Muttaqin atau Mukhlishin


yang berada dalam tingkatan mana? Bahkan bisa jadi bila derajatnya
lebih rendah (berada dibawah normal) bisa terjerumus kedalam label
kal‟an‟am balhum adhol (QS. al-„Araf [7]:179, seperti hewan atau bahkan
lebih rendah daripada hewan atau bahkan munafiquun dan kaafiruun
(QS. al-Bayyinah [98]:6).
Katika Al-Qur‟an memberikan indikator tentang keberadaan
kualitas manusia dalam konteks kesabaran, ketaatan, kedermawanan
dan memohon ampunan pada waktu sebelum fazar (QS. Ali Imran
[3]:17), maka keempat ciri itu dimiliki siapapun tetapi dalam kadar
yang berbeda-beda.

Ash- Ash- Al- Al-


Label Shaabiriina Shaadiqiina Qaanitiina Munfiqiina
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Mus
Muk
Mut
Mukh

Kini makin yakin dan pasti bahwa manusia setahunpun tidak


bisa melepaskan dirinya dari Allah. Bahkan sebulan, seminggu,
sehari, semenit, sedetik dan sepersejuta detik sekalipun tidak bisa
mengelu-paskan, melepaskan dan mengepaskan Allah dalam
dirinya. Karena Allah pasti pas dan pas pasti dengan keadaan,
kondisi, dan kenyataan apapun dari ketidaknyataan manusia dalam
kenyataan yang senyata-nyatanya. Perlu disadari bahwa dalam diri
seorang Muslim, Allah bukan hanya sebatas icon, label, merek,
branded, believe system, inner life, dan way of life tetapi menjadi sumber
hakiki keberadaan icon, kekuatan label, eksistensi merek, esensi
branded, spirit of believe system, ruh of inner life dan why of life manusia
yang sejati dan hakiki? Oleh karena itu, patut dicermati atau mungkin
dicurigai secara akademik bila terjadi pemaksaan bentuk, potret,
gambaran, perspektif dan perlakuan terhadap manusia yang tidak
sesuai, menyimpang, bias, dan keluar dari kodrat kemanusiaan hakiki

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 151


yang Islami, maka pasti tidak akan menghasilkan koherensi nilai yang
maknawi. Jika tidak terjadi koherensi nilai, maka hanya akan
menjauhkan fakta dari kebenaran, membenturkan fenomenon dengan
nomenon, menggilas wajah tacit oleh yang explicit, memberangus
kontekstual karena yang tekstual, mendangkalkan spirit
transcendental oleh yang propan, mematikan makna batini oleh yang
lahiri dan seterusnya.
Dari pemahaman seperti itu, seharusnya kita mempertanyakan
sebuah realitas kekinian yang seringkali memotret, menakar, dan
mengukur perilaku seorang Muslim dengan perspektif, ukuran atau
instrument yang background ideologis, kultural, dan sosialnya
berbeda. Dengan begitu, kecil kemungkinan bisa mendapatkan hasil
yang akurat tentang kebenaran yang sebenar-benarnya dari „wajah
dalam‟ manusia muslim apalagi yang muslimnya mendalam. Betapa
nilainya sangat berbeda, ketika kultur yang satu menganggap Tuhan
sebagai produk pikiran sedang yang lain menyakini justru pikiranlah
yang merupakan produk Tuhan, tetapi diukur dengan menggunakan
perspektif, takaran dan instrument yang sama. Jika ilmu dipandang
bebas nilai yang lain memandang ilmu terikat nilai. Ilmu bebas
bernilai dengan ilmu terbebas dari nilai, netral, nol. Pertanyaannya
adakah yang terbebas dari nilai? Sementara pemahaman tentang
Negara-negara nonblok misalnya bukan berarti tanpa blok tetapi
bukan blok Barat atau Timur tapi bloknya non Blok. Inilah turunan
pemahaman bahwa setiap manusia terbetuk dan dibentuk oleh sistem
keyakinan yang bersifat personal. Karena itu mengukur, menilai dan
menimbang manusia harus menggunakan kacamata dan instrumen
yang tepat berdasarkan keyakinan, sistem nilai budaya dan pola pikir
yang tepat, tidak digeneralisasi tanpa alas an yang kuat dan tepat.
Ambil satu contoh yang lebih fenomenal, misalnya bagaimana
memahami perilaku “teroris” yang notabene mengklaim sebagai
sebuah refleksi dari pemahaman dalam dari kedalaman agamanya
(yang belum tentu agama-Nya), kemudian harus dipotret oleh
seseorang yang memiliki pengalaman keagamaan yang berbeda. Ini
pasti akan melahirkan bias yang besar. Kecurigaan yang dalam dan

152 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

kepentingan akan lebih dominan ketimbang objektivitas ilmiahnya.


Oleh karena itu, penulis mengharapkan fakultas-fakultas Psikologi
yang sumber daya dosennya memungkinkan, segera membina
matakuliah baru yang bisa mempotret perilaku manusia dari
perspektif keyakinannya, seperti Psikolgi Teroris, Psikologi Tauhid,
Psikolgi Ibadah, Psikologi Akhlak dan seterusnya.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 153


Daftar Pustaka

Al-Qur‟an, CV. Diponorogo, Bandung, 2007.


Aam Amiruddin, Bedah Masalah Kontemporer: Aqidah dan Akhlak, Khazanah
Intelektual, Bandung, 2008.
Al-Qurtubi, Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad bin Abu Bakar al-
Ansari, al-Jami‟ li Ahkam al-Qur‟an al-Karim, Kairo, Dar al-Gad al-Arabi,
1989.Gema Insani Press, 1999.
Ahmad As-Shouwy, Mukzijat al-Qur‟an dan as-Sunah tentang IPTEK, Gema
Insani Press, Jakarta, 1995.
A. Saboe, Hikmah Kesehatan dalam Shalat, Alma‟arif, Bandung, 1996.
Ahmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman, Dana Bhakti
Prima Yasa, Yogyakarta, 1997
Agus Mustafa, Ternyata Adam Dilahirkan, Padma Press Jatim, tt.
Agus Mustafa, Dzikir Tauhid, Padma Press, Jatim, tt.
Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeunetika al-Qur‟an, (terj.),
LKPSM, Yogyakarta, 2997.
Azis Salim Basyarahil, Shalat: Hikmah, falsafah dan Urgensinya, Gema Insani
Press, Jakarta, 1996.
Abdulah Afif, Tauhid dalam Pendekatan Fisika Modern, al-Ikhlas, Surabaya,
1994.
A.H. Dabana, Beo Berceloteh “Tuhan Seperti Aku”, al-Mawardi Prima, Jakarta,
2005.
A. Reza Arasteh, Growth to selfhood: Revolusi Spiritual, Inisiasi Press, Dopok,
2002.
Charles Le Gai Eaton, Zikir Nafas Peradaban Modern, Pustaka Hidayah,
Bandung, 2006.
Dedi Suardi, Tafakkur di Galaksi Luhur; Kerton Diculik UFO?, Remaja Rosda
Karya, Bandung, 1996.
Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran; Refleksi Pemikiran Kahlil Gibran,
Tinta Press, Yogyakarta, 2002.
Hasan Hanafi, Islam in the Modern World: Religion, Ideology and Development,
Islam Wahyu Sekuler, Inst@d, Jakarta, 2001.
Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, Pustaka, Bandung, 1995.
Irwan Kurniawan, Shalat Penyejuk Hati: Menyelami Makna Shalat dalam al-
Qur‟an, Saluni, Bandung, 2007.

154 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Imam al-Ghazali, Ulum ad-Din, Baeirut, Daral-Kitab al-„Arabi, tt


Kazuo Murakami, The Devine ot The DNA; Tuhan dalam Gen Kita, (terj.),
Mizan, Bandung, 2008.
K.H. Choer Affandi, La Tahzan Innallaha Ma‟ana, Mizania, Bandung, 2008.
Masaru Emoto, The True Power of Water, (terj.), MQ Publishing, Bandung,
2006.
Mustafa Mahmoud, Melihat Allah, (terj.), Bina Ilmu, Surabaya, tt.
Moh. Sholeh, Terapi Salat Tahajud, Mizan Media Utama, Bandung, 2006.
Muhammad Masrur, al-Islam wa al-Iman; Manzumah al-Qiyam, Islam dan
Iman; Aturan-Aturan Pokok, (terj.), Jendela, Yogyakarta, 2002.
Muhammad as-Sayyid Yusuf dan Ahmad Durrah, Manhaj al-Qur‟an al-
Karim fi Islah al-Mujtama, seri 1-7, (terj). Pustka Pengetahuan al-Qur‟an,
Rehal Publika, Jakarta, 2007.
Muhammad Usman Najati, Jiwa dalam Pandangan Filosof Muslim, Pustaka
Hidayah, Bandung, 2002.
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manaar, Cairo, Mesir, Maktabal al-
Qahirah.
Mursidin, Mengaktualkan Moral Pendidikan, Insan Mandiri, Bandung, 2009.
Muhammad bin Shalih al-Munajjid, Silsilah Amalan Hati, (terj.), Irsyah
Baetus Salam, Bandung, 2006.
Muhsin Qiraati, Tafsir Shalat, Cahaya, Jakarta, 2007.
Malik Badri, Tafakkur Perspektif Psikologi Islam, Remaja Rosda Karya,
Bandung, 1996.
Muhammad Jamaludin el-Fandy, al-Qur‟an tentang Alam Semesta, Amzah,
Jakarta, 2000.
Nur Amin, Sy. Zuhri, Sholat dalam Perspektif Kosmologi, Titian Ilahi Press,
Yogyakarta, 1999.
Osman Bakar, Tauhid dan Sains; Perspektif Islam tentang Agama dan Sains,
(terj.), Pustaka Hidayah, Bandung, 2008.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah jilid I, Lentera Hati, Jakarta, 2007.
Rauf Syalabi, dalam bukunya ad-Da‟wah al-Islamiyah fi „Ahdiha al-Madaniy, tt.
Sayyed Hossein Nasyr (Ed.), Ensiklopedi Tematis: Spiritualitas Islam, (terj.),
Mizan, Bandung, 2002.
Syeh M. Nafis Idris al-Banjarie, Permata Yang Indah, (terj). Nur Ilmu,
Surabaya, tt.
Sayyid Qutub, Fizilal al-Qur‟an, cet. Kelima belas, Kairo: Dar asy-Syuruq,
1982.

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 155


Sayyid Sabiq, al-Aqoid al-Islamiyah, cet. Ketiga, Baeirut Dar al-Fikri, 1983.
Sayyid Kamal al-Haidari, Jihad Akbar,: Menempa Jiwa, Membina Ruhani,
Pustaka Hidayah, Bandung, 2003.
Umar al-Faruq, at-Tabsyir wa al-Iti‟mar fi al-Bilad al-Islamiyyah
Yusuf al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam, (terj.), Pustaka al-Kautsar,
Jakarta, 1999.
Ziaul Haque, Revelation and Revolution in Islam: Wahyu dan Revolusi, LKiS,
Yogyakarta, 2000.

156 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

TRANSFORMASI
NILAI TAUHID
Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd.

TUNAS MANDIRI
2016

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 157


Daftar Isi

Kata Pengantar i
Pendahuluan 1

Bagian 1: Merekatkan Makna Tauhid 7


Pengertian Aqidah 8
Pengertian Iman 10
Pengertian Tauhid 12
Bagian 2: Tauhid Inti Ajaran Islam 15
Tauhid Inti Ajaran Islam 15
Tauhid Kesatuan Total 17
Bagian 3: Fitrah Bertauhid 21
Fitrah Bertauhid 21
Tuhan Sejarah Kehidupan 27
Bagian 4: Tauhid Ilmu Pengetahuan 31
Tuhan dalam Teoti Atom 34
Informasi Tuhan Berada dalam DNA Mahluk 35
God spot:Titik Tuhan dalam Otak Manusia 35
Tuhan Metafora Hukum Alam 36
Bagian 5: Tauhid Penciptaan 39
Tauhid Rubbubiyyah 39
Tauhid Uluhiyyah 40
Tauhid Asma wa Sifat 40
Bagian 6: Tauhid Af‟al, Asma, Sifat dan Dzat 43
Tauhid Af‟al 43
Tauhid Asma 44
Tauhid Shifat 45
Tauhid Zat 46
Bagian 7: Makrifat Rukun Iman 51
Makrifat kepada Allah 51
Makrifat Malaikat 54
Makrifat Kitab-kitab Allah 55
Makrifat Nabi dan Rasul 56
Makrifat Takdir 60
Makrifat Hari Akhir 62

Bagian 8: Makrifat Rukun Islam 67


Makrifat Syahadah 67
Makrifat Shalat 72

158 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Makrifat Zakat 79
Makrifat Puasa 81
Makrifat Haji 84

Bagian 9: Makrifat Asma al-Husna 87


Bagian 10: Makrifat Zikir Dasar 97
Kesadaran Tutur 100
Kesadaran Tadabbur 101
Kesadaran Tafakkur 101
Kesadaran Tasyakkur 102
Kesadaran Tazakkur 103
Bagian 11: Makrifat Zikir Utama 105
Bagian 12: Makrifat Zikir Makna 111
Bagian 13: Makrifat Keluarga 115
Bagian 14: Makrifat Sosial 123
Bagian 15: Makrifat Bisnis 129
Bagian 16: Makrifat Psikologi 137

Daftar Pustaka 149

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 159


Kata Pengantar

Alhamdzulillah dalam waktu yang sangat singkat buku Tauhid:


Menggugah dan Merubah Kehidupan dapat terselesaikan meski masih
terdapat banyak kekurangan yang belum terselesaikan karena keterdesakan
untuk diperbanyak bagi para mahasiswa yang segera akan mengakhiri
perkuliahan semester pertama.

Buku ini lebih mendekatkan para pembaca pada pemahaman yang


mendasar bahwa tauhid bukanlah ilmu “alam sana”, tetapi ilmu terapan
yang bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, meski derivasinya lebih
terlihat pada Syari‟at atau Akhlak. Tetapi yakinlah bahwa bahwa Akhlak
tidak akan berada pada rel yang benar tanpa tauhid yang benar. Tak ada
pertentangan, tak ada keraguan, dan tak ada kesangsian tentang kebenaran,
keutamaan dan kehidmatan itu. Semua menyatu, segenap terpadu, dan
segalanya terintegrasi secara holistik, tak ada tauhid tanpa syariah atau
syariah tanpa akhlak dan tak ada akhlak atau syariah tanpa aqidah. Pen.
Tak perlu perdebatan atau perhelatan, karena hanya butuh ketaatan,
ketundukan dan keikhlasan.

Terima kasih, semoga pembaca berkenan memberi masukan dan


koreksi atas buku yang ada di tangan pembaca yang budiman.

Bandung, 21 September 2013

Penulis,

Dr. Mursidin, M.Pd.

160 _____________________________________________ Dr. Mursidin, M.Pd.


____________________________________Tauhid: Menggugah dan Mengubah Kehidupan

Dr. Mursidin, M.Pd. ____________________________________________ 161

Anda mungkin juga menyukai