TRANSFORMASI
NILAI TAUHID
Menggugah dan Mengubah Kehidupan
ITPA BANDUNG
2020
Kata Pengantar i
Pendahuluan 1
Makrifat Zakat 79
Makrifat Puasa 81
Makrifat Haji 84
Penulis,
Artinya:
“Wahai manusia! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta
selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan
bumi? Tidak ada tuhan selain Dia, maka mengapa kamu berpaling dari
ketauhidan” (QS. Fathir [35]:3).
bukan jarum milik dia yang telah hilang tetapi jarum lain atau selain jarum.
Kalau begitu dimanakan Tuhan itu berada?
Pada suatu waktu terjadi sebuah dialog serius antara segerombolan
ikan tenggiri dengan seekor ikan kakap besar di sebuah samudra luas. Ikan
tenggiri mengawali dialognya dengan bertanya kepada ikan kakap besar,
hai kakap yang baik hati, katanya kita-kita ini hidup di air? Tetapi sudah
sekian lama saya hidup saya belum ketemu yang manakah air itu? Ikan
kakap tertawa lebar, sambil menyahuti pertanyaan ikan-ikan tenggiri kecil.
Hai Tenggiri, kata si kakap, bukan saja kamu yang tidak tahu air, akupun
belum pernah ketemu air sampai awak aku sebesar begini. Tetapi saya
pernah mendengar cerita, kata si kakap bahwa di laut sana nun jauh dari
sini ada yang dikatakan air. Disana ikan-ikan lain berkumpul dan memakan
makanan dengan lalapnya karena air di sana sangat kaya dengan planton-
planton dan sumber makanan lainnya bahkan bisa berjemur dibawah sinar
mata hari serta bisa mengambil udara segar. Gerombolan ikan tenggiri dan
pasukan kakappun menempuh perjalanan panjang berhari-hari, berming-
gu-minggu, berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun namun tetap saja
tidak bertemu dengan apa yang dinamakan air. Merekapun berkumpul
untuk kembali membicarakan proses perjalannya yang tidak membuahkan
hasil. Saat mereka berkumpul, tiba-tiba melihat segerombolan ikan lumba-
lumba yang sedang minggrasi ke suatu tempat dengan berjalan sambil
sesekali melompot-lompat ke udara. Pasukan ikan tenggiri dan kakap pun
makin penasaran dengan perilaku ikan lumba-lumba, akhirnya diutuslah
seekor kakap raksasa dan sekelompok ikan tenggiri untuk bertanya kepada
ikan lumba-lumba. Tetapi jawaban ikan lumba-lumbapun sama, bahwa saya
terpaksa kata ikan lumba-lumba berjalan melompot-lompat ke udara agar
bisa menemukan air tetapi hingga kini akupun belum bertemu dengan apa
yang dinamai air. Karena perjalan panjang untuk menemukan air tidak juga
berhasil, akhirnya mereka membuat kesimpulan sendiri bahwa air itu tidak
ada, air itu jauh dari kehidupan kita, air itu cerita fiktif belaka. Begitulah
perjalan hidup manusia untuk menemukan Tuhan, mencari ke gunung-
gunung, bertanya pada dukun dan bersemedi di gua-gua dan mereka tidak
menemukan Tuhan. Akhirnya mereka bertemu dengan tuhan yang selain
Tuhan. Padahal Tuhan jelas lebih dekat dari pada tuhan, lebih akrab dari
pada selain dengan tuhan dan Tuhan senantiasa berada diseputar
kehidupannya, pada segenap keadaannya dan pada dirinya sendiri.
Perhatikan, rasakan dan buktikan bahwa pada dirinya ada-Nya, untuk
ratusan dan bahkan ribuan orangpun, jika sang pemuda tadi tidak
menghampiri tukang cukur, tidak mungkin rambutnya tiba-tiba tercukur
rapih”. Jadi bukan Tuhan tidak Maha Rahman, Maha Kaya, Maha Pemberi,
Maha Luas Ilmunya, tetapi si miskin yang malas, si bodoh yang tidak
belajar, si sombong yang tidak berpikir, si kikir yang tidak bersyukur.
Lebih dari sekedar tidak bersyukur, kadang manusia bersifat pem-
bangkang, pemberontak dan ingkar terhadap kepatutan berterima kasih,
berbuat baik dan bertindak bijak sebagai ucapan dan ungkapan serta
refleksi rasa berterima kasih kepada Allah yang telah memberi segala hal
dengan gratis, cuma-cuma dan serba berhadiah. Bila manusia tidak hendak
bersyukur, ditambah sombong, apalagi kufur, sungguh kelewatan banget
dan banget kelewatannya, keterlaluan dan ketaktermaluan.
Renungkan kisah hidmat di sebuah Negara Afrika, ada seseorang
yang memelihara seekor harimau untuk dilatih sebagai pemain sirkus.
Tentu saja harimau tersebut sangat jinak, penurut dan patuh pada perintah
tuannya. Kepatuhan itu tentu bukan tanpa alasan, karena harimau tersebut
telah merasakan kasih sayang dari tuannya yang memelihara, merawat,
memberi makan dan mengasuhnya dengan penuh kecintaan. Namun dalam
suatu waktu, terjadi sebuah peristiwa yang sangat mengagetkan, harimau
tersebut menerkam leher tuannya hingga akhirnya mati. Namun karena si
pemilik harimau itu pernah berwasiat kepada anaknya bahwa harimau ini
harus dirawat dengan sebaik-baiknya dan tidak boleh dibunuh meski telah
menerkam mati ayahnya. Ketika merasa tidak sanggup lagi untuk
memelihara harimau lebih lanjut maka harimau itu diserahkan kepada
pengelola kebun binatang. Selama berada di kebun binatang perilaku
harimau itu sangat aneh, selalu meneteskan air mata, tidak mau menyatu
dengan harimau lain dan bahkan tidak mau makan sama sekali. Makin lama
perilakunya makin aneh, karena mulai memakan tubuhnya sendiri, pertama
kaki depannya kemudian berlahan memakan kaki belakang hingga
akhirnya mati. Peristiwa itu benar-benar menggambarkan bahwa segarang
dan segalak apapun harimau, ternyata memiliki perasaan dan penyesalan
karena telah memangsa tuanya yang selama ini merawat, memelihara dan
menjaganya. Pelajaran berharga bagi manusia yang katanya punya pikiran
dan rasa, kebaikan dan kearifan, nampknya hampir mustahil tidak tahu
terima kasih kepada Tuhannya yang telah memberi begitu banyak kebaikan
dengan segala kenikmatan dan disertai oleh sepenuh keberkahan. Gunung
pun ditundukan, laut ditaklukan, hewan diserahkan, bumi dipasrahkan
Artinya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam),
(sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia
menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah.
(Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”, (QS. Ar-Ruum [30]:30).
Pengertian Aqidah
Aqidah sepadan juga dengan pengertian tauhid dan sering juga
dimaknai dengan iman. Pembahasan aqidah secara teologis acapkali kaya
dengan konsep yang abstrak, teori yang beragam dan metodologi yang
tidak applicable. Untuk membantu memahami keluasan konsep tentang
aqidah, bijak kiranya jika dikemukan beberapa istilah yang acapkali
dipersamakan maknanya dengan pengertian dasar tentang aqidah, seperti:
a. Ilmu Aqa‟id
b. Aqaidul Islam
c. At-Tauhid
d. Asy-Syari‟ah
e. Al-Iman
f. Ilmu Kalam
g. Ilmu Ushuluddin
h. Ilmu Hakiki
i. Ilmu Makrifat
Banyaknya istilah atau terminologi yang digunakan untuk meng-
ungkapkan cakrawala, hasanah dan hazanah tentang aqidah mengisyarat-
kan luas dan dalamnya pembahasan tentang aqidah meski berada dalam
satu dimensi yang sama yakni menyangkut keimanan dan atau sistem
sesuatu yang telah menjadi ikatan (aqidah), keimanan atau perjanjian yang
teguh, tentu saja perlu ditegasi dengan keimanan yang ihsan.
Pengertian Iman
Untuk meyakini bahwa aqidah memiliki irisan dan integrasi makna
dengan iman, maka perhatikan pula apa yang dimaksud dengan keimanan:
Iman adalah sebuah keyakinan akan Allah sebagai pencipta, pemilik dan
pengatur segala kehidupan mahluk. Allah menciptakan mahluk dari
sesuatu yang sama sekali tidak ada bahan dan asalnya, yang disebut Badi‟u
dan Allah menciptakan mahluk (termasuk diri kita) dari sesuatu yang ada
asal, bahan dan sebab akibatnya, yang disebut Khalaqa. Keimanan kepada
Allah, harus dijalankan secara utuh, integral dan menyeluruh, yakni
berpadunya antara keyakinan hati dengan ucapan dan tindakan. Seseorang
yang beriman dipastikan hatinya teguh, ucapannya teduh dan perilakunya
puguh. Sebab segala yang diucapkan dan dilakukan adalah manifestasi
keimanannya. Ia menyadari betul bahwa ucapanya adalah „aqwal Allah,
tindakanya af‟al Allah, segalanya berada dalam genggaman kekuasaan dan
kasih sayang Allah. Renungkan dengan kekuatan iman, siapakah yang
berkuasa untuk menghidupkan yang mati dan mematikan yang hidup?
Siapakah di dunia ini yang punya kemampuan untuk menolak datangnya
kematian? Siapakah yang bisa menciptakan langit dan bumi serta segala
isinya dengan penuh pesona dan menakjubkan? Siapakah yang tahu kapan
kiamat akan datang? Keimanan terdalam manusia pasti akan mengatakan
Allah pusat dari segala kekuasan dan kekuatan yang ada. Sebab mahluk
yang ada di dunia ---sehebat apapun manusia--- tiada lain hanyalah karena
kekuatan berian Allah Swt dan semuanya akan kembali bersimpuh-kumpul
dihadapan Allah. Perhatikan firman Allah dalam (QS, al-An‟am [6] : 38),
yang artinya: “Tidak satupun binatang melata di muka bumi dan juga tidak
satupun bangsa burung-burung yang terbang dengan sayapnya melainkan
adalah mereka itu umat-umat seperti kamu juga, kemudian kepada Tuhan
merekalah semua itu akan dihimpun”.
Sebagaimana aqidah, imanpun memiliki dimensi yang luas dan
dalam sehingga pemahaman iman harus dibongkar dari jenis-jenis iman
agar memberi warna pemahaman yang bersifat general, Khoer Affandi
(2008:253) menjelaskan beberapa jenis iman sebagai berikut:
a. Iman Lughatan : yakni iman secara bahasa, yaitu unsur-unsur keper-
cayaan.
b. Iman „Aqidatan: mengesakan yang diibadati (Allah) disertai
keyakinan terhadap ke-Esa-an Zat, Sifat dan Perbuatan-Nya.
c. Iman Syahadatan: iman yang harus diikrarkan dengan memenuhi
syarat ma‟rifat dan tashdiq (pembenaran), yaitu iddi‟an (meyakini
dan membenarkan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh manusia dan
Pengertian Tauhid
Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah dengan satu-
satunya yang diibadati. Tidak ada yang berhak diibadati selain Allah.
Karenanya satu-satunya dosa yang tidak bisa diampuni adalah pelanggaran
terhadap tauhid, yakni musyrik kepada Allah. Karenanya pasti tidak ada
satu perintah atau laranganpun dalam ajaran Islam yang bisa terlepas atau
terhindar dari tauhid, karena tauhid adalah inti dan esensi Islam. Jantung
hatinya Islam dan ruh kehidupan Islam yang hakiki.
Mengingat tauhid sebagai kekuatan utama, mainstream ajaran Islam,
maka apa sebenaranya makna tauhid. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy
(1992:1) tauhid adalah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara mene-
tapkan aqidah agama dengan menggunakan dali-dalil yang meyakinkan,
baik dalil naqli, „aqli dan wijdani (perasaan halus). Pengertian ini lebih
cenderung melihat tauhid sebagai ilmu tauhid. Tauhid berasal dari kata
wahada, yuwahidu, tauhidan, artinya mengesakan Allah dalam beribadah.
Tauhid hadir ketika seorang hamba meyakini bahwa Allah SWT adalah Esa,
tidak ada sekutu bagi-Nya dalam Rububiyyah (ketuhanan), Uluhiyah
(ibadah), Asma` dan Sifat-Nya (nama dan sifat).
Pemahaman komprehensif, utuh dan mendalam tentang pengertian
aqidah, iman dan tauhid, membutuhkan ilmu bantu yang lengkap agar
makna-makna isoterik dan eksoterik dapat direkatkan secara kuat. Menurut
Hasan Hanafi, (2001:206) terdapat beberapa pendekatan penafsiran yang
dapat dijadikan rujukan dalam membongkar, mengguar, dan memapar
makna-makna mendasar dan mengakar tentang Aqidah, Iman dan Tauhid:
a. Penafsiran Filologis, penafsiran terhadap teks berdasarkan bahasa,
pemunculan maknanya didasarkan oleh pendekatan ilmu linguistik
seperti filologi, fonetik, sintaksis, semiologi, gaya bahasa, retorika
dan sebagainya. Bahasa lebih merupakan bentuk pikiran sementara
Artinya:
“Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Segala puji
bagi Allah, Tuhan seluruh Alam. Yang Maha Pengasih dan Penyayang.
Pemilik hari pembalasan. Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah
dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan.Tunjukilah
kami ke jalan yang lurus. (Yaitu) jalannya orang-orang yang Engkau
beri nikmat kepadanya, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
pula jalan mereka yang sesat”, (QS. al-Fathihah [1]:1-7).
Artinya:
”Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”, mereka
menjawab, “Betul, Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Kami
lakukan yang demikian itu agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)”, (QS. Al-„Araf [7]:172).
Fitrah Bertauhid
Manusia sejak ajali telah menemukan Tuhan. Demikian pula ketika
manusia lahir ke dunia didampingi Tuhan. Manusia menjalani hidup ber-
sama Tuhan dan manusia mati kembali menuju Tuhan. Tak ada lorong
waktu sesingkat apapun tanpa kebersamaan manusia dengan Tuhannya.
Tak ada ruang yang kosong dari kehadiran Tuhan. Sebab Tuhan telah
berada dalam diri manusia ketika manusia belum mengenal dirinya sendiri,
tetapi jauh telah mengenali Tuhannya. Setiap manusia lahir ke dunia telah
atau dibina oleh lima proses pembinaan, yakni syahadat, shalat, zakat,
puasa dan haji. Setiap pembinaan melalui kelima bangunan itu (rukun
Islam), sudah dengan sendirinya mengandung nilai-nilai ketakwaan, yang
kemudian nantinya akan menjadi ciri takwa itu sendiri.
Dalam setiap butir rukun Islam, baik syahadat, shalat, zakat, puasa,
dan haji mengandung sifat-sifat amanah, jujur, adil, fatonah, tablig, sabar,
ikhlas dan seterusnya. Perhatikan salah satu contoh tentang puasa (surat al-
Baqarah [2] ayat 182), “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada-
mu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan pada orang-orang sebelummu,
supaya kamu bertakwa”. Puasa diwajibkan kepada orang-orang yang
beriman, yang jujur dengan keimanannya, bukan kepada orang selain yang
beriman, yakni orang yang hipokrit atau mengingkari naluri ber-Tuhan.
Perintah berpuasa (termasuk bersyahadah, salat, zakat dan haji)
hanya diperintahkan kepada yang beriman, yakni orang yang terus-mene-
rus melakukan syahadah dengan menyakini, mengatakan, menyatakan dan
membuktikan secara jujur tentang keimannya pada Tuhan dalam sepanjang
napas kehidupan. Syahadah adalah komitmen bertauhid tanpa terputus, tak
terbatasi ruang dan waktu, berjalan sepanjang kehidupan, bekerja seluas
jagat, bergerak sepanjang hayat dan menjadi isi dari segala detak jantung,
hempasan napas, kedipan mata dan deringan suara.
Nilai-nilai keimanan yang merupakan potensi bawaan, merupakan
kekuatan dasar seseorang untuk dapat mencapai derajat takwa yang sebe-
narnya takwa. Melalui proses puasa terkandung suatu latihan inner self
(latihan batin) untuk berpikir positif, bersikap sabar, jujur, adil, amanah,
ikhlas, dermawan, disiplin, pengasih, penyayang dan seterusnya. Nilai-nilai
tersebut, sekaligus juga akan menjadi nilai-nilai takwa sebagai produk dari
pembinaan berpuasa.
Oleh karena itu, syahadah sebagai bentangan panjang pembinaan
ketakwaan, kemudian dikokohkan komitmennya secara rutin melalui salat
dengan sekurang-kurangnya lima kali sehari, diuji komitmennya melalui
zakat agar menyadari bahwa rezeki itu hakekatnya dari Allah, lalu komit-
men syahadat mendapatkan pembinaan secara intensif melalui ibadah
puasa sebulan penuh dan menggapai puncak syahadah melalui ibadah haji
yang melibatkan seluruh daya kekuatan yang dimiliki manusia, baik daya
spiritual, fisik, sosial, ekonomi, emosional dan sekaligus menguji keimanan
anggota keluarga yang ditinggalkan. Inilah sebuah proses pembinaan ketak-
waan yang hebat, lengkap, sistematis dan terencana secara sistemik, dari
rentang pembinaan yang benar-benar individual (syahadah), kemudian
bertahap kepada pelibatan orang lain secara bertahap seperti dalam salat
berjamaah, kemudian diperluas dengan zakat yang perlu pertimbangan
anggota keluarga, serta puasa yang membangun solidaritas sosial lebih luas,
bahkan puncak komitmen sosial yang dibangun dalam ibadah haji yang
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian
malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi, seraya berkata, ”
Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia”,
Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari Azab neraka”, (QS. Ali
Imran [3]:190-191).
“Kita mempunyai ide tentang Zat Yang Maha Sempurna dan itulah zat yang
disebut “Tuhan”. Tuhan adalah zat yang kita tak dapat menggambarkan zat
yang lebih besar dari pada-Nya. Dengan pikiran yang benar kita akan
sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, (b) Argumen Kosmologis,
Thomas Aquinas, yang membuktikan wujud Tuhan dengan cara argumen
deduktif, yakni segala sesuatu terjadi mesti mempunyai sebab dan sebab ini
mempunyai sebab lain dan seterusnya, maka mesti berakhir pada sebab
Pertama, (c) Argumen Teleologis, yakni argumen dari rencana atau maksud
dunia yang begitu sinergi, tertib dan terjadi evolusi kemajuan dalam alam,
semua itu menunjukkan adanya yang Imanen, (d) Argumen Moral, yakni
kepercayaan pada adanya Tuhan yang didasarkan pada karakter dasar
moral manusia yang memiliki kata hati, hati nurani, dan jiwa batin yang
secara otomatis menjadikan manusia mampu berterima kasih pada Yang
Maha Kuasa sebagai sebuah kecenderungan kuat pada kebenaran. Sesung-
guhnya dalam dada orang-orang beriman senantiasa ada kecenderungan
untuk berbuat kebajikan, sebagaimana dimaksud dalam (QS. Ali Imran
[3]:8).
Beberapa fakta ilmu menunjukkan pada adanya realitas bahwa
semua ilmu merupakan kehendak Tunggal yang secara inhern, gifted,
embeded dalam karakter dasar dari setiap ilmu. Beberapa fakta akan
diungkapkan untuk menegasi tauhidul ilm.
a. Tuhan dalam Teori Atom Modern
Tuhan dapat dibuktikan dalam hukum-hukum Fisika Modern,
seperti Teori Atom. Dari rentetan panjang penemuan atom mulai
(Demokritus (460-370 SM), yang menyatakan bahwa partikel zat
terkecil yang tidak dapat dibagi lagi adalah atom dan dikoreksi oleh
Ernest Rutherford (1871-1937), kemudian dilanjutkan Neils Nohr
(1885-1962) dengan menggambungkan teori kuantum menurut Plank
(1858-1947) dan sampai kepada teori atom modern Louis de Broglie,
dengan teori kebolehjadian atau ketidakpastian tentang elektron.
Penemuan para ahli Fisika Modern dapat dirangkum sebagai beri-
kut: teori terkecil dari materi adalah atom yang terdiri atas tiga
partikel yaitu proton yang bermuatan positif dan dikelilingi oleh
elektron yang bermuatan negatif (elektron) dan neutron bermuatan
netral. Elektron pada hakekatnya adalah timbunan energi semesta
dan kecepatan elektron mengitari proton secepat 100.000 km per
detik, sedangkan elektron bersifat inponderible, yakni (tak dapat
dilihat, diukur, ditimbang dan diraba). Kemudian kita bertanya
secara kritis, siapakah dan dari manakah energi yang teramat besar
itu? Aristoteles menjelaskan bahwa energi itu bersumber dari Actus
Purus atau energy Yang Maha Suci. Einstein lebih tegas menyebut-
kan bahwa Energi Yang Maha Suci itu tidak lain Tuhan Yang Maha
Artinya:
“Allah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, lalu
mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di-
antara mereka yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat
berbuat sesuatu yang demikian itu? Maha Suci Dia dan Maha
Tinggi dari apa yang mereka persekutukan”, (QS. Ar-Ruum
[30]:40).
Tauhid Rubbubiyah
Setelah manusia mengerti bahwa alam tidak tercipta dengan
kebetulan, atau tak sengaja, tetapi diciptakan dengan sebuah rancangan
besar yang benar, sehingga strukturnya begitu menakjubkan, pasti akan
sampai pada pertanyaan, siapakah dibalik rancangan besar alam mak-
rokomik? Jawabanya tentu akan sampai kepada Tuhan, Tauhid Rubbubi-
yyah bermakna beri‟tiqad bahwa Allah bersifat Esa, Pencipta, Pemelihara,
dan Tuhan seraya alam (QS. Al-Fatihah [1]:2 dan 4), “segala puji bagi Allah,
Tuhan seluruh alam”, dan “pemilik hari pembalasan”.
Ibn Katsir (Aam Amiruddin, 2008:72) dalam Mukhtashar Tafsir Ibn
Katsir jilid 3 hal 696 menjelaskan bahwa dalam surat an-Naas, Qul a‟udzu
birabbinnas, malikinnas, ilahinnas, mengandung tiga aspek ketauhidan yang
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah terambil dari kalimat ilahinnas, suatu keyakinan
bahwa Allah yang paling berhak diibadati. Siapapun yang mengibadati
sesuatu selain Allah baik langsung maupun tidak langsung, maka termasuk
musyrik dan saking berbahayanya, musyrik satu-satunya dosa yang tidak
diampuni Allah. Karena Allah satu-satunya yang berhak diibadati, “Dan
tidaklah Kami mengutus seorang Rasul sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepada mereka bahwa tiada Tuhan selain Aku, maka beribadah-
lah hanya kepada-Ku”, (QS.al-Anbiya [21]:25).
Dalam banyak suratnya, Al-Qur'anul Karim sering memberikan
anjuran soal tauhid uluhiyah ini. Di antaranya, agar setiap muslim berdo'a
dan meminta hajat khusus kepada Allah semata. Dalam surat Al-Fatihah
misalnya, Allah berfirman, "Hanya Kepada Engkaulah kamu menyembah
dan hanya kepada Engkaulah kamu memohon pertolongan." (Al-Fatihah
[1]:5). Maksudnya, khusus kepada-Mu (ya Allah) kami beribadah, hanya
kepada-Mu semata kami berdo'a dan kami sama sekali tidak memohon
pertolongan kepada selain-Mu. Tauhid uluhiyah ini mencakup masalah
berdo'a semata-mata hanya kepada Allah, mengambil hukum dari Al-
Qur'an, dan tunduk berhukum kepada syari'at Allah. Semua itu terangkum
dalam firman Allah, "Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan
(yang hak) selain Aku maka sembahlah Aku." (Thaha [20]: 14).
Rabi'ah guru besar Imam Malik dan Imam Malik sendiri. Mereka
semua sependapat bahwa, "Istiwa' (bersemayam di atas) itu jelas
pengertiannya, bagaimana cara/keadaannya itu tidak diketahui,
iman kepadanya adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah
bid'ah."
Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah memiliki kebergantungan satu
sama lain, sehingga pertaliannya saling memperkuat dan hubungannya
saling melengkapi serta kedudukannya saling menyempurnakan:
a. Tauhid Rububiyah mengharuskan kepada Tauhid Uluhiyah. Siapa
yang mengakui bahwa Allah SWT Maha Esa, Dia lah Rabb,
Pencipta, Yang Memiliki, dan yang memberi rizki niscaya meng-
haruskan dia mengakui bahwa tidak ada yang berhak disembah
selain Allah SWT. Maka dia tidak boleh berdo‟a melainkan hanya
kepada Allah SWT, tidak meminta tolong kecuali kepadaNya,
tidak bertawakkal kecuali kepadaNya. Dia tidak memalingkan
sesuatu dari jenis ibadah kecuali hanya kepada Allah SWT
semata, bukan kepada yang lainnya. Tauhid uluhiyah meng-
haruskan bagi tauhid rububiyah agar setiap orang hanya
menyembah Allah SWT saja, tidak menyekutukan sesuatu
dengannya. Dia harus meyakini bahwa Allah SWT adalah Rabb-
Nya, Penciptanya, dan pemiliknya.
b. Tauhid Rububiyah dan Uluhiyah terkadang disebutkan secara
bersama-sama, akan tetapi keduanya mempunyai pengertian
berbeda. Makna Rabb adalah yang memiliki dan yang mengatur
dan sedangkan makna ilah adalah yang disembah dengan
sebenarnya, yang berhak untuk disembah, dan tidak ada sekutu
bagi-Nya. Firman Allah (QS. Al-Ikhlas [112]: 1-2) Katakanlah:
“Aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan mengu-
asai) manusia. Raja manusia. Sembahan manusia”.
Dan terkadang keduanya disebutkan secara terpisah, namun kedua-
nya mempunyai pengertian yang sama, seperti firman Allah SWT dalam
surat (QS al An‟am [6]:164) yang Artinya, “Katakanlah: “Apakah aku akan
mencari Tuhan selain Allah, padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu.
Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali
kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan
diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan”.
Artinya:
“Kebajikan apapun yang kamu peroleh adalah dari sisi Allah dan
keburukan apapun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu
sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada
(seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi”, (QS.
An-Nisa [4]:79).
Tauhid Af’al
Ke-Esa-an perbuatan. Hendaklah kita menyadari sedalam-dalamnya
bahwa pada hakekatnya apapun yang terjadi di alam ini, dilakukan dan
diperbuat manusia pada hakekatnya adalah perbuatan Allah. Bila ada
keyakinan bahwa manusia turut serta dalam proses kejadian atau tindakan
Tauhid Asma
Ke-Esa-an Nama Allah. Segala sesuatu yang maujud (yang diada-
kan) pada hakekatnya hanyalah khayal (kosong) atau waham (sangka)
belaka, bila dinisbahkan (dibandingkan) dengan ujud Allah. Karena itu,
segala sesuatu hendaklah kita katakan, musyahadahkan bahwa pada hake-
katnya segala nama apapun juga kembali kepada nama-nama Allah sebagai
sumbernya. Ujud Allah qodim (berdiri) pada segala nama sesuatu. Zahir
(nyatanya) nama sesuatu ini pada hakekatnya adalah satu. Maksudnya
bahwa sesuatu ini sebagai pembuktian atau kenyataan dari nyatanya ujud
Tauhid Shifat
Yang dimaksudkan ke-Esa-an sifat Allah adalah sepanjang penger-
tian “fana” seluruh sifat-sifat mahluk (termasuk sifat dirinya sendiri dida-
lam atau pada sifat-sifat Allah. Cara untuk memusyahadahkan sifat-sifat
Allah tersebut adalah, “bahwa segala sifat yang melekat/berdiri pada zat
seperti sifat-sifat qodrat (kuasa), iradah (kehendak), ilmu (tahu), hayat
(hidup), sama‟ (mendengar), bahsar (melihat), kalam (berkata-kata) pada
hakekatnya semua itu adalah sifat-sifat Allah. Sebab yang ada pada mahluk
sebenarnya mazhar dari sifat-sifat Allah, karena sifat-sifat mahluk hanyalah
majaz (bayangan) saja. Bahkan bila musyahadah Anda tambah mantap
(tahkik) akhirnya Anda akan dapat merasakan bahwa sifat-sifat Anda
adalah „fana‟ (lenyap sirna didalam/pada sifat-sifat Allah. Perhatikan hadis
qudsi yang diriwayatkan Imam Bukhari: “orang-orang yang merasa dekat
kepada-Ku, tidak hanya melaksanakan apa yang aku fardukan, malah si
hamba itu merasa lebih dekat dengan melaksanakan amalan-amalan
tambahan (nawafil) hingga Akupun mencintainya. Apabila aku sudah
mencintainya. Akulah yang menjadi pendengarannya yang dengan itulah ia
mendengar. Akulah yang menjadikan penglihatan yang dengan itulah ia
melihat. Akulah yang menjadikan lidahnya yang dengan itu ia berkata-kata.
Aku menjadikan tangannya yang dengan itu ia memegang. Akulah yang
menjadikan kakinya yang dengan itu ia berjalan-jalan. Akulah yang
menjadikan hati yang dengan itu ia berdlomir (bercita-cita)”.
Tauhid Zat
Ke-Esa-an Zat, tauhiduz zat, yaitu menyatakan ke-Esa-an zat Allah
pada Zat-Nya. Pengenalan atas tauhiduz zat merupakan tingkatan dan
pelabuhan terakhir dari perjalanan menuju Allah yang dapat dijelajahi
mahluk. Pada tingkatan ini akan dirasakan kelezatan yang tidak dapat
dirasakan oleh kata-kata, suara, huruf, angka atau hal apapun, kecuali
sebuah makna yang sangat dahsyat kelezatannya. Tidak ada satupun
mahluk yang bisa melebihi tingkatan ini, tingkatan Kuhni Zat (keadaan zat).
Bahkan yang bisa mencapai tauhiduz zat saja hanyalah Muhammad Saw
dan wali pengikut beliau.
Kaifiyat (cara) menyatakan tauhiduz zat itu adalah dengan “kita
pandang dengan mata kepala dan hati bahwasanya tidak ada yang maujud
ini kecuali dengan wujud Allah, fana segala zat apapun termasuk zat kita
sendiri dibawah zat Allah yang berdiri sendiri”. Karena itu, semua yang lain
dari pada Allah tidak akan ada kalau tidak „diadakan‟, sebab segala yang
diadakan (maujud) ini qoim bi wujudillah (berdiri dengan ujud Allah).
Segala yang diadakan tentu asalnya tidak ada dan akan menjadi tiada lagi.
Jadi segala yang maujud pasti berada pada ketidakadaan, hayal, kosong,
persangkaan. Segala yang lain selain Allah adanya seperti kenyataan dalam
mimpi, begitu terasa nyata, namun setelah bangun atau terjaga ternyata
segalanya, semuanya tidak ada, perhatikan firman Allah dalam (QS. al-
Qashash [28]: 88), “semuanya segala sesuatu itu binasa, kecuali zat Allah”.
Artinya:
“Kebajikaan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur
dan barat, tetapi kebijakan itu ialah kebaikan seseorang yang
beriman kepada Allah, hari akhir (kiamat), malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi, memberikan harta yang dicintanya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang yang
terlantar dalam perjalanan, orang yang minta-minta, orang yang
berusaha melepaskan perbudakan, mendirikan shalat, menunaikan
zakat, memenuhi janji apabila berjanji, sabar dalam kesengsaraan
dan kemelaratan dan juga diwaktu peperangan. Mereka itulah
orang-orang yang benar dan merekalah orang-orang yang bertak-
wa kepada Allah,” (QS. Al-Baqarah [2]:177).
terhadap apapun yang diajarkan Allah. Ketika keyakinan pada Allah sudah
luruh, lurus dan kokoh maka keyakinan terhadap rukum iman yang lainnya
akan menjadi begitu mudah. Kenapa begitu mudah? Sebab inti persoalan
keimanan adalah iman kepada Allah dengan segala perbuatan-Nya, dengan
segala kekuasaan-Nya, pada segala kepemilikan-Nya, untuk semua hukum-
hukum-Nya dan kepada seluruh kekuatan utusan-Nya. Bila seseorang
masih mengalami keraguan akan kekuatan takdir atau bekerjanya malaikat
untuk mencatat segala amal perbuatan manusia, maka problem keimanan-
nya bukan pada persoalan itu, tapi pada persoalan pokok keimanan kepada
Allah yang belum mantap.
Kenapa iman seseorang kepada Allah meski sudah berusia tua
belum juga mengalami kemantapan? Jawabannya sederhana: Pertama, pada
usia anak-anak potensi keimanannya kurang mendapatkan aktivasi sehing-
ga potensi tauhid tidak mendapatkan ruang untuk teraktualisasi. Usia anak-
anak sangat penting untuk mendapatkan penguatan tauhid, sebab pada usia
ini merupakan masa penyimpanan memori terkuat yang akan tertanam
hingga akhir hayat. Bagi anak yang pada usia kecil sudah dibiasakan
memakan nasi maka sampai tuapun rasa nasi akan tetap menyatu dengan
dirinya. Penguatan tauhid pada masa anak-anak bisa tumbuh dari pem-
biasaan beribadah ritual, seperti shalat, puasa, dzikir, berdo‟a, berinfak,
berqurban dan seterusnya. Kedua, mereka kurang belajar dari realitas kehi-
dupan nyata bahwa begitu banyaknya fakta yang luar biasa, seperti fakta
adanya kematian yang begitu mesterius, fakta keajaiban rezeki, fakta
kerahasiahan jodo, fakta keteraturan alam yang menakjubkan. Kenyataan ini
bagi kaum yang mau berpikir dan memikirkannya dengan arif, pasti dapat
mengantarkan kesadaran akan keimanan yang kokoh pada Allah. Ketiga,
pikirkan, rasakan, hayati dan sadari, mungkin karena kesombongan diri,
keangkuhan hati dan keluhuran pikir yang disangka miliknya sendiri. Allah
berfirman, “Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada
mereka, „laa ilaha illallah‟, (tiadak Tuhan yang berhak disembah melainkan
Allah), mereka menyombongkan diri”, (QS. As-Shafat [37]:35).
Jika beriman kepada Allah itu penting, apa yang bisa dimiliki, diper-
oleh dan digenggam oleh orang-orang yang mengimani-Nya. Sayid Sabiq
(2006:133) menguraikan buah keimanan sebagai berikut:
a. Memiliki Kemerdekaan Jiwa. Jiwa yang dikuasai oleh selain Allah akan
menimbulkan kegelisahan, keretakan dan kehancuran, sebab satu
jiwa dikuasai oleh dualisme keyakinan. Satu kaki jiwa berada pada
kebesaran Sang pencipta, sedang kali lainya terjerat ranjau-ranjuu
tuhan bayangan yang menyebabkan seseorang sulit mencapai
ketulusan, kepasrahan dan kehidmatan dalam hidup. Berbeda seca-
ra kontras dengan seseorang yang meyakini penuh bahwa seluruh
hidupnya hanya milik Allah, Allah yang Maha Kuasa untuk mem-
Makrifat Malaikat
Keimanan kepada Malaikat Allah akan menjadi jalan mulus menuju
makrifat pada Allah. Hal ini didasarkan pada sebuah kayakinan bahwa
ketika seseorang meyakini adanya malaikat, akan menimbulkan rasa
keimanan yang kokoh disebabkan karena keyakinan total atas kebenaran
Allah, yang menguasai seluruh mahluk-Nya. Hikmah keyakinan kepada
malaikat, akan melahirkan beberapa keutamaan:
a. Kerendahan Hati. Manusia diciptakan dari tanah, syetan dari api yang
menyala dan malaikat dari cahaya. Perbedaan kualitas ini bagi kaum
yang berpikir bisa menyebabkan kerendahan hati untuk tidak
menjadi pembang Allah. Malaikat yang diciptakan dari unsur nur
sekalipun tunduk pada Alllah dan tidak pernah melakukan penging-
karan. Malaikat memili kerendahan hati yang ditunjukkan pada
kesediaan memberi penghormatan kepada Adam, (QS. Al-Baqarah
[2]:34). Bisakan kita sebagai manusia meneladani kerendahan hati
malaikat dalam hal ketaatannya kepada Allah?.
b. Kepasrahan Total. Bila manusia beranggapan bahwa keterjangkauan
dengan Allah terlalu jauh, tak beruang, maka kehadiran malaikat
bisa menjadi penyambung keyakinan akan adanya Yang Maha
Ghoib, “Malaikat itu takut kepada Tuhannya yang berkuasa di atas
mereka dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan” (QS. An-Nahl
[16]:50).
c. Ketundukan Suci. Manusia diberikan pilihan untuk menjadi seorang
yang taat atau ingkar kepada Allah. Pilihan ini hanya diberikan
kepada manusia dan tidak diberikan kepada mahluk mana pun.
Malaikat diberikan ketaatan penuh dan syetan dimerdekakan untuk
ingkar penuh. Manusia dengan kebebasan untuk memilih merupa-
kan sebuah ketundukan suci bila pilihan itu didasarkan pada pikiran
iman yang konsekwensial untuk memilih Fujur atau takwa (QS. Asy-
Syams [91]:8). Para Malaikat senantiasa bertasbih, patuh dan patuh
kepada Allah, “Sesungguhnya semua malaikat yang ada disisi
Tuhanmu itu tidak meyombongkan diri dan tidak enggan beribadah
kepada-Nya. Mereka memahasucikan dan bersujud kepada-Nya”,
(QS. Az-Zumar [39]:75).
d. Keadilan Hati. Andakata dunia ini tetap berada dalam serba
kefasikan, kedholiman dan ketidakadilan, bukanlah sesuatu yang
harus menyebabkan seseorang prustasi dari berbuat kebaikan dan
kejujuran. Sebab pengadilan dunia hanya bisa terjadi ketika dite-
gakkan oleh para malaikat yang taat, bukan oleh manusia yang
dengan berbagai kebutuhannya bisa melupakan kebenaran dan
mengingkari kejujuran. Tetapi dengan keimanan kepada malaikat
Allah yang selalu taat mencatat segala amal perbuatan manusia, tak
Makrifat Takdir
Tak bisa disangkal bahwa manusia memiliki banyak atribut yang
melekat dengan penciptaan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna.
Atribut kesempurnaan itu bisa muncul berupa pemahaman bahwa manusia
merupakan: (1) homo educable (manusia mahluk yang bisa didik), (2) the tool
making anamil (binatang yang bisa menggunakan alat), (3) homo religious
(mahluk yang ber-Tuhan), (4) homo misterius (mahluk yang unik), (5) dan
sebagainya. Keadaan ini menyebabkan manusia memiliki keinginan kuat
untuk mengetahui segala kebenaran yang ada di sekitarnya. Namun apakah
upaya mencari kebenaran atau ikhitiyar itu ada hubungannya dengan takdir
Tuhan? Dimana posisi ikhtiyar, kerja keras atau do‟a.
Allah pemilik segala ketentuan dan tidak ada mahluk lain yang
memiliki hak mutlak atas aturan yang telah ditetapkan Allah. Manusia
hanya menjalankannya bahkan menjalankanpun tidaklah akan terjadi tanpa
kekuatan Tuhan untuk menggerakkan kehendak dan kekuasaan manusia
untuk berkata, berperasaan dan berbuat. Bahkan dalam keyakinan Jaba-
riyyah, manusia hidup laksana bulu yang ditiup angin, bulu terbang tidak
mempunyai gerak sendiri, manusia laksana pena yang hanya bisa menulis
karena ada energi tangan penulisnya, tidak bisa menulis sendiri. “Dan
segala sesuatu sudah Kami tentukan dalam kitab induk yang nyata
(Lauhulil Maffuzh)”, (QS. Yaasin [36]:12). Manusia tidak bisa mela-kukan
d. Menjauhi Cinta Dunia. Keyakinan bahwa harta, tahta dan kuda tidak
bisa menyelamatkan seseorang dari siksaan neraka, makin menggu-
gah dan merubah orang kikir, tidak peduli sesama, rakus, penimbun
menjadi insan yang memiliki kerelaan berbagi dengan sesama.
Firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta
dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan
barangsiapa berbuat demikian mereka itulah orang-orang yang
sangat merugi”, (QS. At-Thaghabun [64]:9). Dan lebih tegas Allah
mengecam orang yang mencintai harta berlebihan, “Celakalah bagi
setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan
menghitung-hitungnya, dia (manusia) mengira bahwa hartanya
dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak!. Pasti dia akan dilem-
parkan ke dalam neraka Huthomah”, (QS. Al-Humazah [104]:1-4).
e. Melihat Wajah Allah. Impian tertinggi dari seorang yang beriman
adalah masuk surga dengan ridha Allah dan bertemu dengan-Nya
dalam keadaan yang berbahagia. Firman Allah, “Wajah-wajah para
ahli surga pada hari itu berseri-seri, karena dapat melihat kepada
Tuhannya”, (QS. Al-Qiyamah [75]:22-23).
Keyakinan tentang adanya hari akhir, secara nyata telah merubah
cara pandang seseorang tentang kehidupannya di dunia dan sadar akan
berartinya amal kebaikan untuk menyelamatkan diri dari siksa neraka yang
sangat pedih, perih dan bengis.
Refleksi paling nyata dari pengaruh keyakinan, aqidah, tauhid
dalam kehidupan terlihat dari tidak nampaknya keresahan, kegelisahan,
kepanikan dan ketakutan di kalangan ummat Islam saat ada informasi atau
berita tentang terjadinya hari kiamat, meski dengan penjelasan atau alasan
ilmu pengetahuan apapun. Berita tentang terjadinya hari kiamat, tepat saat
alinea ini ditulis, tanggal 21 Desember 2012, merupakan tanggal akan
terjadinya hari kiamat. Tetapi, dengan sangat nyata dan begitu nyata tidak
ada sedikitpun gejala keresahan atau ketakutan di kalangan umat Islam.
Mengapa? Sebab, dalam keyakinan umat Islam telah tertanam keimanan
yang kuat bahwa kiamat merupakan rahasia Tuhan, urusan Allah sahaja,
manusia tidak ada yang tahu atau dapat tahu. Bila keyakinan tentang
rahasia hari kiamat begitu kuat dan hebatnya mempengaruhi manusia,
maka keyakinan yang lain terhadap yang lainpun akan sama. Jadi untuk
merubah ummat Islam tentang kehidupannya, jelas benar harus didasarkan
pada perubahan sistem dan nilai keimanannya. Perubahan tidak bisa
disederhanakan hanya persoalan mindset, budaya atau perilaku belaka.
Tetapi soal keimanan, masalah keyakinan dan urgensi doktrin tauhid.
Wallahu „alam bishshawab.
Artinya:
“Sesungguhnya orang yang mukmin yang (bersyahadah) sebenarnya
adalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian
mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya
di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”, (QS. al-Hujurat
[49]:15).
Makrifat Syahadah
Bersyahadah merupakan komitmen awal seseorang untuk menya-
takan dirinya dapat menerima Allah dan Rasul-Nya secara total dalam
kehidupan lahiriyah dan batiniyah. Mengapa bersyahadah itu penting bagi
seseorang? Dan apa makna yang sebenarnya dari bersyahadah? Bersya-
hadah itu penting, sebab syahadah merupakan totalitas ketundukan pada
Allah dengan segala konsekwensinya dalam kehidupan. Syahadah
meniadakan apapun selain Allah, menghilangkan segala ketaatan selain
pada perintah-Nya dan menolak segala bentuk intimidasi teologis dan
praksis yang bertentangan dengan esensi bersyahadah. Esensi bersyahadah
tentu saja bukan hanya dalam bentuk ucapan, tetapi berkomitmen pada
yang diucapkan. Ucapan bukan sekedar sebuah percakapan, tetapi
penghayatan jiwa terdahsyat dalam ketundukannya terhadap totalitas
Makrifat Shalat
Shalat merupakan beribadatan yang paling mendasar dalam
merefleksikan syahadah seseorang. Karena shalat merupakan (1) pembeda
yang nyata antara muslim dan kafir, (2) do‟a yang disampaikan hamba
kepada al-Khalik, (3) perjumpaan kontinum antara manusia dengan zat
Yang Maha Suci, (4) pembentuk akhlak yang paling utama, (5) penyatu diri
dengan alam semesta, (6) pelatihan untuk peduli sesama, (7) pengikat utama
Makrifat Puasa
Puasa bermakna menahan diri atau mengendalikan diri. Apa yang
sesungguhnya harus dikendalikan? Kenapa dalam kedirian diri kita ada
yang harus dikendalikan? Kemudian bagaimana cara pengendaliannya?,
Kapan harus dikendalikan? Seberapa lama pengendalian itu berlangsung?
Apa resiko bila tidak mengikuti program latihan pengendalian diri? Bisakah
pengendalian diri dengan cara lain, selain puasa? Apa ciri dari orang yang
telah berhasil mengendalikan diri? Dan seterusnya.
Manusia memang merupakan mahluk yang tidak tahu batas, baik
batas minimal atau maksimal, batas tahu atau tidak tahu, keberanian atau
ketakutan, keberhasilan atau kegagalan, kepintaran atau kebodohan, keta-
hudirian atau ketidaktahuan diri, batas usia atau awal kematian, semua ini
ruang gelap dalam hidup manusia. Manusia seakan hidup dalam lorong
gelap yang sesungguhnya bertepi tetapi tak tahu dimana tepinya. Kita tahu
bahwa hidup pasti diakhiri dengan kematian, itu tahu, tetapi kapan
sebenarnya kita akan mati? Tak ada yang tahu, sekalipun yang bunuh diri.
Ketidaktahuan kita tentang saatnya mati menjemput, laksana ketidaktahuan
kita berkaitan dengan saat awal dari tidur? Tak ada yang pernah ingat atau
pernah tahu. Namun baru tersadarkan ketika kita terbangun dari tidur,
bahwa kita ternyata baru saja habis tidur. Adanya batas ketidaktahuan, jelas
mengajari kita untuk menyadari secara jujur tentang adanya ketidak-
terbatasan dari Yang Maha Tahu. Manusia dilatih untuk jujur mengakui dan
menyadari adanya „kekuatan tak terbatas‟ dari keterbatasan yang ada pada
diri kita.
Norma fiqh mengajarkan ada beberapa hal yang harus dikendalikan
melalui puasa seperti hajat melakukan hubungan seksual, makan dan
minum dalam batas waktu yang ditetapkan, Ibnu Hajar al-Asqalany,
(2005:362). Tidak semua hajat hidup manusia dijadikan batas bagi
pengedalian diri. Berbicara yang dampaknya terkadang bisa lebih menge-
rikan, tidak merupakan batas yang ditetapkan dalam berpuasa nominalitas.
Akan tetapi sebenarnya semua yang bisa mendorong degradasi kualitas
kedirian manusia, hendaknya dijadikan batas kendali oleh diri kita masing-
masing. Berbicara kasar atau menyakitkan, mencuri atau memfitnah atau
menghinakan seseorang seyogianya menjadi batas kendali yang diyakini
dapat membatalkan puasa. Kini saatnya kita menyadari pentingnya puasa
hakiki atau puasa kejujuran diri yakni pengendalian tanpa batas ruang dan
waktu. Sebagian besar diantara kita, rata-rata telah sanggup melakukan
puasa syariat sekalipun belum tentu sampai kepada ultimate goals yakni
menjadi manusia muttaqiin atau manusia paling takwa.
Puasa untuk memperoleh title muttaqin, sebenarnya merupakan
proses yang telah berisi nilai takwa yakni amanah, fatonah, tablig, adil,
jujur, sabar, kasih sayang, peduli, dermawan dan lain-lain. Bila puasa kita
mencapai derajat muttaqin, maka pada akhirnya nilai takwa itu akan
menjadi hasil dari puasa tadi. Jadi, puasa sebagai proses dan takwa meru-
pakan hasil akhir outcome atau produk puasa. Karena itu, tidak ada
pelonggaran pada orang yang beriman untuk tidak menjalani proses
menuju takwa. Sebab tidak akan ada hasil tanpa proses. Jadi orang yang
berpuasa adalah orang yang jujur sedang meminta peningkatan derajat
takwa dengan memperhatikan kepatutan atau kelayakan untuk diberi atau
sampai pada derajat takwa. Memang banyak orang yang meminta tanpa
memperhatikan kapatutan untuk diberi. Itulah manusia yang tidak tahu diri
dan tidak tahu berterima kasih. Karena itu, berpuasalah agar ketika anda
meminta terbiasa dengan memperhatikan kepatutan untuk diberi. Inilah
yang dimaksud dengan puasa kejujuran. Latihan ini penting agar orang
menyadari setiap permintaanya didasarkan pada kelayakan dan kepatutan
untuk diberi, tidak asal meminta. Tuhan Yang Maha Pemberi, senantiasa
memberi siapapun yang diberi-Nya dengan memperhatikan kepatutan,
kepantasan dan ukuran yang tepat untuk menerimanya.
Apapun alasan yang dikemukan dalam konteks berpuasa, mestinya
puasa dapat mengantarkan sesorang untuk bermakrifat kepada Allah
melalui ketulusan ibadah puasa yang dijalaninya. Beberapa hal utama yang
bisa datarik makrifatnya dari ibadah puasa:
a. Pergerakan bendawi menuju spiritual. Kerakusan, keserakahan dan
kebatilan berawal dari keinginan memenuhi nafsu yang bersifat
bendawi. Keinginan makan menyebabkan pencurian, kebutuhan
akan kemewahan mengantarkan tindakan korupsi dan dorongan
nafsu yang bersifat seks mengakibatkan perkelahian, darah dan
kebatilan. Pantas kiranya jika hal yang menyebabkan batalnya
puasapun berkaitan dengan nafsu makan dan seks yang sengaja
diredam, dikendalikan dan dikembalikan kepada kekuatan dasar
yang bersifat ilahiyah agar manusia kembali kepada kefitrian dan
kesejatiannya sebagai mahluk spiritual.
Makrifat Haji
Rangkaian ibadah haji sebagian besar lebih bersifat ritual dan
seremonial, namun benarkah itu ruhnya? Adakah spirit zaman dibalik
kewajiban haji? Bukankah sepanjang perjalanan ibadah haji napak tilas
perjuangan para nabi? Apa yang dapat dipetik dari pengalaman ibadah
haji? Dan apakah dari diri kita yang harus mencapai martabat haji? Apa
yang harus pertama kali di hajjikan dari diri kita? Apa mungkin bangsa kita
juga bisa berhaji, bukan hanya sebagai penyelenggara haji? Dapatkah ibadah
haji menjadi vilar pemersatu umat Islam se-dunia?
Pasti, harusnya pasti bisa, sebab nilai pemersatu itu telah berada
dalam sebuah ikat tauhid, sebagai ummatan wahidatan, ummat yang satu
dalam satunya aqidah, satu ibadah, satu syari‟ah, satu Ka‟bah, satu hajar
aswad, satu sa‟i, satu wukuf, satu shalat, satu cita-cita (surga), satu rasa
takut ke neraka karena murka Allah dan satu seruan untuk tidak bercerai-
berai dalam pelaksanaan Islam yang kaffah. Semua kebaikan, keutamaan,
ketulusan, dan hikmah peribadatan, terkuak dahsyat pada misi besar ibadah
haji yang merupakan napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim dan keteladanan
Nabi Muhammad yang dihayati seluruh ummat Islam se-dunia.
Makna apa yang dapat ditemukan dalam perjalanan panjang ibadah
haji? Ada banyak hal yang sangat fundamental dan esensial dari nilai-nilai
bermakrifat kepada Allah melalui ibadah haji, antara lain:
a. Nilai pensucian diri. Ibadah haji yang dilakukan dengan penuh
kehidmatan, bisa membawa setiap orang berada dalam maqom
ekstasi dengan Tuhan, maqom penyatuan diri dengan Tuhan dan
tiadanya diri sendiri. Kesadaran ini muncul pada siapapun yang
menunaik ibadah haji dengan niat karena Allah, bukan karena status
sosial, bukan karena ingin melebur dosa, tetapi karena ingin lebih
dekat dengan Allah. Pada saat ibadah haji menemukan makna
sejatinya pensucian diri, maka pengosongan diri akan berganti
pengisian kehadiran-Nya. Rumi (A. Reza Arasteh, 2002:107),
melukiskan ketika ekstesi sedang terjadi, urat darahpun menjadi
kosong dari darah dan lalu diisi dengan cinta dari Sang Kekasih:
“Cinta datang dan aku membangkitkan jiwaku kepada Sang
Kekasih. Sang Kekasih sekarang memberiku kehidupan dari kehi-
dupan sendiri. Cinta datang dan seperti darah yang mengisi urat
dan jaringanku. Mengosongkanku dari diriku dan mengisiku dengan
teman. Teman itu memiliki setiap atom dari keberadaanku. Nama itu
adalah segala yang telah aku tinggalkan saat ini dan segala yang
tersisa hanyalah Dia”. Jika selepas haji tetapi jiwanya masih berisi
molekul kemusyrikan, atom kesombongan, inti atom riya, dan gen
pengalaman spiritual saat menunaikan haji, seperti nilai tobat dari segala
dosa, baik dosa kepada Allah maupun dosa kepada sesama dan termasuk
dosa terhadap mahluk lain hewan, tumbuhan, bakteri, virus dan seterusnya.
Artinya:
“Dan Allah memiliki Asmaul Husna (nama-nama yang terbaik),
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutkan Asmaul
Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan
nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapatkan balasan terha-
dap apa yang telah mereka kerjakan”, (QS. Al-„Araf [7]:180).
secara hakiki. Ketiga, memikirkan zat Allah, langkah ini sesuatu yang
mustahil bisa dicapai oleh manusia dan sekalipun Al-Ghazali pernah
menulis tentang hal ini dalam bukunya Madhnun bihi „ala Ghayr Ahlih,
namun naskahnya disuruh disembunyikan.
Allah memiliki nama-nama Yang Indah, “Milik-Nyalah nama-nama
yang Indah”, (QS. Al-Hasyr [59]:24) dan nama-nama yang Agung (al-ism al
a‟zham) yang dengan itu Dia dikenal Allah. Nama-nama esensial Allah (ad-
Dzat) dan keseluruhan nama-nama Ilahi (asma) serta sifat-sifatnya (shifat)
yang berhubungan dengan dan terkandung dalam hakikat Ilahi. Mengenal
nama-nama Allah dan menyebutnya secara berulang-ulang dapat memberi
dampak positif yang luar biasa bagi pelakunya. Dengan menyebut nama-
nama Allah maka jiwa manusia mengalami transendensi dan imanensi
dengan Allah yang menyajikan rasa hati, bahwa Allah berada di atas
segalanya dan sekaligus menyaksikan tanda-tanda kekuasaan-Nya di dalam
segala sesuatu, dimana-mana, dihadapan, di dalam dan dibalik segala
sesuatu. Sungguh Allah sangat dekat dalam kehidupan manusia dengan
mencakup segenap kehidupan dari yang besar sampai yang kecil, yang
nampak dan yang penuh rahasia, malam maupun siang, Allah senantiasa
berada dalam diri kehidupan kita, “Kami lebih dekat kepadanya (manusia)
daripada urat lehernya sendiri”, (QS. Qaf [50]:16).
Untuk bisa mengambil pelajaran atau hikmah dari Asmaul Husna,
berikut akan dituliskan nama-nama Asmaul Husna:
1. Allah :Lafadz/ucapan Yang Maha Mulia yang merupakan nama
bagi Dzat Ilahi Yang Maha Suci serta wajib ada-Nya. Nama Allah
merupakan sebuah Dzat yang mewakili keseluruhan sifat-sifat Allah
itu sendiri.
2. Ar-Rahman:Maha Pengasih, pemberi kenikmatan yang agung,
pengasih di dunia atau pengasih pada zahir.
3. Ar-Rahman: Maha Penyayang, pemberi kenikmatan yang pelik-
pelik, penyayang di akhirat, pengasih pada batin.
4. Al-Malik: Maha Merajai, Maha Memiliki, mengatur kerajaan dan
milik-Nya dengan Kehendak-Nya.
5. Al-Quddus: Maha Suci, suci dari segala cacat dan cela.
6. As-Salam: Maha Penyelamat, pemberi keamanan, kesentosanaan,
kedamaian bagi seluruh mahluk-Nya.
7. Al-Mukmin: Maha Pemelihara Keamanan, dari ketepatan memberi
siksa atau pahala.
8. Al-Muhaimin: Maha Penjaga, Maha Pemberi Kebahagiaan, lahir
batin dan melindungi segala mahluk-Nya.
9. Al-Aziz: Maha Mulia, kuasa dan mampu berbuat sekehendak-Nya.
28. Al-Bashir:
Maha Melihat, melihat segala sesuatu yang nampak dan
tidak nampak.
29. Al-Hakam. Maha Menetapkan Hukum, sebagai hakim yang
menetapkan segala hukum dan tidak satupun mahluk yang bisa
menentang atau merintangi berlakunya hukum Allah.
30. Al-„Adlu: Maha Adil serta sangat sempurna dalam keadilan-Nya
31. Al-Lathif: Maha Halus, yakni mengetahui segala sesuatu yang
samar, yang pelik dan yang kecil-kecil.
32. Al-Khobir: Maha Waspada, Maha Pemberi Khabar, memberikan
kabar kebaikan atau keburukan kepada seluruh mahluknya tanpa
permintaan dan dengan kesegeraan.
33. Al-Halim. Maha Pengiba, Maha Penyantun, penyantun yang tidak
tergesa-gesa melakukan kemarahan dan tidak pula ceroboh dalam
memberi siksaan.
34. Al-„Azhiim: Maha Agung, mencapai puncak tertinggi dari mencu-
suar keagungan karena bersifat dengan segala macam sifat kebe-
saran dan kesempurnaan.
35. Al-Ghafur: Maha Pengampun, banyak pengampunan-Nya kepada
hamba-hamba-Nya, baik diminta atau tidak.
36. Al-Syakur: Maha Pembalas, memberikan balasan yang banyak sekali
atas amalan yang kecil dan tidak berarti sekalipun.
37. Al-„Aliy: Maha Tinggi, mencapai tingkat yang setinggi-tingginya
yang tidak mungkin digambarkan oleh akal fikiran siapapun dan
tidak dapat dipahami oleh oleh pikiran mahluk-Nya.
38. Al-Kabir: Maha Besar, yang kebesaran-Nya tidak dapat diikuti oleh
panca indra atau akal manusia.
39. Al-Hafidz: Maha Pemilihara, menjaga sesuatu jangan sampai rusak
dan goncang dan menjaga segala amal hamba-Nya untuk tidak disia-
siakan sedikitpun.
40. Al-Muqit: Maha Pemberi Kecukupan, baik yang berupa makanan
tubuh maupun makanan rohani.
41. Al-Hisab: Maha Penjamin, memberikan jaminan kecukupan kepada
seluruh hamba-Nya, juga dapat Maha Menghisab amalan hamba-
Nya.
42. Al-Jalil: Maha Luhur, yang memiliki sifat keluhuran karena
kesempurnaan sifat-sifat-Nya.
43. Al-Kariem: Maha Pemurah, mulia hati dan memberi siapapun tanpa
diminta atau sebagai penggantian dari sesuatu pemberian.
Artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya (terus-menerus). Dan bertasbihlah kepada-Nya
diwaktu pagi dan petang”, (QS. Al-Ahzab [33]:41-42).
Artinya:
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku,
maka beribadahlah kepada-Ku dan dirikan shalat untuk berzikir
kepada-Ku”, (QS. Thaha [20]:14).
Zikir tauhid merupakan lanjutan dari zikir dasar. Pada zikir tauhid
dilakukan tanpa mengenal batas ruang dan waktu, dijalankan sepanjang
kehidupan, baik saat terjaga maupun tertidur, alam sadar maupun bawah
sadar. Zikir tauhid merupakan penyatuan diri dengan Realitas Tunggal
dalam segala hal dan keadaan secara total. Zikir ini tidak hanya diucapkan
oleh lisan tetapi diungkapkan oleh seluruh anggota tubuh secara utuh.
Seluruh tubuh bertasbih, berzikir memuji dan mengungkapkan keagungan
Allah secara tulus dan penuh kepasrahan. Zikir tauhid tidak menghitung
jumlah atau kuantitas tetapi menimbang kualitas bertafakkur, bersyukur
dan bertadzakkur dalam kasatuan jiwa dan raga yang fana melebur hancur
kedalam keagungan Allah.
Artinya:
“Dan berzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu dengan meren-
dahkan diri dan rasa takut dan dengan tidak mengeraskan suara,
diwaktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-
orang yang lalai …”, (QS. Al-„Araf [7]:205).
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman!, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang
tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”,
(QS. At-Tahrim [66]:6)
Artinya:
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan
mencegah dari berbuat munkar dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik, namun
kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik”, (QS. Ali Imran
[3]:110).
a. Menegakkan amar makruf dan nahi munkar. Ciri masyarakat yang diikat
oleh tauhid tentu menegakkan kalimat Allah dengan lurus melalui
amar makruf dan nahi munkar. Amar makruf dan nahi munkar
hukumnya wajib bagi setiap orang, sama wajibnya seperti shalat.
Allah berfirman “Hai anakku, dirikan shalat dan suruhlah (manusia)
mengerjakan yang baik dan mencegah yang munkar dan bersabarlah
terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian
itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”, (QS. Lukman
[31]:17). Apa syarat dari amar makruf nahi munkat, Muhammad as-
Sayyid Yusuf (2007:143) menjelaskan: (1) pengetahuan, (2) ikhlas, (3)
menjadi teladan, (4) bersikap lembah lembut, (5) sabar dan murah
hati.
b. Mampu mencegah perbuatan fahsya dan munkar. Islam mengajarkan
kehidupan dalam senyata-nyatanya kehidupan nyata. Tidak ada satu
sisi dari kehidupanpun yang luput dari perhatian Islam, seperti
persoalan etika makan, kencing, bersin, tidur sampai pada perso-
alan-persoalan besar seperti pendidikan, kesehatan, politik, ekono-
mi dan seterusnya. Apa yang dimaksud fahsya? Fahsya adalah
kedhaliman yang efeknya lebih besar kepada pelaku, seperti mening-
galkan shalat, berpikir negatif, riya, thama, ujub dan penyakit hati
lainnya. Sedangkan munkar adalah segala perbuatan yang efek nega-
tifnya lebih besar kepada orang lain, seperti mencuri, berzina,
korupsi dan lain-lain.
c. Bersabar dalam Berdakwah. Salah satu kewajiban Muslim terhadap
Islam adalah mendakwahkan Islam. Mendakwahkan Islam bukan
menceramahkan, mempidatokan, mempuisikan, atau menuliskannya
dalam jutaan lebar kertas tetapi mempertontonkan, menunjukkan,
memperlihatkan, menyatakan, membuktikan bahwa Islam itu rah-
mat bagi seluruh alam, Islam itu indah, Islam itu kedamaian, Islam
itu kebersihan, Islam itu kesejahteraan, Islam itu kerja keras, Islam
itu kerja ikhlas, Islam itu tolong-menolong, Islam itu … dan Islam itu
seluruh keselamatan.
d. Mampu menjadi umat beruntung. Islam selama ini hampir-hampir
identik dengan kebodohan, keterbelakangan, kesengsaraan, kemis-
kinan, kejorokan, ketidak disiplinan, kekerasan, kemunafikan dan
masih banyak label lainnya. Keadaan ini jelas bertentangan dengan
Islam secara nominalitas, Islam ideal, Islam kaffat, Islam al-Qur‟an,
Islam Rasulullah. Islam seperti ini adalah Islam yang terjadi dalam
masyarakat Islam yang tidak mengerti Islam. Disangkanya Islam itu,
agama ritual, agama legal formal, agama esensial, bukan tapi Islam
adalah agama bagi kehidupan nyata yang lebih baik, lebih sejahtera,
lebih bahagia, lebih bersih, lebih sehat, lebih suci, dan lebih berarti.
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (al-
Qur‟an) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian
rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan
terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan (bisnis
atau perniagaan) yang tidak akan rugi”, (QS. Al-Fathir [35]:29).
Sungguh tak bisa dibantah dengan dalil dan dalih apapun bahwa
semua kehidupan bermuara dan berpusat pada Allah sebagai pemilik
kehidupan yang hakiki. Allah sebagai sentipugal dan sentripetal. Allah
pendulum kehidupan. Allah pusaran semua mahluk. Allah sebagai Realitas
Tunggal. Tak ada sistem yang ada selaian karena adanya ADA Yang Maha
Ada untuk mengadakan yang ada dan yang tiadak untuk meng-ada atau
men-tiada sekaligus. Manusia tak punya aturan, tak punya hokum, tak
punya kekuasaan Manusia tinggal menjalankan rancangan yang Allah telah
tetapkan dalam sebuah iradah takdir, ketetapan ukuran, keajegan takaran
sebagai ketentuan yang telah dipastikan-Nya untuk kepastian-nya. Semua
rezeki kepada siapa saja yang Dia Kehendaki dan Dia Maha Kuat,
Maha Perkasa”. Barangsiapa menghendaki keun-tungan di akhirat
akan Kami tambahkan keuntungan itu baginya dan barang siapa
menghendaki keuntungan di dunia, Kami berikan kepadanya
sebagian darinya (keuntungan dunia), tetapi tidak akan
mendapatkan bagian diakhirat”. Dan rezeki yang diistimewakan
penuh dengan misteri kasih sayang Allah, “dan Dia memberinya
rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka (QS. at-Thalaq [65]:3).
i. Rezeki yang DIBERKAHI, ada adagium Sunda yang meng-ada dalam
mengapresiasi keberkahan rezeki dari Yang Maha Ada, seperti
“saeutik mahi loba nyesa”. Falsafah ini benar-benar menunjukkan
teosofi kesadaran yang tinggi dari orang-orang Sunda bahwa rezeki
dari Allah tidak bisa diukur secara kuantitas saja tetapi derajar
kualitas berupa keberhakan yang terkandung dalam setiap tetesan,
titisan dan tatasan rezeki dari-Nya. Ciri yang bisa diterawang dari
rezeki yang penuh berkah dari-Nya adalah DIBERKAHI: (1) Dirasa
sangat melegakkan bukan menyesakkan dada, (2) Ikhlas akan bagian
orang lain, tidak merasa hanya milik sendiri, (3) Berlebih syukur dan
ketika kurangpun syukur, (4) Energi yang mendorong keikhlasan
beribadah bukan kegagahan mengingkari-Nya, (5) Rahasia spiritual
terasa nyata bukan asa atau asap fatamorgana belaka, (6) Kekayaan
bukan segala-galanya tetapi segalanya menjadi kekayaan, (7) Ahli
yang memastikan pemerolehan rezeki berbasis ilmu dan pengalaman
nyata, (8) Hasikan penyatuan diri dengan Allah dalam segala
kehidupan, (9) Indahnya menyaksikan Allah dalam setiap rezeki
yang diberikan kepada setiap mahluk-Nya.
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk
memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan mampu
melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh”,
(QS. al-Ahzab [33]:72).
di lain sisi cenderung buruk. Satu fakta nyata berbuat kebaikan, fakta
lain nyata benar berbuat keburukan. Hari ini memainkan lakon
sebagai malaikat, tetapi minggu depan bermain dalam lakon utama
syetan. Menit ini hati yang berkuasa tetapi begitu cepatnya dalam
detik berikut nafsu yang panglima. Lalu mana manusia yang
sebenarnya? Baik atau buruk. Atau memang atau. Karena berada
dalam posisi atau, antara baik atau buruk. Jika manusia berada
sebagai atau, maka manusia itu adalah pilihannya atau pilihan-Nya
atau hanya pilihan. Ketika manusia berada dalam pilihan-Nya, maka
manusianya manusia ada dalam manusia tetapi bila manusia jatuh
hanya pada pilihan-nya, maka manusia meninggalkan jati dirinya
manusia sebagai manusia dan berada di luar lingkaran asli kemanu-
siaannya manusia. Atau wujud manusia bersubtansi syetan. Atau
faktanya manusia tetapi hakekatnya iblis. Atau bukti nyata berbadan
manusia tetapi berjiwa genderewo atau berparas manusia bermental
uka-uka. He he he.
Dengan tak bermaksud menyudahi diskusi atau debat tentang
hakekat kecenderungan manusia, penulis akan melanjutkan uraian itu
dengan lebih banyak menohok, menengok dan melenggok dari
perspektif normatif ajaran Islam.
Ketika Islam membicarakan tentang manusia, aroma atau arus
kuatnya menunjuk pada pengertian derajat bertauhid atau tingkatan
kualitas amal manusia dalam berhadapan, berhadap-hadapan,
menghadapi, dan menghadap Sang Khalik, Allah SWT. Term ini
memunculkan gelar atau merk atau brand atau label atau lebel seperti
manusia Kaafirin, Munafiqiin, (Mus)limiin, (Muk)miniin, (Mut)taqiin,
(Mukh)lishiin dan lain-lain.
Ketika gelar ini diposisikan dalam sebuah darajat atau tingkat
kualitas tauhid (imani maupun amali) seseorang maka sekurang-
kurangnya bisa mempotret maqam amaliyah yang dilakukan seperti:
TRANSFORMASI
NILAI TAUHID
Menggugah dan Mengubah Kehidupan
TUNAS MANDIRI
2016
Kata Pengantar i
Pendahuluan 1
Makrifat Zakat 79
Makrifat Puasa 81
Makrifat Haji 84
Penulis,